Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

ESKATOLOGI

ATEISME SISTEMATIS

(Konstitusi Pastoral “GAUDIUM ET SPES”, art. 20)

OLEH:
 KRISTIANO EMANUEL TEFA (611 20 004)
 ALFIANUS JUVENTUS BRIA (611 20 007)
 DOMINIKUS YORDAN TABOY (611 20 008)
 REALINO RIVALDO MAYA (611 20 033)
 KRISTOFORUS YUBILIUS NAIMUNI (611 20 046)
 RIVALDI BASTIANO HANI (611 20 049)
 KRISTOFORUS NINU (611 20 064)

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

PENFUI-KUPANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Gaudium et Spes atau yang kita kenal sebagai konstitusi pastoral tentag gereja di dunia
modern, adalah salah satu dari empat konstitusi apostolik yang merupakan hasil dari konsili
vatikan II. Dokumen tersebut merupakan ajaran gereja katolik tentang hubungan kemanusiaan
dengan masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan ekonomi, kemiskinan, keadilan
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan ekumenisme. Dokumen ini diumumkan oleh
Paus Paulus VI pada 7 Desember 1965 dengan disetujui oleh para dewan dengan suara yang
mencapai 2.307 banding 75 uskup yang hadir. Judulnya diambil dai incipitnya dalam bahasa
latin yakni : “gaudium et spes, luctus et angor hominum huius temporis, pauperum praesertim
et quorumvis afflictorum, gaudium sunt et spes,luctus et angor et etiam christi
discipulorum”(kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang di zaman kita,
khususnya mereka yang miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan juga para pengikut kristus)1

Gaudium et spes terdiri dari dua bagian besar selain dari pendahuluan dan penutup.
Dalam bagian pendahuluan menjelaskan tentang peran gereja di dunia. dunia sedang berubah
secara cepat, dan dalam perubahan itu mengubah mentalitas orang-orang. dan dalam
perubahan itu menimbulkan berbagai masalah-masalah tetapi memunculkan juga aspirasi
universal akan hidup yang lebih manusiawi2 dalam bagian pendahuluan secara rinci terdiri
dari artikel 1-10 yakni 1. Hubungan erat antara gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa, 2.
Kepada siapa amanat ditunjukkan, 3. Pengabdian kepada manusia;penjelasan penadahuluan:
kenyataan manusia di dunia masa kini, 4. Harapan dan kegelisahan, 5. Perubahan situasi yang
mendalam, 6. Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat, 7. Perubahan-perubahan
psikologis, moral dan keagamaan, 8. Berbagai ketidakseimbangan dalam dunia sekarang. 9.
Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal dan 10. Pertanyaan-pertanyaan

1
https://justmecatholicfaith.wordpress.com/2012/08/19/gaudium-et-spes-2 diaskes pada tanggal 7 Juni 2023
jam 8 pagi
2
http://repository.unwira.ac.id/1880/4/BAB%20III.pdf diaskes pada tanggal 7 Juni 2023 jam 8 pagi
mendalam umat manusia3 . Bagian pertama(artikel11-45) gereja ingin menunjukkan hubungan
antara nilai manusia modern dan menyampaikan pandangan kristus tentang gereja dan
panggilan manusia. Dalam bagian pertama ini menjelaskan martabat manusia, kehidupan
masyarakat dan makna kegiatan manusia yang sebagai citra Allah dan juga peran gereja di
dunia. dan dalam bagian kedua(artikel 46-49), dalam bagian ni dikemukakan ada lima
masalah sosial yang dianggap mendesak yakni masalah perkawinan dalam keluarga,
kebudayaan, kehidupan sosial ekonomi, kehiudpan politik, persatuan dan kedamaian antar
bangsa. Pada bagian penutup(artikel 91-93) konsili ingin membantu semua orang agar mereka
makin jelas memahami panggilan manusiawi mereka. Gereja mendorong umat beriman untuk
mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif bagi sesama manusia. Selain itu
menyatakan tentang tugas setiap orang beriman dan gereja-gereja khusus, membangun dialog
antara semua orangdan membangun dunia dan mengarah kepada tujuan yaitu perdamaian dan
kebahagaiaan yang mulia4

