PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan yang banyak meninggalkan
sejarah melalui prasasti yang ditemukan maupun dari penemuan candi. Sejak abad
ke 10 kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu
Sindok yang kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah
Makuthawangsa Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai
penutup Kerajaan Mataram Kuno.
Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti
yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra,
dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan
Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru membangun
kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok
merupakan lanjutan dari kerajaan mataram. Dengan demikian Mpu Sindok
dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isyana. Perpindahan
kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah
Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.
Perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dimungkinkan
akibat adanya bencana alam Letusan dahsyat dari Gunung Merapi. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya candi yang terkubur dibawah tanah seperti Candi
Kimpulan dan Candi Sambisari. Sehingga untuk menyelamatkan Kerajaan maka
Mpu Sindok memindahkan Kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan yaitu:
1. Bagaimana letak Ibukota Mataram Kuno di Jawa bagian Tengah ?
2. Bagaimana letak Ibukota Mataram Kuno di Jawa bagian Timur?
3. Bagaimana kondisi persebaran situs yang terdampak erupsi Gunung Merapi?
1
4. Bagaimana karakteristik lahar erupsi Gunung Merapi?
5. Bagaimana kesimpulan perpindahan letak ibukota Mataram Kuno dari Jawa
bagian Tengah ke Jawa bagian Timur dari segi geohistori?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas penulis dapat menentukan tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui letak ibukota Mataram Kuno di Jawa bagian Tengah
2. Untuk mengetahui letak ibukota Matara Kuno di Jawa bagian Timur.
3. Untuk mengetahui kondisi persebaran situs yang terdampak erupsi Gunung
Merapi.
4. Untuk mengetahui karakteristik lahar erupsi Gunung Merapi.
5. Untuk mengetahui kesimpulan perpindahan letak Ibukota Mataram Kuno dari
Jawa bagian Tengah ke Jawa bagian Timur dari segi geohistoris.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Determinisme Lingkungan
Determinisme, “muncul pada akhir abad 19 dan awal-awal abad 20 dari
penganut gagasan-gagasan Darwin, penalaran deduktif dan hubungan sebab akibat
linear yang sederhana. Pendekatan ini nampaknya juga menghasilkan cara untuk
mengolah dan menginterpretasi data mengenai keanekaragaman manusia yang
waktu itu semakin bertambah banyak dan membanjiri kalangan ilmiah Eropa.
Pendekatan ini berasumsi bahwa lingkungan fisik (alam) adalah pendorong utama
dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain perkembangan pola kehidupan suatu
masyarakat dalam bentuk kebudayaan dipandang sebagai pengaruh yang
dimunculkan oleh lingkungan alamnya. Pendekatan ini dalam bentuk paling murni
dan paling negatif dianut dan disebarluaskan oleh ahli geografi Huntington dan
Carlson, yang mencoba memperlihatkan bagaimana pengaruh dominan iklim dan
cuaca pada sejarah umat manusia.” (Febrianto & Wirdanengsih, Tanpa Tahun: 7-
8)
Determinisme ini disebut juga dengan determinisme lingkungan, atau
kadang-kadang juga disebut environmentalism, yang sebenarnya sudah jauh
sebelum Darwin perspektif ini sudah ada, bahkan menjadi sebuah aliran
pemikiran. “Menurut Vayda dan Rappaport menyatakan bahwa tokoh-tokoh
klasik seperti Hippocrates, Plato, Polybius, Plotemy, Bodin, Montesqieu, Ratzel,
Huntington, Davis, Semple dan Mason adalah beberapa nama besar yang
dikaitkan sebagai pengikut aliran ini. Mereka percaya bahwa kemanusiaan dan
budaya ditentukan oleh bentuk-bentuk lingkungan alam, dan bahwa fenomena
kebudayaan dapat dijelaskan dan seharusnya diramalkan, sebagian besar, dengan
cara mengacukannya kepada lingkungan alam dimana kebudayaan itu hidup.”
(Febrianto & Wirdanengsih, Tanpa Tahun: 8)
Dalam hal ini faktor geografis menjadi penentu dari kebudayaan manusia.
