1
KATA PENGANTAR
2
Surabaya, September 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
Daftar Isi
I. Pendahuluan 1-1
1.1. Pengertian Toponimi. 1-3
1.2. Sejarah Toponimi. 3-6
1.3. Kaitan Toponimi dengan ilmu pengetahuan yang lain. 6-7
1.4. Hubungan Toponimi dengan mata kuliah di Teknik Geomatika. 7-7
1.5. State of the art Toponimi di tingkat nasional dan internasional. 7-10
1.6. Peran dan fungsi Toponimi dalam pembangunan nasional. 10-14
II. Ruang Lingkup 14-14
2.1. Alam 14-14
2.1.1. Toponimi Gunung 14-23
2.1.2. Toponomi Maritim 23-29
2.2. Administrasi 30-30
2.2.1. Pemerintahan (propinsi, kabupaten, kota dsb) 30-39
2.2.2. Kawasan (situs purbakala) 39-41
III. Peranan Lembaga Internasional 42-42
3.1. Kelembagaan 42-49
3.2. Tujuan dan fungsi 49-51
IV. Nama Rupabumi 52-52
4.1. Dasar Hukum 52-53
4.2. Otoritas Nasional Nama Rupabumi/Rupabumi 53-54
4.3. Ruang Lingkup Kegiatan Penamaan Unsur Rupabumi 54-55
4.4. Standardisasi Nama Geografis Maritim 55-55
4.5. Nomenklatur Nama Geografis dari Unsur Bawah-Laut 55-56
V. Ruang Lingkup Kegiatan Penamaan Unsur Rupabumi 57-58
5.1. Gazetir Nama Unsur Rupabumi Nasional 58-59
5.2. Prosedur tentang pemberian nama, perubahan nama dan penghapusan 59-61
Buku Acuan 62-63
Daftar Istilah/Definisi 64-68
Lampiran 68-103
4
BAB 1. PENDAHULUAN
Buku ajar toponimi ini meliputi beberapa bagian yaitu pendahuluan yang berisi
tentang uraian pengertian dan sejarah toponimi, kaitan toponimi dengan ilmu pengetahuan
yang lain, hubungan toponimi dengan mata kuliah di Teknik Geomatika, state of the art
toponimi di tingkat nasional dan internasional, peran dan fungsi toponimi dalam
pembangunan nasional; ruang lingkup : alam (gunung dan maritim), administrasi :
pemerintahan (propinsi, kabupaten, kota dan sebagainya), kawasan (situs purbakala);
peranan lembaga internasional : kelembagaan tujuan dan fungsi UN Conference on
Standardization of Geographical Names (UNCSGN), UN Group of Experts on
Geographical Names (UNGEGN); nama rupabumi dasar hukum, otoritas nasional nama
rupabumi/rupabumi, ruang lingkup kegiatan penamaan unsur rupabumi, standardisasi nama
geografis maritim, nomenklatur nama geografis dari unsur bawah-laut; ruang lingkup
kegiatan penamaan unsur rupabumi, gazetir nama unsur rupabumi nasional, prosedur
tentang pemberian nama, perubahan nama dan penghapusan.
5
term only as dnoting a populated place such as a city, town, village, farm etc. Place
name can tell us a great dela about the physical geogreaphy, the culture & the history
of a place & about the people connected with it.
Bisa dianggap sama istilah2 tersebut, tetapi sebaiknya lebih presisi. (Naftali
Kadmon :“TOPONYMY, THE LORE, LAWS AND LANGUAGE OF
GEOGRAPHICAL NAMES”, 2000)
Mungkin istilah toponim agak asing bagi masyarakat umum apalagi bagi
mereka yang tidak bergelut dalam ilmu-ilmu kebumian. Tapi bagi mereka yang sering
bekerja dengan peta tentunya tidak asing dengan istilah ini. Toponim berasal dari kata
topo dan nym. Dimana topo berarti permukaan bumi dan nym adalah nama. Sehingga
secara umum makna toponim adalah nama yang diberikan pada unsur-unsur di
permukaan bumi. Nama unsur kenampakan atau ciri (features) di permukaan bumi
tersebut meliputi unsur alamiah, unsur buatan, dan unsur administratif. Istilah ini pada
penggunaannya sedikit dikacaukan dengan toponimi, dimana toponimi merupakan ilmu
yang mempelajari tentang nama-nama geografis. Toponimi sendiri merupakan suatu
cabang onomástica yaitu ilmu yang mempelajari tentang asal-usul dan arti nama.
Hal-hal yang mempengaruhi toponim atau nama-nama geografi di suatu tempat
akan sangat dipengaruhi oleh masyarakat yang bermukim di daerah tersebut. Nama-
nama tempat telah ada sejak dulu dan secara turun-temurun diturunkan pada generasi
selanjutnya, baik dalam dokumen yang tercatat dengan baik ataupun hanya melalui
folklore saja Umumnya masyarakat tradisional akan memberikan nama-nama tempat
berdasarkan beberapa hal yaitu :
Sejarah tempat yang bersangkutan.
Suatu tempat yang memiliki nilai dan kesan mendalam pada suatu
komunitas masyarakat akan dikenang dan diabadikan melalui nama yang
mengingatkan mereka pada kejadian tersebut.
Legenda
Adapula nama-nama tempat yang berasal dari suatu legenda atau cerita
rakyat yang berkembang di suatu masyarakat. Legenda ini diceritakan
secara turun temurun dan terkadang menjadi identitas suatu masyarakat
sehingga nama tempat akan sangat terkait dengan masayarakat yang
6
bermukim di daerah tersebut. Misalnya legenda Tangkuban Parahu di
Bandung, Jawa Barat.
Fenomena alam yang spesifik
Fenomena alam atau karakteristik alam yang spesifik juga dapat menjadikan
suatu daerah memiliki nama yang unik. Masyarakat tradisional yang
terkesan dengan fenomena akan cenderung memberikan nama yang
mencirikan daerah tersebut. Di Jawa Barat ditemukan nama-nama seperti
Cipanas, Citiis dan Cibodas.
1.2. Sejarah Toponimi.
Sejarah perkembangan toponimi sudah sangat panjang yaitu dimulai dari abad II
Ptolemy membuat Ptolemy‟s Geography, dilanjutkan oleh Eusebius dengan membuat
Onomasticon. Selanjutnya pada tahun 1864 dibuat The Reverend oleh Isaac Taylor
Canon of York. Pada tahun 1872 sampai dengan 1892 dibuat Nomina Geographica oleh
Jacob Egli dan pada tahun 1960 dikembangkan Un Experts oleh Meredith F Burrill.
Selanjutnya pada tahun 1967 pengembangan toponimi dilakukan oleh The 1st UN
Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN), dan terakhir pada
tahun 1974 toponimi dikembangkan dengan resolusi dari The UN ECOSOC No.600 (XXI)
dari UN Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). (Constance Mary Mathew,
“How Place Names Began & How They Develop”)
7
PTOLEMY “PTOLEMY’S GEOGRAPHY”
ABAD II
“ONOMASTICON”
EUSEBIUS
THE REVEREND \
1864 ISAAC TAYLOR
CANON OF YORK
“NOMINA GEOGRAPHICA”
1872, 1892 JACOB EGLI
UN EXPERTS –
1960 MEREDITH F. BURRILL
1974
CONSTANCE MARY
MATHEW “HOW PLACE
NAMES BEGAN & HOW THE ECOSOC –
THEY DEVELOP” 1967 THE 1ST UNCSGN
“UNGEGN”
(KADMON,N, 2000)
8
geografis didalam wilayah negara yang bersangkutan, pengumpulan nama2 geografis dari
penduduk setempat/dokumen resmi/peta2 tuasumber historis/gazetir/ucapan lokal.
- Resolusi III/16 UNCSGN antara lain bahwa setiap perubahan yang dilakukan terhadap
nama baku yang bukan berasal dari NNA tidak akan diakui oleh PBB.
Sejarah toponimi di Indonesia ditandai dengan beberapa hukum yang terjadi pada
saat itu yaitu :
- 1957 : Djuanda Declaration, Indonesian as an archipelago state
- 1982 : Convension of the Law of the Sea UNCLOS III
- Laws No. 1/1973 Continental Shelf
- Laws No. 5/1983 ZEE
- Laws No. 17/1985 Indonesian Yurisdiction
- Laws No. 6/1996 Indonesian Waters Geological Condition
9
Bagi kegiatan survey dan pemetaan, kesalahan penulisan nama tempat juga dapat
menyebabkan kesalahan orientasi dan menimbulkan kebingungan bagi pengguna peta.
Nama-nama geografis yang tepat dan benar sangat penting bagi pengelenggaraan
administrasi pemerintahan. Untuk setiap provinsi, kabupaten dan kota tentunya sudah harus
memiliki nama-nama wilayah administrasi yang resmi digunakan oleh pemerintah pada
saat ini. Selain itu juga harus mendata seluruh proses perubahan nama pada kurun waktu
tertentu, serta pemberian nama baru serta nama lain yang dikenal selain nama resmi yang
ada.
10
Nama-Nama Geografi Antar Instansi tengah menggodok naskah yang dipersiapkan sebagai
dasar hukum terbentuknya KNGI dalam bentuk Keppres.
Fakta yang ada di Indonesia pada tahun 2002 telah terjadi kampanye pemberdayaan
dan pengelolaan kawasan/daerah gencar dilakukan secara nasional sehingga diperlukan
format pengelolaan nama suatu tempat (toponimi) mengingat data yang sudah ada relative
masih minim sehingga masih perlu dikembangkan. Kondisi ini juga dipicu dengan
diundangkan UU Otoda, sehingga setiap wilayah/daerah harus melakukan survey dan
pemetaan dengan benar.
Isu isu actual yang ada di Indonesia saat ini adalah :
- Bidang toponimi belum dikenal secara baik oleh masyarakat
- Peran dan fungsi bidang toponimi belum diakui oleh masyarakat
- Masalah sosial, ekonomi, politik, agama, sudah saling berinteraksi sehingga tidak
dapat dipisahkan dan adanya permasalahan dunia seperti kemiskinan, energi,
bencana alam, lingkungan membutuhkan suatu sistem informasi yang komprehensif
dan mudah penggunaannya.
- Belum adanya sosialisasi dan disiminasi peran dan manfaat toponimi dalam
pembangunan di Indonesia melalui metode komunikasi masyarakat secara benar.
- Belum adanya standarisasi-standarisasi yang berkaitan dengan pengembangan dan
pemanfaatan toponimi.
- Perlu penyusunan dan pengembangan sistem pendukung keputusan berbasis
toponimi yang dapat dipakai dalam pembangunan berkelanjutan.
- Perlu pembuatan produk perangkat lunak dan perangkat keras untuk toponimi yang
dapat dipakai oleh stakeholder secara murah dan mudah.
- Pembuatan data base secara nasional yang mudah diakses, murah, aplikable dan
berdaya guna sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional
Sedangkan permasalahan yang berkaitan dengan pemberian nama rupa bumi adalah
:
- Masih banyak daerah yang belum bernama, yang sudah bernama belum
diinventarisasi dengan baik dan belum dibakukan sesuai dengan prosedur yang
benar.
11
- Implikasi pemekaran daerah propinsi/kabupaten menyebabkan
perubahan/beralihnya pembinaan wilayah dari daerah induk ke daerahyang
dimekarkan.
- Belum adanya keseragaman publikasi tentang jumlah dan nama2, gazetir nasional
belum ada, masih terserak diberbagai institusi.
- Belum mantapnya pola pembinaan, kurang juknis, juklak dsb.
- Belum mantapnya pembinaan sumber daya manusia
- Kesadaran mengenai pentingnya toponimi masih perlu ditingkatkan
- Belum adanya NNA
- Kesadaran (politic will) dari pemerintah Negara12e masih rendah jika dilihat dari
pentingnya peran toponimi
- Identifikasi masalah dan kebutuhan pembangunan pada tingkat Negar, regional dan
nasional yang memanfaatkan pentingnya toponimi masih belum baik dan
cenderung tidak berkesinambungan antar program
- Masalah jejaring pengembangan toponimi di beberapa institusi pemerintah dan
swasta, dimana masing-masing mempunyai kompetensi yang berbeda-beda masih
belum efektif
- Pendayagunakan semua potensi, sumber dan kompetensi yang berkaitan dengan
toponomi di masing-masing institusi belum baik
- Pemasyarakatan peran dan manfaat toponimi dalam pembangunan kewilayahan
belum memadai dan bersifat parsial
12
- Optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan serta pembangunan kawasan/daerah itu
sendiri.
- Memiliki nilai strategis khususnya wilayah perbatasan yang dijadikan titik dasar
penarikan garis pangkal dari batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
- Mengurangi konflik antar wilayah maupun antar Negara.
Nama lokal merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan sehingga
inventarisasi nama-nama harus menemukan kembali nama-nama asli dari suatu tempat untuk
dijadikan nama aslinya. Bukan hanya nama asli atau nama spesific yang harus dipertahankan
tapi juga nama generik yang ada. Nama generik di Indonesia cukup banyak, bukan hanya
karena banyaknya unsur generik tersebut tapi juga karena perbedaan sebutan untuk tiap unsur
generik di tiap daerah.
Walaupun di setiap peta umumnya dicantumkan terjemahan nama unsur generik
dalam bahasa lokal ke dalam Bahasa Indonesia, akan tetapi perbedaan penyebutan ini
terkadang masih tetap membingungkan karena bayaknya variasi nama yang ada. Terkadang
dalam satu lembar peta skala 1:50.000 ditemukan beberapa perbedaan penyebutan untuk satu
unsur generik.
Bukan hanya pengguna peta saja yang mengalami masalah karena banyaknya nama-
nama generik ini, banyak bidang yang tugasnya terkait dengan nama-nama geografis akan
mengalami hal serupa. Misalnya pos dan telekomunikasi, pariwisata, bahkan pemerintah pun
dapat mengalami kesulitan dalam mendata dan mengatur daerahnya. Untuk itu sangat penting
dan mendesak untuk melakukan inventarisasi nama-nama geografis yang merupakan
kekayaan bangsa untuk dikumpulkan dalam suatu basis data yang terorganisir dengan baik.
Penggunaan dan penulisan nama resmi oleh media masa sering kali tidak konsisten
dan tidak tepat sehingga menimbulkan kesalahan informasi. Dengan demikian maka
pembakuan dan pengelolaan nama-nama geografis merupakan hal penting dan mendesak
untuk dilakukan di Indonesia saat ini.
Peran Data Toponim Maritim Dalam Mendukung Pertahanan dan Keamanan
Negara di Laut. Data tentang wilayah merupakan bagian yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pertahanan negara. Agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam
setiap gelar operasi data tentang wilayah harus memuat informasi yang lengkap dan detil.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya data dan informasi (unsur-unsur geografi)
13
tersebut harus jelas penunjukannya artinya harus diberi nama secara baku (standar)
sehingga bila digambarkan dalam peta apapun oleh siapapun tetap menggunakan nama
yang sama (telah dibakukan). Oleh karena itu dua yang hal sangat penting dalam informasi
medan operasi meliputi:
1. Kelengkapan Data
Penguasaan medan merupakan bagian yang sangat penting dalam pertahanan
negara. Informasi tentang medan utamanya diwujudkan dalam bentuk informasi spasial
berupa peta. Penguasaan medan sangat tergantung kelengkapan data/informasi yang
tergambar di peta. Kelengkapan data dan informasi disini menyangkut tingkat kedetilan
penggambaran dan penyebutan unsur-unsur geografi. Sebagai negara dengan wilayah yang
sangat luas dengan kondisi medan yang sangat kompleks dan sulit serta kondisi iklim
dengan hujan tinggi, tidaklah mudah untuk memetakan seluruh wilayahnya secara detil.
Sehingga kendala utama yang dihadapi saat ini adalah masih sangat banyaknya unsur-
unsur geografi yang belum terpetakan secara baik dan belum diberi nama. Keadaan
demikian tentu dapat menjadi kendala besar bila peta tersebut diaplikasikan dalam kegiatan
operasi pertahanan.
2. Standarisasi Data
Peta adalah sarana penting dalam setiap gelar operasi. Peta yang memuat unsur-
unsur dengan penamaan/penyebutan yang standar sangat diperlukan. Di dalam kegiatan
operasi pertahanan digunakan berbagai jenis peta yang dikeluarkan oleh berbagai instansi
yang digunakan. Sebagai contoh peta militer/ peta tempur dibuat dari kompilasi beberapa
peta (peta darat dan peta laut). Dalam proses penggabungan ini akan menjadi masalah bila
nama-nama unsur-unsur geografi tidak standar karena ketiadaan pedoman yang digunakan
oleh masing-masing instansi pembuat peta. Sebagai mana diketahui disamping banyaknya
unsur-unsur geografi yang belum diberi nama, unsur geografi yang sudah bernamapun
belum dilakulan pembakuan/pengadministrasian secara baik dan resmi sehingga masih
banyak terdapat kerancuan (perbedaan penyebutan). Dalam kegiatan operasi pertahanan
perbedaan penyebutan unsur-unsur geografi bisa menjadi persoalan misinformasi yang bisa
menimbulkan kerugian yang dapat berujung pada kekalahan.
Dalam konsiderans tim nasional pembakuan nama rupa bumi dikatakan bahwa :
14
- Sebagian besar rupa bumi yang merupakan bagian fisik alami dari rupa bumi
Indonesia maupun rupa bumi b uatan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI belum
bernama dan yang sudah bernama masih memerlukan pembakuan.
