Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH PERKOTAAN

PERKEMBANGAN JALAN RAYA DI KOTA MALANG DAN SURABAYA


SEBAGAI PENUNJANG KEHIDUPAN

Dosen Pengampu: Dr. Sarkawi B. Husain, S. S., M. Hum.

Disusun Oleh :

1.Hilman Fauzan (122111433038)


2.Ahmad Mahar Su’udy (122111433065)
3.Khusnul Avifah (122111433072)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmatnya telah memberi kelancaran pada penulisan makalah mata
kuliah sejarah perkotaan dengan tema “Perkembangan Jalan Raya Di Kota Malang
Dan Surabaya Sebagai Penunjang Kehidupan”. Perlu Diketahui Bahwa perubahan
daerah perkampungan atau pemukiman mengalami perbedaan baik infrastruktur
tata perkampungan, infrastruktur bangunan yang mengikuti zaman.

Di dalam penulisan makalah ini juga tidak luput dari bermacam-macam


kendala, seperti yang terjadi pada situasi sekarang, tantangan keadaan tidak
menyurutkan semangat belajar kami dalam menulis makalah, melainkan menuntun
kami kepada sebuah solusi jalan keluar. Serta kami sadar bahwa manusia tidak ada
yang sempurna, oleh karena itu kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
tulisan, meskipun tulisan dalam makalah ini masih terdapat kesalahan, kami
berusaha semaksimal mungkin dalam pengerjaan untuk mendapatkan hasil yang
terbaik. Demikian yang dapat kami sampaikan. Terima Kasih.

Surabaya, 14 Maret 2023

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………….…..1

KATA PENGANTAR……………………………………………………….……2

DAFTAR ISI…………………………………………………………..…………..3

BAB I. PENDAHULUAN……………...................................................................4

1.1 Latar Belakang………………………………………..………..........................4

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………...............5

1.3 Tujuan……………………………………….....................................................5

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………….........................6

2.1 Tata Kota pada Era Kolonialisme………………………………………….......6

2.1.1 Tata Kota Malang…………………………………............................6

2.1.2 Tata Kota Surabaya ………………………………………………….8

2.2 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota……………………………………..........8


2.2.1 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota Malang……..............................8
2.2.2 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota Surabaya..………..………….10
2.3 Perkembangan Jalan Raya…………...………………………………….........11
2.3.1 Perkembangan Jalan Raya Kota Malang ….…….............................11
2.3.2 Perkembangan Jalan Raya Kota Surabaya..………..………………13
BAB III. PENUTUPAN……………………………………………………........14

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...............18

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan jalan tentunya tidak akan lepas dengan transportasi,
transportasi sendiri merupakan komponen pokok dalam alat akses kebutuhan
masyarakat desa ataupun kota. Peningkatan kepadatan penduduk kota atau desa
akan menjadi pengaruh penting signifikan terhadap kemampuan aksebilitas
transportasi dalam pelayanan kebutuhan masyarakat. Transportasi atau
angkutan umum adalah alat aksesibilitas kemdaraan yang masih menjadi
kebutuhan masyarakat dalam menempuh perjalanan pendek maupun jauh.
Beberapa transportasi publik yang masih menjadi pilihan masyarakat umum
dalam pemakaian jasa dan sarana transportasi darat antara lain angkutan kota
atau angkot, bus, taksi, metro mini dan lain sebagainya (Susanto, 2004).
Transportasi sendiri juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
masyarakat. Begitupun dengan jalan raya, tiga hal tersebut saling berkaitan
dan membawa perubahan dengan berkembangnya zaman. Jalan raya pada masa
kolonial tidak hanya sebuah infrastruktur yang digunakan untuk memindahkan
suatu barang, melainkan dapat juga digunakan untuk daerah tontonan gaya
hidup sehari-hari (Basundoro, 2012).
Alat transportasi kini merupakan salah satu sektor teknologi transportasi
yang selalu mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan
jenis kendaraan yang semakin banyak berbeda bentuk yang menjadi pengisi
kepadatan arus lalu lintas di ruang ruang jalan. Inovasi dalam bidang ini
berjalan terus-menerus seiring dengan kebutuhan manusia akan daya yang
menjadi jangkauan dan kebutuhan menempuh perjalanan yang semakin besar.
Akan tetapi di sisi lain, apabila tidak ditangani dengan baik teknologi ini dapat
berubah menjadi faktor penyebab terjadinya kerusakan kerusakan akibat
kecelakaan kerja (Wibowo, 2011). Terkait dengan adanya kebutuhan
transportasi pada suatu kota maupun wilayah, maka perlu adanya perencanaan
transportasi yang baik agar tercapai efisiensi dan optimalisasi dari kondisi yang
ada. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya hubungan timbal balik yang erat

