Anda di halaman 1dari 14

Perkembangan Kerajaan Sunda dan

Peninggalannya

MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA


Dosen Pengampu: Dony Satryo Wibowo, S. S

Disusun oleh :

Muhammad Sulthan Bahri (1200150075)

INSTITUT KESENIAN JAKARTA

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

BAB 2 ............................................................................................................................................. 5

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Sebara Pembagian Wilayah Kerajaan ................................................................. 9


Gambar 2. Aksara Sunda .................................................................Error! Bookmark not defined.
Gambar 3. Prasasti Batutulis ..........................................................Error! Bookmark not defined.
Gambar 4. Angklung ........................................................................Error! Bookmark not defined.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam sekitarnya. Menurut berbagai
cerita dan sistem kepercayaan (religi) bahwa manusia tercipta oleh Tuhan dan hidup
berdampingan dengan makhluk lain di muka bumi. Dalam pandangan teori Evolusi menurut
Darwin (meski pada perkembangannya kemudian banyak yang menentang), dikatakan bahwa
kehidupan manusia berevolusi dalam menjaga ekistensi generasi mereka dengan cara
“berjuang” atau “survive”, berkompetisi dengan makhluk lain sehingga pada akhirnya
manusia berhasil “eksis” sampai sekarang mengalahkan makhluk lain yang lebih besar, kuat,
berbahaya dan banyak.
Secara Antropologis, keberadaan manusia sejak awal keberadaannya, berkembang dan
mampu beradaptasi dengan lingkungan alam sekitarnya, dikarenakan manusia memiliki
sistem akal dan sistem naluri atau insting yang mampu menangkap fenomena alam dan
menyikapinya secara adaptif sehingga menciptakan “kebudayaan” sebagai “sistem adaptasi”
yang mereka ciptakan dalam kaitannya menjaga eksistensi hubungan dengan alam sekitarnya
(Daeng, 2008). Oleh sebab itu, kemudian dikenal suatu konsep bahwa terdapat kaitan erat
antara manusia, alam dan kebudayaan sebagai suatu relasi triangulasi kebudayaan. Dalam hal
mana bahwa manusia menciptakan kebudayaannya untuk menanggulangi keadaan yang
terjadi dalam lingkungan alamnya atau sebaliknya bahwa alam membentuk kebudayaan dari
manusia yang hidup dalam lingkungan alam tersebut (Brue, 2007).
Kebudayaan yang terbentuk oleh karena keberadaan dan kebutuhan manusia dalam
mengatasi alam dan lingkungannya, berkembang mulai dari masa prasejarah (purba) sampai
masa sejarah (peradaban manusia dengan titi mangsa sejak ditemukannya bukti kemampuan
manusia membuat dan mengenal tulisan). Kebudayaan yang terbentuk oleh karena keberadaan
manusia, memiliki fungsi dalam mengatasi alam dan lingkungan kehidupan manusia untuk
tetap “lestarinya keberadaan manusia sebagai salah satu makluk yang ada di muka bumi.
Menurut Malinowski, sebagaimana dikutip dalam Koentjaraningrat (1987), bahwa segala

1
kegiatan atau aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud
memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Dengan demikian berarti setiap masyarakat
manusia yang berada di berbagai lingkungan alam berbeda, akan melakukan segala aktifitas
dengan cara menyesuaikan dengan alam sekitarnya, membentuk berbagai upaya aktifitas guna
memenuhi kebutuhan kehidupannya, sehingga terciptalah kebudayaan – kebudayaan manusia
yang sesungguhnya terbentuk menyesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan alam
sekitar (geoculture).
Kondisi di atas menyebabkan tumbuhnya kebudayaan – kebudayaan yang bersifat
geografis, atau dipengaruhi oleh alam sekitar seperti dikenal adanya budaya tropis (budaya
yang berkembang di masyarakat yang hidup di wilayah tropis), budaya sub tropis (budaya
yang berkembang di masyarakat yang hidup di wilayah sub tropis), maupun budaya kutub.
Demikan pula halnya berdasarkan kondisi geologis yang melingkupi kehidupan suatu
masyarakat, maka dikenal adanya budaya pegunungan (budaya masyarakat yang tinggal di
kawasan pegunungan), budaya pantai (budaya yang berkembang di masyarakat pesisir pantai),
budaya kontinental (budaya yang berkembang pada masyarakat yang tinggal di lempengan
benua), dan sebagainya. Selain itu dari kondisi alam yang melatarbelakangi atau melingkupi
kehidupan manusia, maka memunculkan budaya yang disesuaikan dengan aktivitas mata
pencaharian dalam kaitannya dengan lingkungan alam, diantaranya terdapat budaya agraris,
budaya nelayan, budaya berburu, dan sebagainya.
Masyarakat Sunda, atau dalam hal ini masyarakat etnis atau suku bangsa Sunda,
merupakan bagian dari masyarakat sukubangsa – sukubangsa lainnya yang hidup di bumi
nusantara (nusa-antara). Harsojo sebagaimana dikutip Koentjaraningrat (2004) mengatakan
bahwa secara antropologi-budaya, yang disebut sebagai Orang Sunda atau Suku Sunda adalah
orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa dan dialek Sunda sebagai
bahasa ibu serta dialek dalam percakapan sehari-hari. Orang Sunda dimaksud, tinggal di
daerah Jawa Barat dan Banten yang dulu dikenal sebagai Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.
Secara kultural ekologis, pada umumnya masyarakat Sunda hidup pada daerah pegunungan
tersebut, sehingga tidak jarang pada masa lalu banyak yang menyebut bahwa orang Sunda
dikenal sebagai “orang gunung”. Menurut Koesoemadinata (dalam Rosidi,dkk,2006)
masyarakat Sunda adalah masyarakat yang cinta pegunungan. Hal itu dibuktikan dengan

