Anda di halaman 1dari 36

MENGGEREJA DI PUSARAN

TANTANGAN ZAMAN

Pdt. Dr. Nelman Asrianus Weny, M.Th


(GMIT KUPANG-NTT)
Dosen Pascasarjana STAKN Kupang
GEREJA: APA ATAU SIAPA?
GEREJA: KATA DAN MAKNANYA

 Gereja← PB: Ekklesia: Ek= keluar, kaleo=dipanggil. (PL: qahal


YWHWH←”umat yang dipanggil Allah. Eklesiologi (teologi tentang gereja)
adalah “percakapan atau pembicaraan gereja tentang dirinya sendiri”
 Dasar keberadaan gereja: umat yang bersekutu dalam nama Yesus (Mat.
18:20)
 Ciri utama Gereja: Kudus, Katolik/Am/Satu, dan Rasuli
 ESENSI GEREJA
 Gereja adalah sebuah persekutuan spiritual (rohaniah) yang
menggantikan keberadaan Isrel sebagai umat Allah (PL) di dalam dunia
 Gereja adalah semua orang percaya yang bersatu di dalam Kristus meski
berasal dari beragam latar belakang (suku bangsa, budaya, dll.).
 Gereja adalah perbendaharaan yang di dalamnya tersimpan kebenaran
ajaran Kristen menurut kesaksian Alkitab.
 Gereja menyatukan semua orang percaya di seluruh dunia, memampukan
mereka di dalam iman, harapan, kasih, dan kekudusan.
LANDASAN PEMIKIRAN

 ALKITABIAH: Gereja adalah buah pekerjaan Roh Kudus, dipenuhi dan


dibimbing oleh Roh Kudus, dan senantiasa berada di dalam kuasa Roh Kudus.
Ia bukanlah hasil pekerjaan manusia tetapi pekerjaan Allah di dalam Roh-Nya;
sebuah persekutuan mesianis yang sedang berziarah menuju kepada
penyempurnaannya di masa depan (eskaton).
 AJARAN /TRADISI: Gereja adalah “Rumah Sakit/tempat perawatan bagi orang
sakit dengan pelbagai jenis penyakit yang sukar tersembuhkan/penyakit yang
mematikan…Gereja adalah rahim ibu yang di dalamnya tersimpan benih
kehidupan orang percaya. Karena itulah ia perlu dirawat, diusap, dijaga,
hingga lahir dan menjadi dewasa, mengalami pertumbuhan ke arah Kristus,
mencapai kedewasaan yang penuh” (Martin Luther)
 Kristologis: Karena Allah di dalam Roh yang membimbing gereja-Nya itu
adalah Allah yang melalui Kristus membuka diri-Nya bagi manusia dan dunia,
maka gereja harus menjadi “Gereja yang terbuka: bagi Allah, bagi dunia, dan
bagi masa depan.” Inilah yang disebut Moltmann “sebuah undangan yang
terus-menerus kepada hidup yang berpengharapan masa depan.” Dengan cara
ini Moltmann membedakan “Kristen” (sebagai agama) dari “Kekristenan”
(sebagai gaya hidup mesianis).
DIMENSI-DIMENSI GEREJA

 EMPAT DIMENSI GEREJA: Milik Yesus Kristus, misioner, ekumenis, dan


politis (Terbuka/Relasional: dengan Allah, dunia, dan masa depan).
Yesus Kristus: Dasar, sumber kekuatan, dan harapan gereja. Setiap
Pernyataan tentang gereja adalah pernyataan tentang Kristus
Misioner: Gereja tidak menciptakan misi sendiri. Misi adalah misi Allah
(missio Dei). Gereja adalah instrumen pelaksanaan misi Allah. Jadi gereja
yang misioner adalah gereja yang terus menerus terbuka di bawah kuasa
Roh Kudus.
Ekumenis: Gereja hadir sebagai agen pemersatu. Sebuah kehadiran yang
inklusif, mewujudkan sebuah tata dunia baru yang menjunjung tinggi
kesatuan antarumat beriman, antarmanusia, antaragama, antarbangsa
(bdk. Yer. 29:7; Yoh. 17:21).
Politis: terkait dengan aspek-aspek politis gereja.. Aktif mengambil bagian
dalam mengupayakan sebuah komunitas global yang adil, manusiawi, dan
berkelanjutan.
GEREJA DI PUSARAN TANTANGAN ZAMAN

