Sebelum dijelaskan periodisasi sejarah kerajaan Bungku berdasarkan penggunaan gelar raja-raja Bungku
seperti tersebut di atas, penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan periodisasi sejarah secara umum
yang sering ditemukan dalam beberapa literature terdapat beberapa cara yang digunakan untuk
melakukan periodisasi (pembabakan sejarah). Pertama: periodisasi tiga zaman menggunakan istilah: 1.
Zaman Pra Aksara (pra sejarah), 2. Zaman Nirleka (Zaman peralihan dari zaman pra aksara ke zaman
sejarah) dan 3. Zaman Sejarah. Kedua periodisasi yang juga menggunakan tiga zaman dengan istilah: 1.
Zaman Batu, 2. Zaman Perunggu dan 3. Zaman Besi. Ketiga Kedua periodisasi enam zaman
menggunakan istilah 1. Zaman Purba, 2. Zaman Kuno, 3. Zaman Hindu Budha, 4. Zaman Islam, 5. Zaman
Penjajahan dan 6. Zaman Kemerdekaan.
Terlepas dari periodisasi sejarah seperti tersebut di atas dari susunan nama raja-raja Bungku tersebut
jika dikaji secara mendalam maka dapat ditelusuri periodisasi sejarah kerajaan bungku yang sebenarnya.
Kebudayaan
Menurut ilmu Antropologi bahwa Kebudayaan itu rumit dan kompleks. Istilah kebudayaan walaupun
sudah menjadi sebuah istilah yang amat populer, namun kenyataanya masih banyak ditemukan
perbedaan-perbedaan pengertian dari setiap orang. Ada yang mengartikan “kebudayaan” sangat luas
sehingga seluruh aktifitas manusia termasuk gerakan instingnya digolongkan ke dalam kebudayaan, ada
pula yang mengartikan kebudayaan dengan pengertian yang amat sempit; sehingga mengartikan
kebudayaan hanyalah yang menyangkut kesenian. Pendapat kedua yang mengartikan kebudayaan
hanyalah kesenian agaknya merupakan suatu anggapan yang keliru, karena kesenian yang terdiri dari
seni rupa, seni musik, seni tari, seni sastra, seni teater dan seni lainnya hanyalah salah satu unsur dari
kebudayaan. Jika demikian timbul pertanyaan “apakah kebudayaan itu”?
Pengertian kebudayaan dapat dipahami melaui dua segi yakni, segi Etimologis dan Terminologis. Secara
etimologis perkataan budaya berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah” yang merupakan bentuk jamak
dari “Budhi”; yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan akal. P.J Zoetmoelder dalam bukunya “Cultur Oost en West“ mengatakan
bahwa kata budayaan merupakan perkembangan dari kata majemuk “budidaya” yang berarti “daya
daripada budi, daya daripada akal”. Kata kebudayaan sama dengan kata “Culture” dalam bahasa Inggris
yang merupakan serapan dari bahasa latin “Colere” yang berarti mengolah, atau mengerjakan . Jadi
kebudayaan adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Secara terminologis (definisi) telah banyak Sarjana Ilmu Sosial yang mencoba menerangkan, atau
setidak-tidaknya telah menyusun definisi. Ada dua sarjana antropologi A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn,
yang pernah mengumpulkan lebih kurang 179 macam definisi tentang arti kebudayaan. Mereka berdua
mencoba menganalisis ke-179 definisi itu, mencari intinya dan mengklasifikasinya dalam berbagai
golongan. Hasilnya dibukukan dengan judul Critical Review of Conceps and Definition (1952) .
Kedua ahli tersebut setelah melakukan analisis disimpulkan bahwa ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1)
Ideas, (2), Activities, dan (3) Artefacts. Pendapat tersebut didukung oleh Koentjaraningrat yang
menyatakan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya: pertama, Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya. Kedua, Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. ketiga, Wujud
kebudayaan sebagi benda-benda hasil karya manusia.