2
kehidupannya yang lebih banyak di daerah pegunungan dan pengelolaan wilayah pegunungan
sebagai lahan pertanian dan peternakan. Selain itu bukti kedekatan masyarakat Sunda pada
gunung atau pegunungan banyak diekspresikan melalui tembang - tembang Sunda yang
bertemakan gunung atau kehidupan di pegunungan. Berdasarkan kontur alam gunung atau
pegunungan, maka dalam kehidupan mata pencaharian masyarakat Sunda pada masa lalu
dikenal sebagai masyarakat “peladang”, baik yang berladang secara menetap maupun
peladang berpindah. Keberadaan masyarakat peladang tersebut sampai sekarang masih
banyak dijumpai di beberapa “komunitas adat” yang hidup di berbagai wilayah pegunungan
di Jawa Barat dan Banten, seperti masyarakat adat Baduy di Kanekes atau masyarakat adat
Kampung Naga di Tasikmalaya.
Sebagai seseorang yang dilahirkan di Bogor dan keluar dari rahim sepasang kekasih yang
bersuku Sunda, saya pun otomatis menjadi bagian dari suku tersebut. Kota Bogor sebagai kota
kelahiran mempunyai peranan penting dalam sejarah Sunda, salah satu kebudayaan yang
masih bertahan diantara 189 kebudayaan yang ada di dunia (Sarif Hidayat Supangkat, 2001).
Maka dari itu terdapat peninggalan obyek bernilai sejarah di Kota Bogor. Namun sayangnya,
obyek-obyek yang bernilai sejarah tersebut kurang mendapat perhatian yang memadai pada
saat ini. Padahal menurut H.R. Hidayat Suryalaga (2002), sejarah adalah representasi dari
peradaban bangsa. Menurut Pramudya Ananta Toer (2001), kekacauan yang dialami bangsa
Indonesia saat ini disebabkan kurang kesadaran sejarah, sehingga bangsa ini tidak tahu dari
mana harus berangkat menata masa depannya.
Saat ini Bogor telah menjadi kota yang ramai. Pembangunannya lebih mengarah pada
aspek ekonomi. Kecenderungan tersebut menjadikan aspek-aspek lain menjadi kurang
diperhatikan. Keasrian kota dan diversitas kultural yang seharusnya menjadi identitas Kota
Bogor kian memudar. Maka dari itu diperlukan suatu bentuk kepedulian berupa upaya-upaya
untuk melestarikan nilai-nilai yang terdapat pada kota ini, termasuk di dalamnya upaya
pelestarian obyek-obyek bersejarah.
Pengembangan wisata sejarah dengan memberdayakan elemen dan lanskap sejarah sebagai
obyek wisata merupakan salah satu cara atau bentuk pelestarian elemen dan lanskap sejarah
itu sendiri. Selain itu, keberhasilan pengembangan wisata juga perlu ditunjang faktor-faktor
seperti atraksi/obyek wisata, transportasi, wisatawan, fasilitas pelayanan, informasi dan
promosi, serta kebijakkan dan program pemerintah. Adanya pengembangan wisata sejarah

3
merupakan upaya pengenalan dan penghargaan terhadap sejarah Kota Bogor. Hal tersebut
diharapkan sebagai suatu langkah awal yang diharapkan dapat memberikan sentuhan berarti
bagi keberlangsungan Kota Bogor.
Makalah ini akan menjabarkan sejarah Suku Sunda dan bentuknya dalam unsur-unsur
kebudayaan dan sejarah nasional.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Suku Sunda menempatkan diri pada unsur kebudayaan dan sejarah nasional?

