Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH DAN BUDAYA MASYARAKAT BUNGKU

SEJARAH DAN BUDAYA


MASYARAKAT BUNGKU
Oleh
SYAKIR MAHID
A. Prolog.
Upaya untuk mengungkap sejarah dan budaya suatu etnis tanpa sumber yang lengkap mustahil
dapat dilakukan. Demikian pula nasib sejarah dan budaya etnis Bungku; hingga kini belum dapat
diungkap tuntas dan bahkan belum ditulis secara memadai (belum ada buku sejarah Bungku)
karena sumber-sumbernya masih berserakan dan tersebar di beberapa tempat antara lain di Arsip
Nasional, Koleksi langka Perpustakaan Nasional dan sebagian ada di Jogyakarta, Bandung,
Makasar, dan bahkan di Leiden Belanda.
Pengetahuan mengenai sejarah dan budaya Bungku hingga kini hanya berdasarkan oral tradition
(tradisi lisan). Pengetahuan berdasarkan oral tradition tersebut hingga kini masih tersebar dan
berserahkan pada masing-masing individu yang oleh mereka yakin bahwa ceritera sejarah yang
mereka pernah dengar dari orang-orang tua mereka mengenai Sejarah dan budaya Bungku benar
adanya. Tetapi pengetahuan seperti tersebut dari sudut pandang ilmiah dianggap masih banyak
kelemahan dan diragukan kebenarannya karena belum dibedah dan diuji melalui penelitian
ilmiah yang mengunakan metode sejarah. Sebuah bukti yang dapat dijadiakan acuan terhadap
argument tersebut adalah fakta yang menunjukkan bahwa hingga kini belum ditemukan sebuah
buku hasil penelitian yang isinya membahas secara utuh Sejarah dan budaya Bungku.
Penelitian yang ideal mengenai sejarah dan kebudayaan suatu daerah harus dilakukan oleh para
ilmuan sosial atau sejarawan untuk mengungkap sejarah dan budaya suatu masyarakat, umumnya
menggunakan pendekatan komprehensif yang oleh Sartono Kartodirdjo disebut “pendekatan
multidimensional”. Pendekatan ini menggunakan dua analisis. Pertama analisis bersifat
singkronik (meluas dalam ruang) atau sering disebut spasial. Kedua analisis diakronik atau
temporal (memanjang mengikuti perjalanan waktu) yang dalam istilah populernya disebut
kronologis.
Sejalan dengan gagasan penelitian sejarah dan kebudayaan, Taufik Abdullah menyatakan bahwa
sejarah dapat diamati melalui tiga sudut pandang, pertama Sejarah sebagai fakta; artinya suatu
kejadian yang benar-benar telah terjadi, diceriterakan atau tidak diceriterakan begitulah adanya,
kedua Sejarah sebagai ceritera; adalah suatu ceritera sejarah yang masih perlu dicermati karena
belum tentu kejadiannya sesuai dengan yang diceriterakan, ketiga Sejarah sebagai ilmu; adalah
suatu ceritera kejadian yang disusun dengan menggunakan kaidah ilmu sejarah, dengan tahapan-
tahapannya, mulai dari Heuristik, Kritik, Interpretasi dan berakhir pada Historiografi.
Makalah ini mencoba mengkritisi sekaligus menjelaskan sejarah bungku dalam bentuk
periodesasi. Penekanan pada periodisasi akan dilihat pada penggunaan gelar raja-raja yang
berkuasa di eks landschap Tambuku/Tombuku, yang kemudian diubah menjadi Kerajaan
Bungku, selanjutnya menjadi kewedanaan Bungku dan terakhir menjadi Wilayah Pembantu
Bupati Kepala Daerah (BKDH Poso di Bungku), sebagai suatu entitas yang dapat menjelaskan
diakronik yang dimaksudkan Sartono Kartodirdjo.
B. Pembahasan
Keberadaan masyarakat Bungku sejak tahun 1622 sudah dikenal di Eropa terutama oleh orang
Portugis dengan kata “Tobuguo”. Nama ini diperkenalkan oleh Hessel Gerrits dalam buku “La
Kartographie Neederlandaise de la Celebes” sementara dalam literatur Belanda terdapat dua
nama secara bergantian digunakan untuk menyebut Bungku yaitu “Tambuku” dan “Tombuku”
kemudian hingga kini belum diketahui sejak kapan berubah menjadi “Bungku” yang kita kenal
sebagai salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Morowali Sekarang.
