Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENGANTAR

1.1. Latar Belakang

Kota Malang adalah kota terbesar kedua setelah Kota Surabaya. Hal ini

ditandai dengan pertambahan penduduk setiap tahunnya semakin meningkat,

terutama jumlah penduduk yang orientasinya ingin menimba ilmu di Kota Malang

(Mahasiwa/pelajar). Untuk itu Kota Malang mendapat predikat Kota Tribina

Citra, yaitu merupakan Kota yang sedang menggalakan program untuk

meningkatkan sumber daya manusia khususnya di Kota Malang. Program-

program tersebut antara lain; Pendidikan, Pariwisata, dan Industri.

Kota Malang merupakan saksi sejarah perjuangan pada masa penjajahan

belanda, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya bangunan-bangunan Kolonial

yang terdapat di Kota Malang. Bangunan Kolonial di Kota Malang mempunyai

bentuk yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena terjadi percampuran antara

budaya penjajah dengan budaya masyarakat pribumi. Akulturasi dari kedua

budaya inilah yang dituangkan dalam wujud bangunan, sehingga hal ini

merupakan potensi dibidang Pariwisata, dan dibidang pendidikan yang dapat

menambah pengetahuan serta dapat dijadikan objek penelitian.

Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan menambah

wawasan terhadap Arsitektur Kolonial di Kota Malang, karena Kota Malang

memiliki bangunan Kolonial yang menarik untuk diteliti. Dan semoga laporan

penelitian ini dapat menggugah minat rekan-rekan untuk membahas Arsitektur

Kolonial yang ada di Kota Malang yang lebih teliti dan mendalam.
2

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tipe Bangunan Kolonial yang ada di Kota Malang.

2. Faktor apa saja yang menjadi pertimbangan pada Bangunan Kolonial

sehingga mempengaruhi pada tekstur bangunan tersebut.

3. Bagaimanakah penempatan Ornamentasi pada Bangunan Kolonial

yang disesuaikan dengan fungsi bangunan.

4. Apakah Bangunan Kolonial Belanda mempunyai aturan tertentu

didalam meletakan Orientasi bangunan tersebut.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah wawasan terhadap

Bangunan Kolonial dan dan dapat memberikan apresiasi terhadap Bangunan

Kolonial, Khususnya Bangunan Kolonial yang ada di Kota Malang.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian Arsitektur Kolonial di Malang adalah:

1. Untuk mempelajari konsep serta pengembangan Kota Malang masa

lalu, khususnya yang berkaitan dengan bangunan-bangunan kolonial di

Kota Malang.

2. Untuk mempelajari ciri-ciri Bangunan Kolonial di Kota Malang.

3. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan Bangunan Kolonial di Kota

Malang dengan Bangunan Kolonial di luar Kota Malang atau di

Indonesia.
3

4. Untuk meningkatkan Apresiasi terhadap Arsitektur Kolonial pada

umumnya dan sejarah pada khususnya sehingga bangunan yang di

bahas dapat menjdai model atau contoh dari bangunan yang

mempunyai nilai arsitektur dan sejarah.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Kota Malang.

Oleh Ir. Hadinoto dan Ir. Paulus H. Soehargono M.Arch.

Menyimpulkan tentang pekembangan kota dan perkembangan bangunan

kolonial. Perkembangan kota, karena adanya keputusan politik terhadap

perkembangn kota malang, yaitu UU. Gula dan UU. Agraria pada tahun 1870.Dan

pada tahun 1905 dikeluarkannya UU. Desentralisasi yang kemudian malang

menjadi kota madya pada tangga1 april 1905. Ketiga undang-undang ini telah

membuka isolasi kota malang sebagi kota pedalaman. Serta dibangunnya

infrastruktur yang menghubungkan kota-kota yang ada di jawa timur sehingga

dapat dilihat pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang pesat.

