Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yohanes Doharma Nahulae

NIM : 18.3420
Mata Kuliah : Metode Penelitian Teologi
Dosen Pengampu : Pdt. Mixon Simarmata, M.Th.
Etika Kristen dan Dunia Postmodern
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kelahiran konsumerisme dan pergeseran nilai etis terhadap manusia dan alam menandai
hilangnya rasa tanggung jawab etis. Kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab individu
yang mesti diemban semestinya telah berakar dalam pemikiran manusia menjadi dasar pola pikir
dewasa ini. Perubahan paradigma ini mengakibatkan peradaban semakin kehilangan jati diri
menjadi makhluk yang berakhlak. Kenyataan ini semakin terasa berat untuk dihilangkan ketika
tanggung jawab terhadap yang Lain semakin dielakkan dan dijauhkan. Sekularisme radikal yang
tidak disaring menyeret ide setiap eksklusif untuk bertindak serta berpikir perihal dirinya sendiri.
Kesadaran akan kehadiran orang lain merupakan suatu halangan yang bisa mengganggu setiap
tujuan yang hendak dicapai. dalam relasi keseharian, hanya berlaku relasi subjek-objek baik
dengan manusia juga dengan global.
Dalam hal tersebut terdapat suatu kenyataan, yaitu orang-orang Kristen tidak bisa tidak
menghadapi semua paradigma dunia. Dikarenakan dalam paradigma dunia inilah umat Kristiani
harus menjadi saksi Kristus Pada saat ini, ketika bergerak dari modernisme menuju
postmodernisme, setiap individu Kristen harus berusaha untuk menjadi tubuh Kristus dan wujud
serupa Kristus. Oleh karena itu, identitas etis seperti Kristus dari para anggotanya harus
dipertanyakan. Sepanjang sejarah orang telah berjuang dengan pertanyaan etis. Bahkan, isu-isu
etika tertentu bersifat abadi. Isu-isu besar etika seperti hak asasi manusia, keadilan sosial,
keseimbangan antara kerjasama damai dan penegasan diri pribadi, sinkronisasi perilaku individu
dan kesejahteraan kolektif, tidak kehilangan aktualitasnya. Pada zaman postmodern semua kode
moral pramodern dan modern sedang didekonstruksi. Hanya ada ketidakpastian, dan tentu hal
tersebut membawa individu tidak mementingkan sekitarnya dan hanya akan mementingkan
dirinya sebagai suatu individu (individualistik).
Dalam situasi seperti itu, kepribadian dan hidup Kristus harus diwujudkan dalam orang-
orang Kristen sebagai orang-orang yang percaya. Kristus dan orang-orang percaya, iman kepada
Kristus dan etika orang Kristen sebagai orang yang diselamatkan harus dipersatukan. Dengan
kata lain, iman kepada Yesus Kristus dan etika Kristen harus disatukan. Kesatuan ini bisa disebut
etika yang seperti kepribadian Kristus.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dunia Postmodern itu?
2. Apa etika Kristen?
3. Bagaimana menetapkan etika Kristen pada Dunia Postmodern?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk menyelesaikan tugas daripada mata kuliah Metode penelitian teologi
2. Untuk mengetahui dunia postmodern dan segala hal yang mengikutinya dan
mengetahui etika Kristen secara utuh

1
3. Untuk menempatkan posisi etika Kristen yang cocok dalam kehidupan dunia
Postmodern
1.4. Hipotesa Awal
Etika tanggung jawab merupakan etika Kristen yang cocok dalam kehidupan postmodern
yang bersifat individualistic.
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian berikut, penulis menggunakan metode studi literatur, dimana penulis
menggunakan literatur-literatur yang berkaitan dengan topik untuk diulas dan dibandingkan.

