Anda di halaman 1dari 12

SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta

(LaksmiWidyawati)

SEMIOTIK RUANG PUBLIK KOTA LAMA


ALUN-ALUN SELATAN KRATON YOGYAKARTA

Laksmi Widyawati
Jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Borobudur
laxmisoedarsono@yahoo.com

ABSTRAK. Ruang publik kota dibutuhkan warga kota untuk berkumpul tanpa perbedaan. Pada kota
lama bekas kerajaan di Jawa seperti Yogyakarta,tata ruang kotanya mengikuti makna filosofi yang
dipercaya pada masanya, dan memiliki alun-alun yang berkembang menjadi ruang publik. Meskipun
pengertian ruang publik di sini berbeda dengan ruang publik di Eropa, namun sebagai tempat
berkumpul cukup menarik. Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta saat ini begitu hidup berkembang
sebagai ruang publik terutama setiap malam dengan berbagai kegiatan menarik. Perubahan
pemaknaan terjadi seiring perkembangan jaman. Berangkat dari anggapan awal saya tentang
perubahan fungsi dan makna alun-alun, di lapangan saya memperoleh temuan bahwa kerelaan pihak
kraton memberikan halamannnya untuk rakyat adalah faktor utama terbentuknya ruang publik di alun-
alun. Di lapangan saya juga menemukan berbagai makna yang bisa dibaca dari tanda, yang bisa
dimaknai sebagai semiotik alun-alun.

Penelitian saya memiliki dua arah, kajian sejarah sebagai tolok ukur perkembangan fungsi dan
makna, serta proses lapangan menekankan pada eksplorasi aktor-aktor yang terlibat di alun-alun
selatan, dengan mengacu Actor Network Theoryserta Semiotik untuk memahami terbentuknya
makna bagi pemilik dan pengguna, yang bisa berubah pada kurun waktu yang berbeda.

Kata Kunci: alun-alun, ruang publik, makna, semiotik

ABSTRACT. Public space needed to gather citizens without distinction. In the old town of the former
kingdom in Java such as Yogyakarta, the city follows the spatial meaning of the philosophy that
believed in his time, and had the square developed into a public space. Although the notions of public
space here is different from the public space in Europe, but as a gathering place quite interesting.
South Alun-Alun Kraton Yogyakarta today so thrive as a public space, especially every night with a
variety of interesting activities. Changes of meaning occurs over the development period. Departing
from my initial assumptions about changes in the function and meaning of the square, on the ground I
gained the finding that the willingness of the parties the court gives halamannnya for the people is a
major factor in the formation of a public space of the square. On the field, I also found a variety of
meanings that can be read from the signs, which could be interpreted as a semiotic alun-alun

My research has two directions, the study of history as a benchmark the development of the function
and meaning, as well as the pitch emphasis on exploration of the actors involved in the south Alun-
Alun, with reference Actor Network Theory and Semiotics to understand the formation of meaning for
owners and users, which may change at different times.

Keywords: square, public space, , meaning, semiotic

PENDAHULUAN Pembangunan perkotaan merupakan integrasi


berbagai pemenuhan kebutuhan hidup di kota,
Semiotika merupakan merupakan ilmu yang baik fisik, ekonomi maupun sosial. Dalam tata
yang berurusan dengan pengkajian tanda, ruang kota lama maupun baru selalu
seperti sistem tanda, dan proses yang berlaku dibutuhkan ruang publik karena kebutuhan
bagi penggunaan tanda. [1] Semiotika manusia untuk berkumpul, tanpa
mempelajari struktur, jenis, tipologi, relasi perbedaan.Gehl (2007) dalam Open Space
tanda dalam hubungannya dengan Public Space menjelaskan bahwa ruang publik
masyarakat penggunanya. Semiotik saya kota lama berfungsi sebagai meeting place,
pelajari untuk membaca tanda yang ada di market place dan connection place. Alun-alun
kawasan alun-alun selatan. Tanda-tanda sebagai bagian dari kawasan kraton dirancang
memungkinkan kita berpikir, berhubungan sebelum munculnya teori teori public space,
dengan orang lain dan memberi makna pada namun kemungkinan sesuai dengan acuan
apa yang ditampilkan oleh alam semesta. teori.[2]

