Anda di halaman 1dari 4

Historiografi Indonesia: Mengapa Tradisi Tempatan

Menjadi Salah Satu Aspek Penting dalam Perjalanan


Penulisan Sejarah Indonesia?
Khumairoh

14/364389/SA/17345

-Pada hakikatnya manusia adalah tempat lupa, menuliskan sebuah peristiwa dalam setiap
perjalanan adalah cara agar manusia mengurangi kadar lupanya- Anonim
Apa itu tradisi tempatan?

Tradisi tempatan merupakan penulisan sejarah menyerupai hasil karya sastra yang
berisikan tentang seputar istana dan kerajaan. Tradisi tempatan merupakan cerminan dari
kultur masyarakat setempat, baik dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik, hukum dan
hal lainnya pada zaman karya tersebut ditulis, tidak terlepas dari historiografi yakni efleksi
kultural dan kesadaran intelektual1. Dalam penulisannya ada dua jenis penulisan tradisi
tempatan yaitu Jawa dan Melayu, karena merupakan wilayah kerajaan yang membuat
penulisan terhadap tradisi tempatan lebih menonjol daripada wilayah lainnya di
Nusantara. Jenisnya antara lain berupa babad, tambo, hikayat, suluk, jangka (ramalan) dan
karya lainnya

Ciri-ciri tradisi tempatan antara lain adalah:

a. Istana sentris- penulisan peristiwa ataupun sejarah berkutat dengan istana dan
rajanya. Penulis merupakan salah seorang abdi dalem dalam istana yang diberi
keistimewaan dalam bidang penulisan.oleh karena itu hasil karyanya cenderung
merupakan subjektifitas penulis terhadap raja dan keadaan sosial didalamnya,
masyarakatnya hanya menjadi bagian kecil yang ditulis, sebagai penganut
kebijakan raja yang paling patuh.

1
Sartono Kartodirdjo, “Pengantar” dalam Anthony Reid & David Marr. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Indonesia
dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti, 1983, hlm.iv
b. Kepercayaan terhadap mitos dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural
yang amat tinggi dan jarang sekali dapat dinalar dengan akal manusia pada masa
sekarang.
c. Genealogi dan asal-usul sebuah kerajaan, merupakan salah satu ciri yang amat
kental dalam penulisan tradisi tempatan. Genealogi banyak sekali dijumpai
dalam setiap karya pada masa tersebut, seperti genealogi yang terdapat dalam
Babad Tanah Jawi, yang berisikan tentang silsilah raja Mataram Islam dari nabi
Adam.

Keseluruhan ciri yang terdapat dalam penulisan tradisi tempatan merupakan salah
satu upaya raja untuk melegitimasi kekuasaan dan kekuatannya, atu menjadikannya
sebagai landasan agar rakyat yang diperintah tunduk terhadap hukum dan kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan.2 Hal yang sama mengenai legitimasi kekuasaan raja juga
diungkapkan C.C Berg: Tradisi yang sama diambil sebagai awal mula sebuah legitimasi
baru yakni tradisi “middle-Javanese”, Jawa-Tengahan (tanda waktu Jawa pada masa
pertengahan). Dengan penggambaran kombinasi Pararaton-Nagarakertagama merupakan
model awal dari Babad Tanah Jawi. Struktur genealogi yang terdapat dalam Babad Tanah
Jawi dimulai dari masa Sultan Agung sebagai pendiri dinasti Mataram. Bentuk tulisan
tradisi local tersebut ditentukan oleh kepentingan Sultan Agung.3

Mengapa penting menjadi sebuah asal muasal penulisan historiografi yang


berkembang saat ini?

Karena Merupakan dasar landasan penulisan histriografi yang lebih maju dan
bersifat akademis, setelah sebelumnya terdapat 2 masa yang bebrbeda periodenya yakni
periode hindu-buddha dan islam yang melahrkan tulisan semacam babad, dll dan periode
kolonial yang menghasilkan karya dengan 2 aliran besar yakni Utrecht dan Batavia dan
mulai munculnya sentrisme-sentrisme baru. Historioografi pada periode pasca kolonial
merupakan gabungan dari historiografi yang dihasilkan pada 2 periode sebelumnya.

2
Ibid. hlm.v

3
“Babad: Kitab Dongeng?” Dalam P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:
KPG, 2002, hlm.140
Selain itu budaya bersifat dinamis, maka tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi
perubahan kondisi sosial dalam masyarakat. Tradisi tempatan dapat digunakan sebagai
rujukan penulisan seajrah kemudian hari, guna dapat melakukan perbandingan keadaan
sosial yang terjadi pada periode-periode sebelumnya.4 Karena setiap penulisan historigrafi
pastinya mngenut jiwa zaman yang diciptakan dari pergerakan kebudayaannya (zeitgeist).5

Dalam prosesnya memakan waku lama untuk memahami bahwa bukan hanya
perkembangan zaman dan perkembangan model penulisan historiografi, tetapi merunut
lebih jauh ketika sebelum tradisi tempatan ditulis, terdapat periode ketika mitos yang
berkembang pesat dipercaya dan disebar luaskan melalui cerita dari mulut ke mulut, atau
dapat dikatakan sebagai sumber sejarah lisan. Adanya kesadaran mengembangkan
linguistik majemuk yang kemudian memperluas bahasa.6 Kemudian hubungannya dengan
proses Indianisasi yang melahirkan kebudayaan yang mengenal tulisan, sebaga contoh
kecil adalah “kronogram” merupakan kombinasi kata-kata yang tersamar artinya, yang
mengingatkan pendengar atau pembaca pada suatu peristiwa penting pada waktu yang
lampau guna dapat menghitung tahunnya, sekaligus membantu menempatkan gambaran
masa lampau yang teratur dan baik menurut kronologis.7

4
“Penutup” dalam Hoesin Djajadiningrat. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983, hlm.
318-319

5
Sartono Kartodirdjo, “Pengantar” dalam Anthony Reid & David Marr. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Indonesia
dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti, 1983, hlm.iv

6
C.C Berg, “ Gambaran Jawa Pada Masa Lalu” dalam Soedjatmoko et al. Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia, 1995 hlm. 69

7
Ibid, hlm. 70 selain sebagai pengingat hal ini juga merupakan bentuk apresiasi mengenai gambaran masa lalu
yang abstrak menjadi catatan sejaah yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan rujukan penulisan diperiode
mendatang.
Daftar Pustaka

Djajadiningrat, Hoesin. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983

Reid, Anthony & David Marr. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Indonesia dan Masa Lalunya.
Jakarta: Grafiti, 1983

Soedjatmoko et al. Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995

Swantoro, P, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG, 2002

Anda mungkin juga menyukai