Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS INDONESIA

LANSKAP AGRIKULTUR KASEPUHAN BANTEN KIDUL DI DESA


ADAT KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI,
JAWA BARAT

PROPOSAL PENELITIAN

ARINTA ANDAYU PUTRI


(NPM 1306403586)

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I :

Dr. Supriatna, M. T. ............................................., tanggal

Pembimbing II :

Drs. Taqyuddin, M. Hum......................................, tanggal

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI GEOGRAFI

DEPOK

2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


‘Lanskap’ merupakan lingkungan simbolik yang diciptakan oleh tindakan
manusia dalam memberikan makna terhadap alam dan lingkungan dalam sudut
pandang nilai-nilai dan persepsi tertentu (Greider dan Garkovich, 1994). Lanskap
dan makna budayanya dihasilkan melalui interaksi masyarakat dengan
lingkungannya (Memmot dalam Memmot dan Long, 2002). Pandangan terhadap
individu atau kelompok sosial dapat bergantung pada konsep tempat karena
adanya identitas diri dan identitas sosial, begitu juga dengan tempat yang
bergantung pada manusia untuk menentukan identitasnya. Ikatan antara manusia
dengan suatu tempat merupakan bagian dari identitas suatu lanskap.
Kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan hutan pegunungan hujan
tropis alam terbesar yang terdapat di Jawa Barat-Banten yang mana kawasan ini
dihuni sekitar 250.000 jiwa manusia, termasuk masyarakat adat (TNGHS, 2007).
Salah satu masyarakat adat yang mendiami kawasan ini adalah masyarakat adat
Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan ini merupakan suatu komunitas adat yang
dengan segala kearifan lokal dan dalam kesehariannya menjalankan kehidupan
sosial budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada
abad ke-16 (Adimiharja, 1992).
Kasepuhan Banten Kidul tinggal di sekitar bukit dan pegunungan di
kawasan Kompleks Gunung Halimun dimana wilayah ini berada pada ketinggian
yang bervariasi antara 600-1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan
kondisi topografi yang berbukit dan bergunung-gunung, serta memiliki
kemiringan lereng yang berkisar antara 15-55%. Sisi menarik dan sangat
menonjol di antara banyak keunikan dari kasepuhan ini adalah terkait penjagaan
adat dalam pengelolaan sistem budaya bertani yang mereka lakukan. Kondisi fisik
alam dan sosial budaya yang yang dimiliki desa adat di Kecamatan Cisolok ini
membentuk suatu lanskap agrikultur yang memiliki keunikan tersendiri.
Salah satu tradisi bertani leluhur yang masih diterapkan dalam kehidupan
masyarakat kasepuhan adalah sistem pertanian ladang/huma (rurukan) dan sawah

2 Universitas Indonesia
yang dilakukan satu kali dalam satu tahun (Ningrat, 2004). Keduanya memiliki
perbedaan dalam prosesi pelaksanaannya mulai dari mempersiapkan lahan untuk
digarap hingga mengistirahatkan lahan yang telah digunakan.Sistem pertanian ini
tidak sekedar sebuah kegiatan pertanian yang secara umum menuju pada
produktivitas, namun sistem pertanian yang lebih berorientasi pada suatu interaksi
yang kuat antar masyarakat dengan penciptanya, masyarakat dengan masyarakat,
serta masyarakat dengan alam. Selain itu, sistem kekerabatan kasepuhan juga
mempengaruhi sistem ekonomi dan sistem sosial lainnya sehingga mempengaruhi
pola-pola produksi, distribusi, dan konsumsi hasil pertanian mereka.
Penentuan ruang lanskap agrikultur kasepuhan ini dipengaruhi oleh faktor
sosial budaya dan juga kondisi fisik alamnya seperti ketinggian, lereng, aliran
sungai, dan jenis tutupan lahannya. Hubungan ini tergambar dalam pola
penggunaan tanah masyarakat tradisional kasepuhan yang memiliki kekhasan
tersendiri, seperti hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam, sawah,
dan permukiman (Ningrat, 2004). Selain itu, lahan pertanian yang digarap oleh
masyarakat adat juga terletak pada lokasi-lokasi tertentu yang telah ditentukan
oleh aturan adat. Penentuan pola ruang penggunaan tanah yang berada di
kampung kasepuhan ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk kepentingan
adat saja, melainkan dipercaya untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas
manusia dan kelestarian alam.
Penelitian ini berusaha mengkaji terbentuknya lanskap agrikultur oleh
suatu hubungan interaksi dan adaptasi antara masyarakat adat Kasepuhan Banten
Kidul dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal dalam suatu kawasan yang
berbukit-bukit di kaki gunung Halimun. Terdapat faktor-faktor geografis, etnis,
dan kultural yang membuat suatu daerah sama dengan atau berbeda dari daerah-
daerah yang lain (Marzali dalam Masinambow, 1997). Analisis geografis dengan
pendekatan keruangan dan analisis deskriptif mengenai hubungan kondisi fisik
alam dengan budaya bertani di desa adat tersebut diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang bagaimana lanskap agrikultur terbentuk sebagai identitas ruang
di desa adat Kecamatan Cisolok.

3 Universitas Indonesia
1.2 Pertanyaan Penelitian

Kondisi fisik lingkungan alam dan sosial budaya yang yang dimiliki desa adat
di Kecamatan Cisolok ini, membentuk suatu lanskap agrikultur yang memiliki
keunikan tersendiri. Wilayah Kecamatan Cisolok memiliki topografi yang
beragam dengan ketinggian dan lereng yang bervariasi, aliran sungai dan pola
irigasi, serta jenis penutup lahan yang beragam. Begitu pula dengan tradisi bertani
yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat. Untuk itu, pertanyaan penelitian
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana hubungan interaksi antara kondisi fisik alam dengan tradisi bertani
dalam membentuk lanskap agrikultur di wilayah desa adat Kecamatan Cisolok?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pembentukan lanskap


agrikultur sebagai hasil dari hubungan interaksi antara kondisi fisik alam dengan
tradisi bertani di wilayah desa adat Kecamatan Cisolok.

1.4 Batasan Penelitian

Secara spesifik, masalah-masalah penelitian ini dibatasi pada :


1. Lanskap adalah lingkungan simbolik yang diciptakan oleh tindakan
manusia dalam memberikan makna terhadap alam dan lingkungan dalam
sudut pandang nilai-nilai dan persepsi tertentu (Greider dan Garkovich,
1994).
2. Agrikultur adalah bentuk kegiatan pengelolaan tanah oleh manusia untuk
memperoleh hasil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan atau hewan
yang dicapai dengan menyempurnakan segala kemungkinan yang telah
diberikan oleh alam guna mengembangbiakkan tumbuhan dan atau hewan
tersebut (Van Aarsten, 1953).
3. Lanskap agrikultur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wujud fisik
berupa jenis-jenis lahan pertanian, dan wujud sosial budaya berupa
infrastruktur pertanian (seperti : rumah, jalan, saluran pengairan, lumbung,
pasar, dan lain-lain).