Menurut Semple, faktor geografi memberi efek mendasar dari kebudayaan
manusia. Huntington juga memegang prinsip yang sama, bahwa ras dan
lingkungan geografis menentukan kehidupan manusia. Menurutnya iklim sebagai
3
unsur paling mendasar dari lingkungan geografis menentukan baik kemunculan
maupun kehancuran peradaban, melalui impak langsungnya terhadap kesehatan
dan kegiatan manusia, dan melalui impak tidak langsung dalam bentuk makanan,
penyakit dan cara kehidupan (Febrianto & Wirdanengsih, Tanpa Tahun: 8).
Dengan paradigma ini kemunculan peradaban Hindus, peradaban lembah
sungai Nil, Mesopotamia, atau Lembah sungai Hwang Ho, menjadi contoh
ekstrim untuk menunjukkan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi
terbentuknya peradaban-peradaban kuno tersebut. Umumnya peradaban kuno
tersebut berada di lembah sungai besar yang memberi kesuburan dan memicu
kemajuan dan pertumbuhan penduduk (Febrianto & Wirdanengsih, Tanpa Tahun:
8).
Di masa lalu, studi tentang kebudayaan selalu ditekankan akan adanya
keterkaiatan perilaku manusia dengan lingkungannya atau environmental
determinism. Pendekatan tersebut yang juga dikenal dengan geographical
determinism atau ethnographical environmentalism, lebih mendasarkan pada
suatu pandangan bahwa kondisi suatu lingkungan amat berperan dalam
membentuk kebudayaan suatu sukubangsa, antara lain tampak pada pendapat dari
Elsworth Huntington yang percaya bahwa ada saling mempengaruhi antara
kondisi iklim dengan kebudayaan (Febrianto & Wirdanengsih, Tanpa Tahun: 8-9).
4
BAB III
PEMBAHASAN
5
Mataram Kuno di Bhumi Mataram diperkiarakan bertempat di sekitar letak Candi
Prambanan dan Candi Plaosan lor. Menurut Casparis (1950: 170-175) Candi
Plaosan Lor dan Candi Prambanan kemungkinan besar adalah candi negara untuk
periode Jawa Tengah, yang berfungsi sebagai replika Gunung Meru, sedangkan
Candi Borobudur adalah candi untuk pemujaan terhadap pendiri dinasti Sailendra
yang telah didewakan (Boechari, 1976).
Perdebatan mencari letak Ibukota Mataram Kuno tidak harus berpatokan
pada informasi prasasti saja, namun juga harus berpatokan pada informasi dari
luar yang pernah melakukan hubungan dengan kerajaan Jawa, seperti berita
China, pada dinasti Sung terdapat beberapa berita setidaknya pernah memberikan
gambaran tentang letak Ibukota Mataram Kuno di Jawa Tengah.
Meskipun periode Sung bertepatan dengan periode Jawa Timur, kami
berpikir bahwa situasi di Jawa Tengah selama masa kejayaannya tidak jauh
berbeda. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa deskripsi lokasi ibukota dalam
sejarah Sung memberikan kesan bahwa itu masih mengacu pada periode Jawa
Tengah. Dikatakan bahwa jarak dari ibukota ke laut di timur adalah satu bulan,
sedangkan ke barat adalah empat puluh lima hari. Di utara jarak ke laut adalah
lima hari, sedangkan ke selatan jaraknya tiga hari. Dan tampaknya ada pelabuhan
di timur, di utara dan di selatan. Informasi seperti itu tidak mungkin merujuk pada
Brantasdelta, di mana ibukota kerajaan Jawa Timur berada. Ini lebih cocok untuk
dataran Kedu dan Mataram (Boechari, 1976:13).
6
Sindok karenanya harus terletak di tempat lain, yaitu di Jawa Timur (Boechari,
1976:1).
