Anda di halaman 1dari 5

MAKNA PENINGGALAN SEJARAH BAGI JATI DIRI

Terlepas dari kondisi fisiknya, peninggalan sejarah tersebut, bila dikaji secara seksama, memiliki arti penting
bagi masyarakat dan juga pemerintah daerah Purwakarta untuk lebih memahami jati dirinya. Dalam arti
luas, jati diri bukan hanya mengacu pada awal keberadaan masyarakat, tetapi mencakup jati diri masyarakat
dari generasi ke generasi yang menyangkut kiprah yang menunjukkan kepribadian dan budaya masyarakat
yang bersangkutan.

Seperti telah dikemukakan, untuk memahami makna peninggalan sejarah, kita harus memiliki kesadaran
sejarah cukup tinggi. Dalam hal ini, masyarakat Purwakarta seyogyanya mengetahui sejarah daerahnya.
Sekarang, sejarah Purwakarta yang mencakup tiga zaman seperti telah disebutkan, telah disusun dengan
uraian cukup komprehensif.

Jika sejarah Purwakarta diketahui dengan baik, maka akan dipahami beberapa hal yang menyangkut benda-
benda peninggalan sejarah di Purwakarta. Beberapa hal yang akan dipahami adalah:

keterkaitan benda-benda peninggalan sejarah dengan peristiwa tertentu; letak dan kadar nilai benda-benda
itu, baik nilai sejarah maupun nilai budaya dan nilai lain; makna yang terkandung dalam nilai benda-benda
peninggalan sejarah.

Berlandaskan pemahaman akan hal-hal tersebut – lebih-lebih bila disertai oleh pemahaman akan fungsi
sejarah –, akan dipahami bahwa fungsi, nilai, dan makna benda-benda peninggalan sejarah itu erat
kaitannya atau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jati diri masyarakat daerah yang bersangkutan.

Dengan diketahuinya fungsi dan keterkaitan Bumi Ageung, pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Situ
Buleud dengan momentum berdirinya kota Purwakarta yang diresmikan tanggal 20 Juli 1831[3]), akan
dipahami bahwa bangunan-bangunan dan tempat itu merupakan "tonggak" sejarah Purwakarta sekaligus
"tonggak" jati diri masyarakat Purwakarta. Dikatakan demikian, karena ketiga bangunan dan Situ Buleud itu
merupakan infrastruktur pertama kota Purwakarta yang dibangun oleh masyarakat Purwakarta. Bumi
Ageung, pendopo Situ Buleud dan Masjid Agung dibangun antara tahun 1830-1831. Dengan kata lain, awal
keberadaan benda-benda itu menunjukkan awal munculnya masyarakat Purwakarta dalam panggung
sejarah.

Pemahaman fungsi sejarah sebagai media informasi dan media pembelajaran, akan memperkuat arti
penting makna benda-benda peninggalan sejarah bagi pemahaman jati diri. Sejarah Jawa Barat
menginformasikan, bahwa pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, beberapa pendopo kabupaten di Jawa
Barat yang semula dibangun oleh pemerintah pribumi (kabupaten) dengan arsitektur tradisional, diubah oleh
pemerintah kolonial menjadi bangunan permanen dengan arsitektur modern. Akan tetapi pendopo di kota
Purwakarta dan Bandung hampir tidak mengalami perubahan. Hal itu mengandung pelajaran, bahwa
masyarakat di kedua daerah itu, yang diwakili oleh tokoh masyarakat, khususnya bupati, memelihara dan
mempertahankan "tonggak" jati diri, walaupun mereka berada di bawah kekuasaan penjajah (kolonial
Belanda).

Seperti diketahui, khususnya oleh masyarakat Purwakarta, sebagian bangunan bersejarah di kota itu, seperti
Gedong Kembar, bekas kantor keresidenan, dan stasion kereta api, didirikan atas prakarsa pihak kolonial.
Namun demikian, makna bangunan-bangunan itu pun tidak terpisahkan dari eksistensi masyarakat
Purwakarta.