15
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

Alun-alun Kidul (selatan) Kraton Yogyakarta Unit analisis meliputi kelompok aktor yang
merupakan tanah lapang di belakang kraton terlibat dalam pemanfaatan maupun
berukuran 160x160meter. Alun-alun selatan pengelolaan alun-alun, baik manusia maupun
mengondisikan tata ruang kraton agar tidak non-manusia yaitu:
membelakangi arah laut Selatan. Berbeda - Pihak kraton (pemilik),
dengan alun-alun Utara, di alun-alun selatan - Pemerintah Kota dan Kecamatan
tidak ada kegiatan ritual yang khas pada (pengelola)
awalnya. Sejak menjelang tahun 2000 gajahan - Pelaku Usaha, meliputi 320 pelaku usaha
(kandang gajah yang terletak di sisi barat alun- yang tergabung dalam Paguyuban
alun selatan) diaktifkan lagi. Selain untuk Paparasi
atraksi wisata kraton, keberadaan gajahan ini - Pengguna alun alun (pengunjung),
justru menjadi awal perkembangan ruang - Peraturan dan fisik alun-alun.
publik. Munculnya masalah pemeliharaan dan
tidak terkontrolnya alun-alun mengakibatkan Dalam penulisan ini unit analisis disamarkan
gajahan tidak diaktifkan lagi sejak tahun 2010, namanya untuk melindungi privacy.
namun hal ini tidak menghentikan kegiatan
kreatif alun-alun selatan.Para pelaku usaha Ruang lingkup penelitian secara spasial di
tetap bertahan. Kegiatan ritual masangin batasi pada lingkungan sekitar alun-alun
(berjalan menembus di antara dua pohon selatan kraton Yogyakarta. Periode waktu
beringin), kuliner lesehan serta kereta lampu yang saya pakai sebagai pedoman
(odong-odong) menjadikan suasana malam di perkembangan adalah masa pemerintahan HB
alun-alun selatan berkembang menjadi ruang IX dan HB X. Sistem pemerintahan pada kurun
publik melebihi ramainya alun-alun utara. Hal waktu tersebut tidak dikaji, tetapi penelitian ini
ini menarik mengingat alun alun sebenarnya mengkaji apa yang bisa dirasakan oleh
adalah halaman pribadi istana milik raja, bukan masyarakat terkait pemanfaatan kawasan
milik publik. kraton secara umum dan alun-alun secara
khusus pada kurun waktu itu. Untuk
Penelitian ini menjawab unsur-unsur apa saja perkembangan kekinian penelitian ini menggali
yang dimaknai oleh pemilik dan pengguna kondisi 5 tahun terakhir. Di sini ada lompatan
alun-alun selatan terkait fungsinya sebagai waktu yang menjadi kelemahan penelitian,
ruang publik. Pemaknaan ini bisa tetap atau yang diharapkan menjadi penelitian
berubah seiring dengan perkembangan selanjutnya sehingga bisa menjadi masukan
jaman.Sebagai kawasan Cagar Budaya, untuk pengembangan kawasan alun-alun.
eksistensi alun-alun harus dipertahankan dan
bermanfaat untuk masyarakat sekitar. TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Kevin Thwaites (2007) dalam “Experiential


Landscape” menjelaskan ruang publik sebagai
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, ruang terbuka yang dimanfaatkan secara
karena untuk menjawab masalah pemaknaan bersama dan memiliki makna holistik
tidak bisa dilakukan dengan kuantitatif. hubungan antara dimensi spasial dan
Penelitian saya lakukan dengan jangkauan pengalaman manusia.[3]
mengeksplorasi aktor-aktor yang terlibat di
dalam ruang publik (alun-alun), baik dari pihak Di sini dijelaskan bahwa ruang terbuka (open
kraton, pelaku usaha, masyarakat pemakai space) bisa menjadi place, tergantung
ruang publik maupun pemerintah kota. interaksi dan intensitas manusia yang
Sebelum menganalisis, saya mendeskripsikan menggunakannya. Di dalam ruang publik
terlebih dahulu tata ruang dan makna alun- terdapat kegiatan yang rutin dilakukan beserta
alun pada masa lalu, sehingga bisa menjadi pengelolaannya. Di dalam memaknai ruang
tolok ukur perkembangan yang terjadi. terbuka, Thwaites memilahkan makna centre,
direction, transition dan area.
Data primer di peroleh dengan pengamatan
terlibat, yaitu datang langsung ke tempat Jan Gehl (2007) dalam Open Space Public
penelitian dan terlibat dalam proses kegiatan Space menjelaskan bahwa pada kota
yang berlangsung.Data sekunder saya peroleh tradisional, ruang kota mewadahi meeting
dari literatur dan pemerintah kota: sejarah, place, market place, connection place. Dalam
peta lokasi, tata ruang (RTRW), RTBL, Life Between Buildings (2010), Gehl
kebijakan pemerintah kota, kegiatan yang menjelaskan perspektifnya terhadap ruang
berlangsung saat ini dan masa lalu. publik dengan membedakan antara kegiatan
yang diperlukan, kegiatan fungsional, dan

16
SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
(LaksmiWidyawati)

kegiatan sosial di ruang publik Ruang publik place, market place, connection place. Pada
yang bagus mewadahi optional activity masa lalu ketiga kriteria ruang kota tersebut
(kegiatan pilihan) dengan lebih baik. Makin terdapat di alun alun utara. Namun saat ini
baik sebuah tempat, makin banyak pilihan ketiga kriteria terdapat di alun alun selatan,
kegiatan yang terjadi dan aktivitas yang sebagai tempat bertemu, pasar, dan
diperlukan dapat berlangsung lama. [4] bertemunya jalur jalan.[2]

