ESKATOLOGI
ATEISME SISTEMATIS
OLEH:
KRISTIANO EMANUEL TEFA (611 20 004)
ALFIANUS JUVENTUS BRIA (611 20 007)
DOMINIKUS YORDAN TABOY (611 20 008)
REALINO RIVALDO MAYA (611 20 033)
KRISTOFORUS YUBILIUS NAIMUNI (611 20 046)
RIVALDI BASTIANO HANI (611 20 049)
KRISTOFORUS NINU (611 20 064)
FAKULTAS FILSAFAT
PENFUI-KUPANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gaudium et Spes atau yang kita kenal sebagai konstitusi pastoral tentag gereja di dunia
modern, adalah salah satu dari empat konstitusi apostolik yang merupakan hasil dari konsili
vatikan II. Dokumen tersebut merupakan ajaran gereja katolik tentang hubungan kemanusiaan
dengan masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan ekonomi, kemiskinan, keadilan
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan ekumenisme. Dokumen ini diumumkan oleh
Paus Paulus VI pada 7 Desember 1965 dengan disetujui oleh para dewan dengan suara yang
mencapai 2.307 banding 75 uskup yang hadir. Judulnya diambil dai incipitnya dalam bahasa
latin yakni : “gaudium et spes, luctus et angor hominum huius temporis, pauperum praesertim
et quorumvis afflictorum, gaudium sunt et spes,luctus et angor et etiam christi
discipulorum”(kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang di zaman kita,
khususnya mereka yang miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan juga para pengikut kristus)1
Gaudium et spes terdiri dari dua bagian besar selain dari pendahuluan dan penutup.
Dalam bagian pendahuluan menjelaskan tentang peran gereja di dunia. dunia sedang berubah
secara cepat, dan dalam perubahan itu mengubah mentalitas orang-orang. dan dalam
perubahan itu menimbulkan berbagai masalah-masalah tetapi memunculkan juga aspirasi
universal akan hidup yang lebih manusiawi2 dalam bagian pendahuluan secara rinci terdiri
dari artikel 1-10 yakni 1. Hubungan erat antara gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa, 2.
Kepada siapa amanat ditunjukkan, 3. Pengabdian kepada manusia;penjelasan penadahuluan:
kenyataan manusia di dunia masa kini, 4. Harapan dan kegelisahan, 5. Perubahan situasi yang
mendalam, 6. Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat, 7. Perubahan-perubahan
psikologis, moral dan keagamaan, 8. Berbagai ketidakseimbangan dalam dunia sekarang. 9.
Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal dan 10. Pertanyaan-pertanyaan
1
https://justmecatholicfaith.wordpress.com/2012/08/19/gaudium-et-spes-2 diaskes pada tanggal 7 Juni 2023
jam 8 pagi
2
http://repository.unwira.ac.id/1880/4/BAB%20III.pdf diaskes pada tanggal 7 Juni 2023 jam 8 pagi
mendalam umat manusia3 . Bagian pertama(artikel11-45) gereja ingin menunjukkan hubungan
antara nilai manusia modern dan menyampaikan pandangan kristus tentang gereja dan
panggilan manusia. Dalam bagian pertama ini menjelaskan martabat manusia, kehidupan
masyarakat dan makna kegiatan manusia yang sebagai citra Allah dan juga peran gereja di
dunia. dan dalam bagian kedua(artikel 46-49), dalam bagian ni dikemukakan ada lima
masalah sosial yang dianggap mendesak yakni masalah perkawinan dalam keluarga,
kebudayaan, kehidupan sosial ekonomi, kehiudpan politik, persatuan dan kedamaian antar
bangsa. Pada bagian penutup(artikel 91-93) konsili ingin membantu semua orang agar mereka
makin jelas memahami panggilan manusiawi mereka. Gereja mendorong umat beriman untuk
mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif bagi sesama manusia. Selain itu
menyatakan tentang tugas setiap orang beriman dan gereja-gereja khusus, membangun dialog
antara semua orangdan membangun dunia dan mengarah kepada tujuan yaitu perdamaian dan
kebahagaiaan yang mulia4
Istilah “ateisme” menunjuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan
lainnya. Sebab ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang
beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada
pula yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga
masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-
batas ilmu-ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan
cara yang melalui ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya
kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga
iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; agaknya mereka lebih cenderung untuk
mengukuhkan kedudukan manusia daripada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang
menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu
memang sama sekali bukan Allah menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan
pertanyaanpertanyaan tentang Allah pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami
kegoncangan keagamaan, atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan
3
Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini “Gaudium et Spes”, dalam
R. Hardawiryana, S.J. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Dokpen-KWI, 1992), art. 1-10. Untuk
kutipan selanjutnya akan disingkat GS diikuti nomor artikelnya.