- Untuk menjamin tertib administrasi wilayah dalam kerangka NKRI perlu segera
ditempuh langkah konkrit untuk membakukan nama rupa bumi.
- Dalam rangka pemberian nama bagian rupa bumi dan perubahannya sebagaimana
dimaksud dalam Ps 7 (2) UU 32/2004 perlu dilakukan pembakuan nama rupa bumi.
Tujuan pembakuan nama rupa bumi adalah untuk :
- Mewujudkan tertib administrasi di bidang pemberian dan pembakuan nama rupa
bumi di Indonesia.
- Menjamin tertib administrasi wilayah dalam kerangka NKRI
- Mewujudkan adanya gasetir nasional, sehingga ada kesamaan pengertian mengenai
rupa bumi di Indonesiua.
- Mewujudkan data dan informasi akurat mengenai nama rupa bumi di seluruh
wilayah NKRI, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun
internasional.
Untuk melakukan koordinasi telah dibentuk tim nasional pembakuan nama rupa
bumi yang terdiri dari :
- Mendagri : Ketua merangkap anggota
- Menhan, Menlu, Mendiknas : Anggota
Didaerah juga dibentuk panitia pemberian dan pembakuan nama rupa bumi tingkat
provinsi, kabupaten dan kota.
Wewenang timnas adalah :
- Menetapkan prinsip2, prosedur dan pedoman pembakuan nama2 rupa bumi
- Membakukan secara nasional nama, ejaan dan ucapan unsur rupa bumi di Indonesia
dalam bentuk gasetir nasional
- Mengusulkan gasetir nasional untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan RPP
mengenai pembakuan nama rupa bumi di Indonesia
- Memberikan pembinaan dan dukungan teknis kepada pemda dalam kegiatan
inventarisasi, penamaaan, perubahan dan pembakuan nama rupa bumi
- Mewakili Indonesia dalam sidang sidang badan di lingkungan PBB yang tugasnya
berkaitan dengan penamaan dan pembakuan nama rupa bumi.
15
Diharapkan seluruh kegiatan toponimi di Indonesia dapat berjalan baik, sistematik
dan koordinatif sehingga harapan banyak pihak sebagai pengguna peta untuk mendapatkan
informasi yang akurat dan lengkap tentang segala unsur di bumi Indonesia dapat terwujud
serta dapat diminimalkan kesimpangsiuran informasi karena tidak adanya otoritas maupun
standar penamaan unsur-unsur geografi.
16
BAB II. RUANG LINGKUP
Semua obyek di permukaan bumi secara umum dapat dibedakan menjai dua yaitu
alam, buatan dan administratif. Sedangkan untuk penamaanpun, tentunya dibedakan seperti
itu.
Yang dimaksud dengan “nama unsur rupabumi” (nama rupabumi) adalah nama-
nama unsur alam, unsur buatan dan unsur administratif. Unsur alam berada di darat dan di
laut (maritim) seperti gunung, pegunungan, bukit, lembah, pulau, laut, selat, hutan, muara,
teluk, palung, gunung bawah laut, basin laut, dll.
Dan untuk unsur buatan adalah kawasan pemukiman, jalan raya, jalan tol,
bendungan, bandar udara, pelabuhan, dll. Sedangkan nama unsur administrative adalah
seperti provinsi, kabupaten, kecamatan, desa dst, selain itu ada Kawasan Situs Purbakala,
Taman Nasional, Kawasan Konservasi, Kawasan Lindung, dsb (di darat dan di laut).
2.2. Alam
Yang dimaksud alam disini adalah semua fenomena dipermukaan bumi yang
terbentuk/terjadi karena proses alam, baik dalam waktu yang panjang maupun pendek.
Untuk ini dibedakan menjadi dua yaitu statis dan dinamis.
17
(Jawa Tengah), Gr: Geger (Jawa Tengah), Pr : Pasir (Jawa Barat), Pk : Puntuk (Jawa
Timur) dan sebagainya.
Dari analisis spasial dapat terlihat kecenderungan arah aliran lahar dan material
letusan sehingga dapat ditentukan daerah rawan bencana. Hasil overlay antara daerah
rawan bencana dengan posisi unsur-unsur geografis tersebut dapat diketahui berapa jumlah
desa kampung, desa dan kecamatan yang potensial untuk terkena bencana. Beberapa
contoh toponomi di wilayah gunung yaitu antara lain di sekitar Gunung Soputan (1783 m)
adalah salah satu gunung berapi di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Secara administratif
Gunung Soputan terbagi di tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Tombatu dan
Tombasian, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kecamatan Langowan di Kabupaten
Minahasa. Seorang misionaris Belanda pada pertengahan abad ke-19 bernama N.
Graafland, pernah menulis bahwa Minahasa menarik karena bukit dan gunung-gunungnya
yang seakan-akan bermunculan dari permukaan laut. Pada kenyataannya Minahasa adalah
daerah yang seluruhnya terdiri dari pegunungan. Selain Gunung Soputan juga terdapat
Gunung Lokon (1579 m), Gunung Mahawu (1331 m), Gunung Tangkoko (1149 m).
Gunung Soputan merupakan gunung berapi yang cukup aktif, ini dibuktikan dari catatan
letusannya dari tahun 1785 sampai 2000 sebanyak 25 kali.
Analisis peta menunjukkan bahwa daerah rawan bencana berada di daerah sebelah
barat Gunung Soputan. Dari basis data toponim diperoleh nama-nama kampung yang
berada di sekitar daerah rawan bencana, misalnya Kotamenara, Ranoketangtua, Pinaling,
Woran, Lobu dan Silian Dua. Kampung-kampung tersebut berada di sebelah barat dan
berada dalam radius 16 km dari Gunung Soputan.
Gambar di bawah ini menunjukkan nama-nama pemukiman yang berada di lereng
sebelah barat Gunung Soputan. Selain itu juga terdapat beberapa unsur geografis seperti
sungai, bukit dan sebagainya.
18
Gambar 2. Permukiman Disekitar Gunung Soputan
(Titik Suparwati dan Ryan Pribadi, 2007).
19
yang merupakan suami dari Poriwuan. Sebelum abad ke-tujuh, masyarakat Minahasa
berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian
wanita (pemimpin agama) yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan.
Nama Soputan ini sampai saat ini merupakan salah satu nama keluarga atau fam di
Minahasa. Apakah Gunung Soputan merupakan tempat dari mana leluhur fam ini berasal
sehingga nama fam tersebut identik dengan nama gunung, hal tersebut masih memerlukan
penelusuran yang terperinci dan mendalam. Menurut situs online lainnya disebutkan bahwa
arti kata Soputan yang berasal dari bahasa Kawanua yang berarti letusan.
Nama Minahasa sendiri menurut berasal dari bahasa Tombulu yang berarti
disatukan atau telah bersatu. Minahasa berasal dari kata dasar asa atau esa yang dibubuhi
awalan ma dan sisipan in, sehingga menjadi mina-esa. Lama kelamaan berubah menjadi
Minahasa (Graafland, 1898). Nama Minahasa yang berarti telah disatukan, berasal dari
suatu legenda yang dipercaya masyarakat setempat. Dalam legenda itu dikisahkan bahwa
dahulu kala leluhur-leluhur mereka berkumpul untuk suatu musyawarah besar
membicarakan pembagian wilayah yang adil bagi seluruh kelompok yang terdapat di sana.
Setelah hasil musyawarah tersebut disepakati, maka kelompok-kelompok masyarakat
tersebut menempati wilayah-wilayah yang telah ditetapkan. Berdasarkan kejadian inilah
nama Minahasa tersebut muncul.
Contoh lain adalah toponimi di sekitar Gunung Kelud yang merupakan salah satu
gunung api yang masih aktif di Indonesia. Gunung Kelud terletak di 27 km sebelah timur
dari kabupaten Kediri provinsi Jawa Timur dengan posisi koordinat geografis 7°56" LS
112°18,5" BT. Secara geografis gunung Kelud terletak di pantara perbatasan Kabupaten
Kediri, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang. Gunung Kelud merupakan gunungapi
dengan tipe Strato andesit dan memiliki danau kawah yang terletak di Kecamatan Ngancar,
Kabupaten Kediri dengan ketinggian 1731 mdpl.
Gunung Kelud dalam sejarah letusannya sejak abad ke 15 sudah memakan korban
jiwa lebih dari 15.000. Pada tahun 1586 tercatat 10.000 orang meninggal dunia. Pada saat
itu gunung Kelud diperkirakan memiliki kekuatan Volcanic Explosivity Index (VEI) : 5
yang kira-kira setara dengan letusan gunungapi Pinnatubo pada tahun 1991. Pada abad ke
20 tercatat gunung Kelud mengalami letusan sebanyak 4 kali yaitu tahun 1901, 1919, 1966,
1990. Sehingga siklus letusan bisa diprediksikan 15 tahunan sekali. Pada tahun 2007 ini
gunung Kelud kembali menunjukkan aktivitasnya tetapi tidak sampai menimbulkan letusan
20
yang sifatnya destruktif. Gunung Kelud merupakan gunungapi yang memiliki karakteristik
yang unik yang berbeda dengan gunungapi yang lain. Salah satu keunikannya adalah
gunung Kelud memiliki danau kawah. Danau kawah ini terbentuk pada saat terjadinya
letusan dahsyat pada tahun 1586 yang diperkirakan hampir semua karakter erupsi
gunungapi terjadi (Central vent eruption, Crater Lake eruption, Explossive eruption, and
Fatalities, Damage (land, property, etc) dan Mudflows (lahars). Dan danau kawah ini
diperkirakan memiliki kedalaman 600 meter dan mampu menampung air hingga 40 juta
m3. Untuk mengurangi besarnya tampungan air pada lubang kawah gunung Kelud ini,
pada jaman Belanda dibangunlah terowongan yang berfungsi untuk mengurangi air danau
kawah hingga sebanyak 4,3 juta m3. Karakteristik inilah yang menyebabkan gunung Kelud
tidak bisa diprediksi kapan akan meletus seperti halnya letusan gunung Merapi di
Yogyakarta.
Gunung Kelud dalam bahasa Jawa berarti gunung yang apabila meletus akan
menyebabkan daerah di sekitarnya tersapu oleh arah letusan gunungnya yang menyebar ke
segala arah. Kelud dalam Bahasa Jawa bermakna `sapu` atau `kemucing atau sulak`.
Ciri khas nama geografi di daerah ini adalah sebutan untuk sungai yang disebut
Kali, misalnya Kali Putih, Kali Lahar, Kali Sloro, dan sebagainya. Sementara sebutan
dalam bahasa lokal yaitu Bahasa Jawa umumnya sudah melebur ke dalam Bahasa
Indonesia.
Berikut ini adalah beberapa nama-nama kampung yang berada pada lereng Gunung
Kelud, yang diperoleh dari basis data toponim. Nama-nama tersebut dan posisinya
merupakan informasi spasial penting dalam penanggulangan bencana gunung berapi.
21
Gambar 3. Permukiman Disekitar Gunung Kelud
(Titik Suparwati dan Ryan Pribadi, 2007).
22
Berdasarkan informasi nama-nama unsur geografis tersebut, pemerintah dapat
merencanakan langkah-langkah penting selanjutnya, misalnya evakuasi terhadap penduduk
kampung dan desa-desa yang berada di daerah rawan bencana, mengumumkan nama
sungai-sungai yang mungkin teraliri lahar, serta informasi penting lanilla yang terkait nama
tempat dan posisinya.
Contoh lain toponimi gunung adalah toponim di sekitar Gunung Krakatau.Asal-usul
nama Krakatau sendiri sampai saat ini kurang jelas. Belum ditemukan dokumen-dokumen
kuno dan catatan-catatan sejarah yang menyebutkan dengan pasti arti kata Krakatau dan
berasal dari bahasa apa. Simon Wenchester, geologist Inggris dalam bukunya Krakatoa,
The Day The World Exploded (orang Inggris menyebutnya Krakatoa kemungkinan karena
kesamaan bunyi dengan kata asal), menduga bahwa Krakatau berasal dari tiga kata dalam
Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno yaitu karta-karkata, karkataka dan rakata yang berarti
udang atau kepiting. Bisa jadi sebelum meletusnya, pulau gunung ini merupakan habitat
kepiting dan udang. Kemungkinan inilah yang paling logis diterima sebagai asal usul nama
Krakatau dibandingkan beberapa cerita lainnya.
Krakatau adalah gunung berapi yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara
pulau Jawa dan Sumatra. Gunung berapi ini pernah meletus pada tanggal 26 Agustus 1883.
Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000
jiwa.
23
Gambar 4. Bekas Letusan Disekitar Gunung Krakatau
(Titik Suparwati dan Ryan Pribadi, 2007).
Gambar diatas menunjukkan bekas letusan Gunung Krakatau. Saat ini muncul
gunung api baru dari bekas letusan Gunung Krakatau tersebut yaitu Gunung Anakkrakatau,
serta pulau-pulau kecil disekitarnya yang merupakan sisa-sisa Gunung Krakatau Purba,
yaitu Pulau Sertung, Pulau Krakatau Kecil dan Pulau Krakatau.
24
laut, selat, teluk; unsur geografi dibawah permukaan laut/air, gunung bawah laut (sea
mount), lembah, sesar, pematang (ridges, rises), maupun unsur buatan meliputi jalan,
jembatan, terowongan; waduk, terusan; desa, kampung, kota; tugu, candi, monument,
mercusuar; kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi; kawasan perumahan,
kawasan industri, kawasan militer; fasilitas umum, fasilitas sosial.
Permasalahannya selama ini, unsur geografis di wilayah Indonesia, baik unsur
alam maupun unsur buatan sebagian besar masih belum bernama. Unsur-unsur yang sudah
bernamapun sampai saat ini belum dibakukan dan belum dilakukan pengadministrasian
secara sistematis dalam bentuk dokumen resmi pemerintah. Karena itu sering muncul
permasalahan yang bisa membingungkan seperti terdapatnya nama-nama yang sama di
berbagai wilayah bahkan dalam satu wilayah (kasus di Kepulauan Riau), maupun satu
unsur geografi diberi nama yang berbeda-beda oleh berbagai pihak sebagaimana kasus di
Kepulauan Seribu, banyak pulau yang sudah berganti nama atau tidak sesuai dengan nama
aslinya (nama di peta) karena pertimbangan komersial yaitu perubahan fungsi menjadi
kawasan resort. Selain itu yang menjadi kendala di Indonesia peta yang digunakan masih
lama, sehingga harus selalu direvisi.
25
Disamping itu Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga telah membuat
Buku Panduan Survei Toponimi Pulau-Pulau di Indonesia, dan saat ini DKP bekerja sama
dengan beberapa Instansi terkait (Depdagri, Bakosurtanal, Janhidros, Dittopad) tengah
melaksanakan survei guna mengidentifikasi dan memberi nama pulau-pulau yang belum
bernama. Hasil survei tersebut selanjutnya diserahkan ke Depdagri yang direncanakan
menjadi instansi yang ditunjuk sebagai pemegang Otoritas Nama-Nama Geografi
Indonesia untuk mendapatkan pengesahan. Pelaksanaan survei Toponimi juga dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dengan bimbingan teknis dari Pemerintah Pusat (Depdagri, DKP,
Bakosurtanal, Janhidros dan Pusat Penelitian Geologi Kelautan). Karena itu daerah harus
membentuk tim survei Toponimi yang terdiri dari unsur-unsur Pemda, Perguruan Tinggi
dan masyarakat.
Kondisi aktual yang terjadi saat ini dalam toponimi maritim atau kelautan, dapat
dijelaskan dalam kronologis dibawah ini.
- 2002 : Arti penting data pulau, pasca peristiwa Sipadan – Ligitan
- 2003 :Terbentuknya Working Group Toponim Pulau (BRKP, Ditjend P3K, Ditjend
PUM – Depdagri, BAKOSURTANAL, LAPAN, PPGL – ESDM, Dishidros TNI
AL, CRMP)
- 2003 : Terbitnya Panduan Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia
(Negara26e26or BRKP)
- 2004 – 2007 : Sosialisasi dan Workshop Regional Toponim Pulau (Koordinator
Ditjend KP3K)
- 2005 – 2007 : Survei Toponim Pulau di 33 Propinsi (Koordinator Ditjend KP3K)
- 2005 : Workshop and Training UNGEGN di Malang (Koordinator
BAKOSURTANAL) Mempromosikan Toponim Teluk, Tanjung dan Selat
(Koordinator BRKP). Mempromosikan Toponim Bawah Air (Koordinator PPGL –
ESDM)
- 2006 : Draft KepPres tentang Panitia Nasional Penamaan Unsur Rupabumi
(Koordinator Depdagri) The 13th Asia South East and Pacific South West Divisional
Meeting UNGEGN di Jakarta (Koordinator BAKOSURTANAL). (Indonesia
terpilih sebagai ketua divisi periode 2006-2009). Menyelesaikan Panduan Survei
26
Toponim Teluk, Tanjung dan Selat (Koordinator BRKP). Menyelesaikan Panduan
Survei Toponim Bawah Air (Koordinator PPGL – ESDM).
Khusus mengenai toponimi maritim, Janhidros dalam setiap kegiatan surveinya
juga melakukan kegiatan pengecekan maupun pemberian nama unsur-unsur geografi yang
belum tercantum di peta laut dengan persetujuan pemerintahan setempat. Kegiatan
toponimi maritim juga secara intensif sedang dirintis oleh Pusat Penelitian Geologi
Kelautan dan instansi terkait yaitu melakukan penamaan unsur-unsur geografi maritim dan
bawah air seperti palung (trenches), lembah (basins), gunung bawah laut (sea mounts),
patahan (faults) dan sebagainya.