4 Universitas Indonesia
4. Lanskap agrikultur dalam penelitian dikaji dengan menggunakan variabel
fisik yakni ketinggian, kemiringan lereng, aliran sungai, dan tutupan lahan,
serta variabel sosial budaya yang mencakup tradisi dan aktivitas bertani
berdasarkan aturan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul.
5. Daerah penelitian adalah desa adat di Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni Desa Sirnaresmi.
6. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki
sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah
tersendiri (Sangaji, 1999)
7. Bentuk medan adalah menggabungkan aspek ketinggian dan lereng
dengan melihat perbandingan antara kelas lereng dan beda ketinggian
(Desaunettes, 2016) .
8. Aliran sungai atau badan sungai adalah sebuah cekungan dimana air
tertampung melalui saluran kecil ataupun besar yang terbentuk akibat
pergerakannya yang mengerosi bumi (Sandy, 1985). Variabel aliran sungai
yang dikaji dalam penelitian ini meliputi jarak dari sungai, dan pola
irigasi.
9. Tutupan lahan atau landcover adalah perwujudan secara fisik (visual) dari
vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan
bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut
(Justice dan Townshend, 1981).
10. Tradisi adalah sebuah sistem budaya yang menyediakan seperangkat
model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan
utama yang dilakukan turun temurun (Esten, 1999).
11. Aktivitas bertani dalam penelitian ini terdiri dari aktivitas waktu tanam
padi dan aktivitas pasca panen padi di daerah penelitian.
12. Penggunaan tanah adalah konfigurasi spasial atau tata ruang penggunaan
tanah suatu wilayah untuk waktu tertentu dan secara umum pola tersebut
merefleksikan aktivitas manusia yang membutuhkan tanah untuk
memproduksi pangan, lokasi permukiman, serta fasilitas lain (Iman, 1999).

5 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LanskapAgrikultur
2.1.1 Lanskap
Istilah bentanglahan atau lanskap berasal dari kata landscape (Inggris) atau
landscap (Belanda) atau landschaft (Jerman), yang secara umum berarti
pemandangan atau kenampakan permukaan bumi.Menurut Zonneveld (1979)
lanskap adalah ruang yang terdapat di permukaan bumi yang terdiri dari sistem
yang kompleks, terbentuk dari aktifitas batuan, air, udara, tumbuhan, hewan, dan
manusia serta melalui fisiognominya membentuk suatu kesatuan yang dapat
dikenali atau diidentifikasi. Dalam Burton (1995), secara geografis terdapat tiga
unsur pembentuk lanskap, yaitu topografi, vegetasi, dan tanah sebagai hasil
kreatifitas manusia dalam interaksinya dengan lingkungan alam. Selain itu,
elemen sosial budaya manusia yang membentuk lanskap meliputi sejarah, nilai
estetika tempat, dan penggunaan tanah.
Di dalam lanskap terdapat dua objek utama geografi yaitu bentang alam
dan bentang budaya, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dan berhubungan satu sama lain. Untuk mengenal dan memahami
lanskap dapat digunakan melalui pendekatan komponen dan kenampakan dalam
lingkungan. Komponen lanskap dapat berisi tentang komponen ekosistem
lingkungan alami (abiotik dan biotik) yang terwujud dalam kenampakan alam
(natural landscape) dan komponen sistem sosial atau lingkungan sosial yang
mencerminkan terbentuknya bentang budaya (cultural landscape). Gambar 1
menunjukkan dua komponen bentang alam dan bentang budaya sebagai bagian
dalam lanskap di permukaan bumi.

6 Universitas Indonesia
Gambar 1. Perbandingan Komponen Lingkungan dan Bentanglahan (Landscape)

Dua komponen utama lanskap tersebut, menurut Santosa dan Muta’ali (2014)
dapat didefinisikan sebagai berikut :
a. Bentang Alam (natural landscape) adalah bagian yang tampak dari
lingkungan alami, seperti bentuk permukaan bumi (morfologi daratan) dan
perairan, yang merupakan perwujudan komponen geosfer. Pada bentang
alam, pengaruh manusia masih relatif sedikit, relatif statis dan menjadi
dasar bagi terbetuknya cultural landscape.
b. Bentang Budaya (cultural landscape) adalah kenampakan konkrit dari
hasil adaptasi atau penyesuaian manusia terhadap lingkungannya. Dalam
artikelnya yang berjudul "Morfologi Lanskap," Sauer (1925)
mendefinisikan lanskap budaya atau cultural landscape sebagai laskap
yang "dihasilkan oleh bentang alam dan kelompok manusia". Bentang
budaya mengandung unsur cipta, rasa, dan karsa manusia, yang bersifat
sangat dinamis dan mengisi ruang-ruang dari bentang alam.

2.1.2 Budaya Bertani


Pertanian diterjemahkan dari bahasa latin agrikultura yang terdiri dari kata
ager yang berarti “hamparan” atau “tanah”, dan cultura atau colere yang berarti
“mengolah” atau “mengerjakan”, terutama yang berhubungan dengan pengolahan
tanah atau bertani. Dapat dikatakan bahwa agrikultur memiliki makna segala daya
upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
Pertanian merupakan kebudayaan yang pertama kali dikembangkan
manusia sebagai respon terhadap tantangan kelangsungan hidup yang berangsur-
angsur menjadi sukar karena semakin menipisnya sumber pangan di alam bebas

7 Universitas Indonesia
akibat laju pertambahan manusia. Menurut Nurmala et al. (2012), pertanian
merupakan kegiatan usaha pengelolaan sumber daya alam berkaitan dengan tanah,
tanaman, dan hewan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia (sebagai bahan pangan, sandang, papan, dan pakan untuk kepentingan
industri, perdagangan, estetika dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari).
Sektor pertanian di negara-negara yang sedang berkembang (developing
country), seperti di Indonesia,memiliki peranan yang sangat besar sekali karena
merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduknya khususnya di
wilayah pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan, sektor pertanian memiliki peranan
yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga merupakan
penghasil bahan-bahan ritual keagamaan dan upacara-upacara tradisional sebagai
tradisi dari masyarakat setempat (Nurmala, 2012).