Sedangkan perkembangan bangunan. Bangunan yang ada di kota malang

secara makro tidak jauh berbeda dengan dengan prkembangan yang ada di Hindia

Belanda. Secara mikro arsitektur kolonial di malang agak berbeda dengan

arsitektur yang ada di kota-kota lainnya. Peninggalan arsitektur kolonial gaya

Inddische Empire sangat kurang sekali, karena kota malang pada tahun 1900

masih merupakan kabupaten selain itu lokasi orang belanda bermukim disekitar

jalan kayutangan yang sekarang jalan basuki rahmad.

2. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia.

Oleh Yulianto Sumalyo, penerbit UGM Press.


5

Menyimpulkan bahwa dalam merancang sutu bangunan sorang tidak lepas

dari belajar terhadap alam, lingkungan, budaya dan masyarakat. Dan hal yang

lebih penting adalah belajar dari masa lampau untuk membangun masa sekarang

maupun yang akan datang. Oleh karena itu bangunan kolonial merupakan saksi

sejarah yang sudah terbukti kebehasilannya dalam menjalani sejarah mulai dari

tradisional, modern. Untuk itu bangunan kolonial yang masihada hendaknya

dilestarikan karena bangunan itu meupakan bukti peningglan sejarah khususnya

bagi perkembangan arsitektur dan budaya bangsa.

2.2 Landasan Teori

1. “Bagaimana menempatkan gedung-gedung kolonial yang memegang peran

istimewa dalm suatu kota, senantiasa merupakan masalah yang harus

dipertimbangkan dengan masak, karena gedung-gedung tersebut dengan

misinya yang mulia harus dapat memancarkan kesannya ke penjuru kota, lagi

pula harus indah. Oleh sebab itu gedung-gedung tersebut berhak menduduki

tempat yang bagus sekaligus baik. Tapi hal ini baru bisa diselenggarakan

kalau ada waktu yang cukup unutk memikirkan peruntukan serta

perancangannnya. Tentang hal ini dalam perencanaan kota Malang

pertimbangan yang disebutkan di depan cukup diperhatikan. Maka hasilnya

ialah, bahwa di dalam prluasan-perluasan yang baru, beberapa gedung bisa

berhasil dengan baik, bahkan ada beberapa yang bisa berhasil dengan baik

sekali ( Neutral School, Mac Loge, Gereja Santa Theresia, Tribune Pacuan

Kuda dan sebagainya). Di dalam rencana perluasan kota yang terdahulu


6

banyak gedung fasilitas umum yang letaknya kurang pas atau kurang ekspresif

(misalnya berbagai gedung sekolah yang dirancang pembangunan I, lapangan

olahraga, Loge Theosofi dan sebagainya). Tapi sebaliknya, Balai kota dan

sekolah HBS/AMS, yang terletak di lapangan JP. Coen (Alun-alun Bunder)

perlu dicatat tersendiri, karena keberhasilannya”. (Perkembangan Kota dan

Arsitektur kolonial Belanda di Kota Malang Hal. 142. Oleh Ir. Handinoto

Dan Ir. Paulus H.S. M. Arch.).

2. “Menurut Maclain Pont bahwa “Lingkungan secara keseluruhan menjadi

bagian yang menyatu dengan bangunan. Pertimbangan dalam peletakan

bangunan tidak hanya pada masalah lalu lintas, di sekitar alun-alun, masjid,

kabupaten, dan kemudian tempat tinggal Residen atau Gubernur, tetapi juga

pada arah mata angin. Pada kantor NIS di Tegal, Maclain Pont memilih

peletakan memanjang menurut arah Timur-Barat, agar pintu dan jendela

terdapat di sisi Utara-Selatan”. (Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia,

Hal. 11. Oleh Yulianto Sumalyo.).

3. “Menurut Maclain Pont Arsitektur adalah bagian dari kegiatan manusia dalam

manciptakan sesuatu untuk dirinya agar ke luar dan menundukkan alam.

Penekanannya selain kepada kesatuan antara bentuk dan fungsi, juga pada

kesatuan dengan konstruksi, sebagai perwujudan dari tradisi dalam

hubungannya dengan Arsitektur. Hal mana dilihatnya sebagai ungkapan

spiritual dari suatu kelompok masyarakat, maka gaya arsitektur harus dapat

menjawab kebutuhan sosial”. (Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia,

Hal. 9. Oleh Yulianto Sumalyo.).