Kata “Bungku” sekarang ini memiliki beberapa makna (pengertian) antara lain: pertama
menunjuk kepada satu etnis dari dua belas etnis yang mendiami Provinsi Sulawesi Tengah.
kedua menunjuk kepada suatu wilayah eks landschap Tambuku/Tombuku (Bungku) yang
merupakan satu kesatuan geografis terletak di Kabupaten Morowali dan membentang dari
Kecamatan Menui Kepulauan sampai dengan Kecamatan Mamo Salato (yang benar adalah
Momo Selato) pecahan dari Kecamatan Bungku Utara, Ketiga sebuah eks landschap (kerajaan)
yang pernah berdiri sejak abad ? sampai tahun 1950.
Bungku sebagai sebuah etnis, adalah satu kesatuan masyarakat yang memiliki kebudayaan
tersendiri berbeda dengan budaya etnis lain. Sementara sebagai suatu kesatuan wilayah tentunya
tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu kecamatan dengan kecamatan lainya; karena pembagian
menjadi beberapa Kecamatan hanyalah merupakan upaya mempermudah pelayanan administrasi
pemerintahan, namun hakekatnya merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh.
Sebagai sebuah eks landschap (kerajaan) sampai kini masih merupakan sebuah teka-teki. Ini
suatu kekuranga sebagai akibat dari pengumpulan sumber-sumber Sejarah Kerajaan Bungku
selama ini masih sebatas oral history . Untuk itu tentunya merupakan suatu kewajiban generasi
muda Bungku melakukan penelitian ilmiah agar teka-teki sejarah dan budaya kerajaan Bungku
segera terjawab.
Seperti telah dijelaskan pada bagian akhir prolog bahwa pembahasan dalam makalah ini
mencoba mengkritisi sekaligus menjelaskan sejarah Bungku dalam bentuk periodesasi.
Penekanan pada periodisasi akan dilihat pada penggunaan gelar raja-raja yang berkuasa di eks
landschap Tambuku/Tombuku, sebagai suatu entitas yang dapat menjelaskan diakronik yang
dimaksudkan Sartono Kartodirdjo. Berdasarkan penggunaan gelar nama-nama raja Bungku ada
tiga periode penting yakni: pertama periode mitologis (alam sebagai subjek dan manusia sebagai
objek), kedua periode ideologis (manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek), dan ketiga
periode ilmu pengetahuan (manusia dan alam menjadi objek sekaligus menjadi subjek).
Kerajaan Bungku yang ditaklukkan oleh pasukan Ternate (belum diketahui kapan waktunya)
yang oleh masyarakat Bungku lebih popular dengan nama Tobelo; pada tahun 1682 diambil alih
Gubernur Padbrugge atas nama Kompeni Hindia Belanda, dengan tujuan menghukum Sultan
Ternate atas pemberontakannya melawan kekuasaan Kompeni. Sebelum diambil alih oleh
pemerintah Belanda, Bungku telah memiliki pemerintahan sendiri. Kerajaan ini meliputi satu
teritorial. Vita Tobungku (tanah Bungku) dan didiami oleh satu kesatuan sosial masyarakat yang
mempunyai adat istiadat, bahasa dan agama serta corak kehidupan dan kebudayaan yang berbeda
dengan kebudayaan lain di luar wilayahnya.
Menurut ceritera yang berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat Bungku bahwa, kerajaan
Bungku dahulu diperintah oleh raja¬-raja yang berasal dari keturunan leluhur yang sama mulai
dari raja pertama sampai raja ke 13 sebagai raja terakhir hingga Indonesia merdeka. Raja
pertama Kerajaan Bungku adalah Marhum Sangiang Kinambuka. Ayahnya bernama Sangia
Oheo dan ibunya bernama Fengguluri. Adapun istri dari Sangia Kinambuka adalah Wendoria
gelar Apu Boki, keturunan Mokole Lere di Routa. Sangia Kinambuka mempunyai dua orang
saudara, bernama Fengkoila bergelar Sangia I Nato memerintah di Kendari dan Feluo Sangia
Felungku memerintah di Kerajaan Luwu Palopo. Adapun raja-raja (Peapua) yang pernah
memerintah di Bungku adalah:
01. Pea Pua Sangiang Kinambuka
02. Pea Pua Papa
03. Pea Pua Arsyad
04. Pea Pua Kolono Surabi