Kesimpulan lain yang dihasilkan oleh kedua tokoh antropologi tersebut bahwa para ilmuan sosial secara
garis besar mengakui adanya tujuh unsur kebudayaan yang berlaku universal sebagai isi pokok dari
kebudayaan manapun di permukaan bumi ini. Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut adalah:
Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa,
Kesenian, Sintem mata pencaharian, serta Sistem tegnologi dan peralatan
Tujuh unsur budaya universal tersebut jika diamati dalam keseharian masyarakat Bungku akan nampak
bahwa Pertama, pengamalan keagamaan sangat kental dipengaruhi oleh budaya Islam baik dari segi fisik
(model bangunan Masjid) maupun mental (psykhis) amat kental pengaruh ajaran sufi. Selain itu seperti
halnya masyarakat lain di seluruh dunia bahwa kepercayaan Animisme dan Dinamisme, cukup besar
pengaruhnya sebelum masuk pengaruh Agama Islam, sehingga masyarakat Bungku hingga kini masih
dipengaruhinya walaupun intensitasnya sudah menipis namun masih tetap dipertahankan. Hal ini dapat
diamati melalui fenomena dukun yang dalam bahasa Bungku populer dengan istilah Sando.
Kedua, sistem organisasi kemasyarakatan masyarakat Bungku dapat ditelusuri melalui pengorganisasian
masyarakatnya yaitu dikenal stukrur pelapisan masyarakat Raja (pau), Bangsawan (mokole), Rakyat
biasa dan budak (ata). Struktur organisasi kemasyarakatan ini, juga dapat di telusuri melalui sistem
kekerabatan yang dalam bahasa Bungku disebut tepoalu petutua’ia. Selain itu, juga dapat ditelusuri
melalui sistem gotongroyong yang berlaku pada masyarakat seperti, metatulungi, mefalo-falo dan
mo’ala oleo.
Ketiga, Sistem pengetahuan masyarakat Bungku dapat ditelusuri melalui pengetahuan tentang alam
sekitar, flora dan fauna, zat-zat, bahan mentah, benda-benda alam, ruang dan waktu, tubuh manusia,
dan sifat-sifat manusia .
Keempat, Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bungku yaitu wujudnya terdiri dari bahasa yang amat
halus, bahasa halus, bahasa sehari-hari dan bahasa kasar.
Kelima, wujud kesenian seperti: seni beladiri silat (kontau dan manca), seni bangunan seperti masjid,
rumah, dan kuburan. Seni tetabuhan (tatabua) ndengu-ndengu, ganda dan rabana).
Keenam, mata pencaharian yang ditekuni oleh masyarakat Bungku umumnya peteni.
Ketuju, tegnologi dan peralatan masyarakat Bungku melalui Alat-alat kerja, Wadah, Makanan, Pakaian,
Perumahan, dan Alat transport.
Selain yang dijelaskan di atas penulis merasa perlu untuk menjelaskan konsep nilai bauadaya yang
sampai hari ini masih dijunjung tinggi oleh generasi tua masyarakat Bungku seperti antara lain pertama,
Samaturu (rukun) yang wujudnya merasa satu dalam ikatan kekeluargaan. Praktek samaturu dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat diwujudkan dalam bentuk metapoko-poko fali atau
metatulungi. Pada masa pemerintahan raja muncul sebuah pesan filsafat yang maknanya cukup dalam
namun kini tidak ditemukan lagi pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu “Baratantonga
tompano pandeanto, tila mengkena pande motauanto” artinya seimbangkan ujung ketrampilan kita,
bahagi sama ujung ketrampilan dan pengetahuan kita. Kedua, Sopan santun dalam bahasa Bungku
dikenal dengan istilah Kona’adati, konalelu, dan kona atora artinya bertingkah laku sesuai dengan
tuntunan adat istiadat. Ketiga Kemandirian dalam bahasa Bungku identik dengan tumorampanta,
tumadempanta atau lumakompanta artinya hidup sendiri, berdiri sendiri atau berjalan sendiri. Keempat,
Taat terhadap orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Kelima, Disiplin dan cermat yang disebut
katutu atau matutu, Keenam, Tanggung jawab, Ketujuh, Kejujuran dalam bahasa Bungku disebut
kamoleoa atau moleo. Kedelapan, Rasa pengabdian yang dikenal dengan safa montulungi yang juga
diidentikkan dengan pongkokolaro.