27
Pasang Surut, buku-buku Informasi Lingkungan Laut seluruh Indonesia dan sebagainya.
Peta-peta dan buku-buku untuk kepentingan pertahanan berisi segala informasi tentang
daerah operasi dengan menyebutkan nama unsur-unsur geografi. Oleh karena itu, segala
informasi (nama unsur geografi) yang dikandung dalam produk peta maupun buku yang
digunakan ketiga matra (darat, laut, udara) harus sama guna menghindari ketidak-jelasan,
sebagai contoh kasus sebuah pulau yang dalam peta laut disebut dengan nama P Breueh
dan di peta lain disebut sebagai P Nasi.
Seperti yang kita ketahui bahwa sampai saat ini bidang toponym maritime masih
mempunyai beberapa permasalahan antara lain :
• Masih banyak pulau yang tak bernama
• Masih banyak selat, laut dan tanjung yang tak bernama
• Masih banyak unsur bawah laut yang belum bernama dan batas-batas namanya
• Masih perlu ditentukan batas laut dan selat yang jelas
• Misalnya:
– Di mana batas selat Sunda dan laut Jawa
– Di mana batas Laut Jawa dan Laut Flores
– dst
• Perlu ditetapkan lembaga yang meng-administrasi laut, termasuk pendaftaran persil
laut
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) telah melakukan pembuatan Basisdata Toponim Pulau yang meliputi data dan
informasi:
– ID Pulau
– Nama Pulau
– Koordinat dalam Long/Lat ; bentuk desimal 6 dijit di belakang koma
– Wilayah Administrasi ; kabupaten/kota
– Deskripsi ; informasi tentang makna nama pulau
– Status ; status pulau apakah sudah teregistrasi di Gazetter
– Sumber ; sumber pemberi informasi
– Informasi Keragaan ; foto pulau
– Informasi survei; tanggal survei dan surveyor
28
Untuk menghindari adanya duplikasi atau tumpang tindihnya pekerjaan toponimi, maka
perlu adanya ID dari pulau secara unik, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
pengguna basis data saat melakukan integrasi data dari berbagai sumber yang digambarkan
dibawah ini.
ID PULAU
ID PULAU Basis Data
Toponim Pulau
Basisdata
Sosek Pulau
(BPS)
ID PULAU ID PULAU
ID PULAU
Basisdata Basisdata
…….. Basisdata
Biodiversity Spasial Pulau Kelautan &
Pulau (LIPI) (Bakosurtanal) Perikanan
(DKP)
2.2. Administrasi
2.2.3. Pemerintahan (propinsi, kabupaten, kota dsb)
Untuk mendukung kebijakan toponomi nasional dalam mendukung tertib
administrasi pemerintahan. Dari basis data nama-nama geografis dapat dilihat nama-nama
pemukiman; kampung, desa, kecamatan, posisinya serta jumlahnya. Sangat penting untuk
diketahui selain posisi geografis dan administratif dari kampung, desa dan kecamatan
tersebut, juga informasi nama yang benar dari obyek yang bersangkutan. Bisa dibayangkan
29
kekacauan yang dapat terjadi jika pemerintah salah mengumumkan nama kampung yang
penduduknya dikatagorikan sebagai daerah rawan pangan atau rawan bencana. Kesalahan
nama juga dapat mengakibatkan kesalahan pengiriman bantuan dan kebingungan petugas
di lapangan. Ini belum termasuk kebingungan terhadap informasi yang diterima dari media
massa yang salah menyebutkan nama tempat yang bersangkutan. Singkatnya kesalahan
nama geografis ini dapat menyebabkan kesulitan yang tidak sedikit.
Penamaan suatu wilayah administrasi tidak terlepas dari sejarah tempat yang
bersangkutan yaitu misalnya suatu tempat yang memiliki nilai dan kesan mendalam pada
suatu komunitas masyarakat akan dikenang dan diabadikan melalui nama yang
mengingatkan mereka pada kejadian tersebut. Bisa juga nama-nama tempat yang berasal
dari suatu legenda atau cerita rakyat yang berkembang di suatu masyarakat. Legenda ini
diceritakan secara turun temurun dan terkadang menjadi identitas suatu masyarakat
sehingga nama tempat akan sangat terkait dengan masayarakat yang bermukim di daerah
tersebut. Atau bisa juga karena fenomena alam yang spesifik dapat menjadikan suatu
daerah memiliki nama yang unik.
Contoh pada saat kemunduran Majapahit, kitab Pararaton mencatat (Brandes, 1896:
“Pararaton” , 1920 diedit oleh N.J. Krom) : Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut
“BANYU PINDAH” (terjadi tahun 1256 Caka atau 1334 M) dan “PAGUNUNG
ANYAR” (terjadi tahun 1296 Caka atau 1374 M). Secara harafiah, Banyu Pindah=Air
Pindah, Pagunung Anyar = Gunung Baru. Penelitian selanjutnya (Nash, 1932) telah
menemukan bukti-bukti bahwa telah terjadi berbagai deformasi tanah yang pangkalnya
adalah bukit-bukit Tunggorono di sebelah selatan kota Jombang sekarang, kemudian
menjalar ke timurlaut ke Jombatan dan Segunung. Akhirnya gerakan deformasi tersebut
mengenai lokasi pelabuhan Canggu di sekitar Mojokerto sekarang, lalu makin ke timur
menuju Bangsal . Di dekat Bangsal ada sebuah desa yang namanya GUNUNG ANYAR.
Begitu juga di tempat pangkal bencana terjadi di selatan Jombang ada nama desa serupa
yaitu DENANYAR yang semula bernama REDIANYAR yang berarti gunung baru. Nama
GUNUNG ANYAR juga dipakai sebagai nama sebuah kawasan di dekat Surabaya adalah
sebuah mud volcano. Apakah bencana alam yang memundurkan era keemasan Majapahit
yang dalam kitab Pararaton disebut bencana “Pagunung Anyar” adalah bencana-bencana
terjadinya erupsi jalur gununglumpur dari selatan Jombang-Mojokerto-Bangsal? Jalur itu
membentuk jarak sepanjang sekitar 25 km. Erupsi gununglumpur inilah yang
30
mengganggu kehidupan di Majapahit pada akhir tahun1300-an dan pada awal 1400-an.
Serangan fatal mungkin terjadi karena rusaknya pelabuhan Canggu di dekat Mojokerto,
sehingga Majapahit yang merupakan kerajaan maritim menjadi terisolir dan
perekonomiannya mundur. Zaman itu, Canggu di Mojokerto masih bisa dilayari dari laut
sekitar Surabaya sekarang.
Nama dan toponimi berhubungan erat. Dasar inilah yang digunakan Purbacaraka
untuk menentukan letak Bekasi atas dasar Prasasti Tugu.
Selanjutnya tentang ada beberapa pengertian: “Toponimy is the study of toponimis”
(Random House Dictionary, 1968: 1386). M.J. Koenens (1938 – 1038) mengatakan bahwa
toponimi adalah pengetahuan tentang nama-nama (plastsnamen kunde). Arti dari kedua
pendapat tersebut antara lain ialah ilmu yang bergerak dalam pengetahuan tentang
penelitian nama-nama tempat. Dari kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa
dengan pengetahuan toponimi kita dapat menentukan atau menunjukkan nama-nama atas
tempat-tempat tertentu dan akhirnya dapat kita tentukan peta geografisnya. Dengan
toponimi pula kita dapat menentukan pola-pola berpikir dan merasa diri penduduk di suatu
tempat atau lokal atau daerah tertentu pula pada suatu waktu. Bahkan nama suatu tempat,
desa atau kota saja dibuatkan suatu cerita untuk mengesahkan tentang nama tempat, desa
atau kota tersebut.
Beberapa contoh dapat untuk menunjukkan pola berpikir masyarakat suatu daerah.
1. Nama Surabaya adalah gabungan antara dua kata ”sura” dan ”baya”, menurut
legenda masyarakat, di tempat ini pernah terjadi perkelahian antara ikan ”sura” dan
buaya ”baya” yang memperebutkan wilayah untuk mencari makan, yang pada
awalnya sudah disepakati bahwa ikan ”sura” hanya di air (laut) sedangkan buaya
”baya” hanya di darat (sungai), tetapi karena ketidakjelasan batas wilayah akhirnya
mereka berkelahi dan keduanya mati, dari sini bisa dilihat bahwa daerah ini
mempunyai lingkungan yang berupa rawa-rawa. Namun dalam pengertian yang
lebih heroik, Surabaya di artikan sebagai ”sura” adalah berani, ”baya” bahaya,
berani dalam menghadapi bahaya.
2. Nama Banyuwangi, terjadi dari suatu cerita seorang bangsawan yang membunuh
istrinya yang tidak bersalah. Sebelum meninggal istrinya, berkata “Apabila air
sungai ini berbau wangi (harum) pertanda bahwa saya tidak bersalahi. Demikianlah
31
benar-benar air sungai itu berbau harum, dan bangsawan itu berteriak
„Banyuwangi‟ yang akhirnya menjadi nama kota di Jawa Timur itu.
3. Semarang, terjadi karena di situ dahulu menjadi pusat penimbunan buah asam
(asem) dan arang (Asem) dan arang menjadi Asemarang-Semarang).
4. Boyolali berhubungan dengan cerita Kyai Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat)
dalam perjalanannya dari Semarang akan berzirah ke makam di Jabalkat
(Tembayat). Dalam cerita tersebut muncul nama-nama: Gombel, Srondol, Ungaran,
Salatiga, Boyolali, Teras, Majasanga, Banyudana, dan sebagainya.
5. Begitu pula tentang nama-nama Tangkuban Perahu, Tegal Arum, Weleri, Kali
Wungu, Dieng (Dihyang), Magelang, Banyumas, dan sebagainya.
Beberapa nama tempat atau lokasi di kota Surabaya sudah sangat akrab dimana
nama nama ini didasarkan atas beberapa tradisi pemberian nama itu.
1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar seperti untuk daerah genangan yang secara
topografis memang rendah disebut : Kedungdoro, Kedung sari, Kedungcowek dsb. Dahulu
memang merupakan hutan seperti Wonokromo, Wonocolo, Wonosari, Wonokitri dan
sebagainya. Untuk daerah yang berbukit atau bergunung disebut dengan nama Gunungsari,
Pakisgunung dan sebagainya.
2. Dasar pemakaian lahan didaerah itu seperti dari awal memang menjadi daerah
pemukiman seperti Karangmenjangan, dan menjadi tambak seperti Tambakwedi,
Tambaklangon, Tambaksegaran, Tambaksari, Tambakrejo, Kebonbibit, Kebonrojo,
Pacuankuda dan sebagainya
3. Dasar pekerjaan atau keahlian penduduk yang bertempat tinggal didaerah itu seperti
tempat orang yang ahli dalam penggilingan disebut Pandaigiling, ahli dalam pekerjaan besi
disebut Pandean, ahli dalam pekerjaan kawat disebut Kawatan, tempat tinggal pejabat
(mayor) seperti Kemayoran, tempat lokalisasi Jepang disebut Kembangjepun dan
sebagainya.
4. Dasar kelompok dari nama tanaman yang tumbuh didaerah itu seperti Mojo, Bogen,
Waru dan sebagainya
5. Dasar kelompok situs archeologi yang ada didaerah itu seperti Kraton, Lawangseketeng,
Prapatkurung, Kramatgantung, Botoputih, Sidotopo dan sebagainya.
Beberapa nama tempat atau lokasi di kota Jakarta sudah sangat akrab dimana nama
nama ini didasarkan atas beberapa tradisi dan sejarah pemberian nama itu.
32
1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar seperti untuk daerah rawa rawa yang secara
topografis memang rendah disebut : Rawamangun, Rawasari, Rawabelong, Lebakbulus
dsb. Dan beberapa daerah yang menandai daerah itu adalah daerah genangan air (retensi)
seperti Cilangkap, Cilandak, Cikini, Cipete, Cinere dan sebagainya.
2. Dasar pemakaian lahan didaerah itu seperti sawah disebut Sawahbesar, Sawahpulo, dan
sebagainya
3. Dasar asal usul penduduk daerah itu seperti Kampung Melayu, Kampung Ambon,
Kampung China, Kampung Arab yang bertempat.
4. Dasar sejarah atau legenda yang ada didaerah itu seperti Matraman
dan sebagainya.
Untuk kota Sala (Solo) tempat tempat ini sudah sangat akrab dimana nama nama ini
didasarkan atas beberapa tradisi pemberian nama itu.
1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar: Sela, Wanasaba, Wonogiri, Semarang,
Karangbolong, Dalemreja, Sala, Jurang Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
2. Dasar harapan masa depan yang gemilang: Wanakerta, Kartasura, Surakarta,
Ngayogyakarta, Umbulreja, Sala, Jurong Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
3. Dasar penguasa atau orang terhormat di tempat itu: Singasaren, Jayanegaran,
Danukusuman, Pringgalayan, Purwapuran, Purwaprajan, Cakranegaran, Wiragunan,
Purwadiningrat, Yudanegaran, Reksoniten dan sebagainya.
4. Dasar kelompok Abdi Dalem di tempat itu: Gandekan Kiwa/Tengen,
Mertolulutan, Singanegaran, Miji Pinilihan, Saragenen, Jayatakan, Brajanalan, Kabangan,
Jagalan, Gajahan, Kepunton, Tamtaman, dan sebagainya.
Sehubungan dengan uraian ini, kata Surakarta adalah nama sebuah kota di daerah
Jawa Tengah Selatan yang dijadikan pusat kerajaan Mataram akhir dan Kasunanan
Surakarta. Kata Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama:
1. Bagi seorang seniman, nama kata ini disebutkan Kota Bengawan seperti halnya kota
Gudeg untuk Yogyakarta; Kota Kembang untuk Bandung, Kota Perjuangan untuk
Surabaya dan lain-lain.
2. Masyarakat pedesaan menyebutnya Nagari, sebab mengingat sejarahnya, kota ini dahulu
menjadi pusat pemerintahan (Kutha Negara Kerajaan, pusat kedudukan Raja.
3. Secara tradisional, kota ini disebut Kutha Sala, di mana Kutha berarti tempat yang
dikelilingi tembok tinggi (kutha negara). Disamping itu, penyebutan tersebut menunjukkan
33
kesederhanaan berpikir, sikap dan pandangan hidup orang Jawa. Ucapan Wong Sala lebih
dikenal daripada Wong Surakarta, seperti halnya Wong Majapahit, Wong Blambangan,
dan sebagainya.
4. Para wisatawan lebih senang menyebutnya Kota Solo, seperti lagu ciptaan Gesang, yaitu
Bengawan Solo, karena dinilai sebagai pusat budaya Jawa dengan sifat khas budaya
kejawen.
5. Secara administratif pemerintah (resmi) dan dalam sumber-sumber resmi tertulis, disebut
kota Surakarta atau Surakarta Hadiningrat.
Demikian uniknya Wong Sala atau Wong Jawa dalam soal nama.Pembahasan terhadap
tradisi pemberian nama baik orang maupun tempat akan mengangkat usaha menemukan
gejala-gejala masa lampau yang berproses menjadi hasil karya dalam bidang budaya
masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Maka dalam pembahasan tradisi pemberian nama
ini akan menyangkut pula masalah: pertama, kapan Kutha Sala tumbuh dan bagaimana
latar belakang sejarahnya yang kemudian berkembang menjadi Pusat Kebudayaan Jawa
dan Kerajaaan Surakarta Hadiningrat; kedua, latar belakang budaya yang manakah yang
melahirkan nama-nama perkampungan di kota Surakarta berbeda dengan nama-nama
perkampungan di kota-kota lain kerajaan Kejawen (Vorstenladen).
Kemungkinan yang agak sedikit spesifik adalah nama nama tempat di dalam kota
Bandung yaitu dengan nama nama Cihampelas, Cipaganti, Cilaki, Cicendo, Ciumbuleuit,
Cijagra, Cicadas, Ciwaruga, Cilamaya, Cicaheum dan sebagainya, semua diawalin dengan
kata ”Ci” yang berarti air. Sedangkan untuk daerah pinggiran dengan menggunakan kata
kata ”pasir” yang berarti bukit seperti Pasirkaliki, Pasirlayung, Pasirmalang, Pasirkoneng
dan sebagainya, apakah karena Bandung dahulu kala merupakan danau besar yang
dikelilingi bukit bukit? sehingga ini perlu ada pembuktian yang lebih lanjut tentang
toponimi daerah Bandung ini.
Selain itu untuk kota kota besar di Indonesia, pada umumnya mempunyai nama
nama daerah dengan sebutan yang sama seperti Alon Alon (lapangan di pusat kota),
Kauman, Kabupaten, Masjid, Penjara, Pasar, Stasiun, Kantor Pos, Pelabuhan, Pegadaian,
Pecinan, Kampung Arab dan sebagainya.
Dimensi toponimi dalam administrasi pemerintahan terdiri dari beberapa pranata
internasional melalui konvensi konvensi PBB, pranata nasional melalui UUD RI 1945, UU
32/2004 tentang Wewenang Pusat – Daerah, Pembinaan Pemberian Nama Rupa Bumi, UU
34
Sektoral lainnya seperti UU 17/1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982, UU 6/1996 tentang
Perairan Indonesia, Peraturan Pelaksanaan misalnya PP 38/2002 dan pranata yang bersifat
lokal yaitu hukum adat dan sejarah (legenda) lokal. Untuk melihat hubungan pranata
tersebut dapat dilihat seperti gambar dibawah ini.