Perpindahan Ibukota Mataram kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
diakibatkan adanya pralaya meletusnya gunung Merapi. Hal ini dikuatkan oleh
ilmuan geologi R. W. van Bemmelen (1949:560-562) menyatakan bahwa letusan
itu demikian dahsyatnya sehingga sebagian besar puncaknya hilang dan terjadi
pergeseran lapisan tanah ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan yang antara
lain membentuk gunung Menoreh. Letusan itu disertai dengan gempa yang hebat,
banjir lahar, hujan abu, dan batuan-batuan yang sangat mengerikan. Adanya teori
tersebut membuat perpindahan letak Ibukota Mataram kuno dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Dalam prasasti Turyyan Letak ibukota Mataram Kuno di Jawa
Timur di Tamwalang, di sekitar daerah Jombang
Dapat juga dipelajari bahwa pergantian ibukota sebagian besar terbatas di
wilayah yang sama. Kami berpendapat bahwa kami harus melihat fenomena ini
dengan latar belakang kosmogonik kerajaan Indonesia kuno. Untuk pindah ke area
lain, yaitu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, berarti penciptaan mandala baru,
disertai dengan adopsi gunung suci baru, dan pembangunan candi negara baru
sebagai replika Gunung Meru. Oleh karena itu pergeseran dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur hanya dapat dimengerti jika disebabkan oleh kejadian yang luar biasa,
yang dalam kepercayaan orang Jawa harus dilihat sebagai pertanda para dewa
bahwa tatanan sekarang berakhir. Ini tidak bisa lain dari ledakan gunung berapi
atau bentuk bencana alam lainnya (Boechari, 1976:15).
Menurut Stutterheim, (1926) apakah ada juga gunung yang sebenarnya
yang berfungsi sebagai replika dari gunung kosmik tidak dapat dikatakan dengan
pasti, karena tidak ada referensi seperti itu telah ditemukan dalam penyimpangan
sampai sekarang. Tapi Gunung Penanggungan di Jawa Timur dengan bentuknya
yang sangat khas, yakni puncak kerucut yang hampir sempurna dikelilingi oleh
empat puncak kecil di tingkat yang lebih rendah, dan lagi oleh empat lebih dekat
kaki, yang sangat mengingatkan bentuk Gunung Meru, mungkin gunung suci
untuk periode Jawa Timur (Boechari, 1976).
7
C. Persebaran Situs Terdampak Erupsi Gunung Merapi
Dengan adanya siklus tahunan erupsi di Gunung Merapi, maka dapat
diketahui persebaran situs yang terkena erupsi pada 1006 M sebagai berikut.
a. Candi Kimpulan
Candi Kimpulan terletak di Dusun Kimpulan, Kelurahan Umbulmartani
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada 04°35’524” LU dan 91°50’111”
dan secara geografis berada di antara dua Sungai Kladuan di sisi timur dan
Sungai Klanduan di sisi barat. Lokasi temuan merupakan lokasi bakal
pembangunan bangunan gedung perpustakaan UII.
8
terpendam di bawah tanah di Dusun Kimpulan, Kelurahan Umbulmartani
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penemuan dilakukan secara tidak sengaja oleh pekerja proyek
pembangunan bangunan gedung perpustakaan UII. Oleh karenanya adanya
penemuan ini memperkuat bukti bahwa adanya erupsi dan letusan gunung
Merapi yang berdampak terhadap perpindahan kerajaan Mataram kuno
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Salah satu bukti bahwa candi Kimpulan pernah terpendam oleh
endapan lahar vulkanis dari gunung merapi sedalam 2,70 meter dapat
dilihat dari stratigrafi tanah candi kimpulan. Bukti tersebut dapat ditemui
langsung di candi kimpulan yang terletak di dalam kompleks bangunan
perpustakaan UII. Peneliti melakukan observasi lapangan pada tanggal 15,
Februari 2019 di lokasi Dusun Kimpulan, Kelurahan Umbulmartani
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tepatnya di dalam kampus UII yang letaknya berada di dalam
perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII). Hasil dari penelitian
tersebut akan dipaparkan dibawah ini :
9
Candi kimpulan terpendam endapan lahar vulkanis bisa dilihat dari
gambar di atas. Gambar di atas merupakan stratigrafi tanah dari Candi
Kimpulan. Adanya bukti endapan lahar vulkanis dapat dilihat dari
stratigrafi tanah dari Candi Kimpulan membuktikan bahwa adanya letusan
gunung Merapi pada awal abad XI mengakibatkan beberapa daerah sekitar
Mataram kuno terpendam endapan lahar vulkanis sehingga banyak daerah
sekitar kawasan gunung Merapi terdapat lapisan tanah yang mengandung
pasir.
