Anda di halaman 1dari 22

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN

NUSA TENGGARA

Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Indonesia Masa Kesultanan

Dosen Pengampu
Dr. Daya Negri Wijaya, M. Hum

Disusun oleh :
Adinda Dewi Angelina Putri. K. (220732601206)
Ayu Sarifatul Musyarofah (220732601170)
Ismi Nur Halimah (220732603976)
M. Reza Satria Dewangga (220732603667)
Syfa Aghniya Putri Ertrisia (220732600947)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kajian Geohistori Peradaban Hindu-Buddha Nusantara: Mataram Kuno Abad 8-
10 M”. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran secara
komprehensif mengenai kondisi Mataram Kuno dan pengaruhnya terhadap perkembangan
peradaban Hindu-Buddha di Nusantara.
Terselesaikannya penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Deny Yudo Wahyudi selaku dosen
pengampu matakuliah Geohistori yang telah membimbing kami selama proses penyusunan
makalah. Selanjutnya, ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman dan
pihak-pihak yang telah memberikan banyak dukungan baik berupa doa, kritik, saran, dan
masukan yang sangat berguna dalam penyusunan makalah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar menjadi referensi
dalam penyusunan makalah yang lebih baik. Kami berharap adanya makalah ini dapat
menjadi rujukan dan menambah wawasan tentang geohistori peradaban Mataram Kuno bagi
para pembaca.