SISA-SISA ZAMAN MODERN (1750-1950)


 Pendewaan akal budi manusia. Akal budi bersifat mutlak.
 Kemajuan adalah puncak peradaban. Puncak pencapaian
manusia dengan akal-budinya.
 Agama (Kristen) bukan lagi sebagai agama yang mutlak dan
satu-satunya agama yang benar; Paham tentang agama, Kitab
Suci, dan Tuhan diserang dari segala penjuru dengan akal budi
sebagai senjata.
 Pendewaan kebebasan: Bebas dari orang lain bahkan bebas dari
Tuhan karena Tuhan (termasuk agama dan Kitab Suci)
dianggap sebagai penghambat bagi kebebasan manusia.
ZAMAN POSTMODERN/POSTMODERINISME (1950-KINI)

 Hukum Postmodern: “Tidak ada yang tunggal dan mutlak, termasuk


kebenaran. Karena itu biarlah semua yang beragam dan beragam itu hidup dan
berlaku menurut hukumnya masing-masing tanpa saling mengahalangi dan
mematikan.”
 Karena semangat Postmodernitas adalah “keberagaman” sehingga tidak ada
lagi yang disebut kebenaran mutlak dan satu-satunya, entah itu kebenaran
agama (teologis) maupun kebenaran llmu pengetahuan. Semua yang disebut
“benar/kebenaran” terbuka untuk dikritik.
 Lahirnya budaya-budaya popular sebagai akibat logis dari penyebaran
informasi, dan teknologi secara besar-besaran dan tidak terkendalikan;
meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiper-realitas dan
simulasi, libido-pholic dan libido-nomic, pornografi tubuh, hidup yang
didominasi iklan, belanja on-line, parodi (Indonesian Idol, Stand-up Comedy,
Indonesian Raising Star, dll.)
MEDIA SOSIAL: “AGAMA BARU” YANG MELAMPAUI SEMUA BATAS

 Jika bagi orang Eropa, “sepak bola” adalah agama baru; bagi orang Amerika,
“uang” adalah agama baru, maka bagi negara-negara berkembang, media
sosial menjadi sebuah agama baru. Inilah yang disebut sejenis “beragama
tanpa Tuhan”, mengilahkan teknologi komunikasi dan informasi (hp, gadget,
dll.).
 Agama baru ini telah dan sementara menjungkirbalikkan sendi-sendi
pemikiran atau akal sehat (rasionalitas) manusia; menggiring jutaan orang
ke dunia maya, di luar realitas keseharian. Tayangan-tayangan media telah
merampas nilai-nilai kemanusiaan, teror, kekerasan, dan pembunuhan.
 Media sosial yang telah menjadi “ilah baru” yang memperbudak manusia
jika tidak disikapi dengan etika, moral, dan sipiritual, menjerumuskan
individu ke dalam sikap egoistis, ketidakpedulian terhadap sesama, dan
masa bodoh terhadap situasi di sekitarnya.
 Dengan alasan kebebasan dan pluralisme, media dapat digunakan secara
liar untuk menyebarkan sentimen beraroma suku, ras, dan agama. Tak pelak
lagi, dalam konteks yang sama, politik-politik transaksional menjadi soko-
guru dalam menyebarluaskan kepentingan suku, agama, ras, dan golongan.
TANTANGAN BAGI GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Teknologi
Komunikasi- Krisis
Informasi Kemanusiaa
memperbudak n Multiwajah
manusia

