Anda di halaman 1dari 6

Kepemimpinan rohani di tengah dunia

I. Dunia membutuhkan saksi-saksi hidup


“Modern man listens more willingly to witnesses than to teachers, and if he does listen to teachers, it is
because they are witnesses.” atau “Manusia modern lebih mendengarkan kepada saksi-saksi secara
sukarela daripada para guru, dan jika dia mendengarkan para guru, itu karena mereka [para guru]
adalah saksi-saksi,” adalah apa yang dikatakan oleh Paus Paulus VI. Seruan ini terbukti benar sampai
pada saat ini, karena hanya dengan menjadi saksi Kristus yang baik, maka seseorang dapat menjadi
garam dunia dan menjadi terang dunia, yang artinya dapat menjadi pemimpin rohani di tengah-tengah
dunia. Dan seruan ini menjadi lebih benar, karena kita berada di dunia yang didominasi oleh
modernisme, relativisme dan sekularisme, yang menyingkirkan prinsip-prinsip kebenaran kristiani dari
kehidupan masyarakan maupun kehidupan pribadi.

Manifestasi dari menjadi saksi Kristus adalah merupakan tugas yang kita terima pada saat kita dibaptis,
yaitu menjadi imam, nabi dan raja. Hanya dengan berpartisipasi dalam tiga misi Kristus secara baik,
maka seseorang dapat menjadi pemimpin rohani di tengah-tengah dunia ini, yang pada akhirnya dapat
menjadi garam dan terang dunia.

II. Dunia modern dibawah pengaruh modernisme


Untuk dapat menjadi pemimpin rohani atau menjadi saksi Kristus yang baik di tengah-tengah dunia,
diperlukan pengetahuan tentang dunia di mana kita tinggal. Dunia tempat kita tinggal dipenuhi dengan
begitu banyak tipu daya, sehingga banyak orang yang terseret masuk ke dalamnya. Rasul Yohanes
mengatakan “…manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan
mereka jahat.” (Yoh 3:19). Bahaya paling besar yang dihadapi oleh dunia modern adalah modernisme.

1. Modernisme

Modernisme dikatakan oleh Paus Pius X sebagai “sintesis dari semua bidaah” ((lih. Paus Pius X, Pascendi
Dominici Gregis, 39)), yang kemudian ditegaskan oleh Paus Benediktus XV ((lih. Paus Benediktus XV, Ad
Beatissimi Apostolorus, 25)). Dapat dikatakan bahwa modernisme menggabungkan semua ajaran bidaah
karena modernisme ingin menghilangkan semua hal yang berhubungan dengan Tuhan dari seluruh sendi
kehidupan. Prinsip dari modernisme ini dapat disarikan sebagai: ((1909 Catholic Dictionary
mendefinisikan modernisme sebagai: “Term used by those who affect a preference for what is modern,
and a disregard for what is ancient and medieval, usually because they know little of the history or
institutions of the past; an attempt at a radical transformation of thought in regard to God, man, the
world, life here and hereafter; the assumption that everything modern is more perfect than what
preceded, that opposition to every new theory or speculation is opposition to what is good in modern
progress. In religion, according to Pope Pius X, it is a complexion of every heresy; according to its
principal French exponent, Loisy, a setting aside of every Catholic doctrine. The movement is not new. It
began with the Reformation, of which it is the logical outcome. In the middle of the 19th century, under
Pope Pius IX, it asserted itself in political liberalism, the attempt to divorce society and government from
religion; under Pope Leo XIII it became a social movement; under Pope Pius X it became an aggression
against true religion. Its exponents never agreed. It required the genius of Pope Pius X and his
collaborators to take their vague assertions and give them system. Modernists were clamoring for
emancipation from ecclesiastical authority, for the emancipation of science, of the state, of conscience,
without particularizing wherein authority was tyrannical, wherein science, state, or conscience were
enthralled. They abhorred the thought of fixed truth, dogma in the real sense, or knowledge derived
from revelation. They claimed that the soul had its yearnings for something higher than it could perceive
in nature; that these yearnings consciously understood, reveal the intimate presence of God; that this
presence constitutes revelation; that experience of relations with God disposes the soul to act properly
with Him; that leaders arise who interpret all this and become founders of religion. Christian faith then is
this sentimental yearning for God as father, man, as brother. Its formulae are good for a time but they
are only of transient use and must give way to others as times change. The Christ of faith is not the
Christ of history; He founded the Church and the Sacraments not personally and directly but only
through the movement He started as if by a process of evolution; the Sacraments are only formulae
which touch the soul and carry it away; the Scriptures are only a collection of religious experiences of
great value. The movement was strong in Italy, and it affected many in Germany, France, and England. It
had little influence in the United States, although its French and English promoters did all in their power
to propagate it, especially among seminarians. Numerous pontifical documents were issued against it,
enumerated in the Catholic Encyclopedia under Modernism. The Encyclical “Pascendi Gregis” crushed it
once for all, and this Encyclical is an instance of the sovereign pontiff voicing a sentiment that was
universal among bishops, clergy, and laity, the Church teaching thus expressing the views and wishes of
the Church taught.“))