2. Bentuk dan Akar Ateisme

Istilah “ateisme” menunjuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan
lainnya. Sebab ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang
beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada
pula yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga
masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-
batas ilmu-ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan
cara yang melalui ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya
kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga
iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; agaknya mereka lebih cenderung untuk
mengukuhkan kedudukan manusia daripada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang
menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu
memang sama sekali bukan Allah menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan
pertanyaanpertanyaan tentang Allah pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami
kegoncangan keagamaan, atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan
3
Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini “Gaudium et Spes”, dalam
R. Hardawiryana, S.J. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Dokpen-KWI, 1992), art. 1-10. Untuk
kutipan selanjutnya akan disingkat GS diikuti nomor artikelnya.
4
GS art. 91-93
agama. Selain itu ateisme tidak jarang timbul atau dari sikap memprotes keras kejahatan yang
berkecamuk di dunia, atau karena secara tidak masuk akal klaim sifat mutlak dikenakan pada
nilai-nilai manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu sudah dianggap menggantikan Allah.
Peradaban zaman sekarang pun, bukannya dari diri sendiri, melainkan karena terlalu erat
terjalin dengan hal-hal duniawi, acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati
Allah.

Memang, mereka yang dengan sengaja berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta
menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara hati nurani mereka, maka bukannya
tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiri pun sering memikul tanggung jawab atas
kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asali,
melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi
kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terutama terhadap agama kristiani.
Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu Umat beriman dapat juga tidak kecil peran
sertanya, yakni: sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman, atau dengan cara
memaparkan ajaran yang sesat, atau juga karena cacat-cela mereka dalam kehidupan
keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada
menyingkapkan wajah Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya.

Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab
musabab lainnya, ateisme sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian
jauh, sehingga menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang mana pun
juga. Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa
kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah satu-satunya perancang
dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut anggapan mereka itu tidak dapat diselaraskan
dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya
pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu didukung oleh perasaan berkuasa, yang
ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang. Di antara bentuk-bentuk
ateisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan pembebasan
manusia terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan, bahwa agama pada hakikatnya merintangi kebebasan itu, sejauh
menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja, dan
mengelakkannya dari pembangunan masyarakat di dunia. Maka dari itu para pendukung
ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan sengitnya menentang
agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan menggunakan upaya-upaya untuk
menekan, yang ada di tangan pemerintah, terutama dalam pendidikan kaum muda.

BAB II
PEMBAHASAN

Gaudium et Spes adalah konstitusi pastoral yang dikeluarkan oleh konsili Vatikan II pada
tahun 1965, yang merupakan dokumen penting dalam sejarah Gereja Katolik Roma yang
membahas hubungan Gereja dengan Dunia modern. Di dalam konstitusi Gaudium et Spes,
terdapat berbagai pasal yang menguraikan berbagai isu sosial, moral, keagamanan, yang relevan
dengan masyarakat modern.

Artikel 20 dari konstitusi Gaudium et Spes secara khusus membahas tentang fenomena
ateisme Sistematis. Ateisme sistematis dalam konteks ini, merujuk pada pandangan filosofis dan
ideologis yang secara sistematis menolak atau meragukan keberadaan Tuhan atau entitas
spiritual. Artikel ini mengakui bahwa ateisme sistematis menjadi salah satu tantangan besar
gereja dan kepercayaan religius di era modern. Secara rinci, isi artikel ini berbunyi:

Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya,
ateisme sistematis ini mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh sehingga menimbulkan
kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang mana juga. Mereka yang menyatakan diri penganut
ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya
sendiri; ialah satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. menurut anggapan mereka itu
tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau
setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu didukung oleh perasaan berkuasa yang
ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang.

