Anda di halaman 1dari 25

1

I. JUDUL:
“KEKRISTENAN DI ERA ABAD KE-21; SERTA
IMPLIKASINYA BAGI JEMAAT GMIBM BETHESDA GUAAN”

II. BIDANG ILMU:


DOGMATIKA

III. Latar belakang

Dewasa ini, dunia yang kita pijaki, berada pada suatu era yang menuntut
setiap individunya untuk meninggalkan segala hal-hal yang bersifat kebiasaan lama
dan mulai merevisinya dengan suatu tatanan dan sistem yang baru. Dapat dilihat pada
keadaan yang terjadi sekarang ini, hal-hal yang tadinya diminati oleh khalayak ramai,
sekarang perlahan mulai di tinggalkan oleh para peminatnya. Hal-hal yang tadinya di
sukai oleh orang-orang pada umumnya, sekarang telah mulai ditinggalkan dan mulai
beralih kepada suatu cara atau tatanan yang di anggap lebih baru. Itulah yang
dinamakan sebuah masa peralihan dari era modern menuju kepada suatu era baru,
yang dinamakan era postmodern.

Sejak lahirnya, gereja Kristen selalu terlibat dalam peperangan yang meliputi
ide-ide, teori-terori, sistem-sistem pemikiran dan argumen-argumen sehingga gereja
harus benar-benar berupaya untuk menjawab setiap perubahan-perubahan yang
terjadi sehingga kebenaran yang berdasarkan firman Allah tetap di pengang teguh.
Perang ini terus berlanjut di sepanjang abad-abad awal Gereja seiring perlawanan
para bapa-bapa Gereja terhadap penyebaran ajaran sesat. Pada abad pertengahan
tokoh-tokoh reformator gereja juga melakukan demkian menyangkut upaya untuk
menyelamatkan kemurnian iman Perjanjian Baru dari ajaran-ajaran sesat yang telah
merembet masuk kedalam Gereja selama abad Pertengahan. Pada abad ke-18, perang
ini timbul karena bangkitnya sikap tidak percaya dari gerakan pencerahan. Di abad
ke-19, Gereja menghadapi tantangan terhadap otoritas Alkitab dan masalah yang
ditimbulkan oleh Darwinisme dan ilmu pengetahuan yang berkembang tentang isu-

Fakultas Teologi UKIT


2

isu epistemologi. Pada awal abad ke-20, orang Kristen berjuang melawan
modernisme agama. Pada era ini, gereja diperhadapkan dengan suatu era, yang di
sebut era postmodern.

Era abad ke-21 ditandai dengan perkembangan teknologi yang pesat dan
perkembangan sistem informasi yang tidak bisa dibendung. Kekristenan berada di
tengah-tengah dunia yang berubah dan berkembang dengan cepat. Suka atau tidak,
diterima atau ditolak perubahan itu, niscaya akan senang tiasa terjadi, dan tidak
seorangpun mampu menghalanginya. Kemajuan teknologi, perubahan dan
perkembangan yang telah memasuki seluruh lapisan masyarakat dapat menimbulkan
dampak negatif dan positif juga dapat meimbulkan permasalahan-permasalahan
sosiologis dan psikis.

Dari setiap perkembangan, perubahan pemikiran manusia merasa bahwa


semua yang mereka perlukan bisa diperoleh dengan mudah dan cepat sehingga
manusia tidak lagi mengandalkan Tuhan. Manusia sudah bisa mengandalkan
kepinterannya sendiri sehingga tidak lagi membutuhkan campur tangan Allah dalam
kehidupan.

Kekristenan meyakini otoritas kebenaran Alkitab. Bila tidak ada kebenaran


mutlak, lalu apa yang menjadi dsar iman Kristen? Jika Allah Tritunggal tidak ada dan
bukan kebenaran yang mutlak, bagaima dengan kita manusia? Alkitab dan Allah
Tritunggal adalah kebenaran yang final. Tetapi gereja sedang hidup dan berkembang
di tengah-tengah dunia yang terus berubah diterpa berbagai krisis multidimensi.
Menghadapi lajunya perubahan dunia di era postmodern, nilai kehidupan merosot
semakin menjauh dari standar Kekristenan yang sesuai dengan Firman Allah.

Meledaknya industri media massa dan elektronik yang dapat di akses dan
dikonsumsi oleh publik dengan mudah, kondisi semacam itu pada akhirnya
menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma bagaikan agama dan tuhan yang baru. Artinya
sikap dan perilaku manusia tidak lagi di tentukan nilai moralitas agama sebagai

Fakultas Teologi UKIT


3

standar hidup, tetapi kebenaran dan kesalahan di atur dan ditentukan oleh media
massa.

Masyarakat postmodern yang cenderung egois, relativisme, materialistis,


individualistis, pragmatis, sekularis, kerapuhan iman, hedonism, konsumerisme,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan, meledaknya industri media massa, yang
dapat di akses dan dikonsumsi oleh publik dengan mudah, menjadi tantangan bagi
gereja dewasa ini.

Ketika penulis berkunjung ke salah satu desa yang berada di Tondano.