05. Pea Pua Kasili Lamboja


06. Pea Pua Kasili Syadik
07. Pea Pua Kasili Baba

08. Kasili Maloku Tondu Le-Obi 1674


09. Kasili Ismail Lau Peke tahun 1886-1907

10. Abdul Wahab tahun 1908 –1922


11. Achmad Hadie tahun 1925 –1930
12. Abdul Razak tahun 1931 –1937
13. Abddurabbie tahun 1938 –1950

Sebelum dijelaskan periodisasi sejarah kerajaan Bungku berdasarkan penggunaan gelar raja-raja Bungku
seperti tersebut di atas, penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan periodisasi sejarah secara umum
yang sering ditemukan dalam beberapa literature terdapat beberapa cara yang digunakan untuk
melakukan periodisasi (pembabakan sejarah). Pertama: periodisasi tiga zaman menggunakan istilah: 1.
Zaman Pra Aksara (pra sejarah), 2. Zaman Nirleka (Zaman peralihan dari zaman pra aksara ke zaman
sejarah) dan 3. Zaman Sejarah. Kedua periodisasi yang juga menggunakan tiga zaman dengan istilah: 1.
Zaman Batu, 2. Zaman Perunggu dan 3. Zaman Besi. Ketiga Kedua periodisasi enam zaman
menggunakan istilah 1. Zaman Purba, 2. Zaman Kuno, 3. Zaman Hindu Budha, 4. Zaman Islam, 5. Zaman
Penjajahan dan 6. Zaman Kemerdekaan.

Terlepas dari periodisasi sejarah seperti tersebut di atas dari susunan nama raja-raja Bungku tersebut
jika dikaji secara mendalam maka dapat ditelusuri periodisasi sejarah kerajaan bungku yang sebenarnya.
Kebudayaan
Menurut ilmu Antropologi bahwa Kebudayaan itu rumit dan kompleks. Istilah kebudayaan walaupun
sudah menjadi sebuah istilah yang amat populer, namun kenyataanya masih banyak ditemukan
perbedaan-perbedaan pengertian dari setiap orang. Ada yang mengartikan “kebudayaan” sangat luas
sehingga seluruh aktifitas manusia termasuk gerakan instingnya digolongkan ke dalam kebudayaan, ada
pula yang mengartikan kebudayaan dengan pengertian yang amat sempit; sehingga mengartikan
kebudayaan hanyalah yang menyangkut kesenian. Pendapat kedua yang mengartikan kebudayaan
hanyalah kesenian agaknya merupakan suatu anggapan yang keliru, karena kesenian yang terdiri dari
seni rupa, seni musik, seni tari, seni sastra, seni teater dan seni lainnya hanyalah salah satu unsur dari
kebudayaan. Jika demikian timbul pertanyaan “apakah kebudayaan itu”?
Pengertian kebudayaan dapat dipahami melaui dua segi yakni, segi Etimologis dan Terminologis. Secara
etimologis perkataan budaya berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah” yang merupakan bentuk jamak
dari “Budhi”; yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan akal. P.J Zoetmoelder dalam bukunya “Cultur Oost en West“ mengatakan
bahwa kata budayaan merupakan perkembangan dari kata majemuk “budidaya” yang berarti “daya
daripada budi, daya daripada akal”. Kata kebudayaan sama dengan kata “Culture” dalam bahasa Inggris
yang merupakan serapan dari bahasa latin “Colere” yang berarti mengolah, atau mengerjakan . Jadi
kebudayaan adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Secara terminologis (definisi) telah banyak Sarjana Ilmu Sosial yang mencoba menerangkan, atau
setidak-tidaknya telah menyusun definisi. Ada dua sarjana antropologi A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn,
yang pernah mengumpulkan lebih kurang 179 macam definisi tentang arti kebudayaan. Mereka berdua
mencoba menganalisis ke-179 definisi itu, mencari intinya dan mengklasifikasinya dalam berbagai
golongan. Hasilnya dibukukan dengan judul Critical Review of Conceps and Definition (1952) .
Kedua ahli tersebut setelah melakukan analisis disimpulkan bahwa ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1)
Ideas, (2), Activities, dan (3) Artefacts. Pendapat tersebut didukung oleh Koentjaraningrat yang
menyatakan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya: pertama, Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya. Kedua, Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. ketiga, Wujud
kebudayaan sebagi benda-benda hasil karya manusia.
Kesimpulan lain yang dihasilkan oleh kedua tokoh antropologi tersebut bahwa para ilmuan sosial secara
garis besar mengakui adanya tujuh unsur kebudayaan yang berlaku universal sebagai isi pokok dari
kebudayaan manapun di permukaan bumi ini. Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut adalah:
Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa,
Kesenian, Sintem mata pencaharian, serta Sistem tegnologi dan peralatan