4
antara transportasi dan tata guna lahan. Aksesibilitas yang tinggi pada suatu
kawasan akan menyebabkan nilai ekonomis lahan di kawasan tersebut menjadi
meningkat dan menjadi pemacu dibangunnya fasilitas baru di kawasan
tersebut. Perkembangan fisik pada kawasan tersebut akan terus berlanjut dan
harus disertai dengan ketersediaan transportasi.
Pada kenyataannya. terutama di kota-kota besar di Indonesia pembinaan dan
pengelolaan jalan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
ditandai dengan adanya kemacetan lalu lintas akibat pertumbuhan lalu lintas
yang pesat dan terbaurnya peranan arteri, kolektor dan lokal pada ruas-ruas
jalan yang sehingga mempercepat penurunan kondisi dan pelayanan
perjalanan. Hal ini menunjukan belum adanya kesesuaian persepsi dalam
penentuan peranan dan fungsi serta administrasinya jalan di wilayah perkotaan,
yang berakibat pada inefisiensi penggunaan dan pembinaan jalan dalam hal ini
adalah jalan perkotaan. Dengan melihat adanya hubungan timbal balik yang
erat antara transportasi dan tata guna lahan tersebut, maka selain perlunya
perencanaan transportasi secara matang juga dibutuhkan perencanaan tata guna
lahan di sekitar jalan sebagai prasarana transportasi terutama jalan-jalan yang
mempunyai aksesibilitas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana bentuk tata kota dan bentuk geografis di Kota Suarabaya dan
Malang?
2. Bagaimana perubahan dari masa ke masa tentang jalan di Kota Suarabaya
dan Malang?
3. Bagaimana bentuk jalan sebagai urat nadi kota?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tata kota dan bentuk geografis di Kota Suarabaya dan
Malang
2. Untuk mengetahui perubahan dari masa ke masa tentang jalan di Kota
Suarabaya dan Malang
3. Untuk mengetahui bentuk jalan sebagai urat nadi kota

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tata Kota pada Era Kolonialisme


2.1.1 Tata Kota Malang

Sebagaimana yang sering dikatakan para ahli perkotaan, “The City is The
People”, kota adalah manusia yang menghuninya. Malang dihuni oleh sebuah
masyarakat yang majemuk. Terlihat dari berbagai macam masyarakat yang
mendiami kota ini mulai dari penduduk pribumi setempat, orang-orang China
dan Arab, dan penduduk Belanda sendiri yang berkuasa. Masyarakat
tersebutlah yang membentuk pola pemukiman hingga penataan kota tersebut.
Penduduk Malang bertambah dengan pesat sejak beberapa kondisi yang terjadi
pada awal abad ke-20 seperti, pasca Liberalisasi Tahun 1870, Politik Pintu
Terbuka, Swastanisasi, masalah kependudukan, dikeluarkannya Undang-
Undang Gula (Suikerwet), UndangUndang Agraria (Agrarischewet), dan
Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903 (Decentralisatiewet).

Seperti kebanyakan kota kolonial lainnya, kota Malang baru tumbuh dan
berkembang sejak masa kolonial. Sejak Undang-Undang yang mendorong
pengembangan dan masuknya modal swasta asing, maka Malang semakin
berkembang menjadi kota pusat perkebunan. Pada umumnya kota-kota
kolonial di Jawa memiliki ciri khas yang sama dengan alun-alun sebagai
pusatnya. Sejalan dengan pertumbuhan masyarakat yang pesat, kepentingan
ekonomi menjadi acuan dasar pembentukan kota ini. Dimana kegiatan
produksi dan distribusi memegang peranan penting dalam mendukung
kepentingan ekonomi tersebut. Semua hal tersebut tentunya memerlukan
kontrol dalam sistem pemerintahan. Di Jawa, pusat kontrol pemerintahan
dibangun di sekitar alun-alun kotanya. Dapat dibuktikan melalui bekas
bangunan-bangunan peninggalan yang hingga kini masih ada, seperti kantor
Asisten Residen, kantor pos, Kantor Bupati, Penjara serta bangunan
keagamaan seperti masjid (Di Malang juga Gereja) dibangun di sekitar alon-
alon. Sehingga alun-alun difungsikan sebagai “Civic Center”. Di sisi lain
pemukiman penduduk ditempatkan di sekeliling alun-alun mengikuti

