Anda di halaman 1dari 9

BETAPA LEBARNYA JURANG PEMISAH: Seksualitas di Garis Terdepan, Kebudayaan di

Persimpangan

(Dipublikasikan oleh Ravi Zacharias pada tanggal 15 Juli 2015)

Satu abad yang lalu, masa-masa ini sudah dibayangkan, dan sekarang masa itu telah tiba.
Bagaimana kita harus hidup sebagai orang Kristen pada masa ini?

Ibu mertua saya berumur sembilan puluh lima tahun. Selama hidupnya, dia telah melewati
beberapa masa peperangan dan banyak bencana yang besar di dalam hidupnya. Namun, tidak
ada hal yang membuat dia lebih bingung, terguncang, dan hampir terpana secara emosional
selain perang kebudayaan yang sedang berkecamuk dan telah mengubah dunia kita. Saya
melihat dia duduk di gereja ketika saya mengunjunginya, tampak jelas ia sedang bertanya-
tanya mengapa semua kenangan masa lalunya telah hilang dalam format ibadah masa kini. Ia
tidak merasa betah di dunia ini atau di gerejanya, dan ia sangat menanti-nantikan saat ketika
dia dapat berada di dalam Kota Allah, rumahnya yang kekal.

Apa yang telah berubah? Bagaimana kita tiba di sini? Seperti yang akan dikatakan Nietzche,
“Masih adakah atas atau bawah yang tersisa? Siapa yang memberi kita spons untuk
menghapus cakrawala? Apakah kita nantinya harus menyalakan lentera di pagi hari?
Permainan sakral apa yang perlu kita ciptakan nantinya?” Ya, satu abad yang lalu masa-masa
ini sudah dibayangkan, dan sekarang masa itu telah tiba. Sementara dunia sekuler telah
menciptakan permainan-permainan sekulernya, banyak gereja telah menciptakan permainan-
permainan “sakral” mereka sendiri.

Pertanyaan yang paling menakutkan bagi kita saat ini adalah bagaimana kita hidup sebagai
orang Kristen di masa seperti ini? Keputusan dari Mahkamah Agung Amerika Serikat telah
mengguncangkan seluruh dunia dan saya telah menerima banyak sekali pesan yang
menanyakan apakah kami, di RZIM, akan mengatakan sesuatu sebagai respons. Apa lagi yang
bisa dikatakan? Spektrum-spektrum pandangan yang langsung diungkapkan sudah
mengatakan semuanya. Ketika hukum tersebut disahkan, pikiran pertama yang muncul di
benak saya adalah komentar kenabian dari Chesterton lebih dari setengah abad lalu: “Sebab di
bawah permukaan hukum yang mulus dari masyarakat kita sudah bergerak hal-hal yang sangat
melawan hukum. Kita selalu nyaris melanggar hukum ketika kita hanya peduli pada apa yang
legal dan tidak mempedulikan apa yang dibenarkan secara hukum. Jika kita tidak memiliki
prinsip moral mengenai hal-hal yang begitu sulit diputuskan seperti pernikahan dan
pembunuhan, seluruh dunia akan dikacaukan oleh berbagai pengecualian tanpa peraturan apa
pun. Akan ada begitu banyak kasus yang sulit sehingga semuanya akan menjadi lunak.”

Titik kritisnya ada di sini.

Setelah berjam-jam merenung dan berdoa, saya ingin mengatakan sesuatu kepada saudara-
saudara seiman saya dan kepada para pengikut Tuhan Yesus Kristus. Tentu saja, beberapa
orang yang tidak setuju dengan pandangan saya mungkin akan membacanya juga, jadi saya
harus sedikit memperluas penjelasan saya. Saya sangat sadar bahwa dalam membahas topik
ini, memenangkan persetujuan dari semua pihak adalah suatu hal yang bukan hanya tidak
mungkin, melainkan juga dapat membahayakan substansinya. Saya akan mencoba untuk
menyusuri ladang ranjau ini.