Selain Situ Buleud, di daerah Purwakarta juga terdapat tempat lain yang bernilai sejarah, yaitu tempat-
tempat bekas terjadinya pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan (zaman revolusi
kemerdekaan). Tempat-tempat itu merupakan "saksi bisu" akan sikap dan semangat juang
mempertahankan kemerdekaan dan kepribadian. Secara filosofis, kemerdekaan merupakan unsur jati diri.
Bila kita tidak merdeka karena tindakan anasir asing, kita akan kehilangan kepribadian yang berarti
kehilangan jati diri.

Semua bangunan dan tempat bernilai sejarah tersebut, sampai sekarang masih ada. Berarti peninggalan
sejarah itu – disadari ataupun tidak – merupakan bagian dari jati diri masyarakat Purwakarta yang memiliki
makna atau fungsi sebagai media pemahaman jati diri masyarakat dari generasi ke generasi. Dengan kata
lain, peninggalan sejarah itu merupakan cerminan eksistensi masyarakat Purwakarta dalam perjalanan
sejarahnya. Melalui pemahaman sejarah, akan diketahui gambaran kekuatan, kelemahan, keberhasilan, dan
kegagalan dalam proses kehidupan masyarakat atau bangsa, bahkan individu.

Secara teori dan filosofis, pemahaman secara baik akan hal-hal tersebut, akan menjadi motivasi untuk
meningkatkan etos kerja atau semangat dalam menjalani kehidupan. Hal itu merupakan faktor dasar
sekaligus potensi yang penting artinya bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah,
termasuk di dalamnya pembangunan/ pembinaan masyarakat.

Pemahaman akan hal-hal tersebut, seharusnya lebih menyadarkan pemerintah daerah dan masyarakat
untuk memelihara dan melestarikan peninggalan sejarah, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang No.
Tahun 1992[4]) Tentang Benda Cagar Budaya. Berdasarkan usia dan nilainya, peninggalan sejarah di
Purwakarta tersebut di atas sudah termasuk benda cagar budaya (BCB). Undang-undang itu (Pasal 5 ayat 1
dan Pasal 19 ayat 1) menegaskan, bahwa BCB harus dipelihara dan dilestarikan, karena memiliki arti penting
bagi penelitian sejarah, ilmu pengetahuan, dan bagi kemajuan kehidupan sosial budaya.

Amanat undang-undang tersebut secara tersirat menunjukkan, bahwa peninggalan sejarah yang notabene
memiliki nilai budaya, merupa-kan salah satu unsur atau bagian dari jati diri. Dikatakan demikian, karena jati
diri merupakan akar budaya masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal itu, makna pokok peninggalan
sejarah bagi jati diri masyarakat atau bangsa.

PENUTUP

Dari pembicaraan mengenai makna peninggalan sejarah – meskipun secara garis besar – dapat disimpulkan,
bahwa peninggalan sejarah adalah bagian dari jati diri masyarakat atau bangsa. Pemahaman tentang hal itu
akan diperoleh dengan baik apabila warga masyarakat memiliki kesadaran sejarah cukup tinggi dan
dilandasi oleh sikap kritis, sehingga sejarah dipahami fungsi dan maknanya.