Penelitian ini mengacu Actor Network Theory Fungsi alun-alun selatan yang semula sekedar
dalam metode lapangan. ANT merupakan pengkeran (halaman belakang) mulai berubah
inovasi penelitian dengan pendekatan menjadi terbuka untuk publik sejak peringatan
interdisiplin, antara ilmu ilmu sosial dan 200 tahun Kota Yogyakarta tahun 1956.
teknologi, dan bisa dikembangkan ke berbagai Peringatan itu berupa pekan raya yang sangat
disiplin ilmu. ANT memfokuskan penelitian besar dan ditandai dengan pembangunan dua
dengan mengikuti aktor-aktor beserta faktor monumental building, yaitu Gedung Dwisoto
yang ada di sekitarnya, termasuk alat-alat, Warso (di sebelah selatan Masjid Agung,
peraturan, budaya, yang membentuk jaringan. kawasan alun-alun utara) dan gedung Sasono
Penelitian ini akan mengarahkan mengapa Hinggil Dwi Abad (sisi utara alun-alun selatan).
sesuatu bisa berkembang atau tidak. Hal ini menjadi semacam intervensi dari
lingkungan privat di alun-alun selatan dengan
Kajian semiotika digunakan untuk memahami bangunan publik yang sangat mudah diakses
tanda-tanda yang terdapat di alun-alun selatan publik. Dari sini berkembang dinamika antara
yang mendukung pemaknaan ruang publik. lain Kedaulatan Rakyat (harian di Yogyakarta)
Semiotika merupakan ilmu yang yang mengadakan pertunjukan wayang kulit rutin
berurusan dengan pengkajian tanda, seperti setiap bulan.
sistem tanda, dan proses yang berlaku bagi
penggunaan tanda [1]. Proses pemaknaan Berdasarkan wawancara dengan GBPH
suatu tanda oleh Peirce disebut semiosis, Yudhaningrat, Ir Revianto dan RM Pramutomo,
yang digambarkan sebagai proses pencerapan secara garis besar perkembangan alun-alun
dengan panca indera kemudian diolah oleh selatan menjadi ruang publik sejak HB IX
kognisi. Proses ini melalui tiga tahap yaitu adalah sebagai berikut:
tahap pertama pencerapan representament - Tahun 1956 peringatan 200 tahun Kota
tanda oleh panca indera, kemudian tahap ke Yogyakarta dengan ditandai bangunan
dua mengaitkan secara spontan monumental Sasono Hinggil Dwi Abad,
representament dengan kognisi manusia yang kegiatan publik yang berlangsung bersifat
memaknainya (disebut object), dan tahap ke tradisional. Kawasan alun-alun selatan
tiga menafsirkan object sesuai dengan berkesan angker dan banyak kejahatan
keinginannya (disebut interpretant). karena sepi.
- Sekitar tahun 1969-70 kegiatan publik lebih
beragam berskala kota, pemerintah kota
yang pada saat itu berada di Sasono
representamen Hinggil mengelola alun-alun selatan untuk
taman lalu lintas. Gedung Sasono Hinggil
Dwi Abad untuk pertunjukan wayang kulit.
Taman lalu lintas dihentikan karena
merusak badan alun-alun.
- Sekitar tahun 1980 kegiatan publik di
interpretant object Sasono Hinggil semakin beragam, semakin
terbuka, untuk latihan tae kwon do dan
diskotik. Pada masa itu muncul fenomena
ciblek (prostitusi di bawah umur). Pada
Gambar.1 Hubungan Triadik Semiotika Peirce siang hari tepi alun-alun dimanfaatkan
untuk pasar klithikan (barang bekas)
HASIL PENELITIAN – PERKEMBANGAN - Sekitar tahun 1997 gajahan (kandang
ALUN-ALUN SELATAN SEBAGAI RUANG gajah) diaktifkan atas inisiatif pihak kraton
PUBLIK untuk mendukung atraksi wisata kraton.
Kandang gajah di sisi barat alun-alun
Alun-alun selatan pada awalnya bukanlah selatan menjadikan daya tarik karena
sebuah ruang publik kota. Sebagai halaman muncul menjadi semacam urban zoo gratis
belakang alun-alun tidak berfungsi publik. bagi masyarakat. Hal ini manarik pedagang
Mengacu Gehl (2007) dalam “Open Space dan berkembang mirip pasar tiban.
People Space”, ruang kota mewadahi meeting

17
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

- Kegiatan publik di badan alun-alun seperti


sepeda hias, kereta mini meramaikan
kawasan alun-alun selatan, kemudian
dihentikan karena merusak badan alun-
alun.
- Tahun 2010 setelah gajahan di non aktifkan
kembali, pedagang tetap minta ijin untuk
bertahan dan dibentuk Paguyuban
Paparasi hasil kesepakatan pihak kraton-
kecamatan-pelaku usaha. Pada awalnya
beranggotakan sekitar 190 orang namun
kemudian berkembang menjadi 320 pelaku
usaha resmi. Gambar 2 Gajahan di sisi barat
- Penataan tahun 2010 hanya mengijinkan alun-alun selatan
pelaku usaha di sisi barat dan timur dengan (sumber:dokumentasi pribadi, 2015)
area yang diberi tanda perkerasan batu
candi.

d
Keterangan:
a. Area masangin
b. Area kitiran
c. Area kuliner dan e
pengembangannya
d. Toilet umum
e. Area tidak diijinkan

Gambar 3. Penataan ruang alun-alun selatan,


(sumber: analisis pribadi, 2015)