Terlihat masyarakat di desa pada saat itu menjalani hari-hari mereka seperti biasa,
dengan rutinitas, kesibukan masing-masing yang memberi kesan normal seperti
halnya dalam masyarakat perkotaan pada umumnya. Tetapi hari-hari itu bukanlah
hari-hari yang normal dan kesibukan sehari-hari yang biasa terjadi, semua distraksi
yang biasa mewarnai keseharian menjadi lenyap, ketika penulis terhenti di salah satu
rumah keluarga di desa itu. Terasa tidak layak, tidak pantas, tempat tinggal yang
hanya terbuat dari bambu dengan atap yang terlihat berlubang-lubang yang sudah
tidak layak lagi dihuni. Di hadapan tragedi yang menyesakkan hati dan terpampang
jelas dimata. Kebencian, kelaparan, tangisan kesakitan dari anak-anak, terlihat
keputusasaan dari raut wajah seorang bapak, tetapi berusaha bertahan untuk
menghidupi anak-anaknya.

Dari peristiwa yang begitu mengganggu secara psikologis ini membuat


sejumlah masalah lain menjadi jelas. Pertama, sudah menjadi fakta bahwa meskipun
ada banyak pembicaraan tentang bagaimana gereja merangkul orang-orang yang
seperti ini, dan bahwa gereja tidak jauh berbeda dibandingkan sebulumnya dan
secarah moral dan spiritual masih tanpa arah. Kedua, kejadian ini memberi sorotan
kepada gereja khususnya para pendeta-pendeta, jemaat dewasa ini yang secara moral
dan spiritual masih tanpa arah, karena ini bukan suatu pemandangan yang
membahagiakan. Karena apa yang sudah sangat jelas kekurangannya, dimana gereja,
warga jemaat dewasa ini, adalah kualitas kerohaniannya, yang setara dengan kualitas
kedalam dari kejahatan untuk orang-orang yang tidak segan-segan membunuh

Fakultas Teologi UKIT


4

sesamanya. Kebanyakan pemimpin, pendeta dan jemaat dewasa ini, terlalu asyik
dengan mengurusih kepentingan dan kemauan diri sendiri.

Individualisme yang menempatkan individu sebagai realitas yang berdiri


sendiri dan yang bergerak bebas dengan kemauannya untuk menciptakan dunianya
sendiri, berbuat sesuatu semaunya tampa mementingkan orang-orang yang berada
disekitarnya. Umat kristen tidak lagi berpikir secarah kristen. Apa yang menjadi inti
iman tidak lagi menentukan sikap dan tingkah laku dalam kehidupannya. Meskipun
mengakui kepentingan mutlak dari inkarnasi Anak Allah misalnya, dalam hati
muncul kejujuran eksistensialistik yang mengatakan: Kalaupun aku tidak percaya
akan inkarnasi Anak Allah, itupun tidak mengubah apa-apa. Pembunuhan, aborsi, dan
sebagainya marak terjadi, dan yang paling mengecewakan, bahwa mereka tidak lagi
takut dengan hal itu, karena mereka mempunyai perspektif sendiri tentang apa yang
telah mereka lakukan. Belum tentu apa yang anda aggap salah, itu salah dalam
perspektif saya dan belum tentu apa yang anda anggap benar, benar dalam perspektif
saya.

Nihilisme yang beroperasi dengan menyangkal adanya dasar pijak objektif


untuk percaya adanya sesuatu yang benar, atau hanya berasumsi bahwa tidak seorang
pun yang memercayainya. Tidak ada kerangka yang dapat dipegang dan jika ada, kita
tidak dapat menangkap dengan penglihatan kognitif kita. Hal ini mengambil bentuk
pandangan yang tidak dapat diketahui secara pasti sehingga apa yang benar dana apa
yang tidak, tidak dapat di bedakan, dan bahwa semua pengetahuan hanyalah
konstruksi internal yang hasilnya selalu bersifat sementara dan pada akhirnya
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang nyata. Dengan tiadanya realitas
dimana kebenaran dapat di dasarkan, maka yang tersisa dalam kehidupan hanyalah
kekuasaan, seperti yang di lihat dengan sangat jelas oleh Nietzsche.

Secarah tidak langsung, ini menjadi suatu gambaran realitas dimana


perubahan budaya dan cara berpikir bukan hanya terjadi di dunia barat dan beberapa
negera di eropa, tetapi juga telah mempengaruhi kehidupan gereja dan jemaat dewasa

Fakultas Teologi UKIT


5

ini. Ini juga menjadi fakta bahwa budaya kontemporer di mana gereja (GMIM)
bertumbuh sudah berada di suatu era yang baru, yaitu era postmodern yang tidak
hanya terjadi di dunia barat, disadari atau tidak.

Kita tahu bahwa kebenaran yang sejati adalah Allah Tritunggal, yang benar,
yang tidak terbatas dalam spiritual-Nya, telah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa
dalam Firman-Nya yang tertulis, dalam Firman-Nya yang berinkarnasi, dan dalam
Roh Kudus-Nya. Walaupun banyak perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman,
Allah tetap mengambil kendali dan Ia mempunyai kuasa dalam kehidupan manusia.
Gereja sebagai milik Tuhan akan tetap utuh. Seperti perkataan Yesus: “Mereka
(gereja) bukan dari dunia sama seperti Aku bukan dari dunia (Yoh. 17:16). Bagian ini
meneguhkan posisi orang beriman sebagai milik Tuhan yang telah dilahirkan dari
atas (Yoh. 3:3-5), tetapi tidak memisahkan gereja dari dunia serta terasing dari dunia
pemberian Allah ini. Memang kenyataan ini tidak membebaskan gereja dari dampak
postmodern, sebab gereja merupakan bagian utuh dari dunia dimana ia ada.

Dari masalah yang diuraikan di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan
memberi judul:

“Kekristenan di era Abad ke-21; Serta Implikasinya bagi Jemaat


GMIBM Bethesda”

Fakultas Teologi UKIT


6

IV. IDENTIFIKASI MASALAH


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat di
identifikasikan sebagai berikut:
a) Postmodern telah menjadi realitas dalam gereja dewasa ini.
Walaupun tidak disadari.
b) Kekristenan sudah tidak lagi berpikir secarah Kristen.
c) Apa yang menjadi inti iman tidak lagi menentukan sikap dan
tingkah laku dalam kehidupan.
d) Nilai kehidupan merosot semakin menjauh dari standar
Kekristenan yang sesuai dengan Firman Allah.

V. FOKUS PENELITIAN
Dari masalah-masalah yang diuraikan di atas, maka peneliti hanya
berfokus pada masalah dalam penelitian terhadap realitas jemaat kristen di
era abad ke-21 ?

VI. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu: tidak memahami Kekristenan yang
sesungguhnya dan realitas postmodern dalam kehidupan Gereja dewasa
ini, disadari atau tidak disadari ?

VII. TUJUAN PENELITITAN


Penelitian ini bertujuan untuk:
a) Memampukan jemaat Kristen untuk menghadapi perkembangan
dan perubahan paradigma di era abad ke-21.
b) Memampukan jemaat Kristen untuk memahami bahwa Kristus
tetap memegang kendali kehidupan manusia, dan tetap

Fakultas Teologi UKIT


7

mempertahankan kemurnian imannya dalam Kristus, di masa yang


terus menerus berubah.
c) Menjelaskan cara hidup kekristenan yang berdasarkan Firman
Allah.
d) Menjelaskan realitas di era abad ke-21 ini.

VIII. Manfaat Penelitian


 Bagi Gereja, jemaat Kristen dewasa ini, agar dapat
mempertahankan kemurnian imannya di tengah-tengah
perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan filsafat di masa
yang terus menurus berubah.

IX. SISTEMATIKA PENULISAN


BAB 1 Pendahuluan
Dalam pendahuluan di ungkapkan tentang beberapa hal pokok sebagai
pengantar untuk dapat masuk pada bagian pembahasan yang terdiri dari:
Latar belakang masalah, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Manfaat Penelitian. Bagian pendahuluan ini bertujuan untuk
memberikan dasar pemikiran bagi penulisan ini.

BAB 2 Kajian Pustaka


Pada bagian ini penulis mengkaji tentang, Kekristenan yang
sesungguhnya dan Postmodern, latar belakangnya dan bagaimana ia
pempengaruhi Kekristenan. Maksud dari bab ini untuk memberikan
pemahaman dan landasan teori dalam rangka memahami permasalahan
yang ada.

BAB 3 Metodelogi Penelitian


Dalam bab ini, penguraian tujuan penelitian serta tahap – tahapan
dalam penelitian seperti observasi, wawancara, studi kepustakaan, teknik

Fakultas Teologi UKIT


8

pengumpumpulan data dan metode yang digunakan untuk menguraikan


hasil dan analisis dari penelitian.

BAB 4 Hasil Penelitian


Dalam bab ini menjelaskan serta menguraikan tentang realitas
kehidupan manusia dalam kaitannya dengan postmodern. Juga
menguraikan mengenai cara hidup kekristenan yang sesuai dengan
kehendak Tuhan.

BAB 5 Penutup
Sebagai penutup dari keseluruhan karya tulis ini, maka penulis
membuat kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang di
angkat, dan saran-saran yang kiranya dapat membangun kesadaran bagi
jemaat masa kini khususnya GMIM bahkan bagi gereja secara umum.

X. TINJAUAN PUSTAKA

POSTMODERN

Pengertian dan Klasifikasi

David Wells mengamati bahwa ada dua macam realitas yang saat ini
sedang mentranformasi kebudayaan: munculnya etos postmodern dan gerakan yang
kuat dari keanekaragaman etnis dan agama di dunia barat. Kedua pokok pembahasan
ini sedang mengubah konteks kebudayaan yang didalamnya gereja hidup, bergerak
dan memiliki keberadaannya.1

Menurut Stanley J. Grenz, dunia sedang mengalami pergeseran paradigma:


zaman modern ke zaman postmodern dan postmodern merupakan penolakan terhadap

1
John Piper, Justin Taylor, Supremasi Kristus dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum,
2014), hlm. 2

Fakultas Teologi UKIT


9

cara pikir orang modern2 dan postmodern telah menjadi suatu realitas sosial di abad
ke-21 ini.3

Postmodern hakikatnya istilah yang masih kontreversial. Tonggak sejarah


Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk
apa. Ia merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-
benihnya telah ada pada zaman modern. Tapi meskipun terjadi perdebatan tentang hal
itu, asumsi yang diterima umum adalah bahwa pertanda bangkitnya postmodern
adalah berakhirnya modernitas. Postmodern pada dasarnya mengkritisi ilmu
pengetahuan modern yang di anggap tidak memadai lagi. Seperti awalan post dalam
postmodernisme sebagai penolakan terhadap modern, membuang paham yang
dipegang dan yang dibungkus oleh kemodernan, memalingkan diri dari pokok-pokok
definitif dari modern.4

Postmodernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat sebagai


sejarah baru menyusul era modern. Postmodernisme mengacu pada produk kultural di
bidang kesenian, film, arsitektur, dan sebagainya yang berbeda dengan produk
kultural modern. Sedangkan postmodern mengacu pada cara berpikir yang berbeda
dari cara berpikir modern.5

Beberapa Pemikir Postmodern

Michel Foucault (1926-1984)

Menurut Foucault, masyarakat menjadi subjek-subjek yang diciptakan oleh sistem


dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari oleh sang subjek. Menrut
Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling
mempengaruhi secara langsung satu sama lain. Metafor utama Foucault adalah bahwa

2
Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2001), hlm 8,9
3
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 1
4
Sumakul, hlm. 8
5
Grenz, hlm. 9

Fakultas Teologi UKIT


10

masyarakat itu mirip ponoptikon, suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa
di awasi terus menerus.

Dalam pembahasan tentang wacana (discourse), wacana dapat dideteksi


secara sistematis sebagai suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup, yang di
bentuk dalam suatu konteks tertentu, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan
bertindak tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan
tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kekuasaan dalam pandangan Foucault
disalurkan melalui hubungan sosial, dimana katagorisasi prilaku sebagai baik atau
buru diproduksi, yang pada akhirnya dipakai sebagai pengendali prilaku. 6

Manusia ditafsir menurut teks. Ini tentu sangat dipengaruhi oleh


strukturalisme. Dalam post strukturalisme, teks atau diskursus bukanlah struktur
terpadu yang tunggal tetapi merupakan kompleksitas. 7

Jean Baudrillard (1929-2007)

Baudrillard, melukiskan kehidupan postmodern ditandai dengan simulasi. Proses


simulasi mengarah pada penciptaan simulacra atau reproduksi objek dan atau
peristiwa. Menurutnya terjadi kekaburan antara tanda dan realitas, sehingga semakin
sukar mengenali yang asli dengan yang tiruan. Semiurgi sedang mendominasi
masyarakat postmodern. 8 Larutya TV ke dalam kehidupan, dan larutnya kehidupan
ke dalam TV. Antara yang nyata dengan yang tidak nyata bercampur aduk sulit
dibedakan. Akhirnya simulasi yang menggambarkan sesuatu yang nyata, yang
menjadi utama, dan berkuasa.

Baudrillard melukiskan kehidupan postmodern ini dengan istilah hiper


reality, di mana media berhenti menjadi cermin realitas, tetapi justru menjadi realitas
itu sendiri. Apa yang ada di media itulah yang diperlakukan sebagai realitas.

6
Ritzer George, Goodman, Doglas J, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana 2004), hlm. 620
7
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 32
8
Sumakul, hlm. 55

Fakultas Teologi UKIT


11

Kebohongan dan distorsi yang dijajakan media kepada khalayak adalah hiper
realitas.9

Baudrillard menggambarkan runtuhnya sekat antara keenyataan dan simulasi.


Ini termasuk media dengan kehidupan sosial, sehingga baginya televisi adalah dunia
hiper realitas. Televisi mensimulasikan situasi kehidupan nyata, sangat kurang
mempresentasikan dunia ketimbang menjalankan dunianya sendiri.10

Apa yang nyata disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali. Kini
semakin mustahil untuk membedakan yang nyata dari sekedar tontonan. Dalam
kehidupan nyata, kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiperriil.11

Istilah simulacra dan hyper reality merupakan keyword dari pemikiran


Baudrillard dalam menggambarkan kehidupan postmodern dengan peran media
massanya.

Jean Francois Lyotard (1928-1998)

Menurut Lyotard dasar-dasar esensialis dari semua grand narrative tidak bisa di
percaya lagi. Secarah umum semua narasi adalah permainan bahasa belaka.
Postmodern menurutnya adalah upaya adalah memerangi totalitas, dan
menghidupkan perbedaan. Postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif
teoritis yang berbeda-beda.12

Dalam tulisannya, Just Gaming, Lyotard menjelaskan bahwa keadilan adalah


permainan yang diatur oleh peraturan dan pemberlakuan otonomi peraturan dalam
perminan bahasa (teori, etika, dan sebagainya) yang berbeda-beda. Bagi Lyotard,
keadilan hanya berlaku lokal, beraneka, bersifat sementara, dan tunduk pada
pertandingan serta transformasi. Jadi, keadilan hanya ada dan bergerak dalam
mempertimbangkan suatu konteks dan sifatnya taktis.13

9
Awalan hiper berarti lebih nyata ketimbang kenyataan.
10
Chris Barker, Cultural Studies: teori dan praktek, (Yogyakarta: Kreasi Wacana 2004), hlm. 16
11
Dave Robinson, Nietzsche dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Jendela 2002), hlm. 44
12
Ritzer, George, Teori-teori Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 94
13
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 40

Fakultas Teologi UKIT


12

Jacques Derrida (1930-2004)

Dalam sistem pemikiran barat, khususnya dalam eksistensialisme Heidegger,


kehadiran merupakan tanda. Artinya, jika kita menyebut sesuatu, sesuatu yang
disebut itu menjadi hadir. Namun bagi Derrida, ia justru mebalikkan atau
membongkar (dekonstruksi) logosentrisme itu dengan mengatakan bahwa tanda
mendahului kehadiran. Bekas-bekas yang merupakan tanda mendahului kehadiran.
Kalau kehadiran mendahului bekas, kehadiran itu sendiri pun belum merupakan
orisinalitas14 dari suatu objek. Ini sama seperti dalam teks (naskah). Teks bukan
hanya terbatas dalam naskah tulisan, melainkan juga dengan bahasa lisan dan sistem
pemikiran yang mencair yang berlaku dalam masyarakat. Teks sendiri bukanlah
orisonalitas dari suatu objek melainkan merupakan tenunan.15

Richard Rorty (1931-2007)

Menurut Rorty tidak ada epistimologi universal yang mungkin ada karena semua
klaim kebenaran dibentuk di dalam diskursus. Tidak ada akses kepada dunia objek
independen yang bebas dari bahasa dan tidak ada sudut pandang yang digunakan
untuk menilai klaim secara netral. Tidak ada landasan filosofis universal bagi
pemikiran atau tindakan munusia. Seluruh kebanaran terikat pada budaya. Konsep
kebenaran tidak memiliki daya eksplanatoris, 16 hanya sebagai suatu tingkat
persetujuan sosial dari suatu tradisi budaya.

Pandangan Postmodern Tentang Agama

Teori postmodern tentang nilai dan penggusuran tendensi yang


mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai. Doktrin
penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche
adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power Nietzsche menggambarkan
nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”,

14
Orisinalitas dalam KBBI adalah, keabsahan, keaslian, kemurnian, kesahihan, kesejatian, otentitas.
15
Sumakul, hlm. 26
16

Fakultas Teologi UKIT


13

artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Menuju suatu titik
dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai
makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang
metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine). 17

Dalam terminologi Nietzsche perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai


berbentuk apa yang dia istilahkan “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilisme
bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang
dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan
merupakan fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti
yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana
kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai
yang subyektif yang boleh jadi salah seperti mana kepercayaan dan opini manusia
yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah
kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari
itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran.18

Beberapa pemikir postmodern memandang teks menjadi dunia atau realitas.


Hasil dari interpretasi ini, persepsi menjadi berbeda-beda. Kaum dekonstruksionis
mengatahkan bahwa makna tidak terdapat dalam teks. Makna hanya muncul apabila
sang penafsir masuk dalam suasana dialog dalam teks itu. Karena makna sebuah teks
bergantung kepada sudut pandang setiap penafsir yang berbeda-beda, maka
maknanya juga berbeda-beda dan beraneka ragam.19

Tidak ada kebenaran tunggal yang sah. Di era postmodern segala sesuatu
direduksi menjadi nilai yang relatif, yang berimplikasi pada adanya kemungkinan
penafsiran terhadap realitas secara tak terbatas, maka di sana tidak ada lagi nilai yang
diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan
17
Gianni Vattimo, The End of Modernity, hlm. 167, Kutipan dalam http://hamidfahmy.com/agama-
dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25
18
Nietzsche F, Will to Power, hlm. 8,9 Kutipan dalam http://hamidfahmy.com/agama-dalam-
pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25
19
Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2001), hlm 14

Fakultas Teologi UKIT


14

terlibat dalam kerja intepretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya.
Di sini agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-
sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah di formulasikan oleh para
filosof.

Jadi agama dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang
tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu ia mempunyai status yang kurang
lebih sama dengan filsafat.

Tujuan teori dekonstruksi Deridda untuk memampukan individu dan


masyarakat untuk menyadari bahwa manusialah yang menciptakan dunia mereka
sendiri dan tidak ada yang transcendent, permanen, alamiah, atau supernatural
mengenai dunia ciptaan ini, karena segala sesuatu, manusia yang mengaturnya.20

Berpikir Secara Alkitabiah

Apa itu kebenaran?