UUDRI
1945
TOPONIMI
PERATURAN
UU 32 / 2004 WEWENANG
MISAL: PP 38/2002 PELAKSANAAN PUSAT – DAERAH,
PEMBINAAN PEM.AN DAE,
NAMA RUPS BUMI DG PP
UU – UU
LAINNYA/
SEKTORAL
35
- SE Mendagri No. 125.1/236/PUM tgl 5 Maret 2003 (meminta Gub/Bup/Walkot
utk koreksi nama pulau, koordinat, cakupan wiladmin dan pemberian nama bagi
pulau yang belum bernama.
- SE Mendagri No. 126/120/SJ tgl 17 Januari 2005 tentang percepatan penamaan
dan inventarisasi pulau.
- SE Mendagri No. 125.1/531/SJ tgl 16 Maret 2006 tentang permintaan kepada
Gub/Bup/Walkot untuk mempercepat pendataan dan penamaan pulau di Indonesia.
- Mempersiapkan Rancangan Perpres tentang NNA.
Sedangkan strategi yang digunakan secara sistematik digambarkan seperti gambar
dibawah ini.
SE MENDAGRI 125.1/531/SJ
2002/2003 16 MARET ‟06
17.504 PULAU 1.446 PULAU BERNAMA BARU
7.870 9.634 9.336 8.167
BERNAMA BELUM BERNAMA BERNAMA BELUM BERNAMA (
+ 8.38 %
36
2.2.4. Kawasan (situs purbakala)
Kawasan situs purbakala yang ada di Jawa Timur salah satunya adalah Kerajaan
Singhasari, Kitab Pararaton menggambarkan bahwa, ibu kota kerajaan ini mempunyai
balai kota, pesanggrahan, rumah pendeta Budha, dan beberapa bangunan kuil atau candi.
Bentang alam sebelah Timur berupa telaga alam, areal persawahan, dan perbukitan,
sebelah Barat merupakan hutan Nandawa, yaitu hutan negara untuk berburu binatang
[Slamet Mulyana, 1979], sayangnya kitab itu tak menjelaskan di mana Kota Singhasari itu,
tetapi melihat namanya yang mirip dengan “Singosari” nama salah satu kecamatan di
Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur, diperkirakan lokasi keraton berada di kecamatan
ini. Daerah Singosari dikenal sebagai kecamatan berhawa sejuk dan memiliki
pemandangan indah. Mengingat pesatnya perkembangan pemukiman di Kota Malang, ada
kemungkinan suatu saat terjadi alih fungsi sawah di kecamatan itu menjadi kompleks
rumah mewah. Tata ruang kompleks Keraton Singhasari terdiri dari (1) Sumber Air Ken
Dedes, (2) Kompleks hunian pembesar kerajaan, (3) Arca Dwarapala, (4) Aloon-aloon, (5)
Komplek Candi Singosari, (6) Kompleks Candi Papak, dan (7) Kompleks hunian para
perawat bangunan suci/ candi.
Dan sebagai contoh lain adalah kawasan situs purbakala kerajaan masa Hindu-
Budha di Jawa Timur adalah Kerajaan Majapahit, pada kakawin decawarnnana (uraian
desa-desa) atau yang lebih dikenal dengan nama kakawin Nagarakretagama (sejarah
pembentukan negara) ciptaan pujangga Mpu Prapanca pada tahun Saka 1287 bulan
Aswina atau tahun Masehi 1365 bulan September/Oktober pada pupuh 8 sampai dengan
12 digambarkan ibu kota Majapahit, tembok batu merah, tebal, tinggi, mengitari kota,
disebelah barat menghadap kelapangan luas yang dikelilingi selokan, disebelah utara
gapuranya indah permai, pintunya besi penuh berukir, disebelah timur pintu tersebut adalah
panggung luhur, alun-alun membujur dari utara ke selatan, disebelah selatan alun-alun
adalah jalan perempat. [Slamet Mulyana, 1979], sayangnya kakawin itu tak menjelaskan di
mana ibu kota Majapahit secara persis, tetapi melihat namanya yang mirip dengan
“Mojokerto” nama salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur, diperkirakan lokasi
keraton berada di kabupaten ini, atau tepatnya di Kecamatan Trowulan. Daerah Mojokerto
dikenal sebagai kabupaten yang memiliki lahan pertanian yang sangat subur dan
merupakan lembah dengan jaringan sungai yang sangat padat, terletak di tengah beberapa
kota yang berkembang sangat pesat sebagai sentra pertanian, industri dan perdagangan.
37
Mengingat pesatnya perkembangan pemukiman di Kota Mojokerto dan sekitarnya, ada
kemungkinan suatu saat terjadi alih fungsi sawah di kecamatan itu menjadi kompleks
perumahan dan industri.
Sedangkan nama situs yang ada di wilayah kerajaan Majapahit juga menunjukkan
adanya keterkaitan dengan archeologi dan sejarah, seperti Lingga Semu (Tugu Badas),
Yoni Naga (Tugu Klinterejo). Yoni Gambar (Tugu Sedah), Tugu Lebak Jabung (Jabung).
Gapura Wringin Lawang. Candi Gentong. Candi Brahu. Sitinggil. Kolam Segaran. Balong
Dowo. Makam Putri Campa, Candi Minakjinggo, Gapura Bajangratu, Candi Tikus, Situs
Pendopo Agung, Candi Kedaton, Sumur Upas, Lantai Segi Enam, Umpak 18, Makam
Troloyo, Umpak Grobokan.
38
BAB III. PERANAN LEMBAGA INTERNASIONAL
Tiap unsur rupabumi, harus diberi nama baku yang menyangkut nomenklatur dan
ortografi (sebutan utk unsur dan untuk sistem ejaan dan tulisan serta ucapan) secara
nasional.
Kegiatan PBB terkait dengan pembakuan nama unsur rupabumi nasional dan
internasional dilakukan melalui :
– UN Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN),
setiap 5 tahun sekali. dan
– UN Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN), setiap 2 tahun
sekali.
3.1. Kelembagaan
UN Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) adalah
salah satu dari 7 badan pakar PBB: bertemu tiap 2 tahun sekali dan dalam kaitan UN
Conference on Standardization of GN, yang diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
Pakar Toponimi PBB (UN Group of Experts on Geographgical Names, UNGEGN)
dibentuk berdasarkan Resolusi UN Economic and Social Council (UN-ECOSOC) No. 715
A (XXVII) tgl. 23 April 1959 dan Resolusi Nomor 1314 (XLIV) tgl. 31 Mei 1968 serta
keputusan yang diambil oleh Council pada pertemuananya ke-1844 tgl. 4 Mei 1973,
dibentuk untuk mendukung usaha standarisasi nama geografik pada tingkat nasional dan
internasional.
Kelompok Kerja UNGEGN terdiri dari Divisi Linguistik dan rupabumi, yang
ditentukan oleh masing-masing Pemerintah. Indonesia masuk Divisi Asia, South-East and
Pacific, South-West.
Sampai saat ini divisi kelompok pakar PBB dikelompokkan dalam divisi divisi
Africa Central Division, Africa East Division, Africa South Division, Africa West Division,
Arabic Division, Asia East Division (tidak termasuk negara-negara berbahasa Cina), Asia
South-East and Pacific South-West Division, Asia South-West Division (tidak termasuk
Negara-negara berbahasa Arab), Baltic Division, Celtic Division, China Division Dutch-
and German-speaking Division, East Central and South-East Europe Division, East
Mediterranean Division, East Mediterranean Division (tidak termasuk negara–negara
berbahasa Arab), Eastern Europe, Northern and Central Asia Division, India Division,
39
Latin Amerika Division, Norden Division, Romano-Helenic Division, United Kingdom
Division, United States/Canada Division.
Jumlah divisi linguistic/geografik dapat berubah jika diperlukan dan setiap negara
memutuskan sendiri mau masuk divisi yang mana.
Indonesia masuk dalam Divisi Asia, South-East and Pacific, South-West, yang
terdiri dari negara-negara Asean (Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, Laos, Kampuchea, Brunei Darussalam), Australia, New Zealand, Papua New
Guinia, Timor Leste, Nauru, Palau, Sri Lanka, Buthan, Salomon dan Fiji
Sedangkan untuk topik topik khusus telah dibentuk Kelompok Kerja Pakar Nama-
Nama Geografik PBB antara lain adalah :
a. Single Romanization System
b. Definitions
c. Names of Undersea and Maritime Features
d. Training Courses in Toponymy
e. International Gazetteers
f. Automated Data Processing
g. Extraterrestrial Topographic Names
h. Country Names
i. Toponymic Data Files
j. Toponymic Terminology
k. Implementation and Evaluation
l. Publicity and Funding
40
dalam lima tahun setelah Konperensi sebelumnya.
Jika ada resolusi-resolusi yang telah diadopsi pada Konperensi sebelumnya maka
laporan juga menyangkut implementasi dari resolusi tersebut yang dilaksanakan. Topik-
topik yang hangat dan kadang bersifat politis dan lintas negara juga mengemuka dalam
Konperensi semacam ini. Kemungkinan organisasi ini juga dipakai untuk berbagai tujuan
politik, seperti Indonesia pernah diprotes oleh masyarakat dunia, ketika Indonesia
mengganti nama Indian Ocean menjadi Indonesian Ocean (Samudera Indonesia) dan
Malacca Strait menjadi Sumatera Strait (Selat Sumatera). Nama baku secara internasional
adalah Indian Ocean, yang kita harus terjemahkan dalam bahasa Indonesia (exonim) adalah
Samudera Hindia, dan bukan pula “Samudera India”, karena Indonesia dan juga India
adalah dua negara dari sejumlah besar negara di sekitar Samudera Hindia. Sebaliknya kita
harus bangga bahwa nama Laut Sulawesi (Sulawesi Sea) diadopsi oleh semua negara yang
mengitari laut tersebut yaitu, Filipina dan Malaysia. Begitu juga Laut Arafura (Arafura
Sea) diadopsi namanya oleh Australia yang berbatasan dengan pantai utara Australia.
Begitu juga kita tidak dapat mengatakan adanya pulau Kalimantan, karena Kalimantan
adalah bagian dari pulau yang baku secara internasional bernama Borneo. Memang tiap
negara berdaulat menamakan apapun juga nama geografiknya dalam batas wilayah
kedaulatannya tetapi tidak di luar wilayah kedaulatannya, kecuali apabila ketiga negara
berdaulat yang ada di pulau Borneo, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia
sepakat untuk mengganti namanya dengan “Kalimantan” dan menyiapkan resolusinya
untuk di adop secara internasional.
Dengan kata lain, tidak semudah itu kita mengganti nama-nama geografik yang
sudah baku secara internasional. Inilah aturan main dalam penamaan geografik yang
dipantau dan menjadi bagian kegiatan PBB di bawah UN-ECOSOC. Begitu juga waktu
Indonesia pada tahun 1987 pada UNCSGN ke-5 di Montreaal, menyampaikan bahwa
jumlah pulau-pulau di Indonesia bertambah dari 13.667 pulau menjadi 17.508 pulau, PBB
merujuk pada kegiatannya agar Indonesia menyampaikan nama-nama pulau tersebut dan
bukan jumlahnya. Sampai saat ini kita belum mampu memberi nama untuk 17,508
(sekarang 17,504?) pulau, jika pulau-pulau tersebut memenuhi definisi Pasal 121 UNCLOS
1982. Menurut catatan Depdagri sampai saat ini baru tercatat 7.870 nama (termasuk nama
yang sudah ada, dan nama yang belum pernah tercatat dalam dokumen resmi pemerintah).
Juga dijumpai banyak pulau-pulau yang masih belum ada namanya dan ini belum ada
41
pengusulan dari daerah.
Juga banyak ditemukan ada pulau bernama pulau Tiga (di Lampung), pulau Tujuh
(di Bangka), pulau Dua (Riau Kepulauan) yang pada kenyataannya memang ada 3 buah
pulau, lima pulau atau dua buah pulau yang memenuhi definisi UNCLOAS 1982, tetapi
namanya hanya satu, yatu pulau Tiga, pulau Tujuh, pulau Dua dst. Oleh karena itu perlu
adanya tim pakar nasional untuk mengkajinya, memverifikasinya dan mengusulkan nama-
nama baru untuk pulau tersebut.
Berdasarkan Resolusi UNCGN, nama-nama geografi harus di diperoleh dari
penduduk setempat., dicatat ucapannya (fonetiknya) dan ditranskripsi dari bahasa ucapan
menjadi bahasa tulisan tanpa merubah bunyinya.
Resolusi UN-CSGN tentang Kegiatan Penamaan dan Standarisasi Unsur-Unsur
Geografi antara lain adalah Resolusi UN-CSGN yang penting dan belum diterapkan di
Indonesia sampai saat ini, dan mungkin satu-satunya negara anggota PBB lama yang
belum menerapkan resolusi yang penting ini, yaitu Resolusi No. 4 Tahun 1967 (Tahun
1967 adalah pelaksanaan UN CSGN pertama), dan resolusi ini adalah resolusi nomor 4,
sehingga resolusi ini dikenal dengan Resolusi I/4 (Resolusi Konperensi pertama – 1967-
Nomor 4). Lihat Lampiran I. dan II Resolusi ini singkatnya merekomendari agar tiap
negara anggota PBB membentuk suatu “National Names Authority” (maksudnya “National
Geographical Names Auhtority”) dengan nama dan bentuk apapun juga sesuai dengan
struktur pemerintahan, tetapi dengan tugas dan anggaran yang jelas untuk melaksanakan
standarisasi (pembakuan) nama-nama unsur geografi di Negara masing-masing (wilayah
kedaulatan masing-masing). Resolusi itu juga memberi petunjuk tentang pelaksanaan di
lapangan melalui interview penduduk setempat, minimal 2 orang yang tak tergantung satu
sama lain, kemudian dicatat ucapannya dengan tape, posisinya dst.
Peta, foto udara atau citra satelit dapat dipakai sebagai acuan kerja di lapangan dan
bukan untuk menghitung pulau tetapi untuk mendatanginya apakah yang kita lihat di citra
itu benar-benar pulau menurut definísi UNCLOS 1982, dalam rangka penamaan pulau-
pulau atau dapat dipakai apakah di suatu tempat masih ada lagi unsur geografi di luar
jangkauan pandangan kita di suatu tempat (misalnya apakah ada bukit, sungai, anak sungai,
pulau atau unsur geografi lainnya yang tidak terjangkau dengan penglihatan kita di
lapangan), sehingga peta, foto udara atau citra adalah sarana lapangan yang paling tepat.
Resolusi juga mengatur publikasi gazetir nama-nama geografik, sebagai daftar
42
nama-nama yang telah baku dan disahkan oleh “Otoritas Nasioal Nama Geografik” yang
dibentuk, melalui proses yang cukup panjang, sehingga gazetir ini menjadi pegangan atau
acuan bagi instansi pemerintah sendiri untuk tertibnya administrasi pemerintahan, bagi
mass media untuk menulis dalam surat kabarnya nama baku, dengan ortografi yang benar
serta posisinya yang tepat, juga bagi lembaga pemetaan, nama-nama baku ini dipakai agar
peta tersebut menjadi peta nasional (dengan nama unsur geografi baku).
Di waktu lalu kita mengutip nama-nama geografik dari peta-peta berbagai isntansi
dan membuatnya gasetir. Ini adalah kekeliruan besar karena nama-nama tersebut dikutip
dari peta dengan skala tertentu. Tidak ada catatan bagaimana nama itu diproses dari
lapangan dan tidak ada otoritas yang memvalidasinya. Sehingga nama di satu peta berbeda
denga peta lainnya sehingga pekerjaan kita hanya berdebat apakah nama itu benar atau
tidak karena tidak ada prosedur baku utuk
memvalidasinya.. Banyak orang menganggap bahwa nama dari peta resmi suatu instansi
pemerintah sudah mesti benarnya. Seharusnya gazetir yang memuat nama-nama geografi
baku lebih dahulu dibuat, sehinga para pembuat peta dapat memilih nama-baku tersebut
untuk dimasukkan dalam petanya sesuai dengan skala peta yang dibuat.
Di Indonesia yang banyak dilakukan adalah membuat gazetir dengan mengutip
nama dari peta yang diterbitkan oleh bermacam instansi, sehingga yang dinamakan gazetir
tersebut tergantung dari skala peta yang dipakai. Seharusnya gazetir tidak tergantung pada
skala peta, sehingga apa yang sering diterbitkan oleh badan-badan pemetaan di Indonesia
adalah hanya daftar namanama geografik yang diperoleh di lapangan dalam rangka
membuat peta dalam skala tertentu. Saya selalu mengatakan bahwa badan-badan pemetaan
adalah kolektor data yang harus diserahkan daftar nama-nama geografik tersebut ke
Otoritas Nasional Nama Geogragfik, jika otoritas ini telah terbentuk.
Otoritas Nama-Nama Geografik di berbagai negara terdapat dalam berbagai bentuk.
Di USA dinamakan “US Board of Geographic Names”, yaitu suatu organisasi yang paling
tua karena dibentuk pada tahun 1890 dengan Keputusan Presiden Benjamin Harrison,
setelah usai perang saudara di abad ke-19 (American Civil War). Bentuk/struktur yang ada
saat ini dibuat dengan undang-undang (Public Law) No. 80-242 pada tahun 1947. Semua
keputusan yang dibuat oleh Board adalah mengikat untuk semua departemen dan instansi
Federal.
Pada tahun 1906 Presiden Roosevelt memperluas tanggungjawab Board untuk
43
membakukan semua nama-nama geografik termasuk merubah/menggantinya dan memberi
nama-nama baru. Board ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri (Secretary of the
Interior).