- Keterbatasan ruang untuk menampung MAKNA ALUN-ALUN SELATAN KRATON


pelaku usaha resmi yang berjumlah 320 DALAM TATA RUANG KOTA
orang mengharuskan pengaturan shift pagi- YOGYAKARTA
siang dan shift hari, bahkan beberapa
pelaku usaha kemudian menyikapi dengan Makna Kawasan Kraton dalam Tata Ruang
berbagi lapak. Kota Lama
- Keramaian ruang publik semakin menarik Makna kraton dalam struktur tata ruang kota
minat pedagang baru yang tidak tergabung merupakan transformasi konsep dasar sistem
dalam paguyuban, mereka menempati area religi yang disebut dengan istilah
tidak resmi yaitu di sisi selatan dan “Manunggaling Kawulo Lan Gusti” dan
sebagian utara alun-alun. “Sangkan Paraning Dumadi” yang menjadi
- Odong-odong yang merupakan latar belakang olah religi dan olah budaya
pengembangan sepeda hias diijinkan di sisi kota. [5] Dari Selatan, Panggung Krapyak
luar alun-alun (jalan) bukan di badan alun- menuju ke Kraton menunjukkan makna
alun untuk mencegah kerusakan. Penataan "sangkan" yaitu asal mula penciptaan manusia
ini memperkuat sumbu imajiner arah sampai manusia tersebut dewasa. Dari kraton
selatan. arah utara menuju Tugu menunjukkan "paran"
tujuan akhir manusia yaitu menghadap
penciptanya. Tugu golong gilig (tugu
Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua
menjadi simbol "manunggaling kawulo lan

18
SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
(LaksmiWidyawati)

gusti" bersatunya antara raja (golong) dan dengan Kanjeng Gusti (nama disamarkan)
rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari (2015), penataan kota dengan sumbu arah
segi mithe yaitu persatuan antara khalik (Sang Utara-Selatan, menghubungkan Gunung
Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Merapi dan Laut Selatan yang dipercaya
menjadi “pelindung” dan kekuatan Kraton
Menurut Brongtodiningrat (1978) dalam “Arti Yogyakarta. [6]
Kraton Yogyakarta”, didukung wawancara

Gambar 4. Pola Kota Lama Yogyakarta


(sumber: Zahd, 2008)

Makna Lama Alun-Alun Selatan Berdasarkan wawancara dengan Prof Dr RM


Soedarsono dan diperkuat dengan keterangan
Alun-alun selatan adalah alun-alun belakang dari kanjeng Gusti bulan Maret 2015, alun-
kepunyaan raja seluas 160x160 meter persegi, alun selatan merupakan simbol pelereman
dipinggirnya dibangun bata setinggi 2 meter (penenangan). Alun-alun kidul
lebih 20 (centimeter). Pagar tadi merupakan mengondisikan tata ruang kraton agar tidak
bangunan baru di zaman Sultan HB VII membelakangi arah laut Selatan, dan
dengan gerbang gapura 3 sebagai tanda dipercaya sebagai permintaan Ratu Kidul
penghormatan Dewa Siwa yang disebut (penguasa ghaib Laut Selatan). Di tengah
bermata tiga. [7] alun-alun, baik alun-alun utara maupun selatan
terdapat dua buah pohon beringin.
Di sekeliling alun-alun terdapat lima jalan yaitu
jl Gajahan, Jl Patehan, Jl Langenastran Lor, Jl Saya melihat dua makna yang berbeda di
Langenastran Kidul dan Jl Gading. Angka lima alun-alun selatan terkait dengan sejarahnya.
ini melambangkan pancaindera, sedangkan Alun-alun selatan jika ditinjau dari makna
permukaan pasir pada alun-alun “sangkan paraning dumadi” merupakan
melambangkan bahwa segala sesuatu yang puncak perkembangan manusia sebelum
terlihat masih belum teratur seperti pasir. [6] menuju kedewasaan, mengandung makna
semangat, gairah, memikat. Hal ini merujuk
Brongtodiningrat (1978) dalam Arti Kraton

19
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

Yogyakarta. Di lain sisi, jika dilihat dari fungsi ketenangan alam terbuka, keakraban suasana
sejak dulu, merujuk wawancara dengan kuliner lesehan, suasana khas yang dirasakan
Kanjeng Gusti (nama disamarkan) dan Dr RM semua orang yang mengunjungi tempat ini.
Pramutomo, alun-alun selatan merupakan
jalan pulang kerta jenazah raja menuju makam Pengembangan Kawasan Kraton
imogiri. Di sini terkandung makna magis,
meditatif, dan hal ini yang menimbulkan Kawasan Kraton termasuk alun-alun di
suasana angker sebelum alun-alun selatan dalamnya merupakan kawasan cagar budaya
berkembang menjadi ruang publik. yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta nomor 2 tahun 2010 Tentang
Dua makna lama yang berbeda ini saat ini bisa Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2010-
dirasakan dalam ruang publik di alun-alun 2030. Oleh karena itu pengembangan
selatan, masangin yang bernuansa spiritual, kawasan ini harus dilakukan mengacu keaslian
meditatif, keramaian musik dan lampu odong- bentuk dan maknanya.
odong yang ceria penuh semangat,

Gambar5. Kawasan Kraton dan Sumbu Imajiner


(Sumber : peta RTRW 2010-2030)

Dalam pengembangan tata ruang kota


Yogyakarta masih mempertahan citra filosofis
sumbu kota Yogyakarta yang memiliki makna
sangkan paraning dumadi dan manunggaling
kawula lan gusti.Penegasan sumbu imajiner ini
tertuang di dalam RTRW tahun 2010-2030
Kota Yogyakarta, dengan mengatur ketinggian
lantai bangunan kawasan sekitar sumbu,
memperkuat citra kawasan malioboro,
mempertahankan kontinuitas visual dari kraton
Gambar.6 Sepasang pohon beringin yang tidak
ke utara sampai tugu serta memperkuat simetris
kontinuitas visual dari kraton ke selatan (sumber: dokumentasi pribadi, 2015)
sampai panggung krapyak
Untuk memperkuat sumbu imajiner ke arah
Tumbangnya pohon beringin di sisi barat selatan telah diusahkan dengan
mengurangi efek visual sumbu imajiner karena - memperluas ruang kosong sekitar
menjadi tidak simetris. plengkung Gading sehingga jarak
pandang lebih luas

20
SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
(LaksmiWidyawati)

selatan, sampai plengkung Gading, maupun


alun-alun itu sendiri sebagai ruang.

Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad

Mengacu Peirce, gedung Sasono Hinggil yang


berfungsi sebagai ruang kegiatan publik
(pagelaran wayang kulit, tae kwon do, diskotik)
bisa ditangkap panca indera sebagai tanda
karena berskala monumental, posisi di sumbu
Gambar 7. Perluasan space sekitar kawasan , tinggi dan dengan entrance lebar,
Plengkung Gading sebagai ground/ representament hubungannya
(sumber: dokumentasi pribadi, 2015) dengan object dimaknai secara konotatif
menjadi simbol, karena maknanya
- pengosongan sisi selatan dan utara pada berdasarkan konvensi sosial. Selanjutnya
penataan pedagang, pada prakteknya dalam pemaknaan interpretant simbol ini bagi
saat ini tetap dipakai untuk pelaku usaha masyarakat bisa dimaknai sebagai terbukanya
baik pagi maupun malam akses menuju ruang yang lebih “tinggi”,
- perbaikan gerbang alun-alun dan sementara bagi pihak kraton bisa dimaknai
perbaikan panggung krapyak sebagai titik sebagai mengawasi, atau sesuatu yang
akhir hirakhinya tinggi bisa bergerak turun ke
lingkungan luas yang lebih rendah.[8]

Gambar 8. Gerbang alun-alun selatan


(Sumber: dokumentasi pribadi, 2015)

ANALISIS PEMAKNAAN TANDA PADA


RUANG PUBLIK ALUN-ALUN KRATON Gambar 9. Gedung Sasono Hinggil sebagai Simbol
(Sumber:
Dalam pemahaman semiotik ruang dimaknai www.flickr.com/photos/masdapit2006/8650582868.
sebagai place, berbeda dengan ruang fisik 2015)
adalah space.[8]
Gedung Sasono Hinggil Dwi abad pada awal
Mengacu Peirce, pemaknaan semiosis melalui berdirinya sudah dimaknai sebagai simbol
proses pencerapan representament tanda oleh terbukanya kawasan kraton untuk publik yang
panca indera, kemudian mengaitkan secara ditandai dengan fungsinya sebagai tempat
spontan representament/ground dengan pisowanan, kemudian semakin terbuka karena
kognisi manusia yang memaknainya (object), secara temporer dimanfaatkan untuk
kemudian menafsirkan object sesuai dengan pertunjukan wayang kulit.
keinginannya (interpretant). Semiosis bisa
berlanjut melalui interpretant yang menjadi Tidak berhenti di sini, Sasono Hinggil semakin
representament baru. terbuka dengan difungsikan sebagai kantor
pemerintah kota, dan pemerintah kota
Untuk membaca ruang publik sebagai place menyelengarakan Taman Lalu Lintas di badan
pertama saya amati terlebih dahulu tanda alun-alun. Hal ini terlihat perubahan
tanda yang langsung terlihat secara visual pemaknaan dari makna terbuka pada kegiatan
sebagai ground / representament. Unsur fisik tradisi beralih ke makna terbuka pada
di alun-alun selatan menunjukkan beberapa administrasi pemerintahan dan kegiatan
tanda yang bisa dimaknai oleh manusia, rekreasi perkotaan. Karena merusak badan
seperti sepasang pohon beringin, gedung alun-alun taman lalu lintas dihentikan. Setelah
Sasono Hingil Dwi Abad, gajahan, lima jalan kantor walikota pindah, Gedung Sasono
yang bermuara di alun-alun selatan, gerbang Hinggil Dwi Abad difungsikan untuk latihan

21
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

Tae Kwon Do dan diskotik, dua kegiatan yang


tidak ada hubungannya dengan tradisi maupun transition
kehidupan kraton. Makna keterbukaan menjadi
tidak jelas, sangat terbuka baik keragaman
fungsi maupun keragaman pemakai. Setelah
diskotik ditutup, mulai terjadi penyaringan
direction
kegiatan lagi yang selaras dengan budaya
Jawa. Kegiatan yang tetap dipertahankan
adalah pagelaran wayang kulit setiap minggu
ke2.
Gambar.11 Makna transition dan direction
Sepasang Pohon Beringin (sumber: analisa pribadi, 2015)