10
Gambar 5 Sungai Klandulan tampak dari atas
11
Gambar 6 Candi Induk Kimpulan
2. Candi Perwara
Berukuran 4,11 m x 6,36 m dan tinggi 164 cm, dengan arah hadap
ke barat dan lebar pintu 52 cm. Jarak antara candi perwara dengan
candi induk adalah 3,02m.
3. Adanya temuan lingga dan yoni yang merupakan symbol dari Dewa
Syiwa dan Parwati.
12
Gambar 8 Temuan Lingga dan Yoni
4. Adanya temuan arca Ganesya.
b. Candi Sambisari
Candi Sambisari terletak di Desa Sambisari, Kelurahan Purwomartani,
Kabupaten Sleman dengan koordinat 07° 45’45,0”LS dan 110 26’49,1”BT.
Didirikan sekitar pertengahan abad IX Masehi dan berlatar belakang agama
Hindu. Arsitektur candinya merupakan suatu kelompok percandian terdiri
atas sebuah candi induk dan tiga candi Perwara, yang dikelilingi oleh pagar
tembok dari batu putih, dan mempunyai pintu masuk pada setiap sisinya.
Candi induk terbuat dari batu andesit dengan arah hadap ke barat.
13
Gambar 10 Situasi sebelum Ekskavasi Awal tampak dari Barat
Laut
14
Gambar 12 Situasi Ekskavasi Awal di Candi Sambisari
15
Gambar 13 Candi Sambisari tampak dari Timur
Pada gambar di atas merupakan tampak Candi Sambisari dari pintu masuk
pagar candi dari arah timur Candi. Untuk membuktikan bahwa candi Sambisari
pernah terpendam sedalam 6,5 meter dari endapan lahar vulkanis dari gunung
Merapi maka dapat dilihat pada tampak timur dinding bekas penggalian yang
terlihat sangat tinggi sekitar 6,5 meter dilihat dari bawah. Perlu diingat bahwa
gambar tampak timur dinding bekas penggalian diatas hanya mewakili dari
16
dinding lain yang dapat dilihat dari segala arah, karena Candi Sambisari di
kelilingi oleh dinding bekas galian. Dengan demikian sudah jelas bahwa adanya
bencana letusan gunung Merapi pada awal abad XI memberikan bencana yang
sangat besar pada lingkungan sekitar kawasan rawan bencana gunung Merapi,
atau bahkan sangat membahayakan bagi keberlangsungan kerajaan Mataram
kuno sehingga adanya letusan dahsyat tersebut membuat raja Mataram kuno
memindahkan letak Ibu kota kerajaan di Jawa Timur.
17
Erupsi ini menimbulkan dampak berupa berupa hilangnya nyawa seseorang dan
juga dampak berupa kerusakan pada wilayah-wilayah dengan radius kurang dari
20 km dari puncak Gunung Merapi. Ancaman erupsi tersebut berpotensi terjadi
lagi apabila dapur magma Gunung Merapi sudah tidak mampu menahan atau
mengakomodir jumlah magma yang terdapat didalamnya sehinggga pada akhirnya
keluarlah magma tersebut ke permukaan bumi. Sehingga oleh wilayah tersebut
ditetapkan sebagai daerah ancaman bencana erupsi Gunung Merapi (BNPB dalam
Pradana, 2016: 2).