2.1.3 Hubungan Kondisi Fisik Alam dan Budaya Bertani dalam Lanskap
Agrikultur
Lanskap merupakan lingkungan simbolik yang diciptakan oleh tindakan
manusia dalam memberikan makna terhadap alam dan lingkungan dalam sudut
pandang nilai-nilai dan persepsi tertentu (Greider dan Garkovich, 1994). Lanskap
dan makna budayanya dihasilkan melalui interaksi masyarakat dengan
lingkungannya (Memmot dalam Memmot dan Long, 2002). Kebudayaan
merupakan perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap tantangan yang mereka
hadapi dalam proses penyesuaian (adaptasi) secara aktif terhadap lingkungannya
(Budhisantoso dalam Masinambow, 1997).
Daerah adat atau culture area adalah sebuah kesatuan “geografi-kultural”.
Untuk menentukan suatu daerah dan kelompok masyarakat yang hidup di
dalamnya, van Vollenhoven menggunakan dua kriteria pokok, yaitu “kultur” atau
aturan-aturan adat, dan lingkungan geografis. Yang dimaksud dengan “kultur”
atau “aturan-aturan” adat disini adalah yang termasuk aturan-aturan pribumi yang
menyangkut kehidupan masyarakat dan pemerintahan dusun/desa
(rechtsgemeenschap), tentang tanah (rechten op grond), tentang kehidupan
ekonomi rakyat (schuldenrecht), dan tentang hubungan kekeluargaan
(verwantschaprecht) (Soekanto, dalam Masinambow, 1997). Sistem irigasi,
pengelolaan, dan penggarapan tanah, teknologi menanam, penimbunan hasil

8 Universitas Indonesia
pertanian, pemrosesan, serta pengawetan hasil pertanian, dan lain-lain, merupakan
contoh dari rincian “adat” dan “aktivitas sosial” dalam sistem budaya
(Koentjaraningrat, 1996).
Manusia akan selalu melakukan penyesuaian diri atau melakukan adaptasi
terhadap lingkungannya. Bentuk atau wujud saling ketergantungan antara manusia
dengan lingkungan alam dan fisik tersebut tidak lain adalah kebudayaan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan dan Forde (dalam Kusnaka, 1985),
hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alam dijembatani oleh
pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia. Dalam pengertian lain, dengan
kebudayaan manusia melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dan dalam
proses adaptasi itu manusia mendaya-gunakan lingkungannya untuk tetap dapat
melangsungkan kehidupannya.
Ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik antara manusia dengan
lingkungan hidupnya, biasa disebut dengan ekologi manusia. Konsep sentral
dalam ekologi manusia adalah ekosistem, yaiu suatu sistem ekologi yang
terbentuk oleh hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya,
sebagaimana dalam masyarakat adat kasepuhan, dikenal adanya dua pola
pertanian, yaitu sawah dan ladang yang dapat dinilai sebagai produk dari
hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan alamnya. Demikian
pula bentuk rumah dan teknologi pertanian yang mereka pergunakan akan sesuai
dengan lingkungan alam yang mereka hadapi. Dengan demikian, wujud dari
lanskap agrikultur ini dapat terdiri dari wujud fisik yang berupa jenis-jenis lahan
pertanian dan sosial budaya yang berupa infrastruktur pertanian seperti rumah,
jalan, saluran air (irigasi), lumbung, pasar, dan lain-lain.

2.2 Pertanian di Indonesia


Lahan pertanian ditinjau dari ekosistemnya dapat dibedakan menjadi dua
kelompok besar yaitu : (1) lahan pertanian basah dan (2) lahan pertanian kering.
Antara kedua kelompok lahan pertanian tersebut mempunyai karakteristik yang
berbeda sehingga pengelolaannya harus berbeda pula agar memberikan hasil yang
optimal.

9 Universitas Indonesia
2.2.1 Pertanian Lahan Basah
Lahan pertanian basah lazim disebut dengan sawah. Ciri-ciri umum dari
sawahadalah sebagai berikut :
a. Dari setiap petak sawah dibatasi oleh pematang. Pematang tersebut ada
yang lurus dan ada juga yang berkelok.
b. Permukaannya selalu datar atau topografinya rata meskipun di daerah
bergunung-gunung atau berbukit.
c. Biasa diolah atau dikerjakan pada kondisi jenuh atau berair.
d. Kesuburannya lebih stabil daripada lahan kering sehingga memungkinkan
diolah secara intensif tanpa penurunan produktivitas yang drastis
e. Secara umum produktivitasnya lebih tinggi daripada lahan kering
f. Sawah umumnya mempunyai sumber perairan yang relatif teratur kecuali
sawah tadah hujan. Tanaman yang utama diusahakan adalah padi sawah

Ditinjau dari sistem irigasinya lahan pertanian basah (sawah) dapat dibedakan
menjadi beberapa tipe sebagai berikut :
1. Sawah irigasi teknis
Sawah tipe ini airnya tersedia sepanjang tahun. Air yang masuk ke petakan
sawah sudah terukur, karena pengaturannya menggunakan peralatan yang
cukup baik sehingga air yang masuk ke saluran sekunder dan tersier sudah
terhitung jumlah atau debitnya. Pola tanam pada sawah tipe ini umumnya
padi-padi-padi atau padi-padi-palawija.
2. Sawah irigasi setengah teknis
Sawah tipe ini sumber persediaan airnya tidak selalu ada sepanjang tahun.
Air yang masuk ke saluran primer dan sekunder saja yang terukur. Pola
tanam pada sawah tipe ini kebanyakan padi-padi atau padi-palawija.
3. Sawah irigasi perdesaan (sawah irigasi sederhana)
Sawah tipe ini sumber airnya berasal dari mata-mata air yang ada di
lembah-lembah bukit yang ditampung di bak kolam penampung air yang
tidak permanen atau permanen. Sawah tipe ini biasanya pada areal yang
terbatas di daerah-daerah lembah bukit. Pada musim hujan ditanami padi

10 Universitas Indonesia
sedangkan pada musim kemarau (MK) sebagian ditanami padi dan
sebagian ditanami palawija atau diberakan (dibiarkan tidak ditanami). Pola
tanamnya adalah padi-palawjia atau padi-bera.
4. Sawah tadah hujan
Sawah tipe ini sumber airnya hanya mengandalkan dari curah hujan.
Umunya diusahakan atau ditanami padi pada musim hujan (MH),
sedangkan pada musim kemarau diberakan. Pola tanamnya adalah padi-
bera atau palawija-padi.
5. Sawah rawa pasang surut
Sawah tipe ini sistem pemgairannya sangat dipengaruhi pasang naik dan
pasang surut air. Air yang masuk dan keluar petakan sawah diatur dengan
menggunakan sistem katup yang dibuat secara khusus antarpetak sawah.
Sistem pengairan sawah tipe ini biasanya menggunakan sistem folder dan
sistem garpu.

2.2.2 Pertanian Lahan Kering


Lahan pertanian kering secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Produktivitas tanah umumnya rendah
b. Topografi bervariasi dari datar, berbukit, dan bergunung
c. Tidak dibatasi oleh pematang antar satu petak dengan petak lainnya. Batas
lahan berupa pohon/tanaman tahunan yang permanen atau batas buatan
d. Tingkat erosi umumnya tinggi, terutama jika tidak ada upaya pelestarian
yang berupa sengkedan atau tidak ada tumbuhan (vegetasi)
e. Tidak dapat diusahakan secara intensif seperti sawah, karena persediaan
air sangat terbatas ketika tidak ada curah hujan.
f. Umumnya hanya diusahakan pada saat musim hujan sedangkan pada
musim kemarau diberakan.