Malang, 28 Februari 2024

Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geografi tanpa sejarah bagaikan jerangkong tanpa gerak, sejarah tanpa geografi bagai
kelana tanpa tempat tinggal (Daldjoeni, 1982). Ungkapan di atas menggambarkan bahwa
lingkungan geografis mempunyai peran dan pengaruh penting dalam perjalanan sejarah,
bukan hanya menjadi aspek spasial dari jalannya sejarah itu sendiri. Namun pada
kenyataannya, kondisi lingkungan sangat mempengaruhi berkembang dan runtuhnya suatu
peradaban. Peristiwa di masa lampau tentunya melibatkan manusia dengan setting alamnya
tertentu yang berbeda di setiap wilayah. Oleh karena interaksi antara manusia sebagai
pembuat sejarah dengan kondisi geografis wilayah tempat tinggalnya mutlak pernah terjadi di
masa silam dan mungkin akan terus terjadi di suatu wilayah sesuai perubahan-perubahan yang
terjadi di setiap masa (Riyanto, 1995).
Dengan menelaah kondisi geografis di setiap wilayah setidaknya diketahui bagaimana
seluk beluk cara manusia dari masa ke masa telah memanfaatkan berbagai kesempatan yang
ditawarkan oleh lingkungan geografis kepadanya. Perbedaan kondisi wilayah dapat bersaksi
mengenai keberadaan dan tingkat peradaban masyarakatnya melalui bukti artefaktual yang
menjadi bagian dari sarana adaptasi masyarakat yang mendiaminya. Atas alasan itu, kajian
geografi sebagai ilmu bantu sejarah sangat membantu dalam menunjang penelitian sejarah
suatu masyarakat, termasuk dalam hal ini dalam mengkaji perkembangan peradaban
masyarakat Jawa Kuno khususnya masa Mataram Kuno pada kisaran abad ke 8-10 Masehi.
Sebagai sebuah kerajaan dan sistem pemerintahan, Mataram Kuno masih belum diketahui
secara pasti batas-batas pasti wilayahnya. Beberapa hal ini dikarenakan faktor-faktor geografis
dan peristiwa alam yang turut menjadi penyebab berubahnya bentang alam di wilayah
kepulauan Jawa di mana letaknya berada. Pada awal berdirinya, Kerajaan Mataram Kuno
berpusat di Poh Pitu, sebuah daerah yang terletak antara Magelang atau Kedu dan Yogyakarta.
Namun, sampai sekarang belum diketahui pasti di mana letak Poh Pitu secara geografis.
Dalam perkembangannya, kemudian oleh Rakai Panangkaran memindahkan pusat
pemerintahan ke arah timur yang menurut beberapa peneliti berada antara di wilayah Sragen
atau Purwodadi-Grobogan saat ini. Sehingga banyak diasumsikan bahwasanya wilayah
kerajaan Mataram Kuno berada di sekitar wilayah Magelang, Yogyakarta, hingga wilayah
pegunungan Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah saat ini (Wignyosubroto, 2016).
Sama halnya dengan peradaban-peradaban dunia yang lainnya, seperti Mohenjo Daro dan
Harappa di lembah sungai Indus atau Tiongkok di sepanjang Sungai Yangtze, peradaban
Nusantara (dalam hal ini Mataram Kuno) juga memiliki kebudayaannya sendiri. Kedigdayaan
peradaban Mataram Kuno sebagai bagian dari peradaban Nusantara dapat dilihat dari berbagai
aspek seperti tinggalan arkeologis, pengetahuan, dan wawasan yang tersimpan dalam memori
kolektif masyarakat selanjutnya. Salah satu contohnya secara fisik yakni peninggalan
artefaktual berupa candi Borobudur yang merupakan kuil Buddha terbesar di dunia dan
deretan candi-candi lain di sepanjang pegunungan Dieng, Wonosobo.
Pada perkembangannya kemudian, pusat wilayah Mataram Kuno disebutkan dipindahkan
ke wilayah timur Pulau Jawa dengan beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Salah satu
teori mendasari hal ini karena alasan kehancuran ibukota Bhumi Mataram akibat mahapralaya
bencana letusan Gunung Merapi (Poesponegoro & Notosusanto, 2008). Pada periode ini,
pusat pemerintahan Mataram Kuno juga tetap mengalami beberapa kali perpindahan dari
keterangan-keterangan dalam sumber artefaktual prasasti. Maka dalam hal ini, geografi
kesejarahan memiliki tempat yang penting dalam upaya merekonstruksi sejarah, mengenai
hubungan kewilayahan serta tinjauan lokasi lingkungan dengan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi berkaitan dengan pemilihan pusat pemerintahan (ibu kota) dan perpindahannya
yang membentuk ragam-ragam adaptasi pada masyarakat penghuninya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas mengenai Kajian
Geohistori Peradaban Hindu-Buddha Nusantara: Mataram Kuno Abad 8-10 M.
Bertujuan untuk membahas lebih mendalam mengenai keterkaitan kondisi geografi dalam
mempengaruhi jalannya peradaban Mataram Kuno dari awal kemunculannya, puncak, dan
kemudian kemunduran.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas mengenai Kajian
Geohistori Peradaban Hindu-Buddha Nusantara: Mataram Kuno Abad 8-10 M.
Bertujuan untuk membahas lebih mendalam mengenai keterkaitan kondisi geografi dalam
mempengaruhi jalannya peradaban Mataram Kuno dari awal kemunculannya, puncak, dan
kemudian kemunduran.
a. Bagaimana pengaruh keberadaan sungai kuno terhadap perkembangan wilayah kerajaan
Mataram Kuno abad ke 8-10 M?
b. Bagaimana pengaruh kondisi geografis Jawa bagian tengah terhadap tipe bangunan
percandian pada masa Mataram Kuno abad ke 8-10 M?
c. Bagaimana pengaruh kondisi geografis sehingga mempengaruhi pemindahan kerajaan
Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur?
d.Bagaimana pengaruh geografis keberadaan pelabuhan Bergota terhadap perdagangan
dan ekonomi kerajaan Mataram Kuno abad ke 8-10 M?
e. Bagaimana pengaruh kondisi geografıs kerajaan Mataram Kuno terhadap cara
kehidupan masyarakat agraris abad 8-10 M?
1.3. Tujuan
Dengan adanya tulisan ini diharapkan memiliki manfaat pengetahuan serta keilmuan bagi
pembacanya. Manfaat tersebut antara lain:
a. Mengetahui pengaruh keberadaan sungai kuno terhadap perkembangan wilayah kerajaan
Mataram Kuno di zaman itu.
b. Mengetahui pengaruh keadaan geografis Jawa bagian tengah terhadap bangunan candi
pada masa Mataram Kuno abad 8-10 M.
c. Mengetahui pengaruh kondisi geografis terhadap pemindahan kerajaan Mataram Kuno
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur abad 10 M.
d. Mengetahui pengaruh keberadaan pelabuhan Bergota dan perubahan keadaan geografis
pesisir utara Jawa abad ke 8-10 Masehi terhadap perdagangan dan ekonomi kerajaan
Mataram Kuno.
e. Mengetahui kondisi geografis kerajaan Mataram Kuno terhadap masyarakat agraris abad
8-10 M.
1.4 Kajian Teori
a. Geohistori
Geohistori mencakup dua ilmu yaitu Geografi dan Sejarah yang dikenali sebagai
Geohistori atau Geografi Kesejarahan dan Geografi Sejarah. Sebagai sebuah keilmuan,
sejarah tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan peran ilmu lain untuk merekonstruksi
sebuah peristiwa sejarah, salah satunya geografi yang berusaha menjelaskan kaitan
geografi mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah. Menurut Soebantardjo dalam
Daldjoeni (1982), Geohistori adalah sebuah ilmu yang menyelidiki, membahas,
menetapkan peranan alam di dalam menentukan jalannya sejarah serta mencari hukum-
hukumnya.
Kajian utama Geohistori adalah mempelajari tentang manusia, perkembangan
keadaan fisik, dan yang berkaitan dengan fakta-fakta keadaan geografi di masa lampau.
Dengan demikian, fakta keadaan geografi diletakkan sebagai bahan pendukung dan
penguat sebuah fakta sejarah. Namun perlu dipahami pula, geografi kesejarahan
(geohistori) adalah sub cabang dari keilmuan sejarah dan geografi. Sehingga kajian dari
hal ini memiliki dua kesimpulan yang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat
fisik pada geografi saja (Munandar & dkk, 2006). Cabang ilmu ini mencari penjelasan
bagaimana budaya dari berbagai tempat di bumi berkembang dan menjadi seperti
sekarang melalui tinjauan pengaruh fisik lingkungan untuk disimpulkan tentang pengaruh
antara suatu masyarakat dahulu dengan keadaan lingkungan terhadap ragam adaptasi
aktivitasnya.