Mengenai pentingan makna sejarah bagi jati diri, sejarawan Arthur Schopenhauer mengatakan: "Hanya
melalui sejarah, suatu bangsa menjadi sadar secara sempurna akan jati dirinya". Senada dengan pernyataan
itu, Try Sutrisno selaku Wakil Presiden RI, dalam pidato sambutan pada pembukaan Kongres Nasional
Sejarah di Jakarta tanggal 12 November 1996, antara lain menyatakan: "Sejarah sangat dibutuhkan dan
penting dipahami oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri bangsa, guna mampu
merancang dan mempersiapkan kehidupannya di masa mendatang". Kedua pernyataan itu pun, secara
tersirat menunjukkan pentingnya makna peninggalan sejarah bagi jati diri.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perkenankan saya mengimbau, hendaknya masyarakat Purwakarta, terutama
para tokoh masyarakat dan tokoh pemerintahan, mengetahui sejarah Purwakarta dengan baik, agar
pernyataan kedua toloh tersebut (Arthur Schopenhauer dan Try Sutrisno) dan ungkapan "sejarah sebagai
obor kebenaran" bukan sekedar slogan, tetapi benar-benar dipahami dan dirasakan.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Purwakarta – bila belum memiliki – segera menyusun Perda mengenai
pemeliharaan/pelestarian BCB dengan melibatkan pakar bidang terkait. Perda yang dilampiri uraian Undang-
Undang No. 5 Tahun 1992, disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Dengan demikian, warga
masyarakat akan lebih memahami arti penting dan makna peninggalan sejarah, baik bagi jati diri maupun
untuk kemajuan masyarakat dan pembangunan daerah, karena BCB selain obyek sejarah, juga merupakan
aset wisata yang potensial. Pemeliharaan dan pemanfaatan obyek sejarah dengan baik, merupakan
cerminan dari adanya kesadaran sejarah.
MAKNA PENINGGALAN SEJARAH BAGI JATI DIRI

Terlepas dari kondisi fisiknya, peninggalan sejarah tersebut, bila dikaji secara seksama, memiliki
arti penting bagi masyarakat dan juga pemerintah daerah Purwakarta untuk lebih memahami jati
dirinya. Dalam arti luas, jati diri bukan hanya mengacu pada awal keberadaan masyarakat, tetapi
mencakup jati diri masyarakat dari generasi ke generasi yang menyangkut kiprah yang
menunjukkan kepribadian dan budaya masyarakat yang bersangkutan.

Seperti telah dikemukakan, untuk memahami makna peninggalan sejarah, kita harus memiliki
kesadaran sejarah cukup tinggi. Dalam hal ini, masyarakat Purwakarta seyogyanya mengetahui
sejarah daerahnya. Sekarang, sejarah Purwakarta yang mencakup tiga zaman seperti telah
disebutkan, telah disusun dengan uraian cukup komprehensif.

Jika sejarah Purwakarta diketahui dengan baik, maka akan dipahami beberapa hal yang
menyangkut benda-benda peninggalan sejarah di Purwakarta. Beberapa hal yang akan dipahami
adalah:

keterkaitan benda-benda peninggalan sejarah dengan peristiwa tertentu; letak dan kadar nilai
benda-benda itu, baik nilai sejarah maupun nilai budaya dan nilai lain; makna yang terkandung
dalam nilai benda-benda peninggalan sejarah.

Berlandaskan pemahaman akan hal-hal tersebut – lebih-lebih bila disertai oleh pemahaman akan
fungsi sejarah –, akan dipahami bahwa fungsi, nilai, dan makna benda-benda peninggalan
sejarah itu erat kaitannya atau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jati diri masyarakat
daerah yang bersangkutan.

Dengan diketahuinya fungsi dan keterkaitan Bumi Ageung, pendopo kabupaten, Masjid Agung
dan Situ Buleud dengan momentum berdirinya kota Purwakarta yang diresmikan tanggal 20 Juli
1831[3]), akan dipahami bahwa bangunan-bangunan dan tempat itu merupakan "tonggak" sejarah
Purwakarta sekaligus "tonggak" jati diri masyarakat Purwakarta. Dikatakan demikian, karena
ketiga bangunan dan Situ Buleud itu merupakan infrastruktur pertama kota Purwakarta yang
dibangun oleh masyarakat Purwakarta. Bumi Ageung, pendopo Situ Buleud dan Masjid Agung
dibangun antara tahun 1830-1831. Dengan kata lain, awal keberadaan benda-benda itu
menunjukkan awal munculnya masyarakat Purwakarta dalam panggung sejarah.