Di Kanada otoritas nama-nama geografik dirasakan kebutuhannya untuk dikelola,
ketika kegiatan pemetaan sumber daya alam telah dilakukan secara ekstensif diluar daerah
pemukiman serta meningkatnya arus imigrasi ke Kanada, sehingga untuk menghindari
kekacauan dalam penamaan unsur geografi dari masing masing kelompok penduduk maka
diperlukan nomenklatur untuk unsur-unsr geografi yang baku. Untuk ini maka badan
pemerintah yang mengatur nama-nama unsur geografi yang baku diperlukan. Otoritas ini
ditubuhkan dalam bentuk Geographic Board of Canada oleh Dewan Pemerintah (Kabinet)
pada tahun 1897, ketika dirasakan adanya kebutuhan membakukan nama-nama unsur
geografi. Pada tahun 1948, nama Geographic Board of Canada diganti dengan Canadian
Board of
Geographical Names dan pada tahun 1961 dinamakan Canadian Permanent Committee on
Geographical Names (CPCGN) sampai saat ini. Tugas utama CPCGN adalah membuat
aturan dan petunjuk (Rules and Guidelines) yang dituangkan dalam “Guiding Principles”
untuk nama dan penamaan unsur geografi di Kanada. Ada 14 Guiding Principles yang
telah diterbitkan. Organisasi ini tampaknya berbentuk sebagai Komisi Nasional (Komnas),
tetapi sekretariatnya berada di Departemen Energi, Pertambangan dan Sumberdaya
(Department of Energy, Mines and Resources). Di bawah CPCGN terdapat Advisory
Committees. Di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan Kanada (Dept. of Fisheries
and Oceans) terdapat Advisory Committee on Names
for Undersea and Maritime Features. Nampaknya CPCGN sebagai Komisi
Nasional menetapkan kebijakan, prosedur dengan Guiding Priciples yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan dilapangan oleh Negara-negara bagian dan depertemen departemen
pemerintah yang terkait. Hanya ada 3 Advisory Committee yang dibentuk, selain yang
tersebut di atas, ada Advisory Committee on Toponymy Research dan Advisory Committee
on Glaciological and Alpine Nomenclature.
Di Inggris dinamakan “Permanent Committee on Geographical Names for British
Offical Use”
44
Tujuan dari lembaga ini adalah komunikasi antar bangsa dan untuk tertib
administrasi kewilayahan suatu Negara. Dan secara mendasar tujuan UNGEGN adalah
melakukan :
– Pembakuan pada tingkat nasional dan internasional;
– Menyebarluaskan hasil kerja badan-badan nasional dan internasional;
– Menetapkan “Principles, Policies and Procedures” dalam pembakuan
nasional dan internasional;
– Fasilitasi bantuan ilmiah dan teknis, khususnya bagi negara berkembang
dalam pengembangan SDM;
– Menyediakan sarana penghubung antara semua negara anggota PBB
mengenai pekerjaan pembakuan unsur Rupabumi;
– Menerapkan Resolusi dari UN Conf. on Standardization of Geogr. Names.
Secara rinci tujuan dan fungsi organisasi ini adalah dapat diuraikan sebagai
berikut :
(a) Menegaskan pentingnya standarisasi nama geografik pada tingkat nasional dan
internasional serta mempertunjukkan manfaat yang diperoleh dari standarisasi tersebut.
(b) Menghimpun hasil dari badan yang terkait dengan penamaan unsur geografi di tingkat
nasional dan internasional dan memfasilitasi penyebarluaskan hasil kerja badan-badan tsb
kepada negara negara anggota PBB.
(c) Mempelajari dan mengusulkan, prinsip-prinsip dan metoda-metoda yang tepat untuk
memecahkan masalah standarisasi di antara Negara-Negara Anggota PBB dan antara
Negara-Negara Anggota dengan organisasi internasional, tentang pekerjaan yang terkait
dengan standarisasi namanama geografis.
(f) Menerapkan tugas yang diberikan sebagai hasil dari resolusi yang diadopsi pada United
Nations Conferenes on Standardization of Geographical Names (UNCSGN)
Sedangkan fungsi Kelompok Pakar Nama Geografik PBB (UNGEGN) antara lain
adalah :
(a) Mengembangkan prosedur dan menetapkan mekanisme untuk standarisasi dalam
merespons suatu persyaratan nasional dan permintaan khusus
(b) Melakukan persiapan-persiapan utk konperensi internasional yang periodik tentang
standarisasi nama-nama geografik (UN Conference on Standardization on Geographical
Names)
45
(c) Mengkoordinasikan aktivitas dari divisi-divisi linguistik/geografik yang dibentuk,
selanjutnya, bekerja pada tingkat nasional; mendorong partisipasi aktif dari negara-negara
dalam divisi dan mempromosi atau meningkatkan uniformitas dalam pekerjaan yang
dilaksanakan
(d) Mengembangkan program untuk membantu pelatihan-pelatihan di negara-negara
anggota PBB untuk mencapai usaha standarisasi yang belum dilakukan
(e) Membuat organisasi pemetaan sadar akan arti penting memakai nama nama geografik
baku dalam peta-petanya
46
BAB IV. NAMA RUPA BUMI
47
e. The island of New Guinea (pulau New Guinea): Papua (Indonesia) dan
Papua New Guinea
f. Sulawesi Sea (antara Sulawesi, Sabah, Filipina)
g. Arafura Sea (antara Indonesia dan Australia)
h. Timor Sea (Indonesia - Timor Leste)
48
Indonesia dalam proses membentuk “Otoritas Nama Rupabumi Indonesia” dalam
bentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi telah diusulkan Depdagri sebagai
Otoritas Pembakuan dan Bakosurtanal sebagai Sekretariat Otoritas Pembakuan.
49
• Dalam Kongres Geografi Internasional di Berlin 1899 dibentuk Panitia
“Nomenclature of Sub-Oceanic Features”, seperti ridge, rise, canyon,
seamount,dsb
• Pada permulaan abad ke-20 sekelompok ilmuwan melakukan proyek pemetaan laut
dunia di bawah Prince Albert Pertama dari Monaco, dinamakan GEBCO (General
Bathymetric Chart of the Ocean), dan setelah 1922 diambil alih oleh IHO setelah
Prince Albert meninggal dunia.
• Sejak itu perhatian pada nama-nama geografis di laut tumbuh
– Memberi nama-nama laut, selat dan teluk serta batas-batas geografisnya
(dalam koordinat)
Nama-Nama Unsur Geografi Maritim
• Nama-nama Unsur Bawah Laut (Undersea Feature Names)
• Nama-Nama Permukaan Laut (Laut, Selat, Teluk) dengan batas geografis dari
nama-nama tersebut
• Nama-Nama Pulau dan Kepulauan berdasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982
50
BAB V. RUANG LINGKUP KEGIATAN PENAMAAN UNSUR RUPABUMI
NASIONAL
51
Prosedur dan aturan pemberian nama harus mengikuti kaidah yang telah ditetapkan
berdasarkan panduan yang ditetapkan para pakar.
TIM NAS
PNRB
KEPALA
BAKOSURTANAL
SEKRETARIAT +
DEP/INST-
LEMBAGA TEKNIS
TERKAIT
52
Prosedur tentang pemberian nama, perubahan nama dan penghapusan
Tata cara penamaan (pemberian, perubahan dan penghapusan) nama rupa bumi :
- diusulkan oleh masyarakat desa setempat kepada Kepala Desa
- Kepala Desa mengolah bersama Badan Permusyawaratan desa dan selanjutnya
diteruskan ke Bupati/Walikota melalui camat
- Camat menyampaikan usulan pemberian, perubahan dan penghapusan nama
kepada Bupati/Walikota
- Bupati/Walikota memberikan tugas kepada panitia pemberian dan pembakuan
nama rupa bumi tingkat kabupaten/kota untuk dikaji
- Panitia merekomendasikan kepada Bupati/Walikota untuk dilaporkan kepada
Gubernur
- Berdasarkan usulan dari Bupati/Walikota, Gubernur memberikan tugas kepada
panitia pemberian dan pembakuan nama rupa bumi tingkat provinsi dan selanjutnya
dilaporkan ke Timnas.
53
1. Kultural, meningkatkan pemahaman stakeholders mengenai nilai strategis
toponimi dalam rangka tertib administrasi pemerintahan dan martabat bangsa dan
negara.
2. Legal, yaitu dengan diberikan landasan yuridis formal agar mempunyai kekuatan
mengikat
3. Koordinasi fungsional, memperkuat jalinan kerjasama antar instansi terkait,
tingkatkan komunikasi dan jangan berjalan sendiri.
Saat ini progres yang telah dicapai untuk penamaan pulau yang di lpangan tangible
adalah : survei povinsi tersisa 11 provinsi, mulai proses pembakuan, legalitas otoritas,
proses pembuatan gazetir pulau dan upaya pembakuan internasional. Sedangkan arti
penting dari toponimi pulau adalah :
1. Sebagai wujud tertib administrasi negara/Good Governance.
2. Optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan serta pembangunan pulau itu sendiri.
3. Memiliki nilai strategis khususnya pulau-pulau terluar yang dijadikan titik dasar
penarikan garis pangkal dari batas wilayah KRI.
4. Mengurangi konflik antar wilayah maupun antar negara.
54
BUKU ACUAN
Agustan, 2005, Toponimi, Bukan Hanya Tata Cara Penulisan Nama Unsur Geografis, BPPT
Jakarta
Alex SW Retraubun, 2006, Kebijakan Toponim Maritim Dalam Mendukung Pembangunan
Kelautan, Dir. Pemberdayaan Pulau Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan
Pulau2 Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Department of the Interior. Washington DC US Department of the Interior 1987. US
Geodata: Geographic Names Information System – Data User Guide 6. USGS.
Reston Virginia
IHO (International Hydrographic Organization). 2001. Standardization of Undersea
Feature Names. 3rd Ed. Monaco: International Hydrographic Bureau
Jacub Rais, 2003, Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria dan Peranan
PBB dalam Toponimi, Kasus Nama-Nama Pulau di Indonesia, iTB Bandung.
Kadmon, N. 2000. Toponymy: The Lore, Laws and Language of Geographical Names.
Vantage Press. New York.
Kartiko, 2006. Kebijaksanaan Toponimi Nasional Dalam Mendukung Tertib Administrasi
Pemerintahan, Dir. Wilayah Administrasi dan Perbatasan Ditjen Pemerintah Umum
Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
New Zealand Geographic Board on Geographical Names. 1991. Proceedings of South
Pacific Place Names Conference. Wellington Nove,ber 5-7 1990
Raper, P.E. (Ed). 1996. United Nations Documents on Geogragraphical Names. Names
Research Institute CAUSE. Pretoria
Tichelaar, T.R. (Ed.).1990. Proceedings of the Workshop on Toponymy, held in Cipanas,
Indonesia. Bakosurtanal UNGEGN Workshop. Bako Dok.No.07/1990
Titik Suparwati dan Ryan Pribadi, 2007, Toponimi Daerah Daerah Gunung Berapi
Soputan, Kelud dan Krakatau, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang-
Bakosurtanal, Jakarta
United Nations. 1986. Report on the UN Group of Experts on Geographical Names on the
work of its Eleventh Session. In World Cartography Vol XVIII. UN Pub. E/85.1.23
United Nations. 1992. Sixth UN Conference on the Standardization of Geographical
Names. Vol. 1. Report of the Conference. UN Publications
United Nations. 1998. Seventh UN Conference on the Standardization of
55
Geographical Names Vol. I: Report of the Conference. UN Publications
United Nations. 1986. Glossary No. 330/Rev.1: Technical Terminology Employed in the
Standardization of Geographical Names (in six languages)
UN Secretariat US Board on Geographic Names. 1997. Principles, Policies, and
Procedures: Domestic Geographic Names.
United Nations. 2003. Resolutions Adopted at the 8 UN Conferen-ces on the
Standardization of Geographical Names 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1992,
1998, and 2002. Doc. GEGN/22/6 (a)
United Nations. 2003. Eight U.N Conference on the Standardization of Geographical
Names. UN Publ. E/Conf.94/3
56
LAMPIRAN
LAMPIRAN I :
RESOLUTION I/4 (RESOLUTION NO. 4, 1967) :
NATIONAL STANDARDIZATION
The Conference, Recognizing that the national Standardization of geographical ñames
provides economic and practical benefits to individual nations, Further recognizing that
national standardization of geographical names by allnations is an essential preliminary to
international standardization,
1. Request that the following recommendations on the national standardization of
geographical names be reviewed by the proper United Nations authorities;
2. Urges that these recommendations be conveyed to all Member States and interested
international organizations for favourable considerations
RECOMMENDATION A.: NATIONAL NAMES AUTHORITY
It is recommended that, as a first step in international standardization of geographical
names, each country shoul have a national geographical names authority:
(a) Consisting of a continuing body, or co-ordinated group of bodies, having clearly stated
authority and instructions for the standardization of geographical names and the
determination of names standardization policy within the country
(b) Having such status, composition, function and procedures as will:
(i) Be consistent with the government structure of the country;
(ii) Give the greatest chance of success in the national names standardization programme
(iii)As appropriate, provide within its framework for the establishment of regional or local
committee according the area or language
(iv) Provide for consideration of the effects of its actions on government agencies, private
organizations and other groups and for the reconciliation of these interest, as far as
possible, with the long range interest of the country as a whole
(v) Make full use of the services of surveyors, cartographers, geographers, linguists and
any other experts who may help the authority to carry out its operation efficiently;
(vi) Permit record keeping and publication procedures that will facilitate the prompt and
wide distribution of information on the standardized names, both nationally and
internationally. It is recommended that those countries which have not yet begun to
exercise their prerogative or standardizing their geographical names on national basis
57
should
now proceed to do so. It is further recommended that the appropriate United Nations office
be kept informed by each national names authority of its composition and functions, and of
the address of its secretary
RECOMMENDATION B: COLLECTION OF GEOGRAPHICAL NAMES
For each geographical name which is to be standardized, it is recommended that:
(a) The field and office research be as complete as possible in order to provide information
on the following points:
(i) Written and spoken form of the name and its meaning according to local inhabitants
(ii) Spelling in cadastral documents and land registers
(iii) Spelling on modern and old maps and in other historical sources
(iv) Spelling in census reports, gazetteers and other relevant documents of value
(v) Spelling used by other local administrative and technical services
(b) The local spoken form of the name be recorded on tape and written in phonetic notation
approved by the national names authority
(c) The character, extent and position of the feature named be determined – in this regard it
should be noted that aerial photographs can provide useful supplementary information –
and recorded as accurately as possible, and that the meaning of the generic terms used
locally be clearly defined
(d) If possible, at least two local independent sources be consulted for each inquiry. It is
further recommended that personnel for the collection of names should have training
adequate to recognize and deal with the linguistic problems (phonetic system, grammatical
structure and orthography), geographic phenomena and terminology that are likely to
encounter
RECOMMENDATION C. PRINCIPLES OF OFFICE TREATMENT OF
GEOGRAPHICAL NAMES
It is recommended that each names authority formulate, adopt and define the guiding
principles and practices that it will normally apply in the course of operation.
These principles and practices should cover:
(a) Formal procedures to be followed in the submission to the authority of proposals for
new names or changes in names
(b) Factors that the authority will take into account when considering name proposals, such
58
as:
(i) Current usage
(ii) Historical background
(iii) Treatment in multilingual areas and in unwritten languages
(iv) The extend to which hybrid names should be avoided
(v) Avoidance of repetition of names
(vi) Avoidance of more than one name for each feature
(vii) Clarification of the precise extent of application of each individual geographical
name, including the naming of the whole and the parts of major features
(viii) Elimination of objectionable names
(c) Rules of writing names applied by the authority
(d) Procedures whereby all interested parties may express their views on a name proposal
prior to decision by the authority
(e) Formal procedures for promulgation of the authority‟s decisions and for ensuring that
standard names shall appear on the national maps
In the elaboration of these principles it is recommended that:
(1) Unnecessary changing of names be avoided
(2) The spelling of geographical names be as much as possible in accordance with the
current orthographic practice of the country concerned, with due regard to dialect forms
(3) Systematic treatment of names should not operate to suppress significant elements
(4) Where some names occur in varying or grammatical forms, the national names
authority should consider making one of these forms standard name (for nouns that can be
declined, it will normally be the nominative case)
(5) In all countries in whose languages the definite arcticle can enter into geographical
names, the national names authority should determine which names contain the definite
article and standardize the accordingly. For languages in which both definite and indefinite
forms exists for most
names, it is recommended that standardization be based on one or the other form;
(6) All countries set up standards for the use of abbreviations of elements in their
geographical names;
(7) A system be devised in each country for the treatment of compound names. It is further
recommended that the names authority give adequate publicity to these principles and
59
practices
RECOMMENDATION D: MULTILINGUAL AREAS
It is recommended that, in countries in which there exist more than one language, the
national authority as appropriate
(a) Determine the geographical names in each of the official languages, and other
languages as appropriate
(b) Give a clear indication of equality and precedence of officially acknowledge names
(c) Publish these officially acknowledge names in maps and gazetteers
RECOMMENDATION E : NATIONAL GAZETTEERS
It is recommended that each names authority produce, and continually revise, appropriate
gazetteers of all its standardized geographical names. It is further recommended that, in
addition to the standardized names, each gazetteer include, as a minimum, such as
information as is necessary for the proper location and identification of named features. In
particular, it is recommended that the following be included:
(a) The kind of feature to which the name applies;
(b) Precise description of the location and the extent, including a point position reference if
possible, of each of name feature;
(c) Provision for the parts of natural features to be additionally defined by reference to the
whole and for the names of extended features to be defined as necessary by reference to
their constituent parts;
(d) Such information on administrative or regional areas as is considered necessary and, if
possible, reference to a map or chart within which the features lie;
(e) All officially standardized names for a feature, if there are more that one, and
provisions for cross-reference to be made to names previously used for the same feature
When national authorities determine it possible, both technically and economically, they
may include such information on geographical names as gender, number, definite and
indefinite forms, position of stress, tone and pronunciation in the system of the
International Phonetic Association and such other linguistic information as may lead to the
better understanding and use of names both nationally and internationally.