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana sejarah Suku Sunda di Bogor?


2. Di mana letak Suku Sunda dalam sejarah nasional?
3. Unsur kebudayaan apa yang dimiliki oleh Suku Sunda?

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ilmiah ini terdiri dari beberapa bab yang tersusun sebagai
berikut:

BAB 1 Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum dari isi laporan, yaitu latar belakang, rumusan
masalah, pertanyaan penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 Landasan Teori

Dalam bab ini diuraikan tentang teori-teori yang diambil dari beberapa literatur yang
menyangkut tentang

BAB 3 Pembahasan

Bab ini membahas tentang topik utama yang dijadikan rumusan masalah serta pertanyaan
penelitian.

BAB 4 Penutup

Dalam bab ini diuraikan kesimpulan dan saran dari keseluruhan bab serta jawaban dari
rumusan masalah serta pertanyaan penelitian.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Suku Sunda di Bogor

2.1.1 Sejarah Suku Sunda

Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata
sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar,
terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Kawi
dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak
tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186;
Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa
memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup.
Karakter orang Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), wanter (berani) dan pinter (cerdas). Karakter ini telah
dijalankan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Kerajaan
Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk
menyebut ibu kota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan
pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa
Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan
negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan
perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan
Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

2.1.2 Sejarah Kota Bogor

Pendapat mengenai asal usul nama Bogor terdiri dari empat pendapat. Ada yang
mengatakan nama Bogor itu berasal dari salah ucap orang Sunda untuk kata
"Buitenzorg". Pendapat yang kedua mengatakan nama Bogor berasal dari kata baghar

5
atau baqar. Selanjutnya ada juga yang mengatakan bahwa Bogor berasal dari kata bokor.
Dan pendapat yang terakhir mengatakan bahwa nama Bogor itu asli yang berarti tunggul
kawung. Menurut Danasasmita (1983), pendapat yang paling dapat diterima adalah
pendapat yang keempat.
Hari jadi Kota Bogor menyangkut identitas kota. Pemerintah Kota dan Kabupaten
Bogor sepakat mengambil titik awal identitas Bogor dari dua serangkai yaitu Pajajaran
dan Siliwangi. Tahun jadinya Kota Bogor yaitu 1482, berasal dari awal pemerintahan
Prabu Siliwangi yang memerintah Pajajaran. Sedangkan bulan dan tanggal jadinya Kota
Bogor yaitu 3 Juni, berasal dari upacara tradisional Guru Bumi dan Kuwerabakti.
Sejarah Perkembangan Kota Bogor Menurut Tome Pires (1944) dalam Saleh
Danasasmita (1983), ibukota Kerajaan Pajajaran pada jaman dulu terletak di daerah
Kota Bogor sekarang, dengan penduduknya sekitar 50.000 jiwa. Pada tahun 1687,
Tanuwijaya membangun Kampung Angsana yang akhirnya menjadi cikal bakal Kota
Bogor. Pada tahun 1745, dibangun sembilan buah kampung lagi yang kemudian disebut
‘Regenschap Kampung Baru’. Bupati Demang Wiranata memindahkan kabupaten lama
ke Kampung Sukahati di daerah Empang. Pada 28 Oktober 1763, kabupaten ini
diresmikan menjadi Kabupaten Buitenzorg.
Kota Bogor merupakan pusat administrasi dan pemerintahan Hindia Belanda
menyusul dibangunnya kantor pusat pemerintahan ‘Algemeene Secretarie’. Kemudian
Bogor ditetapkan sebagai pusat penelitian tanaman tropis dan pusat kegiatan
perkebunan untuk wilayah Sukabumi, Jasinga, Semplak, Depok, dan Cianjur, terutama
setelah dibukanya Kebun Raya.

2.2 Suku Sunda dalam Sejarah Nasional

2.2.1 Sejarah Kerajaan Sunda

Berdasarkan fakta sejarah bahwa Kerajaan Sunda adalah pemecahan dari Kerajaan
Tarumanegara. Pada tahun 670 Masehi peristiwa pemecahan itu terjadi. Hal ini
diperkuat dengan sebuah sumber yang berasal dari berita Cina yang memberitahukan
bahwa di tahun 979 Masehi menjadi tahun terakhir utusan Kerajaan Tarumanegara
mengunjungi negeri Cina.