Pemahaman fungsi sejarah sebagai media informasi dan media pembelajaran, akan memperkuat
arti penting makna benda-benda peninggalan sejarah bagi pemahaman jati diri. Sejarah Jawa
Barat menginformasikan, bahwa pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, beberapa pendopo
kabupaten di Jawa Barat yang semula dibangun oleh pemerintah pribumi (kabupaten) dengan
arsitektur tradisional, diubah oleh pemerintah kolonial menjadi bangunan permanen dengan
arsitektur modern. Akan tetapi pendopo di kota Purwakarta dan Bandung hampir tidak
mengalami perubahan. Hal itu mengandung pelajaran, bahwa masyarakat di kedua daerah itu,
yang diwakili oleh tokoh masyarakat, khususnya bupati, memelihara dan mempertahankan
"tonggak" jati diri, walaupun mereka berada di bawah kekuasaan penjajah (kolonial Belanda).

Seperti diketahui, khususnya oleh masyarakat Purwakarta, sebagian bangunan bersejarah


di kota itu, seperti Gedong Kembar, bekas kantor keresidenan, dan stasion kereta api, didirikan
atas prakarsa pihak kolonial. Namun demikian, makna bangunan-bangunan itu pun tidak
terpisahkan dari eksistensi masyarakat Purwakarta.

Selain Situ Buleud, di daerah Purwakarta juga terdapat tempat lain yang bernilai sejarah, yaitu
tempat-tempat bekas terjadinya pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
(zaman revolusi kemerdekaan). Tempat-tempat itu merupakan "saksi bisu" akan sikap dan
semangat juang mempertahankan kemerdekaan dan kepribadian. Secara filosofis, kemerdekaan
merupakan unsur jati diri. Bila kita tidak merdeka karena tindakan anasir asing, kita akan
kehilangan kepribadian yang berarti kehilangan jati diri.

Semua bangunan dan tempat bernilai sejarah tersebut, sampai sekarang masih ada. Berarti
peninggalan sejarah itu – disadari ataupun tidak – merupakan bagian dari jati diri masyarakat
Purwakarta yang memiliki makna atau fungsi sebagai media pemahaman jati diri masyarakat dari
generasi ke generasi. Dengan kata lain, peninggalan sejarah itu merupakan cerminan eksistensi
masyarakat Purwakarta dalam perjalanan sejarahnya. Melalui pemahaman sejarah, akan
diketahui gambaran kekuatan, kelemahan, keberhasilan, dan kegagalan dalam proses kehidupan
masyarakat atau bangsa, bahkan individu.

Secara teori dan filosofis, pemahaman secara baik akan hal-hal tersebut, akan menjadi motivasi untuk
meningkatkan etos kerja atau semangat dalam menjalani kehidupan. Hal itu merupakan faktor dasar
sekaligus potensi yang penting artinya bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan
daerah, termasuk di dalamnya pembangunan/ pembinaan masyarakat.

Pemahaman akan hal-hal tersebut, seharusnya lebih menyadarkan pemerintah daerah dan
masyarakat untuk memelihara dan melestarikan peninggalan sejarah, seperti diamanatkan oleh
Undang-Undang No. Tahun 1992[4]) Tentang Benda Cagar Budaya. Berdasarkan usia dan
nilainya, peninggalan sejarah di Purwakarta tersebut di atas sudah termasuk benda cagar budaya
(BCB). Undang-undang itu (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 19 ayat 1) menegaskan, bahwa BCB harus
dipelihara dan dilestarikan, karena memiliki arti penting bagi penelitian sejarah, ilmu
pengetahuan, dan bagi kemajuan kehidupan sosial budaya.

Amanat undang-undang tersebut secara tersirat menunjukkan, bahwa peninggalan sejarah yang
notabene memiliki nilai budaya, merupa-kan salah satu unsur atau bagian dari jati diri.Dikatakan
demikian, karena jati diri merupakan akar budaya masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal itu,
makna pokok peninggalan sejarah bagi jati diri masyarakat atau bangsa.

PENUTUP
Dari pembicaraan mengenai makna peninggalan sejarah – meskipun secara garis besar – dapat
disimpulkan, bahwa peninggalan sejarah adalah bagian dari jati diri masyarakat atau bangsa.
Pemahaman tentang hal itu akan diperoleh dengan baik apabila warga masyarakat memiliki
kesadaran sejarah cukup tinggi dan dilandasi oleh sikap kritis, sehingga sejarah dipahami fungsi
dan maknanya.

Anda mungkin juga menyukai