Tanaman utama yang diusahakan pada lahan kering ini biasanya adalah padi
gogo, palawija, jagung, sayuran, dan ubi jalar atau singkong Lahan pertanian
kering dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yakni :
1. Pekarangan

11 Universitas Indonesia
Pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah dan
umumnya berpagar keliling. Bentuk dan pola tanaman pekarangan tidak
dapat disamakan, bergantung pada luas tanah, tinggi tempat, iklim, jarak
dari kota, dan jenis tanaman. Teknik pengolahan tanahnya pun
menggunakan sistem tanpa olah tanah, sehingga pemilik dari pekarangan
tidak pernah atau jarang merawat tanahnya, dan dibiarkan begitu saja agar
lebih alami sehingga kandungan bahan organik maupun humusnya lebih
banyak (Loomis dan Connor, 1992).
2. Tegalan
Tegalan umumnya tidak dibatasi oleh pematang tetapi oleh tanaman di
sudut batas petakan tegalan. Keadaan topografinya berkisar dari datar
sampai bergelombang. Ada yang diterasering dan disengked. Biasanya
lahan yang disengked memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat. Pola
tanam pada tegalan biasanya sistem tanam campuran atau tumpang sari.
Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi sawah,
jagung, atau umbi-umbian. (Dove, 1988).
3. Kebun
Kebun adalah lahan pertanian kering yang umumnya ditanami tanaman
tahunan secara permanen,baik yang bersifat monokultur atau campuran.
Tanaman yang biasa ditanam secara monokultur atau tunggal adalah karet,
coklat, teh, kelapa sawit, dan tebu. Tanaman yang ditanam dalam bentuk
kebun campuran adalah buah-buahan, kelapa, kopi, dan kayu-kayuan.

2.3 Tutupan Lahan (Landcover)


Tutupan lahan atau landcover adalah perwujudan secara fisik (visual) dari
vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa
memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut (Justice dan
Townshend, 1981). Definisi tutupan lahan merupakan sesuatu yang sangat
fundamental karena dalam klasifikasinya berbeda dengan penggunaan tanah.
Tutupan lahan dalam pengertian yang paling mendasar hanya terbatas untuk
mendeskripsikan vegetasi dan fitur buatan manusia yang adadi permukaan bumi.
Sedangkan penggunaan tanah ditandai dengan adanya perencanaan, aktivitas, dan

12 Universitas Indonesia
input manusia dalam dalam menghasilkan, mengubah, atau mempertahankan jenis
tutupan lahan tertentu (Di Gregorio dan Jansen, 2000).

Analisis tutupan dan penggunaan lahan merupakan tahapan awal untuk


memahami keruangan suatu area atau objek penelitian. Melalui bantuan citra
satelit dan tehnik penginderaan jauh, fitur-fitur alami dan antropogenik yang
tampak dalam citra diekstraksi, dikelompokkan, dilakukan groundcheck kemudian
dianalisis. Menurut United Nation of Food and Agriculture Organization
(UNFAO), kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu daerah
bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup lahan dalam kategori
daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi
yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan
distribusi spasialnya. Dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas
mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian
atau kedalaman objek(Di Gregorio dan Jansen, 2000).

Badan Standardisasi Nasional menerbitkan SNI nomor 7645:2010 tentang


Klasifikasi Penutup Lahan dan SNI Nomor SNI 19-6728.3-2002 yang menyusun
klasifikasi penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.
Standar ini mengacu pada Land Cover Classification System United Nation –
Food and Agriculture Organization (LCCS – UNFAO) dan ISO 19144-1
Geographic Information – Classification System – Part 1 : Classification System
Structure, dan dikembangkan sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia.
Penggunaan lahan di Indonesia dikelompokkan dalam 3 kriteria yakni: (1) jenis
penggunaan (2) Status penguasaan yang mengacu kepada UU Pokok Agraria No.5
Tahun 1960, dan (3) Pola ruang mengacu kepada Kepres No. 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Tabel 2.1. Klasifikasi Penutupan Lahan menurut SNI 7645:2010

Daerah bervegetasi Daerah tidak bervegetasi


A. Daerah pertanian: A. Lahan terbuka:
Sawah irigasi, Sawah tadah Lahan terbuka pada kaldera, Lahar dan
hujan, Sawah lebak, Sawah lava, Hamparan pasir pantai, Beting
pasang surut, Polder

13 Universitas Indonesia
perkebunan, Perkebunan
campuran, Tanaman pantai, Gumuk pasir, Gosong sungai
Campuran
C. Permukiman dan lahan bukan
pertanian:
B. Daerah Bukan Pertanian:
Lahan terbangun, Permukiman,
Hutan lahan kering, Hutan
Bangunan Industri, Jaringan jalan,
lahan basah, Belukar, Semak,
Jaringan Jalan kereta api, Jaringan
Sabana, Padang alang-alang,
listrik tegangan tinggi, Bandar Udara,
Rumput rawa
domestik/internasional, Lahan tidak
terbangun, Pertambangan, Tempat
penimbunan sampah/deposit
D. Perairan:
Danau, Waduk, Tambak ikan, Tambak
garam,Rawa, Sungai, Anjir pelayaran,
Saluran irigasi, Terumbu karang,
Gosong pantai/dangkalan
(Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 2010)

Tabel 2.2. Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut SNI 19-6728.3-2002

Klasifikasi
Klasifikasi Status Klasifikasi Kawasan
Penggunaan Lahan
Penguasaan Lahan Lindung dan Budidaya
(Tingkat Nasional)
1. Pemukiman 1. Tanah Negara (TN) : 1. Kawasan lindung :
2. Sawah Tanah negara bebas yang kawasan yang berfungsi
3. Pertanian statusnya masih dikuasai lindung.
Lahan Kering negara. 2. Kawasan budidaya :
4. Kebun 2. Tanah Negara dibebani kawasan diluar kawasan
5. Perkebunan Hak (TAH): Tanah yang lindung yang bisa
6. Pertambangan sudah dibebani hak seperti dibudidayakan.
7. Industri dan Hak Milik, Hak Adat, Hak
Pariwisata Guna Usaha (HGU), Hak

14 Universitas Indonesia
Guna Bangunan (HGB), Hak
Pakai, Hak Pengelolaan. Hak
Milik merupakan tanah milik
8. Perhubugan
yang telah bersertipikat. Hak
9. Lahan
Adat/Ulayat belum
Berhutan
bersertipikat.
10. Lahan Terbuka
11. Padang
Acuan :UU No.5 Tahun 1960 Acuan: Kepres No. 32
12. Perairan darat
tentang Peraturan dasar Tahun 1990 tentang
13. Lain-lain
pokok-pokok agraria Pengelolaan Kawasan
(Lembaran Negara Lindung
RI No.104 Tahun1960).
(Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2002)