6
pengelompokkan dari masyarakat majemuk yang menjadi penghuni kotanya.
Akibat dari diberlakukannya Undang-Undang Wilayah (Wijkenstelsel), pola
pemukiman dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:

1. Daerah pemukiman orang Eropa terletak di sebelah Barat daya dari alun
alun Talon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya, selain itu juga terdapat
disekitar Kayoetangan, Oro-oro Dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal.
2. Daerah pemukiman orang Cina terdapat sebelah Tenggara dari alon-alon
(sekitar Pasar Besar). Daerah orang Arab di sekitar belakang masjid.
3. Daerah orang Pribumi kebanyakan menempati daerah kampung sebelah
Selatan alun-alun, yaitu daerah kampung: Kebalen, Penanggungan,
Djodipan, Talon dan Klodjen Lor.
4. Daerah Militer terletak di sebelah Timur daerah Rampal.

Kota Malang dirancang sedemikian rupa dan disesuaikan dengan


standar kehidupan orang-orang Belanda dan golongan Eropa pada umumnya
yang merupakan kelompok masyarakat yang dominan pada masa tersebut.
Tujuannya utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga
Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Kelompok masyarakat Eropa menduduki
posisi tertinggi dalam status sosial, pendapatan ekonomi, dan kekuasaan
politis. Selain itu, perancangan tata ruang kota ini tidak terlepas dari peran
penting para perancangnya yang mana juga orang Eropa itu sendiri. Selain
walikota Malang pertama pada saat itu yaitu: H.I Bussemaker (1919-1929), Ir.
Herman Thomas Karsten, arsitek kelahiran Amsterdam juga ikut andil dalam
perencanaan tata ruang kota. Pada tahun 1929, Karsten diangkat menjadi
penasihat perencanaan kota Malang. Ia juga terlibat aktif dalam rencana
pengembangan kota (Bouwplan I-VIII). yang di dalamnya menyiapkan
antisipasi perkembangan hingga 25 tahun ke depan. Salah satu karyanya yang
hingga kini dapat dijumpai dan menjadi ikon kota Malang adalah Idjen
Boulevard.

7
2.1.2 Tata Kota Surabaya

Nama Surabaya di sebut pertama kali dalam Prasasti Canggu atau Prasasti
Trowulan I yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) Prasasti
ini memiliki angka tahun 1280 S atau 1358 M. Prasasti tersebut berisikan
tentang penganugerahan Sima desa-desa tepian sungai yang telah berjasa atas
penambangan. Bagian isi prasasti yang menyebut Surabaya adalah sebagai
berikut:

“…..i Sarba, i Waringin Pitu, i Lagada, i Pamotan, i Tulangan, i


Panumbangan, i Jruk, i Trung, i Kambang Cri, i Tda, i Gsang, i Bkul, i
Curabhaya, muwah prakaraning naditira pradeça sthananing
anambangi….”
Dalam Prasasti tersebut dijelaskan bahwa Surabaya pada waktu itu
merupakan sebuah desa yang berada di tepi sungai dan memiliki peran sebagai
tempat penyeberangan. Pada masa Kolonial Surabaya beruba lebih modern dan
tidak lagi menjadi desa kecil. Berkembang dengan ciri khas Kota Tradisional
di Jawa, tentunya Surabaya juga memiliki Kraton, Alun-alun, Masjid Agung
dan Pusat Pemerintahan yang berdampingan.

Peta Soerabaia Tahun 1925 (hasil diskusi pemaparan Nanang Purwono)


Surabaya memang unik tata kota tradisionalnya tidak teratur seperti kota-kota
tradisional yang lainnya. Karena hal tersebut menyesuaikan dengan aliran Kalimas,
yang merupakan salah satu urat nadi kota pada masanya.