60
LAMPIRAN II
RESOLUTION III/16 (RESOLUTION NO. 16, 1977):
NATIONAL STANDARDIZATION
The Conference, Recalling that the First United Nations Conference of the Standardization
of Geographical Names adopted resolution 4, regarding national standardization,
Considering that many countries have their own national geographical names authorities
with statues, composition, function and procedures clearly outlined regarding officially
standardized geographical names; Recognizing that that those national geographical names
authorities have set up rules pertaining to official standardization procedures, Also
recognizing that according to the Second United Nations Conference on the
Standardization of Geographical Names, a standardized name is a name that has the official
sanction of a legally constituted entity Recommends that to the Recommendation A of
resolution 4 of the First United Nations Conference on the Standardization of Geographical
Names should be added the following. It is recommended that any changes made by other
authorities in the names standardized by the competent national geographical names
authority should not be recognized by the United Nations.
61
LAMPIRAN III
BEBERAPA ISTILAH PENTING DALAM TOPONIMI
Name (Nama)
• Disebut juga “nama diri”(proper name)
• Tiap unsur/ciri rupabumi harus mempunyai nama utk identifikasi atau
acuan
• Contoh : nama-nama dari gunung, sungai, anak-sungai, pulau, selat, laut,tanjung, kota,
daerah, kawasan, dsb.
• Nama orang : anthroponym
• Nama tempat/geografi: toponym
Alphabet (Alfabet, Abjad)
• Kumpulan simbol grafis (huruf) dari unsur suara dalam suatu bahasa, disusun
berdasarkan prinsip bahwa tiap simbol mewakili satu bunyi/suara
• Kumpulan huruf dari suatu bahasa dengan sistem tulisan (script), tersusun dengan urutan
khusus dan diberi nama untuk tiap karakter
• Ada berbagai abjad yang dipakai dalam sistem tulisan
– Abjad Romawi (Roman Alphabet: Aa, Bb, Cc……… Zz)
– Abjad Arab, Abjad Cyrillic, Abjad Amharik (Etopia). Abjad Hebrew, Abjad Cina, Abjad
Jepang
– Kadang-kadang alfabet dan skrip saling tertukar pngertiannya
• Contoh : Nama-nama unsur geografi dalam berbagai sistem alfabet/skrip dalam suatu
peta
Script (skrip, sistem tulisan)
• Sistem tulisan adalah suatu kumpulan alfabet yang dipakai dalam tulisan. Tiap kumpulan
alfabet mempunyai bunyi yang berbeda satu dengan lainnya
• Contoh:
– Skrip Romawi (Roman), Greek , Cylliric, Arabik, Thai dan Hebrew termasuk dalam
sistem sistem tulisan alfabetik,
– Amharic (Etopia) dan Katakana (Jepang) termasuk dalam sistem silabik (syllabic)
– Jepang (Honji) dan Cina termasuk dalam logografik
Phonetik (Fonetik)
o Sesuatu yg terkait dengan bahasa ucapan/suara
62
o Studi/klasifikasi sistematik dari suara dalam ungkapan ucapan (spoken utterance)
o Sistem dari suara ucapan (speech sound) dari suatu bahasa/kelompok
bahasa
Onomastics (Onomastik)
• Ilmu yang mempunyai objek studi tentang nama, dalam hal ini toponim
• Ilmu atau studi tentang asal-usul dan bentuk dari nama diri
• Aktivitas atau proses pemberian nama
Orthography (Ortografi)
• Ortografi adalah ejaan yang benar (correct spelling) dari suatu kata; atau
• Cara mengeja
Transcription (Transkripsi)
• Suatu metode konversi nama antara bahasa-bahasa yang berbeda, di mana unsur-unsur
fonologik (mis. suara) dari bahasa sumber (bahasa pertama) dicatat dalam bahasa target
(kedua) yang mempunyai sistem tulisan tanpa merubah suaranya
• Misalnya: ada kota di Jerman bernama “Stuttgart”. Bagaimana transkripsi dari nama ini
ke dalam bahasa Inggeris tanpa merubah bunyi? Jawabya: “Shtootgart”
• Contoh: Transkripsi dari sistem aksara fonetik Cina ke dalam sistem
aksara Roman
– Cina telah membakukan fonetiknya yang dinamakan “Pinyin” sejak 1977
– Aksara Cina utk ibukota RRC yang semula dibaca “Peking” dalam ortografi Romawi,
kini harus dibaca “Beijing”
Transkripsi Fonetik dari bahasa Lokal di Indonesia
• Pameungpeuk, dibaca “Pamengpek”
• Cibeureum, dibaca “Ciberem”
• Lhokseumawe, dibaca “Loksemaw/e/”
• Bireuen dibaca “Biruen” atau “Birun”
• Baucau dibaca “B/aw/k/aw/”
• Uleelheue dibaca Ul/e/-le
• Viqueque atau ditulis “Vik/e/k/e/”
• e dalam dekat; /e/ dalam sen
Apa perlu transkrip fonetik bahasa lokal dalam bahasa Indonesia
• Tidak perlu
63
• Bahasa lokal/etnis di Indonesia dipertahankan sebagai kekayaan bahasa Indonesia dengan
tetap perlu ditulis “fonetik”nya (suara ucapannya), tanpa diakritik
• Diakritik adalah tanda-tanda yang ditempatkan di atas atau lintas suatu huruf untuk
merubah nilai bunyi dari hurufnya
• Contoh diakritik: ä, ö, ë, é, ü, ó dsb
Transliteration (Transliterasi)
• Metode konversi nama antara sistem tulisan alfabetik (alphabetic scripts) atau sistem
tulisan silabik (syllabic scripts), di mana masing-masing karakter dari tulisan sumber
(tulisan pertama) diwakili dalam tulisan target (tulisan kedua) pada dasarnya dengan satu
karakter atau dua, tiga atau 4 karakter (di-, tri- or tetragraph) untuk satu fonologi
• Tulisan alfabetik adalah tulisan yang dibaca dari susunan alfabet. Sistem tulisan Romawi
adalah tulisan alfabetik
• Tulisan silabik adalah tulisan yang merupakan rangkaian suku kata (Jepang: misalnya ka,
ki, ku, ke, ko)
• Transliterasi beda dengan transkripsi, di mana diperlukan kunci
transliterasi.
• Misalnya tulisan dalam bahasa Arab ditulis dalam alfabet Romawi dengan bunyi yang
sama, misalnya tulisan dalam Al Quran ditulis dalam alfabet Romawi
Transliteration Key (Kunci Transliterasi)
• Tabel yang mendaftar karakter dari tulisan non-Roman bersama dengan karakater dalam
tulisan roman, termasuk diakritik jika perlu
• Contoh : Roman “yu”, dalam katakana Jepang
Translation (Translasi, Terjemahan)
• Terjemahan
• Proses dari pernyataan arti, yang disajikan dalam bahasa sumber, dalam kata-kata dari
bahasa target
• Sebagai hasil dari proses ini, kadang-kadang diterapkan pada unsur generik dari nama
unsur geografi
• Contoh:
– Lake Michigan diterjemahkan dengan Danau Michigan
– Lago di Come (Italia) menjadi Lake Como (Inggeris)
– Casablanca (Spanyol) menjadi Där al-Baydah (Arab)
64
– Ci Liwung menjadi Sungai Liwung (??)
Endonym- Exonym (Endonim – Eksonim)
• Endonim:
– Suatu nama unsur geografi dalam suatu bahasa resmi yang dipakai dalam negara atau
daerah di mana entitas geografis itu berada
• Eksonim:
– Nama unsur geografi dalam suatu bahasa resmi untuk suatu entitas geografis yang
terletak di luar negara yang memakai bahasa resmi tersebut
– Berbeda dengan nama asli (endonim) yang dipakai dalam bahasa dari negara/daerah di
mana unsur geografi itu berada
Contoh Endonim dan Eksonim
• Nederland (Endonim)
– The Netherlands (Eksonim dlm bhs Inggeris)
– Negeri Belanda (Eksonim dlm bhs Indonesia)
– le Pays-Bas (Eksonim dlm bhs Perancis)
• Nippon (Endonim)
– Japan (Eksonim dlm bhs Inggeris)
– Jepang (Eksonim dlm bhs Indonesia)
– Jepun (Eksonim dlm bhs Malaysia)
• Deutschland (Endonim)
– Germany (Eksonim dlm bhs Inggris)
– Jerman (Eksonim dlm bhs Indonesia)
• USA (endonim); Amerka Serikat (eksonim Indon.atau translasi)
• New Zealand (endonim); Selandia Baru (eksonim Indon.atau translasi)
65
LAMPIRAN IV
KAIDAH PENAMAAN UNSUR GEOGRAFI DI INDONESIA
• Menggunakan abjad Romawi atau huruf Latin
• Mengutamakan nama lokal dan singkat
• Tidak menggunakan nama yang sudah digunakan di tempat lain dalam wilayah yang
sama
• Tidak menggunakan nama yang menimbulkan pertentangan suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA)
• Tidak menggunakan nama orang atau tokoh masyarakat yang masih hidup
• Tidak menggunakan nama perusahaan
• Tidak menggunakan nama asing atau bahasa asing
• Menggunakan kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan nama unsur
geografi
• Menggunakan nama yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang undangan yang
berlaku secara nasional dan internasional.
66
LAMPIRAN V
CONTOH BASISDATA TOPONIMI PULAU
Model Basisdata Toponim Pulau
PK StatusID
Description
67
Aplikasi Basisdata Toponim Pulau
68
Contoh Lembaran Katalog Pulau
69
70
Tampilan substansi Basisdata Toponimi Selat
71
Hasil Pengesahan Toponimi Laut
72
LAMPIRAN V : MODUL LATIHAN
ANALISA PENGEMBANGAN POTENSI DESA DENGAN KAIDAH TOPO NIMI
1.Lingkup kegiatan :
1. Diskripsi Desa
2. Potensi
3. Metode
4. Hasil
5. Analisa
6. Rekomendasi
DAFTAR ISI
73
Sketsa ..................................................................................................................................... 7
Flowchart ............................................................................................................................... 8
BAB 1V HASIL DAN ANALISIS DATA
Topografi wilayah.................................................................................................................. 8
Keadaan social ....................................................................................................................... 8
Toponimi wilayah .................................................................................................................. 9
Sejarah ................................................................................................................................... 10
Bentang Alam ........................................................................................................................ 10
Potensi ................................................................................................................................... 11
Pendidikan ............................................................................................................................. 12
Keadaan Ekonomi.................................................................................................................. 12
Kependudukan ....................................................................................................................... 12
Unsur Buatan ......................................................................................................................... 13
Pemerintahan Dusun Jurang Pelen ........................................................................................ 13
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan ............................................................................................................................ 13
Saran ...................................................................................................................................... 13
Rekomendasi ......................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka........................................................................................................................ 15
Lampiran ................................................................................................................................ 16
74
(Djaja,2009:21). Selain itu bisa diperoleh dari dokumen,surat atau surat kabar.Bukti
tidak tertulis dapat berupa cerita atau tradisi.
Catatan sejarah yang obyektif tentang kerajaan Jawa baru ada setelah kedatangan
bangsa Belanda. Sejarah kerajaan sebelum kedatangan Bangsa Belanda banyak di
dasarkan pada cerita rakyat dan beberapa peninggalan karya besar berupa candi-candi
dan sisa bangunan gedung(Simom , 2005:16).
Secara geografis dusun Jurang Pelen terletek di wilayah desa Bulusari
Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan dengan posisi di batasi oleh desa-desa
tetengga.Disebelah berbatasan dengan dusun Pentongan Kecamatan Gempol
Kabupaten Pasuruan. Disebelah selatan berbatasan dengan dusun Jeruk Purut Desa
Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan.Disebelah barat berbatasan dengan
Desa Kunjorowesi Kabupaten Mojokerto. Disebelah timur berbatasan dengan dusun
Belimbing Desa Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan.
Dusun Jurang Pelen adalah salah satu dusun yang terletak cukup jauh dari pusat
kota. Jarak tempuh Dusun ke kota Kecamatan adalah 7 km yang dapat di tempuh
dengan waktu ± 5 menit. Dan jarak tempuh Dusun ke kota Kabupaten adalah 40 km
yang dapat di tempuh dengan waktu 1 jam.
Penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani serta bekerja
sebagai buruh tani serta buruh pasir dan tambang, aktifitas penduduk yang
bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh merupakan warisan leluhur nenek
moyang dusun Jurang Pelen desa Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan
ini sudah turun temurun sejak cikal bakal terjadinya dusun Jurng Pelen ini ada.
Sekarang kita berada pada abad 21. Abad yang penuh persaingan baik
lokal,nasional, maupun global.Persaingan dalam segala hal tidak dapat hindari oleh
karena itu perlu kiranya kita membekali diri untuk menghadapi persaingan tersebut
dengan berbekal ilmu pengetahuan.
Tak lepas dari itu semua akan lebih lengkaplah jika kita juga mengetahui sejarah
suatu daerah agar nantinya kita tahu dan dapat kita gunakan sabagai cambuk atau
teladan bagaimana sejarah perjuangan para leluhur yang telah membangun suatu
daerah yang kini dapat kita tempati dengan nyaman.
Tidak dapat di pungkiri juga akhir-akhir ini banyak sekali kebudayaan sejarah
Indonesia yang telah di akui oleh Negara lain karena ketidak tahuan kita akan sejarah
75
yang kita miliki dan rasa memiliki yang sangat kuat akibat terjadinya globalisasi pasar
bebas yang setiap hari menyekoi kita dengan kebudayaan-kebudayaan luar yang
menggiurkan dan akibatnya sejarah kebudayaan bangsa sendiri kian terkikis dan
terlupakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
76
nama . Toponimi merupakan bagian dari onomastika,pembahasan tentang berbagai
nama.
Suatu toponimi adalah nama dari suatu tempat , wilayah , atau suatu bagian lain
dari permukaan bumi ,termasuk yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan
seperti kota.
Dalam Etnologi, suatu Toponimi adalah sebuah nama yang diturunkan dari suatu
tempat atau wilayah. Dalam anatomi, Toponimi adalah nama bagian tubuh ,yang
dibedakan dengan nama organ tubuh. Dalam Biologi, suatu Toponimi adalah nama
Binomial dari suatu tumbuhan (Ensiklopedi bebas. 2010).
77
Objek dari Topografi adalah mengenai posisi suatu bagian dan secara umum
menunjuk pada koordinat secara horizontal seperti garis lintang dan garis bujur , dan
secara vertikal yaitu ketinggian. Mengindetifikasi jenis lahan juga termasuk bagian
dari objek studi ini. Studi Topografi di lakukan dengan berbagai alasan , di antaranya
perencanaan militer dan eksplorasi Geologi. Untuk kebutuhan konstruksi sipil ,
pekerjaan umum , dan proyek reklamasi membutuhkan studi topografi yang lebih
detail.
Survey membantu studi Topografi secara lebih akurat suatu permukaan secara
tiga dimensi , jarak . ketinggian , dan sudut , dengan memanfaatkan berbagai
instrumentopografi.
Meskipun penginderaan jarak jauh sudah sangat maju , survey secara langsung
masih menjadi cara untuk menyediakan informasi yang lebih lengkap dan akurat
mengenai keadaan suatu lahan . (Upi, Edu. 2011. Topografi dari wikipedia bahasa
Indonesia , ensiklopedi bebas.Artikel Online)
78
sebagai tempat pemukiman pedesaan , pelayanan jasa pemerintahan , pelayanan social
, dan kegiata ekonomi.
Untuk memenuhi kebutuhannya hidup manusia secara bersama-sama
mewujudkan suatu masyarakat dan kemudian menempati suatu territorial yang tetap.
Besar kecilnya satu desa sangat bervariasi tergantung dari pendiri atau cikal bakal
desa. ( Asy‟ari , 1993:103).
Wanua atau desa merupakan unit ekonomis dan politis terkecil , serta merupakan
bangunan dasar kerajaan . Pemerintah wanua atau desa adalah bagian yang
mengendalikan pemerintahan di dalam persekutuan penduduk pada masyarakat hokum
terbawah. (Yamin dalam Brahmatyo , 1995:84).
Menurut Soetarju Karto kardikusuma mendefinisikan desa sebagai satu hokum
dimana bertempat tnggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahannya sendiri.
Menurut Bintaro , desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi , social
,ekonomi , politik , dan cultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam
hubungannya dan pengaruhnya dalam secara timbale balik dengan daerah
lain.Pendapatnya lainnya yaitu menurutr Paul H. Landis , desa adalah masyarakat yang
penduduknya kurang dari 2500 jiwa.
79
Sistem ini menggunakan sejumlah satelit yang berada di orbit bumi, yang
memancarkan sinyalnya ke bumi dan ditangkap oleh sebuah alat penerima. Ada tiga
bagian penting dari sistim ini, yaitu bagian kontrol, bagian angkasa, dan bagian
pengguna.
