Anda di halaman 1dari 4

TANGGAL 22 FEBRUARI 1571: ALTERNATIF KUAT HARI

JADI KABUPATEN BANYUMAS

Tahun 1582 sebagai tahun yang diambil sebagai patokan hari jadi
memang ada sumbernya. Naskah tersebut tidak didukung oleh naskah-naskah
yang lain. Hasil perbandingan naskah-naskah Babad Banyumas, khususnya
teks-teks dari versi Wirjaatmadjan menunjukkan bahwa angka tahun 1582 itu
merupakan hasil penafsiran berantai dari keterangan buku karya sejarawan
Belanda Fruin Mees yang menyatakan bahwa tahun 1582 adalah tahun wafatnya
Sultan Pajang. Dalam dunia pernaskahan Banyumas, karya Patih Purwokerto
Itu, tampaknya, sangat populer di kalangan masyarakat luas, bahkan karya itu
dianggap sebagai babad yang baku.
Persoalan lain adalah tanggal 12 Rabiulawal yang dipakai sebagai
rekayasa karena Soekarno bertumpu pada tradisi keraton jawa, terutama sejak
Demak hingga Mataram yang mewajibkan para adipati dan bupati untuk
menghadap setiap tahunnya tiga Kali ke ibu kota Kerajaan dengan menyerakan
upeti pada bulan Malud , Pasa , dan Besar . Tampaknya, Soekarto memilih
bulan Rabiulawal karena bulan ini termasuk bulan yang penting, yakni
peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW. Jadi, kalau Soekarto memakai
bulan Rabiulawal, maka pemakaian bulan itu terlalu dipaksakan, di samping a
melakukan tindakan yang bersifat anakronistis. Masalah yang paling hakiki
dalam penulisan sejarah adalah didasarkan atas fakta dan fakta itu ditemukan
pada sumber sejarah yang berupa dokumen.
Jika kita memaksakan suatu fakta yang tidak didasarkan sumber
sejarah. Kita sudah melihat bahwa hari jadi 6 April 1582 didasarkan atas fakta
yang palsu karena jika dilacak kembali, maka fakta itu tidak dijumpai pada
sumbernya. Sejarah memang tidak pernah ditulis secara sempurna oleh generasi
manusia manapun karena sejarah adalah masa satu yang sumber dan faktanya
tidak semuanya dapat disadap oleh sejarawan. Tentu sejarah akan selalu ditulis
kembali sebagai suatu karya penyempuraan dari hasil yang diperoleh generasi
penulis terdahulu sehingga sejarah bukanlah sesuatu yang pasti.
Hal itu sangat tergantung oleh keberadaan sumber-sumber sejarah yang
bisa diperoleh. Rupanya, Soekarto tidak memperoleh sumber yang tersimpan
pada juru kunci makam Kalibening. Penelitian yang tergesa-gesa tentu saja
tidak memungkinkan Soekarto untuk membaca teks tersebut. Apalagi teks
tersebut termasuk sulit bacaannya karena banyak tulisannya yang rusak dan
tidak terbaca, bahkan beberapa halaman dimungkinkan telah lenyap.
Setelah dihitung, maka ditemukan Tanggal 27 Ramadhan 978 H dan
setelah dikonversikan dengan tahun Masehi, maka ditemukan tanggal 22
Pebruari 1571 yang. Tanggal tersebut merupakan alternatif kuat untuk
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas sebelum ditemukannya
sumber sejarah yang lain yang lebih kuat.
RELEVANSI SUMPAH PEMUDA DENGAN BUDAYA DAN
KEPEMIMPINAN BANYUMAS