4
GS art. 91-93
agama. Selain itu ateisme tidak jarang timbul atau dari sikap memprotes keras kejahatan yang
berkecamuk di dunia, atau karena secara tidak masuk akal klaim sifat mutlak dikenakan pada
nilai-nilai manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu sudah dianggap menggantikan Allah.
Peradaban zaman sekarang pun, bukannya dari diri sendiri, melainkan karena terlalu erat
terjalin dengan hal-hal duniawi, acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati
Allah.
Memang, mereka yang dengan sengaja berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta
menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara hati nurani mereka, maka bukannya
tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiri pun sering memikul tanggung jawab atas
kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asali,
melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi
kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terutama terhadap agama kristiani.
Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu Umat beriman dapat juga tidak kecil peran
sertanya, yakni: sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman, atau dengan cara
memaparkan ajaran yang sesat, atau juga karena cacat-cela mereka dalam kehidupan
keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada
menyingkapkan wajah Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya.
Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab
musabab lainnya, ateisme sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian
jauh, sehingga menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang mana pun
juga. Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa
kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah satu-satunya perancang
dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut anggapan mereka itu tidak dapat diselaraskan
dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya
pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu didukung oleh perasaan berkuasa, yang
ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang. Di antara bentuk-bentuk
ateisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan pembebasan
manusia terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan, bahwa agama pada hakikatnya merintangi kebebasan itu, sejauh
menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja, dan
mengelakkannya dari pembangunan masyarakat di dunia. Maka dari itu para pendukung
ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan sengitnya menentang
agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan menggunakan upaya-upaya untuk
menekan, yang ada di tangan pemerintah, terutama dalam pendidikan kaum muda.
BAB II
PEMBAHASAN
Gaudium et Spes adalah konstitusi pastoral yang dikeluarkan oleh konsili Vatikan II pada
tahun 1965, yang merupakan dokumen penting dalam sejarah Gereja Katolik Roma yang
membahas hubungan Gereja dengan Dunia modern. Di dalam konstitusi Gaudium et Spes,
terdapat berbagai pasal yang menguraikan berbagai isu sosial, moral, keagamanan, yang relevan
dengan masyarakat modern.
Artikel 20 dari konstitusi Gaudium et Spes secara khusus membahas tentang fenomena
ateisme Sistematis. Ateisme sistematis dalam konteks ini, merujuk pada pandangan filosofis dan
ideologis yang secara sistematis menolak atau meragukan keberadaan Tuhan atau entitas
spiritual. Artikel ini mengakui bahwa ateisme sistematis menjadi salah satu tantangan besar
gereja dan kepercayaan religius di era modern. Secara rinci, isi artikel ini berbunyi:
Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya,
ateisme sistematis ini mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh sehingga menimbulkan
kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang mana juga. Mereka yang menyatakan diri penganut
ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya
sendiri; ialah satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. menurut anggapan mereka itu
tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau
setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu didukung oleh perasaan berkuasa yang
ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang.
Di antara bentuk kemajuan ateisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk yang mendambakan
pembebasan manusia terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan bahwa agama dan hakikatnya merintangi kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada
manusia harapan akan kehidupan pada masa mendatang yang semu saja., dan mengelakkannya dari
pembangunan masyarakat, di dunia. Maka dari itu, para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang
pemerintahan Negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga
menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada di tangan pemerintah, terutama dalam pendidikan
kaum muda.5
6
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hal. 88.
7
Dominikus Saku, , Bahan Kuliah Filsafat Ketuhanan, (Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2023), hal. 5.