C. Epilog
Kebudayaan masyarakat Bungku yang berkembang sejak awal adanya manusia mendiami wilayah
Bungku telah mengalami pasang surut sesuai dengan perjalanan waktu dan mengikuti pasang surutnya
kondisi politik yang terjadi baik di wilayah Bungku maupun di wilayah sekitarnya telah mempengaruhi
mental masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu menampakkan naik
turunya mental dan pengamalan terhadap nilai-nilai luhur budaya kelihatannya pada akhir-akhir ini
mulai luntur dan menipis. Hal ini dapat diamati melalui keseharian masyarakat Bungku yang tentunya
dapat dijawab sendiri oleh peserta seminar hari ini. Nilai-nilai budaya yang kelihatanya menipis itu
seperti Kerukunan, Sopan santun, Kemandirian, Keta’atan terhadap Agama, ketaatan pada orang tua,
Disiplin dan cermat, Tanggungjawab, dan Rasa pengabdian. Kesemuanya itu terpulang kepada kita
semua untuk menjawabnya
Demikian pula yang menyangku persoalan Sejarah Kerajaan Bungku; hingga kini masih terdapat
pertentangan-pertentangan mengenai kebenaran sejarah tersebut. Semoga pertemuan hari ini dapat
menjernihkan masalah tersebut. Penulis hawatir, jangan sampai seminar hari ini menjadi ajang untuk
mengorek dan menfonis masa lampau. Harapan penulis kiranya kesempatan ini kita gunakan sebaik-
baiknya untuk menggali sejarah masalampau Bungku dengan pikiran jernih dan kita berupaya untuk
seobyektif mungkin sehingga pertentangan-pertentangan dapat kita eliminir.
Akhir tulisan ini Penulis titipkan sebuah pertanyaan akankah generasi muda Bungku dapat
mengembalikan kebersamaan yang pernah dibangun oleh pemuda-pemuda Bungku yang tergabung di
dalam gerakan Merah Putih saat melawan Kompeni Belanda dan pemberontakan Kahar Muzakar
dahulu? Kritik saran, dan masukkan yang bersifat konstruktif penulis sangat harapkan untuk perbaikan
kedepan. Semoga bermanfaat untuk semua pihak
Daftar Pustaka
Alfian,
1979. Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia Jakarta: LP3ES.
Bachtiar, W. Harsya dkk,
1985, Budaya dan Manusia Indonesia, Malang: YP2LPM
Brown, Radcliffe R. A
1965, Structure and Function in Primitive Society, New York: The Free Press
Charlotte Seymour-Smith,
1986, Macmillan Dictionary of Anthropology, London: Macmillan Press.
Daeng, J. Hans
2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danandjaya, James
1991, Folkor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain–lain, Jakarta: Pustaka Utama.
Hasan Dkk,
2004, Sejarah Poso Yogyakarta: Tiara Wacana
Izarwisma (ed),
1989, Tata Kelakuan Keluarga di Lingkungan Pergaulan dan Masyarakat Setempat Daerah Sulawesi
Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Koentjaraningrat,
1980, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
............................,
1974, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
Siodjang, Baso dkk
1998, Wujud Arti dan Fungsi Puncak – Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat
Pendukungnya: Sumbangan Kebudayan Daerah Sulawesi Tengah Terhadap Kebudayan Nasional, Palu:
Departemen Pendidikan dan Kebudayan
SP, Santoso.
1980, Mewarisi dan Memperbaharui Warisan Budaya Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Muhammad, Syahril
2004, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi & Politik, Yogyakarta: Ombak.
2 komentar:
1.
terima kasih atas tulisannya,mudah-mudahan tidak lelah dalam menulis sejarah bungku...