2.2 Penggunaan Tanah di Pedesaan


Menurut Sandy (1995) penggunaan tanah merupakan wujud dari kegiatan
manusia pada suatu ruang atau tanah. Penggunaan tanah berkaitan dengan
kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu dan biasanya digunakan untuk
mengacu pemanfaatan masa kini. Dengan demikian penggunaan tanah dapat
dikatakan sebagai bentuk aktifitas manusia di permukaan bumi sebagai suatu
ruang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Gabungan dari berbagai jenis penggunaan tanah pada suatu wilayah


disebut pola penggunaan tanah. Menurut Arifin et al. (2001), iklim, relief, dan
tanah ikut membentuk lanskap dan pola tata guna tanah. Pola penggunaan tanah
dapat menjadi dasar penjelasan struktur dan fungsi ruang (Sandy, 1995). Ada pola
penggunaan tanah perdesaan, dan ada pola penggunaan tanah perkotaan.
Desa menurut kata asalnya bersasal dari bahasa Sansekerta “dhesi”, yang
berarti tanah kelahiran. Jadi, desa desa tidak hanya dilihat dari kenampakan
sebutan desa fisiknya saja tetapi juga dimensi sosial budayanya. Secara kasat
mata, wilayah pedesaan dicirikan oleh letak geografisnya yang jauh dari pusat
perkembangan (kota), wilayahnya masih alami, dan sebagian besar arealnya

15 Universitas Indonesia
dimanfaatkan untuk persawahan, ladang, perumahan, atau kebun penduduk.
Sebagian penduduk desa bekerja di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan
pengertian desa menurut Daldjoeni (Santosa dan Muta’ali, 2014), bahwa desa
merupakan permukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya
bekerja dalam bidang agraris atau pertanian.
Di Pulau Jawa, pola penggunaan tanah desa-desanya memiliki pola yang
hampir sama, yaitu adanya pusat pemerintahan desa yang berada di tengah desa,
kemudian lumbung desa, pekuburan desa, tempat pemandian umum, pasar,
sekolah, masjid, dan gardu-gardu (Santosa dan Muta’ali, 2014). Selain itu, Arifin
(1998) juga menyatakan bahwa tipe penggunaan tanah yang khas di pedesaan
pada masyarakat pertanian khususnya di Jawa adalah ladang dan sawah yang
terletak di pinggir hutan atau talun.
Penggunaan tanah menurut Iman (1999) adalah konfigurasi spasial atau
tata ruang penggunaan tanah suatu wilayah untuk waktu tertentu dan secara umum
pola tersebut merefleksikan aktivitas manusia yang membutuhkan tanah untuk
memproduksi pangan, lokasi permukiman, serta fasilitas lain. Masyarakat
Kasepuhan yang masih memiliki corak kehidupan Sunda lama, menggunakan
tanahnya untuk permukiman. Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam di
sekitar lingkungannya menurut persepsi mereka terhadap alam. Dalam hal ini,
Ningrat (2004) membagi penggunaan tanah dalam masyarakat kasepuhan, yakni :
1.) bangunan (rumah); 2.) kebun/talun/huma; 3.) sawah; 4.) hutan; 5.) makam; 6.)
lapangan; dan 7.) leuit atau lumbung.

2.3 Penelitian Terdahulu

16 Universitas Indonesia
Berikut ini adalah penelitian-penelitian terdahulu sejenis yang dapat
dipertimbangkan :
Tabel 2.3Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Nama Pengarang Ringkasan Jenis
.
1. Landscapes : The Thomas Greider Paper ini menyajikan kerangka teori Jurnal
Social Construction dan Lorraine mengenai pemahaman tentang
of Nature and the Garkovich hubungan komunitas adat dengan alam
Environment (1994) dan lingkungannya. Kerangka teori ini
membangun perspektif yang
mendefinisikan “lanskap” sebagai
lingkungan hasil buatan manusia yang
memberikan makna bagi lingkungan
alam.
2. Comparative Myrtille Lacoste, Penelitian ini memberikan gambaran Jurnal
Agriculture Roger Lawes, mengenaidampak dari heterogenitas
Methods Capture Olivier Ducortieux, lanskap pada jenis praktik pertanian,
Distinct Production dan Ken Flower kinerja dan hasil produksi tanaman
Practices Across a (2016) gandum di Australia Barat. Metode
Broadacre yang dilakukan dalam peneltian ini
Australian yakni analisis lanskap, penelusuran
Landscape sejarah, dan wawancara mendalam
semi-terstruktur dengan pemilik-
pemilik lahan pertanian setempat.
3. Using Landscape Sujithkumar Penelitian ini menerapkan Jurnal
Typologies to Surendam Nair, kerangkakerja agroekosistem untuk
Model Benjamin L. mengevaluasi faktor-faktor penentu
Socioecological Preston, Anthony variabilitas spasial lanskap terhadap
Systems : W. King, dan Rui hasil panen. Tipologi lanskap yang
Application to Mei (2016) ditentukan dengan faktor biofisik
Agriculture of The (iklim, jenis tanah, dan topografi) dan
United States Gulf faktor sosial ekonomi memiliki

17 Universitas Indonesia
Coast pengaruh pada hasil produksi
pertanian jagung, kedelai dan kapas di
wilayah penelitian.
4. Karakteristik Andya Ayu Ningrat Penelitian ini menganalisis faktor- Skripsi
Lanskap Kampung (2004) faktor yang mempengaruhi karakter
Tradisional di lanskap kampung tradisional pada
Halimun Selatan masyarakat adat yang ada di kawasan
dan Faktor-Faktor Halimun, Jawa Barat. Metode yang
yang digunakan adalah observasi dan
Mempengaruhinya penelusuran sejarah. Analisis
(Studi pada deskriptif digunakan untuk
Kampung memperoleh karakter lanskap
Kasepuhan kampung tersebut. Karakter lanskap
Kesatuan Adat kampung kasepuhan dipengaruhi
Banten di Desa faktor sosial budaya dan alam, seperti
Sinarresmi) iklim, relief, dan topografi.
5. Karakteristik dan Fuji Rasyid Penelitian ini mengidentifikasi dan Skripsi
Faktor-Faktor yang (2008) menganalisis faktor-faktor yang
Mempengaruhi mempengaruhi tatanan lanskap budaya
Lanskap Budaya permukiman Nagari Kamang Mudik
Nagari Kamang Metode yang digunakan adalah
Mudik di observasi, wawancara, dan studi
Kabupaten Agam pustaka. Analisis spasial dan deskriptif
Propinsi Sumatera digunakan untuk menjelaskan tatanan
Barat lanskap dan dan konsep ruang dalam
kesatuan unit lanskap. Pengelolaan
lanskap oleh masyarakat nagari
disesuaikan dengan filosofi adat yang
bersumber dari alam.

BAB III

18 Universitas Indonesia
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Daerah Penelitian


Penelitian ini dilakukan di desa adat yang terletak di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni Desa Sirnaresmi. Secara
geografis, desa ini terletak pada 6o45’20” LS–6o51’40” LS dan 106o33’20” BT–
106o33’20” BT. Desa Sirnaresmi di Kabupaten Sukabumi ini memiliki luas
wilayah sebesar 4.917 Ha. Desa ini berbatasan dengan Desa Sirnagalih di wilayah
utara, Desa Cihamerang di wilayah timur, dan Desa Cicadas di wilayah selatan
dan barat. Desa Sirnaresmi sendiri terbagi menjadi 7 dusun, yakni diantaranya
Sirnaresmi, Cibombong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cipulus, dan Sukamulya.