8
Ibid
Tokoh terkenal yang beraliran Ateisme
A. Ludwight Feuerbach (1804-1872)
Semula Ludwigh Feuerbach adalah orang yang religius. Semula ia mengikuti
perkuliahan Hegel, dalam perkuliahan-Nya itu ia memberikan reaksi dan koreksi akan
apa yang disimpulkan Hegel. Menurut Feuerbach Hegel membolak-balikkan kenyataan.
Hegel memberikan sebuah kesan seolah yang nyata adalah Allah yang
tidakkelihatan, sedangkan manusia yang kelihatan sebatas wayangnya. Padahal hal yang
nyata yang tidak terbantahkan adalah manusia. Bagi Feuerbach manusia bukanlah
pikiran Allah melainkan Allah adalah pikiran manusia. Feuerbach menegaskan
bahwa manusia inderawi adalah yang tidak terbantahkan, sedang roh semesta
sebatas berada sebagai suatu obyek pikiran dari manusia. Menurutnya filsafat roh
sebaliknya yakni adalah kemenangan agama ata rasionalitas, sebab selalu
diandaikan sebegitu saja bahwa Tuhan ialah yang pertama sedang manusia yang kedua.
Feuerbach menyimpulkan bahwa, bukanlah Tuhan yang menciptakan namun justru
sebaliknya manusialah yang menciptakan Tuhan. Agama adalah proyeksi manusia
belaka.9
B. Karl Marx
Bertolakkan dari Ludwigh Feuerbach, Marx memberikan sebuah kritikan terhadap
agama, baginya agama sebatas proyeksi sifat hakikat manusia ke dalam surga. Karena
surgalah manusia membungkukkan lututnya kepada agama. Marx menegaskan sikap itu
tidaklah benar. Pertama, karena manusia membungkuk akan adanya daya
adikodrati, daripada itu menjadi heteronom. Kedua, karena daya itu sebatas daya
manusia sendiri jadi manusia mengosongkan diri juga membuat dirinya terpisah dari
ketermungkinan dalam merealisasikan identitasnya.10
9
M. R Dani, Konsep Ketuhanan: “Ateisme”, jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia, Vol. 1,
no. 2, (Januari, 2022), hal. 2-3
10
Ibid
Friedrich Nietzsche lahir di Prusia seorang putera pendeta. Keyakinan akan kekuatan
adikodrati (Tuhan) manusia yang telah ada sejak dahulu disangkal keras oleh
Friedrich Nietzsche. Sebagai seorang eksistensialis, beliau menggambarkan bahwa
Tuhan itu tidaklah ada dengan proses hidup. Ia menyuarakan bahwa Tuhan itu sudah
mati. Deklarasi yang disuarakan-Nya mengundang kontroversi dan mengguncang
tatanan kefilsafatan Barat demikian dogma kristen. Padahal Filsafat Barat dan dogma
Kristen amat melekat erat dengan ide dari Plato terkait Tuhan. Nilai-nilai itu
berdasarkan pandangan Friedrich Nietzsche mengunci kebebasan manusia dalam
mengadakan masa depan-Nya. Filsafat Friedrich Nietzsche bertumpukan pada
kehendak untuk berkuasa. Setiap manusia bagi Friedrich Nietzsche memiliki suatu
kehendak dalam menjadi manusia unggul dari manusia lain-Nya, konsekuensi yang
diterima dari argumen tersebut ialah manusia akan terus mengembangkan kehidupan-
Nya dan menemukan jalan-Nya sendiri tanpa Tuhan. Friedrich Nietzsche
menganggap bahwa kematian Tuhan membuka keselubungan nilai dan dogma
Kristen yang menjunjung tinggi hadirnya Tuhan dalam kehidupan manusia sendiri.