Sebagai orang Kristen, kita sering melihat ke luar diri kita dan bertanya-tanya mengapa dunia
ini begitu berbeda dengan kita. Kita jarang berhenti dan bertanya bagaimana Gereja masa kini
telah menjadi sangat berbeda dengan yang dulu dan telah begitu cuek terhadap dunia di sekitar
kita. Liberalisme bukan hanya suatu istilah politis. Apa yang telah terjadi di dalam dunia kita
telah diramalkan beberapa dekade yang lalu. Perubahan-perubahan telah terjadi pada waktu
itu, dan kita dikuasai oleh badai dari dalam. Kebudayaan secara umum bergerak tanpa malu
untuk mengolok-olok wawasan dunia Kristen; agama-agama dunia Timur terhindar dari hal
tersebut, entah karena kepengecutan dari kiritikus Barat atau sekadar karena dianggap tidak
menyerang kelompok etnis lain. Tetapi Gereja benar-benar merupakan pangkal terjadinya
pergeseran kebudayaan yang sangat besar. Saat gereja liberal bergerak ke ekstrem agama
tanpa kemutlakan, gereja injili bermain mata dengan emosionalisme tanpa intelek, sementara
beberapa distributor massal dari spiritualitas menjajakan versi kosmetik dari kebenaran yang
hampa, dan gaya rambut menjadi lebih penting daripada isi kepala itu sendiri.

Tentu saja, terdapat beberapa pengecualian bagi keadaan yang umum ini. Beberapa gereja
yang paling berkembang saat ini adalah gereja-gereja yang memiliki kesetiaan yang mendalam
kepada berita injil. Saya mendapat kehormatan untuk dapat sering berada di tengah-tengah
gereja-gereja tersebut dan saya memiliki harapan karena mereka. Namun, untuk saat ini,
izinkan saya untuk sekadar berbicara tentang betapa lebarnya jurang pemisah antara
masyarakat sekuler dan Gereja, beserta penyebabnya.
Ada tiga titik awal yang memisahkan pandangan Kristen historis dengan mereka yang menuntut
pengesahan pernikahan sesama jenis yang sekarang telah menjadi hukum negara, meskipun
dengan perbedaan satu suara.

Pertama, kita memiliki dua definisi yang berbeda mengenai apa artinya menjadi seorang
manusia. Bagi orang Kristen, kehidupan ada di dalam jiwa. Tubuh adalah tempat tinggal yang
sementara. George MacDonald mengatakannya dengan baik: “Anda tidak ‘mempunyai’ jiwa:
Anda ‘adalah’ jiwa, dan Anda ‘memiliki’ tubuh.” Bagi orang yang hidup dengan wawasan dunia
sekuler, tidak ada yang dinamakan jiwa. Yang pasti, pemahaman ini tidak berlaku untuk semua
orang yang memiliki disposisi tersebut. Saya mengenal banyak orang yang tidak akan
menyangkal spiritualitas yang esensial dari kehidupan manusia dan akan mengakui adanya
pergumulan yang berat antara ketertarikan dan peringatannya. Anehnya, telah muncul juga
pandangan yang dipaksakan yang berusaha untuk membenarkan ikatan pernikahan antara
dua orang dewasa mana saja yang telah sepakat sebagai hal yang diizinkan oleh Alkitab. Saya
tidak akan menyimpang kepada apologetika untuk menentang hal itu. Namun ada orang-orang
di dalam kumpulan mereka sendiri yang secara serius mempertanyakan distorsi semacam itu.
Teolog-teolog yang piawai telah memberikan argumen dan menunjukkan celah di dalam fondasi
mereka.

Secara umum, dalam istilah sekuler, yang kita miliki hanyalah SAAT INI, dan SAAT INI adalah
saat untuk menikmati apa pun yang disukai. Keberadaan tanpa jiwa menjadikan tubuh sebagai
satu-satunya sarana pemenuhan. Jika hal ini dijadikan acuan, maka seksualitas menjadi
sesuatu yang hanya harus dibatasi hanya oleh parameter-parameter yang mengacu kepada
materi. Seperti yang dikatakan oleh seorang penulis lagu, “Di dalam kegelapan, mudah untuk
berpura-pura bahwa kebenaran adalah seperti yang seharusnya.” Sentuhan menjadi ditentukan
oleh perasaan dan selera, tidak lebih dari itu: “Saya merasa saya menikmatinya, jadi tolong
jangan ikut campur.”