2.2 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota


2.2.1 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota Malang

8
Secara geografis, kota-kota kolonial di Jawa selalu terbagi ke dalam dua
jenis, yaitu kota pesisir dan kota pedalaman. Kota Malang sendiri termasuk
dalam jenis kota pedalaman Jawa Timur, sekitar 85 km sebelah Kota Surabaya.
Ketinggiannya yang mencapai 450 meter diatas permukaan air laut dan
dikelilingi oleh beberapa gunung, seperti Arjuna di sebelah utara, Semeru dan
Tengger di sebelah timur, Kawi di sebelah barat, serta Pegunungan Kapur
Kendeng di sebelah selatan. Kondisi tersebut membuat kota ini memiliki iklim
yang sejuk dan sangat strategis untuk kegiatan perkebunan sehingga sangat
mungkin untuk tumbuh cepat menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur.
Malang sebenarnya masih merupakan sebuah kota kabupaten yang menjadi
bagian Karesidenan Pasuruan hingga 1914. Pada saat itu yang menjadi kendala
terbesar Kota Malang sebagai kota pedalaman adalah prasarana dan
komunikasi. Akibat adanya Undang-Undang Gula dan Undang-Undang
Agraria membuat banyak sekali orang-orang Belanda mendatangi Jawa,
sehingga memicu pembangunan prasarana secara besar besaran di Jawa
termasuk di Malang di tahun 1870. Pembangunan prasarana transportasi
pertama dimulai dari pembangunan rel kereta api antara Surabaya-Malang pada
1876. Rel kereta api yang sejajar dengan jalan masuk ke kota Malang dan
berhenti di stasiun kota yang lama ini, berpengaruh besar terhadap
perkembangan kota. Karena sesudah adanya rel kereta api ini, maka banyak
rumah-rumah orang Eropa yang dibangun di dekat rel kereta api tersebut.
Setelah itu, jalan-jalan darat yang menghubungkan antara Malang dengan
daerah perkebunan di sekitarnya juga mulai dibangun. Bahkan jalan yang
menghubungkan Malang dengan kota-kota lain seperti Blitar, Batu, dan
Surabaya juga sudah ada. Sehingga secara geografis setelah tahun 1900-an,
Kota Malang sudah tidak menjadi kota pedalaman yang terisolir lagi.
Malang juga dialiri oleh sungai. Dari arah barat terdapat Kali Metro yang
menjadi batas kota sebelah barat, kemudian dari barat-laut terdapat aliran
Sungai Brantas, dari utara terdapat Kali Bango, dan dari timur mengalir Kali
Amprong. Pertemuan Sungai Brantas, Bango dan Amprong ini kemudian
menjadi satu pada Sungai Brantas yang mengalir ke selatan. Dasar lembah serta
tepian sungainya memiliki topografi terjal dan berliku-liku tetapi di beberapa

9
tempat relatif datar (Handinoto dan Soehargo, 1996: 9). Tidak seperti kota kota
Pesisir yang biasanya merupakan muara dari sungai-sungai besar seperti
Surabaya, Semarang dan Batavia, sungai Brantas yang melewati kota Malang
mempunyai lembah yang terjal sehingga sungai lebih berfungsi sebagai batas
kota daripada urat nadi transportasi perdagangan di kota. Baru pada th.1920 an
dengan dibentuknya pusat pemerintahan baru di daerah alon-alon bunder maka
sungai Brantas yang dulunya berfungsi sebagai batas kota, berubah menjadi
sungai yang membelah kota Malang.
2.2.2 Kondisi Geografis dan Bentuk Kota Surabaya
Surabaya merupakan daerah yang ada di pesisir pulau Jawa, tepatnya
menjadi salah satu bagian dari Jawa Bagian Timur. Peran Surabaya sebagai
Kota Pelabuhan tidak akan lepas dari sejarah yang telah berlalu. Sejak masa
kolonial hingga pasca kemersekaan para peneliti tentang pembentukan Kota
Pelabuhan Surabaya dari masa ke masa cukup banyak. Menurut N. J. Krom
Hujung Galuh yang merupakan bandar perdagangan di muara Sungai Brantas
menjadi cikal-bakal Surabaya. Kapal-kapal besar bersandar dan membongkar
muatan lalu dipindahkan ke perahu yang lebih kecil. Penyebutan Hujung Galuh
disebut dalam prasasti Sangsang yang berangka tahun 892 Saka (907 Masehi).
Prasasti ini ditemukan di Pekalongan yang berisi tentang penetapan sima atau
dapat juga disebut dengan daerah perdikan untuk mengelola bangunan kuti
yang letaknya di Hujung Galuh. Tidak dijelaskan secara detail lokasi Hujung
Galuh ada dimana. Selain itu adapun Prasasti Kamalagyan 959 Saka (1037
Masehi) yang menyebut Hujung galuh. Letak prasasti ini in situ di Dusun
Klagen, Desa Tropodo, kec. Krian Kabupaten Sidoarjo yang berisikan tentang
pembangunan tanggul di Waringi Sapta. Pembangunan waduk tersebut
dikarenakan seringkali terjadi banjir yang menyebabkan masyarakat menjadi
kesulitan, setelah pembangunan waduk tersebut para pedagang dapat berlayar
menuju hulu untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuh. Jika
berdasarkan Prasasti Kamalagyan, sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Terlekat di wilayah pedalaman atau di pesisir masih belum pasti, akan tetapi
jika dilihat dari alih bahasanya letak Hujung Galuh lebih hulu dari pada letak
Prasasti Kamalagyan. Sehingga menimbulkan para peneliti dan juga para ahli
lain untuk melakukan kajian yang lebih benar. Menurut Soenarto Timoer