Di antara bentuk kemajuan ateisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk yang mendambakan
pembebasan manusia terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan bahwa agama dan hakikatnya merintangi kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada
manusia harapan akan kehidupan pada masa mendatang yang semu saja., dan mengelakkannya dari
pembangunan masyarakat, di dunia. Maka dari itu, para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang
pemerintahan Negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga
menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada di tangan pemerintah, terutama dalam pendidikan
kaum muda.5

 Konsep Ateisme secara umum


5
GS art.8.
Realitas kehidupan yang terjadi pada manusia membuat mereka akan memberikan
pilihan yang sangat variatif mengenai hal-hal yang terjadi. Tentu saja hidup adalah pilihan,
bagaimana manusia memilih mana jalan yang harus mereka lewati untuk kelanjutan hidup
yang mereka jalani. Sejak dahulu, manusia telah mempunyai kepercayaan akan adanya
sebuah unsur transenden yang menyertai kehidupannya. Unsur yang transenden ini sering
disebut sebagai wujud tertinggi yang yang mengusai seluruh alam raya dan tak mampu
digapai oleh apa dan siapa pun. Unsur transenden itu sering diklarifikasikan kedalam tiga
periode, yakni: Animisme (benda-benda diyakini memiliki jiwa) ; Politeisme (keyakinan
akan banyak dewa yang menguasai lapangan tertentu semisal gunung, laut dan
sebagainya); Monoteisme (adalah taraf tertinggi dengan meyakini hanya ada satu
Tuhan).6 Dalam perjalanan waktu, adanya perkembangan ilmu pengetahuan, secara khusus
perkembangan imu filsafat akhirnya menimbulkan pertanyaan dari manusia mengenai yang
transenden itu. sebut saja pertanyaan seperti siapa itu wujud tertinggi itu, atau bagaimanakah
peran wujud tertinggi itu dalam kehidupan umat manusia.
Namun, timbulnya berbagai pertanyaan ini justru tidak memampukan manusia untuk
meyakini dan mendekati yang transenden itu, sebaliknya membuat manusia semakin ragu,
bahkan menolaknya karena ia tidak menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan itu.
penolakan inilah yang kemudian termanifestasi dalam sikap-sikap negative terhadap
masalah transcendental seperti ateisme.7
Ateisme merupakan konsep dimana manusia tidak percaya akan keberadaan atau adanya
Tuhan/wujud tertinggi. Dimana dalam kehidupan yang mereka jalani, Tuhan tidak benar-
benar dibutuhkan dalam aspek-aspek yang mereka lakukan. Mereka menjalani hidup tanpa
berpangku tangan pada Tuhannya, seolah mereka hanya perlu berjuang atas dirinya sendiri.
Bagaimana mereka menjalani hidup adalah keputusan yang harus mereka lewati dengan
usaha dan tekad mereka.8
Dengan demikian, berdasarkan deskripsi singkat di atas dapat diasumsikan bahwa sikap
ketidakpuasan manusia terhadap pertanyaan mengenai yang transenden akhirnya
menimbulkan adanya aliran yang menentang eksistensi wujud tertinggi itu. aliran ini sering
disebut sebagai ateisme.

6
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hal. 88.
7
Dominikus Saku, , Bahan Kuliah Filsafat Ketuhanan, (Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2023), hal. 5.
8
Ibid
 Tokoh terkenal yang beraliran Ateisme
A. Ludwight Feuerbach (1804-1872)
Semula Ludwigh Feuerbach adalah orang yang religius. Semula ia mengikuti
perkuliahan Hegel, dalam perkuliahan-Nya itu ia memberikan reaksi dan koreksi akan
apa yang disimpulkan Hegel. Menurut Feuerbach Hegel membolak-balikkan kenyataan.
Hegel memberikan sebuah kesan seolah yang nyata adalah Allah yang
tidakkelihatan, sedangkan manusia yang kelihatan sebatas wayangnya. Padahal hal yang
nyata yang tidak terbantahkan adalah manusia. Bagi Feuerbach manusia bukanlah
pikiran Allah melainkan Allah adalah pikiran manusia. Feuerbach menegaskan
bahwa manusia inderawi adalah yang tidak terbantahkan, sedang roh semesta
sebatas berada sebagai suatu obyek pikiran dari manusia. Menurutnya filsafat roh
sebaliknya yakni adalah kemenangan agama ata rasionalitas, sebab selalu
diandaikan sebegitu saja bahwa Tuhan ialah yang pertama sedang manusia yang kedua.
Feuerbach menyimpulkan bahwa, bukanlah Tuhan yang menciptakan namun justru
sebaliknya manusialah yang menciptakan Tuhan. Agama adalah proyeksi manusia
belaka.9