Jalur ini dalam hubungannya dengan object


menunjukkan konvensi dengan masyarakat
sebagai jalur masangin, yang kemudian
dimaknai ulang sebagai tolok ukur
keberhasilan niat sesesorang pelaku
masangin. Sebagai simbol hubungannya
dengan interpretant termasuk rheme, karena
orang bisa menafsirkan berbagai makna,
sebagai jalur kereta jenazah raja, sebagai jalur
asal usul manusia, atau sekedar jalur
Gambar.10 Pohon berngin kembar di selatan masangin.[8]
(sumber: dokumentasi pribadi,2015)
Makna direction[3]yang dipaparkan Thwaites
Sepasang pohon beringin di tengah alun-alun menunjukkan kontinuitas subyektif yang
yang diberi nama Kyai Dewandaru dan Kyai melahirkan rasa “di sana”, di selatan bisa
Jayandaru sebagai tanda bisa ditangkap oleh dilihat dari sumbu imajiner ke arah selatan
panca indera karena ukuran dan posisinya di melewati ruang antara dua pohon beringin
tengah, serta merupakan satu satunya unsur yang dipakai sebagai jalur masangin. Ruang
visual vertikal di badan alun-alun. Sepasang yang berupa jalur memanjang ini tidak memiliki
pohon beringin ini tidak memiliki fungsi khusus batas fisik yang jelas, namun secara visual
sebagai ruang publik, namun celah di antara terlihat batas batas gerbang berupa dua pohon
dua pohon beringin memiliki makna khusus beringin dan gapura di ujung selatan kawasan
yang akan dibahas juga sebagai tanda. . Direction bukan sekedar fisik, namun lebih ke
arah makna sangkan paraning dumadi.
Pemberian nama pada sepasang pohon
beringin tersebut sudah menunjukkan simbol Ruang di Antara Dua Pohon Beringin
yang memiliki makna awal sebagai hubungan
vertikal dan horisontal, namun interpretant itu Ruang di antara dua pohon beringin secara
kemudian bisa menjadi representamen baru, fisik tidak memiliki pembatas horisontal, dalam
sebagai gerbang pertama sumbu ke arah hubungannya dengan representament
selatan dilihat dari Sasono Hinggil Dwi Abad. menunjukkan kualitas ruang yang berbeda
Pemaknaan selanjutnya menyangkut jalur dengan sekitarnya karena ada nuansa
pada sumbu imajiner. singup(angker) karena keberadaanya di antara
dua pohon beringin besar dan tua. Dalam
Sumbu Imajiner hubungannya dengan object, ruang ini
merupakan sebuah simbol karena
Sumbu imajiner secara fisik di kawasan alun- dikeramatkan dan diyakini sebagai tempat
alun selatan merupakan jalur lurus dari utara landasan kereta prajurit Ratu Kidul.
(gedung Sasono Hinggil) – celah antara dua
pohon beringin – gerbang selatan. Secara Mengacu Thwaites [3] ruang ini bisa dimaknai
visual jalur ini tidak memiliki bidang batas sebagai transition, ruang antara di sini (nyata)
horisontal. Makna awal sebagai bagian dari dengan di sana (imajiner). Transition dimaknai
sangkan paraning dumadi serta jalur pulang oleh sebagian pelaku usaha sebagai landasan
jenazah raja yang pada bab sebelumnya saya kereta Ratu Kidul, hal ini dikuatkan pernah
paparkan, pada masa kini dimaknai ulang terjadinya pengunjung yang dianggap
sebagai representament / ground. melanggar norma di area tersebut, kemudian
“hilang” sekitar pukul 00.00, banyak yang

22
SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
(LaksmiWidyawati)

meyakini diculik prajurit ratu Kidul kemudian - Social activity, kegiatan yang terjadi
dikembalikan di Plengkung Gading dini hari karena berhubungan dengan orang lain di
dalam keadaan basah kuyup penuh pasir ruang publik.
pantai.
Jika pada pemaknaan lama terdapat
Lima Jalur Jalan kontradiksi antara meditatif (sebagai jalur
jenazah raja menuju makam imogiri) dan
Lima jalan yang bermuara di alun-alun selatan, semangat, gairah (sebagai periode puncak
dua di sisi barat, dua di sisi timur, satu di sisi perkembangan manusia pada makna
selatan, pada awalnya dimaknai sebagai “sangkan paraning dumadi”), pemaknaan baru
panca indera. Pemaknaan baru muncul tetap terlihat dua makna yang berbeda.
dimulai dari representament / ground sebagai Pemaknaan baru alun-alun selatan sebagai
pemusatan akses, karena bukan merupakan optional activity ruang publik alun-alun selatan
jalur primer yang menghubungkan kawasan tetap memiliki kontradiksi antara meditatif
satu dengan lainnya. Dalam hubungannya (pada kegiatan masangin) dan semangat,
dengan object hal ini menjadi indeks yang gairah (pada kegiatan odong-odong dan
menunjukkan seolah olah memang hanya kuliner)
menuju kawasan sekitar alun-alun selatan.
Dalam hubungannya dengan interpretant Masangin
memunculkan makna baru sebagai tempat /
place yang lebih tinggi kualitas ruangnya, lebih Masangin adalah ritual berjalan dengan mata
nyaman dipergunakan sebagai ruang publik. tertutup menyusuri sumbu imajiner dari ujung
utara alun-alun selatan (di depan Sasono
Hinggil Dwi Abad) melalui celah antara dua
pohon beringin sampai ujung selatan, namun
banyak yang menafsirkan sampai melewati
pohon beringin saja. Definisi masangin
berdasar wawancara dengan GBPH
Yudhaningrat dan pelaku usaha masangin.

Gambar.12 Pusat lima jalur lokal, akses tertutup


alun-alun selatan,
(sumber: analisis pribadi, 2015)
Gambar 13. Suasana Masangin,
PEMAKNAAN BARU, KEGIATAN DI RUANG (sumber: dokumentasi pribadi, Juli 2015)
PUBLIK ALUN-ALUN SELATAN
Jalur ini adalah bagian dari sumbu imajiner
Mengacu Gehl (2010) dalam “Live arah selatan. Ritual ini menjadi ciri khas
BetweenBuilding”, kegiatan di ruang publik kegiatan di alun-alun selatan yang menarik
bisa dibedakan dalam 3 jenis [4]: pengunjung.
- Necessary activity, kegitan yang
merupakan kebutuhan rutin, seperti
pelaku usaha yang melakukan kegiatan
rutin di alun alun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
- Optional activity, kegiatan yang bersifat
pilihan, seperti pengunjung yang memilih
datang kemudian berhenti lalu mencoba
kegiatan masangin atau naik odong-
odong, atau nongkrong dan makan.