a. Prinsip emansipasi

Prinsip ini memegang kebebasan ilmu pengetahuan, tata negara dan hati nurani, yang terpisah dari
Gereja. Dengan demikian, maka otoritas Gereja sebagai pilar kebenaran tidak mempunyai tempat, baik
di dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.

Ini berarti kebebasan ilmu pengetahuan tidak mempertimbangkan nilai-nilai etika maupun moral. Hal-
hal seperti embrionic stem sells research diperbolehkan, tidak memperdulikan bahwa untuk melakukan
penelitian ini mereka harus membunuh embrio – yang adalah manusia. Keterpisahan tata negara dari
hukum moral yang sering diserukan oleh Gereja terjadi ketika negara membuat peraturan-peraturan
yang berlawanan dengan akal budi, seperti legalisasi aborsi – yang jelas-jelas merupakan pembunuhan.
Dan yang paling parah, ketika setiap individu merasa dapat menggunakan kehendak bebasnya dengan
sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan kebenaran. Ketika mereka merasa bahwa mereka menjadi satu-
satunya parameter dari kebenaran, yang pada akhirnya menjadi relativisme.

b. Prinsip perubahan
Prinsip bahwa satu-satunya yang statis di dunia ini adalah perubahan, menjadi satu hal yang perlu
dicermati dari modernisme. Dengan prinsip ini modernisme akan senantiasa menentang sesuatu yang
tetap, yang terstruktur, yang pada akhirnya akan melawan otoritas Gereja, karena dipandang sebagai
organisasi yang terlalu kaku dan terstruktur. Dengan prinsip ini, sungguh sulit seseorang untuk
berpegang pada kebenaran, karena kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, yang dapat salah pada
generasi sebelumnya dan dapat menjadi benar pada generasi sekarang dan mungkin saja dipandang
salah di generasi mendatang. Kontrasepsi yang dipandang salah dari masa-masa awal menjadi sesuatu
yang diperdebatkan secara sengit masa awal abad 20, sampai akhirnya di tahun 1930, hanya Gereja
Katolik saja yang bertahan dengan kebenaran bahwa kontrasepsi melawan hukum kodrat dan hukum
Allah.

c. Prinsip rekonsiliasi

Secara prinsip modernisme mencoba untuk menyatukan semua perbedaan berdasarkan perasaan hati.
Dengan demikian, tidak diperlukan doktrin-doktrin dan kebenaran-kebenaran absolut, karena doktrin-
doktrin hanyalah memecah belah rekonsiliasi. Dengan prinsip ini, mungkin saja dapat dicapai suatu
kedamaian yang sesaat, namun ini merupakan suatu toleransi yang semu. Toleransi yang bukan
berdasarkan doktrin namun berdasarkan perasaan saja. Dengan demikian, toleransi hanya dapat
membicarakan sesuatu yang bersifat humanisme, yang hanya berfokus pada kegiatan sosial,
peningkatan kehidupan di dunia ini.

Inilah sebabnya para Paus menyebutkan bahwa modernisme merupakan sintesis dari semua bidaah atau
kesesatan, karena bukan hanya melawan salah satu pengajaran dari Gereja Katolik, namun melawan
semua pengajaran Gereja Katolik sampai pada akar-akarnya. Seorang tidak dapat menjadi Katolik dan
sekaligus menjadi penganut modernisme.