Peristiwa Sumpah Pemuda dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu


periode yang penting. Pada Periode Pertama dominasi politik Syarekat Islam
sangat menonjol, sedangkan pada periode kedua terjadi persaingan antara SI
yang memakai cita-cita Pan-Islamismenya dengan orang-orang komunis. Yang
perlu dicermati adalah Periode Analisis Nasional. Pada periode in etnis-etnis
yang ada di persada Nusantara ini melakukan kesepakatan untuk tidak
mempersoalkan berbagai perbedaan di antara mereka.
Artinya, mereka melepaskan egosentrismenya masing-masing untuk
menghadapi Kekuatan yang berada di luar mereka, yakni pihak
kolonial. Periode in bisa dipandang sebagai prestasi yang luar biasa dari para
pemuda Indonesia untuk melihat diri mereka sendiri dalam pengakuan yang
serba satu, yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Etnis
Jawa misalnya, yang diakui sebagai etnis yang terbesar di Indonesia bdak
mengunggulkan bahasa Jawa untuk diterima sebagai bahasa nasional. Inilah
yang oleh sejarawan senior itu dikatakan sebagai Sumpah Pemuda Plus.
'Sejarah nasional' adalah 'sejarah bersama' atau' sejarah kolektif' bangsa
Indonesia yang mempunyai fungsi untuk melambangkan identitas bangsa dan
melegitimasikan keberadaan negara bangsa . Kila sering melthat hah wasanya
separah «ringkali dibengkokkan untuk kepentingan penguasa sehingga muncul
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila , Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa , dan penataran-penataran yang dilakukan secara berjenjang, Di
situ, separah dipolitisasi menjadi alat pemerintah sehingga kesan yang muneut
cenderung negatif terhadap sejarah karena telah menjauhkan sejarah sebagai
ilmu. Sejarah Nasional harus ditempat pada posisi yang, strategis dalam
pembangunan bangsa. Di sini, sejarah nasional di samping sebagai bentuk
identitas bangsa, juga merupakan bentuk kesadaran sejarah agar bangsa
Indonesia mempunyai kearifan dalam menghadap berbagai situasi yang
dihadapi, baik pada masa kini maupun masa depan.
Kearifan sejarah dibentuk melalui kesadaran sejarah yang selanjutnya
dapat melahirkan solidaritas dan kesadaran nasonal . Hari-hari setelah lengser
keprabonnya Soeharto, bangsa Indonesia mengalami berbagai benturan yang
sangat memprihatinkan. Bangsa Indonesia mengalami suatu kondisi yang lebih
parah daripada masa lalu. Padahal, orang yang tidak pernah belajar sejarah akan
melakukan tindakan-tindakan antisejarah.maraknya perselisihan antaretnis yang
sebenarya pada masa Sumpah Pemuda sudah dibenamkan atau dikubur dalam-
dalm Namun, kini bangsa ini mundur dan kembali ke masa lalu yang oleh
sejarawan dikatakan sebagai sejarah berulang. Primordialisme menurut
sejarawan LIPI itu sebagai tindakan pulang kampung, untuk memuaskan
kerinduan pada keaslian yang belum ternoda. Yang ada sekarang hanyalah
kemunduran sejarah. Orang mestinya menya-dari bahwa primordialisme juga
merupakan salah sat unit-historis yang harus diakui eksistensinya.
Primordialisme Banyumas jelas menunjukkan adanya kelampauan
bersama yang telah dilalui dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena
itu, budaya Banyumas beserta aspeknya seperti kepemimpinan perlu diposisikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya nasional. Aspek
kepemimpinan Banyumas jelas sangat abstrak dalam arti sangat sulit
merumuskan bagaimana pola kepemimpinan dan tradisi yang
melingkupinya. Sesungguhnya, 'rama' adalah kepala desa yang dipilih dari yang
terbaik di antara sesamanya .
Orang Banyumas yang menggunakan bahasa dialek Banyumasan sebagai
etrolinguistik mencerminkan bahasa yang bersifat egaliter yang mengakui
kesepadanan di antara warga kolektif. Agaknya, gaya kepemimpinan egaliter
inilah yang khas Banyumas. Keegaliteran orang Banyumas akan mengikis
tradisi feodalistic yang, sangat mencengkeram budaya Jawa, termasuk salah
satunya adalah Banyumas. Pada kesempatan yang singkat ini, saya mengajukan
ada dua hal yang menonjol dari aspek kepemimpinan Banyumas, yaitu budaya
paternalistik, dan budaya egaliter.
Yang pertama, budaya paternalistik Banyumas menunjukkan bahwa
hubungan antara pemimpin dengan masyarakat tidak ada jarak yang terlalu
lebar. Contohnya, hubungan bapak dan anak seringkali diperlihatkan dalam
pergaulan yang dekat. Orang Banyumas memiliki ungkapan anak polah bapa
kepradhah sebagai bentuk tanggung jawab yang besar seorang pemimpin
terhadap perilaku anak-anaknya. Budaya egaliter menjelaskan adanya hubungan
yang sepadan antara pemimpin dan rakyat, misalnya, ungkapan ngisor galeng
ndhwwur galeng .
Kepemimpinan Banyumas tampak pada fenomena paternalistik yang
merupakan pengaruh dari budaya Jawa pada umumnya, sedangkan budaya
egaliter adalah fitrah orang Banyumas dalam kehidupan schari-hari. Uraian di
atas merupakan penjelajahan yang teramat dangkal dan hal itu akan memacu
penulis untuk mengkajinya lebih dalam.

Anda mungkin juga menyukai