7

4. Pada bangunan kolonial yang dibangun pada antara tahun 1900-1915 adalah:

“Ciri yang paling menonjol pada bangunan kolonial masa kini adalah denah

serta tampaknya yang kebanyakan bentuk simetri. Disamping itu juga

penyelesaian detail-detail yang sangat rinci dan detail sekali.”

(Perkembangan Kota dan arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Hal.

156. Oleh Ir. Handinoto dan Ir Paulus Soehargo, M. Arch.).

2.3 Hipotesis

1. Penempatan bangunan kolonial memegang peranan istimewa dalam suatu

kota. Hal ini bisa dilihat atau diketahui bahwa penempatan bangunan-

bangunan didalam penelitian ini menempati daerah-daerah yang strategis.

Seperti Gereja Protestan yang letaknya disebelah utara Alun-alun. Gereja IHS

di Jalan Ijen, Stasiun kereta api kota baru dan Sekolah SLTP Frateran yang

terletak di jalan Jagung Soeprapto Malang.

2. Pertimbangan penataan bangunan tidak hanya pada masalah lalu lintas tetapi

juga pemilihan yang sesuai dengan arah mata angin timur dan barat sehingga

penempatan pintu dan jendela mengarah pada arah Utara-Selatan. Hal ini

dimaksudkan untuk memperlancar sirkulasi udara pada bangunan ruangan

serta untuk pencahayaan.

3. Kesatuan bentuk, fungsi dan konstruksi , berpengaruh pada perwujudan dari

tradisi yang ada hubungannya dengan Arsitektur. Hal ini terlihat dengan

ungkapan perihal dari kelompok masyarakat. Gaya arsitektur harus mampu

menjawab dari kebutuhan sosial yang ada disekitarnya.


8

4. Bangunan kolonial mempunyai bukaan pada masif dengan ukuran yang besar

untuk memenuhi sirkulasi udara dalam ruangan.


9

BAB III

PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Pendekataan Penelitian

Pendekatan penelitian yang kami lakukan adalah pendekatan dekriptif

yaitu: suatu pendekatan dimana peneliti menggambarkan atau menguraikan

sesuatu hal menurut apa adanya. Disamping itu pendekatan ini juga untuk

membuktikan hipotesa-hipotesa yang telah dikemukan diatas.

3.2. Lingkup Wilayah

Lingkup wilayah penelitian terletak di kota malang dan objek yang diteliti

adalah bangunan kolonial yang ada di kota malang.

3.3. Bahan Dan Materi

Bahan penelitian adalah objek yang akan diteliti dan merupakan sampel

dalam penelitian ini, antara lain: Stasiun Kereta Api Malang, Gereja IHS dan

Gereja Protestan Malang, Sekolah SLTP Frateran Hati Kudus Malang.

Sampel bangunan ini mempunyai karakter yang sesuai dengan tema

penelitian yaitu Arsitektur Kolonial yang terdapat di kota Malang.

3.4. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah

menggunakan:

a. Mengadakan observasi ketempat penelitian.


10

b. Foto sebagai perekam objek yang akan diteliti.

c. Studi kepustakaan untuk menambah dan melengkapi data.

3.5. Jalan Penelitian

Runtutan jalan penelitian adalah sebagai berikut:

Mengajukan judul penelitian yang bersamaan dengan tema peneltian.

Mengadakan konsultasi dengan dosen pembimbing untuk menyetujui

judul berserta tema yang diajukan.

Setelah judul disetujui team peneliti berkumpul untuk menentukan objek-

objek Arsitektur Kolonial yang akan diteliti.

Kelapangan yang bertujuan untuk mengadakan pengamatan dan secara

intensif, kemudian merekam gambar-gambar yang akan diteliti.

Setelah dari lapangan kemudian studi kepustakaan untuk mencari landasan

teori yang berhubungan dengan penelitian.

Membuat hipotesa-hipotesa tentang penelitian.

