Anda di halaman 1dari 2

Menarikan Agama di Panggung Milenium Ketiga

(FF-UNPAR, 19/06/2021) Perubahan monumental yang terjadi pada peradaban ilmiah dan
peradaban digital dalam kehidupan manusia milenium ketiga adalah salah satu tanda
kehirukpikukan milenium ketiga. Siapa yang menyangka bahwa kini internet menjadi
zeitgeist abad ini. Bukan hanya itu, kini dengan memperkerjakan jari, orang dapat melakukan
dan mendapatkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Media sosial, gawai dan perangkat pintar
termutakhir adalah suatu hal yang dilirik banyak orang. Akibatnya, karena percepatan dan
kecepatan dari semua kerja yang dimampukan itu, melahirkan kecenderungan bagi manusia
untuk enggan bersahabat dengan kesempatan menunggu. Entah hal ini disadari atau tidak,
baik secara langsung atau tidak langsung; fenomena umum ini menjadi tragedi besar yang
menyilapkan mata banyak orang. Bersamaan dengan tragedi tersebut, tatanan sosial yang
menjadi pegangan dan sumber kepastian bagi manusia menjadi nampak tidak berdaya di
tengah hempasan larinya dunia.
Paling tidak pengalaman ini terjadi pada tubuh agama. Agama sebagai tatanan sosial yang
rapih dengan ritualnya yang sakral, mulai menghadapi tantangan. Agama di panggung
milenium ketiga seakan terjerat hempasan gaya mutakhir kebudayaan yang semakin
antroposentris. Setidaknya dinamika utama dalam agama semisal tradisi tentunya berhadapan
dengan isu disrupsi, belum lagi aspek motivasi diri dan struktur institutionalnya—iman
sebagai perkara batin personal, agama sebagai bentuk institusi— pun ikut terjerat.
Perguncangan dalam dinamika utama dalam tubuhnya mengakibatkan agama kini harus
memulihkan dirinya. Setidaknya dengan merefleksikan ulang soal pijakan untuk tetap berada
di tengah panggung milenium ketiga. Kiranya pertanyaan yang dapat direnungkan ialah
bagaimana menjadi umat beragama, seorang religius untuk tetap berada dalam kehidupan
kiwari? Kesadaran religius macam apa yang kini dibutuhkan oleh manusia-manusia milenium
ketiga, terutama ketika dihadapkan berbagai gempurannya?
Dua pertanyaan besar yang diajukan tersebut hendak dijawab dalam webinar bertajuk
“Experiencing Religion as a Way of Knowing and Being”. Pembahasan dan pengkajian
(ulang) agama sebagai sebuah sistem pengetahuan dan cara berada di milenium ketiga adalah
tema yang dibahas dan didiskusikan dalam webinar nasional yang diadakan oleh Pusat Studi
Filsafat, Budaya dan Religius Fakultas Filsafat UNPAR (CPCReS). Webinar nasional ini
menyajikan 3 sub topik yang dibawakan oleh 3 profesor dari berbagai lingkungan keilmuan
dan dihadari oleh ratusan peserta dari seluruh penjuru Indonesia dan Malaysia. Pembahasan
itu dipertajam dalam tiga sub-topik antara lain, “Religion in the Midst of Uncertainty” oleh
prof. Dr. Sumanto Al-Qurtuby, “Religion as a Way of Knowing the Supreme Being” oleh
prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto dan “Religion as an Expression of Being Religious”
oleh prof. Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M. A.
Agama dan ketidakpastian adalah dua entitas yang diperkarakan sudah jauh sebelum
milenium ketiga ini ada. Bahkan dapat dikatakan bahwa agama adalah produk dari
ketidakpastian itu sendiri. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa memperkarakan
agama di tengah ketidakpastian adalah hal yang klasik. Namun hal yang membuat
perbincangan agama dan ketidakpastian menjadi sangat relevan dengan zaman ini adalah soal
bagaimana agama menanggapi semua fenomena ketidakpastian itu. Suatu ilustrasi yang