b. Peradaban
Peradaban menurut KBBI daring adalah hal yang menyangkut sopan santun, budi
bahasa dan kebudayaan suatu bangsa. Civilization yang berarti peradaban dalam bahasa
inggris. Civilization berasal dari bahasa latin yaitu civilis yang berarti warga negara dan
berkaitan dengan kata civis atau penduduk dan civitas atau kota. Oleh karena itu, definisi
linguistik dari peradaban atau civilization yaitu menggambarkan suatu keadaan populasi
yang telah mencapai kemajuan yang signifikan. Dalam hal ini masyarakat dengan
kebudayaan tersebut dapat dikatakan mempunyai peradaban.
Dapat disimpulkan bahwa peradaban merupakan kumpulan suatu bentuk
kemajuan dari unsur kebudayaan suatu masyarakat. Baik berupa sistem teknologi, sistem
bahasa, pengetahuan, organisasi, mata pencaharian, agama, dan seni. Beberapa peradaban
berkembang, antara lain peradaban Mesopotamia di lembah Eufrat-Tigris dan peradaban
Mesir di tepian Sungai Nil (Umar, 2009). Penemuan tinggalan arkeologi merupakan
salah satu bukti panjang jejak peradaban di Indonesia, tak terkecuali penemuan naskah
Nusantara yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Mataram Kuno menjadi
salah satu bukti peradaban yang telah berkembang di Nusantara.

1.5 Kajian Teori

Jenis pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Studi
kepustakaan dapat diartikan sebagai kegiatan pengumpulan data penelitian yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan informasi dan data pengumpulan data dengan cara memahami serta
mempelajari teori-teori dari berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut
melalui bantuan literatur baik secara fisik di perpustakaan dan lembaga kearsipan maupun
informasi yang dapat diakses secara digital (Zed, 2004)