II. Landasan Teori


2.1. Dunia Postmodern
Secara umum, arti dari Postmodern adalah “setelah modern,” hal tersebut berdasarkan
kata “post” yang berarti setelah dan “modern” yang merujuk kepada dunia modern sebelumnya.
Namun yang mengakibatkan kekaburan arti istilah “postmodern” itu disebabkan oleh akhiran
“isme” dan awalan “post”-nya. Berkaitan dengan akhiran”isme” tersebut, postmodernisme
dibedakan dari postmodernitas. Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas
gambaran dunia,1 epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada
situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara
bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.
Dalam dunia postmodern orang tidak lagi yakin bahwa pengetahuan pada dasarnya baik.
Oleh karena itu, para postmodernis tidak lagi percaya pada Realitas atau Kebenaran universal.
Mereka juga menolak semua metanarasi total. Penekanan pada holisme di kalangan
postmodernis terkait dengan penolakan mereka terhadap asumsi Pencerahan - yaitu, kebenaran
itu pasti, dan karenanya pengetahuan yang murni rasional. Pemikiran postmodern menolak untuk
membatasi kebenaran pada dimensi rasionalnya dan dengan demikian mencopot intelek manusia
sebagai wasit kebenaran. Ada 'jalan valid lain untuk pengetahuan selain akal, kata postmodernis,
termasuk emosi dan intuisi.’2 Oleh karena itu, postmodernisme menganugerahkan suatu makna
pada emosi dan 'yang lain'.
II.2. Etika Kristen
Etika Kristen sendiri merupakan etika teologis dimana hal tersebut dipandang dari sudut
kepercayaan pada hukum Taurat dan Injil Allah. Etika Kristen berpangkalkan kepercayaan
kepada Allah, yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus.3 Ketika etika dipandang sebagai ilmu
yang menyatakan norma-norma atau sesuatu yang baik atau tidak, maka demikian juga etika
Kristen, namun etika Kristen lebih terkhusus kepada norma yang dilandasi oleh Alkitab. Makna
Etika Kristen sangat penting bagi kehidupan orang Kristen. Etika Kristen sebagai ilmu
mempunyai fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yaitu perannya sebagai petunjuk
dan penuntun tentang bagaimana manusia sebagai pribadi dan kelompok harus mengambil
keputusan tentang apa yang seharusnya berdasarkan kehendak dan Firman Tuhan. Khusus bagi
kehidupan umat Kristen haruslah berpedoman pada ketentuan Etika Kristiani yang mencakup

1
Christopher Butler, Postmodernism: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2002), 13-43.
2
Stanley J Grenz, A Primer on Postmodernism, (Michigan: Eerdmans, 1996), 7.
3
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 3, 17.

2
setiap aspek kehidupan dalam ruang lingkup individu, keluarga, kelompok sosial maupun dalam
bernegara.

III. Pembahasan
3.1. Etika Kristen dalam dunia Postmodern
Karakter moral Tuhan tidak berubah, sama seperti kebenaran Tuhan adalah kebenaran
mutlak, mutlak yang tidak pernah berubah atau tidak relatif. Inilah sebabnya mengapa kewajiban
moral yang dia berikan adalah mutlak. Yang dimaksud dengan kebenaran mutlak adalah sebagai
berikut: a) Ini tidak berarti bahwa orang Kristen dapat memiliki pengetahuan yang mutlak dan
lengkap tentang Allah dan manusia. b) Ini tidak berarti bahwa yang mutlak dapat membuktikan
secara mutlak. Esensi keberadaan Kristen adalah mutlak, tetapi berbeda dengan pembuktian
kebenaran. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya penjelasan intelektual dan dialog
dalam penjelasan-penjelasan mutlak tersebut. c) Ini tidak berarti bahwa cerita Kristen benar
dalam memahami semua aspek kepercayaannya. Groothuis menekankan hal ini, “Orang Kristen
harus merangkul kecanggihan dan pendalaman teologi melalui keterlibatan intelektual jangka
panjang dengan sesama orang percaya dan orang yang tidak percaya.4 Kebenaran itu universal.
Artinya, bisa diterapkan di mana saja, mencakup semuanya, dan tidak ada pengecualian.
Kebenaran Tuhan tidak parsial atau kontekstual, tetapi universal dalam cakupannya. Berdasarkan
hal ini, etika Kristen juga bersifat mutlak dan universal. Secara keseluruhan, itu diterapkan tanpa
kecuali dan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Etika Kristen didasarkan pada wahyu dan kehendak Allah melalui Firman-Nya;
Kebenaran Kekristenan bukanlah buatan manusia, tetapi melalui wahyu dari Allah, khususnya
melalui Firman-Nya. Berlawanan dengan konsepsi postmodern tentang bahasa, orang Kristen
percaya bahwa bahasa adalah karunia rasional dari Tuhan, terkait dengan keberadaannya melalui
citranya sendiri: Firman Tuhan yang berinkarnasi. Bahasa adalah alat Tuhan untuk
mengkomunikasikan kebenaran, meskipun bahasa itu sendiri mungkin tidak begitu jelas dari
pengalaman kita. Allah mengklaimnya di dalam Alkitab sebagai Firman-Nya yang tertulis. Jadi,
dasar etika Kristen adalah melihat Alkitab sebagai dasar kebenaran mutlak, bahwa Tuhan sendiri
telah mengungkapkan wahyu-Nya melalui Alkitab. Alkitab adalah standar dasar etika Kristen.
Etika Kristen berfokus pada kewajiban (deontologis) Etika Kristen adalah etika yang didasarkan
pada kewajiban bahwa kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum, perintah, dan aturan-Nya.
Evaluasi suatu tindakan sebagai baik atau buruk diukur dengan kepatuhan terhadap kewajiban
yang diperintahkan.5
Ketika membicarakan kecocokan etika Kristen dalam dunia postmodern, maka jawaban
yang dapat penulis berikan ialah etika tanggung jawab. Hal tersebut dikarenakan pendekatan
kepada Alkitab dalam perspektif etika tanggung jawab lebih mengena dan lebih bermanfaat
dalam membimbing mengambil keputusan dalam masyarakat Postmodern. Meski begitu, etika
tanggung jawab bukan tanpa kesulitan, kemahiran seseorang dalam membaca situasi diperlukan
dalam menerapkan etika tanggung jawab dalam mengambil suatu keputusan. 6 Untuk pembahasan
4
Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran, (Surabaya: Momentum, 2003), 59.
5
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan faktor-faktor di dalamnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 34.
6
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,2006), 40-42.