Erupsi adalah peristiwa keluarnya magma di permukaan bumi bisa dalam
bentuk yang berbeda-beda untuk setiap gunung api. Erupsi bisa efusif yaitu lava
keluar secara perlahan dan mengalir tanpa diikuti dengan suatu ledakan atau
eksplosif yaitu magma keluar dari gunungapi dalam bentuk ledakan. Dalam erupsi
yang eksplosif, terbentuk endapan piroklastik, sedang dalam erupsi efusif
terbentuk aliran lava (Pradana, 2016: 7).
Menurut Pradana (2016: 13-14) bahwa berdasarkan informasi geologi dan
tingkat risiko letusan gunung berapi, tipologi kawasan rawan letusan gunung
berapi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe sebagai berikut:
1) Tipe A
a. Kawasan yang berpotensi terlanda banjir lahar dan tidak menutup
kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Selama
letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan
berupa hujan abu lebat dan lontaran batu pijar.
b. Kawasan yang memiliki tingkat risiko rendah (berjarak cukup jauh dari
sumber letusan, melanda kawasan sepanjang aliran sungai yang dilaluinya,
pada saat terjadi bencana letusan, masih memungkinkan manusia untuk
menyelamatkan diri, sehingga risiko terlanda bencana masih dapat
dihindari).
2) Tipe B
a. Kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lahar dan lava,
lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur (panas),
aliran panas dan gas beracun.
18
b. Kawasan yang memiliki tingkat risiko sedang (berjarak cukup dekat
dengan sumber letusan, risiko manusia untuk menyelamatkan diri pada
saat letusan cukup sulit, kemungkinan untuk terlanda bencana sangat
besar).
3) Tipe C
a. Kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran
atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran
panas dan gas beracun. Hanya diperuntukkan bagi kawasan rawan letusan
gunung berapi yang sangat giat atau sering meletus.
b. Kawasan yang memiliki risiko tinggi (sangat dekat dengan sumber letusan.
Pada saat terjadi aktivitas magmatis, kawasan ini akan dengan cepat
terlanda bencana, makhluk hidup yang ada di sekitarnya tidak mungkin
untuk menyelamatkan diri).
Sebagai gunung berapi yang aktif, Gunung Merapi tentunya memiliki
potensi bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan masyarakat
di sekitarnya apabila sedang mengalami erupsi. Terlebih lereng Gunung Merapi
merupakan wilayah yang padat penduduk. Beberapa kecamatan di Kabupaten
Sleman yang berada di lereng Merapi adalah Cangkringan, Pakem, Turi, Tempel,
dan Ngemplak sehingga daerah tersebut menjadi daerah dengan resiko bencana
erupsi yang tinggi. Bahaya utama yang mengancam sekitar wilayah Merapi
adalah aliran awan panas (piroclastic flow), lontaran batu (pijar), hujan abu lebat,
lelehan lava (lava flow) dan gas beracun di samping bahaya sekunder banjir lahar
dingin yang dapat terjadi pada musim hujan (Nurjanah dalam Trirahayu, 2016:
2). Aliran awan panas Merapi memiliki kecepatan luncuran 15-250 km/jam dan
suhu yang mencapai lebih dari 600 derajat celcius sehingga awan panas ini sangat
berbahaya bagi apa dan siapa saja yang ada di sekitarnya. Lontaran batu dapat
menyebabkan kerusakan atau bahkan meruntuhkan atap rumah dan hujan abu
vulkanik dapat mengurangi jarak pandang serta dapat mengganggu pernapasan.
Selain itu, lelehan lava dapat menyebabkan ladang batu saat lava mulai
mendingin, sedangkan banjir lahar dingin berbahaya bagi masyarakat yang
berada di wilayah yang dekat dengan sungai yang berhulu di Gunung Merapi
seperti Kali Gendol, Bebeng, Boyong, Kuning, Opak, Bedog dan Krasak karena
19
dalam volume yang banyak dapat menyebabkan banjir bandang (Trirahayu, 2016:
2-3).