Kontras di sini antara wawasan dunia Kristen dengan wawasan dunia sekuler adalah kontras
yang penting. Bagi orang Kristen, bukan hanya kehidupan ada di dalam jiwa, melainkan juga
tubuh, menurut perkataan Yesus, adalah bait Allah. Itu adalah lokus persekutuan yang tertinggi
antara seorang manusia dengan Tuhan. Bagi orang yang tidak mengakui apa yang sakral,
tubuh adalah taman bermain kehidupan, dan kesenanganlah yang menetapkan aturannya. Ini
adalah perbedaan yang signifikan sebagai titik awal.
Kedua, orang Kristen percaya pada kemutlakan. Bagi orang yang sekuler, relativisme moralitas
adalah satu-satunya kemutlakan. Tidak pernah ada orang yang benar-benar mengatakan
sesuatu itu relatif terhadap apa, tetapi implikasinya di sini adalah bahwa tidak ada batasan
untuk perilaku. Bahkan menghancurkan perekonomian orang-orang yang pandangannya tidak
mereka setujui dapat menjadi senjata kaum sekuler yang menyiksa dengan sangat kejam dan
membunuh secara perlahan-lahan. Bagi sang relativis, tidak ada keputusan yang ditentukan
oleh definisi kehidupan yang transenden, dan di mana tidak ada kemutlakan, tidak boleh ada
larangan apa pun oleh siapa pun. Spanduk perkumpulan ateis di Inggris selama Natal dua
tahun lalu merangkum pemikiran tersebut: “Mungkin tidak ada Allah. Jadi, berhentilah khawatir
dan nikmati hidupmu.” Relativisme adalah pintu yang terbuka menuju kesenangan, kemutlakan
adalah pintu yang tertutup yang menghancurkan kesenangan. Seperti itulah pemahamannya.

Ketiga, para pembela kebebasan seksual melihat suatu paralel antara apa yang dilihat sebagai
prasangka anti-gay saat ini dengan prasangka rasial seperti yang dipraktikkan pada titik
terendahnya beberapa dekade yang lalu. Di sini, terjadi sebuah permainan kata. Keyakinan
yang relativis dianggap bebas dari prasangka, sedangkan keyakinan yang absolut dicap
sebagai fobia. Stigma apa pun dapat menjilat dogma yang baik, katanya. Dengan dekonstruksi
verbal dari suatu wawasan dunia, semua pertanyaan yang mempertanyakan kebebasan
seksual dikritik sebagai fobia. Cukup menakjubkan bahwa kaum ateis tidak disebut “kaum
teofobia” atau bahwa mereka yang menentang orang Kristen tidak disebut “kaum Kristofobia”.
Dengan maksud merendahkan, posisi-posisi yang menentang telah dilekatkan dengan fobia
sampai-sampai kita bisa memiliki sebuah kamus poli-fobia yang sama sekali baru.

Namun itu adalah masalah yang lebih ringan. Saya berpendapat bahwa menyetarakan ras
dengan seksualitas sebenarnya adalah suatu premis yang salah dan analogi yang tidak tepat.
Dalam soal ras, perasaan saya terhadap hal itu sama sekali tidak penting; kesukuan saya
melampaui berbagai preferensi atau kecenderungan saya. Dalam Bahasa Hindi, ada ungkapan
yang secara halus mengolok-olok orang yang bertindak tidak sesuai dengan hakikat rasnya:
“Desi murgha pardesi chal”… “ini adalah burung lokal yang berjalan dengan gaya yang asing.”
Seperti yang baru ditegaskan, seseorang mungkin memiliki perasaan seperti satu ras, bergaul
terutama dengan ras tersebut, dan berpikir seperti ras itu, tetapi hal itu tidak mengubah
identitasnya yang sebenarnya. Mengapa analogi ini tidak tepat? Karena analogi ini
memindahkan perdebatan dari apa yang benar kepada apa yang menjadi hak-hak seseorang.
Ironisnya, partai politik yang sekarang paling mendukung perjuangan hak-hak adalah partai
yang sama yang dahulu berargumen menentang emansipasi budak karena “hak-hak” para
pemilik budak. Dalam kasus itu, hak-hak tersebut dibatalkan oleh apa yang benar. Menarik
bahwa tidak ada kata baru yang diciptakan untuk menggambarkan orang-orang yang
mengajukan argumen-argumen moral terhadap hak-hak para pemilik budak sebagai “budak-
fobia”. Syukurlah, nilai hakiki manusia dan alasan moral mengalahkan preferensi eksistensial
dan pragmatis, dan oleh anugerah Allah, apa yang benar dianggap benar dan sang budak
dibebaskan.