B. Karl Marx
Bertolakkan dari Ludwigh Feuerbach, Marx memberikan sebuah kritikan terhadap
agama, baginya agama sebatas proyeksi sifat hakikat manusia ke dalam surga. Karena
surgalah manusia membungkukkan lututnya kepada agama. Marx menegaskan sikap itu
tidaklah benar. Pertama, karena manusia membungkuk akan adanya daya
adikodrati, daripada itu menjadi heteronom. Kedua, karena daya itu sebatas daya
manusia sendiri jadi manusia mengosongkan diri juga membuat dirinya terpisah dari
ketermungkinan dalam merealisasikan identitasnya.10

C. Friedrich Nietzsche (1844-1900)

9
M. R Dani, Konsep Ketuhanan: “Ateisme”, jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia, Vol. 1,
no. 2, (Januari, 2022), hal. 2-3
10
Ibid
Friedrich Nietzsche lahir di Prusia seorang putera pendeta. Keyakinan akan kekuatan
adikodrati (Tuhan) manusia yang telah ada sejak dahulu disangkal keras oleh
Friedrich Nietzsche. Sebagai seorang eksistensialis, beliau menggambarkan bahwa
Tuhan itu tidaklah ada dengan proses hidup. Ia menyuarakan bahwa Tuhan itu sudah
mati. Deklarasi yang disuarakan-Nya mengundang kontroversi dan mengguncang
tatanan kefilsafatan Barat demikian dogma kristen. Padahal Filsafat Barat dan dogma
Kristen amat melekat erat dengan ide dari Plato terkait Tuhan. Nilai-nilai itu
berdasarkan pandangan Friedrich Nietzsche mengunci kebebasan manusia dalam
mengadakan masa depan-Nya. Filsafat Friedrich Nietzsche bertumpukan pada
kehendak untuk berkuasa. Setiap manusia bagi Friedrich Nietzsche memiliki suatu
kehendak dalam menjadi manusia unggul dari manusia lain-Nya, konsekuensi yang
diterima dari argumen tersebut ialah manusia akan terus mengembangkan kehidupan-
Nya dan menemukan jalan-Nya sendiri tanpa Tuhan. Friedrich Nietzsche
menganggap bahwa kematian Tuhan membuka keselubungan nilai dan dogma
Kristen yang menjunjung tinggi hadirnya Tuhan dalam kehidupan manusia sendiri.
Teorinya tentang manusia super adalah pengejawantahan akan kehendak dari
manusia dalam mencapai kekuasaan yang tertinggi. Beliau ini amat keras dalam
memberikan kritikan terhadap agama kristen bahkan itu dianggapnya sebagai
agama dengan tingkat kebohongan yang paling fatal juga menawan.11

D. Jean-Paul Sartre (1905-1980)


Jeul-Paul Sartre (1905-1980) adalah seorang filsuf juga sastrawan berkebangsaan
Perancis yang ateis. Dalam perspektifnya ia menegaskan bahwa manusia itu
memeiliki kesadaran, karena adanya kesadaran itu, maka manusia mampu untuk
menentukan esensi. Ia menegaskan bahwa senadainya Tuhan itu ada maka Tuhan harus
bagian dari etre-en-soi dan etre-pour-soi. Namun Tuhan yang demikian adalah
kemustahilan sebab memunculkan kontradiksi tentunya. Ia menolak keberadaan
Tuhan sekaligus mendelegasikan bahwa manusia mempunyai kebebasan,
seandainya Tuhan ada tentu manusia tidak mampu merealisasikan dirinya secara sunguh