Salah satu letusan terbesar Merapi yang baru-baru ini terjadi adalah
letusan Merapi pada Oktober-November 2010. Pada saat itu, dampak dari letusan
Merapi sangat besar. Selain awan panas, pada saat itu Merapi juga mengeluarkan
aliran lahar dingin berjumlah 150 juta m3 dan 35% dari jumlah tersebut masuk ke
Kali Gendol dan sisanya masuk ke sungai lainnya yang berhulu di Gunung
Merapi (Trirahayu, 2016: 3).
20
mempertahankan produksi magma ini selama 940 tahun, sekitar 6 kubik pasti
telah diproduksi sejak 1006 AD. Perkiraan ini cukup sesuai dengan ukuran
kerucut aktif saat ini, yang mungkin hanya membentuk mantel yang relatif tipis
dibandingkan yang lebih tua, karena ditunjukkan pada bagian gambar (Bemmelen,
1949: 560).
Di kaki barat gunung berapi, antara Salam, dan Muntilan, pada jarak
sekitar 174 km dari puncak, sekelompok bukit yang aneh ditemukan di tengah-
tengah sawah di Lembah Progo. Bukit tertinggi dan terbesar (G. Gendol, 452 m
dpl, yaitu sekitar 90 m di atas dataran aluvial) terletak di tengah-tengah kelompok
ini. Bukit-bukit ini terdiri dari breksi lahar dengan interkalasi tufa fluviatile
(Bemmelen, 1949: 560).
Menurut Pradana (2016: 13-14) bahwa berdasarkan informasi geologi dan
tingkat risiko letusan gunung berapi, tipologi kawasan rawan letusan gunung
berapi 1006 M dapat dianalisis termasuk dalam tipe C, yakni:
1) Tipe C
a. Kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran
atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran
panas dan gas beracun. Hanya diperuntukkan bagi kawasan rawan letusan
gunung berapi yang sangat giat atau sering meletus.
b. Kawasan yang memiliki risiko tinggi (sangat dekat dengan sumber letusan.
Pada saat terjadi aktivitas magmatis, kawasan ini akan dengan cepat
terlanda bencana, makhluk hidup yang ada di sekitarnya tidak mungkin
untuk menyelamatkan diri).
Letusan tersebut dapat termasuk dalam tipe C karena menurut van
Bemmelen (1949: 560-562) menyatakan bahwa letusan itu demikian dahsyatnya
sehingga sebagian besar puncaknya hilang dan terjadi pergeseran lapisan tanah ke
arah barat daya sehingga terjadi lipatan yang antara lain membentuk Gunung
Menoreh. Letusan itu disertai dengan gempa yang hebat, banjir lahar, hujan abu,
dan batu-batuan yang sangat mengerikan.
Sebagai gunung berapi yang aktif, Gunung Merapi tentunya memiliki
potensi bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan masyarakat
di sekitarnya apabila sedang mengalami erupsi. Terlebih lereng Gunung Merapi
21
merupakan wilayah yang padat penduduk. Beberapa kecamatan di Kabupaten
Sleman yang berada di lereng Merapi adalah Cangkringan, Pakem, Turi, Tempel,
dan Ngemplak sehingga daerah tersebut menjadi daerah dengan resiko bencana
erupsi yang tinggi (Trirahayu, 2016: 2-3).
Candi Kimpulan merupakan salah satu candi yang terkena dampak dari
erupsi gunung merapi hal tersebut dikarenakan candi ini sudah lama terpendam di
bawah tanah di Dusun Kimpulan, Kelurahan Umbulmartani Kecamatan
Ngemplak, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penemuan
dilakukan secara tidak sengaja oleh pekerja proyek pembangunan bangunan
gedung perpustakaan UII. Oleh karenanya adanya penemuan ini memperkuat
bukti bahwa adanya erupsi dan letusan gunung Merapi yang berdampak terhadap
perpindahan kerajaan Mataram kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Salah satu bukti bahwa candi Kimpulan pernah terpendam oleh endapan
lahar vulkanis dari gunung merapi sedalam 2,70 meter dapat dilihat dari
stratigrafi tanah candi kimpulan. Bukti tersebut dapat ditemui langsung di candi
kimpulan yang terletak di dalam kompleks bangunan perpustakaan UII. Peneliti
melakukan observasi lapangan pada tanggal 15, Februari 2019 di lokasi Dusun
Kimpulan, Kelurahan Umbulmartani Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya di dalam kampus UII yang
letaknya berada di dalam perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII). Hasil
dari penelitian tersebut akan dipaparkan dibawah ini:
22
Candi kimpulan berada di bawah tanah sedalam 2,70 meter yang
merupakan endapan lahar vulkanis dari gunung merapi. Bukti bahwa Candi
kimpulan terpendam endapan lahar vulkanis bisa dilihat dari gambar di atas.