10
Hujung Galuh terletak di ujung muara Kali Mas, dari kata hujung galuh yang
bermakna ujung muara Kali Mas. Heru Sukadri mengatakan bahwa Hujung
Galuh merupakan sebuah desa kecil yang letaknya strategis sehingga
dimanfaatkan menjadi bandar dagang yang menarik para penguasa Mataram
Kuna. Selain itu Sukadri juga menjelaskan bahwa pada awal abad XIII terjadi
peperangan pasukan Raden Wijaya dengan tentara Mongol di wilayah Hujung
galuh yang menjadi cikal-bakal Surabaya.
Jika berbicara tentang Pelabuhan Surabaya, memang sudah ada sejak masa
Klasik atau Hindu-Buddha. Namun Pelabuhan Surabaya lebih terkenal dengan
Pelabuhan Grisse. Grisse merupakan bawahan Jawa, namun perannya
menguasai Yortar, Surabaya, dan negera lainnya. Seperti halnya dijelaskan
dalam catatan Tionghoa, ketika orang-orang Tionghoa mengunjungi bagian
timur pulau Nusantara hanya mencatatat dan menemukan tiga pelabuhan utama
yaitu pertama di pantai utara Tuban, kedua Ceceun yang merupakan salah satu
pemukiman orang Tionghoa di Grisse dan terakhir yaitu Surabaya. Meskipun
Surabaya sudah disebut, namun perannya masih belum terlalu penting seperti
pelabuhan yang lain.

2.3 Perkembangan Jalan Raya


2.3.1 Perkembangan Jalan Raya Kota Malang
Pada saat itu prasarana transportasi darat di Kota Malang hanya berupa
jaringan jalan dan jaringan rel kereta api. Jaringan jalan merupakan prasarana
yang mendapat perhatian khusus dalam mengembangkan perluasan kota
Malang. Pola jaringan jalan pada tahun 1914 menggambarkan pola jalan (grid)
yang jelas. Setelah tahun 1920 jalan di Kota Malang mulai diaspal. Pola
jalannya cukup teratur karena pusat kota yaitu alun-alun terlihat sebagai pusat
distribusi ke berbagai bagian kota. Jaringan jalan di sebelah timur sungai
Brantas masih belum terbentuk karena Sungai Brantas saat itu masih berfungsi
sebagai batas kota sebelah timur. Demikian pula dengan jaringan jalan di
sebelah barat kota, yang kelak disebut sebagai Bergenbuurt, serta bagian
selatan Sawahan yang kelak disebut sebagai Eilandenbuurt, semuanya masih
berupa persawahan. Satu-satunya jalan raya yang strategis yaitu jalan menuju