2. Sekularisme

Adalah suatu prinsip yang hanya menaruh perhatian pada hal-hal yang dialami di dalam dunia ini. Ini
berarti, terjadi pemisahan terhadap agama, yang mengajarkan kehidupan kekal. Prinsip dari pengajaran
ini adalah: (a) meningkatkan kehidupan ini dengan hal-hal material, (b) ilmu pengetahuan yang dapat
menjawab segalanya, (c) adalah baik untuk melakukan kebaikan – yang berfokus pada kebaikan di dunia
ini.

Prinsip di atas, pada akhirnya akan menghasilkan materialisme, karena fokus dari prinsip ini adalah
meningkatkan kehidupan dengan hal-hal material dan kehidupan hanya dilihat sebagai apa yang dialami
di dunia ini.

3. Pemisahan antara iman dan kehidupan sehari-hari


Keadaan di atas diperparah dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dari umat beriman,
termasuk umat Gereja Katolik. Ada sebagian umat Katolik, yang mengaku diri menjadi umat Katolik
namun hidupnya tidak mencerminkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah mengenal Tuhan
dan telah diselamatkan. Orang-orang ini, yang walaupun umat beragama, namun hidupnya seolah-olah
tidak mengenal Tuhan. Paus Yohanes Paulus II menyebut kelompok ini sebagai “practical atheism“.
Karena mereka hidup seolah-olah tidak mengenal Tuhan, sebagai kebenaran absolut, maka keadaan dan
prinsip ini membuat seseorang menganut relativisme.

III. Bagaimana untuk menghadapi dunia yang dinominasi oleh modernisme dan sekularisme?

Untuk menghadapi situasi yang begitu sulit seperti saat ini, maka diperlukan keberanian, teguh dalam
prinsip dan kebenaran yang telah dinyatakan oleh Kristus dan diwariskan secara murni oleh Gereja.
Dengan menyadari kebenaran-kebenaran yang bersifat obyektif, maka seseorang dapat dengan yakin
mengemban tugas untuk menjadi saksi Kristus, menjadi garam dan terang di tengah-tengah dunia yang
dikuasai oleh modernisme. Oleh karena itu, mari kita mengingat dan berpartisipasi dalam tiga misi
keselamatan Kristus, yaitu menjadi nabi, imam dan raja. Katekismus Gereja Katolik, menegaskan hal ini
sebagai berikut:

KGK, 783. Yesus Kristus diurapi oleh Bapa dengan Roh Kudus dan dijadikan “imam, nabi, dan raja”.
Seluruh Umat Allah mengambil bagian dalam ketiga jabatan Kristus ini, dan bertanggung jawab untuk
perutusan dan pelayanan yang keluar darinya (Bdk. RH 18-21).

KGK, 871. “Orang-orang beriman kristiani ialah mereka yang dengan Pembaptisan menjadi anggota-
anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas
Kristus sebagai imam, nabi, dan raja, dan oleh karena itu sesuai dengan kedudukan mereka masing-
masing dipanggil untuk melaksanakan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk
dilaksanakan di dunia” (CIC, can. 204 ?1) Bdk. LG 31.

1. Menjadi imam

Secara prinsip imam adalah orang yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Dan sebagai
awam, maka cara paling efektif dalam membawa Kristus kepada dunia dan dunia kepada Kristus adalah
dengan cara hidup kudus. Kekudusan inilah yang menjadi bukti otentik bahwa seseorang benar-benar
mempercayai pengajaran Kristus dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
menjalankan fungsi imam dalam kehidupannya adalah orang-orang yang tidak mempunyai pemisah
antara imannya dan kehidupannya.

Ada satu perkataan dalam bahasa latin “bonum diffusivum sui” atau “kebaikan akan menyebar dengan
sendirinya”. Menyebarnya kebenaran yang diperkuat dengan perbuatan kasih akan semakin menjadi
nyata dan tidak dapat dicegah. Inilah sebabnya para santa-santo menyebarkan kebenaran yang harum
dan pada saat yang bersamaan menarik banyak orang untuk datang kepadanya.

Kaum awam melaksanakan tugas imam bersama secara khusus dalam setiap perayaan Ekaristi, karena di
dalam perayaan Ekaristi ini, setiap umat dapat membawa orang-orang lain untuk dipersatukan dalam
kurban Kristus.