menarik ditawarkan oleh prof. Al-Qurtuby adalah memperlihatkan dikotomi antara agama
dan teori sekularisasi (dengan sains sebagai subjeknya). Dikatakan bahwa keduanya
mempunyai arogansinya masing-masing tatkala menjawab ketidakpastian yang ada dalam
kehidupan manusia. Namun suasana persaingan yang terjadi itu nyatanya tidak menjawab
ketidakpastian itu. Satu-satunya jawaban memadai yang mampu menjawab itu semua adalah
fokus perhatian pada core value yang harus dimiliki kedua kubu yakni kemanusiaan. Kedua
subjek harus berjalan seimbang dan sewajarnya agar tidak terjebak pada titik ekstrem yang
dapat menghancurkan peradaban manusia. Wadah implikasi untuk mencapai itu bisa dimulai
dan akan berefikasi tinggi jika menaruhnya pada proses pendidikan. Bagi, Al-Qurtuby,
pendidikanlah yang menjadi lokomotif peradaban.
Di lain pembahasan, prof. Sugiharto membahas bagaimana diskursus tentang Tuhan sangat
beragam dan antara satu dengan yang lain bisa sangat berbeda. Merujuk pada pemikiran
Wittgenstein, makna Tuhan terikat pada makna komunitas penggunanya. Jika demikian
adanya maka adalah suatu cara berpikir yang semerta-merta jika sekelompok orang, agama,
atau kelompok lain memonopoli kebenaran tentang Tuhan untuk menumpas setiap orang
yang berbeda pendapat dengannya. Bila cara berpikir yang demikian dimiliki oleh agama
pada milenium ketiga maka dapat dipastikan secara perlahan agama itu akan ditinggalkan
oleh pengikutnya dan kehilangan kewibawaanya. Bukan hanya itu pula agama yang demikian
adanya dirasa tidak mampu bertahan dalam menjawab tantangan atau fenomena yang
merongrong dari luar atau pun dalam agama itu sendiri seperti semakin kritisnya kaum
beriman. Fundamentalisme, visi spiritual baru bahkan ateisme. Yang ada ialah produksi
ekses-ekses yang meruntuhkan agama sendiri.
Maka yang diperlukan dalam konteks abad XXI ini adalah visi dan gambaran agama yang
reflektif dan terbuka pada berbagai dinamika pergulatan batin manusia dalam memaknai
hidupnya. Selain itu adalah suatu hal yang diperlukan untuk menggeserkan pusat gravitasi
dari kebenaran menuju keindahan bahkan dari ‘narrow religion’ ke ‘deep religion’ dan
penekanan dari dogmatis epistemologis ke axiologis estetis.
Topik pembahasan yang terakhir ialah suatu penguatan yang sebenarnya sering dilupakan
oleh manusia bahwa surga adalah hak prerogative Tuhan. Buya Syakur menandaskan bahwa
variasi ketuhanan setiap orang tentunya berbeda-beda maka yang diperlukan ialah manifestasi
keimanan atau ketuhannya. Itulah mengapa bahwa kini dibutuhkan cara bagaimana setiap
orang beragama mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian hal
tesebut dapat menjadi suatu bentuk pembuktian keberadaan Tuhan bukan dengan teori-
teorinya namun dengan perilaku hidup sehari-hari yang mampu membangun relasi antara
Tuhan dan sesamanya. Bila setiap orang beragama mampu melakukannya maka itulah
tandanya bahwa dirinya adalaha manusia yang bertaqwa. Pada akhir pembahasannya, Buya
Syakur mengingatkan kembali bahwa pendidikan (agama) harus direformulasikan agar
tindakan-tindakan tidak terpuji atas nama keagamaan tidak terulang kembali dalam sejarah
kemanusiaan.
Webinar nasional ini menjadi salah satu cara yang ditawarkan dan bentuk perhatian
komunitas keilmuan untuk menggairahkan dan menghayati religiusitas manusia supaya
mencapai kesejahteraan umum. Juga sebagai sebuah harapan agar agama tetap konsiten
menampilkan wajah Tuhan. (Simson Ericson Simanjuntak-HMPSF)

Anda mungkin juga menyukai