Kemutlakan itu ada. Bagi orang Kristen, setiap orang diciptakan menurut gambar-rupa Allah
dan dikasihi oleh Allah. Dia mengutus Anak-Nya untuk seluruh dunia, bukan hanya bagi orang-
orang dari ras tertentu atau orang-orang yang memiliki kecenderungan alamiah tertentu secara
seksual. Seks adalah kepercayaan yang sakral dengan batasan-batasan yang cermat. Seks
adalah salah satu karunia terbesar sekaligus salah satu pergumulan terbesar. Perjuangan
selama 5000 tahun di Timur Tengah berakar pada poligami ketika dua saudara tiri memiliki
ayah yang sama tetapi ibu yang berbeda.

Pelanggaran ras adalah pelanggaran terhadap hal yang sakral, dan bagi orang Kristen,
pelanggaran terhadap seks dilihat sebagai pelanggaran yang sama. Kaum sekuler tidak melihat
pelanggaran terhadap seks sebagai pelanggaran selama ada kesepakatan, tetapi tidak
demikian bagi orang Kristen. Desakralisasi adalah pengosongan tujuan dan makna yang hakiki,
yang mengakibatkan hilangnya tujuan hakiki dalam kehidupan itu sendiri. Inilah sebabnya
adalah omong kosong jika kita mengatakan bahwa jika dua orang saling mencintai, mereka
boleh mengekspresikannya dengan cara apa pun yang mereka pilih. Cinta tidak didefinisikan
dengan cara yang mengacu pada diri sendiri. Cinta pada akhirnya bergantung pada kasih Allah
dan bagaimana Dia mendifinisikan cinta.

Namun di sini kita benar-benar perlu untuk waspada. Semua pelanggaran terhadap apa yang
sakral, bukan hanya terhadap seks, pada akhirnya membutuhkan kasih karunia dan
pengampunan Allah. Itulah pandangan Kristen. Itulah sebabnya kabar baiknya adalah bahwa
karunia keselamatan dan penebusan dari Allah ditawarkan kepada semua orang. Itulah
sebabnya apa yang benar harus menang atas apa yang mungkin kita anggap sebagai hak.
Meskipun hal ini tampak sulit bagi sebagian orang, ini adalah satu-satunya harapan untuk
menghindari penyalahgunaan rasio untuk atraksi-atraksi lain. Tidak bisakah kita, berdasarkan
argumen yang digunakan pada saat ini – persetujuan orang dewasa – suatu hari nanti
membenarkan banyak sekali kecenderungan alamiah? Terlebih lagi, apa yang dapat mencegah
dibawanya Hukum Syariah ke dalam kebudayaan untuk menghormati hak-hak dari suatu
kelompok tertentu, hanya untuk suatu hari nanti digunakan oleh kaum ekstremis untuk
membatalkan undang-undang kita yang sekarang? Lagipula, kaum ekstremis memiliki cara-cara
untuk mendikte dalam segala hal. Bukankah kita berulang kali menyaksikan hal itu? Ini
bukanlah suatu keadaan yang buruk yang akan terus bertambah buruk. Ini adalah sebuah
kereta yang melenceng keluar dari jalurnya, yang digerakkan dengan mengatasnamakan hak-
hak dan penalaran yang tendensius. Itu bisa terjadi. Saya menduga hal itu akan terjadi.
Plausibilitas kebudayaan dapat bergeser. Tidak semua hal yang fatal itu bersifat seketika.

Dengan ketiga celah ini, muncul keputusasaan dan seruan, betapa lebarnya jurang pemisah!

Hal ini selanjutnya membawa saya sebagai pengikut Yesus Kristus ke tiga jembatan yang
paling penting di antara kita semua, apa pun pandangan kita terhadap isu-isu ini. Komunitas
gay secara tepat menyerukan identitas dan keintiman. Lagipula, hal-hal inilah yang dirindukan
oleh pikiran dan hati setiap manusia, apa pun posisi kita dalam masalah ini. Di sinilah injil
masuk sebagai satu-satunya cara untuk menyatukan kita. Sesungguhnya, jembatan pertama
dari injil adalah bahwa identitas saya ditemukan di dalam Yesus Kristus, karena Dia saya harus
menjinakkan nafsu-nafsu saya. Identitas saya mendikte kelakukan saya. Sebelum saya
menyerahkan hidup saya kepada Yesus Kristus, identitas saya di dalam kebudayaan saya
didikte oleh status keluarga saya: siapa ayah saya, bagaiamana prestasi saya di sekolah,
berapa nilai saya, seberapa banyak uang yang dapat saya gunakan. Semuanya ini dulu dan
sekarang secara sistematis terajut ke dalam kebudayaan saya. Saya tidak mempunyai pilihan.
Seperti inilah penilaian terhadap diri saya. Coba perhatikan bagian pernikahan di surat kabar
India pada masa kini. Warna, kasta, pendidikan, kekayaan, kecantikan, semuanya terus-
menerus disebut saat orang tua mencari apa yang mereka anggap sebagai pasangan terbaik
bagi anak-anak mereka. Ini jelas sekali bersifat diskriminatif. Ketika saudara perempuan saya
menikahi seorang Hindu yang kemudian percaya kepada Yesus Kristus, tantangan bagi orang
tuanya sangat besar. Namun secara luar biasa, pemahaman mereka tentang apa yang telah
dilakukan oleh Yesus Kristus bagi putra mereka mengubah segalanya. Ini adalah satu-satunya
jembatan yang saya ketahui yang dapat mengubah hati manusia.

Karena relasi inilah kita mengubah kelakuan kita dari apa yang menarik kita kepada apa yang
mendasari tindakan kita. Kaitan ini luar biasa penting. Jika saya mengetahui artinya menjadi
seorang pria, saya tahu bagaimana ketertarikan seksual bekerja. Seiring berjalannya waktu,
Anda belajar bahwa menyerah kepada godaan sama sekali tidak membawa kebahagiaan atau
tujuan yang langgeng. Hanya dengan memelihara tubuh sebagai bait suci itulah yang sakral
ditegakkan dan anugerah Allah membawa keteguhan dan penguasaan diri. Alkitab mengatakan
kita tidak boleh menaruh persembahan kita di setiap mezbah. Seorang psikolog
menggambarkan pemuasan hawa nafsu sebagai "hubungan sesaat jangka pendek dengan
kekecewaan pahit jangka panjang." Ini berlaku untuk semua perilaku dan semua ekspresi
seksual yang melanggar rancangan Allah. Dia telah meletakkan hukum ini di dalam diri
manusia. Jauh di dalam hati, kita mengetahui hal ini. Daya pikat yang sementara pada akhirnya
tidak memuaskan, tanpa kedekatan dan ikatan spiritual. Yang kekal itulah yang harus
membimbing yang sementara.

Jembatan kedua yang dibawa injil adalah keintiman. Kita semua merindukan sentuhan. Hal ini
berlaku bahkan di masa-masa paling akhir dalam kehidupan seseorang. Saya telah berbicara
dengan orang-orang yang bekerja di panti-panti wreda dan mereka telah mengungkapkan
betapa orang yang lanjut usia sangat merindukan sentuhan dan pelukan fisik. Seperti inilah kita
diciptakan. Dengan membawa konsep itu ke dalam seksualitas, maka menjadi satu daging di
dalam pernikahan adalah tindakan keintiman yang mencakup segalanya. Karena ini adalah
kesatuan yang paling puncak, maka dituntut adanya eksklusivitas, jika tidak demikian, maka hal
itu dianggap najis dan lumrah. Pengalaman berulang kali menyatakan hal ini kepada kita. Tidak
ada kebudayaan yang sepenuhnya mendesakralisasikan seksualitas. Bahkan kaum poligami
menjaga jumlah mereka. Bahkan kaum nudis pun memiliki batasan. Ada hukum-hukum yang
mengatur tindakan-tindakan yang mencelakakan.

Deskripsi Alkitab untuk pernikahan adalah seorang pria dan seorang wanita dalam komitmen
yang sakral. Begitu mendalamnya persatuan ini sehingga hubungan Allah dengan Gereja
menyandang perbandingan tersebut: Dia adalah sang mempelai laki-laki; Gereja adalah sang
mempelai wanita.

Apakah hal ini begitu abstrak sehingga tidak dapat menjangkau kita dalam kehausan kita akan
keintiman? Sama sekali tidak. Menurut injil, Allah menawarkan kepada kita kehadiran-Nya yang
mendiami kita, di mana roh menyentuh roh dan keintiman yang paling dalam dan paling sejati
dihasilkan. Saya sepenuhnya sadar bahwa bagi orang yang belum pernah merasakan
keintiman dengan Allah, hal ini tampaknya tidak masuk akal. Namun, di sinilah saya berpikir
bahwa kita sebagai orang Kristen perlu menyadari realitas yang tidak menyenangkan bahwa
kita belum mengajarkan dan memberitakan Firman Allah dengan setia, dan belum menunjukkan
kekudusan yang sejati.
Bagaimana pikiran saya dapat diubahkan sehingga secara intelektual saya dapat memahami
perspektif-perspektif dan perspektif-perspektif lawannya? Bagaimana saya dapat sedemikian
merangkul kebenaran Allah sehingga hal itu mengubah hati saya dan kecenderungan-
kecenderngan saya, atau setidaknya memberi saya kemampuan untuk mengendalikan
kecenderungan-kecenderungan saya? Saya memiliki seorang kolega yang mengaku memiliki
ketertarikan kepada sesama jenis. Dia lalu mengatakan bahwa pada suatu hari, ia berpikir dan
berpikir tentang berita Kristen dan akhirnya, dengan sepenuh hati, ia menyerahkan diri kepada
Ketuhanan Yesus Kristus. Ia berkata ia “merasakan pengalaman bahwa saya ditaklukkan dari
ujung rambut sampai ke telapak kaki saya...saya telah merasakan kecapan surga; untuk apa
saya membungkuk kepada apa yang ada di bawah?” Adakah hari-hari ketika ia bergumul?
Adakah kepastian tentang afeksi-afeksinya yang baru di dalam Kristus? "Ya," jawabnya kepada
kedua pertanyaan itu. Saya sangat menghormati dia dan pengorbanannya.

Bagi orang Kristen, pertanyaannya adalah ini: Bagaimana saya dapat berjalan begitu rupa
bersama Allah sehingga SEMUA afeksi saya ditundukkan di bawah Ketuhanan Yesus, entah
kecenderungan saya adalah menyukai sesama jenis atau lawan jenis atau saya memiliki
pergumulan lainnya? Bagaimana saya bisa mengasihi mereka yang tidak sependapat dengan
saya dalam perkara-perkara yang serius ini? Jembatan- jembatan tersebut akan selalu menjadi
identitas dan keintiman yang ditawarkan di dalam komitmen hati kepada Sang Juruselamat,
yang lebih dahulu direalisasikan sebelum diajarkan dengan penuh kasih.

Juga, sebagai orang Kristen, kita harus ingat bahwa kita tidak dapat menjadikan ranah ini
sebagai tatanan yang kekal. Kota-kota duniawi kita bukanlah apa yang hanya akan dibawa oleh
kekekalan. Dua mahakarya Agustinus yang paling dikenang adalah ‘Confessions’ dan ‘City of
God’. Ketika dia sedang terbaring menjelang ajal di kota kelahirannya, orang-orang barbar
sudah memanjat tembok Roma. Bahkan ketika ada banyak gereja sedang dihancurkan, gereja-
gereja utama yang telah dirintisnya tetap bertahan saat pembantaian. Secara menakjubkan,
meskipun tubuhnya yang fana sedang melemah, orang-orang terus datang kepadanya agar ia
bisa berdoa untuk mereka. Ini adalah gambaran yang mulia. Tubuhnya menemui ajalnya. Tetapi
jiwanya tidak. Dia telah mengakui kebutuhannya akan Juruselamatnya dan dia menantikan
sebuah kota yang dibangun dan diciptakan oleh Allah. Semua kota di bumi suatu saat akan
hancur dan runtuh, seperti juga tubuh kita yang fana. Tempat kediaman kita yang kekal adalah
di hadirat Allah, bukan lagi hanya di dalam suatu kebudayaan lawan, tetapi di dalam suatu
tempat yang dipersiapkan untuk kita. Kehidupan Agustinus mewujudkan semua kebenaran itu.
Jembatan ketiga dan terakhir dari injil adalah komunitas: kasih Allah yang bekerja melalui kita
sebagai Gereja di mana ibadah menyatukan semua kecenderungan kita, tunduk kepada
panggilan sakral Allah bagi kita semua. Hal itu diusahakan sungguh-sungguh dengan kasih dan
anugerah. Ibadah kita harus memiliki integritas teologis, bukan hanya dalam bentuknya tetapi
juga dalam substansinya; ibadah yang tidak hanya berupa saat-saat yang penuh kegembiraan,
tetapi juga terintegrasi dengan kehidupan itu sendiri, dan khotbah-khotbah yang tidak hanya
didengar tetapi juga dilihat. Dengan cara itu, jangkauan kasih kemudian akan diwujudkan dan
tidak sekadar dibicarakan. Gereja tidak boleh menjadi benteng yang dijaga oleh satuan
kepolisian, tetapi harus menjadi suatu rumah di mana Sang Bapa senantiasa menantikan
kepulangan dari setiap kita yang berada di negeri yang jauh.

Bagi mereka yang mengikut Yesus Kristus, pesan kita kepada dunia harus jelas. Allah
mengubah hati dan pikiran, dan kita menjadi anak-anaknya, dan para utusan-Nya. Mari kita
hidup begitu rupa sehingga kita tidak akan pernah dituduh menyatakan kebencian atau
ketidakpedulian. Namun, marilah kita juga tahu bahwa mengkompromikan kebenaran adalah
suatu kekeliruan yang serius dan pada akhirnya menyebabkan kita merayakan apa yang tidak
dikehendaki oleh Bapa kita. Ini adalah ketegangan yang menyakitkan bagi orang percaya.
Dipandang menolak suatu kepercayaan atau suatu perilaku tidak sama dengan menolak
orangnya. Namun, Allah menolong kita untuk memikul beban itu.

Secara kontras, ketika kebenaran itu diwujudkan di dalam hidup kita dengan kasih dan
anugerah, hal itu akan selalu membuat iman menjadi menarik dan bahkan orang yang
menentang kita akan mengenali simetri yang menakutkan dari keyakinan akan yang sakral,
yang akan berenang melawan arus dan suatu komitmen kepada pribadi yang akan menemukan
jembatan pengharapan. Kita harus hidup menyatakan injil begitu rupa sehingga para pria dan
para wanita akan menyebut nama Allah dan menjadikan tubuh ini sebagai tempat kediaman-
Nya sampai kita mencapai Kota yang Kekal, yang dibeli dengan pengorbanan yang berharga
dari Yesus Kristus. Tubuh-Nya dihancurkan untuk kita sehingga tubuh dapat dipulihkan bagi
Dia.

Sumber: https://rzim.org/global-blog/how-wide-the-divide-sexuality-at-the-forefront-culture-at-
thecrossroads/

Anda mungkin juga menyukai