3.2 Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis variabel
yakni variabel fisik, yang mencakup bentuk medan, aliran sungai, dan penutupan
lahan, serta variabel sosial yang meliputi tradisi dan aktivitasbertani masyarakat
setempat.

3.3 Alur Pikir Penelitian


Penelitian ini mencoba menganalisis hubungan antara kondisi fisik alam
dengan tradisi bertanidalam membentuk lanskap agrikultur di desa adat
Kecamatan Cisolok. Analisis hubungan tersebut dilakukan dengan mengkaji
unsur-unsur pembentuk lanskap, yakni unsur fisik alam, penutup lahan, dan aspek
manusia. Unsur fisik lanskap meliputi bentuk medan yang berasal dari ketinggian
dan kemiringan lereng dan keberadaan aliran sungai. Penutup lahan yang dikaji
dalam penelitian iniyakni berupa keberadaan tutupan vegetasi yang membentuk
lanskap agrikultur itu sendiri. Aspek manusia yang dikaji dalam penelitian ini
meliputi budaya masyarakat setempat khususnya di bidang pertanian yang
diterapkan melalui tradisi bertani masyarakat setempat. Kerangka pikir yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

19 Universitas Indonesia
Gambar 2.Alur Pikir Penelitian

Hubungan antara kondisi fisik alam dan penggunaan tanah pertanian


sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah akan membentuk
lanskap agrikultur di desa adat Kecamatan Cisolok. Setelah itu, keberadaan
lanskap agrikultur tersebut akan dianalisis dengan menggunakan analisis spasial
dan analisis deskriptif.

3.4 Alur Kerja Penelitian


Terdapat lima tahapan dalam pelaksanaan penelitian ini, yakni tahap
persiapan, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap analisis data,
dan kemudian tahap menyimpulkan hasil penelitian.

20 Universitas Indonesia
Pengumpulan Data Pengolahan Data
- Data Primer :
- Pembuatan Peta
Persiapan Observasi, survei
Bentuk Medan dan
lapang, wawancara,
Menentukan Peta Aliran Sungai
plotting dengan GPS
topik penelitian, dan dokumentasi
- Mengolah Citra
Perumusan Landsat-8 untuk
- Data Sekunder :
masalah, Studi mengetahui tutupan
Studi literatur;
literatur, dan lahan
Pengumpulan data
Menentukan - Pengolahan data
ketinggian, kemiringan
metodologi lereng, aliran sungai, kuesioner
penggunaan tanah dan - Pembuatan Peta
citra penutup lahan. Lanskap Agrikultur

Hasil Analisis Data


Peta lanskap agrikultur Analisis spasial
di desa adat Kecamatan dan analisis
Cisolok deskriptif

Gambar 3.Alur Kerja Penelitian

Tahap persiapan merupakan tahapan paling awal dalam penelitian dimana


konsep penelitian dipersiapkan. Tahap ini meliputi penentuan topik penelitian,
perumusan masalah, studi literatur, serta menentukan metodologi penelitian.
Tahap kedua adalah tahap dimana data-data yang mendukung berlangsungnya
penelitian dikumpulkan. Pengumpulan data primer meliputi proses observasi,
survey lapang, wawancara, plottingdengan GPS dan dokumentasi. Pengumpulan
data sekunder meliputi studi literatur dan pengumpulan data spasial variabeldari
instansi-instansi terkait. Tahap ketiga adalah tahap pengolahan data dimana peta-
peta tematik dibuat dan Citra Landsat-8 diolah untuk mendukung berlangsungnya
proses penelitian, selain itu data primer yang didapatkan di lapangan juga

21 Universitas Indonesia
dikumpulkan dan diolah untuk dilakukan analisis. Tahap selanjutnya adalah tahap
analisis data penelitian yang telah dikumpulkan. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis spasial dan analisis deskriptif. Tahap terakhir adalah
tahap penarikan kesimpulan hasil akhir penelitian berupa peta lanskap agrikultur
di desa adat Kecamatan Cisolok.

3.5 Pengumpulan Data


Inventarisasi atau pengumpulan data primer didapatkan melalui metode
survey (observasi lapang, wawancara, dan dokumentasi), sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka dan dokumen-dokumen dari instansi-instansi
terkait. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1.Data penelitian


No. Data Interpretasi Sumber Data
1. Aspek Fisik
a. Ketinggian dan a. Bentuk lahan dan a. Pengolahan DEM
kemiringan topografi SRTM
lereng
b. Aliran sungai b. Jarak dari sungai, b. Badan Informasi
pola irigasi Geospasial (BIG)
c. Penutup lahan c. Jenis tutupan lahan c. Citra Landsat-8
USGS
d. Penggunaan d. Jenis penggunaan d. Badan Pertanahan
Tanah tanah Nasional
2. Aspek Manusia
Sosial dan Budaya Infrastruktur pertanian, Studi pustaka,
tradisi dan aktivitas observasi lapang, dan
bertani wawancara
(Sumber : pengolahan data, 2016)
3.5.1 Data Primer
Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini terkait dengan
infrastruktur pertanian, serta tradisi dan aktivitas pertanian di desa adat setempat.
Data primer ini didapatkan melalui kegiatan survey, observasi partisipatif, dan
wawancara. Data primer yang dikumpulkan dengan metode wawancara

22 Universitas Indonesia
dimaksudkan untuk mendapat informasi yang mengarah kepada kegiatan
pertanianyang dilakukan oleh masyarakat setempat, meliputi jenis lahan pertanian,
aktivitas bertani, pemilihan jenis tanaman/ komoditas pertanian, serta aturan adat
yang mengatur sistem pertanian setempat.
Wawancara dilakukan dengan metode in-depth interview (wawancara
mendalam) semiterstruktur dengan menggunakan kuesioner. Metode ini dilakukan
dengan mewawancarai kepala adat setempat sebagai informan kunci atau
gatekeeper dan mewawancarai petani setempat yang diakukan denganpurposive
sampling. Teknikpurposive sampling dipilih karena dalam penelitian ini
dibutuhkan pemilihan informan dengan tujuan tertentu, dimana informan yang
didapatkan harus memiliki kriteria sesuai dengan yang telah ditentukan
sebelumnya agar menghasilkan informasi yang diperlukan, kemudian dilanjutkan
dengan memilih titik sampling untuk informan berdasarkan klasifikasi bentuk
medan di wilayah penelitian. Wawancara dilakukan dengan pedoman kuisioner
dengan jenis kuisioner terbuka, dimana peneliti tidak memberikan pilihan jawaban
tertentu yang harus dijawab oleh responden. Dalam pelaksanaannya, pengisian
kuisioner tidak dilakukan sendiri oleh responden. Pengisian kuisioner dilakukan
oleh peneliti, dimana jawaban responden didapatkan dari kegiatan wawancara.