11
kota Surabaya (Kajoetangan Straat– Tjelaket Straat) dan Oro-oro Dowo Straat
sudah penuh dengan pemukiman orang Eropa.
Konsep utama Karsten dalam membenahi prasarana jalan kota Malang
adalah sebagai berikut:
“Harus diadakan perbedaan yang jelas antara jalan-jalan utama dan jalan
pembagi, dalam arus aliran lalu lintas. Jalan-jalan utama tersebut harus mempunyai
hubungan yang lancar dan baik antara satu dengan lainnya. Jumlah jalan utama
perlu dibatasi hingga seperlunya saja. Jarak antara satu dengan lainnya sekitar 400-
800 M dan semakin keluar kota jaraknya boleh lebih besar. Karena jalan-jalan utama
itu merupakan kerangka lalu lintas kota. Dari cara membedakan jalan utama dan
pembagi inilah kemudian baru ditentukan hal-hal lainnya. Jalan-jalan tersebut tidak
sekedar hanya memenuhi persyaratan material, tapi juga harus memenuhi tuntutan
keindahan kota. Bukankah keindahan kota itu terutama dinikmati dari sudut jalan?
Demikian Karsten. Jalan-jalan haruslah berirama, diatur dengan sumbu jalan, dan
harus diberikan titik-titik klimaks dan sebagainya. Irama tersebut meningkatkan daya
orientasi. Hal-hal tersebut merupakan ciri sebuah kota yang indah dimana nilai
keindahan bukan hanya diukur dengan keindahan pemandangan saja”
Dalam pengembangan jaringan jalan yang terpadu, Karsten mengadakan
pembedaan kelas jalan menurut fungsinya, yaitu jalan utama, jalan pembagi,
dan jalan untuk keindahan kota yang masing-masing harus bertalian erat
dengan yang telah ada sebelumnya (Handinoto dan Soehargo, 1996: 132).
Secara praktis jalan utama menjadi penentu keamanan dan kelancaran lalu
lintas sehingga organisme kotanya dapat berfungsi dengan baik. Dari sudut
pandang ekonomi, jumlah jalan utama harus dibatasi seperlunya saja. Jarak
antar jalan utama diperkirakan antara 400–800 m, dan semakin keluar semakin
besar jalannya.
Di Kota Malang beberapa jalan penting sebagai jalan utama sudah tersedia.
Keteraturan pola jalan kota lama dengan alun-alunnya, Alun-alun Bunder
dengan gedung balaikota dan sumbu timur–barat (dari Daendels Boulevard
menuju Smeroe Straat), serta penyambungan hampir ke semua jalan interlokal
di dalam kota merupakan modal utama yang baik. Meskipun demikian
dilakukan beberapa perbaikan dan penambahan karena masih kurangnya jalan-
jalan utama kota yang memang tidak mencapai bagian kota lama.

12
Jalan-jalan yang terletak di bagian kota lama berukuran relatif sempit,
dengan pola yang tidak teratur. Kebanyakan dari jalan tersebut tidak
berhubungan langsung dengan pusat kota. Hal ini disebabkan adanya lembah
Sungai Brantas di bagian utara kota yang seolah-olah memotong badan kota.
Untuk mewujudkan hubungan antar kota yang lebih lancar, pada tahun 1929
pihak pemerintah kota mengusulkan pembuatan jalan lingkar (Ring Weg). Jalan
lingkar tersebut terletak di titik silang timur–barat, yaitu antara Kajoetangan
Straat dan Smeroe Straat yang letaknya berada di tepat di tengah jaringan jalan
kota secara keseluruhan. Perempatan tersebut direncanakan untuk menciptakan
kontak dengan semua daerah pinggiran serta diharapkan pula dapat berperan
dalam perbaikan beberapa perhubungan interlokal (antara lain Surabaya–Batu
dan Malang selatan ke Surabaya).
Pada perluasan ke arah barat, jalan lingkar ini dijadikan unsur yang dominan
dengan memberikan profil yang kuat dan taman-taman yang indah. Hal ini
sekaligus merangkum, mengatur, dan menyempurnakan perluasan terdahulu.
Di dalam daerah yang dikelilingi jalan lingkar ini, direncanakan pula
pembangunan jalan yang tidak mengikuti sistem tertentu serta dilengkapi
dengan pembuatan dan perbaikan jalan terobosan yang merupakan bingkai
dengan jalan arah timur–barat dan utara–selatan.