Menurut Zed (2004), studi pustaka memiliki beberapa sifat yakni pertama, peneliti
berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan dengan pengetahuan langsung dari
lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang, atau benda-benda lainnya. Dalam titik ini,
peneliti dapat melakukan riset dan pencarian data melalui media penyaji data baik yang diakses
secara langsung seperti literatur pada perpustakaan maupun sajian data yang diakses melalui
media daring. Kedua, data pustaka bersifat siap pakai artinya peneliti tidak pergi kemana-mana
kecuali berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan atau
badan kearsipan. Ketiga, data pustaka umumnya bersifat sumber sekunder, dimana peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan.
Serta, kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Melalui sumber-sumber pustaka yang telah didapatkan, kemudian diolah berdasarkan


bagian yang dirasa penting dan relevan dan permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan guna
membatasi peneliti untuk tidak lari dari objek-objek penelitian yang dilakukan. Karena
menggunakan kepustakaan yang berasal dari arsip dan data penelitian terdahulu, untuk menjaga
peneliti tidak terjebak dalam unsur plagiat, para peneliti hendaknya juga mencatat sumber
informasi dan mencantumkan daftar pustaka pendukung penelitian (Fitrah & Lutfiyah, 2018).
Jika memang informasi berasal dari ide atau hasil penelitian orang lain maka diperlukan
catatan, kutipan, atau informasi yang disusun secara sistematis sehingga penelitian dengan
mudah dapat mencari kembali jika sewaktu-waktu diperlukan.

BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
PENGARUH KEADAAN GEOGRAFIS PELABUHAN BERGOTA DAN PESISIR
UTARA JAWA MASA MATARAM KUNO ABAD 8-10 M

Sebagai sebuah pemerintahan yang besar, hubungan dagang dengan pihak-pihak luar
merupakan sesuatu yang afdol dan termasuk sangat diperlukan. Tidak hanya berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan komoditas-komoditas yang belum sanggup dipenuhi secara domestik,
namun melalui hubungan dagang juga akan berpengaruh pada maju berkembangnya sebuah
wilayah tersebut. Komponen utama dari perdagangan masa kuno yang menjadi gerbang
perdagangan tersebut adalah Pelabuhan. Pelabuhan merupakan salah satu rantai perdagangan
yang sangat penting dari seluruh proses perdagangan, baik itu perdagangan antarpulau maupun
internasional.

Sebagai titik temu antara transportasi darat dan laut, peranan pelabuhan menjadi sangat
vital dalam mendorong pertumbuhan perekonomian, terutama daerah hinterland-nya menjadi
tempat perpindahan barang dan manusia dalam jumlah banyak.Sebagai bagian dari sistem
transportasi, pelabuhan memegang peranan penting dalam perekonomian. Adanya pelabuhan
pada masa lalu menyebabkan munculnya jalur-jalur pelayaran baru di Nusantara. Saat ini masih
banyak pelabuhan kuno tersebar di wilayah Nusantara, baik yang masih berfungsi maupun yang
tinggal bekas-bekasnya. Termasuk dalam hal ini adalah konteks wilayah Mataram Kuno.

Bergota sebagai Pelabuhan Dagang Mataram Kuno


Catatan mengenai keberadaan pelabuhan dagang yang beroperasi dibawah kekuasaan
Mataram Kuno pada kisaran abad 8-10 Masehi, masih sangat minim ditemukan. Selama ini
terdapat anggapan dan teori yang seolah menyatakan bahwasanya Mataram Kuno sendiri adalah
sebuah wilayah tertutup dengan letaknya yang berada di pedalaman pulau Jawa bagian Tengah,
sehingga seringkali kedigdayaan Mataram Kuno disandingkan dengan imperium lain yang juga
eksis semasa dengannya seperti Sriwijaya dan Kedah Tua yang memiliki bukti-bukti penguat
akan eksistensinya dalam kancah perdagangan dunia. Teori ini tidak sepenuhnya salah, namun
juga tidak sepenuhnya benar. Sebab suatu hal yang mustahil sebuah pemerintahan dapat bertahan
dan eksis ditandai dengan keberadaan tinggalan arkeologisnya yang megah seperti Borobudur,
Prambanan, dan lainnya tanpa adanya hubungan dengan dunia luar, seperti yang juga
tervisualisasi dalam beberapa panel relief candi Borobudur yang mengindikasikan adanya
jaringan maritim yang merambah ke wilayah Mataram Kuno.