6
Di tahun 679 Masehi, Tarusbawa (raja pertama Kerajaan Sunda) memberikan mandat
kepada bawahannya untuk memberitahukan informasi tentang pengangkatan dirinya
sebagai raja di Kerajaan Sunda.
Tarusbawa sendiri diangkat menjadi seorang raja pada tanggal 9 bagian-terang bulan
Jesta tahun 591 Saka. Jika dalam tahun Masehi kurang lebih pada tanggal 18 Mei 669
Masehi.
Sebelum terjadi pemecahan, Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh Linggawarman.
Ia menikah dengan seorang putri Indraprahasta yang bernama Déwi Ganggasari. Dari
pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang putri, pertama Déwi Manasih, putri kedua
bernama Sobakancana.
Putri pertama Linggawarman yang bernama Déwi Ganggasari menikah dengan
Tarusbawa dari Sunda. Sementar itu putri kedua Linggawarman yang bernama
Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya).
Dalam masa pemerintahan Kerajaan Tarumanegara hanya ada 12 orang yang
memimpin kerajaan tersebut. Di tahun 669 Masehi, raja terakhir Kerajaan
Tarumanegara, yaitu Linggawarman kedudukannya digantikan oleh menantunya yang
bernama Tarusbawa.
Tarusbawa sendiri berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa. Ia melihat pamor Kerajaan
Tarumanegara sudah mulai menurun. Karena hal itulah, Tarusbawa ingin sekali
mengembalikan kejayaan dan keharuman seperti zaman Purnawarman yang
bekedudukan di Purasaba (ibu kota) Sundapura.
Di tahun 670 Masehi, Tarusbawa mengganti Kerajaan Tarumanegara menjadi
Kerajaan Sunda. Penggantian nama itu membuat Wretikandayun pendiri Kerajaan
Galuh memisahkan negaranya dari kekuasaan atau kepemimpinan Tarusbawa.
Wretikandayun adalah seorang putra Galuh menikah dengan seorang Putri yang
bernama Parwati. Parwati adalah seorang putri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga
(sebuah kerajaan di Jawa Tengah). Dengan dukungan Kerajaan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Kerajaan
Tarumanegara dibagi menjadi dua bagian.
Tarusbawa sedang dalam keadaan lemah dan tidak ingin terjadi perang saudara maka
ia menerima tuntutan yang diajukan Wretikandayun. Di tahun 670 Masehi, bekas

7
kawasan Kerajaan Tarumanegara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah terjadi pemecahan, Tarusbawa kemudian mendirikan atau membangun Ibukota
Kerajaan yang baru yang terletak di daerah pedalaman dekat hulu sungai Cipakancilan.
Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa hanya disebut dengan gelarnya saja,
yatitu Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Tarusbawa bisa dikatakan sebagai seseorang yang
mencetuskan cikal bakal raja-raja Sunda. Masa pemerintahan Kerajaan Sunda yang
dipimpin oleh Tarusbawa hanya sampai pada tahun 723 Masehi.
Putra dari Tarusbawa sudah wafat terlebih dahulu sehingga putra putri mahkota yang
bernama Tejakencana diangkat menjadi seorang anak dan ahli waris kerajaan. Suami
dari putri inilah yang menjadi raja kedua di Kerajaan Sunda. Suami putri itu bernama
Rakeyan Jamri yang juga cicit dari Wretikandayun.
Ketika menjadi seorang raja di Kerajaan Sunda, Rakeyan Jamri dikenal dengan nama
Prabu Harisdarma. Namun, setelah ia berhasil menguasai Kerajaan Galuh, nama
Sanjaya lebih dikenal oleh banyak orang.
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Rakeyan Jamri menjadi pemimpin Kerajaan
Kalingga Utara atau lebih dikenal dengan nama Bumi Mataram di tahun 732 Masehi.
Sedangkan kekuasaannya di Jawa Barat diberikan kepada putranya yang berasal dari
Tejakencana yang bernama Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Rakeyan Panaraban
adalah kakak dari Rakai Panangkaran (Putra Sanjaya dari Sudiwara putri Dewasingga
raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara).