2.3.2 Perkembangan Jalan Raya Kota Surabaya


Perkembangan jalan raya di Kota pada masa Kolonial tentunya tidak akan
lepas dengan perubahan para peminggiran. Penguasa jalan raya pada masa ini
memang masyrakat Eropa yang lebih dominan dari pada masyarakat lokal atau
masyarakat kalangan menengah. Seolah-olah masyarakat menengah kebawah
tidak mendapatkan hak untuk menikmati jalan raya tersebut. dimana, memang
masyarakat Eropa memiliki kendaraan dari pada masyarakat menengah
kebawah. Tata letak kota dan kampung-kampungnya di sepanjang sungai yang
lebar dengan arus air yang cukup deras. Kali mas pada masa ini tentunya masih
sangat berfungsi dalam hal transportasi sungai, dimana perahu-perahu kecil
masih berlayar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat kota Surabaya dan

13
sekitarnya. Tidak hanya transportasi air, Surabaya juga memiliki transportasi
darat yang berupa tram kota.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hal-hal utama seperti keindahan jalan dan sebagainya sekarang sudah
kurang mendapat perhatian di kota Malang. Karsten juga sudah memikirkan adanya
jalan lingkar (outer ring road) di kota Malang untuk menghindari kemacetan di
kemudian hari. Tapi semuanya ini direncanakan oleh Karsten untuk kota Malang
dengan proyeksi penduduk kurang lebih 80.000 jiwa. Di tahun 1995 jumlah
penduduk Malang sudah mencapai lebih dari 800.000 jiwa, dan jumlah kendaraan
yang jauh lebih besar, tapi jaringan jalan utama Karsten tersebut masih belum
banyak berubah. Tidak heran kalau lalu lintas kota Malang di masa sekarang sering
mengalami kemacetan.
Teknologi pengaspalan mulai masuk ke Nusantara pada awal abad ke XX.
Sehingga jalan yang awalnya masih berupa tanah diperbaiki agar tidak berdebu,
selain itu pada saat hujan tidak terjadi becek. Penganbilan tema pada transportasi
kota Malang era koloni yakni memiliki beberapa kesan yang mewakilkan beberapa
intipenting dalam kajadian masa lampau yang bersejarah seperti menjelaskan
tentang kampung kampung Cina, Eropa, dan Pribumi yang menceritakan tentang
apa yang menjadi penggerak wilayah wilayah transportasi Malang Surabaya, semua
hal tersebut menjadi kegiatan aktif pada masa itu yang menjadi aset penting
perkembangan dalam semua hal seperti transportasi ini sendiri.
Dalam pengembangan jaringan jalan yang terpadu, Karsten mengadakan
pembedaan kelas jalan menurut fungsinya, yaitu jalan utama, jalan pembagi, dan
jalan untuk keindahan kota yang masing-masing harus bertalian erat dengan yang
telah ada sebelumnya penyampaian dari handonoto yang mengambil materi penting
dalam arkeologi transportasi, tata letak transportasi Malang memiliki
perkembangan seperti kota Malang dirancang sedemikian rupa dan disesuaikan
dengan standar kehidupan orang-orang Belanda dan golongan Eropa pada
umumnya yang merupakan kelompok masyarakat yang dominan pada masa
tersebut. Pembuatan rekayasa perkembangan se akan akan Ter arah pada era koloni
sebagai konsep atau peran penting dalam kepentingan politik sosial, ekonomi
mereka.