11
Ibid
dan terbatas dalam menentukan dirinya. Akhirnya disimpulkanlah bawa karena
manusia bebas maka Tuhan tidak ada.12

 Pemahaman Ateisme dewasa ini


Dewasa ini, konsep ateisme sendiri dapat dipahami atas dua bagian. Pertama, ateisme
praktis, yaitu situasi dimana orang sengaja melalaikan soal Tuhan dan agama dan tidak
memikirkannya, seolah-olah Tuhan tidak ada. Kerap kali situasi hidup sekularistis dan
materialistis merupakan lahan subur bagi ateisme praktis. Namun ada situasi tertentu
(“situasi batas”) yang memaksa orang memikirkan dan mempertimbangkan kembali arti,
nilai dan tujuan hidupnya; orang terpaksa mengakui kontingensi atau ketergantungannya
kepada Tuhan/yang Transenden.13
Sementara itu, pada satu pihak ateisme sistematis merupakan upaya manusia untuk
secara ilmiah membentuk suatu sistem ajaran yang mau membuktikan bahwa realitas yang
kita alami tidak membutuhkan suatu prinsip Transenden, agar realitas itu dapat dimengerti,
menjadi intellegibile. Tepatnya orang berupaya secara sistematis dan praktis (lewat upaya
indoktrinasi) untuk membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar tidak ada.14

 Faktor penyebab seorang menjadi ateisme


a) Faktor Internal
Dapat dikata bahwa semula manusia mendapatkan pendidikan dini dari orang tua.
Melihat kearah itu, maka tatkala orang tua memberikan pendidikan jauh daripada
agama kepada anak kendati orang tua itu adalah beragama maka anak kemudian akan
berpotensi utuk menjadi ateis kedepan-nya. Penolakan kepada Tuhan dapat disebut
sebab kekerasan hati manusia yang dominan menolak hal yang adikodrati. Manusia
berupaya memahami Tuhan melalui polarisasi pemikiran-Nya. Penelaahan Tuhan itu
dimulai daripada perenungan pada filsafat yang diistilahkan “theologi kodrati” dan
juga “theodise”. Para filsuf juga ilmuwan memperlihatkan rasionya dalam menyelidiki
keberadaan Tuhan, bahkan Rasio dianggap Tuhan oleh mereka. Itu menimbulkan
beberapa paham yakni idealisme, eksistensialisme, materialisme, juga rasionalisme.

12
Ibid
13
Dominikus Saku, Op.Cit, hal. 6
14
Ibid
Di sisi lain ateis ialah karena adanya kejahatan di dunia. adanya suatu kejahatan demikian
penderitaan merupakan suatu penyebab utama keragu-raguan iman dan pemberontakan
puladalam melawan adanya Tuhan. Rumusan argumen mereka adalah: “Jika Tuhan ada,
tidak akan ada yang namanya kejahatan ditemukan, faktualnya kejahatan tetap ada, itu
berarti Allah tidak ada”. Kontradiksi antara agama dan sains merupakan sebuah
faktor yang tidak boleh untuk dilupakan. Kasus ini terjadi melalui persepsi
pribadinya bahwa sains amat bertolak belakang dengan agama. Itu akan
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwasan-Nya agama adalah suatu keyakinankuno
dan tidak selaras dengan perkembangan zaman. Pragmatisme, adalah sebuah faktor
tertentu yang menjadikan orang ateis. Dalam hal ini manusia memandang bahwa ritual
rutin dalam agama menjadikan manusia bukan hanya kesulitan mematuhinya,
namun juga terganggu, akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi ateis agar
tidak terikat dengan hal semacam itu.15
b) Faktor Eksternal
Dapat disebut beberapa faktor yang menjadikan manusia ateis diantaranya yakni
tradisi. Tradisi Yunani adalah salah satu contohnya, hal ini sebagaimana
menyebutkan,semula Yunani itu dipenuhi dengan sebuah keyakinan akan adanya suatu
daya adikodrat namun itu bergeser menjadi sebuah paham rasio dan menjelaskan
sesuatu dengan rasionya. Akhirnya dapat disebut lingkungan menjadi faktor yang harus
diperhatikan sebab itu berada dalam keseharian manusia dan itu akan membawa
pada kebiasaan sehingga di kemudian manusia akan mengikutinya.16

 Sikap Gereja Menghadapi Ateisme


Dalam kesetiaannya terhadap Allah dan terhadap manusia Gereja tidak dapat lain
kecuali tiada hentinya, dengan sedih hati tetapi juga dengan amat tegas, mengecam
ajaran-ajaran maupun tindakan-tindakan yang berbahaya itu, yang bertentangan dengan
akal budi dan pengalaman umum manusiawi, dan meruntuhkan manusia dari
keluhurannya menurut asalnya, sebagaimana sebelum ini Gereja telah mengecamnya.17
15
M. R Dani, Op.Cit, hal. 4.
16
Ibid
17
PIUS XI, Ensiklik Divini Redemptoris, 19 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 65-106. - PIUS XII, Ensiklik
Ad Apostolorum Principis, 29 Juni 1958: AAS 50 (1958) hlm. 601-614. - YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et
Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm.451-452. - PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, 6 Agustus 1964:
Tetapi Gereja berusaha menggali sebab musababnya yang terselubung, mengapa
dalam pemikiran kaum ateis Allah diingkari. Karena menyadari beratnya masalah-
persoalan yang ditimbulkan oleh ateisme, dan karena terdorong oleh cinta kasih terhadap
semua orang, Gereja berpandangan, bahwa soal-soal itu perlu diselidiki secara serius dan
lebih mendalam. Gereja berpendirian, bahwa pengakuan terhadap Allah sama sekali tidak
berlawanan dengan martabat manusia, sebab martabat itu didasarkan pada Allah sendiri
dan disempurnakan dalam-Nya. Sebab oleh Allah Pencipta manusia ditempatkan dalam
masyarakat sebagai ciptaan yang berakal budi dan berkehendak bebas. Tetapi terutama
manusia dipanggil sebagai putera untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah dan ikut
serta menikmati kebahagiaan-Nya.
Selain itu, Gereja mengajarkan, bahwa karena harapan akan zaman terakhir
tugas-tugas duniawi bukannyaberkurang pentingnya; melainkan penunaiannya justru
diteguhkan dengan motivasi-motivasi yang baru. Sebaliknya, bila tidak ada dasar ilahi
dan harapan akan hidup kekal, martabat manusia menanggung luka-luka amat berat,
seperti sekarang ini sering ternyata; lagi pula teka-teki kehidupan dan kematian,
kesalahan maupun penderitaan, tetap tidak terpecahkan, sehingga tidak jarang orang-
orang terjerumus ke dalam rasa putus asa. Sementara itu setiap orang bagi dirinya sendiri
tetap menjadi masalah yang tak terselesaikan, ditangkap samar-samar. Sebab pada saat-
saat tertentu, terutama pada peristiwa-peristiwa hidup yang agak penting, tidak seorang
pun mampu menghindari sama sekali pertanyaan tersebut di atas. Persoalan itu hanya
Allahlah yang dapat menjawab sepenuhnya dan dengan sepastipastinya, Dia yang
memanggil manusia ke arah pemikiran yang lebih mendalam dan penyelidikan yang lebih
rendah hati. Adapun penawar bagi ateisme harus diharapkan dari ajaran yang dipaparkan
dengan baik, maupun dari perihidup Gereja serta para anggotanya secara menyeluruh.
Sebab panggilan Gerejalah menghadirkan dan seperti mengejawantahkan Allah Bapa
beserta Putera-Nya yang menjelma, dengan terus menerus membaharui dan
membersihkan diri di bawah bimbingan Roh Kudus.18
Itu terutama terlaksana melalui kesaksian iman yang hidup dan dewasa, artinya
telah dibina untuk mampu menangkap dengan jelas kesulitan-kesulitan yang muncul dan

AAS 56 (1964) hlm. 651- 653.