Relief perahu bercadik pada 10 panel relief candi Borobudur dapat menginformasikan
adanya kemampuan bahari masyarakat terutama di pesisir utara Jawa. Namun terdapat sangat
sedikit informasi yang dapat ditinjau dalam melihat keberadaan pelabuhan dagang Mataram
Kuno. Pelabuhan yang diyakini pernah eksis ini diperkirakan berada di wilayah Bergota,
Semarang. Hal ini dirasa sesuai dan relevan dengan keberadaan Semarang yang berada di
sepanjang pesisir utara Jawa, dengan ombak laut yang tidak begitu tinggi dengan kedalaman laut
yang dirasa sesuai.

Sebagaimana informasi yang ditemukan dari catatan-catatan pedagang Persia, Abu Zaid
yang pernah menginjakkan kaki di wilayah pesisir wilayah ini pada sekitar 916 AD. Disebutkan,
bahwasanya Semarang (saat itu disebut Pragota atau Bergota) adalah pelabuhan dari sebuah
Kerajaan Hindu yang berada di pedalaman. Terdapat dua pendapat mengenai dua kerajaan yang
dimaksud, yakni Mataram Kuno sendiri yang berada di pedalaman pulau Jawa dan Sriwijaya di
Sumatera. Jaringan jalur pelabuhan ini adalah hilir dari sungai Garang dan bermuara di wilayah
Bergota. Dalam catatan-catatan kunjungan itu juga disebutkan mengenai keadaan wilayah
Bergota sebagai daerah pesisir dengan gugusan pulau-pulau kecil di sepanjang pandangan mata
(Rukayah, Setiyorini, & Abdullah, 2018).

Pemilihan Bergota sebagai pelabuhan diketahui sejak awal abad ke 8 Masehi sebagai
pelabuhan singgah menuju daerah seberang selat Muria seperti Demak. Hal ini mungkin akan
dirasa aneh jika kita melihat dari kondisi wilayah pesisir utara Jawa saat ini. Namun dengan
perkembangan kewilayahan, hal ini sangat lumrah dan dapat dikaji secara kesejarahan. Kala itu,
antara Pulau Muria di sebelah utara dengan pulau Jawa di bagian Selatan secara geografis
dipisahkan oleh selat. Sehingga dengan kata lain kondisinya tidaklah sama dengan keadaan saat
ini, dimana antara kedua wilayah tersebut telah menyatu dalam satu daratan dengan pulau Jawa
(Cahyani, 2022).

Perkembangan Bentang Wilayah Bergota dan Pesisir Utara Jawa

Ketidakberadaan bekas-bekas pelabuhan ini bukanlah hal yang aneh, banyak dari sekian
pelabuhan kuno di beberapa wilayah dan peradaban di masa lalu untuk saat ini sudah tidak ada
lagi. Tak lain hal ini dikarenakan adanya sedimentasi dan perubahan kontur tanah secara masif
dalam periode tertentu. Sedimentasi ini menyebabkan beberapa perubahan dalam kondisi
bentang alam di suatu wilayah mulai dari pengangkatan ketinggian tanah, erosi, hingga
pendangkalan daratan yang menuju berkurangnya besar daratan. Bagi daerah-daerah pesisir dan
pelabuhan, sedimentasi ini membuat kawasan yang awalnya pesisir (berbatasan dengan laut)
berubah menjadi daratan . Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan masif dari
sedimen lumpur baik yang berasal dari aliran lahar dari gunung berapi yang mengalir melalui
sungai maupun dari naiknya permukaan tanah akibat penyusutan wilayah laut.

Sehingga sangatlah lumrah jika letak geografis Semarang saat ini, tidaklah sama dengan
kondisi Semarang (saat itu Bergota) ketika menjadi bagian dari pelabuhan kerajaan Mataram
Kuno. Perbedaan ini bisa ditinjau dari perkembangan kenampakan alam wilayah Semarang dan
pesisir utara Jawa dalam peta-peta kuno pada kisaran abad ke 17-18 Masehi yang disandingkan
dengan peta-peta terbaru saat ini. Dimana lokasi yang sekarang menjadi kecamatan Semarang
Timur, Semarang Barat dan Tugu adalah wilayah laut. Keterangan ini juga sesuai dengan laporan
penelitian lapangan dari van Bemmelen dan tulisan van Berkum dalam harian de Locomotief,
dimana garis pantai Semarang berada jauh menjorok ke dalam atau berada di tengah kota
Semarang saat ini.