2.2.2 Perjuangan dan Kehancuran Kerajaan Sunda

Salah satu kerajaan yang memiliki nilai penting dalah sejarah kerajaan Sunda di
Bogor ialah Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran dikenal juga dengan naman lain
Kerajaan Sunda atau Negeri Sunda atau disebut Pasundan. Letak kerajaan ini di masa
lampau bukanlah terletak di Bandung yang kini menjadi Ibu Kota Jawa Barat, melainkan
di Pakuan atau saat ini Bogor.
Kerajaan Pajajaran berdiri pada tahun 923 M dan berakhir pada 1597 M. Menurut
naskah kuno Carita Parahiyangan yang ditulis pada abad ke-16 M, Kerajaan Pajajaran
merupakan gabungan dua kerajaan yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

8
Gambar 1. Peta Sebara Pembagian Wilayah Kerajaan

Sebelum bergabung, kedua kerajaan itu masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan
Tarumanegara. Pasca Tarumanegara kalah dari Sriwijaya, kedua kerajaan memberontak
dan melepaskan diri. Setelah melepaskan diri, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
mendeklarasikan diri sebagai kerajaan yang berdaulat.
Kerajaan Pajajaran meraih masa keemasan atau kejayaan pada era pemerintahan Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.Untuk menyejahterakan kerajaan dan rakyatnya,
Prabu Siliwangi memberikan perhatian lebih pada pemuka agama. Selain itu, Prabu
Siliwangi juga membuat ulang sistem pemungutan upeti.
Prabu Siliwangi juga memperkuat kekuatan armada perang. Dia juga membangun
dan memperkuat sistem pertahanan Ibu Kota dengan membuat parit pertahanan
sehingga tidak mudah diserang Kerajaan lain.
Kerajaan Pajajaran hancur setelah mendapat serangan dari sejumlah kerajaan Islam
yakni Kerajaan Banten dengan bantuan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Demak. Awal
mula kehancuran Kerajaan Pajajaran terjadi saat pengaruh ajaran Islam mulai menyebar
di bumi Pasundan dan membuat resah Prabu Siliwangi. Upaya pembatasan pedagang
muslim yang masuk dan singgah di Pelabuhan Kerajaan Sunda pun dilakukan. Namun,
upaya ini tak berhasil.
Tahun 1527, Kesultanan Banten dan Cirebon meningkatkan tekanan pada Kerajaan
Pajajaran dengan merebut Pelabuhan Sunda Kelapa yang melemahkan Pajajaran dan
Portugis. Lalu, pada tahun 1570 Raja Banten, Maulana Yusuf berhasil menaklukkan

9
Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir
yang eksis di Pulau Jawa.
Hingga saat ini, Kerajaan Pajajaran dianggap sebagai kerajaan Sunda tertua.
Sungguhpun kerajaan ini hanya berlangsung selama tahun 1482-1579, banyak kegiatan
dari para bangsawannya dikemas dalam legenda. Siliwangi, raja Hindu Pajajaran,
digulingkan oleh komplotan antara kelompok Muslim Banten, Cirebon dan Demak,
dalam persekongkolan dengan keponakannya sendiri. Dengan jatuhnya Siliwangi,
Islam mengambil alih kendali atas sebagian besar wilayah Jawa Barat. Faktor kunci
keberhasilan Islam adalah kemajuan kerajaan Demak dari Jawa Timur ke Jawa Barat
sebelum tahun 1540. Dari sebelah timur menuju ke barat, Islam menembus hingga ke
Priangan (dataran tinggi bagian tengah) dan mencapai seluruh Sunda.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dixon, Roger L.. 2000. SEJARAH SUKU SUNDA. Jurnal Veritas 1(2):203-213. Malang :
Sekolah Tinggi Teologi Seminari Alkitab Asia Tenggara

Ira Indrawardana. 2012. KEARIFAN LOKAL ADAT MASYARAKAT SUNDA DALAM


HUBUNGAN DENGAN LINGKUNGAN ALAM. Jurnal Komunitas 4(1):1-8. Semarang :
Universitas Negeri Semarang

Kencana I. P., & ArifinN. H. (1). 2010. STUDI POTENSI LANSKAP SEJARAH UNTUK
PENGEMBANGAN WISATA SEJARAH DI KOTA BOGOR. Jurnal Lanskap Indonesia,
2(1):7-14. Bogor : Departemen Arsitekstur Lanskap IPB

Nandy, W. (2021, September 23). Sejarah Kerajaan Sunda Dan Peninggalannya - Gramedia.
Gramedia Literasi. Retrieved April 11, 2022, from
https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-kerajaan-sunda/

Wikimedia Foundation. (2022, March 27). Pakwan pajajaran. Wikipedia. Retrieved April 11,
2022, from https://id.wikipedia.org/wiki/Pakwan_Pajajaran

Wikimedia Foundation. (2022, March 27). Suku Sunda. Wikipedia. Retrieved April 11, 2022,
from https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda

11

Anda mungkin juga menyukai