18
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja “Lumen Gentium”, dalam R. Hardawiryana, S.J.
(Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Dokpen-KWI, 1990), artikel 8.
mengatasinya. Kesaksian iman yang gemilang itu di masa silam dan sekarang ini
disampaikan oleh amat banyak saksi iman. Iman itu harus menampakkan kesuburannya
dengan merasuki seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang profan, dan
dengan menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan mengamalkan cinta
kasih, terutama terhadap kaum miskin. Akhirnya untuk menampilkan kehadiran Allah
sangat mendukunglah kasih persaudaraan Umat beriman, yang sehati sejiwa berjuang
demi iman yang bersumber pada Injil,19 serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.
Akan tetapi Gereja, sungguhpun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati
menyatakan, bahwa semua orang, beriman maupun tidak, harus menyumbangkan jasa
untuk membangun dengan baik dunia ini, yang merupakan tempat kediaman mereka
bersama. Tentu saja itu tidak dapat terlaksana tanpa perundingan yang tulus dan
bijaksana. Maka Gereja juga menyesalkan diskriminasi antara kaum beriman dan kaum
tak beriman, yang secara tidak adil diberlakukan oleh beberapa pemimpin negara, yang
tidak mengakui hak-hak asasi pribadi manusia.
Adapun bagi Umat beriman Gereja sungguh-sungguh menghendaki kebebasan
yang efektif, supaya mereka diizinkan juga untuk mendirikan kenisah Allah di dunia ini.
Dengan tulus hati Gereja mengundang kaum ateis, untuk mempertimbangan Injil Kristus
dengan hati terbuka. Sebab bila Gereja mengembalikan harapan kepada mereka, yang
karena putus asa sudah tidak berpikir lagi tentang perbaikan mutu hidup mereka, dan
dengan demikian membela martabat panggilan manusia, Gereja sungguh yakin, bahwa
amanatnya menanggapi dambaan-dambaan hati manusia yang paling rahasia. Pesan itu
bukannya mengurangi harkat manusia, melainkan melimpahkan terang, kehidupan dan
kebebasan demi kemajuannya; dan selain itu tiada sesuatu pun yang dapat memuaskan
hati manusia: “Engkau telah menciptakan kami untuk Dikau”, ya Tuhan, “dan gelisahlah
hati kami, sebelum beristirahat dalam Dikau.”

BAB III

PENUTUP

19
Lih. Flp 1:27.
 Kesimpulan

Umumnya ateisme dipahami sebagai suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu
tidaklah ada. Jika dilihat secara etimologi, istilah ateisme (atheism)merupakan serapan dari
kata Yunani “Atheos”yang tersusun atas “a”(tidak) dan “Theos”(Tuhan), daripada ituateisme
ialah pandangan bahwa Tuhan itu tidaklah ada. Sedangkan secara terminologi ateisme adalah
sebuah pandangan yang menolak akan adanya daya adikodrati, hidup setelah mati atau umumnya
berada dalam ranah Tuhan. Sebagaimana yang terasa bahwa ateisme itu mereka menolak
akan adanya Tuhan dalam kehidupan ini. Bagi mereka yang ada ialah hanya alam kebendaan
juga kehidupan sebatas hanya dalam kehidupan duniawi semata. Alam keruhanian serta alam
setelah kematian ialah imajinasi manusia yang tidak dapat terbuktikan kebenaran-Nya. Ateisme
sudah mengalami perkembangan tatkala manusia mulai mengembangkan konsepsi
ketuhanan pertama animisme, politeisme hingga monoteisme. Dapat dilihat bahwa
kehidupan manusia sejak dahulu sudah penuh dengan keyakinan akan keberadaanTuhan
(dewa)dan itu biasa dibungkus dalam term agama yang memberikan suatu keyakinan terhadap
kuasa superanatural yang berpusat pada Tuhan (dewa). Hal itu masih terlihat dengan adanya
penelitian yang menyatakan bahwa posisi ateisme di dunia ini adalah golongan minoritas,
kebanyakan manusia berada pada dataran teisme. Dapat disebut bahwa Lawan daripada
ateisme ialah teisme. Dalam penolakan-Nya itu disebabkan beberapa faktor yang antara lain
terdiri dari faktor internal berupa: pendidikan dini, rasio, kejahatan, pragmatisme dan
kontradiksi antara agama dan sains. Faktor eksternal berupa: lingkungan hidup dan tradisi.
Gerakan ateisme itu sungguh amat berbahaya, jika kita melihat secara historis maka wacana
ateisme itu menjadi suatu yang begitu berbahaya karena penciptaan alam semesta yang diyakini
tidak ada keterkaitan-Nya dengan Tuhan dan tidak percaya akan adanya Tuhan.20

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 2012, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius).


20
M. R Dani, Op.Cit, hal. 6.
Dani, M. R., 2022, Konsep Ketuhanan: “Ateisme”, jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme
Indonesia, Vol. 1, no. 2, (Januari).

Saku, Dominikus, 2023, Bahan Kuliah Filsafat Ketuhanan, (Fakultas Filsafat Unwira Kupang).

Anda mungkin juga menyukai