15
Lalu pada tata letak transportasi Surabaya dalam peran penting arah jalur
meliputi jalur laut yang mengaplikasikan perkembangan pelabuhan Surabaya dari
masa ke masa cukup banyak. Menurut N. J. Krom Hujung Galuh yang merupakan
bandar perdagangan di muara Sungai Brantas menjadi cikal-bakal Surabaya. Kapal-
kapal besar bersandar dan membongkar muatan lalu dipindahkan ke perahu yang
lebih kecil. Penyebutan Hujung Galuh disebut dalam prasasti Sangsang yang
berangka tahun 892 Saka (907 Masehi). Prasasti ini ditemukan di Pekalongan yang
berisi tentang penetapan sima atau dapat juga disebut dengan daerah perdikan untuk
mengelola bangunan kuti yang letaknya di Hujung Galuh. Tidak dijelaskan secara
detail lokasi Hujung Galuh ada dimana. Selain itu adapun Prasasti Kamalagyan 959
Saka (1037 Masehi) yang menyebut Hujung galuh. Letak prasasti ini in situ di
Dusun Klagen, Desa Tropodo, kec. Krian Kabupaten Sidoarjo yang berisikan
tentang pembangunan tanggul di Waringi Sapta. Pembangunan waduk tersebut
dikarenakan seringkali terjadi banjir yang menyebabkan masyarakat menjadi
kesulitan, setelah pembangunan waduk tersebut para pedagang dapat berlayar
menuju hulu untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuh. Jika berdasarkan
Prasasti Kamalagyan, sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Aksebilitas Transportasi penting Kota Malang dan Kota Surabaya era kolonial
menjadi arus jalur penting yang menjadi penggerak segala kegiatan penting pada
perkembangannya. Transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam
sektor perekonomian karena kegiatan pengangkutan biasanya menjadi bagian tidak
terpisahkan dari aktivitas ekonomi. Kegiatan perdagangan, perindustrian, dan
pertanian tidak mungkin berjalan dengan baik dan lancar apabila bahan baku
ataupun hasil-hasil produksi tidak dapat didatangkan atau didistribusikan dengan
baik. Apabila terjadi hambatan dalam sektor transportasi, maka kegiatan pada
sektor-sektor ekonomi tersebut akan mengalami hambatan pula, atau malah macet.
Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Keresidenan Banyumas 1830-1940an

Hal lain yang juga penting adalah melalui sistem transportasi, produsen dan
konsumen suatu komoditas dapat bertemu. Tanpa sistem transportasi, keduanya
merupakan bagian yang saling terpisah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sistem transportasi merupakan faktor pengintegrasi sektor-sektor perekonomian.

16
Dengan alat transportasi, bahan-bahan baku yang dihasilkan di wilayah-wilayah
pertanian misalnya dapat diangkut ke daerah pengolahan dan selanjutnya
didistribusikan k pasar untuk dijualbelikan kepada konsumen. Melalui sistem
transportasi, integrasi tidak semata-mata antara konsumen dan produsen, tetapi juga
meliputi integrasi ekonomi dalam lingkar geografis, Wilayah dengan aktivitas
perekonomian yang berbeda- beda akan saling menyatu dengan perantara sebuah
sistem transportasi. Untuk kajian yang lebih luas, studi Howard W. Dick telah
mengungkapkan hal tersebut dengan mengedepankan sistem transportasi
antarpulau yang telah mendorong proses integrasi ekonomi Indonesia. Studi tentang
dinamika sistem transportasi telah banyak dilakukan, terutama sistem transportasi
antarpulau, yaitu pelayaran. Di Indonesia, transportasi antarpulau telah mempunyai
peranan yang sangat penting sejak berabad-abad yang lalu, terutama pada masa
kejayaan perdagangan antarpulau. Walaupun demikian, studi mengenai sistem
transportasi antarpulau ini belum diimbangi dengan studi tentang transportasi.

17
DAFTAR PUSTAKA
Basundoro, P. (2012). Pengantar sejarah kota. Pengantar sejarah kota.
BASUNDORO, P. (2018). Merebut ruang kota. Merebut ruang kota aksi
masyarakat miskin kota 1900 - 1960.
BASUNDORO, P. (2019). ARKEOLOGI TRANSPORTASI. SURABAYA:
AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS.
Dimas Cuzaka Alifian, M. A. (2012). KAJIAN MANAJEMEN LALU LINTAS
JARINGAN JALAN . Kajian manajemen lalulintas.
HANDINOTO. (1996). PERKEMBANGAN KOTA MALANG PADA JAMAN
KOLONIAL . Kota Malang Era Kolonial.
Husein, S. B. (2010). Negara ditengah kota politik representasi dan simbolisme
surabaya tahun 1930 - 1960. Negara ditengah kota.
K, J. (2006). Skripsi perkembangan kota Malang tahun 1914 - 1942. Perkembangan
Kota Malang Srikipsi University UGM.
Safitry, M. (2021). Kisah Karantina Paris of the East: Wabah Pes di Malang 1910-
1916. Jurnal Sejarah. Vol. 3, III(12), 116-120.
soseco, T. (2011). Pusat pertumbuhan kota malang . Pusat perkembangan kota
malang potensi dan permasalahan .

18

Anda mungkin juga menyukai