PELESTARIAN KOTA
PUSAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan kota bersejarah ialah salah satu bentuk warisan sejarah di berbagai
tempat yang kian memudar karena tergerus modernisasi. Berbagai bentuk
peninggalan sejarah merupakan sumberdaya budaya yang memiliki arti dan peran
penting bagi pembentukan identitas bangsa, sebab itu diperlukan adanya preservasi.
Suatu kota yang tidak memiliki kesadaran sejarah sama saja seperti orang yang
kehilangan ingatan, tidak memiliki referensi, tidak tahu bagaimana asal dan
tujuannya. Pelestarian dimaksudkan dengan perubahan yang terkendali sehingga
mampu menanggapi tantangan kemajuan zaman, tanpa kehilangan asset dan nilai
penting yang perlu dilestarikan (Purwohandoyo et al, 2018). Preservasi khususnya
pada bangunan cagar budaya terus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa
pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih
500 suku bangsa di Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa
Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah
keberadaannya (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003).
Kini perhatian terhadap bangunan cagar budaya terus ditingkatkan oleh pemerintah
melalui adanya pembentukan berbagai lembaga pengelola, program pelestarian dan
undang-undang yang mengatur. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
pembentukan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI), pelaksanaan Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Menurut UU No.11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya, cagar budaya diartikan sebagai benda, bangunan, struktur,
situs, dan kawasan yang perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah
dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkan cagar budaya. Peraturan adanya pelestarian terhadap bangunan-
bangunan kuno sebenarnya telah ada sejak masa Romawi yaitu adanya peraturan
yang berfungsi untuk memastikan bahwa pembangunan bangunan-bangunan baru
harus dirancang selaras dalam konsteks lingkungan yang ada. Kegiatan pelestarian
kini mempertimbangkan berbagai aspek karena pelestarian dalam bentuk kawasan
tentunya tidak terlepas dari masyarakat itu sendiri. Kegiatan pelestarian dianggap
berhasil apabila memiliki kontribusi yang nyata baik terhadap lingkungan maupun
1
aspek sosial ekonomi. Sebab itu dalam hal ini, penulis ingin menjelaskan seberapa
pentingnya pelestarian kota pusaka saat ini, menimbang dari beberapa manfaat yang
diperoleh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Adapun tiga komponen utama yang harus dimiliki oleh Kota Pusaka
diantaranya yaitu kawasan bersejarah, bentukan alam istimewa, dan lansekap
budaya (Sidharta dan Budiharjo, 1989). Masing-masing komponen tersebut
memiliki peranan yang penting dalam membentuk suatu Kota Pusaka. Berbagai
indikator pembentuk Kota Pusaka juga dikaji oleh UNESCO dalam Operational
Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention.
No. Indikator Variabel
1 Nilai Kelangkaan komponen kota pusaka Ciri khas pada komponen kota
pusaka
2 Nilai Keistimewaan komponen kota pusaka Ketersediaan kegiatan budaya
pada komponen kota pusaka
Umur komponen kota pusaka
4
d. Berbagai fungsi pada kawasan tersebut dari waktu ke waktu.
2. Memerlukan proses yang sistematik yang digunakan untuk inventarisasi,
penelitian, dan penilaian suatu asset pelestarian.
3. Tujuan pelestarian menjadi bagian dari tujuan dan kebijakan pembangunan
sosial dan ekonomi dalam perencanaan kota/daerahnya.
4. Perlu meyakinkan bahwa penilaian keuangan atas pembangunan baru tidak
akan merusak situs kawasan pusaka.
5. Perlu mendorong pemerintah pusat dan daerah dalam menggunakan
kewenangannya dalam menata dan menggunakan anggaran yang tepat.
6. Pelestarian kota pusaka memerlukan pendekatan yang lentur dan disiplin
secara sistematik.
5
jalan, fungsi bangunan campuran khusus, ruang-ruang publik dan privat, seperti
misalnya kebun, taman, daerah/ruang hijau, pepohonan dan street furniture, yang
secara keseluruhan memiliki kontribusi signifikan, termasuk aktivitas khas dan
semua elemen pentinglainnya yang diyakini juga merupakan bagian dari karakter
cagar budaya (Burgess dan Tuvey, 2005).
Prinsip pelestarian kota pusaka menuntut adanya partisipasi masyarakat.
Pemerintah diharapkan cukup dengan memandu hal-hal yang pokok saja, sementara
pengaturan selanjutnya dikerjakan dalam proses bersama hasil kerjasama antar
lembaga dan masyarakat. Masyarakat lokal dan komunitas penggiat cagar budaya
dilibatkan dalam pelestarian, penataan, dan pengelolaan kawasan pusaka supaya
dapat mengenali seluruh asset pusaka (potensi, masalah, dan solusi) (Joga, 2017).
Adapun langkah-langkah utama yang diungkapkan oleh Joga (2017) yang dapat
dilakukan untuk mencapai keberhasilan pelestarian penataan ruang kota pusaka.
Pertama, kota harus memiliki kelembagaan pengelola kota yang terdiri dari unsur
masyarakat/komunitas, swasta/pelaku usaha, dan pemerintah, dengan didukung
oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia, perangkat hokum, dan mekanisme
penerapannya. Kedua, kota itu juga harus mengenali asset pusakanya, serta
memiliki dokumentasi hasil analisis dari signifikansi, penetapan, panduan
pengamanan, dan pelestarian pusakanya. Ketiga, kota pusaka harus memiliki
system informasi digital, galeri pusaka, edukasi pusaka baik secara formal atau non
formal, serta promosi yang menarik. Keempat, suatu kota harus mengembangkan
pusaka sebagai sumber daya yang perlu dilestarikan untuk kesejahteraan
masyarakat lokal. Kelima, kota juga harus mampu mengenali berbagai ancaman
bencana terhadap asset pusaka. Keenam, pelestarian pusaka membutuhkan
pemahaman, kecintaan, apresiasi nilai budaya, dan peran aktif dalam kegiatan
budaya, serta pengembangan kehidupan budaya dan kreativitas sesuai dengan nilai
dan kearifan lokal. Ketujuh, perencanaan ruang kota yang meliputi rencana sarana
prasarana kota harus tersusun dengan baik, dan adanya pelestarian kota pusaka yang
tercantum dalam tujuan pembangunannya. Kedelapan, kota harus memiliki olah
desain bentuk dalam memadukan fisik elemen bentuk kota sehingga dapat
menerima perubahan secara selektif tanpa merusak nilai pusaka yang terkandung
didalamnya.
6
2.3 Manfaat Pelestarian Kota Pusaka
Dalam pelestarian kota pusaka, perhatian tidak lagi hanya tertuju hanya pada
penampilan eksternal bangunan, namun juga memperhatikan aspek lain secara
keseluruhan. Berbeda dengan penanganan pada pelestarian bangunan secara tungga
(architectural conservation), pelestarian kawasan memiliki beberapa pertimbangan
terkait kualitas lingkungan dan kondisi sosial ekonomi di sekitanya. Konservasi
dianggap berhasil apabila memiliki kontribusi yang nyata baik dalam peningkatan
nilai ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Contohnya ialah keberadaan kota
pusaka menjadi dorongan adanya wisata dan peningkatan ekonomi melalui
perdagangan maupun industri. Selain itu pelestarian Kota Pusaka diharapkan dapat
mengakomodasi kepentingan ekonomi pula. Penguatan ekonomi yang terarah dapat
memperkuat kestabilan sturktur sosial yang pernah ada, melalui program penguatan
komunitas lokal. Suatu pusaka memiliki berbagai nilai (significance) yang membuatnya
bernilai untuk dilestarikan, dengan beberapa nilai pusaka yang meliputi:
1. Ekonomi, karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan secara
ekonomis terutama melalui kunjungan ke situs-situs.
2. Sosial, yang mengacu pada identitas personal dan kolektif yang
menghubungkan orang dan masyarakat dengan pusakanya.
3. Politis, yaitu dalam hal mendorong apa yang dikonservasi, bagaimana
pusaka disampaikan (how heritage is told), dan menempatkan keinginan
pemilik terhadap konflik, juga terhadap kepentingan pemerintah dan publik.
4. Ilmu pengetahuan, contohnya taman-taman nasional dan kawasan-kawasan
dilindungi yang mungkin mengandung ekosistem yang bermanfaat bagi
manusia, seperti kesehatan dan pendidikan.
(Zeppel dan Hall, 1992)
Kemudian hal sama juga dikemukakan oleh Hall dan MacArthur, yang
menyebutkan secara lebih spesifik berbagai nilai kepentingan dalam pelestarian
pusaka, diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Ekonomi (Melalui pariwisata dan rekreasi, pengeluaran pengunjung, efek
alir (flow-on effects), sponsorship, pembayaran oleh pengguna.
2. Sosial (nilai-nilai komunitas, kepentingan kultural – estetika, historis, ilmu
pengetahuan, sosial, sense of place, situs-situs religi.
7
3. Politik (simbol-simbol nasional, kepemilikian pusaka, kepentingan
masyarakat asli, institusi).
4. Ilmu pengetahuan (gene pools, spesis langka dan dalam bahaya, bukti
historis, dan studi antropologi dan budaya).
Keberlanjutan dalam pelestarian Kota Pusaka mulai diperhatikan sejak munculnya Piagam
Pelestarian Kota Pusaka Indonesia (Piagam PKPI 2013). Dalam piagam tersebut
mengatakan bahwa pelestarian Kota Pusaka hendaknya bersifat integratif, yakni tidak
hanya bertujuan untuk mengelola asset pusaka namun juga mendayagunakan demi
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Menurut Joga et al (2017) pelestarian kota pusaka
harus bermanfaat secara nyata bagi masyarakat, seperti diantaranya dapat meningkatan
kualitas lingkungan (nyaman, harmonis, berkarakter, bergengsi, ramah, dan menarik),
memperkuat jati diri (kepribadian, kesadaran sejarah, keidupan budaya, kepekaan,
kreativitas, interaksi sosial). Selain itu pelestarian kota pusaka juga diharapkan mampu
membangkitkan ekonomi lokal baik berupa industri kreatif, kepariwisataan, jasa dan
pelayanan, serta cinderamata.
Pariwisata kota pusaka di negara-negara lain telah berkembang secara komprehensif
dimana adanya pariwisata tersebut membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bahkan tekah
menjadi destinasi wisata yang unggul sehingga mampu menyumbang peningkatan devisa
negara (Purwohandoyo et al, 2018). Pentingnya keberadaan kota pusaka saat ini
khususnya sebagai destinasi wisata juga ditunjang dengan adanya hasil studi British
Tourist Authority tahun 1995, yang menyatakan bahwa 20% dari semua kunjungan
ke daya tarik wisata di Inggris adalah kunjungan ke properti historis, atau sekitar
67 juta kunjungan per tahun.. kemudian sebuah studi di Pennsylvania (AS)
menemukan bahwa sekitar 20% pariwisata negara bagian itu berbasis pusaka.
Wisatawan pusaka menyumbang hampir US $5,5 miliar terhadap ekonomi negara
bagian pada tahun 1997, mencakup US $1,34 miliar gaji, sekitar 70.000 pekerjaan,
dan pajak sebesar US $617 juta (Travel Weekly, 1997).
8
Menurut Budihardjo (1997), terdapat berbagai manfaat yang diperoleh dengan adanya
kegiatan pelestarian bangunan maupun kawasan bersejarah, diantaranya ialah sebagai
berikut.
a) Pelestarian dapat memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat untuk
kontinuitas, memberi kesadaran keterkaitan dengan masa lalu, serta memberi piliha
untuk tinggal dan bekerja di tengah lingkungan yang modern.
b) Pada masa pembangunan yang semakin modern seperti sekarang ini, pelestarian
kawasan pusaka dapat memberikan suasana permanen yang menyegarkan.
c) Pelestarian memberikan keamanan psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat,
menyentuh, dan merasakan bukti fisik sejarah.
d) Pelestarian berfungsi untuk mewariskan arsitektur, serta menyediakan catatan
historis.
e) Pelestarian pusaka merupakan salah satu asset komersial dalam kegiatan wisata
internasional
f) Generasi di masa yang akan dating dapat belajar dari warisan-warisan budaya dan
menghargai sebagaimana mestinya.
9
BAB III
KESIMPULAN
10
Diagram Faktor Penarik dan Pendorong Pentingnya Pelestarian Kota Pusaka
1. Lokasi terjadinya
peristiwa sejarah
2. Kelangkaan dan umur
bangunan
3. Karakter bangunan Pentingnya
4. Ketersediaan kegiatan
Pelestarian
budaya atau tradisi
5. Nilai penting dan Kota Pusaka
keistimewaan
bangunan/kawasan
6. Estetika kawasan
7. Penguat kawasan di
sekitarnya
11
Diagram Backwash dan Forward Pelestarian Kota Pusaka
Backward Forward
1. Munculnya
kegiatan pariwisata
2. Membuka
1. Terawatnya
Pentingnya lapangan pekerjaan
lingkungan
3. Sebagai tujuan
sekitar bangunan Pelestarian
wisata studi bukti
bersejarah Kota historis
2.
Pusaka 4. Berkembangnya
aktivitas sosial
ekonomi di
sekitarnya
12
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia. (1992). Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 27. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia dan International Council on Monuments and Sites
(ICOMOS). 2003. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia.
(https://www.icomos.org/charters/indonesia-charter.pdf )
Patria, Teguh Amor. 2015. Dinamika Perkembangan Pariwisata Pusaka: Tinjauan Dari
Sisi Penawaran Dan Permintaan Di Kota Bandung. Jakarta: Hotel Management
Department, Faculty of Economic and Communication, BINUS University
(http://journal.binus.ac.id/index.php/BBR/article/view/960 )
Kurniawan, Nugroho Adi; Djoko, Suwandono. 2015. Upaya Pelestarian Kota Pusaka
Kawasan Klampok, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Banjarnegara. Ruang,Vol 1 No
3. DOI: HTTP://DX.DOI.ORG/10.14710/RUANG.1.4.131-140
13