Menganalisa rekaman gambar untuk menguji hipotesa yang telah

dikemukakan terdahulu.

Membuat kesimpulan tentang hasil penelitian.

2.6. Analisis Penelitian

Analisa penelitian adalah dengan menggunakan analisa reduksi data

dimana hasil analisa dituangkan dalam bentuk uraian serta menampilkan tema.
11

Tema yang sudah didapat dituangkan secara sistematis untuk memberikan aspek-

aspek tertentu.
12

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibahas secara sistematis dengan uraian. Pembahasan ini

dilakukan dengan membahas satu persatu terhadap bangunan kolonial.

a. Bangunan Stasiun Kereta Api

Stasiun Kereta Api Malang terletak di jalan Trunojoyo yang berdekatan

dengan kantor Balai Kota Malang. Bangunan ini terletak ditengah kota yang

dimaksudkan agar dapat dicapai dengan mudah. Bangunan ini direncanakan atas

nasihat pihak militer, secara keseluruhan Stasiun ini memberikan kesan sebagai

Arsitektur Fungsional.

Stasiun Kereta Api

U Kantor Balai Kota


Malang

Gambar 01. Peta Stasiun Kereta Api Malang

Karena stasiun Stasiun Kereta Api merupakan bangunan yang fungsional,

Hal ini bisa dilihat dari bentuknya yang menggunakan bentuk geometri persegi,

atapnya datar, warna bangunannya putih, gevel horisontal dan volume ruang yang

berbentuk kubus. maka bentuk jendela dan pintunya menggunakan bentuk yang

sama yaitu persegi/kotak.


13

Gambar 02. Tampak depan


Stasiun Kereta api kota Malang.

Gambar 03. Gambar 04.


Letak jendela dan pintu Letak pintu keluar

Pada gambar 03, merupakan perletakan jendela dan pintu pada bagian

sebelah timur bangunan yang merupakan ruang administrasi/pengelolaan kereta

api. Pada gambar 05. dapat dilihat bentuk jendela dan pintu yang mengikuti

bentuk fungsional bangunan kereta api.

Tekstur Kaca

Tekstur
dinding
Tekstur
Bt. alam

Gambar 05. Jendela pada stasiun


14

Pada bagian jendela terdapat tiga yang tekstur yang dalam pembentukan

elemen masif pada bangunan ini, tekstur ini terdapat pada bagian:

1. Pada bagian transparan yaitu tekstur kaca yang terdapat pada jendela

berfungsi untuk view keluar dari dalam bangunan.

Gambar 06. Detail jendela

Karena bangunan kereta api ini difungsikan untuk sistem transportasi dan

informasi maka bagian dinding mempunyai ketebalan yang mampu untuk

menahan serangan bom pada masa itu, sehingga bisa kita lihat jendelanya

menjorok kebagian dalam. Pada bagian jendela tidak terdapat model jendela yang

memiliki variasi. Jendela disini hanya merupakan kaca lebar polos berwarna

bening atau transparan. Bingkai jendela tebuat dari bahan kayu yang dilapisi

dengan cat minyak untuk menghindari pelapukan.

2. Tekstur yang lainnya yaitu terdapat pada dinding bangunan. Tekstur ini

merupakan tekstur halus karena merupakan lapisan fnishing bangunan


15

yaitu lapisan cat tembok berwarna putih. Detail ini dapat dilihat pada

gambar 07.

Tekstur dinding
dengan warna
putih

Gambar 07. detail dinding

Pada bagian dinding terdiri dari dua bagian, bagian yang pertama adalah

bagian bawah merupakan susunan batu kali dan mempunyai ketebalan yang lebih

daripada dinding diatasnya. Dinding bagian bawah ini juga mempunyai tekstur

kasar dimana merupakan lapisan batu alam dan diberiikan warna hitam untuk

menampilkan kesan yang kuat/kokoh. Dinding bagian atas mempunyai ketebalan

yang cukup dibanding dengan dinding bangunan sekarang, hal ini difungsikan

untuk menahan serangan pada masa itu.

Gambar 08. Tekstur batu alam


16

Pada bagian pintu juga terdapat hal yang sama yaitu pada tekstur, tetapi

pada bagian atas pintu terdapat kanopi untuk melindungi dari sinar matahari dan

hujan, kanopi ini juga terdapat pada elemen jendela.

Gambar 09. tampak pintu, jendela dan kanopi

Pada gambar 09, tiga unsur elemen tekstur sudah terdapat disini, tetapi

pada bagian atas pintu dan jendela terdapat kanopi.

Gambar 10. Tampak pintu dan jendela

Gambar 10. Tampak Pintu dan Jendela

Gambar 10, memberikan penjelasan bentuk pintu dan jendela secara dua

dimensi. Pada bagian pintu dan jendela ini memiliki variasi yang sederhana
17

dibanding dengan jendela pada gambar 06 yang terlihat polos. Tetapi pada pintu

dan jendela ini memiliki variasi berupa garis horisontal dan garis vertikal.

Diatas pintu terdapat kanopi dengan bentuk melengkung yang berkesan

menaungi orang yang akan masuk kedalam ruangan ini, hal ini dapat dilihat dari

potongan tampak samping pintu seperti pada gambar 11.

Kaca Ventilasi

Kanopi

kusen Pintu
Daun Pintu

Lap. Bt. Alam

Gambar 11. detail kanopi pada pintu

Kanopi pada jendela tidak menggunakan aksen melengkung karena

difungsikan untuk melindungi ventilasi yang berada diatas jendela, dan apabila

diberikan kanopi dengan gaya yang melengkung serta proporsi seperti kanopi

diatas pintu, tidak memberikan kesan kokoh seperti alat transportasi kereta api.

KANOPI BAGIAN ATAS


KANOPI BAGIAN BAWAH

KACA JENDELA

LAP. BATU ALAM

Gambar 12. Detail kanopi pada jendela


18

Pada bagian pintu keluar dari dalam bangunan gambar 04, menunjukan

posisi pintu keluar bagi penumpang. Gambar 13 menunjukan:

Pintu pagar

Kolom

Gambar 13. Kolom pada pintu keluar

Pintu ini merupakan pintu utama untuk keluar bagi pengguna jasa kereta

api. Bagian pintu keluar ini mempunyai bentuk yang melengkung, ditengah-

tengah pintu keluar ini terdapat satu kolom sehingga meghalangi kelelusaan bagi

pengguna. Tetapi kolom ini dimanfaatkan untuk konstruksi pintu pagar.

Bangunan stasiun kereta api adalah arsitektur fungsional yang berkembang

pada tahun 1920 sampai 1940-an. Letak bangunan ini sangat strategis yaitu

merupakan ujung dari jalan Kartanegara. Sehingga bangunan ini mempunyai

peranan yang cukup penting dalam pemerintahan terutama pada masa itu,

bangunan ini dirancang dengan konstruksi yang telah diperhitungkan agar mampu

menahan serangan bom-bom bakar dari pihak musuh. seperti dalam kutipan buku

“Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, halaman 202:


19

“Hal ini diputuskan dengan mempertimbangkan bahwa kalau ada letusan bom

pada dinding-dinding batanya maka konstruksi utamanya tidak sampai roboh”.

Pada bagian atapnya menggunakan struktur beton bertulang yang

diperhitungkan dapat melindungi ruang-ruang vital didalam, ruang-ruang lainnya

seperti ruang telegraf dan peralatan pengaman juga menggunakan struktur beton

bertulang.

Bukaan-bukaan pada bangunan ini tidak menggunakan konsep bukaan

yang besar dan lebar, hal ini mungkin disesuaikan dengan keadaan pada waktu

bahwa ada rumor tentang perang dunia kedua yang melanda Hindia Belanda.

Sehingga perencanaan bukaan pada pasade tidak besar dan pertimbangan juga

untuk tidak mengurangi kekuatan struktur bangunan ini sendiri.


20

b. Sekolah SLTP Frateran Hati Kudus

Sekolah

U SLTP
Frateran
Hati Kudus

Gambar 14. Peta Sekolah SLTP


Frateran Hati Kudus

Sekolah SLTP frateran Hati Kudus merupakan bangunan kolonial yang

dibangun antara tahun 1916-1940. Pada tahun ini khususnya kota Malang

mempunyai gaya arsitektur Nieuwe Bouwen, dimana ciri-ciri bangunan ini

adalah: atap bangunan datar, gevel horizontal, volume ruang yang berbentuk

kubus, warna putih. Disamping itu pada tahun 1920-1930 masih banyak bangunan

kolonial yang memiliki atap yang menonjol walaupun arsitektur ini digolongkan

dalam arsitektur kolonial modern. Salah satu contonya adalah sekolah SLTP Hati

Kudus yang terletak di jalan Jagung Seoprapto.

Gambar 15. Tampak depan sekolah Frateran Hati Kudus


21

Dekorasi pada pasade bangunan ini bisa dikatakan ramai sehingga menarik

perhatian bagi orang yang melihatnya. Bangunan ini direncanakan oleh biro

arsitek: Hulswit, Fermont & Ed, Cuypers dari Batavia. Arsitektur ini mengikuti

langgam hias Art Deco, yaitu seni yang digunakan pada tahun 30-an, berasal dari:

akibat sintesa dari berbagai pengaruh eksotika dan dinamika yang mencapai

puncaknya dalam dunia Fashion dari cita rasa tinggi (High Taste) di Eropa,

terutama Paris, selama Abad 20.1

Wujud dari langgam hias art deco dapat dilihat dalam tampilan dengan

gaya yang kaya dalam kesan kemewahan. Pemakaian bahan yang mahal dan

material yang langka. Seni art deco cenderung menampilkan kesan yang mistis

dengan simbol binatang-binatang seperti: burung merak, Greyhound. Selain itu

juga cenderung menampilkan keindahan ciptaan tuhan, seperti: air terjun,

keindahan bunga Galdiol dan lain-lain.

Pada bagian bukaan dinding meggunakan konsep yang hampir sama

dengan bangunan stasiun kereta api yaitu bukaan yang tidak besar dan lebar. Hal

ini dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16. Tampak Jendela

1
Kutipan dari Buku Perkembangan Kota & Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Hal. 168
22

Ventilasi

Kanopi

Daun Jendela

Batu Kali

Gambar 17. Detail Jendela Lt. satu

Tetapi bukaan-bukaan pada bangunan ini cukup banyak dan bervariasi,

perbedan bukaan dapat dilihat dengan jelas antara bukaan dilantai satu dengan

bukaan dilantai dua.

Gambar 18. Detail jendelan Lt. Dua

Disetiap bukaan terdapat ornamen-ornamen. Ornamen ini tidak hanya terdapat

disetiap bukaan tetapi terdapat juga pada bagian lainnya seperti dibawah teritisan

atap, pada bagian kolom juga terdapat ornamentasi.


23

Gambar 19. Detail Ornamentasi

Gambar 20. Detail kolom dan patung

Pada pintu juga tidak mengalami sentuhan yang mempunyai kesan yang

mewah, hal ini bisaa dilihat pada gambar 21. bukaan ini tidak unsur-unsur yang

dapat memberikan kesan yang sesuai dengan langgam art deco, tetapi hanya

merupakan pintu biasa dengan bahan kaca.

Gambar 21. Tampak pintu

Pada bagian dinding tedapat tekstur batu bata merah tanpa plesteran

sehingga terlihat garis–garis siar antara susunan bata, kesan dari tampilan ini
24

adalah mewah akibat dari susunan bata tanpa plesteran dan ornamentasi pada

pasade. Susunan sturuktur bangunan dimulai dengan susunan batu kali sebagai

pondasi untuk menujang bangunan selain adanya pondasi utama.

Susunan Bt. Bata merah

Pas. Bt. kali

Gambar 22. Susunan Bt. Bata dan Bt. Kali

Atap bangunan ini disesuaikan dengan keadaan iklim yang ada di kota

malang khususnya karena iklim yang tropis maka atap bangunan dirancang

dengan bentuk pelana.

Anda mungkin juga menyukai