Gambar di atas merupakan stratigrafi tanah dari Candi Kimpulan. Adanya bukti
endapan lahar vulkanis dapat dilihat dari stratigrafi tanah dari Candi Kimpulan
membuktikan bahwa adanya letusan gunung Merapi pada awal abad XI
mengakibatkan beberapa daerah sekitar Mataram kuno terpendam endapan lahar
vulkanis sehingga banyak daerah sekitar kawasan gunung Merapi terdapat lapisan
tanah yang mengandung pasir.
Selain Candi Kimpulan terdapat Candi Sambisari sebagai situs terdampak
letusan Gunung Merapi tahun 1006 M. Candi sambisari pertama kali ditemukan
pada bulan Juli 1966, yakni ketika seorang petani yang sedang mencangkul
sebuah bagian batu candi yang berukir. Setelah melalui penelitian ternyata temuan
tanpa sengaja tersebut merupakan bagian kecil dari sebuah gugusan candi yang
terpendam hingga kedalaman 6,5 meter di dalam tanah yang merupakan endapan
lahar vulkanis dari gunung merapi. Pada bulan September 1966 untuk pertama
kalinya dilakukan kegiatan penelitian sistematis berupa ekskavasi arkeologis yang
dilaksnakan oleh kantor cabang satu lembaga peninggalan Purbakala Nasional di
Prambanan dengan dibantu oleh para mahasiswa arkeologi fakultas sastra
Universitas Gadjah Mada (BPPP, Yogyakarta, 2008).
Bukti bahwa Candi Sambisari pernah terpendam di tanah endapan lahar
vulkanis dari gunung Merapi dapat dilihat dari berbagai bukti dokumen foto di
lapangan yang pernah peneliti lakukan pada tanggal 15, Februari 2019, lokasi
Candi Sambisari di Desa Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kabupaten Sleman
dengan koordinat 07° 45’45,0”LS dan 110 26’49,1”BT. Bukti lapangan tersebut
dapat dipaparkan sebagai berikut :
23
Gambar 17 Candi Sambisari tampak dari arah Timur
Pada konsep satu hari Brahma itu, masyarakat Jawa Kuna mengenal
pembagian zaman menjadi empat babak, yaitu Kertayuga (zaman emas),
Tertayuga (zaman perak), Dwaparayuga (zaman perunggu), dan Kaliyuga
(kiamat). Sebelum mencapai zaman Kaliyuga ini, terjadi pralaya, yaitu proses
paling rumit dalam pembabakan zaman karena harus melalui proses hancur-
hancuran. Pralaya adalah zaman yang dikuasai oleh Dewi Kali, sehingga
mengakibatkan orang-orang selalu berbuat negatif (Poesponegoro, 88-190).
Akibat adanya pralaya meletusnya gunung Merapi sesuai dengan konsep
pembagian zaman masyarakat Jawa Kuna ada anggapan bahwa letak ibukota yang
terkena pralaya meletusnya Gunung Merapi oleh karenanya dianggap tidak suci
dan tidak sakral, karena telah menunjukkan tanda-tanda Kaliyuga pada saat itu.