Hasil penyelidikan van Bemmelen ini berupa laporan peta perkembangan wilayah pesisir
utara Jawa, dimana pada lokasi-lokasi ini mengalami akresi pantai dari zaman ke zaman. Akresi
atau sedimentasi adalah pendangkalan atau penambahan daratan baru yang cenderung semakin
ke arah laut akibat adanya pengendapan sedimen yang dibawa oleh air laut (Parman, 2010). Dari
peta-peta itu sangat tergambar bahwa garis pantai di wilayah pesisir utara Jawa, dalam hal ini
untuk wilayah Semarang mengalami pertambahan maju sekitar 8 meter per tahun dalam antara
tahun 1695-1940 Masehi (Bemmelen, 1949). Dari hal ini maka dapat diambil kesimpulan, bahwa
hilangnya pelabuhan kuno pada daerah Bergota yang eksis pada awal abad ke 8 Masehi adalah
dikarenakan faktor-faktor alam yakni adanya proses akresi yang berlangsung dalam waktu sekian
lama.

Melalui data analisis ini, Bemmelen menyatakan hipotesis bahwasanya dugaan


perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno tidak sepenuhnya disebabkan karena dua teori
besar sebelumnya akibat serangan Balaputradewa dari Sriwijaya dan erupsi gunung Merapi.
Namun juga memiliki pertimbangan-pertimbangan lain, seperti mulai tidak aktifnya wilayah
pesisir utara Jawa (Bergota atau Semarang) sebagai pelabuhan singgah dan penghubung akibat
dari pendangkalan.

Sekalipun demikian, faktor erupsi gunung Merapi ini, menurut van Bemmelen juga
sangat mempengaruhi akan sedimentasi yang terjadi di wilayah Bergota sehingga menyebabkan
daerah ini kemudian tumbuh menjadi daratan yang permanen. Jenis perubahan alam berupa
akresi yang dialami oleh wilayah pantai Semarang ini sebagaimana diatas didukung dengan
sumbangan sedimentasi lumpur yang berasal dari sisa-sisa aktivitas gunung berapi berupa lahar
yang mengalir melalui sungai. Sedimen lumpur itu kemudian mengendap membentuk daratan
baru yang dikenal menjadi daratan aluvial. Menurutnya, jika dari tahun 1695 hingga 1940
masehi wilayah Semarang memiliki luas daerah aluvial mencapai 4 km. Maka diperkirakan pada
5 abad silam, pantai laut Semarang berada di tepi bukit Candi dengan muara kali Garang sebagai
pelabuhan alam (Sarah & dkk, 2018).

Hal ini sejalan dengan pendapat van Labberton (1922), yang menyatakan kerusakan yang
mendera wilayah Mataram Kuno bukanlah berarti secara simbolik (peperangan). kerusakan
tersebut tidak hanya pada daerah sekitar wilayah gunung Merapi dan Bhumi Mataram. Namun
juga meluas hingga wilayah pesisir karena adanya keterputusan dengan pusat pemerintahan.
Pendapat ini dilandasi melalui penerjemahan Prasasti Kalkuta berangka tahun 928 Syaka atau
1006 AD yang berisi maklumat Raja Airlangga di wilayah pertapaannya pasca pemindahan
ibukota kerajaan.

Karena lepasnya peran sebagai pelabuhan utama, peranan Pelabuhan Bergota menjadi
semakin mundur dan kemudian bertumbuh menjadi kota pemukiman setelah keberadaan luas
wilayah daratannya semakin meluas dan selat Muria di sisi utara menjadi sempit dan dangkal.
Dataran Semarang dan utara Jawa lainnya ini lambat laun berkembang luas ke arah utara menjadi
daratan, dengan pertumbuhan-pertumbuhan delta baru dari sedimen-sedimen sungai yang
bermuara di laut Jawa bagian utara. Kemunduran ini seiring waktu menguat, ditambah dengan
perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno, dari Bhumi Mataram di Jawa bagian tengah
menuju wilayah yang diperkirakan berada di Watugaluh, Jawa Timur (diperkirakan berada di
wilayah Jombang).
Sebagaimana pendapat Bemmelen sendiri memperkuat dugaan tersebut yang menyatakan
bahwa pindahnya kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur pada abad ke 10, dikarenakan oleh
proses sedimentasi pelabuhan Mataram di selatan kota Semarang dan erupsi besar gunung
merapi yang membawa pengaruh besar pada sekitar tahun 1000 AD. Sehingga daripada terus
memugar pelabuhan yang kian hari kian maju, didukung dengan keadaan pusat Bhumi Mataram
yang terancam akibat erupsi gunung Merapi. Maka kemudian ini menjadi salah satu penyebab
Mpu Sindok, raja di Mataram Hindu kemudian memutuskan memindahkan kerajaannya ke timur
sebab di wilayah timur Jawa memiliki beberapa lokasi pelabuhan di pesisir utara yang dapat
dikembangkan menjadi pelabuhan besar menggantikan pelabuhan Bergota di Semarang seperti di
daerah Ujung Galuh (kemungkinan Surabaya) di estuari muara Brantas.

Dari hal-hal diatas kita bersama dapat mengetahui bahwasanya kesadaran akan kondisi
lingkungan akan membawa masyarakatnya pada proses perubahan dan pengambilan keputusan.
Perpindahan pusat pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Mataram Hindu tidak
dilakukan hanya dengan alasan yang sederhana. Karena perpindahan pusat pemerintahan dan
ibukota pastinya membutuhkan persiapan yang matang. Mulai dari pemilihan lokasi, biaya,
tenaga, dan pikiran-pikiran dalam upaya membangun ibukota kembali awal.

Keberadaan pelabuhan Bergota sebagai pelabuhan kerajaan menitikberatkan bahwasanya


Kerajaan mataram Hindu sekalipun yang berada di pedalaman Jawa dan seringkali digambarkan
sebagai negara agraris pun tidak luput dari kebutuhannya terhadap jaringan perdagangan melalui
pelabuhan. Berkaca dari sejarah kerajaan-kerajaan selanjutnya yang bersifat agraris. Seperti
kerajaan Pajajaran (Jawa Barat), Mataram Islam (Jawa Tengah), dan kerajaan Majapahit (Jawa
Timur). Dalam upaya membangun suatu kerajaan dan masyarakat yang makmur, kerajaan-
kerajaan tersebut memiliki hubungan dengan kerajaan lain dan perdagangan yang dilakukan
dengan pihak asing. Dan pelabuhan memegang peranan penting dalam hal ini sebagai gerbang
ataupun jembatan pemenuhan kebutuhan. Satu hal yang menjadi kesamaan dari kerajaan-
kerajaan tersebut seperti pelabuhan Sunda Kelapa milik Pajajaran, pelabuhan Jepara milik
Mataram Islam, dan Gresik serta Tuban milik Majapahit adalah pemilihan pesisir utara Jawa
sebagai pelabuhan, Pemilihan ini tak lepas dari faktor-faktor alam dimana pantai selatan tak
cocok difungsikan sebagai pelabuhan karena memiliki gelombang yang besar.
Dari data-data yang didapatkan van Bemmelen dalam kajian lapangannya ini, dapat
dilihat adanya proses akresi yang berkelanjutan dari wilayah muara Kali Garang, Semarang yang
secara masif mempengaruhi bentang wilayah Semarang menjadi kian luas dalam waktu yang
cukup lama. Pertambahan daratan pantai ke arah utara dengan rata-rata 8 meter tiap tahunnya
jika ditinjau dalam waktu yang singkat mungkin merupakan hal yang wajar atau tidak membawa
perubahan yang signifikan. Namun dalam waktu yang sekian lama, perubahan ini sangat
mempengaruhi keadaan geografis wilayah Semarang dan mungkin wilayah pesisir utara Jawa
secara luas. Seperti dalam gambar peta dibawah menunjukkan adanya perubahan terhadap garis
pantai yang membentang di wilayah semarang. Jika daerah Simongan dan Candi diriwayatkan
sebagai pesisir pantai, maka daerah-daerah diseberangnya yang sekarang menjadi daratan yang
secara administratif masuk dalam Kecamatan Semarang Utara, Timur, Barat dahulunya adalah
pulau kecil maupun dasar laut. Sehingga menjadi suatu kewajaran, wilayah Simongan, Candi,
dan termasuk Bergota dikenal sebagai perbukitan karena memiliki ketinggian tanah yang lebih
tinggi dari yang lain (Bemmelen, 1949).

Dari kajian geohistori dengan memperbandingkan data-data penelitian lapangan terkait,


kita bersama dapat mengambil kesimpulan bahwasanya dalam proses panjang jalannya
kehidupan masyarakat Jawa Kuno, dalam hal ini Mataram Hindu juga dipengaruhi dengan
perubahan lingkungan dan upaya-upaya adaptasi akan hal tersebut. Dimana dalam hal ini,
pemerintahan Mataram Hindu memutuskan memindahkan pusat pemerintahannya dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang. Bukan hanya dikarenakan erupsi gunung merapi yang
berdampak langsung pada wilayah pusat kerajaan (Bhumi Mataram), namun juga pertimbangan
lain terkait komponen-komponen pembangunan suatu wilayah negara.

Dilihat dari kondisi topografinya saat ini, Semarang sendiri terbagi dalam dua bentuk
morfologi yang terbagi menjadi bagian selatan yang terdiri dari perbukitan di kaki gunung
Ungaran dan bagian utara yang berbatasan dengan laut. Masyarakat Semarang sendiri umumnya
menjuluki kedua wilayah tersebut menjadi wilayah Semarang atas dan Semarang bawah, ini
secara tidak langsung memberi informasi terkait kefahaman masyarakat Semarang sendiri
terhadap kondisi wilayahnya yang terdiri dari perbukitan dan pesisir dengan perbedaan yang
cukup signifikan. Terlebih ketinggian daratan pesisir Semarang sendiri memiliki batas yang
sangat tipis dengan ketinggian permukaan laut, sehingga sangatlah wajar jika dalam proses
jalannya Sejarah dan juga hingga saat ini kota Semarang seringkali mengalami bahaya banjir rob
(naiknya permukaan air laut).
BAB VI
BAB VII
PENUTUP
DAFTAR RUJUKAN

Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia Vol 1A: General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The Hague.
Cahyani, V. R. (2022). Pengaruh Pesisir Utara Jawa terhadap Aktivitas Perniagaan Kerajaan
Demak Abad Ke-15 Hingga Ke-17 M. BIHARI: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu
Sejarah, 5(2).
Daldjoeni, N. (1982). Geografi Kesejarahan I: Peradaban Dunia. Bandung: Penerbit Alumni.
Fitrah, M., & Lutfiyah. (2018). Metodologi penelitian: Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas &
Studi Kasus. Jejak Publisher.
Labberton, D. v. (1922). Oud Javaansche Gegevens Omtrent de Vulkanologie van Java.
Natuurkundig Tijdschrifts Nederlands Indie, 124-158.
Munandar, A. A., & dkk. (2006). Pedoman Kajian Geografi Sejarah Indonesia. Direktorat
Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.
Parman, S. (2010). Deteksi perubahan garis pantai melalui citra penginderaan jauh di Pantai
Utara Semarang Demak. Jurnal Geografi: Media Informasi Pengembangan dan Profesi
Kegeografian, 7(1).
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno.
Jakarta: Balai Pustaka.
Riyanto, S. (1995). Geografi (Kesejarahan) Dan Arsitektur (Lansekap) Sebagai Ilmu Bantu
Arkeologi (Sebuah Uraian Singkat). Berkala Arkeologi, 15(3), 118-122.
Rukayah, R. S., Setiyorini, E. S., & Abdullah, M. (2018). Semarang Kota Pesisir Lama.
Yogyakarta: Teknosain.
Sarah, D., & dkk. (2018). A Physical Study of the Effect of Groundwater Salinity on the
Compressibility of the Semarang-DemakAquitard, Java Island. Geosciences, 8(4), 130.
Umar, M. (2009). Mesopotamia dan Mesir Kuno: Awal Peradaban Dunia. El-Harakah, 11(3),
198.
Wignyosubroto, W. (2016). Mencari Jejak Kahuripan: Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di
Tanah Jawa. Bantul: Penerbit K-Media.
Zed, M. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai