I. JUDUL:
“KEKRISTENAN DI ERA ABAD KE-21; SERTA
IMPLIKASINYA BAGI JEMAAT GMIBM BETHESDA GUAAN”
Dewasa ini, dunia yang kita pijaki, berada pada suatu era yang menuntut
setiap individunya untuk meninggalkan segala hal-hal yang bersifat kebiasaan lama
dan mulai merevisinya dengan suatu tatanan dan sistem yang baru. Dapat dilihat pada
keadaan yang terjadi sekarang ini, hal-hal yang tadinya diminati oleh khalayak ramai,
sekarang perlahan mulai di tinggalkan oleh para peminatnya. Hal-hal yang tadinya di
sukai oleh orang-orang pada umumnya, sekarang telah mulai ditinggalkan dan mulai
beralih kepada suatu cara atau tatanan yang di anggap lebih baru. Itulah yang
dinamakan sebuah masa peralihan dari era modern menuju kepada suatu era baru,
yang dinamakan era postmodern.
Sejak lahirnya, gereja Kristen selalu terlibat dalam peperangan yang meliputi
ide-ide, teori-terori, sistem-sistem pemikiran dan argumen-argumen sehingga gereja
harus benar-benar berupaya untuk menjawab setiap perubahan-perubahan yang
terjadi sehingga kebenaran yang berdasarkan firman Allah tetap di pengang teguh.
Perang ini terus berlanjut di sepanjang abad-abad awal Gereja seiring perlawanan
para bapa-bapa Gereja terhadap penyebaran ajaran sesat. Pada abad pertengahan
tokoh-tokoh reformator gereja juga melakukan demkian menyangkut upaya untuk
menyelamatkan kemurnian iman Perjanjian Baru dari ajaran-ajaran sesat yang telah
merembet masuk kedalam Gereja selama abad Pertengahan. Pada abad ke-18, perang
ini timbul karena bangkitnya sikap tidak percaya dari gerakan pencerahan. Di abad
ke-19, Gereja menghadapi tantangan terhadap otoritas Alkitab dan masalah yang
ditimbulkan oleh Darwinisme dan ilmu pengetahuan yang berkembang tentang isu-
isu epistemologi. Pada awal abad ke-20, orang Kristen berjuang melawan
modernisme agama. Pada era ini, gereja diperhadapkan dengan suatu era, yang di
sebut era postmodern.
Era abad ke-21 ditandai dengan perkembangan teknologi yang pesat dan
perkembangan sistem informasi yang tidak bisa dibendung. Kekristenan berada di
tengah-tengah dunia yang berubah dan berkembang dengan cepat. Suka atau tidak,
diterima atau ditolak perubahan itu, niscaya akan senang tiasa terjadi, dan tidak
seorangpun mampu menghalanginya. Kemajuan teknologi, perubahan dan
perkembangan yang telah memasuki seluruh lapisan masyarakat dapat menimbulkan
dampak negatif dan positif juga dapat meimbulkan permasalahan-permasalahan
sosiologis dan psikis.
Meledaknya industri media massa dan elektronik yang dapat di akses dan
dikonsumsi oleh publik dengan mudah, kondisi semacam itu pada akhirnya
menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma bagaikan agama dan tuhan yang baru. Artinya
sikap dan perilaku manusia tidak lagi di tentukan nilai moralitas agama sebagai
standar hidup, tetapi kebenaran dan kesalahan di atur dan ditentukan oleh media
massa.
sesamanya. Kebanyakan pemimpin, pendeta dan jemaat dewasa ini, terlalu asyik
dengan mengurusih kepentingan dan kemauan diri sendiri.
ini. Ini juga menjadi fakta bahwa budaya kontemporer di mana gereja (GMIM)
bertumbuh sudah berada di suatu era yang baru, yaitu era postmodern yang tidak
hanya terjadi di dunia barat, disadari atau tidak.
Kita tahu bahwa kebenaran yang sejati adalah Allah Tritunggal, yang benar,
yang tidak terbatas dalam spiritual-Nya, telah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa
dalam Firman-Nya yang tertulis, dalam Firman-Nya yang berinkarnasi, dan dalam
Roh Kudus-Nya. Walaupun banyak perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman,
Allah tetap mengambil kendali dan Ia mempunyai kuasa dalam kehidupan manusia.
Gereja sebagai milik Tuhan akan tetap utuh. Seperti perkataan Yesus: “Mereka
(gereja) bukan dari dunia sama seperti Aku bukan dari dunia (Yoh. 17:16). Bagian ini
meneguhkan posisi orang beriman sebagai milik Tuhan yang telah dilahirkan dari
atas (Yoh. 3:3-5), tetapi tidak memisahkan gereja dari dunia serta terasing dari dunia
pemberian Allah ini. Memang kenyataan ini tidak membebaskan gereja dari dampak
postmodern, sebab gereja merupakan bagian utuh dari dunia dimana ia ada.
Dari masalah yang diuraikan di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan
memberi judul:
V. FOKUS PENELITIAN
Dari masalah-masalah yang diuraikan di atas, maka peneliti hanya
berfokus pada masalah dalam penelitian terhadap realitas jemaat kristen di
era abad ke-21 ?
BAB 5 Penutup
Sebagai penutup dari keseluruhan karya tulis ini, maka penulis
membuat kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang di
angkat, dan saran-saran yang kiranya dapat membangun kesadaran bagi
jemaat masa kini khususnya GMIM bahkan bagi gereja secara umum.
X. TINJAUAN PUSTAKA
POSTMODERN
David Wells mengamati bahwa ada dua macam realitas yang saat ini
sedang mentranformasi kebudayaan: munculnya etos postmodern dan gerakan yang
kuat dari keanekaragaman etnis dan agama di dunia barat. Kedua pokok pembahasan
ini sedang mengubah konteks kebudayaan yang didalamnya gereja hidup, bergerak
dan memiliki keberadaannya.1
1
John Piper, Justin Taylor, Supremasi Kristus dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum,
2014), hlm. 2
cara pikir orang modern2 dan postmodern telah menjadi suatu realitas sosial di abad
ke-21 ini.3
2
Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2001), hlm 8,9
3
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 1
4
Sumakul, hlm. 8
5
Grenz, hlm. 9
masyarakat itu mirip ponoptikon, suatu penjara dimana semua orang di dalamnya bisa
di awasi terus menerus.
6
Ritzer George, Goodman, Doglas J, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana 2004), hlm. 620
7
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 32
8
Sumakul, hlm. 55
Kebohongan dan distorsi yang dijajakan media kepada khalayak adalah hiper
realitas.9
Apa yang nyata disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali. Kini
semakin mustahil untuk membedakan yang nyata dari sekedar tontonan. Dalam
kehidupan nyata, kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiperriil.11
Menurut Lyotard dasar-dasar esensialis dari semua grand narrative tidak bisa di
percaya lagi. Secarah umum semua narasi adalah permainan bahasa belaka.
Postmodern menurutnya adalah upaya adalah memerangi totalitas, dan
menghidupkan perbedaan. Postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif
teoritis yang berbeda-beda.12
9
Awalan hiper berarti lebih nyata ketimbang kenyataan.
10
Chris Barker, Cultural Studies: teori dan praktek, (Yogyakarta: Kreasi Wacana 2004), hlm. 16
11
Dave Robinson, Nietzsche dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Jendela 2002), hlm. 44
12
Ritzer, George, Teori-teori Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 94
13
H.W.B Sumakul, Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural abad ke-21, (Jakarta: Libri, BPK
Gunung Mulia, 2012), hlm. 40
Menurut Rorty tidak ada epistimologi universal yang mungkin ada karena semua
klaim kebenaran dibentuk di dalam diskursus. Tidak ada akses kepada dunia objek
independen yang bebas dari bahasa dan tidak ada sudut pandang yang digunakan
untuk menilai klaim secara netral. Tidak ada landasan filosofis universal bagi
pemikiran atau tindakan munusia. Seluruh kebanaran terikat pada budaya. Konsep
kebenaran tidak memiliki daya eksplanatoris, 16 hanya sebagai suatu tingkat
persetujuan sosial dari suatu tradisi budaya.
14
Orisinalitas dalam KBBI adalah, keabsahan, keaslian, kemurnian, kesahihan, kesejatian, otentitas.
15
Sumakul, hlm. 26
16
artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Menuju suatu titik
dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai
makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang
metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine). 17
Tidak ada kebenaran tunggal yang sah. Di era postmodern segala sesuatu
direduksi menjadi nilai yang relatif, yang berimplikasi pada adanya kemungkinan
penafsiran terhadap realitas secara tak terbatas, maka di sana tidak ada lagi nilai yang
diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan
17
Gianni Vattimo, The End of Modernity, hlm. 167, Kutipan dalam http://hamidfahmy.com/agama-
dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25
18
Nietzsche F, Will to Power, hlm. 8,9 Kutipan dalam http://hamidfahmy.com/agama-dalam-
pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25
19
Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2001), hlm 14
terlibat dalam kerja intepretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya.
Di sini agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-
sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah di formulasikan oleh para
filosof.
Jadi agama dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang
tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu ia mempunyai status yang kurang
lebih sama dengan filsafat.
Pengertian tentang kebenaran ini menghasilkan dua asumsi. Yang pertama adalah
eksistensi dari suatu dunia objektif yang dapat di amati diluar subjek manusia. Dunia
ini bukanlah konstruksi dari pikiran, seperti yang cenderung dipikirkan oleh filsafat
timur atau filsafat barat tertentu. Kedua, diasumsikan bahwa kita bisa mengetahui
peristiwa-peristiwa tentang kehidupan dengan suatu cara yang cocok dengan apa
20
David K. Naugle, Wawasan Dunia: sejarah sebuah konsep (sebuah pandangan Kristen), (Surabaya:
Momentum, 2010), hlm. 106
21
David F. Wells, Keberanian Menjadai Protestan: Para Pecinta Kebenaran, Para Pemasar, dan
Para Emergent di dalam Dunia Postmodern, (Surabaya: Momentum, 2014), hlm. 81
yang terjadi, meskipun kita mungkin salah. Bahkan, kita perlu melangkah lebih jauh
dan mengatakan bahwa kita bisa mngetahui peristiwa-peristiwa kehidupan dengan
benar meskipun tidak secarah sempurna, sebab jika demikian kita tidak bisa
mengetahui apa pun karena hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu secara
sempurna.22
Kebenaran Kristen
Menurut Yohanes Calvin, kesaksian di dalam Roh Kudus di dalam diri orang
percaya, yang bekerja melalui dan dengan Firman dalam hatinya, meneguhkan orang
percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Kitab suci diperlukan sebagai
Pembimbing dan Guru bagi siapa pun yang mau datang kepada Allah sang Pencipta.24
Hasilnya adalah suatu wahyu yang benar. Wahyu ini merefleksikan siapa
Allah. Karena Ia sepenuhnya murni di dalam karakter-Nya, mustahil bagi-Nya untuk
berbohong (Ibr. 6:18; bdk. 2 Tim. 2:13, Tit. 1:2; 1 Yoh. 1:5). Kita kadang-kadang
sengaja berbohong dan tidak mengatakan kebenaran, tetapi sepenuhnya mustahil bagi
Allah. Ia tidak bisa menjadi apa yang bukan diri-Nya, yaitu kudus. Ia tidak mungkin
bisa memberikan kepada kita “kebenaran” yang tidak benar. Dan karena Ia mahatahu,
22
Wells, hlm. 82
23
Wells, hlm. 84
24
David W. Hall, Peter A. Lillback, Penuntun ke dalam Theologi Institutes Calvin, (Surabaya:
Momentum, 2009), hlm. 52, 59
dan telah mengetahui akhirnya sejak permulaan, adalah mustahil bagi Dia untuk
melakukan kesalahan seperti yang sering kali dilakukan manusia.
Saat abad ke-21 itu dimulai di barat, sebagian dari kekacauan itu adalah
pengertian bahwa kehidupan tidak memiliki pusat, bahwa kehidupan itu tidak
memiliki makna.25
Pernyataan Paulus adalah bahwa, sejak kejatuhan, kita telah memuja dan
menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya (Rm. 1:25). Kita tidak mau
mengandalkan kesadaran internal kita bahwa Allah sungguh-sungguh ada. Kita juga
berusaha untuk mengabaikan kesadaran kita sendiri tentang struktur moral kehidupan
(Rm. 1:18-20; 2:14-15). Dan yang paling buruk, kita melakukan dosa
ketidakpercayaan. Seperti halnya Adam tidak memercayai apa yang sudah
difirmankan Allah kepadanya, ketika Allah menjanjikannya kehidupan kekal apabila
ia menjalankan perintah Allah.27
25
Welss, hlm. 111
26
Wells, hlm. 112
27
G. J. Baan, TULIP: Lima Pokok Calvinisme, (Surabaya: Momentum, 2014), hlm. 15
3. Wawancara
Wawancara adalah pembicaraan yang terstruktur dan terbuka
maksudnya yaitu dalam pelaksanaan wawancara ini peneliti sudah
menyiapkan daftar pertanyaan tentang pokok-pokok permasalahan yang
31
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset 1995), hlm. 9
32
Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hlm 93
menjadi tujuan penelitian. Akan tetapi demi data yang dibutuhkan serta
memperhatikan perkembangan percakapan atau wawancara, maka dapat
menjadi terbuka dalam arti berkembang sesuai dengan situasi.33
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
study pendahuluan dalam menemukan permasalahan yang harus diteliti,
tapi juga apabila peneliti, ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam34. Seperti yang dikatakan oleh Gorys Keraf tentang
wawancara:
Wawancara adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada informan atau seorang
autoritas (seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah)35
4. Studi Kepustakaan
33
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991),
hlm. 198
34
Sugiyono, 316
35
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar kemahiran Bahasa (Ende: Nusa Indah,1990), hlm. 161
36
Anton Bekker dan Ahmad Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990), 43
37
Anton Bekker dan Ahmad Zubair
XIV. PENUTUP
Demikianlah Proposal ini telah dibuat dan di ajukan untuk sekiranya dapat
menopang penulis dalam penulisan Skripsi. Atas perhatiannya di ucapkan terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Internet
http://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-
modern/, di akses pada tgl 25-03-2017, jam 08:25