Teorinya tentang manusia super adalah pengejawantahan akan kehendak dari
manusia dalam mencapai kekuasaan yang tertinggi. Beliau ini amat keras dalam
memberikan kritikan terhadap agama kristen bahkan itu dianggapnya sebagai
agama dengan tingkat kebohongan yang paling fatal juga menawan.11
11
Ibid
dan terbatas dalam menentukan dirinya. Akhirnya disimpulkanlah bawa karena
manusia bebas maka Tuhan tidak ada.12
12
Ibid
13
Dominikus Saku, Op.Cit, hal. 6
14
Ibid
Di sisi lain ateis ialah karena adanya kejahatan di dunia. adanya suatu kejahatan demikian
penderitaan merupakan suatu penyebab utama keragu-raguan iman dan pemberontakan
puladalam melawan adanya Tuhan. Rumusan argumen mereka adalah: “Jika Tuhan ada,
tidak akan ada yang namanya kejahatan ditemukan, faktualnya kejahatan tetap ada, itu
berarti Allah tidak ada”. Kontradiksi antara agama dan sains merupakan sebuah
faktor yang tidak boleh untuk dilupakan. Kasus ini terjadi melalui persepsi
pribadinya bahwa sains amat bertolak belakang dengan agama. Itu akan
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwasan-Nya agama adalah suatu keyakinankuno
dan tidak selaras dengan perkembangan zaman. Pragmatisme, adalah sebuah faktor
tertentu yang menjadikan orang ateis. Dalam hal ini manusia memandang bahwa ritual
rutin dalam agama menjadikan manusia bukan hanya kesulitan mematuhinya,
namun juga terganggu, akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi ateis agar
tidak terikat dengan hal semacam itu.15
b) Faktor Eksternal
Dapat disebut beberapa faktor yang menjadikan manusia ateis diantaranya yakni
tradisi. Tradisi Yunani adalah salah satu contohnya, hal ini sebagaimana
menyebutkan,semula Yunani itu dipenuhi dengan sebuah keyakinan akan adanya suatu
daya adikodrat namun itu bergeser menjadi sebuah paham rasio dan menjelaskan
sesuatu dengan rasionya. Akhirnya dapat disebut lingkungan menjadi faktor yang harus
diperhatikan sebab itu berada dalam keseharian manusia dan itu akan membawa
pada kebiasaan sehingga di kemudian manusia akan mengikutinya.16
BAB III
PENUTUP
19
Lih. Flp 1:27.
Kesimpulan
Umumnya ateisme dipahami sebagai suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu
tidaklah ada. Jika dilihat secara etimologi, istilah ateisme (atheism)merupakan serapan dari
kata Yunani “Atheos”yang tersusun atas “a”(tidak) dan “Theos”(Tuhan), daripada ituateisme
ialah pandangan bahwa Tuhan itu tidaklah ada. Sedangkan secara terminologi ateisme adalah
sebuah pandangan yang menolak akan adanya daya adikodrati, hidup setelah mati atau umumnya
berada dalam ranah Tuhan. Sebagaimana yang terasa bahwa ateisme itu mereka menolak
akan adanya Tuhan dalam kehidupan ini. Bagi mereka yang ada ialah hanya alam kebendaan
juga kehidupan sebatas hanya dalam kehidupan duniawi semata. Alam keruhanian serta alam
setelah kematian ialah imajinasi manusia yang tidak dapat terbuktikan kebenaran-Nya. Ateisme
sudah mengalami perkembangan tatkala manusia mulai mengembangkan konsepsi
ketuhanan pertama animisme, politeisme hingga monoteisme. Dapat dilihat bahwa
kehidupan manusia sejak dahulu sudah penuh dengan keyakinan akan keberadaanTuhan
(dewa)dan itu biasa dibungkus dalam term agama yang memberikan suatu keyakinan terhadap
kuasa superanatural yang berpusat pada Tuhan (dewa). Hal itu masih terlihat dengan adanya
penelitian yang menyatakan bahwa posisi ateisme di dunia ini adalah golongan minoritas,
kebanyakan manusia berada pada dataran teisme. Dapat disebut bahwa Lawan daripada
ateisme ialah teisme. Dalam penolakan-Nya itu disebabkan beberapa faktor yang antara lain
terdiri dari faktor internal berupa: pendidikan dini, rasio, kejahatan, pragmatisme dan
kontradiksi antara agama dan sains. Faktor eksternal berupa: lingkungan hidup dan tradisi.
Gerakan ateisme itu sungguh amat berbahaya, jika kita melihat secara historis maka wacana
ateisme itu menjadi suatu yang begitu berbahaya karena penciptaan alam semesta yang diyakini
tidak ada keterkaitan-Nya dengan Tuhan dan tidak percaya akan adanya Tuhan.20
DAFTAR PUSTAKA
Saku, Dominikus, 2023, Bahan Kuliah Filsafat Ketuhanan, (Fakultas Filsafat Unwira Kupang).