Munculnya
Polarisasi
Beragam
Politik dalam
Aliran Teologi
Gereja Kristen
TEKNOLOGI KOMUNIKASI-
INFORMASI MENJADI ILAH KRISIS KEMANUSIAAN
YANG MEMPERBUDAK MULTIWAJAH

Positif: Media komunikasi dan Budaya “serba boleh”,


informasi memudahkan gereja hilangnya kekuatan rasa malu,
dalam pelayanan serta membangun dan politik-politik transaksional.
relasi dengan warga jemaat.
Kemiskinan, ketidakadilan, dan
Negatif: Media komunikasi dan eksploitasi dengan beragam motif
informasi menjadi sarana dan tujuan.
penyebaran berita-berita bohong
yang memicu kebencian, adu- Penghancuran lingkungan
domba, bahkan konflik berdarah. ekologis untuk kepentingan
individu dan korporasi.
MUNCULNYA BERAGAM ALIRAN TEOLOGI KRISTEN
 Terjadinya pergeseran istilah “arus utama” dari gereja-gereja
warisan para zendeling dan misionaris Barat (GPM, GMIM,GMIT,
GPIB, HKBP, GKJ, GKJW, GKP, GKI-TP, dll.) kepada gereja-
gereja beraliran pentakostal, karismatik, dan post-karismatik.
 Pergeseran paradigma berteologi dalam gereja-gereja di Indonesia:
Dari teologi tradisional Barat kepada upaya-upaya merancang-
bangun (merekonstruksi) teologi-teologi lokal (kontekstualisasi,
inkulturasi.
 Kejenuhan dengan cara-cara bergereja yang dianggap kaku, sangat
ketinggalan zaman. Misalnya, dalam tata ibadah (liturgi) yang
dianggap sangat “gedung gereja sentris” menyebabkan beberapa
gereja tertentu mulai memberkati perkawinan entah di hotel, tempat
wisata, atau alam terbuka.
 Sebagai akibat dari pertama, kedua, dan ketiga adalah munculnya
beragam wajah eklesiologi atau paham tentang gereja yang memicu
perpecahan atau pemisahan dalam organisasi sinodal gereja-gereja
tertentu entah dengan dalih pemandirian atau pendewasaan.
POLARISASI POLITIK DALAM GEREJA

 Tidak tegas/kurangnya pemahaman teologis tentang


hubungan antara gereja dan politik. Politik adalah “seni
menata polis/kota”, oleh karenanya lebih menekankan
panggilan dan peranan politis gereja (bdk. Yer. 29:7)
 Dalam praktik, gereja pendeta justru memasuki ranah politik
praktis (pengurus parpol); gereja menjadi “agen” partai
politik membiarkan dirinya dijadikan sebagai kendaraan
politik pihak-pihak tertentu.
 Hakikat gereja adalah persekutuan yang merangkul jemaat
dari berbagai pilihan politik. Namun karena pelayan menjadi
bagian dari parpol maka jemaat akan terpolarisasi dalam
kepentingan-kepentingan sesaat sesuai pilihan. Jemaat
terpecah-belah dalam kelompok kepentingan.
BAGAIMANA CARA MENGGEREJA SECARA
BARU?
EMPAT GAYA MENGGEREJA MASA KINI
GAYA “SARANA TRANSPORTASI”
Hubungan antara jemaat dan pelayan
ibarat penumpang dan sopir angkutan.
Penumpang yang merasa sudah
membayar (apalagi bayar ekstra) bisa
seenaknya berbicara dan berperilaku.
Entah jalan-jalan, tidur, melamun, atau
berbicara; bersikap masa bodoh terhadap
situasi di sekitarnya, sementara “sopir”
memusatkan perhatian pada kendaraan.
Pelayan sibuk dengan tugas-tugas
administrasi organisasi, jemaat juga sibuk
dengan urusan masing-masing. Bahkan,
meskipun berada dalam satu gereja, ada
kekurangpedulian antarsesama jemaat
dan jemaat dengan pelayannya (yang
penting ke gereja, fasilitas pelayanan
tersedia, hubungan dengan pendeta cukup
saat ibadah).
GAYA “PASAR”

Ramai, riuh, kesibukan luarbiasa. Namun


Seperti yang terjadi dalam budaya pasar,
kontak atau interaksi antara kedua pihak
(pelayan dan jemaat) baru akan terjadi
apabila mereka memiliki kepentingan
yang saling menguntungkan. Gerak atau
aktivitas kedua pihak laksana penjual dan
pembeli. Akibatnya, jika salah satu pihak
(entah pelayan atau jemaat tidak merasa
diuntungkan/ mendapat keuntungan,
tidak akan aktif mengambil bagian alias
apatis. Pelayan mau melayani kalau
mendapat sesuatu dari jemaat; jemaat
mau bertemu dengan pelayan kalau ada
kepentingan. Segala sesuatu yang dibuat
dalam gereja menggunakan ukuran pasar
atau nilai jual-beli.
GAYA “PABRIK/PERUSAHAAN”
Jemaat, sebagaimana pekerja pabrik/perusahaan, memiliki kemauan
(keharusan) untuk terlibat dalam gerak kehidupan menggereja. Namun
karena hubungan antara jemaat dan pelayan cukup jauh, mungkin
akibat dari struktur yang sangat hirarkis (ibarat antara hubungan buruh
dan majikan), jemaat tidak memiliki kedekatan dengan pelayan.
Pelayan, dalam pandangan jemaat, adalah “bos” sebaliknya bagi
pelayan, jemaat adalah “buruh” yang menggantungkan hidupnya pada
pelayan.

Dalam kasus tertentu, gereja


menjadi tempat berinvestasi
(tempat penanaman modal) bagi
pihak tertentu dengan
menggunakan jasa pelayanan.
Pengurusnya adalah para pelaku
bisnis. Gereja dan ibadah tidak
lebih daripada “mesin penghasil
uang.” Bagi jemaat, ibadah dan
kegiatan gereja lainnya, sekadar
memenuhi kewajiban.
GAYA “PANTI JOMPO”
Namun, seperti penghuni panti
jompo sebagai golongan lanjut
usia yang sudah lemah dan
tidak berdaya, jemaat tidak
memiliki peran dan kekuatan
(sumber daya) seperti yang
diharapkan. Partisipasi jemaat
dalam menjalankan roda
hidup menggereja boleh
dikatakan NOL.

Berbalikan dengan “gaya


pabrik”, hubungan Pasalnya, jemaat hanya
antara pelayan/majelis diam, tidak berdaya
dan jemaat relatif dekat (karena memang dengan
bahkan sangat akrab. sengaja dimanja/tidak
Hubungan terjalin sangat diberdayakan), hanya bisa
baik, diwarnai menerima segala keputusan
komunikasi timbal-balik dan kebijakan yang diambil
yang manis. oleh Majelis Jemaat.
GAYA “ORGANISASI/LEMBAGA PENEGAKAN HUKUM”

 Pertama, lebih menekankan aspek


organisatoris. Penataan organisasi
dengan perangkatnya lebih
mendapat prioritas. Struktur
hubungan antarunit atau
departemen lebih dijaga. Akibatnya,
penataan kelembagaan dan jabatan
gerejawi menjadi tujuan utama dari
seluruh aktivitas kehidupan
menggereja. Tidak jarang, jabatan
gereja menjadi rebutan. Apapun
akan dipertaruhkan demi jabatan
gereja. Ini adalah sejenis virus yang
sedang menggerogoti gereja. Jemaat
lebih sering dikorbankan demi
organisasi dan jabatan gerejawi.
GAYA “ORGANISASI/LEMBAGA PENEGAKAN HUKUM”
 Kedua: Lebih menekankan hukum atau
keputusan-keputusan gereja. Jika dalam
bahasa pemerintah, “hukum adalah
panglima,” maka dalam gaya bergereja
ini, “semua demi peraturan”. Peraturan
gereja kemudian bisa direkayasa untuk
kepentingan segelintir orang. Aspek
pastoral atau penggembalaan
dinomorsekiankan. Jemaat kemudian
menjadi “hamba aturan” (bdk. kisah
penyembuhan orang sakit pada hari
Sabat dalam PB). Semua masalah dalam
pelayanan dipecahkan dari sisi
peraturan.
 Konsekuensinya, dalam praktik
tertentu, kasih Allah dikalahkan (atau
malah harus mengalah) demi dan untuk
menyelamatkan peraturan gereja.
Gereja menjadi tidak lebih dari lembaga
hukum.
MENGGEREJA DENGAN CARA BARU: KOMUNITAS
PERSAHABATAN

BERANI KELUAR DARI BENTENG


PERTAHANAN

Langkah pertama adalah komitmen dan


keberanian untuk keluar dari “benteng
pertahanan”. Dari “gereja benteng”,
yang secara kaku mempertahankan
kebenaran diri, menganggap dirinya
sebagai yang paling rohani dan paling
benar di hadapan; yang menganggap
pihak lain (gereja dan agama lain)
sebagai tidak benar, tidak rohani.
MENJADI GEREJA SEBAGAI “PONDOK” YANG TERBUKA
BAGI ALLAH, BAGI SESAMA, DAN BAGI DUNIA INI.

 Kata “pondok” (pandochei) diambil dari Lukas 10:35. Bukan sekedar


tempat penginapan tetapi “tempat menerima semua orang”. Dalam
manuskrip Injil Lukas berbahasa Arab (abad ke-9), kata ini diterjemahkan
dengan funduq (Aram: pundheqa).
 Dalam tulisan para bapa gereja, khususnya Ioannes Chrysostomus,
Origenes , dan Agustinus, menunjuk kepada “lokasi/ruang cinta kasih yang
harus ditawarkan oleh orang Kristen bagi dunia yang sedang mengembara”
 Tugas kita adalah menjadikan gereja sebagai ruang atau pondok yang selalu
terbuka bagi para pengembara yaitu sesama yang sekaligus orang asing
bagi kita.
 Menjadikan gereja sebagai “pondok terbuka” yang di dalamnya kita
menjadi pengelola yang menghadirkan keramahtamahan bukan sesuatu
tugas yang mudah, karena mengandung resiko: Arogansi dan egoisme
eklesial atau denominasional , kesukuan, doktrinal, adalah ancaman serius.
PONDOK: PERSEKUTUAN ORANG BERSAUDARA
RELASIONAL: PERSEKUTUAN ORANG BERSAUDARA

 Gereja adalah “persekutuan orang bersaudara” (Gal. 3:28)


 Orang-orang bersaudara ini tinggal dalam satu rumah tangga milik Allah
(Ef. 2: 19).
 Di dalam satu rumah inilah persahabatan yang terbuka itu dibangun
dalam suasana saling menopang dan saling berbagi (Kis. 2:41-47, bdk.
1Kor. 12: 12-31).
 “Seorang sahabat adalah seseorang yang sama seperti Anda” (bdk. Mat.
22: 37-39; 1Yoh. 3: 11-18; 4:7-21).
 Persahabatan adalah sebuah relasi personal yang terbuka yang
mengalahkan segala prasangka dan kebencian, mjisalnya persahabatan
antara Daud dan Yonatan (1Sam. 18: 1-5).
 Persahabatan melampaui cinta sepasang kekasih, eros, dan belas kasihan
menggabungkan dua hal: kasih sayang dan penghargaan yang tulus (Ams.
17:17).
OPEN FRIENDSHIP
THE FRIENDSHIP CHURCH

 “Bukan lagi hamba tetapi sahabat” (Yoh. 15:14)