Adanya kondisi yang demikian ini mengakibatkan Raja Sindok kemudian
memindahkan letak ibukota kerajaan itu ke tempat yang lebih aman dan lebih
suci, yaitu ke wilayah Jawa Timur, di Tamwlang. Informasi ini diperoleh melalui
prasasti Turyyan 929 M. Dengan demikian, pada waktu itu kemudian daerah di
Jawa Tengah tidak lagi menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan Mataram
Kuna, karena daerah itu sudah dianggap tidak mempunyai kesakralan yang dapat
mendukung keberlangsungan pemerintahan itu sendiri. Sesuai dengan landasan
kosmogonis, maka harus didirikan kerajaan baru dengan wangsa baru pula. Oleh
karena itu Pu Sindok membangun kembali Kerajaan Mataram di Jawa Timur
dengan tetap mempertahankan nama Mataram.
24
Dr R.W. van Bemmelen, seorang ahli geologi, mengira ia telah
menemukan indikasi bencana letusan Gunung Merapi di masa lalu. Bagian
baratnya runtuh, dan meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga bukit-
bukit Gendol terbentuk. Ledakan ini didahului oleh gempa bumi yang dahsyat dan
disertai dengan hujan abu dan aliran lava sehingga daerah yang luas di sekitar
Gunung Merapi, terutama daerah barat daya gunung berapi, hancur total dan
menjadi tandus, gurun yang tertutup abu. Van Bemmelen menghubungkan
ledakan ini dengan apa yang disebut pralaya, penghancuran kerajaan Teguh pada
1016 M, disebutkan dalam prasasti Pucangan (Bemmelen, 1949: 560-362).
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebenarnya pergeseran ibukota adalah fitur umum dalam sejarah Jawa.
Kami telah menunjukkan bahwa ibukota Mataram telah bergeser setidaknya dua
kali selama periode Jawa Tengah seperti yang dibuktikan oleh penyebutan
Mamratipura dan Poh Pitu sebagai situs ibukota. Kami masih memiliki sejumlah
desa yang disebut Medang yang tersebar di antara Purwodadi-Grobogan dan
Blora di Jawa Tengah Utara, tetapi apakah mereka mungkin telah menjadi situs
Mataram pada zaman dahulu tidak dapat dihilangkan. Penggalian arkeologis di
desa-desa itu dapat mengungkapkan beberapa bukti (Boechari, 1976: 14).
Adanya kondisi yang demikian ini mengakibatkan Raja Sindok kemudian
memindahkan letak ibukota kerajaan itu ke tempat yang lebih aman dan lebih
suci, yaitu ke wilayah Jawa Timur, di Tamwlang. Informasi ini diperoleh melalui
prasasti Turyyan 929 M. Dengan demikian, pada waktu itu kemudian daerah di
Jawa Tengah tidak lagi menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan Mataram
Kuna, karena daerah itu sudah dianggap tidak mempunyai kesakralan yang dapat
mendukung keberlangsungan pemerintahan itu sendiri. Sesuai dengan landasan
kosmogonis, maka harus didirikan kerajaan baru dengan wangsa baru pula. Oleh
karena itu Pu Sindok membangun kembali Kerajaan Mataram di Jawa Timur
dengan tetap mempertahankan nama Mataram.
Dr R.W. van Bemmelen, seorang ahli geologi, mengira ia telah
menemukan indikasi bencana letusan Gunung Merapi di masa lalu. Bagian
baratnya runtuh, dan meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga bukit-
bukit Gendol terbentuk. Ledakan ini didahului oleh gempa bumi yang dahsyat dan
disertai dengan hujan abu dan aliran lava sehingga daerah yang luas di sekitar
Gunung Merapi, terutama daerah barat daya gunung berapi, hancur total dan
menjadi tandus, gurun yang tertutup abu. Van Bemmelen menghubungkan
ledakan ini dengan apa yang disebut pralaya, penghancuran kerajaan Teguh pada
1016 M, disebutkan dalam prasasti Pucangan (Bemmelen, 1949: 560-362).
26
DAFTAR RUJUKAN
27
Lampiran 1 Foto Bukti Kerja Kelompok
28
Mencari data erupsi Gunung Merapi di Mencari data erupsi Gunung Merapi di
Museum Gunungapi Merapi, 15 Februari Museum Gunungapi Merapi, 15 Februari
2019 2019
29