Tujuh unsur budaya universal tersebut jika diamati dalam keseharian masyarakat Bungku akan nampak
bahwa Pertama, pengamalan keagamaan sangat kental dipengaruhi oleh budaya Islam baik dari segi fisik
(model bangunan Masjid) maupun mental (psykhis) amat kental pengaruh ajaran sufi. Selain itu seperti
halnya masyarakat lain di seluruh dunia bahwa kepercayaan Animisme dan Dinamisme, cukup besar
pengaruhnya sebelum masuk pengaruh Agama Islam, sehingga masyarakat Bungku hingga kini masih
dipengaruhinya walaupun intensitasnya sudah menipis namun masih tetap dipertahankan. Hal ini dapat
diamati melalui fenomena dukun yang dalam bahasa Bungku populer dengan istilah Sando.
Kedua, sistem organisasi kemasyarakatan masyarakat Bungku dapat ditelusuri melalui pengorganisasian
masyarakatnya yaitu dikenal stukrur pelapisan masyarakat Raja (pau), Bangsawan (mokole), Rakyat
biasa dan budak (ata). Struktur organisasi kemasyarakatan ini, juga dapat di telusuri melalui sistem
kekerabatan yang dalam bahasa Bungku disebut tepoalu petutua’ia. Selain itu, juga dapat ditelusuri
melalui sistem gotongroyong yang berlaku pada masyarakat seperti, metatulungi, mefalo-falo dan
mo’ala oleo.
Ketiga, Sistem pengetahuan masyarakat Bungku dapat ditelusuri melalui pengetahuan tentang alam
sekitar, flora dan fauna, zat-zat, bahan mentah, benda-benda alam, ruang dan waktu, tubuh manusia,
dan sifat-sifat manusia .
Keempat, Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bungku yaitu wujudnya terdiri dari bahasa yang amat
halus, bahasa halus, bahasa sehari-hari dan bahasa kasar.
Kelima, wujud kesenian seperti: seni beladiri silat (kontau dan manca), seni bangunan seperti masjid,
rumah, dan kuburan. Seni tetabuhan (tatabua) ndengu-ndengu, ganda dan rabana).
Keenam, mata pencaharian yang ditekuni oleh masyarakat Bungku umumnya peteni.
Ketuju, tegnologi dan peralatan masyarakat Bungku melalui Alat-alat kerja, Wadah, Makanan, Pakaian,
Perumahan, dan Alat transport.
Selain yang dijelaskan di atas penulis merasa perlu untuk menjelaskan konsep nilai bauadaya yang
sampai hari ini masih dijunjung tinggi oleh generasi tua masyarakat Bungku seperti antara lain pertama,
Samaturu (rukun) yang wujudnya merasa satu dalam ikatan kekeluargaan. Praktek samaturu dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat diwujudkan dalam bentuk metapoko-poko fali atau
metatulungi. Pada masa pemerintahan raja muncul sebuah pesan filsafat yang maknanya cukup dalam
namun kini tidak ditemukan lagi pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu “Baratantonga
tompano pandeanto, tila mengkena pande motauanto” artinya seimbangkan ujung ketrampilan kita,
bahagi sama ujung ketrampilan dan pengetahuan kita. Kedua, Sopan santun dalam bahasa Bungku
dikenal dengan istilah Kona’adati, konalelu, dan kona atora artinya bertingkah laku sesuai dengan
tuntunan adat istiadat. Ketiga Kemandirian dalam bahasa Bungku identik dengan tumorampanta,
tumadempanta atau lumakompanta artinya hidup sendiri, berdiri sendiri atau berjalan sendiri. Keempat,
Taat terhadap orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Kelima, Disiplin dan cermat yang disebut
katutu atau matutu, Keenam, Tanggung jawab, Ketujuh, Kejujuran dalam bahasa Bungku disebut
kamoleoa atau moleo. Kedelapan, Rasa pengabdian yang dikenal dengan safa montulungi yang juga
diidentikkan dengan pongkokolaro.
C. Epilog