 Allah adalah Sahabat sejati; di dalam Dia ada persahabatan sejati
 Persahabatan dengan Allah di dalam Kristus melampaui hubungan
seorang hamba dengan tuannya
 Ketika kita sebagai gereja menyapa Yesus selaku Sahabat, “Yesus adalah
sahabatku”, kita sedang mengakui Yesus sebagai “sahabat kita”, “sahabat
dunia” dan bahkan “sahabat orang berdosa”
 Dalam Gereja, persahabatan kita adalah persahabatan inklusif, yang
melampaui segala sentimen suku, agama, denominasi Kristen, jenis
kelamin, keadaan fisik, warna kulit, dan sebagainya.
 Jika gereja adalah milik Kristus maka seluruh kehidupan, kehadiran, dan
karya gereja, harus sungguh-sungguh mencerminkan hakikat Kristus yang
hadir bagi semua orang; Dia yang membiarkan tubuhnya dijamah oleh
para pendosa, mereka yang dianggap asing, tamu, dan menerima mereka
sebagai para sahabat-Nya.
GEREJA: “PONDOK YANG TERBUKA”

 Kata “pondok” (pandochei) diambil dari Lukas 10:35. Bukan sekedar


tempat penginapan tetapi “tempat menerima semua orang”. Dalam
manuskrip Injil Lukas berbahasa Arab (abad ke-9), kata ini diterjemahkan
dengan funduq (Aram: pundheqa).
 Dalam tulisan para bapa gereja, khususnya Ioannes Chrysostomus,
Origenes , dan Agustinus, menunjuk kepada “lokasi/ruang cinta kasih
yang harus ditawarkan oleh orang Kristen bagi dunia yang sedang
mengembara”
 Tugas kita adalah menjadikan gereja sebagai ruang atau pondok yang
selalu terbuka bagi para pengembara yaitu sesama yang sekaligus orang
asing bagi kita.
 Menjadikan gereja sebagai “pondok terbuka” yang di dalamnya kita
menjadi pengelola yang menghadirkan keramahtamahan bukan sesuatu
tugas yang mudah, karena mengandung resiko: Arogansi dan egoisme
eklesial atau denominasional , kesukuan, doktrinal, adalah ancaman
serius.
RELASI TRINITARIAN SEBAGAI MODEL
MENGGEREJA
MENJADIKAN “ORANG ASING DAN TAMU” SEBAGAI
SAHABAT

 “Bukan lagi hamba tetapi sahabat” (Yoh. 15:14)


 Allah adalah Sahabat sejati; di dalam Dia ada persahabatan sejati
 Persahabatan dengan Allah di dalam Kristus melampaui hubungan
seorang hamba dengan tuannya
 Ketika kita sebagai gereja menyapa Yesus selaku Sahabat, “Yesus adalah
sahabatku”, kita sedang mengakui Yesus sebagai “sahabat kita”, “sahabat
dunia” dan bahkan “sahabat orang berdosa”
 Dalam Gereja, persahabatan kita adalah persahabatan inklusif, yang
melampaui segala sentimen suku, agama, denominasi Kristen, jenis
kelamin, keadaan fisik, warna kulit, dan sebagainya.
 Jika gereja adalah milik Kristus maka seluruh kehidupan, kehadiran, dan
karya gereja, harus sungguh-sungguh mencerminkan hakikat Kristus
yang hadir bagi semua orang; Dia yang membiarkan tubuhnya dijamah
oleh para pendosa, mereka yang dianggap asing, tamu, dan menerima
mereka sebagai para sahabat-Nya.
RELASI TRINITARIAN SEBAGAI MODEL
MENGGEREJA
RELASI TRINITARIAN SEBAGAI MODEL
MENGGEREJA
 Relasi antaroknum Trinitas bukanlah relasi hirarkis (bertingkat): Bapa lebih
tinggi dari Anak (Yesus Kristus), dan Roh lebih rendah dari Anak (Yesus
Kristus; Atau bertahap: Bapa Pencipta, Anak (Yesus Kristus) menebus, dan Roh
memelihara dan dengan demikian masa kini disebut sebagai “zaman Roh
Kudus” (bnd. Pengakuan Iman Rasuli).
 Relasi antaroknum Trinitas juga bukan relasi biologis (Bapa melahirkan Anak,
dan Roh Keluar dari Bapa) sebagaimana tampak dalam rumusan Pengakuan
Iman Nicea-Konstantinopel.
 Relasi antaroknum Trinitas adalah perikoretis (Yunani. Perichoresis; Latin:
Circumsessio), yakni “saling mengambil bagian di dalam keberadaan” (bnd.
Konsep “Tat Twam Asi” (Aku adalah engkau, engkau adalah aku). Dalam pola
relasi perikoretis ini, karakter trinitarian yang diperlihatkan adalah TRINITAS
SOSIAL bukan TRINITAS EKONOMI;“apalagi TRITEISME. Hakikatnya
adalah:
RELASI TRINITARIAN SEBAGAI MODEL
MENGGEREJA
 Setara, non-hirakis (Trinitas Sosial). Model atau pola relasi ini merupakan
konsekuensi tak terelakkan dari keberadaan Trinitas, yakni saling memberi
ruang partisipasi.
 Karakter saling memberi ruang partisipasi ini berlaku tidak hanya antara
oknum trinitarian, tetapi bahkan bagi seluruh ciptaan-Nya.
 Dalam teologi Kristen dikenal dengan istilah panenteisme: Allah Trinitas
adalah Dia yang hadir di dalam segala ciptaan. Ia merengkuh segala ciptaan
yang berbeda itu tanpa kecuali; menghisapkan segala ciptaan ke dalam
pergerakan trinitarian yang dinamis, sebuah pergerakan siklis atau melingkar
dan senantiasa diperbarui, sebuah pergerakan tanpa akhir (1Kor. 15:28).
 Model pergerakan partisipatif inilah yang dikenal dengan nama “Tarian
Trinitaris”, ya, segala ciptaan direngkuh dan dilibatkan di dalam sebuah tarian
Ilahi. Pemrakarsa tarian ilahi itu adalah Allah Tritunggal.
BAGAIMANA MENGGEREJA DI GMIT?
BAGAIMANA MENGGEREJA DI GMIT?
 Dengan memakai logo di atas, GMIT sesungguhnya sepakat serta
menerima sebuah eklesiologi trinitarian.
 Konsekuensi teologis-eklesiologis dari penerimaan tersebut adalah
bahwa seluruh pemahaman dan praktik menggereja GMIT harus
mencerminkan pola relasi trinitarian sebagaimana telah
digambarkan di atas: Setara dan saling memberi ruang partisipasi.
 Pemberlakuan pola relasi trinitarian di seluruh aras pelayanan
GMIT dengan sendirinya bahkan sekaligus menjadi batu ujian
bagi warga GMIT: Apakah sudah dihidupi dan menghidupi tema
pelayanan GMIT: YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN.
BAGAIMANA MENGGEREJA DI GMIT?
 Ada dua metafora yang menggambarkan keberadaan GMIT,
yakni: Familia Dei (Keluarga Allah) dan Rumah Bersama.
Kedua metafora ini tidak dapat malah tidak boleh dipisahkan.
 Baik Familia Dei maupun “Rumah Bersama” mengacu pada
pernyataan Paulus: “
 Karekter dasarnya adalah “saling memberi ruang, duduk
bersama laksana di sekeliling meja makan, berdialog,
bersinergi, membangun visi bersama, dan mewujudkan visi
itu di dalam misi/aksi bersama”. Tidak boleh ada sesorangpun
yang terabaikan di dalam ruang partisipasi ini trinitarian ini.
RELASI TRINITARIAN SEBAGAI MODEL
MENGGEREJA
TERIMA KASIH

SAMPAI JUMPA
TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA

Anda mungkin juga menyukai