Seperti namanya, bagian ini untuk mengontrol. Setiap satelit dapat berada sedikit
diluar orbit, sehingga bagian ini melacak orbit satelit, lokasi, ketinggian, dan
kecepatan. Sinyal-sinyal sari satelit diterima oleh bagian kontrol, dikoreksi, dan
dikirimkan kembali ke satelit. Koreksi data lokasi yang tepat dari satelit ini disebut
dengan data ephemeris, yang nantinya akan di kirimkan kepada alat navigasi kita.
Bagian ini terdiri dari kumpulan satelit-satelit yang berada di orbit bumi, sekitar
12.000 mil di atas permukaan bumi.
Kumpulan satelit-satelit ini diatur sedemikian rupa sehingga alat navigasi setiap
saat dapat menerima paling sedikit sinyal dari empat buah satelit. Sinyal satelit ini
dapat melewati awan, kaca, atau plastik, tetapi tidak dapat melewati gedung atau
gunung. Dari sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh kumpulan satelit tersebut, alat
navigasi akan melakukan perhitungan-perhitungan, dan hasil akhirnya adalah
koordinat posisi alat tersebut. Makin banyak jumlah sinyal satelit yang diterima oleh
sebuah alat, akan membuat alat tersebut menghitung koordinat posisinya dengan lebih
tepat.
Karena alat navigasi ini bergantung penuh pada satelit, maka sinyal satelit
menjadi sangat penting. Alat navigasi berbasis satelit ini tidak dapat bekerja maksimal
ketika ada gangguan pada sinyal satelit. Ada banyak hal yang dapat mengurangi
kekuatan sinyal satelit:
Kondisi geografis, seperti yang diterangkan di atas. Selama kita masih dapat melihat
langit yang cukup luas, alat ini masih dapat berfungsi.
Hutan. Makin lebat hutannya, maka makin berkurang sinyal yang dapat diterima.
Air. Jangan berharap dapat menggunakan alat ini ketika menyelam.
Kaca film mobil, terutama yang mengandung metal.
Alat-alat elektronik yang dapat mengeluarkan gelombang elektromagnetik.
Gedung-gedung. Tidak hanya ketika di dalam gedung, berada di antara 2 buah
gedung tinggi juga akan menyebabkan efek seperti berada di dalam lembah.
80
Sinyal yang memantul, misal bila berada di antara gedung-gedung tinggi, dapat
mengacaukan perhitungan alat navigasi sehingga alat navigasi dapat menunjukkan
posisi yang salah atau tidak akurat.
81
Dengan terbukanya hutan hasil babatannya mereka mendiami bersama istrinya
masing-masing di daerahnya sampai beliau-beliau ini turun temurun hingga saat ini .
Sebelum nenek moyang yang pertama kali membabat hutan ini meninggal dunia,mereka
sempat berpesan kepada anak cucu yang isi pesannya adalah “Apabila kelak dikemudian
hari daerah ini sudah ramai agar diberi nama sesuai dengan tanda-tanda pertama kali
membabat hutan ini” yaitu :
1. Bendomungal
2. Jatipentongan
3. Jurangpelen
4. Sumberpandan
5. Jembrung
6. Blimbing
7. Sukci
8. Bulu
Yang mana beliu-beliau ini sampai sekarang saja di hormati oleh penduduk yang
ditinggalkan dengan cara mengadakan RUWAH DUSUN setiap tahunnya ditempat beliau-
beliu ini dimakamkan . Sedangkan anak cucu yang ditinggalkan semakin bertambah
banyak , tepatnnya pada jaman penjajahan belanda telah ditetapkan setiap kelompok ini
harus ada yang menjadi pemimpin / atau Kepala desa , dan terjadilah pembagian wilayah
ini yang di pimpin oleh beberapa kepala desa antar lain :
1. Bendomungal yang mejadi Kepala Desa adalah Pak. Tamun
2. Jatipentongan yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Jatiredjo
3. Jurangpelen yang menjaddi Kepala Desa adalah Pak. Samu
4. Sumberpandan yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Ponirah
5. Jembrung yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Dono
6. Blimbing yang menjadsi Kepala Desa adalah Pak. Dasuki
7. Sukci yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Sena
8. Bulu yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Wongsoredjo
Mereka-mereka ini menjabat sejak tahun 1864 – 1899 , Setelah para Pemimpin
pemimpin ini mengundurkan diri diganti pula jabatan Kepala Desa sesuai dengan perintah
Government Belanda ditetapkan menjadi 5 Kepala Desa antar lain adalah :
1. Jatipentongan yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Jatiredjo
82
2. Jurangpelen yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Warisin
3. Sumberpandan yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Dani
4. Blimbing yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Jani
5. Sukci yang menjadi Kepala Desa adalah Pak. Wongsoredjo.
Beliau-beliau ini menjabat tahun 1899 – 1923 , yang mana sebagai pusat
pemerintahan Kecamatannya di Kepulungan ( yang sekarang menjadi desa Kepulungan ),
Sedangkan Gempol adalah sebagai Kawedanan pada waktu itu.
Adanya pembaharuan lagi tentang wilayah yaitu pusat pemerintahan Kecamatan di
Gempol sampai dengan sekarang Sedangkan Kawedanan ikut Pandaan .secara ringkas
yang menjadi Kepala Desa Bulu pada periode sampai saat ini adalah :
A. Djojosudarso menjabat mulai tahun 1923 – 1932
B. Deromoyudo menjabat mulai tahun 1932 – 1941
C. K. Kerto Atmodjo menjabat mulai tahun 1941 – 1980
D. Kardi ( Kades PJ ) menjabat mulai tahun 1980 – 1985
E. Prapto ( Kades PJ ) menjabat mulai tahun 1985 – 1986
F. Yasin ( Kades PJ ) menjabat mulai tahun 1986 – 1989
G. H. M. Thohir menjabat mulai tahun 1989 – 2007
H. Yudono menjabat mulai tahun 2007 – Sekarang
Anak Cucu secara turun temurun yang ditinggal ini masih ingat akan cerita dari
orang-orang tua mereka bahwa sebagai tanda kesepakatan mereka adalah pohon BULU
yang sampai akhirnya dari beberapa Kepala Desa di ringkas menjadi satu Kepala Desa
yang tepatnya di BULU juga , maka pada perubahan yang terakhir ini seluruh masyarakat
sepakat untuk menamakan “ DESA BULUSARI “ yang artinya :
BULU : Pohon yang besar dan rimbun untuk berlindung
SARI : Aman dan Tentram ( dalam bahasa jawanya Tentrem Ayem )
Demikian sekilas tentang sejarah / riwayat terjadinya Desa Bulusari .
2.2 DEMOGRAFI
LETAK GEOGRAFIS DESA
- Orbitasi
Jarak ke Ibu Kota Kecamatan : 2 KM
Lama tempuh ke Ibu Kota Kecamatan : 10 Menit
83
Jarak ke Ibukota Kabupaten : 33 KM
Jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten : 60 Menit
- BATAS DESA BULUSARI
Sebelah Utara Desa Kejapanan Kecamatan Gempol
Sebelah Selatan Desa Jerukpurut Kecamatan Gempol
Sebelah Barat Desa Watukosek Kecamatan Gempol
Sebelah Timur Desa Karangrejo Kecamatan Gempol
JUMLAH DUSUN BULUSARI
Ada 11 Dusun antara lain :
1. Dusun Bulu
2. Dusun Sukci
3. Dusun Pakem
4. Dusun Jembrung I
5. Dusun Jembrung II
6. Dusun Blimbing
7. Dusun Sumberpandan
8. Dusun Jatipentongan
9. Dusun Jurangpelen I
10. Dusun Jurangpelen II
11. Dusun Bendomungal
- LUAS DESA
BAB III
84
METODOLIGI PENELITIAN
85
3.3 SKETSA
FLOW CHART
86
BAB 1V
HASIL DAN ANALISIS DATA
A. TOPOGRAFI WILAYAH
LETAK WILAYAH
Dusun Jurang Pelen merupakan salah satu dusun yang berada di desa Bulusari
Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan, jarak dari ibu kota Kecamatan ± 7km, jarak dari
ibu kota Kabupaten Pasuruan ± 40 km.Ketinggian tempat dusun Jurang Pelen berada pada
ketinggian ± 575 meter dari permukaan laut. Bertopografi daerah pegunungan (tanah
berbatu) dengan luas wilayah 436.417 m2.
Letak suatu desa pada umumnya selalu jauh dari kota atau pusat kota. Peninjauan ke
desa-desa atau perjalanan ke desa sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan
lebih mendekati daerah-daerah yang otonom dan sunyi. Desa-desa yang letaknya di
perbatasan kota mempunyai kemungkinan yang lebih banyak daripada desa yang ada di
pedalaman.
Berdasarkan data Aministrasi Pemerintahan Desa tahun 2010, jumlah penduduk
Dusun Jurang Pelen adalah terdiri dari 558 KK, dengan jumlah total 1990 Jiwa, dengan
rician 997 jumlah laki-laki dan 993 jumlah perempuan.
Seacara Administratif Dusun Jurang Pelen terletak di wilayah Desa Buluh Sari
Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa
dan dusun-dusun tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Dusun Pentongan Desa
Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Di sebelah selatan berbatasan dengan
Dusun Jeruk Purut Desa Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Di sebelah
barat berbatasan dengan Desa Kunjorowesi Kabupaten Mojokerto. Di sebelah timur
berbatasan dengan Dusun Belimbing Desa Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten
Pasuruan.
Jarak tempuh Dusun Jurang Pelen ke Ibu Kota Kecamatan adalah 7 km yang dapat
ditempuh dengan waktu sekitar ± 15 menit. Sedangkan harak tempuh ke ibu kota
Kabupaten adalah 40 km, yang dapat di tempuh dengan waktu sekitar 1 jam.
B. KEADAAN SOSIAL
87
Dengan adanya perubahan dinamika politik dan system politik di Indonesia yang lebih
demokaratis , memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk menerapkan suatu
mekanisme politik yang di pandang lebih demokratis.
Dalam konteks politik lokal Dusun Jurang Pelen , hal ini tergambar dalam pemilihan
kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pilleg , pilpres , pemillukada , pemilugub) yang
juga melibatkan warga masyarakat dusun secara umum.
Khusus untuk pemilihan kepala desa di dusun Jurang Pelen , sebagaimana tradisi
kepala desa di Jawa , biasanya para peserta atau kandidatnya adalah mereka yang secara
trah memiliki hubungan dengan elit kepela desa yang lama. Hal ini tidak terlepas dari
anggapan masyarakat banyak di desa-desa bahwa jabatan kepala desa adalah jabtan garis
tangan keluarga-keluarga tersebut.
Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta dpat diwariskan
kepada anak cucu . Mereka di pilih karena kecerdasan , etos kerja , kejujuran , dan
kedekatannya dengan warga desa. Kepala desa bisa diganti sebelim masa jabatannya habis
jika ia melanggar aturan maupun norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti
jika ia berhalangan tetap.
Karena demikan, maka setiap orang yang memiliki dan memenuhi syarat-syarat yang
sudah di tentukan dalam perundangan dan peraturan yang berlaku bisa mengajukan diri
untuk mendaftar menjadi kandidat kepala desa pada tahun 2007.
Pada pilihan kepala desa ini partisipasi masyarakat sangat tinggi , yakni hampir 95%.
Tercatat ada tiga kandidat kepala desa pada waktu itu yang mengikuti pemiliha kepala
desa. Pilihan kepala desa bagi warga masyarakat Dusun Jurang Pelen sperti acara perayaan
desa.
Pada bulan Juli-Nopember 2008 masyarakat juga dilibatkan dalam pemilihan
gubernur Jawa Timur putatran I dan II secara langsung. Walupun tingkat partisipasinya
lebih rendah daripada pilihan kepala desa namun hamper 70% daftar pemilih tetap ,
memberikan hak pilihnya. Ini adalh proggres demokrasi yang cukup signifikan di Dusu
Jurng Pelen.
Setelah proses-proses politik selesai , situasi desa kembali berjalan normal. Hiruk
pikuk, warga dalam pesta demokrasi desa berakhir dengan kembalinya kehidupan
sebagaimana awal mulanya. Masyarakt tidak terus-menerus terjebak dalam sekat-sekat
88
kelompok pilihannya. Hal ini di tandai dengan kehidupan yang penuh tolong menolong dan
ngotong royong.
Walaupun pola kepemimpinan ada di kepala desa namun mekanisme pengambilan
keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik lewat lembaga resmi desa seperti Badan
permusyawaratan desa maupun lewat masyarakat langsung. Dengan demikian terlihat
bahwa pola kepemimpinan di dusun tersebut menngedepankan pola kepemimpinan yang
demokratis.
Berdasrkan deskripsi beberapa fakta di atas, dapat di pahani bahwa dusun Jurang
pelen, mempunyai dinamika politik local yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola
kepemimpinan mekanisme pola kepemimpinan, sampai dengan partisipasi masyarakat
daam menerapkan system politik demokratis ke dalam kehidupan politik local.Tetapi
terhadap minat politik daerah dan nasional masih terlihat kurang antusias.
Hal ini dapat di mengerti di karenakan dinamika politik nasional dalamk kehidupan
keseharian masyarakat dusun Jurang Pelen kurang mempunyai greget. Terutama yang
berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara lanngsung.
Suasana budaya masyarakat Jawa dan Madura masih sangat terasa di Dusun Jurang
Pelen dalam kegiatan agama Islam misalnya, suasananya masih sangat di pengaruhi oleh
aspek budaya dan sosial jawa dan Madura. Hal ini tergambar dari dipakainya kalender
Jawa/Islam, masih adanya budaya nyandran, slametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya, yang
semuanya merefleksikan sisi-sisi akulturasi budaya Jawa dan Islam.
C. TOPONIMI WILAYAH
Awal mula Dusun Jurang Pelen merupakan sebuah hutan yang sangat lebat dan
belum terjamah oleh manusia. Tetapi kemudian ada sekelompok orang yang ingin
membuka lahan baru untuk tempat tinggal . Dan dahulunya Dusun Jurang Pelen banyak
terdapat jurang dan tebing bahkan sampai sekarang.
89
punggawa itu itu sedang menjaga Damarwulan yang sedang dipenjara oleh Patih Logender
di Kunjorowesi (penjara besi) yang sekarang menjadi sebuah nama daerah yang termasuk
wilayah Kabupaten Mojokerto. Didalam proses pembabatan hutan ini mereka tidak
menjadi satu, melainkan terpencar yaitu :
1. Mbah Seco di daerah Bulu.
2. Mbah Brojo di daerah Sukci.
3. Mbah Seno di daerah Blimbing.
4. Mbah Samuel di daerah Jurangpelen, dan.
5. Mbah Anggowicono di daerah Jembrung.
Namun mereka sepakat bila mendapat kesulitan agar berkumpul dibawah pohon
BULU, karena pohon tersebut merupakan pohon HASTA. Jadi walaupun lebatnya hutan,
pohon tersebut tetap terlihat dari jauh sehinga tidak kehilangan arah.
Dengan terbukanya hutan hasil babatan hutan, mereka mendiami bersama istrinya
masing-masing sampai berketurunan anak cucu. Sebelumnya mereka sempat berpesan pada
anak cucunya, apabila kelak dikemudian hari daerah ini sudah ramai agar diberi nama
sesuai dengan tanda-tanda pertama kali membabat hutan, yaitu : Bendomungal,
Jatipentongan, Jurangpelen, Sumberpandan, Jembrung, Blimbing, Sukci, dan Bulu. Dan
sebagai kesepakatan terdahulu maka daerah-daerah tersebut diringkas menjadi satu wilayah
pemerintahan, yaitu BULUSARI. Kemudian masing-masing dari daerah – daerah tersebut
berkembang menjadi sebuah dusun dan salah satunya adalah Dusun Jurang Pelen.
E. BENTANG ALAM
90
Dusun Jurang Pelen merupakan suatu daerah yang eksotik dimana sejauh mata
memandang yang terlihat adalah suatu maha karya yang luar biasa indah, kesana berulang
kalipun kita tak akan bosan . Jurang pelen terletak di daerah perbukitan , sehingga banyak
menyajikan pemandangan yang indah seperti daerah sabana yang luas, bahkan daerah
sabana di sana masih banyak yang perawan artinya masih hanya digunakan untuk
keperluan ternak. Sungai-sungai yang mengalir jernih , biasanya oleh penduduk sekitar
digunakan untuk keperluan mandi , buang hajat, serta mencuci. Walaupun di dusun
tersebut sudah banyak yang memiliki kamar mandi , tetapi masyarakatnya banyak yang
lebih suka mandi di sungai selain karena airnya bersih, juga karena di dusun tersebut
mencari air bersih itu susah. Sebenarnya ada air bersih , yang berasal langsung dari
pegunungan tapi untuk mengambil air tersebut harus menempuh jarak yang lumayan jauh
yaitu terletak di depan rumah kepala desa selain itu mereka juga harus antri dengan
masyarakat yang lainnya. Air bersih tersebut di tempatkan dalam suatu ta-ndon yang besar,
ada 3 tandon besar yang terletak di dusun tersebut. Oleh karena itulah , mereka lebih
memilih mandi di sungai selain karena airnya melimpah juga bersih, tapi itu hanya berlaku
untuk musim hujan jika musim kemarau datang biasanya air yang ada di sungai akan
kering. Lalu masyarakatpun memilih mandi memakai air dari pegunungan, serta di bagi
juga untuk keperluan air minum.
Di Dsn. Jurang Pelen banyak terdapat pohon-pohon dengan beraneka macam dan
bentuk yang unik karena memang dulunya di daerah tersebut merupakan daerah hutan yang
lebat. Pohon-pohon yang ada di daerah tersebut adalah: pohon jati, pohon akasia, pohon
mangga, pohon asam, pohon petai,pohon bambu, pohon beringin, pohon asem rowo, dll.
Karena banyak pohon-pohon itulah , sehingga tidak heran kalau dusun tersebut sangat asri,
dan bebas dari polusi.
Tapi ada salah satu keunikan tersendiri , yang merupakan cirri khas tersendiri dari
Dsn. Jurang Pelen yang membedakannya dengan dusun-dusun yang lainnya. Bahwa di
dusun tersebut banyak di kelilingi oleh jurang dan tebing, yang terletak di samping kiri dan
kanan jalan dari dusun tersebut, jalannyapun kebanyakan naik turun. Memang itulah yag
membuat Dsn. Jurang Pelen menjadi lebih indah dan eksotik.
F. POTENSI
91
Dusun Jurang Pelen adalah salah satu dusun di Desa Buluh Sari Kecamatan Gempol
Kabupaten Pasuruan yang memiliki potensi yang sangat banyak untuk dikembangkan
lebih lanjut agar masyarakat di Dusun tersebut memiliki pendapat yang lebih banyak dari
sekarang selain itu agar kedepannya Dusun Jurang Pelen lebih berkembang.
Salah satunya adalah sawah , Sawah-sawah terhampar luas dengan beraneka macam
warna tanaman yang di tanam oleh masyarakat di dusun tersebut. Seperti tanaman padi,
tebu, sayur-mayur (kangkung, sawi, kemangi), serta buah-buahan (pisang,
nanas,rambutan). Memang sebagian besar masyarakat di dusun tersebut bermata
pencaharian sebagai petani dan buruh tani.Biasanya mereka memakai sistem gilir kacang,
jadi setelah mananam padi dan memanennya , kemudian mereka menanam tebu. Hal ini di
maksudkan untuk menghindari hama serta akan membuat tanaman menjadi lebih sehat dan
akan mendapatkan hasil panen yang melimpah.Tetapi masyarakat di Dusun Jurang Pelen
masih terlihat belum maksimal dalam hal pendistribusian hasil panen, karena mereka hanya
menjual di sekitar desa padahal kalau di jual ke luar daerah akan menghasilkan pandapatan
yang cukup besar.
Bahkan masyarakatpun memanfaatkan tanah kosong di samping rumah,maupun di
depan rumah untuk berkebun , selain untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi mereka
sendiri juga untuk memanfaatkan lahan yang kosong. Tanaman yang biasa mereka tanam
adalah tanaman seperti nanas, jagung, cabe, papaya, pisang, ketimun , kangkung, dan lain-
lain.Tanah kosong yang mereka manfaatkan sebenarnya lumayan besar, jadi kalau hasil
dari berkebun itu hanya di manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari itu sangat berlebihan.
Di desa tersebut banyak di bangun tambang-tambang pasir dan batu. Jadi setiap hari
banyak truk-truk besar yang mengangkut pasir dan batu yang keluar masuk dari dusun
tersebut, bagi masyarakat pun itu merupakan hal yang biasa terjadi setiap hari, sepeti suara
bising alat-alat besar yang mengebor tanah untuk mencari daerah mana yang banyak
mengandung pasir dan batu, teriakan para pekerja yang bekerja di daerah pertambangan,
serta suara bising truk-truk yang mengangkut hasi dari pertambangan. Bahkan di dusun
tersebut ada 2 Perusahaan besar yang mengurusi masalah pertambangan di dusun tersebut
yaitu PT.Merak Jaya dan PT Bumi Swada Swamitra.
Memang penambangan pasir dan batu di dusun Jurang Pelen banyak memberikan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Dusun tersebut, tetapi penambangan tersebut juga
memberikan dampak negative yaitu, kerusakan alam karena Perusahaan penambang
92
nampaknya tidak menghiraukan akibat kerusakan yang terjadi. Bahkan tidak melakukan
konservasi di lahan yang luasnya mencapai ratusan hektar itu. Kondisi ini hingga kini
masih berlangsung, dan situasnya telah berubah. Di era tahun 1980-an, khususnya di
Dusun Jurang Pelen Desa Bulusari, Kecamatan Gempol terlihat masih alami. Kini
situasinya telah berubah. Hamparan hijau yang menghiasi bukit-bukit di sana kini telah
berubah berwana coklat dan belubang-lubang. Itu terlihat sejak terjadinya upaya
penambangan pasir dilakukan oleh para pengusaha dan warga di sekitarnya. Bahkan
ketinggian dari tebing hasil penambangan liar dan penambangan resmi mencapai 60 meter.
Sehingga tidak heran jika sebagian masyarakat yang berumur 18-30 tahun bermata
pencaharian nya adalah sebagai buruh di perusahaan tersebut.
Di Dusun Jurang Pelen banyak terdapat padang rumput, hal itu menyebabkan di
daerah tersebut banyak masyarakat yang memiliki peternakan seperti sapi, ayam , kambing.
Bahkan ada yang memiliki ternak hingga puluhan ekor, biasanya para peternak yang
memiliki ternak yang banyak tersebut digunakan untuk keperluan konsumsi dan hari raya
kurban.
G. PENDIDIKAN
Pendidikan adalah salah satu hal penting dalam memajukan tingkat SDM (Sumber
Daya Manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka panjang dalam peningkatan
perekonomian. Di Dusun Jurang Pelen hanya terdapat satu sekolah saja yaitu Sekolah
Dasar Negeri Bulusari II , jadi tidak heran kalau di Dusun Jurang Pelen tingkat
pendidikannya masih rendah. Selain karena minimnya sekolah juga di karenakan
masyarakat di sekitar masih beranggapan bahwa yang terpenting itu bukan sekolah tetapi
mencari nafkah. Jadi tidak heran kalau banyak anak yang ikut membantu orangtuanya di
sawah, kebun , atau bekerja sebagai buruh pasir dan tambang,
Bahkan tidak jarang ada yang sampai putus sekolah , yang melanjutkan ke tingkat
SMP dan SMA sangat jarang selain karena letak sekolah juga jauh juga masalah biaya. Jadi
yang melanjutkan ke tingkat SMP dan SMA hanyalah dari orang-orang yang memiliki
penghasilan banyak. Apalagi yang melanjutkan kuliah pun , biasanya adalah anak seorang
kepala Desa dan Lurah.
H.KEADAAN EKONOMI
93
Tingkat pendapatan rata-rata Dusun Jurang Pelen adalah Rp. 400.000,00 . Secara
umum mata pencaharian warga masyarakat Dusun Jurang Pelen dapat teridentifikasi dalam
beberapa sektor yaitu pertanian, peternak, industry, buruh pasir dan batu.Jadi dapat di
artikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Dusun Jurang Pelen masih rendah.
Berdasarkan fakta yang ada di lapangan pengangguran di Dusun Jurang Pelen masih
tergolong rendah. Hal ini di sebabkan sejak kecil mereka sudah diberi arahan bagaimana
cara mencari uang dengan menjadi buruh tani, buruh pasir dan batu.
Sebagian Masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan yang mana secara
struktural dan administrasi memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan suatu
negara, sebagian besar penduduk desa memiliki mata pencaharian sebagai petani atau
agraris, namun sebenarnya mata pencaharian penduduk sangat dipengaruhi oleh faktor
alam yang ada di sekitarnya. Berdasarkan mata pencahariannya desa dapat di bedakan
menjadi : Desa nelayan , Desa agraris , desa perkebunan , Desa pertenakan , Desa industri.
I. KEPENDUDUKAN
Komposisi masyarakat di Dusun Jurang Pelen sangatlah beragam mulai dari
pendatang baru sampai penduduk yang asli. 30% penduduk di Dusun Jurang Pelen adalah
orang Madura, dan 70% sisanya adalah penduduk asli daerah tersebut.
Berdasarkan data Aministrasi Pemerintahan Desa tahun 2010, jumlah penduduk
Dusun Jurang Pelen adalah terdiri dari 558 KK, dengan jumlah total 1990 Jiwa, dengan
rician 997 jumlah laki-laki dan 993 jumlah perempuan.
J.UNSUR BUATAN
Macam – macam unsur buatan yang ada di Dusun Jurang Pelen yaitu :
Makam Dusun Jurang Pelen ;
Masjid Baitul Muttaqin
Penambangan Pasir dan Batu (SSM)
Penambangan Pasir dan Batu (PT.Bumi Swada Swamitra)
Balai Dusun
SDN. Bulusari II
Musholla waqof Al-Asnadi
Jembatan Dusun Jurang Pelen
Tandon air Dusun Jurang Pelen
94
I. PEMERINTAHAN DI DUSUN JURANG PELEN
Dusun Jurang Pelen merupakan bagian dari Desa Bulusari Kecamatan Gempol
Kabupaten Pasuruan. Kepala Desa Bulusari sekarang di pimpin oleh seorang Kepala Desa
yaitu pak Yudono, beliau memerintah sejak tahun 2007 sampai sekarang. Sedangkan
Kepala Dusun Jurang Pelen adalah bapak Mayono.
Dalam rangka memaksimalkan fungsi pelayanan di Dusun Jurang Pelen maka
wilayah Dusun Jurang PeLen di bagi menjadi 5 RW ( RW 15 , RW 16 , RW 17 , RW 18 ,
RW 19 ) yang masing-masing di pimpin oleh seorang kepala Rukun Warga.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Setiap daerah pasti memiliki asal-usul dan sejarahnya masing-masing. Dalam setiap
sejarah pasti membawa ciri khas masing-masing. Khususnya Dusun Jurang Pelen yang
awal mulanya merupakan hutan belantara kemudian oleh tangan seseorang yang juga
masih keturunan dari Kerajaan Majapahit akhirnya menjadi sebuah desa yang cukup subur
dan menjadi tempat hidup bagi orang – orang atau penerusnya.
Dengan berbekal cerita dari narasumber akhirnya penulis dapat menyelesaikan
laporan toponimi „‟ Survey di Dusun Jurang Pelen Desa Bulusari‟‟ ini. Dalam laporan
toponimi ini termuat sejarah dan asal – usul dari jaman kerajaan hingga akhirnya menjadi
sebuah desa seperti sekarang ini. Selain asal-usul dimuat juga tentang sistem pemerintahan
Dusun Jurang Pelen pada masa sekarang ini ; meliputi potensi , ekonomi , sosial ,
kependudukan , pendidikan , Bentang alam , dan unsur buatan.
Wilayah Dusun Jurang PeLen terdiri dari 5 RW ( RW 15 , RW 16 , RW 17 , RW 18 ,
RW 19 ) yang masing-masing di pimpin oleh seorang kepala Rukun Warga.
5.2 REKOMENDASI
Berdasarkan pengmatan dan analisis data yang didapatkan, kelompok VI
merekomendasikan kepada Kepala Desa/Dusun :
1. Setelah mendapat informasi dari warga setempat dan mengamati data fisik yang ada,
mengenai jalanan rusak yang diakibatkan oleh perusaan tambang pasir di dusun jurang
95
pelen Desa Bulusari. Maka kelompok VI merekomendasikan kepada kepala Desa
bulusari membuat MOU dengan perusahaan yang terkait, yang isinya mengenai
kesepakatan untuk meminta perbaikan jalan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan terkait. Supaya nantinya aktifitas warga sekitar tidak lagi terganggu dengan
adanya jalan yang telah di perbaiki.
2. Setelah mengetahui keluhan-keluhan warga dan mengamati data fisik yang ada,
mengenai susahnya air di dusun jurang pelen. Maka kelompok VI merekomendasikan:
b. kepala desa/dusun membuat surat pengajuan kepada pemerintah terkait. Agar
mengaktifisasi sungai-sungai atau sumur-sumur yang kering, agar sumber air di
dusun juran pelen bisa membantu aktifitas sehari-hari warga setempat.
c. Ataupun membuat blog, yang isinya tentang keaadaan yang ada, serta diharapkan
nantinya ada investor-investor yang ingin membantu mengenai pengaktifisasi sumur-
sumur dan sungai-sungai yang kering.
3. Tanah yang ada di Dusun Jurang Pelen masih banyak yang masih kosong artinya belum
di pergunakan secara maksimal, Sebenarnya sudah di pergunakan tapi hanya sebatas
untuk berkebun,pertenakan,pertanian. Untuk itu, kelompok VI menyarankan agar tanah
yang masih kosong tersebut tidak terbengkalia sia-sia atau hanya di gunakan tapi tidak
secara maksimal yaitu sebagai berikut :
a. Tanah tersebut dapat di gunakan untuk membuka sebuah toko serba
ada,waralaba,depot atau bisa juga supermarket karena kami melihat di Dusun Jurang
Pelen masih belum ada usaha-usaha seperti itu.selain itu agar masyarakat tidak usah
perlu jauh-jauh ke desa lain atau pusat kota untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
b. Dapat di gunakan untuk membuat batu-bata.
4. Sebagai tempat pengembangan pariwisata, Konsep pengembangan pariwisata secara
teoritis yang berkaitan dengan komponen pendukung pariwisata meliputi sebagai
berikut:
5. Definisi
Definisi atau istilah dari pariwisata (tourism), kawasan wisata (tourism zone) dan
wisatawan adalah sebagai berikut :
a. Pariwisata (tourism) adalah kebiasaan atau kegiatan bepergian dengan maksud
bersenang-senang.
96
b. Kawasan Wisata (Tourism Zone) adalah kawasan yang dapat memberikan dan
menampung kebutuhan kegiatan pariwisata.
c. Wisatawan adalah orang yang melakukan bepergian kesuatu tempat dengan
tujuan berekreasi atau bersenang-senang ke tempat lain atau negara lain
97
Pengelolaan Kawasan Wisata : Rencana, fasilitas-fasilitas dan bangunan-bangunan
dalam kawasan wisata yang bagus saja masih kurang. Masih perlu dilengkapi dengan
hal-hal sebagai berikut:
Untuk masalah sarana pendidikan dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah,
sebenarnya ada solusi yang bisa menjadi alternatif bagi rendahnya kualitas sumber daya
manusia (SDM) di Dusun Jurang Pelen yaitu melalui kursus dan pelatihan.
5.3 SARAN
1. Hasil panen padi, dan perkebunan warga jurang pelen. Di jual bukan hanya di sekitar
Desa saja, melainkan di wilayah lain ataupun kota lain. Sehingga pendapatannya bisa
meningkatkan perekonomian dari Desa Bulusari maupun Dusun Jurang Pelen sendiri.
2. Kepala dusun atau kepala desa memberlakukan wajib memakai masker ke warga
setempat. Agar nantinya meminimalisir debu-debu yang dihirup oleh warga, yang di
harapkan semoga tidak ada penyakit-penyakit pernafasan yang di alami oleh warga
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/kathpurwanto.pdf di akses pada hari
kamis tanggal 17 2011 jam 19.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Toponimi di akses pada hari kamis tanggal 17 november 2011
jam 19.10
http://rahmidian.blogspot.com/ di akses pada hari kamis tanggal 17 november 2011 jam
19.15
98
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wik
i/Global_Positioning_System di akses pada hari kamis tanggal 17 november 2011 jam
19.25
http://id.wikipedia.org/wiki/Topografi di akses pada hari kamis tanggal 17 november 2011
jam 19.35
http://resources.unpad.ac.id/unpad-
content/uploads/publikasi_dosen/sejarah_purwakarta.PDF di akses pada hari kamis tanggal
17 november 2011 jam 19.45
LAMPIRAN
99
PETA SATELIT
100
101
POSTER (Diberikan ke Desa)
102
BIO DATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Malang (Jawa Timur), 27 Mei 1953. Penulis lulus pendidikan
formal S-1 (Insinyur/Ir) Teknik Geodesi ITB Bandung, 1981. S-2 (Diplome
d’Etudes Superieures Specialisees/DESS) de Teledetection (Remote
Sensing/Penginderaan Jauh) Universitas Pierre & Marie Curri (Paris 6) - Ecole
Nationale des Siences Geographiques (ENSG) St.Mande Paris Perancis, 1987. S-2
(Diplome d’Etudes Approfondies/DEA) d’Ecologie Terrestre et Limnique (Ecology
of Land and Aquatic/Ekologi Daratan dan Perairan) Universitas Paul Sabatier
(Toulouse Perancis, 1988. S-3 (Doctor/DR) de Teledetection et Ecologie (Remote
Sensing and Ecology/Penginderaan Jauh dan Ekologi) Universitas Paul Sabatier
(Toulouse 3) Perancis, 1992. Penulis bekerja sebagai dosen tetap Jurusan Teknik
Sipil FTSP-ITS Surabaya, 1983-1999. Dosen tidak tetap Bidang Keahlian
Penginderaan Jauh (S-2 dan S-3) Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Surabaya, 1999 –
sekarang. Dosen tetap Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS Surabaya, 1999-
sekarang. Guru Besar Bidang Ilmu Penginderaan Jauh, 1 Maret 2005 di ITS
Surabaya. Penulis aktif sebagai pengajar, pembimbing, peneliti, pembicara, staf
ahli / nara sumber di perguruan tinggi (ITB, UGM), di lembaga penelitian
(BIG/BAKOSURTANAL, BPPT, BRKP-KKP, LAPAN), kementerian (KPDT,
KKP, KESRA) dan organisasi profesi (Ikatan Surveyor Indonesia, Masyarakat
Penginderaan Jauh Indonesia, Dewan Geomatika Indonesia).
103