3
yang lebih jelas, penulis akan menguraikan etika tanggung jawab itu sendiri dan unsur-unsurnya
yang terlihat pada Alkitab.
3.1.1. Etika Tanggung Jawab
Etika Tanggung Jawab, dapat dipahami sebagai juga sebagai suatu faktisitas umum
menyatakan bahwa manusia tidak bisa lepas dari yang lain. Manusia menjadi manusia sejauh dia
mengakui bahwa dirinya selalu ada dalam relasi dengan yang lain. 7 Sikap tanggung jawab atas
orang lain itulah yang membuat dia sungguh-sungguh bereksistensi sebagai manusia.
Pemahaman tersebut dikemukakan oleh seorang filsuf Postmodern bernama Emmanuel Levinas.
Dengan pemahaman demikian, Levinas memberikan suatu sikap moral ketika manusia berjumpa
secara konkret dengan orang lain yakni sikap tanggung jawab. Etika tanggung jawab pada
dasarnya dipahami sebagai tanggung jawab melalui dan bagi yang lain. Tanggung jawab terjadi
pada saat “Wajah”8 tampil dan sifatnya absolut. Pada hakekatnya, tanggung jawab bagi “Yang
Lain” bukan berasal dari inisiatif subjek, melainkan telah mendahului kebebasan subjek tersebut.
Tanpa diperintah oleh pihak lain, maka subjek sudah dan harus bertanggung jawab pada “Wajah”
yang tampil. Dengan kata lain, bertanggung jawab terhadap orang lain bukanlah suatu perintah.9
Menurut etika tanggung jawab dalam kehidupan etis manusia bukan sebagai pencipta
atau warga negara, melainkan sebagai penjawab (orang yang menanggapi atau memberi respon
kepada peristiwa-peristiwa di sekitarnya).10 Dalam hubungannya dengan teologis, etika tanggung
jawab berpegang pada kehendak Tuhan yang dinyatakan dalam perbuatan-Nya pekerjaan-Nya,
dan kegiatan-Nya. Perbuatan kita dianggap baik kalau sesuai terhadap pekerjaan Allah.
Pernyataan etis yang terpenting adalah: apakah yang dikerjakan Allah dan bagaimana kita
menanggapinya.11 Dengan kata lain, etika tanggung jawab dinyatakan dalam tindakan, maka dari
itu yang dapat menggerakkan hanyalah kesadaran.
3.1.2. Etika Tanggung Jawab dalam Alkitab
Jika berbicara pendekatan etika tanggung jawab dalam Alkitab, dapat dikatakan hampir
seluruh peng-gambaran di Alkitab merupakan suatu tanggung jawab. Hal tersebut dikarenakan
etika tanggung jawab merupakan tindakan dari pada Allah sendiri, sedangkan hampir
keseluruhan Alkitab menceritakan tindakan Allah dalam sejarah Israel, dalam kehidupan,
penyaliban, dan kebangkitan Yesus Kristus, dan dalam perkembangan gereja baru.12 Berdasarkan
hal tersebut tentu wujud dari etika tanggung jawab ialah kasih itu sendiri. Disini penulis akan
menguraikan etika tanggung jawab yang tampak pada PL dan PB.

3.1.2.1. Penderitaan Ayub (Ayub 1-2)

7
Anton Bakker, Antropologi Metafisik: Manusia Mengakui Diri dan Yang-Lain sebagai Substansi dan Subjek,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), 38-43.
8
Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity, (Pittsburgh: Dusquesne University Press, 1985), 96. “Wajah yang lain”
menurut Levinas ialah substansi yang hadir dihadapan kita (subjek).
9
T. Nuyen, “Levinas and the Ethics of Pity,” dalam International Philosophical Quarterly 90/4, (2000), 414.
10
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 38.
11
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 38.
12
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 39.

4
Dalam narasi tersebut, terlihat cara Ayub merespon penderitaan yang dialaminya
menunjukkan sikap seorang yang memiliki kesadaran akan citranya sebagai manusia
yang merupakan gambar dan rupa Allah. Kisah tersebut menggambarkan Allah sebagai
pemimpin sidang Ilahi, dan menerangkan penderitaan Ayub dengan referensi pada
tuduhan yang dijatuhkan atas Ayub oleh si pendakwa (iblis). Tuduhannya ialah bahwa
Ayub saleh hanya karena ia tahu bahwa kesalehan itu berpahala.13
Penulis mencoba menilai kasus ini melalui salah satu dari tiga jalan dalam etika
Kristen yakni etika tanggung jawab. Dari perspektif tersebut dapat dikatakan
bahwasannya respon Ayub terhadap cobaan yang menghadangnya merupakan kasih nya
terhadap Allah. Reaksi Ayub yang pertama adalah tertuju pada Allah, ia sujud
menyembah (Ay. 1:14-19). Terbukti Ayub tidak mengutuki Allah. Ayub mengakui
kedaulatan Allah yang memberi dan mengambil, sehingga ia menerimanya tanpa
menuduh Allah berbuat yang kurang patut. Ayub melakukan refleksi diri untuk
merenungkan masalahnya dengan berdiam diri selama tujuh hari lamanya tanpa sepatah
katapun. Hal tersebut bukan dikarenakan tanpa sebab, Ayub menyadari eksistensinya
atau citra dirinya sebagai makhluk yang segambar dengan Allah. Ada eksistensi Allah
dalam dirinya yang menjadikan dirinya juga sadar akan eksistensinya. 14 Maka, oleh
kesadarannya akan eksistensinya, dirinya melakukan tanggung jawab yang seharusnya
muncul dari kesadarannya, yakni mengasihi Allah. Rasa tanggung jawab akan citra
dirinya sebagai gambar dan rupa Allah yang membuatnya mengasihi Allah. Ayub tidak
menganggap cobaan tersebut sebagai sesuatu yang mengekang dirinya. Bagaikan
sepasang kekasih, Ayub tidak memarahi Allah karena cobaan yang diterima nya, namun
menerimanya dengan terus mengasihi Allah.
3.1.2.2. Kasihilah Musuhmu (Matius 5: 44)
Dalam Matius 5:44, Yesus mengatakan: “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari
bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar
dan orang yang tidak benar.” Hal tersebut merupakan suatu instruksi agar kita sebagai
manusia mengasihi musuh kita, dan berdoa bagi yang menganiaya kita. Namun hal
tersebut bukan sekedar sebuah instruksi tanpa sebab. Yesus tidak mungkin memberikan
perintah kosong tanpa makna kepada para pendengarnya. Yesus, dalam keamnusiaannya
menyadari rasa tanggung-jawab akan sesama manusia. Dengan kata lain, Yesus
menyadari, bahwasannya sebagai manusia perlu bertanggung jawab akan sesamanya, dan
tanggung jawab atas sesamanya itu dilakukan dengan cara mengasihi. Sebagai manusia
perlu menyadari bahwasannya “wajah orang lain” sebagai gambar Allah yang sama
seperti dirinya. Hal tersebut dapat dinyatakan penting melalui tiga aspek. Pertama, dari
aspek rohani, Roh Allah yang berdiam di dalam diri manusia menjadikan manusia
sebagai cerminan dari diri Allah sendiri.15 Kedua, dari aspek psikologi, manusia mewarisi
sifat-sifat pribadi Allah dalam pikiran, perasaan dan kehendaknya. 16 Ketiga, dari aspek
13
John Drane, Memahami Perjanjian Lama 1, (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009), 88.
14
Menurut Origenes, manusia menurut gambar Allah berarti manusia memiliki tabiat yang berakal dengan maksud
agar manusia melalui ketaatannya menyadari keberadaan Allah dalam dirinya. (Lih. Harun Hadiwijona, Iman
Kristen, [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982], 189)
15
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia, (Surabaya: Momentum, 2004), 6
16
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas), 27.