Kriteria informan adalah sebagai berikut:


1. Penduduk yang tinggal di wilayah penelitian.
2. Penduduk yang memiliki tanah pertanian, penyewa lahan pertanian, atau
sebagai buruh tani.
3. Memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai wilayah penelitian dan
mengenai tradisi dan aktivitas bertani di wilayah penelitian.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari instansi terkait, seperti data kontur untuk
mengetahui ketinggian dan kemiringan lereng didapatkan melalui website resmi
CGIAR (Consultative Group on International Agriculture Research), data aliran
sungai dari Badan Informasi Geospasial skala 1 : 25.000, dan Citra Landsat-8
yang diunduh dari website resmi USGS.

23 Universitas Indonesia
3.6 Pengolahan Data
Dari keseluruhan data yang diperoleh tersebut, selanjutnya dilakukan
pengolahan data. Tahap-tahap yang dilakukan dalam proses pengolahan data
dibagi menjadi pengolahan data spasial dan pengolahan data wawancara.Tahap
pengolahan data spasial yang pertama yakni pengolahan data dari data sekunder
yang didapatkan, yakni pembuatan peta bentuk medan, peta aliran sungai, dan
pengolahan citra Landsat-8 untuk mengetahui jenis tutupan lahan di daerah
penelitian. Data spasial diolah dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS
10.2.Sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse
Mercator (UTM). Sistem proyeksi tersebut lazim digunakan dalam pemetaan
topografi sehingga sesuai digunakan dalam pemetaan tematik. Data wawancara
dan dokumentasi hasil temuan dilapangan dikumpulkan dan ditabulasikan. Data
wawancara tersebut meliputi tradisi bertani padi sawah dan aktivitas waktu tanam
serta penyesuaian petani padi terhadap kondisi lanskap di daerah penelitian.
Dari pengolahan data spasial dan data wawancara tersebut, selanjutnya
akan dilakukan pembuatan peta penggunaan tanah untuk dapat memberikan
gambaran dari lanskap agrikultur di daerah penelitian. Selain itu untuk
memperkuat analisis data, dilakukan pembuatan penampang melintang dari
bentuk medan dan penggunaan tanah tersebut untuk menjelaskan karakteristik
lanskap agrikultur di desa adat Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

3.6.1 Peta Bentuk Medan


Peta bentuk medan diperoleh melalui overlay peta ketinggian dengan peta
lereng. Peta ketinggian dibuat dengan klasifikasi I Made Sandy, yakni sebagai
berikut :
1. 100 – 500 mdpl
2. 500-1.000 mdpl
3. >1000 mdpl
Peta lereng dibuat dengan klasifikasi Desaunettes, yakni :
1. <2%
2. 2-15%
3. 15-40%

24 Universitas Indonesia
4. >40%
Setelah data spasial ketinggian dan lereng wilayah disusun, maka
dilakukan analisis overlay data untuk menghasilkan peta bentuk medan. Bentuk
medan yang disusun mengacu pada klasifikasi dari I Made Sandy sebagai berikut:
Tabel 3.2 Klasifikasi bentuk medan
Faktor Pembentuk
Kelas Bentuk Medan
Lereng (%) Ketinggian (mdpl)
Dataran rendah 0-2 <100
Landai <15 <500
Bergelombang >15 100-500
Dataran tinggi <15 500-1000
Berbukit curam >15 500-1000
Berbukit terjal >40 100-500
Bergunung landai 0-2 >1000
Bergunung agak curam 2-15 >1000
Bergunung curam 15-40 >1000
Bergunung terjal >40 >1000
(Sumber : Sandy, 1985.)

3.6.2 Peta Aliran Sungai


Data spasial aliran sungaipada tahap ini diolah dengan software ArcGis
10.2 dan dilakukan analisis buffer untuk mengetahui pengaruh jarak dari sumber
air terhadap sistem irigasi pertanian yang dilakukan di daerah penelitian.

3.6.3 Peta Tutupan Lahan


Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan pengolahan citra
menggunakan software ENVI 5.1.Sebelum citra dianalisis, tahap awal yang harus
dilakukan adalah proses preprocessing, yakni kalibrasi dan
koreksi.Selanjutnya,klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan pengolahan citra
dengan teknik klasifikasi unsupervised atau dapat diartikan sebagai teknik
klasifikasi yang tidak diawasi. Klasifikasi unsupervised merupakan
pengklasifikasian dengan pengelompokkan pixel-pixel dengan karakteristik umum
yang didasarkan pada analisis perangkat lunak (software analysis) suatu citra.

25 Universitas Indonesia
a. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan langkah pertama dalam pengolahan citra
yang masih original atau masih bersifat data mentah (raw data). Proses ini
sangat penting dilakukan karena saat satelit merekam bumi, terjadi distorsi
sehingga menurunkan kualitas citra. Distorsi yang mempengaruhi radiometrik
citra (kemampuan sensor merekam reflektan obyek muka bumi) yang muncul
salah satunya adalah akibat gangguan atmosfer dan pengaruh sudut elevasi
matahari. Untuk menghilangkan efek yang ditimbulkan oleh atmosfer, maka
dilakukan koreksi radiometrik Top of Atmosphere (TOA) reflectance dan Sun
angle correction.
b. Cropping Citra
Cropping citra akan dilakukan untuk mendapatkan citra yang sudah
terkoreksi dengan batas wilayah Kecamatan Cisolok. Cropping citra akan
dilakukan dengan memasukan shapefile batas administrasi Kecamatan Cisolok
dan citra yang sudah melalui tahapan koreksi radiometrik.
c. Klasifikasi Supervised
Klasifikasi ini merupakan teknik pengolahan pada citra dengan cara
mengelompokkan pixel-pixel menjadi sejumlah kelas, sehingga setiap kelas
memiliki pola-pola atau distribusi spasial yang unik dan spesifik yang
mencerminkan suatu obyek atau informasi yang bermanfaat. Teknik ini
dilakukan dengan prosedur pengambilan sampel beberapa pixel untuk masing-
masing kelas/obyek. Sampel atau Region Of Interest (ROI) ini digunakan untuk
mendapatkan karakteristik nilai pixel di masing-masing obyek/kelas.
Kemudian seluruh pixel yang bukan sebagai sampel akan dikelompokkan
dengan mengacu pada karakteristik nilai pixel sampel yang telah diambil
dengan menerapkan perhitungan statistik.

3.6.4 Data Wawancara


Data wawancara dan dokumentasi hasil temuan dilapangan dikumpulkan
dan ditabulasikan. Data wawancara tersebut meliputi tradisi dan aktivitas bertani
di desa adat Kecamatan Cisolok, yakni jenis lahan pertanian, jenis kegiatan
pertanian yang dilakukan petani setempat, jenis tanaman/komoditas pertanian,

26 Universitas Indonesia
serta faktor lain yang mempengaruhi penggunaan tanah pertanian seperti aturan
mengenai tanah adat setempat. Data-data hasil kuesioner dan wawancara pada
tahap ini diolah menggunakan software Microsoft Excel 2010, sehingga menjadi
data tabular.Data-data yang telah diolah menjadi data tabular pun akan
ditampilkan ke dalam bentuk grafik agar lebih mudah dianalisis. Informasi-
informasi tambahan yang didapatkan dari hasil wawancara kemudian akan
dikumpulkan dan dinarasikan untuk mendeskripsikan hasil temuan lapang.

3.6.5 Peta Lanskap Agrikultur


Peta lanskap agrikultur ini dihasilkan dari proses pengolahan citra
Landsat-8 untuk mengetahui jenis tutupan lahan, dan validasi data dari peta
penggunaan tanah dan hasil survey lapang. Peta yang dihasilkan merupakan
gambaran dari lanskap agrikultur di wilayah penelitian.

3.6.6 Penampang Melintang


Pembuatan penampang melintang digunakan untuk mengetahui hubungan
bentuk medan dengan penggunaan tanah pada lanskap agrikultur di daerah
penelitian. Pembuatan penampang melintang (cross-section) dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (ArcGIS 10.2). Penentuan
penarikan garis penampang melintang berdasarkan variasi bentuk medan dan
penggunaan tanah ini digunakan sample ruang lanskap agrikultur di daerah
penelitian.

3.7 Analisis Data


Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis lebih lanjut untuk dapat
menjawab pertanyaan penelitian. Untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian
yang ada, digunakan analisis spasial dan deskriptif. Analisis spasial dilakukan
untuk mengetahui pengaruh hubungan bentuk medan dengan penggunaan tanah
yang membentuk karakteristik lanskap agrikultur di daerah penelitian. Selanjutnya
karakteristik lanskap agrikultur tersebut dikaji dan dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan hasil
wawancara kualitatif kepada informan kunci dan responden yang berada di daerah

27 Universitas Indonesia
penelitian. Analisis deskriptif dalam hal ini diperlukan untuk memperkuat
dan/atau membuktikan fakta yang didapatkan saat survey lapang.

28 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Adimiharja, Kusnaka. (1985). Kasepuhan : Dampak Ekologi dari Kehidupan


Tradisional dalam Kegiatan Pertanian. Jakarta.
Adimiharja, Kusnaka. (1992). Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh
(Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung
Halimun Jawa Barat). Tarsito. Bandung. 223 hal.
Arifin, H. S. (1998). Study on the Vegetation Structure of Pekarangan and Its
Changes in West Java, Indonesia. Disertasi. The Graduate School of
Natural Science and Technology, Okayama University.
Arifin, H. S., K Sakamoto dan Takeuchi. (2001). Study of Rural Landscape
Structure Based on Its Different Bioclimatic Conditions in Middle Part of
Citarum Watershed, Cianjur District, West Java, Indonesia. Proceedings
of the 1st Seminar. Graduate School of Agricultural and Life Sciences,
The University of Tokyo, Japan. Pp: 102-107.
Badan Standardisasi Nasional. (2010). Standar Nasional Indonesia : Klasifikasi
Penutup Lahan. Jakarta.
Burton, R. (1995). Travel Geography, 2nd ed. Edinburgh Gate, Harlow : Addison
Wesley Longman.
Desaunettes, JR. (1977). Catalogue of Landforms for Indonesia: Examples of
Physiographic Approach to Land Evaluation for Agriculture Development.
Bogor : Soil Research Institute.

Di Gregorio, A., Jansen, L. J. M. (2000). Land Cover Classification System


(LCSS) : Classification Concepts and User Manual. Food and Agriculture
Organization of the United Nations.

Dove, M. K. (1988). Sistem Perladangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
Greider, T., Garkovich, L. (1994). Landscapes : The Social Construction of
Nature and the Environtment. Rural Sociology, Vol. 59, No. 1, Spring
1994, Pp 1-24.
Esten, M. (1999). Kajian Transformasi Budaya. Bandung : Angkasa.
Iman, L. O. S. (1999). Analisis Spasial Konversi Lahan dalam Kaitannya dengan
Karakteristik Fisik Sumber Daya Lahan dan Aksesibilitasnya Terhadap
Pusat-pusat Kota di Kawasan Hulu DAS Cimanuk. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Justice, C.O., Townshend, J.R.G. (1981). Integrating Ground Data with Remote
Sensing. London : George Allen and Unwin.

29 Universitas Indonesia
Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Antropologi I. Jakarta : Rineka Cipta.
Lacoste, M., Lawes, R., Ducortieux, O., Flower, K. (2016). Comparative
Agriculture Methods Capture Distinct Production Practices Across a
Broadacre Australian Landscape. Agriculture, Ecosystem and Environment
233 (2016) 381-395. Elsevier.
Loomis, R. S., Connor, D.J. (1992). Crop Ecology: Productivity and management
in agricultural systems. Britain: Cambridge University Press.
Masinambow, E. K. M. (1997). Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Memmot, P., Long, S. (2002). Place Theory and Place Maintenance in Indigenous
Australia. Urban Policy and Research, Vol. 20, No. 1, pp. 39-56.
Nair, S. S., Preston, B. L., King, A. W., Mei, R. (2016). Using Landscapve
Typologies to Model Socioecological Systems : Application to Agriculture
of the United States Gulf Coast. Environmental Modelling & Software 79
(2016) 85-95. Elsevier.
Ningrat, Andya Ayu. (2004). Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional di
Halimun Selatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Skripsi.
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Nurmala, Tati., Aisyah D. Suyono., dkk (2012). Pengantar Ilmu Pertanian.
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
TNGHS. (2007). Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Periode 2007-2016. Sukabumi : TNGHS.
Phillips, A. (2007). International Policies and Landscape Protection. In : Benson
JF, Roe M (eds) Landscape and Sustainability. Routledge, New York.
Rasyid, Fuji (2008). Karakteristik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Lanskap Budaya Nagari Kamang Mudik di Kabupaten Agam Propinsi
Sumatera Barat. Skipsi. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sandy, I. M. (1985). Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta : Jurusan
Geografi FMIPA UI.
Sandy, I. M. (1995). Tanah Muka Bumi, UUPA 1960 – 1995. Jakarta : PT
Indograph bakti. FMIPA – UI.
Sangaji, Anto. (1999). Negara, Masyarakat Adat, dan Konflik Ruang. Bogor:
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Hal 7-10.
Santosa, L.W., Muta’ali, L. (2014). Bentang Alam dan Bentang Budaya.
Yogyakarta : Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.

30 Universitas Indonesia
Sauer, C. (1925). “The Morphology of Landscape,” dalam Land and Life : A
Selection From the Writings of Carl Ortwin Sauer, ed John Leighly.
University of California Press, Berkley, 1963.
Turner, B.L II. (1997). Spirals, Bridges, and Tunnels: Engaging Human-
Environtment Perspectives in Geography. Ecumene 4 : 196-217.
Van Aarsten, J.P. (1953). Ekonomi Pertanian di Indonesia. Jakarta : Yayasan
Pembangunan.
Zonnefeld, I. S. (1979). Land Evaluation and Land(scape) Science. ITC Textbook
VII.4 (2nd ed.), ITC Enschede. 134 PP. The Hague, Netherlands.

31 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai