Anda di halaman 1dari 22

Tugas Telaah Jurnal Asas Desain Pemukiman

Kelompok 4 – Kelas F – Permukiman Konservasi Budaya

Jurnal Artikel 1

Nama Penulis : 1Indro Sulistyanto, 2Eny Krisnawati, 3Danarti Karsono

Judul Artikel : Pengaruh Perkembangan Permukiman Swadaya terhadap Upaya Pelestarian


Cagar Budaya Tamansari

Tahun : 2015

Link unduhan :
https://www.researchgate.net/publication/366863272_Pengaruh_Perkembangan_Permukima
n_Swadaya_terhadap_Upaya_Pelestarian_Cagar_Budaya_Tamansari

Tinjauan Singkat

Situs Cagar Budaya Tamansari memiliki nilai sejarah yang tinggi, sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari keberadaan Kraton Yogyakarta, yang pada awalnya berperan
sebagai tempat Raja dan Kerabat Kraton beristirahat dan mesanggrah (menenangkan
pikiran). Permasalahan yang terjadi adalah sisa-sisa artefak yang ada bercampur-baur
dengan perkembangan perumahan dan kegiatan usaha di sekitarnya, menurun
eksistensinya. Beberapa elemen-elemen peninggalan berupa artefak, masih dapat ditengarai
dalam bentuk puing-puing yang tidak lagi utuh, keberadaannya masih sangat menunjang
untuk memberikan gambaran situasi Kawasan Cagar Budaya Tamansari pada keadaan
aslinya. Hasil akhir dari kegiatan penelitian menunjukkan adanya korelasi antara
pergeseran perilaku masyarakat dalam pengembangan dan pembangunan permukiman
swadaya terhadap upaya konservasi bangunan cagar budaya.

Latar Belakang Masalah

Dalam konteks bangunan Cagar Budaya Tamansari, berbagai kerusakan yang


terjadi baik karena alam maupun ulah manusia, seolah memberi ruang yang lebih leluasa
terjadinya intervensi bangunan dan lingkungan permukiman swadaya terhadap berbagai

Saffah Rivia Salsabila - 225060507111069


artefak yang mengalami kerusakan/ keruntuhan. Apabila pada awalnya
permukiman yang tumbuh dan berkembang merupakan lingkungan yang diharapkan dapat
menjadi penjaga bagi kelestarian artefak budaya Tamansari, semakin luntur oleh kebutuhan
ruang untuk keperluan permukiman. Tanpa disadari ternyata telah terjadi pengikisan
perilaku masyarakat yang bermukim saat ini (dan kemungkinan semakin kompleks di masa
mendatang), dalam memandang keberadaan Cagar Budaya Tamansari. Gempa 27 Mei
2006 yang meruntuhkan berbagai bagian artefak budaya Tamansari, seolah mendorong dan
memberi ruang gerak yang cukup leluasa bagi tumbuh dan berkembangnya ruang-ruang
permukiman yang baru. Kondisi tersebut terlihat dari berbagai situs cagar budaya yang
semakin terdesak untuk kepentingan permukiman dengan kegiatan usaha kerajinan batik,
dan jenis kerajinan tangan berupa aksesoris ruangan terbuat dari batik sebagai cinderamata
bagi wisatawan, merupakan salah satu usaha masyarakat yang terjadi pada beberapa bagian
utama kawasan

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif,
dengan melakukan kajian terhadap kondisi kontekstual atas keberadaan bangunan Cagar
Budaya Tamansari, yang secara perlahan namun pasti dalam periodisasi tertentu
mengalami berbagai kerusakan dan kemunduran fisik baik yang diakibatkan faktor usia,
faktor alam, dan terutama intervensi kegiatan pembangunan permukiman swadaya yang
ada di sekitarnya.

Hasil Temuan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan sebagai bagian dari proses penelitian,
diperoleh gambaran atas Kawasan Cagar Budaya Tamansari, yang memperlihatkan semakin
‘tenggelamnya’ berbagai artefak budaya di tengah lautan permukiman warga. Hampir sulit
untuk dapat ditengarai lagi rentetan bangunan sebagai artefak budaya yang menghubungkan
antara situs yang satu dengan situs yang lain, sebagai kerangka utuh keberadaan Cagar
Budaya Tamansari.

Belum adanya perlindungan secara hukum terhadap Cagar Budaya Tamansari,


ditengarai menjadi salah satu penyebab terjadinya degradasi secara terus menerus dan tidak

Saffah Rivia Salsabila - 225060507111069


terkendali sampai kepada kawasan intinya (Fransiska Romana Harjiyatni dan Sunarya
Raharja, 2012).

1. Kekayaan Budaya Sebagai Potensi Penataan Kawasan Cagar Budaya Tamansari

Sebagai upaya dari pengembangan permukiman yang secara spesifik dalam


bentuk penataan bangunan dan lingkungan permukiman swadaya di sekitar Cagar
Budaya Tamansari, perlu diperlukan upaya pengembangan dalam bentuk pelestarian
yang dinamis, sebagai bagian dari upaya melindungi berbagai potensi budaya
tradisional dan nilai-nilai kesejarahan yang teridentifikasi melalui keberadaan
bangunan dan lingkungan permukiman yang ada di sekitar Cagar Budaya Tamansari
dari kemungkinan menurunnya otensitas, fungsi kultural, dan kemungkinan
kepunahannya. Keterlibatan masyarakat dengan tatanan kehidupan
sosial-ekonomi-budaya, akan menjadi suatu alternatif bentuk pelestarian yang dinamis
bagi penataan bangunan dan lingkungan permukiman swadaya di sekitar Cagar
Budaya Tamansari.

2. Relevansi Penataan Kawasan Cagar Budaya Tamansari Sebagai Bagian dari


Pengembangan Dan Pelestarian Seni Budaya, Tradisi, Pendidikan, dan
Pariwisata

Keberadaan seni budaya, nilai-nilai kesejarahan, dan tradisi yang berkembang


secara khas di Kawasan Cagar Budaya Tamansari akan sangat relevan dengan misi
penataan permukiman swadaya di sekitar Cagar Budaya Tamansari, sehingga
memungkinkan terciptanya berbagai peluang bagi pengembangan permukiman
swadaya dengan tetap menghormati upaya-upaya konservasi Cagar Budaya Tamansari
di sekitarnya. Kondisi ini akan sangat berpengaruh pada konsep penataan bangunan
dan lingkungan permukiman swadaya di sekitar Cagar Budaya Tamansari untuk
diimplementasikan, tidak hanya dengan mengangkat seni budaya, nilai-nilai
kesejarahan, dan tradisi khas Kawasan Cagar Budaya Tamansari dalam bentuk
bangunan dan lingkungan permukiman, melainkan juga menyangkut seluruh ruang,
atmosfer, dan dinamika masyarakat yang membuat Kawasan Cagar Budaya Tamansari
menjadi lebih hidup.

3. Fenomena Umum Perilaku Masyarakat Di Sekitar Cagar Budaya Tamansari

Saffah Rivia Salsabila - 225060507111069


Berkembangnya kebutuhan kehidupan yang demokratis, telah berpengaruh
pada bergesernya peran para pelaku pembangunan, yang sebelumnya bertumpu pada
peran pemerintah sebagai developer pembangunan, menjadi enabler yang benar-benar
harus konsekuen dan konsisten mendudukkan masing-masing pelaku pembangunan
(stakeholders) dalam kegiatan penataan bangunan dan lingkungan permukiman
swadaya di sekitar Cagar Budaya Tamansari, pada peran dan fungsi yang semestinya.
Selanjutnya berkembang paradigma penataan bangunan dan lingkungan permukiman
swadaya di sekitar Cagar Budaya Tamansari, dengan memberikan peran secara penuh
kepada para stakeholders yang bergiat di Kawasan Cagar Budaya Tamansari tidak
hanya dalam proses, namun terutama di dalam spirit pembangunan yang terdiri dari
unsur masyarakat dan swasta (Departemen Pekerjaan Umum Kanwil Propinsi DIY,
Proyek Perintis Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota. 1986). Kondisi ini sering
disalahartikan dengan demikian mudahnya meninggalkan tatanan
tradisi-budaya-sejarah keberadaan Tamansari, sebagai bagian seutuhnya dari Kraton
Yogyakarta. Kondisi ditunjukkan dengan semakin menurunnya kepedulian
masyarakat terhadap tradisi-budaya-sejarah Tamansari, dikaitkan dengan kepentingan
ekonomi, dan bergesernya masyarakat yang bermukim di sekitarnya yang tidak
memahami arti penting keberadaan Cagar Budaya Tamansari bagi tatanan kehidupan
menyeluruh.

Pendapat atau Review

Setelah membaca penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar


kawasan Cagar Budaya telah berubah menjadi permukiman swadaya, dan sebagian
bangunan inti Cagar Budaya Tamansari-Kraton bahkan telah rusak atau disengaja dirusak
untuk kepentingan pemukiman, mengindikasikan penurunan tingkat kepedulian masyarakat
terhadap pelestarian kawasan ini. Dalam penjelasannya, Analisis tingkat kepedulian
masyarakat terhadap upaya pelestarian Kawasan Cagar Budaya, gambaran kerusakan
bangunan, rencana pembangunan dan pengembangan permukiman yang mencakup
pengaturan dan mekanisme pembangunan dan pengembangan permukiman dengan
mengakomodir aspirasi dan kepentingan stakeholders serta melibatkan masyarakat dalam
prosesnya. Pada jurnal ini didukung oleh gambar – gambar pada tinjauannya sehingga
kondisi visual permukiman konservasi budaya dapat dipahami oleh pembaca dengan cukup
jelas.
Saffah Rivia Salsabila - 225060507111069
Tugas Telaah Jurnal Asas Desain Pemukiman
Kelompok 4 – Kelas F – Permukiman Konservasi Budaya

Jurnal Artikel 2

Nama Penulis : Rina Sabrina, Antariksa, Gunawan Prayitno

Judul Artikel : Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Sasak Dusun Limbungan
Kabupaten Lombok Timur

Tahun : 2010

ISSN/Link : 2686-5742

Tinjauan Singkat

Karakter dari suatu suku dapat dilihat dari tradisi dan budaya yang terbentuk dalam
suatu permukiman dan masih menjaga local wisdom mereka, hal ini dapat terlihat dari
permukiman tradisional Suku Sasak di Dusun Limbungan Kabupaten Lombok Timur, yang
menjaga rumah adat mereka dari segala perubahan. Tujuan dari studi adalah mengidentifikasi
karakteristik non fisik sosial budaya masyarakat Dusun Limbungan, dan mengidentifikasi
karakteristik fisik pola tata ruang permukiman yang terbentuk, menganalisis pola tata ruang
permukiman tradisional yang terbentuk akibat pengaruh fisik dan non fisiknya, dan kearifan
lokalnya, serta menentukan arahan pelestarian bagi permukiman tradisional Limbungan.
Metode yang digunakan adalah deskriptif-evaluatif. Hasil studi menunjukkan bahwa konsep
keruangan makro yang terbentuk dari tatanan fisik lingkungan hunian memperlihatkan adanya
pembagian ruang permukiman berdasarkan guna lahan, yaitu tempat hunian di bagian tengah,
dan lahan pertanian di bagian luar area permukiman.

Latar Belakang Masalah

Sejak lama disadari bahwa budaya memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk
struktur ruang permukiman. Penggambaran struktur ruang permukiman juga dapat dilihat dari
sisi budaya lain seperti pada pelaksanaan ritual dan acara keagamaan. Acara ini bersifat rutin
akan tetapi ruang yang digunakan tidak semata untuk ritual saja, sehingga strukturnya juga

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


nampak temporal. Masyarakat Sasak di Pulau Lombok juga sangat terkait dengan budaya
dalam menata ruang permukimannya, ataupun pada ritual daur hidup dan berbagai acara
keagamaan (Sasongko, 2005:5). Dusun Limbungan yang terletak di kawasan kaki Gunung
Rinjani ini memiliki kawasan rumah adat menempati dua gugus, yaitu Limbungan Timur
sebanyak 68 unit rumah dan Limbungan Barat sebanyak 71 unit rumah. Kedua hunian itu
dibatasi tanaman hidup dan pagar bambu yang dianyam kasar, yang mereka sebut kampu.
Rumah-rumah mereka berdinding bambu yang dianyam, berlantai tanah campuran tahi
kerbau, beratap alang-alang, dengan rangka konstruksi campuran kayu dan bambu.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif evaluatif, melalui observasi,
kuesioner, dan wawancara. Pengambilan sampel dihitung dengan rumus Slovin,
menggunakan teknik pengambilan proporsional untuk mendapatkan sampel yang merata di
seluruh wilayah studi.
1. Tahap pertama: mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Dusun
Limbungan
2. Tahap kedua: mengidentifikasi pola tata ruang permukiman Dusun Limbungan dan
menganalisis kesesuaiannya dengan konsep pola tata ruang tradisional Suku Sasak.
3. Tahap ketiga: menentukan arahan pelestarian secara fisik dan non fisik berdasarkan
analisis pola permukiman sebelumnya dengan kondisi bangunan eksisting yang ada.

Hasil Temuan

Dengan merujuk pada data yang dikumpulkan dalam rangka penelitian, ditemukan bahwa :

1. Sistem Kelembagaan

Pemerintahan formal dan pemerintahan tradisional, atas beberapa kanoman (pemerintah


kecil), yaitu pimpinan para Kliang atau kepala dusun, yang memimpin dusun sesuai
dengan hukum aturan adat yang berlaku.

2. Sistem Kekerabatan

Sebagian besar pernikahan di Limbungan dilakukan dengan kerabat, namun tidak


menutup kemungkinan untuk menikah dengan orang yang bukan kerabat dari luar
daerah. Penduduk Dusun Limbungan juga menganut prinsip patrilineal, yang

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


menyatakan bahwa anak dari sebuah pernikahan akan mewarisi kebangsawanan
ayahnya.

3. Kehidupan Ekonomi

Lapisan sosial di Dusun Limbungan terdiri lapisan bangsawan (Golongan Menak),


lapisan tokoh adat, lapisan ulama dan lapisan masyarakat biasa.

4. Kehidupan Religi dan Budaya

Masyarakat mempercayai adanya roh leluhur yang bersemayam di bukit-bukit tinggi.


Beberapa orang Sasak di limbungan menyimpan benda-benda dan makam keramat
dengan memuja hantu untuk mencegah bencana alam. Dalam urusan keagamaan,
masyarakat Sasak Limbungan sangat fanatik dalam mempraktekkan Islam tradisional.
Tatanan adat istiadat dan ikatan sosial kekerabatan yang berlaku di Dusun Limbungan
masih begitu kuat upacara-upacara tersebut yaitu upacara kelahiran yang meliputi
tahapan kegiatan berupa yaitu Bretes, Tukaq Ariq Kakaq, Polang duri, Ngurisang,
Nyunatang. Upacara perkawinan yang meliputi tahapan kegiatan berupa Midang,
Memaling, Sejati, Selabar, Bait Wali, Bait Janji, Sorong Serah Aji Krama,Nyongkolan.
Upacara kematian yang meliputi tahapan kegiatan yaitu: pemberian aiq daun bidara,
belangar, betukaq, memandikan, dan mengkafankan, menshalatkan jenazah,upacara
penguburan, dan upacara setelah penguburan. Sistem pembagian warisan, Upacara
panen padi dan Upacara keagamaan yang meliputi berbagai acara diantaranya Nuzulul
Qur’an, Maulid Nabi SAW, lebaran Idul Fitri, dan Lebaran Topat.

5. Guna Lahan

a. Elemen pembentuk kawasan pedesaan

1) Perairan

Sungai Kokok Limbungan selebar 15 meter mengalir melalui Dusun


Limbungan. Sungai mempengaruhi kehidupan warga. Sebagian besar warga
menggarap sawah, oleh karena itu penempatan sungai mempengaruhi irigasi.

Warga menggunakan mata air dan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari dan
tanaman padi. Untuk mengurangi pengangkutan air ke atas bukit, pemerintah

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


kabupaten Lombok Timur memasang pipa distribusi dari mata air ke
rumah-rumah warga pada tahun 1997.

2) Hutan

Tahun 1980 Limbungan masih ditutupi oleh lahan hutan. Kemudian pada
tahun 1980-an, pengalihan kepemilikan hutan adalah negara (Perhutani
Lombok Timur).

3) Pertanian

Pada tahun 1919, penduduk desa Limbungan membuka lahan hutan untuk
tanaman padi dan kebun. Sebagian besar penduduk bekerja di ladang.

4) Permukiman

1919-1960: Dari lahan hutan menjadi repoq-repoq, terbentuklah pola


pemukiman di tengah sawah. Pada tahun 1920, pemukiman bale adat Sasak
dibangun dari ilalang, tanah liat, dan getah tanaman. Rumah-rumah semi
permanen ditambahkan, dan rumah-rumah tersebut berkembang secara linier
mengikuti jalan ke arah timur dengan area tengah rumah.

5) Infrastruktur

Jalan tanah yang curam menuju Dusun Limbungan dan dusun-dusun di


dekatnya yang memiliki masjid dan pemakaman dibuat pada tahun 1919. Desa
ini memiliki jalan tanah makadam dari tahun 1961 hingga 1990, tidak ada SD
4 Perigi dan musholla. Pada tahun 1994, Pemerintah Kabupaten Lombok
Timur membangun jalan aspal menuju Kecamatan Pringgabaya.

Dusun Limbungan mengikuti tata ruang permukiman tradisional.


Rumah-rumah permanen dan tradisional, masjid, dan musholla memenuhi area
pemukiman. Rumah-rumah tradisional dengan pagar tanaman hidup
terkonsentrasi di bagian barat dan timur. Di dekat komunitas tradisional
terdapat peternakan hewan. Karena masjid dan musholla berada di dekat
pemukiman bersejarah yang tersebar merata di bagian barat dan timur, maka
pemukiman permanen terdistribusi secara linier di sepanjang jalur utama. Di
area Limbungan, fasilitas umum meliputi sekolah dasar yang terletak di depan

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


pemukiman tradisional, sawah dan kebun di luar pemukiman, dan hutan
lindung dengan makam leluhur.

6. Struktur Bangunan

Setiap ritual menggunakan makam leluhur dan lokasi mikro dan makro masyarakat
tradisional. Semua permukiman tradisional di Dusun Limbungan menghadap ke timur
(sinar matahari), yang mencerminkan kepercayaan suku Sasak bahwa yang muda harus
melindungi yang tua dan menyerang terlebih dahulu. Suku Sasak Limbungan percaya
bahwa Gunung Rinjani memberikan kekuatan gaib kepada Lombok dan menjadi tempat
tinggal Dewi Anjani yang mereka hormati. Kesuciannya meningkat seiring dengan
ketinggian dan kedekatannya dengan Gunung Rinjani. Orang tua selalu tinggal di atas
anak-anak mereka di rumah baru. Rumah anak sulung lebih tinggi dari rumah
saudara-saudaranya. Orang tua harus memberikan teladan leluhur kepada anak-anak
mereka, demikian filosofi mereka.

Denah rumah terdiri dari barisan anak tangga vertikal dan horizontal. Baris vertikal
memiliki anak tangga yang lebih tinggi di bagian belakang, sedangkan baris horizontal
memiliki anak tangga yang lebih rendah di bagian tengah. Tindakan tersebut mencegah
bencana alam dan bencana lainnya. Barisan belakang Dusun Limbungan, dengan rumah
generasi sebelumnya, akan mendapatkan sinar matahari yang cukup karena lebih tinggi
dari barisan depan.

Masyarakat menjadikan Bale Adat adalah rumah dan pusat kegiatan. Bale adat
merupakan pusat upacara dan tempat tinggal di Dusun Limbungan. Lalu ada masjid
(langar) yang melambangkan persatuan karena semua warga Dusun Limbungan
menggunakan sarana ibadah yang multifungsi ini. Serta memanfaatkan sawah untuk
bekerja. Dan melakukan upacara ziarah ke makam leluhur. Ruang publik yang suci ini
merupakan wilayah tersier.

7. Pola Bangunan

Masyarakat Limbungan harus mempertahankan rumah asli mereka yang menggunakan


bahan alami, orientasi massa bangunan, dan pola rumah Sasak karena hukum adat.
Kelestarian rumah asli ini sangat bergantung pada kepatuhan penduduk terhadap
hukum adat dan kearifan lokal dengan melambangkan struktur kekerabatan,
rumah-rumah dan elemen-elemennya disusun dalam barisan rapi seperti tusuk sate

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


dengan pola kotak-kotak. Denah rumah tradisional Dusun Limbungan menciptakan
tempat-tempat umum, seperti lumbung dan berugaq, di mana para penghuninya dapat
berkumpul di antara deretan balai-balai yang saling berhadapan. Balok-balok yang
berhadapan dan sejajar dengan lumbung dan berugaq panteq telah ditempatkan dengan
menggunakan konsep tawazun dan konsep fungsional dalam Islam. Posisi berugaq
sebagai bangunan publik dan area sosial yang berhadapan dengan bale (bangunan
privat) menggambarkan konsep tawazun (keseimbangan). Sementara itu, posisi
lumbung yang mewakili satu bale selain berfungsi sebagai ruang bersama sekaligus
digunakan untuk mengawasi dan memberi kemudahan melayani bangunan bale yang
menggambarkan konsep fungsional.

Pendapat atau Review

Berdasarkan temuan dari studi tersebut, pola pemukiman Dusun Limbungan


dipengaruhi oleh faktor berikut :

1. Faktor kepercayaan penduduk terhadap faktor keamanan dan rumah penduduk


dalam memperoleh cahaya matahari karena bagunan rumah yang tidak memiliki
jendela, hal ini yang memandang arah timur sebagai arah yang diutamakan sebagai
sumber kekuatan selain itu juga didukung sebagai alat pertahanan untuk mengetahui
saat mereka saat diserang oleh musuh.

2. Faktor hukum adat yang menuntut penduduk Limbungan untuk menjaga rumah asli
mereka baik dari bahan rumah yang terbuat dari bahan alam, orientasi massa bangunan,
serta pola rumah asli Suku Sasak tersebut. Adanya kepatuhan penduduk terhadap
hukum adat dan kearifan lokal genius local penduduk merupakan faktor paling penting
terhadap pelestarian keutuhan rumah asli ini.

3. Membentuk pola grid yang mengelompok menjadi satu kesatuan, rumah-rumah dan
elemennya disusun berjajar rapi seperti tusuk sate, pola ini mencerminkan sistem
kekerabatan.

4. Pola rumah tradisional di Dusun Limbungan membentuk ruang-ruang yang


communal space, yaitu di antara jejeran bale yang berhadapan ini merupakan daerah

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


communal space bagi penduduk dusun, yaitu terdapatnya lumbung dan berugaq sebagai
tempat bersosialisasi penduduk dusun.

Studi lanjutan dapat membahas aspek spasial pada permukiman tradisional Sasak
Limbungan, aspek ekonomi masyarakat maupun aspek sosial budaya dalam
permukiman tradisional Sasak Limbungan yang tidak lepas dari tuntutan perkembangan
zaman, dan melanjutkan Permukiman tradisional Limbungan sebagai daya tarik wisata
budaya Suku Sasak yang masih asli. Pemerintah harus ikut campur tangan dalam
arahan pelestarian permukiman dengan cara memberi bantuan dana, promosi, dan
memberikan penyuluhan kepada warga mengenai pentingnya pelestarian pada rumah
tradisional Limbungan, karena jika pemerintah tidak memberikan bantuan dan
dukungan dikhawatirkan masyarakat akan lebih tertarik untuk tinggal di rumah
permanen.

Nayla Saffana Anwar - 225060507111069


Tugas Telaah Jurnal Asas Desain Pemukiman
Kelompok 4 – Kelas F – Permukiman Konservasi Budaya

Jurnal Artikel 3

Nama Penulis : Yohanes Djarot Purbadi, Achmad Djunaedi, Sudaryono

Judul Artikel : Kearifan Kaenbaun Sebagai Dasar Konseptual Pada Tata Spasial Arsitektur
Permukiman Suku Dawan Di Desa Kaenbaun

Tahun : 2019

ISSN : 2541-1217

Tinjauan Singkat

Kaenbaun adalah sebuah desa di Kabupaten Timor Tengah Utara, desa suku
Dawan karena penduduknya hampir 100% berasal dari suku Dawan. Desa Kaenbaun
dihuni oleh 8 suku dalam rumpun suku Dawan,yaitu empat suku perempuan (Salu,
Nel, Sait, dan Kolo) dan empat suku laki-laki (Basan, Timo, Taus dan Foni), yang sepakat
hidup abadi sebagai saudara di dalam desa Kaenbaun (Purbadi 2010). Seperti pada
desa-desa lain di Timor, di desa Kaenbaun hidup rukun suku laki-laki (lian mone) yaitu
suku Basan, Timo, Taus dan Foni, bersama suku perempuan (lian feto) yaitu suku
Sait, Salu, Kaba dan Nel. Warga desa Kaenbaun umumnya adalah petani lahan kering (Foni
2002)yang hidup dari pertanian tadah hujan, namun air dari 4 mata air suku (oekana)
tersedia sepanjang tahun tidak mencukupi untuk pengairan pertanian. Air dari mata air
suci suku (oekana) digunakan sepenuhnya untuk keperluan rumah tangga
dan ternak di dalam kampung (kompleks hunian, perumahan; kuan), disalurkan melalui
jaringan air bersih (pipa dan tandon air) yang dibuat secara khusus.Pedoman-pedoman
yang dikembangkan dari kebudayaan Dawan menjadi acuan perilaku warga desa
Kaenbaun. Setiap suku memiliki pedoman masing-masing, namun ada pedoman
bersama yang menjadi pedoman bagi warga seluruh desa (semua suku). Keberadaan
umesuku, struktur tradisional masyarakat (ada kepala suku pada setiap suku, peran
masing-masing suku) dan ritual-ritual adat berbagai skala yang masih berfungsi dan
dipraktekkan secara konsisten dalam kehidupan orang Kaenbaun menjadi bukti tradisi

Dimas Sebastian Van Gurning- 225060500111033


setiap suku masih hidup dan lestari. Keberadaan umesuku penting bagi kehidupan
pribadi, kelompok dan seluruh desa, karena umesuku sebagai rumah suci (umekanaf)
dan selalu digunakan dalam ritual-ritual berbagai skala (skala individu,
kelompok/suku, dan skala desa).Pedoman-pedoman lokal berbasis budaya Dawan juga
menjadi pedoman dalam rancangan tata spasial desa Kaenbaun sebagai sebuah karya
arsitektur permukiman (Purbadi 2010). Tatanan keruangan desa Kaenbaun sebagai
permukiman suku Dawan berpola unik, terdiri atas tiga kategori area yaitu
kuan(perumahan), lele(kebun) dan nasi(hutan desa), membentuk formasi lingkaran
konsentris (kuan) (Purbadi 2010). Pola ruang yang terjadi pada dasarnya "memisahkan"
manusia dan hewan diselingi tanaman (kebun); manusia tinggal di tengah dan
dikelilingi hewan dan kebun. Fasilitas publik yang menjadi elemen struktur ruang di
desa Kaenbaun adalah (1) rumah adat suku (umekanaf) sejumlah 5 unit, (2) loposuku
sejumlah 5 unit, (3) balai desa, (4) posyandu, (5) gedung gereja Katolik, (6) gua
Santa Maria, (7) pintu gerbang desa (taksoen), (8) makam umum, (9) makam leluhur
desa (makam Usi Banuf, NeonKaenbaun, Misa Subani, Temukung Taseko Bana), (10)
BnokoKaenbaun, (11) mata air suci suku (oekana) ada 5 mata air, dan (12) batu-batu
suci suku (fatukana) ada 5 batu (Purbadi 2010. Keunikan lain desa Kaenbaun adalah
tipologi bangunan di seluruh desa hanya ada tiga, yaitu rumah bulat (umebubu,
uembubu, umekbubu), lopo(lumbung padi) dan rumah melayu (rumah segi empat,
umekbat) (Purbadi 2010).

Latar Belakang Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini berlatar belakang adat dan tradisi
lokal (suku Dawan di desa Kaenbaun) yang menyatu dengan gereja Katolik (iman, ajaran
dan institusi) dan membentuk karakter budaya serta tata kehidupan lokal yang khas
Kaenbaun. Budaya khas Kaenbaun muncul dalam kearifan lokal (kearifan Kaenbaun)
mendasari alam pikiran, perilaku manusia dan artefak-artefak orang Dawan di desa
Kaenbaun, termasuk tata keruangan pada arsitektur permukiman desa
Kaenbaun (Purbadi 2010).

Tujuan penulisan adalah mengungkapkan kearifan lokal (kearifan Kaenbaun) di


desa Kaenbaun sebagai contoh keotentikan alam pikiran, pedoman perilaku dan
penataan ruang pada arsitektur permukiman berbasis budaya lokal. Melalui tulisan ini
diharapkan pemahaman tentang tata ruang desa Kaenbaun lebih tepat karena dilihat
dengan menggunakan sudut pandang budaya lokal (berbasis kearifan lokal); sudut

Dimas Sebastian Van Gurning- 225060500111033


pandang emic (lokal). Pemahaman yang mendalam diharapkan menimbulkan rasa hormat
dan cinta yang otentik (asli warisan leluhur/beinai), sehingga berdampak pada upaya nyata
pada pelestarian tata spasial arsitektur permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun yang
kokoh dan berkelanjutan

Metode Penelitian

Upaya mengungkap kearifan lokal dalam tata keruangan desa Kaenbaun


dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu membaca kembali logbook
catatan observasi lapangan yang pernah dilakukan tahun 2006 sd 2010. Data sekunder
tersebut merupakan hasil dan catatan berbagai informasi yang diperoleh dengan cara
tinggal di desa Kaenbaun selama beberapa minggu. Pencarian data pada
waktu itu menggunakan moda berpikir fenomenologi Husserl (Purbadi
2010)yang menyerap semuainformasi apa adanya menurut kacamata pandang lokal, lalu
setahap demi setahap dilakukan proses induksi dan pada akhirnya
menghasilkan pengetahuan mendalam tentang fenomena warga desa dan ruang
kehidupannya. Fenomena yang tertangkap meliputi dimensi fisik-visual, rasional-etis dan
transenden. Sejak tahun 2010 hingga tahun 2018 penulis masih berkontak langsung
dengan warga desa Kaenbaun, sehingga merupakan kesempatan mengikuti
secara relatif langsung kehidupan mereka, termasuk berbagai kegiatan skala individu,
suku dan desa. Selain kontak jarak jauh, penulis juga beberapa kali berkunjung kembali
ke desa Kaenbaun sebagai warga kehormatan setelah diangkat secara adat menjadi
NeonKaenbaun (raja pertama di desa Kaenbaun).

Hasil Temuan

Riset yang dilakukan tahun 2005 sd 2010 menunjukkan, tata spasial permukiman
Kaenbaun didasari kearifan lokal (kearifan Kaenbaun). Kearifan Kaenbaun tergambar
jelas dari beberapa prinsip hormat yang muncul dari hubungan empat elemen: manusia,
alam, nenek-moyangdan Tuhan. Kearifan lokal Kaenbaun masih dijaga dan dilestarikan
hingga kini dan menjadi salah satu contoh tentang penggunaan dan pemanfaatan
potensi desa berbasis budaya lokal. Ada sistem relasi penting di kalangan orang
Kaenbaun diturunkan dari bagan “empat unsur penentu”, yaitu: (1) relasi manusia
(atoni) dengan nenek-moyang, (2) relasi manusian dengan alam, (3) relasi antar
manusia (sesama saudara, sesama atoni), dan (4) relasi atoni dengan Tuhan
(tervisualisasi pada bagan)

Ada dua prinsip penting dalam pola ruang. Pertama, prinsip relasi manusia
dan hewan terwujud dalam tata spasial lingkaran konsentris pada keruangan desa
Kaenbaun, yaitu permukiman manusia (kuan) berupa lingkaran terletak di tengah tanah

Dimas Sebastian Van Gurning- 225060500111033


adat, dikelilingi kebun (lele) sebagai tempat bekerja dan tempat tinggal hewan (sapi,
kuda, babi, dsb). Lingkaran paling luar adalah hutan desa (nasi) yang mengelilingi
kebun (lele). Dalam tata spasial pola ruang tersebut terlihat bahwa manusia tinggal di
tengah dan dikelilingi oleh hewan dan kebun serta hutan. Hutan merupakan tempat suci, yang
di dalamnya terdapat mata air suci (oekana) dan batu suci(faotkana) bagi setiap suku.
Artinya, perbuatan orang Kaenbaun sejajar dengan penerapan kearifan lokal
dalam pelestarian hutan (Tamalene et al. 2014), pelestarian lingkungan (Thamrin
2013),(Wibowo, Wasino, and Setyowati 2012), dan pelestarian sumber daya air (Sumarmi
2015),(Aulia and Dharmawan 2010).

Kedua, prinsip "dalam dan luar" bagi desa Kaenbaun diwujudkan dengan
adanya pintu gerbang desa Taksoen" sebagai titik hubung ruan-dalam desa dengan
ruang-luar desa. Upacara penerimaan tamu secara adat terjadi di Taksoen,
dilaksanakan dengan upacara adat lengkap dan resmi (ada penyembelihan hewan dan
tutur adat). Selain itu, semua benda dari luar selalu dilihat sebagai "benda panas", maka
harus dilakukan proses pendinginan agar tidak menimbulkan masalah di dalam
desa. Upacara pendinginan juga selalu dilakukan di tempat yang bernama Taksoen dan
selalu dihadiri seluruh warga desa dan semua kepala suku yang ada di

Kaenbaun. Upacara adat di Taksoen penting dan menunjukkan kesadaran spasial


khas orang Kaenbaun. Artinya, orang Kaenbaun melakukan penataan kampung dengan
menggunakan kearifan lokalmereka seperti terjadi pemanfaatan kearifan untuk penataan
kampung (Qodariah and Armiyati 2013).

Pertama, prinsip hormat terhadap rumah adat suku-suku sebagai inti permukiman
Kaenbaun diwujudkan dengan tata letak umesuku-umesuku tepat di tengah desa dan
mendapat akses jalan utama desa. Tatanan yang ada di lapangan menunjukkan,
umesuku Foni berada di depan, sebab hakekatnya suku Foni adalah suku penjaga
keamanan desa Kaenbaun. Umesuku Timo dan Taus berada di belakang umesuku Foni,
keduanya adalah suku pengatur pemerintahan (Timo) dan suku penanggungjawab
kesejahteraan desa Kaenbaun (suku Taus). Umesuku Basan terletak relatif di belakang
dari ketiga umesukusebagai ungkapansuku Basan sebagai suku raja (pemimpin)
di desa Kaenbaun, berada di tengah dan dilindungi. Umesuku Nel sebagai perwakilan
suku perempuan (pendatang = perempuan) terletak di dekat umesuku Basan;
perempuan maka di belakang. Artinya, orang Kaenbaun telah menggunakan kearifan lokal
dalam penataan lingkungan (Dahliani 2015),(Siswanto 2009),dan penataan kampung
(Qodariah and Armiyati 2013).

Kedua, prinsip hormat terhadap gereja Katolik terwujud dengan meletakkan


gedung gereja Katolik (dan goa Santa Maria) berada relatif jauh di zona bagian belakang

Dimas Sebastian Van Gurning- 225060500111033


kompleks rumah adat (karena terletak di desa induk, Niufbanu). Tata letak gereja
konsisten dengan pikiran struktural orang Kaenbaun, semua unsur dari luar adalah
perempuan dan harus dilindungi, maka diletakkan di zona belakang. Memang secara
kronologis pembangunan kompleks rumah suku di desa Kaenbaun relatif baru dan
dengan sendirinya menghasilkan letak gereja di zona bagian belakang dalam
kuan Kaenbaun. Artinya, tatanan spasial yang terbentuk (pasca kemerdekaan, pasca perang
suku) konsisten dengan pola pikir struktural orang Kaenbaun. Artinya,
terbukti orang Kaenbaun melakukan penerapan kearifan lokal dalam pendidikan
karakter manusia (Fajarini 2014)sekaligus penataan lingkungan (Dahliani
2015),(Siswanto 2009), dan penataan kampung (Qodariah and Armiyati 2013)per.

Pendapat atau Review


Berdasarkan penelitian tersebut, kita dapat mengetahui bahwa perilaku Masyarakat
dalam hal penataan ruang dapat dipengaruhi oleh budaya, atau dalam penelitian tersebut
berupa pengaruh dari ajaran agama katolik. Kearifan lokal kaenbaun muncul dalam wujud
tata ruang yang memiliki pola unik yaitu area pemukiman terletak di pusat atau di bagian
Tengah, kemudian dikelilingi oleh kebun, dan di bagian terluar dikelilingi oleh hutan desa.

Dimas Sebastian Van Gurning- 225060500111033


Tugas Telaah Jurnal Asas Desain Pemukiman

Kelompok 4 – Kelas F – Permukiman Konservasi Budaya

Jurnal Artikel 4

Nama Penulis : Kartika Yuliana K. dan Rina Kurniawati

Judul Artikel : Upaya Pelestarian Kampung Kauman Semarang sebagai Kawasan Wisata
Budaya

Tahun : 2013

ISSN : 2255-4668

Tinjauan Singkat

Kampung Kauman merupakan salah satu cikal bakal pertumbuhan Kota Semarang.
Dahulu, kampung ini merupakan kampung para santri, namun kini telah mengalami
perubahan menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Perubahan ini menyebabkan hilangnya
unsur-unsur sejarah dan budaya di Kampung Kauman.

Untuk mengatasi hal tersebut, penelitian ini merumuskan konsep keberlanjutan untuk
Kampung Kauman Semarang. Konsep ini terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, aspek
sosial-budaya, dan aspek ekonomi.

Aspek fisik meliputi upaya pelestarian bangunan-bangunan bersejarah, penataan ruang,


dan pengembangan infrastruktur. Aspek sosial-budaya meliputi revitalisasi kegiatan
sosial-budaya, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pengembangan pendidikan dan
pelatihan. Aspek ekonomi meliputi pengembangan produk wisata budaya, peningkatan
promosi, dan pengembangan usaha masyarakat.

Jadi, Kampung Kauman Semarang merupakan kawasan bersejarah yang memiliki potensi
sebagai kawasan wisata budaya. Pelestarian Kampung Kauman perlu dilakukan secara
komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan
pelaku wisata.

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077


Latar Belakang Masalah

Kawasan bersejarah merupakan suatu kawasan yang didalamnya terdapat berbagai


peninggalan masa lampau dan membentuk suatu kota, baik berupa fisik historis maupun
berupa nilai dan pola hidup masyarakatnya, serta kepercayaannya. Kauman merupakan salah
satu cikal bakal pertumbuhan Kota Semarang. Dahulu kampung Kauman merupakan
kampung para santri, kini telah mengalami perubahan menjadi kawasan perdagangan dan jasa
dan semakin lama unsur historis dari Kauman hilang dan tergantikan oleh unsur modern.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan pelestarian pada Kampung Kauman
Semarang sebagai kawasan wisata budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
melalui pendekatan kualitatif yang berupa metode analisis deskriptif kualitatif untuk
menggambarkan karakteristik kampung kauman dan sosial budaya masyarakat kampung
Kauman yang akan dikaji lebih lanjut. Hasil dari penelitian ini yang berdasarkan dari analisis
yang sudah dilakukan, diketahui bahwa kawasan Kampung Kauman beralih fungsi menjadi
kawasan perdagangan dan jasa, yang dulunya merupakan kawasan permukiman. Bangunan
tradisional yang ada di permukiman sudah mulai berubah seiring dengan banyaknya
pendatang yang datang dan memilih untuk membangun bangunan yang modern. Namun, ciri
khas yang masih melekat pada Kauman ini adalah Masjid Besar Kauman yang menjadi pusat
kegiatan keagamaan di Kauman maupun Kota Semarang. Masjid ini adalah satu-satunya
bangunan yang kokoh berdiri dan merupakan peninggalan sejarah Kampung Kauman.
Walaupun seperti itu, kegiatan sosial budaya di Kauman seperti dugderan masih dilakukan
sampai sekarang dan kegiatan keagaman yang masih sangat kental di kampung ini. Dari
analisis-analisis sebelumnya akan menghasilkan konsep keberlanjutan untuk Kampung
Kauman agar tetap menjadi kampung kota bersejarah bagi Semarang dan wisata budaya
untuk Semarang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini masih


menggunakan teori-teori yang nantinya dibawa ke lapangan (wilayah studi) dan akan diteliti
lebih mendalam berdasarkan dengan fenomena yang ada di wilayah penelitian. Menurut
Bungin (2010), teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan penelitian, bahwa

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077


sesungguhnya pandangan deduktif menuntun penelitian dengan terlebih dahulu menggunakan
teori sebagai alat, ukuran, dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga
peneliti secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”nya dalam
melihat masalah penelitian. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan
instrumen-instrumen penelitian dengan form wawancara sebagai alat untuk mengumpulkan
data. Wawancara tersebut masih berhubungan dengan fokus penelitian yang diambil dari
teori-teori yang digunakan. Pendekatan ini menggunakan kualitatif sehingga wawancara yang
dilakukan lebih kepada sosial budaya masyarakat kampung kauman. Jadi keseluruhan
penelitian ini lebih bersifat deskriptif. Pendekatan studi dengan kualitatif ini menggunakan
analisis deskriptif kualitatif yang selanjutnya digunakan sebagai metode pada proses analisis.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber dari institusi
pemerintahan yang terkait dan dari hasil observasi lapangan di wilayah studi. Wawancara
dilakukan pada narasumber ahli yang telah ditentukan dengan Teknik purposive sampling
sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang mendalam tentang Kampung Kauman
dan karakteristik masyarakatnya maupun budayanya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
hasil telaah dokumen dan artikel yang terkait dengan penelitian, seperti dokumen rencana tata
ruang, buku statistik, peta, dan artikel dari internet. Hasil dari observasi ini data yang
diperoleh diolah dengan cara pengkodean, selanjutnya dianalisis dengan deskriptif

Hasil Temuan

Kampung Kauman merupakan kampung yang bersejarah untuk Kota Semarang dan
mempunyai banyak cerita tentang Kota Semarang. Kauman atau Kampung Kauman secara
historis merupakan kampung yang dihuni oleh masyarakat Jawa yang lebih cenderung religi
beragama Islam. Ciri khas utamanya adalah banyaknya Santri yang merupakan pusat
Semarang tempo dulu. Bangunan yang masih kokoh berdiri adalah Masjid Kauman Semarang
dan sebagai pusat peradaban Islam, maka Kauman sangat berperan penting dalam
perkembangan Kota Semarang seperti saat ini. Penduduk yang padat menjadi poin tersendiri
bagi kebudayaan Jawa yang direpresentasikan dalam Kampung Kauman.

Pada saat ini Kampung Kauman masih bertahan dimana pembangunan modern yang
pesat di Kota Semarang. Kebertahanan Kampung Kauman yang sampai saat ini masih
dikenal oleh masyarakat Kota Semarang karena landmark dari Kampung Kauman yaitu

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077


Masjid Besar Kauman yang dahulu sampai saat ini masih berdiri kokoh. Disaat Pembangunan
yang pesat yang terjadi di pusat Kota Semarang keberadaan Masjid Besar Kauman tetap
dipertahankan, tetapi kawasan sekitar Kampung Kauman mengalami perubahan yang besar
seperti Alun-Alun Kauman yang melekat dengan ciri khas kampung Jawa bernuansa Islami
hilang. Alun-alun yang dulu luas sekarang hanya tinggal kenangan, dan tertinggal sedikit dan
itu pun dipakai untuk lahan parkir. Bangunan atau tempat tinggal yang ada di Kampung
Kauman juga mengalami perubahan tetapi diantaranya masih ada yang bertahan dengan gaya
arsitektur jawa arab, dengan ciri khas memiliki tiga pintu yang berukuran besar dan tidak
memiliki jendela karena pintu tersebut sudah merupakan jendela. Perombakan bangunan atau
tempat tinggal di Kampung Kauman terjadi karena banyaknya penduduk pendatang yang
menetap di Kampung Kauman, sehingga mereka merombak dengan gaya yang modern atau
trend yang ada saat ini, alasan lainnya penghuni sudah merasa bosan dan bangunan yang
mulai menua.

Hasil dari penelitian ini menghasilkan konsep pelestarian yang dihasilkan dari analisis
analisis sebelumnya. Konsep ini untuk mendukung dan tetap mempertahankan Kampung
Kauman untuk tetap dilestarikan nilai budaya maupun sejarahnya. Walaupun konsep ini
berdasarkan ekonomi, keagamaan, dan sosial budaya, namun juga tetap memperhatikan fisik
dari Kampung Kauman untuk mendukung konsep ini menjadi lebih baik. Fisik Kampung
Kauman yang masih bertahan seperti ciri khas kampung tersebut yang berupa bangunan
tradisionalnya dan nama-nama kampung yang memiliki Sejarah masing-masing. Keadaan
fisik Kampung Kauman yang nyaman juga akan menarik pengunjung untuk ke Kauman, dan
dengan konsep tersebut membuat pengunjung untuk lebih mendalami kebudayaan yang ada
di Kauman

Pendapat atau Review

Artikel "Upaya Pelestarian Kampung Kauman Semarang sebagai Kawasan Wisata


Budaya" oleh Yuliana K. (2013) merupakan sebuah penelitian yang membahas tentang upaya
pelestarian Kampung Kauman Semarang sebagai kawasan wisata budaya. Penelitian ini
bertujuan untuk merumuskan konsep keberlanjutan untuk Kampung Kauman agar tetap
menjadi kampung kota bersejarah bagi Semarang dan wisata budaya untuk Semarang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kampung Kauman Semarang mengalami perubahan
fungsi dari kawasan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Perubahan ini

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077


menyebabkan hilangnya unsur-unsur sejarah dan budaya di Kampung Kauman. Untuk
mengatasi hal tersebut, penelitian ini merumuskan konsep keberlanjutan untuk Kampung
Kauman Semarang. Konsep ini terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, aspek sosial-budaya,
dan aspek ekonomi.

Aspek fisik meliputi upaya pelestarian bangunan-bangunan bersejarah, penataan ruang, dan
pengembangan infrastruktur. Aspek sosial-budaya meliputi revitalisasi kegiatan
sosial-budaya, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pengembangan pendidikan dan
pelatihan. Aspek ekonomi meliputi pengembangan produk wisata budaya, peningkatan
promosi, dan pengembangan usaha masyarakat. Secara umum, penelitian ini memberikan
gambaran yang komprehensif tentang upaya pelestarian Kampung Kauman Semarang
sebagai kawasan wisata budaya. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi yang dapat
diterapkan untuk menjaga kelestarian Kampung Kauman

Berikut adalah tanggapan dari artikel tersebut:

· Rekomendasi yang diberikan dalam penelitian ini cukup komprehensif dan dapat
diterapkan untuk menjaga kelestarian Kampung Kauman. Aspek fisik, sosial-budaya, dan
ekonomi perlu dipertimbangkan secara holistik agar pelestarian Kampung Kauman dapat
berjalan secara berkelanjutan.

· Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan studi lebih lanjut untuk menguji efektivitas
rekomendasi yang diberikan. Studi ini dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan
terhadap pelaksanaan rekomendasi dan evaluasi terhadap dampak yang dihasilkan.

Berikut adalah beberapa hal yang dapat ditambahkan dalam penelitian ini:

· Penelitian ini dapat diperluas dengan mengkaji aspek-aspek lain yang terkait dengan
pelestarian Kampung Kauman. Aspek-aspek tersebut dapat berupa aspek lingkungan,
aspek keamanan, dan aspek hukum.

· Penelitian ini dapat difokuskan pada salah satu aspek tertentu, misalnya aspek fisik atau
aspek sosial-budaya. Fokus yang lebih spesifik akan menghasilkan rekomendasi yang
lebih detail dan dapat diterapkan secara lebih efektif.

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077


Secara keseluruhan, penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang penting dan
bermanfaat untuk pelestarian Kampung Kauman Semarang. Penelitian ini dapat menjadi
dasar bagi upaya-upaya pelestarian Kampung Kauman di masa depan.

Ef Syahrazzad Rafid - 225060507111077

Anda mungkin juga menyukai