2. Menjadi nabi

Secara prinsip, nabi adalah orang yang mewartakan apa yang difirmankan oleh Allah. Dengan demikian,
seorang nabi senantiasa mewartakan kebenaran. Dan kebenaran ini adalah kebenaran yang absolut,
bukan kebenaran relatif. Kebenaran ini bersumber pada Kristus sendiri yang diteruskan oleh Gereja
Katolik. Oleh karena itu, menjadi nabi bagi umat beriman berarti berani mewartakan kebenaran prinsip-
prinsip kristiani di dalam dunia ini.

Seorang nabi di tengah-tengah dunia ini adalah orang-orang yang berani hidup kudus, sehingga orang
lain dapat melihat nilai-nilai kebenaran yang dia pegang. Mereka adalah orang-orang yang berani untuk
hidup jujur, untuk hidup setia sesuai dengan prinsip-prinsip kristiani, serta menempatkan kebenaran di
atas kepentingan pribadi. Inilah sebabnya mereka adalah orang yang berani untuk mempraktekkan KBA
(Keluarga Berencana Alamiah), walaupun tahu bahwa hal tersebut sulit, namun kebenaran tentang hal
ini telah dinyatakan oleh Gereja-Nya. Seorang yang setia terhadap panggilan ini akan juga menerapkan
kemurnian di dalam pacaran, sehingga tidak melanggar batas-batas etika dalam berpacaran. Dia juga
tidak terjebak dalam pornografi, maupun dalam kehidupan seks bebas yang lain. Walaupun revolusi seks
berkembang dalam masyarakat, namun tugas kenabian menyadarkan umat Allah untuk terus bertahan
dalam kemurnian.

Kita melihat banyak contoh dari Perjanjian Lama, banyak nabi yang mengalami penderitaan seperti: nabi
Yesaya yang terbunuh oleh raja Manasseh, nabi Elia yang dikejar-kejar oleh raja Ahab dan ratu Izebel,
serta nabi-nabi yang yang mengalami penganiayaan-penganiayaan. Dan hal ini terus berlanjut ketika
Yohanes Pemandi dipenjara dan dibunuh oleh raja Herodes (lih. Mk 6:17-28), karena mewartakan
kebenaran, yaitu agar Herodes tidak mengambil istri saudaranya. Dan kebenaran yang diwartakan oleh
Kristus, akhirya membawa Kristus pada penderitaan salib. Inilah yang menjadi panggilan kita, yaitu
menjadi nabi yang mewartakan kebenaran, yang tidak memberikan kompromi terhadap kebenaran
namun harus juga dibarengi kebijaksanaan dalam mengaplikasikan kebenaran yang diwartakan.

3. Menjadi raja

Secara prinsip menjadi raja dalam nilai-nilai kristiani adalah menjadi pelayan. Oleh karena itu, untuk
menjadi raja, maka seseorang harus dapat memimpin dirinya terlebih dahulu dan mempunyai belas
kasih kepada sesama. Orang yang dapat menjadi raja yang baik adalah orang-orang yang dapat
menerapkan prinsip-prinsip kasih kepada sesama. Maka peran ‘raja’ di sini diterapkan bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani orang lain. Tugas-tugas pelayanan ini dapat dimanifestasikan dalam
keluarga, komunitas Gereja maupun dalam kehidupan masyarakat.

IV. Kesimpulan

Kita menyadari bahwa kita hidup di dunia ini, tempat dan kondisi yang sulit untuk dapat hidup kudus.
Dunia ini menawarkan kebohongan-kebohongan semu, yang didominasi oleh modernisme, relativisme
dan sekularisme, yang menyingkirkan Tuhan dari kehidupan bermasyarakat sampai kehidupan pribadi.
Oleh karena itu, untuk dapat melawan arus dunia ini, seseorang dituntut untuk setia pada kebenaran-
kebenaran kristiani, yang dimanifestasikan dalam partisipasi dalam tiga misi Kristus, yaitu sebagai imam,
nabi dan raja. Hanya dengan partisipasi inilah, maka seseorang dapat menjadi saksi Kristus yang baik.
Jadi, mari kita menyambut seruan dari konsili Vatikan II, yaitu untuk hidup kudus, setia terhadap
panggilan kita masing-masing, baik sebagai klerus maupun sebagai awam, sehingga kita dapat menjadi
garam dan terang dunia.

Catatan: artikel di atas ditulis sebagai bahan retret mudika tanggal 25 – 26 September 2010 di Jakarta.

Sumber : https://katolisitas.org/kepemimpinan-rohani-di-tengah-dunia/

Anda mungkin juga menyukai