5
sosial, manusia merupakan bagian dari warisan diciptakan segambar dan serupa dengan
Allah dan diantara pencipta dan ciptaan tersebut terjalin suatu hubungan timbal balik
yang harmonis.17
Oleh karena itu, Matius 5:44-45 menunjukkan bahwasannya kasih sebagai rasa
tanggung jawab kita terhadap orang lain. Meskipun musuh, namun orang tersebut
tetaplah citra diri manusia yang sama dengan kita. Dengan menyadari citra diri manusia
sebagai gambar dan rupa Allah maka teks tersebut tampak bukan sebagai suatu instruksi
atau perintah melainkan sebagai suatu tanggung jawab.
III.2. Dari Dekonstruksi Beralih Kepada Tanggung Jawab Atas “Yang Lain”
Para teolog postmodern telah mencoba untuk membebaskan manusia dari aspek-aspek
religius kemanusiaan, tidak hanya di ranah publik, tetapi juga di ranah privat dan emosional.
Postmodernisme menekankan ketidakpastian moral. Hal tersebut juga ditekankan dalam,
spiritualisme dan pluralisme. Tetapi kehidupan yang berpusat pada Kristus tidak diwujudkan
dalam paradigma postmodern. Postmodernisme juga dibangun di atas sentrisme diri manusia.
Sebenarnya, dalam postmodernisme, superioritas kemanusiaan dan kemandirian diri manusia
lebih ditekankan daripada Kristus dan Roh Kudus. Berkaitan dengan hal tersebut tampak ada
ideologi tidak teratur dan tidak berarti.18
Postmodernisme memiliki gagasan tentang 'ketakterbatasan' yang tidak ditempatkan di
dalam subjek dari luar, hal tersebut muncul dalam kesadaran dan menandakan perbedaan mutlak
radikal yang ada antara yang sama dan yang lain. Gagasan tentang 'ketakterbatasan' ini adalah
jejak masa lalu yang benar-benar heteronom, yang totalitasnya tidak dapat dipulihkan oleh
kesadaran.19 Postmodernisme mengembangkan diri heteronom dengan cara ini, kemudian
menghasilkan relativisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa pluralisme relativistik dari
modernitas akhir sangat individualistis. Hal tersebut mengangkat selera pribadi dan pilihan
pribadi sebagai segalanya dan akhir segalanya'.20 Dengan kata lain, paham tersebut dapat berarti,
untuk masing-masing miliknya sendiri dan setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri.
Berangkat dari hal tersebut, tentu kehidupan di era Postmodern bersifat dekonstruktif,
dimana menekankan segala sesuatu tidak ada yang pasti, terlebih lagi kepada moral. Maka dari
itu, manusia postmodern tidak lagi peduli dengan moral. Maka dari itu etika tanggung jawab
yang diwujudkan dalam kasih, amat berlaku pada kehidupan postmodern. Dikarenakan etika
tanggung jawab menekankan kesadaran, bukan karena perintah, sama halnya dengan kasih, yang
seharusnya timbul dalam suatu kesadaran, bukan atas perintah. Implikasinya tentu terhadap
‘yang lain’ tersebut, Oleh karena itu, peralihan dari dekonstruksi kepada tanggung jawab atas
yang lain dapat menyelamatkan kehidupan di era postmodern tersebut.

IV. Kesimpulan

17
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, 240.
18
Charlene Spretnak, States of Grace: The Recovery of Meaning in the Postmodern Age, (New York: HarperCollins,
1993), 13-17.
19
Brian Schroeder, Altaredground: Levinas, History and Violence, (New York: Routledge, 1996), 88.
20
Stanley J Grenz, A Primer on Postmodernism, 15.

6
Pikiran dan realitas dunia postmodern seperti embusan angin yang mencoba
menggoyahkan atau meruntuhkan sistem saat ini, termasuk benteng kuat keyakinan kita akan
Tuhan yang absolut dan metanarasi. Ini juga berdampak besar pada praktiknya. Pemikiran
postmodern dewasa ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap keadaan etika moral manusia.
Menghadapi situasi ini, kekristenan harus berusaha menyadari situasi postmodern yang penuh
ketidakpastian dan pesimisme ini. Tetapi akhirnya, Kekristenan harus mengambil posisi bahwa
fondasi kita terletak pada Tuhan kita yang hidup, yang menetapkan kemutlakan metanarasi dan
aturan-aturan umat. Kita perlu menyadari lingkungan kita dan keragaman dunia, tetapi tidak
mengkompromikan kebenaran. Selain itu, kita harus mengungkapkan kebenaran dengan
menyaksikannya di dunia sekitar kita, jauh di bawah "kebenaran palsu" yang mereka ciptakan
sendiri. Alkitab mengatakan bahwa ketika kita mengetahui kebenaran, kita memiliki kebebasan
sejati. Kebebasan sejati bukanlah ketika Anda dapat menilai sendiri apa yang benar atau salah,
tetapi ketika Anda sepenuhnya patuh pada kebenaran. Etika hidup kita ditentukan oleh kebenaran
Allah, bukan oleh diri kita sendiri. Etika Kristen adalah etika yang mengajak kita untuk taat
sepenuhnya dalam motivasi, cara, atau cara, dan tujuan. Jadi masalah dengan Kekristenan saat
ini bukanlah karena kita tidak mengetahui kebenaran, tetapi karena kita tidak menjalaninya
dengan benar di era ini. Kita lebih memilih untuk kompromi terhadap semangat zaman ini karena
tidak rela untuk menerima konsekuensi dalam menghidupi kebenaran yang sejati.
Oleh karena itu, etika tanggung jawab amatlah diperlukan di kehidupan Postmodern,
terutama oleh orang Kristen. Karena etika tanggung jawab membangkitkan semangat untuk
berbuat kasih, bahkan dapat dikatakan etika tanggung jawab merupakan cerminan dari kasih itu
sendiri. Sehingga, setelah melakukan rangkaian penelitian, dapat dipastikan bahwasanya hipotesa
awal penulis terbukti.

7
Daftar Pustaka
Adiwijona, H. (1982). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bakker, A. (2000). Antropologi Metafisik: Manusia Mengakui Diri dan Yang Lain sebagai
Substansi dan Subjek. Yogyakarta: Kanisius.
Berkhof, L. (2004). Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia. Surabaya: Momentum.
Brownlee, M. (1996). Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.
Brownlee, M. (2006). Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Butlet, C. (2002). Postmodernism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
Drane, J. (2009). Memahami Perjanjian Lama 1. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab.
Grenz, S. J. (1996). A Primer on Postmodernism. Michigan: Eerdmans.
Groothuis, D. (2003). Pudarnya Kebenaran. Surabaya: Momentum.
Levinas, E. (1985). Ethics and Infinity. Pittsburgh: Dusquesne University Press.
Nuyen, T. (2000). Levinas and the Ethics of Pity. International Philosopical Quarterly 90/4 ,
414.
Schroeder, B. (1996). Altaredground: Levinas, History and Violence. New York: Routledge.
Spretnak, C. (1993). States of Grace: The Recovery of Meaning in the Postmodern Age. New
York: HarperCollins.
Thiessen, H. C. Teologi Sistematika. Malang: Gandum Mas.
Verkuyl, J. (2004). Etika Kristen: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Anda mungkin juga menyukai