23
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

asal usul manusia, atau sekedar jalur


masangin. [8]

Makna direction [3] yang dipaparkan Thwaites


menunjukkan kontinuitas subyektif yang
melahirkan rasa “di sana”, di alun-alun selatan
bisa dilihat dari sumbu imajiner ke arah selatan
melewati ruang antara dua pohon beringin
yang dipakai sebagai jalur masangin. Ruang
yang berupa jalur memanjang ini secara
visual dibatasi gerbang berupa dua pohon
beringin dan gapura di ujung selatan kawasan
alun alun. Direction bukan sekedar fisik,
namun lebih ke arah makna kraton dengan
Gambar 14. Jalur masangin pemerintah kota dan pelaku usaha
(sumber: analisa pribadi, 2015)
Kuliner Lesehan
Jika meninjau sejarah, ritual ini bukan
merupakan tradisi dari kraton. Melihat tradisi Kuliner lesehan merupakan salah satu
kraton dari sejarah, jalur masangin adalah jalur kegiatan yang diminati pengunjung, dengan
kereta jenazah raja menuju makam imogiri. variasi menu tradisional pada awalnya seperti
Jika mengacu Brongtodiningrat (1973), jalur ini wedang ronde dan jagung bakar, kemudian
merupakan perjalanan hidup manusia pada berkembang dengan menu makan malam
tahap remaja menuju kedewasaan, namun seperti nasi angkringan, bakso, mie ayam, dan
dengan arah sebaliknya (selatan ke utara).[6] lain sebagainya.

Ritual masangin dimulai dari pemikiran Kavling diijinkan untuk usaha kuliner adalah di
spontan untuk meramaikan alun-alun selatan, sisi Timur dan Barat luar badan alun-alun yang
sekitar tahun 1980-an. Ketika itu pihak kraton ditandai dengan perkerasan batu candi (11
yang diprakarsai KGPH Prabukusumo buah). Tiap kavling berukuran “3tikar” atau
2
mengadakan lomba masangin dalam rangka sekitar 5m untuk 2 pelaku usaha. Karena
tujuhbelasan, kemudian menjadi populer tidak mencukupi, kemudian pelaku usaha
karena penyelenggaranya pihak kraton dan sepakat memperluas kavlingnya ke badan
mulai berkembang isu bahwa masangin alun-alun, segaris dengan kavling miliknya
adalah tradisi, ada yang menyebut dari dengan ukuran 3 tikar. Perluasan kavling ini
Pajajaran. Sesungguhnya kegiatan itu khusus untuk lesehan ruang makan.
bukanlah tradisi kraton.
“Bahasa” antar pelaku usaha sepakat bahwa
Jalur ini dalam hubungannya denganobject hak kavling maupun perluasan kavling tidak
menunjukkan konvensi dengan masyarakat bisa dipakai oleh pelaku usaha lain, kecuali
sebagai jalur masangin, yang kemudian dengan persetujuan pemilik kavling, meskipun
dimaknai ulang sebagai tolok ukur pada saat itu dia tidak berjualan. Mengacu
keberhasilan niat sesesorang pelaku Thwaites dalam Experiential Landscape, disini
masangin. Sebagai simbol hubungannya terjadi pemaknaan space yang berubah
dengan interpretant termasuk rheme, karena menjadi place. Kavling yang sebenarnya
orang bisa menafsirkan berbagai makna, merupakan ruang publik, hanya dipakai
sebagai jalur kereta jenazah raja, sebagai jalur selama berjualan, kemudian seolah dimiliki.

Kavling resmi

perluasan

Gambar15. Kavling dan perluasan kavling pelaku usaha kuliner


(Sumber: Analisa pribadi, 2015)

24
SemiotikRuangPublik Kota Lama Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
(LaksmiWidyawati)

Gambar16. Suasana Kuliner malam hari di area perluasan kavling


(sumber: dokumentasi pribadi, 2015)

Odong-odong kawasan heritage bisa berubah sesuai dengan


tuntutan jaman seperti terjadi di alun-alun
Odong-odong di sini adalah kereta berhias selatan, namun dalam pengembangan
lampu yang dilengkapi musik, dijalankan konservasi semestinya makna lama tetap
dengan cara dikayuh oleh penumpang, dipertahankan. Adaptasi akan berhasil jika ada
kapasitas 4-6 penumpang, dilengkapi 4 pedal keadilan antara kebutuhan pelaku usaha dan
pengayuh. Odong-odong di alun-alun selatan masyarakat kota pada umumnya.
merupakan pengembangan dari konsep
sepeda dan becak hias yang sudah ada sejak Kajian pemaknaan ruang publik dengan
tahun 2000 yang pada saat itu menempati pendekatan semiotik pada alun-alun selatan
area badan alun-alun. Ruang untuk odong- menunjukkan bahwa tanda-tanda (signs) bisa
odong adalah jalan mengelilingi alun-alun dimaknai secara tetap maupun berubah
mengikuti arah jarum jam. namun mampu mengorientasikan manusia
sebagai pusat kota. Hal ini bisa terjadi juga
Jumlah odong-odong yang beroperasi di alun- pada kota bekas kerjaaan lain dengan kasus
alun selatan hampir mencapai 100 buah, serupa.
meskipun pemiliknya hanya 90 orang. Jumlah
yang begitu banyak ini harus dibagi dalam dua Studi ini baru bisa mengkaji perubahan fungsi
shift, untuk mengurangi kemacetan. dan makna yang terjadi di alun-alun selatan
Yogyakarta serta jejaring yang terbentuk di
alun-alun selatan. Saya berharap masih bisa
melanjutkan penelitian lebih dalam di alun-alun
utara untuk memahami keterkaitan satu
kawasan kraton sebagai cagar budaya. Saya
juga berharap bisa dilanjutkan oleh pihak yang
lebih memahami artefak dan arkeologi untuk
kepentingan konservasi.

REFERENSI

[1] Zoest, Aart Van. (1993). Semiotika.

Gambar17. Keramaian odong-odong bercampur [2] Gehl,Jan. (2007).Open Space People


kendaraan pribadi Space. Island Press. Wahington -PDF.
(Sumber: dokumentasi pribadi Juli dan Nov 2015)
[3] Thwaites, Kevin. (2007).Experiential
KESIMPULAN Landscape.London.

Semiotika alun-alun selatan sebagai ruang [4] Gehl,Jan. (2011).Life Between Building.
publik kota bisa dipelajari melalui tanda fisik Island Press. Washington –PDF.
yang ada di kawasan alun-alun maupun
melalui kegiatan yang berlangsung di [5] Anonim. (2013). RTBL Kawasan Kraton
dalamnya. Fungsi dan makna sebuah Yogyakarta.

25
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 : 15-26
ISSN 1412-3266

[6] Brongtodiningrat, KPH. (1978).Arti Kraton Zahd, Markus. (2008). Model Baru
Yogyakarta. terjn R Murdani. Museum Kraton. Perancangan Kota Yang Kontekstual.
Yogyakarta
[7] Manuskrip nomor D34 Ngayugyakarta
(tanpa tahun). Kapujanggan KHP Widya UU no 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Budaya Kraton Yogyakarta.
Perda no 2 th 2010 tentang Rencana Tata
[8] Hoed, Benny. (2014).Semiotik dan Ruang Wilayah Kota Yogyakarta th 2010-2030
Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Jakarta. Peraturan Walikota no 25 tahun 2013
- “Keraton Yogyakarta”,
DAFTAR BACAAN www.keraton.yogya.indo.net.id

Budiharjo, Eko. (1991).Arsitektur dan Kota di Bhaswara, Rhadea. (2012). Alun-alun Kota
Indonesia. Penerbit Alumni. Yogyakarta Masa Kini. Ruang Kota sebagai
Wadah Komunikasi Sosial Kota. Thesis S2
Budiharjo, Eko. (2014).Reformasi Perkotaan. Teknik Arsitektur UGM
Penerbit Kompas.
Dwiananto. (2013). Peningkatan Kualitas
Carmona, et al. (2003). Publik places – urban Lingkungan Fisik Alun-alun Kota
spaces, the dimension of urban design. Yogyakarta Sebagai Ruang Publik Kota.
Architectural press. Jurnal PWK ITB no 3 Desember 2003

Evers, Hans Dieter. (2002).Urbanisme di Asia Mehta. (2007). A toolkit for performance
Tenggara (terj). Yayasan Obor. measures of publik space. 43rd ISOCARP
Congress 2007
Goffman, Erving. (1976).Relation in Publik.
Harper Collins. Tjahjono, Gunawan. (1989).Cosmos, Centre,
and Duality in Javaneese Architecture
Hardiman, Budi. (2010).Ruang Tradition: “The Symbolic Dimension of
Publik.Kanisius Yogyakarta. House Shapes in Kota Gede and
Surroundings”. Dissertation Doctor of
Kusno, Abidin. (2000).Behind Post Colonial: Philosophy in Architecture. University of
Architecture, Urban Space, and Political California at Berkeley
Culture. Routledge.
Tengku Intan Marlina bt. Tengku Mohd.
Latour Bruno. (2005).Actor Network Theory – Ali.Teori Semiotik Peirce dan Morris: Suatu
reassembling the social. Oxford. Pengenalan. ,
http://journalarticle.ukm.my/2997/1/1-
Prabowo, Agung. (2014).The Pakubuwono Zulkiflee.pdf, diakses 15 Januari 2016
Code. Ufuk Publishing House. Jakarta.
Lebang, Yudha Almerio Pratama. (2015).
Jolanda, Srisusana. (2003).Estetika Bentuk Analisis Semiotika Simbol Kekuasaan Pada
Sebagai Bentuk Pendekatan Semiotika Rumah Adat Toraja
pada Penelitian Arsitektur. Jurnal Desain (TongkonanLayuk).eJournal Ilmu
dan Konstruksi Vol 2 No 2. Desember 2003. Komunikasi, 2015,3(4),158-172 ISSN 0000-
Universitas Gunadarma. 0000. ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id, diakses
15 Januari 2016
Wiryomartono, Bagoes. (2002).Urbanitas dan
Seni Bina Perkotaan. Jakarta – Balai
Pustaka.

26

Anda mungkin juga menyukai