Jika ada sesuatu yang dinamakan kebenaran, bagaimana kita akan


mendefinisikannya? Definisi klasik yang muncul di abad pertengahan adalah ini:
kebenaran adalah kesepadanan antara suatu objek dan pengetahuan kita tentang objek
itu (veritas est adaequatio rei et intellectus). Yang dikatakan tentang sesuatu harus
secarah persis merefleksikan keberadaannya barulah pernyataan itu benar.21

Pengertian tentang kebenaran ini menghasilkan dua asumsi. Yang pertama adalah
eksistensi dari suatu dunia objektif yang dapat di amati diluar subjek manusia. Dunia
ini bukanlah konstruksi dari pikiran, seperti yang cenderung dipikirkan oleh filsafat
timur atau filsafat barat tertentu. Kedua, diasumsikan bahwa kita bisa mengetahui
peristiwa-peristiwa tentang kehidupan dengan suatu cara yang cocok dengan apa
20
David K. Naugle, Wawasan Dunia: sejarah sebuah konsep (sebuah pandangan Kristen), (Surabaya:
Momentum, 2010), hlm. 106
21
David F. Wells, Keberanian Menjadai Protestan: Para Pecinta Kebenaran, Para Pemasar, dan
Para Emergent di dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum, 2014), hlm. 81

Fakultas Teologi UKIT


15

yang terjadi, meskipun kita mungkin salah. Bahkan, kita perlu melangkah lebih jauh
dan mengatakan bahwa kita bisa mngetahui peristiwa-peristiwa kehidupan dengan
benar meskipun tidak secarah sempurna, sebab jika demikian kita tidak bisa
mengetahui apa pun karena hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu secara
sempurna.22

Kebenaran Kristen

Pengertian Kristen tentang kebenaran berdarkan wahyu yang telah Allah


sediakan di dalam Firman-Nya yang alkitabiah, bahwa kita bisah mngenal karakter-
Nya dan maksud-maksud-Nya sesuai dengan kebenaran yang sebenarnya. Sudah
tentu para, para penulis Kitab Suci yang adalah manusia mungkin melakukan
kesalahan. Namun demikian, karya Roh di dalam inspirasi memiliki arti bahwa Ia
telah menjamin di sepanjang tulisan mereka, terlepas dari kemungkinan mereka untuk
melakukan kesalahan, terdapatnya suatu kesepadanan antara apa yang mereka
tuliskan dan keadaan yang sebenarnya.23

Menurut Yohanes Calvin, kesaksian di dalam Roh Kudus di dalam diri orang
percaya, yang bekerja melalui dan dengan Firman dalam hatinya, meneguhkan orang
percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Kitab suci diperlukan sebagai
Pembimbing dan Guru bagi siapa pun yang mau datang kepada Allah sang Pencipta.24

Hasilnya adalah suatu wahyu yang benar. Wahyu ini merefleksikan siapa
Allah. Karena Ia sepenuhnya murni di dalam karakter-Nya, mustahil bagi-Nya untuk
berbohong (Ibr. 6:18; bdk. 2 Tim. 2:13, Tit. 1:2; 1 Yoh. 1:5). Kita kadang-kadang
sengaja berbohong dan tidak mengatakan kebenaran, tetapi sepenuhnya mustahil bagi
Allah. Ia tidak bisa menjadi apa yang bukan diri-Nya, yaitu kudus. Ia tidak mungkin
bisa memberikan kepada kita “kebenaran” yang tidak benar. Dan karena Ia mahatahu,

22
Wells, hlm. 82
23
Wells, hlm. 84
24
David W. Hall, Peter A. Lillback, Penuntun ke dalam Theologi Institutes Calvin, (Surabaya:
Momentum, 2009), hlm. 52, 59

Fakultas Teologi UKIT


16

dan telah mengetahui akhirnya sejak permulaan, adalah mustahil bagi Dia untuk
melakukan kesalahan seperti yang sering kali dilakukan manusia.

Saat abad ke-21 itu dimulai di barat, sebagian dari kekacauan itu adalah
pengertian bahwa kehidupan tidak memiliki pusat, bahwa kehidupan itu tidak
memiliki makna.25

Jawaban alkitabiah tentang mengapa kita telah kehilangan pusat dan


kehidupan tidak memiliki makna, ini berkaitan dengan natur manusia dan dosa.
Pusatnya belum hilang. Yang telah hilang adalah kemampuan kita untuk melihatnya,
untuk mengenalinya, untuk tunduk di hadapannya, untuk menata kembali kehidupan
kita dalam kaitan dengannya, untuk melakukan apa yang harus kita lakukan sebagai
orang-orang yang hidup di dalam hadirat dari pusat ini, yang lain ini, Allah yang
kudus dan penuh kasih. Sebab kita memulai perjalanan hidup kita menurut premis
alternatif bahwa Dia tidak hadir, atau bahwa Dia tidak berbicarah, atau bahwa Dia
tidak peduli. Kita tidak mengandalkan kehadiran providensial dan moral-Nya. Kita
memulai seolah-olah kita diyakinkan oleh pilihan-pilihan kita untuk menghasilkan
apa yang kita inginkan dari kehidupan. Dan karena itu kita menciptakan pusat kita
sendiri, kita menciptakan aturan-aturan kita sendiri, dan kita menciptakan makna kita
sendiri.26

Pernyataan Paulus adalah bahwa, sejak kejatuhan, kita telah memuja dan
menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya (Rm. 1:25). Kita tidak mau
mengandalkan kesadaran internal kita bahwa Allah sungguh-sungguh ada. Kita juga
berusaha untuk mengabaikan kesadaran kita sendiri tentang struktur moral kehidupan
(Rm. 1:18-20; 2:14-15). Dan yang paling buruk, kita melakukan dosa
ketidakpercayaan. Seperti halnya Adam tidak memercayai apa yang sudah
difirmankan Allah kepadanya, ketika Allah menjanjikannya kehidupan kekal apabila
ia menjalankan perintah Allah.27
25
Welss, hlm. 111
26
Wells, hlm. 112
27
G. J. Baan, TULIP: Lima Pokok Calvinisme, (Surabaya: Momentum, 2014), hlm. 15

Fakultas Teologi UKIT


17

Kita telah menggantikan pusat kehidupan yang sesungguhnya dengan salah


satu pusat hasil ciptaan kita sendiri, menggantikan keterlibatan-keterlibatan Allah
dengan keterlibatan-keterlibatan kita sendiri, perspektif-perspektif-Nya dengan
perspektif-perspektif kita, norma-norma-Nya dengan norma-norma kita, makna-Nya
dengan makna kita, dan kebenaran mutlak-Nya dengan kebenaran-kebenaran kita.
Semuanya ini adalah esensi dosa. Dan akibatnya Paulus berkata, pikiran kita kini
menjadi “sia-sia” dan hati kita kini “dibutakan” (Rm. 1:21).28

XI. METODELOGI PENELITIAN


a) Metodologi penelitian

Dalam mengadakan penelitian maka peneliti menggunakan metode


penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literatur dan menggunakan
teknik wawancara kepada responden sebagai data penunjang untuk penulisan
skripsi ini. Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip oleh L. J.
Moleong, penggunaan metode penelitian kaulitatif sebagai prosedur penilaian
yang menghasilkan data yang deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari dari orang-orang atau pelaku yang diamati.29 Tujuan dari penelitian
deskriptif adalah untuk membuat gambaran dan lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat dan situasi dalam masyarakat.30
28
David F. Wells, Keberanian Menjadai Protestan: Para Pecinta Kebenaran, Para Pemasar, dan
Para Emergent di dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum, 2014), hlm. 112
29
Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja karya, 1989), hlm. 3
30
Muhammad Nazir, Metode Peneltian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63

Fakultas Teologi UKIT


18

b) Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat pada penelitian ini, peneliti


menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut

1. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan dalam bentuk


library research, yaitu membaca dan meneliti serta memakai buku-buku
yang berkaitan dengan pembahasan skripsi.31
2. Observasi
Pengamatan adalah suatu langkah yang melihat dan menganalisa suatu
peristiwa atau fakta tertentu sebagai suatu metode pada penelitian. Pada
penelitian, peneliti akan memulai dengan observasi, peneliti akan
mengamati secara langsung dalam hal ini akan melihat, mendengarkan
dan menganalisa secara teliti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
subjek (jemaat, pendeta). Observasi ialah metode atau cara-cara
menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai
tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok
secara langsung (Ngalim purwanto, 1985) metode ini digunakan untuk
melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar
peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan
yang diteliti. Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa observasi
merupakan salah satu metode pengumpulan data di mana peneliti
melihat mengamati secara visual sehingga validitas data sangat
tergantung pada kemampuan observer.32

3. Wawancara
Wawancara adalah pembicaraan yang terstruktur dan terbuka
maksudnya yaitu dalam pelaksanaan wawancara ini peneliti sudah
menyiapkan daftar pertanyaan tentang pokok-pokok permasalahan yang

31
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset 1995), hlm. 9
32
Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hlm 93

Fakultas Teologi UKIT


19

menjadi tujuan penelitian. Akan tetapi demi data yang dibutuhkan serta
memperhatikan perkembangan percakapan atau wawancara, maka dapat
menjadi terbuka dalam arti berkembang sesuai dengan situasi.33
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
study pendahuluan dalam menemukan permasalahan yang harus diteliti,
tapi juga apabila peneliti, ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam34. Seperti yang dikatakan oleh Gorys Keraf tentang
wawancara:
Wawancara adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada informan atau seorang
autoritas (seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah)35
4. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca dan mempelajari


buku. Berkaitan dengan buku-buku serta tulisan baik, teologi sistematika,
filsafat, ataupun lainnya yang berhubungan dengan postmodern.

5. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan penulis untuk mendapatkan
suatu kesimpulan yang memuaskan, yakni dengan metode analisis
sebagai berikut:
a. Metode deduktif
Metode ini merupakan proses pendakatan yang dimulai
dari suatu pengetahuan yang bersifat umum, yang kemudian
disesuaikan dalam kesimpulan yang lebih khusus.36
b. Metode induktif

33
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991),
hlm. 198
34
Sugiyono, 316
35
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar kemahiran Bahasa (Ende: Nusa Indah,1990), hlm. 161
36
Anton Bekker dan Ahmad Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990), 43

Fakultas Teologi UKIT


20

Metode ini merupakan proses pendekatan yang dimulai


dari suatu pengetahuan yang bersifat khusus yang kemudian
disampaikan dalam yang lebih umum.37

XII. RENCANA KEGIATAN

Adapun jenis-jenis kegiatan yang telah direncanakan penulis beserta jadwal


waktunya adalah sebagai berikut :

Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Pertemuan dengan dosen pembimbing skripsi
17 Februari 2017
membahas tentang judul dan latar belakang
Pertemuan dengan dosen pembimbing skripsi,
27 Maret 2017
memasukan contoh latar belakang proposal

Pembuatan Proposal Maret – April 2017

Pertemuan dengan dosen pembimbing:


Maret 2017
Membahas penyusunan proposal skirpsi

37
Anton Bekker dan Ahmad Zubair

Fakultas Teologi UKIT


21

Pertemuan dengan dosen pembimbing:


Maret 2017
Membahas hasil penyusunan proposal skripsi
Pertemuan dengan dosen pembimbing: Perbaikan
Maret 2017
proposal
Pertemuan dengan dosen pembimbing: Perbaikan
Maret 2017
akhir proposal
Pertemuan dengan dosen pembimbing:
Maret 2017
Pengesahan proposal skripsi

Pemasukkan proposal skripsi April 2017

Seminar proposal skripsi 11 April 2017

Observasi lapangan April 2017

Pertemuan dengan dosen pembimbing:


April 2017
Membahas hasil penyusunan BAB II

Melakukan Wawancara April 2017

Pengkajian hasil Observasi Wawancara Mei 2017

Pertemuan dengan dosen pembimbing: April 2017

Pertemuan dengan dosen pembimbing: April 2017


Membahas hasil penyusunan BAB II

Pertemuan dengan dosen pembimbing: Mei 2017

Pertemuan dengan dosen pembimbing:


Juni 2017
Membahas hasil penyusunan BAB IV
Pertemuan dengan dosen pembimbing: Juni 2017
Membahas hasil penyusunan BAB V

Pertemuan dengan dosen pembimbing


Juni 2017
Penyelesaian penyusunan skripsi

Fakultas Teologi UKIT


22

Pertemuan dengan dosen pembimbing:


Juni 2017
Membahas hasil penyusunan skripsi
Pertemuan dengan dosen pembimbing: Perbaikan
Juni 2017
terakhir
Pertemuan dengan dosen pembimbing:
Juni 2017
Pengesahan skripsi

Pemasukan skripsi Juni 2017

Ujian skripsi Juni 2017

XIII. RENCANA ANGGARAN

Jenis Kegiatan Anggaran

Transportasi + Konsumsi Rp. 1.500.000,-

Pembelian buku-buku Rp. 1.500.000,-

Kertas HVS A4 80 gsm, 8 rim Rp. 500.000,-

Tinta Print Data Print Hitam 6 dos Rp. 210.000,-

Tinta Print Data Print Warna 2 dos Rp. 90.000,-

Jilid (Hard Cover) Rp. 300.000,-

Pendaftaran Seminar Proposal Rp. 1.500.000,-

Pendaftaran Ujian Skripsi Rp. 3.500.000,-

Fakultas Teologi UKIT


23

Jumlah: Rp. 8.775.000.-

XIV. PENUTUP

Demikianlah Proposal ini telah dibuat dan di ajukan untuk sekiranya dapat
menopang penulis dalam penulisan Skripsi. Atas perhatiannya di ucapkan terima
kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Piper John, Taylor Justin, Supremasi Kristus dalam Dunia Postmodern,


(Surabaya: Momentum, 2014).

Grenz J. Stanley, A Primer on Postmodernism, (Yogyakarta: PBMR ANDI,


2001).

Sumakul H.W.B, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21,


(Jakarta: Libri, BPK Gunung Mulia, 2012).

Fakultas Teologi UKIT


24

Ritzer George, Goodman, Doglas J, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta:


Kencana 2004).

Barker Chris, Cultural Studies: teori dan praktek, (Yogyakarta: Kreasi


Wacana 2004).

Robinson Dave, Nietzsche dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Jendela 2002).

Ritzer, George, Teori-teori Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).

Naugle K. David, Wawasan Dunia: sejarah sebuah konsep (sebuah


pandangan Kristen), (Surabaya: Momentum, 2010).

Wells F. David, Keberanian Menjadai Protestan: Para Pecinta Kebenaran, Para


Pemasar, dan Para Emergent di dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum,
2014).

Hall W. David, Lillback A. Peter, Penuntun ke dalam Theologi Institutes


Calvin, (Surabaya: Momentum, 2009).

Baan G. J., TULIP: Lima Pokok Calvinisme, (Surabaya: Momentum, 2014).

Moleong J. Lexi, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja karya,


1989).

Nazir Muhammad, Metode Peneltian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).

Hadi Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset 1995).

Fakultas Teologi UKIT


25

Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian kualitatif, (Jakarta: Rineka


Cipta,2008).

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia


Pustaka Utama, 1991).

Keraf Gorys, Komposisi Sebuah Pengantar kemahiran Bahasa (Ende: Nusa


Indah,1990).

Bekker Anton dan Zubair Ahmad, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:


Kanisisus, 1990).

Internet

http://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-
modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25

Fakultas Teologi UKIT

Anda mungkin juga menyukai