Kebudayaan masyarakat Bungku yang berkembang sejak awal adanya manusia mendiami wilayah
Bungku telah mengalami pasang surut sesuai dengan perjalanan waktu dan mengikuti pasang surutnya
kondisi politik yang terjadi baik di wilayah Bungku maupun di wilayah sekitarnya telah mempengaruhi
mental masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu menampakkan naik
turunya mental dan pengamalan terhadap nilai-nilai luhur budaya kelihatannya pada akhir-akhir ini
mulai luntur dan menipis. Hal ini dapat diamati melalui keseharian masyarakat Bungku yang tentunya
dapat dijawab sendiri oleh peserta seminar hari ini. Nilai-nilai budaya yang kelihatanya menipis itu
seperti Kerukunan, Sopan santun, Kemandirian, Keta’atan terhadap Agama, ketaatan pada orang tua,
Disiplin dan cermat, Tanggungjawab, dan Rasa pengabdian. Kesemuanya itu terpulang kepada kita
semua untuk menjawabnya
Demikian pula yang menyangku persoalan Sejarah Kerajaan Bungku; hingga kini masih terdapat
pertentangan-pertentangan mengenai kebenaran sejarah tersebut. Semoga pertemuan hari ini dapat
menjernihkan masalah tersebut. Penulis hawatir, jangan sampai seminar hari ini menjadi ajang untuk
mengorek dan menfonis masa lampau. Harapan penulis kiranya kesempatan ini kita gunakan sebaik-
baiknya untuk menggali sejarah masalampau Bungku dengan pikiran jernih dan kita berupaya untuk
seobyektif mungkin sehingga pertentangan-pertentangan dapat kita eliminir.
Akhir tulisan ini Penulis titipkan sebuah pertanyaan akankah generasi muda Bungku dapat
mengembalikan kebersamaan yang pernah dibangun oleh pemuda-pemuda Bungku yang tergabung di
dalam gerakan Merah Putih saat melawan Kompeni Belanda dan pemberontakan Kahar Muzakar
dahulu? Kritik saran, dan masukkan yang bersifat konstruktif penulis sangat harapkan untuk perbaikan
kedepan. Semoga bermanfaat untuk semua pihak
Daftar Pustaka
Alfian,
1979. Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia Jakarta: LP3ES.
Bachtiar, W. Harsya dkk,
1985, Budaya dan Manusia Indonesia, Malang: YP2LPM
Brown, Radcliffe R. A
1965, Structure and Function in Primitive Society, New York: The Free Press
Charlotte Seymour-Smith,
1986, Macmillan Dictionary of Anthropology, London: Macmillan Press.
Daeng, J. Hans
2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danandjaya, James
1991, Folkor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain–lain, Jakarta: Pustaka Utama.
Hasan Dkk,
2004, Sejarah Poso Yogyakarta: Tiara Wacana
Izarwisma (ed),
1989, Tata Kelakuan Keluarga di Lingkungan Pergaulan dan Masyarakat Setempat Daerah Sulawesi
Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Koentjaraningrat,
1980, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
............................,
1974, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
Siodjang, Baso dkk
1998, Wujud Arti dan Fungsi Puncak – Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat
Pendukungnya: Sumbangan Kebudayan Daerah Sulawesi Tengah Terhadap Kebudayan Nasional, Palu:
Departemen Pendidikan dan Kebudayan
SP, Santoso.
1980, Mewarisi dan Memperbaharui Warisan Budaya Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Muhammad, Syahril
2004, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi & Politik, Yogyakarta: Ombak.

Diposkan oleh syakirmahid di 22.52

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

2 komentar:

1.

Masyhar12 November 2010 09.55

terima kasih atas tulisannya,mudah-mudahan tidak lelah dalam menulis sejarah bungku...

untuk beberapa informasi dapat lihat di blog saya


http://cerminpikiran.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai