Anda di halaman 1dari 12

Teologi keselamatan di luar gereja abad ke-XIX

Berkaitan dengan semboyan "keselamatan tidak ada di luar Gereja",


maka abad XIX memiliki kekhususannya. Pertama, corak berfikir zaman
pencerahan (enlightenment) menghasilkan cara berfikir rasional.
Pendekatan rasional terhadap kehidupan menghasilkan revolusi industri
yang pada gilirannya memajukan kesejahteraan ekonomi. Kedua, orang
telah mencapai pengetahuan yang lebih lengkap tentang peta dunia dan
menghasilkan pengertian pada diri orang kristiani bahwa mayoritas
penduduk di dunia ini bukanlah orang kristen. Umat kristen sampai pada
abad pertengahan menyangka bahwa dunia hanya seluas daerah-daerah di
sekitar laut tengah. Mungkin hanya ketika ada penemuan benua baru oleh
Christoforus Colombus tahun 1492 orang kristen menyadari bahwa dunia
ini lebih luas dari yang mereka sangka. Gereja berada di dalam dunia ini
bukan hanya bersama dengan "musuh-musuh lama" (begitu istilah zaman
dulu yang tidak simpatik), yaitu orang Yahudi dan orang Islam; melainkan
juga bersama dengan bangsa-bangsa lain yang belum pernah mendengar
Injil, yaitu bangsa-bangsa di benua Asia dan Afrika, Amerika dan Australia.
Ketiga, munculnya pertanyaan kritis rasional di bidang teologi. Menurut F.
Sullivan, para teolog katolik sendiri bertanya demikian: "Bagaimana
mungkin kita dapat percaya kepada seorang Allah, Bapa yang Mahabaik,
yang membiarkan begitu banyak manusia tidak pernah mengenal Injil dan
tidak pernah dibaptis, kemudian menghukumnya dalam api neraka?
Bagaimanakah orang yang berfikir secara rasional dapat mempercayai
seorang Allah yang demikian itu? "1
Pertanyaan rasional yang kritis tersebut perlahan-lahan mengubah
pandangan teologis Gereja. Kegelisahan intellektual manusia zaman
pencerahan yang tidak takut mempertanyakan apa saja, mempertanyakan
pula isi iman kepercayaan yang paling sakral sekali pun. Pertanyaan kritis
itu bagaikan pedang bermata dua yang menembusi konsep-konsep teologis,
sehingga ajaran dogma yang dianggap tidak dapat sesat pun bisa
dipertanyakan. Salah satu obyeksi rasional terhadap kosep teologis itu ialah
1
F. Sullivan, Salvation outside the Church,104.
menyangkut ajaran " di luar Gereja tidak ada keselamatan." Mereka
bertanya secara kritis: “Benarkah di luar Gereja tidak ada keselamatan”?

a. Pendapat Jean Jacques Rousseau (1712-1778)


Rousseau, seorang filsuf Perancis, mendasarkan argumennya pada
rasionalitas manusia yang berlaku pula untuk mempertanyakan
penegasan-penegasan teologis. Baginya ajaran dogma dari agama harus
berhadapan pula dengan rasionalitas manusia. Ajaran dogma yang tidak
masuk akal akan kehilangan kredibilitasnya. Sebagai contoh, ia
mempertanyakan ajaran "di luar Gereja tidak ada keselamatan". Dengan
ungkapannya yang sinis ia menyatakan, "Seandainya ada satu agama di
bumi ini yang dari satu pihak menyatakan bahwa di luar agama itu hanya
ada siksaan kekal dan dari lain pihak toh ada orang-orang baik yang sama
sekali tidak tertarik dengan kebenaran agama itu, maka bisa disimpulkan
bahwa Tuhan dari agama semacam itu adalah seorang tiran yang kejam dan
tidak fair."2
Menurut Rousseau, seandainya benar bahwa hanya di dalam agama
itu ada keselamatan, maka semua orang baik pastilah tertarik untuk
masuk ke dalam agama yang benar itu. Kalau ternyata banyak orang baik
tidak tertarik untuk menjadi anggota agama itu, maka tidaklah masuk akal
bahwa orang-orang baik itu akan mengalami siksaan kekal, hanya karena
tidak termasuk di dalamnya. Seandainya benar bahwa orang-orang baik itu
toh mengalami siksaan kekal, maka Tuhan yang menyiksa orang-orang baik
itu adalah Tuhan yang tiran dan tidak adil. Kritik Rousseau ini tentu kena
bukan hanya bagi agama kristen saja yang rupanya memang menjadi
sasaran kritiknya, melainkan kena juga untuk agama apapun yang secara
arogan mengklaim kebenaran bagi dirinya sendiri dan menganggap orang-
orang di luar agamanya adalah sesat.
Rousseau mengajukan suatu contoh kasus untuk membuat kita
berfikir, “Marilah kita andaikan bahwa para penyebar agama benar itu
sudah pergi ke seluruh dunia... Seandainya klaim itu benar bahwa warta
kebenaran itu telah disebarkan ke seluruh dunia, maka apa
2
F. Sullivan, Salvation outside the Church,105.
konsekuensinya? Misalnya, sehari sebelum kedatangan seorang pewarta
ajaran yang benar itu tiba di suatu tempat, di situ ada seseorang yang
meninggal sebelum sempat mendengarkan warta kebenaran tersebut.
Sekarang, katakan padaku apa yang akan terjadi dengan orang itu? Dan
bagaimana kalau keadaan seperti itu bukan hanya mengenai seseorang,
melainkan menyangkut seperempat dari penduduk dunia ini? 3
Apa yang dinyatakan oleh Rousseau di atas ini sungguh merupakan
pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh para teolog. Ia mempertanyakan
nasib seperempat penduduk bumi ini yang berada “di luar keselamatan”.
Bagaimana kalau jumlahnya justeru mencapai setengah? Apalagi kalau kita
sadari bahwa yang ada di dalam Gerejapun belum tentu mendapatkan
keselamatan itu. Kita ingat kritik diri Pendeta Eka Darmaputera dalam
Sidang Agung KWI Umat tahun 2005 yang menegaskan bahwa kekristenan
kita dewasa ini mengalami insignifikasi internal dan irrelevansi external.
Kekristenan tidak bermakna lagi untuk anggotanya dan tidak relevan lagi
untuk dunia. Untuk pembahasan kita ini saya andaikan bahwa kekristenan
masih bermakna bagi umatnya dan masih relevan bagi dunia. Kekristenan
semoga masih menjadi terang dan garam dunia (Mat. 5: 13-16).
Berdasarkan keyakinan kita bahwa Gereja, yang para anggotanya memang
berdosa, namun dipakai oleh Allah untuk menjadi sakramen keselamatan
bagi dunia, kita hadapi pertanyaan Rousseau dengan memaparkan usaha
beberapa teolog katolik berikut ini.

b. Jawaban Giovanni Perrone SJ (1794-1876)


Giovanni Perrone adalah dosen teologi di Collegium Romanum (yang
sekarang menjadi Universitas Gregoriana, Roma) dan merupakan teolog
yang sangat berpengaruh pada masa itu. Memang ia belum lahir pada saat
Rousseau sudah meninggal. Namun ia justeru mengalami masa di mana
manusia pada zamannya ditandai oleh semangat rasionalisme Rousseau. Ia
menyumbangkan pemikiran untuk memecahkan masalah extra ecclesiam
nulla salus sebagai berikut. Titik berangkat pemikirannya ialah apa yang
disebutnya lex evangelica (hukum injili). Menurutnya, tuntutan
3
F. Sullivan, Salvation outside the Church,105.
keselamatan seperti diajarkan dalam teologi kristiani hanya diwajibkan bagi
mereka yang sudah mendengarkan berita Injil. Tuntutan keselamatan itu
antara lain adalah adanya iman kristiani yang eksplisit, ada kemauan
untuk menerima pembaptisan dan ada kemauan untuk menjadi anggota
Gereja. Tentu saja syarat-syarat keselamatan seperti itu tidak berlaku pada
zaman pra-kristen. Bahkan menurut Perrone, pada masa kekristenan pun
syarat-syarat itu hanya berlaku apabila hukum injili telah dipromulgasikan
secara memadahi, artinya orang-orang yang bersangkutan telah
mendapatkan penginjilan dan telah percaya. Peronne pada waktu itu
berpendapat bahwa orang-orang di daerah-daerah Amerika, Australia dan
Oceania, yang baru-baru saja ditemukan, dianggap belum diinjili secara
memadahi. Ia bahkan menekankan penginjilan dianggap memadahi bukan
hanya diukur dari segi geografis, melainkan harus dilihat secara personal.
Baptisan sebagai tuntutan keselamatan hanya mulai berlaku ketika
seorang pribadi merasa wajib untuk menaati hukum injili. Hanya pada saat
itulah seseorang dituntut untuk menerima baptisan sebagai syarat
keselamatan baginya. Orang-orang lain yang merasa tidak tertarik untuk
dibaptis karena tidak percaya kepada iman kristen tidak diwajibkan untuk
dibaptis. Apalagi mereka yang telah memiliki agamanya sendiri, sehingga
mereka bahkan merasa sudah berada di jalan keselamatan dalam
agamanya itu.
Dengan keterangan tersebut Perrone memecahkan persoalan
keselamatan bagi orang-orang yang tidak memiliki iman kristiani secara
eksplisit, tidak dibaptis dan tidak termasuk anggota Gereja. Menurutnya,
sejauh orang-orang itu tidak tahu atas cara yang tidak bisa dipersalahkan
(inculpably ignorant), maka mereka bisa diselamatkan. 4 Atau dengan kata
lain, mereka yang berada dalam ketidaktahuan yang tidak disengaja (error
invincibilis) dianggap mempunyai “ketidaktahuan yang jujur” (ignorantia
inculpabilis). Keadaan itulah yang memungkinkan mereka dikecualikan dari
tuntutan syarat-syarat keselamatan.
Atas dasar pemikiran di atas, maka Perrone menafsirkan semboyan
extra ecclesiam nulla salus atas cara tertentu pula. Semboyan itu tidak
4
F. Sullivan, Salvation outside the Church,109
boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada di luar Gereja bukan
karena kesalahannya sendiri. Semboyan itu hanya bisa dikenakan kepada
orang-orang yang karena kesalahannya telah menempatkan diri di luar
Gereja.5
Ajaran Perrone berbunyi sbb, "Bagi mereka yang mati dalam keadaan
berdosa sebagai bidaah, skismatik dan tidak mau percaya, tidak ada
keselamatan. Dengan kata lain, tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik
bagi mereka. Namun kiranya jelas dari penegasan tadi bahwa kita
memaksudkan hal itu hanya bagi mereka yang bersalah karena menjadi
bidaah, skismatik dan tidak percaya. Itu berarti bahwa kita hanya berbicara
tentang orang-orang di luar Gereja secara formal, bukan secara material.
Bagi mereka yang berada di luar Gereja hanya secara material saja, maka
ada kemungkinan bahwa mereka mencari kebenaran dengan tulus hati.
Orang-orang semacam itu kita serahkan kepada pengadilan Allah, karena
hanya Dialah yang melihat isi hati dan pikiran manusia. Tuhan yang penuh
belas kasih tidak mungkin menghukum orang yang bukan karena
kesalahannya dalam siksaan kekal. Untuk mengajarkan hal yang
berlawanan dengan itu, kiranya bertentangan dengan ajaran Gereja sendiri. 6

c. Ajaran Paus Pius IX (1846-1878)

Paus yang memimpin Gereja selama 32 tahun ini, pada kesempatan


peresmian dogma Maria dikandung tanpa dosa tahun tanggal 8 Desember
1854 memberikan pengajaran tentang banyak tema. Salah satu tema yang
dibahasnya ialah tentang "keselamatan di luar Gereja". Paus berusaha
menjelaskan masalah yang antara lain seperti yang diajukan oleh Rousseau
bahwa Tuhan yang diwahyukan dalam agama kristen adalah Tuhan yang
tidak adil apabila Ia menghukum orang-orang baik hanya karena mereka
tidak termasuk anggota Gereja Katolik. Pertanyaan semacam itu memang
bisa memojokkan ajaran Gereja yang terlalu fanatik dengan memutlakkan
perlunya orang dibaptis supaya selamat. Namun Paus, sebagai Gembala

5
F. Sullivan, Salvation outside the Church,109
6
F. Sullivan, Salvation outside the Church,109.
umat beriman juga mengamati sikap ekstrim lainnya ialah bahwa orang-
orang katolik mulai diyakinkan oleh Rousseau yang mengarah kepada
relativisme dengan berpendapat bahwa keselamatan bisa diperoleh oleh
setiap orang, tidak peduli apa pun agamanya. Menghadapi dua ektrim itu
Paus menghimbau kepada semua uskup yang hadir pada perayaan mulia
itu untuk melawan "indifferentisme religius" itu. Menurut Pius IX Gereja
harus mempertahankan keyakinannya bahwa kepercayaan pada Kristus,
baptisan dan keanggotaan Gereja adalah perlu bagi keselamatan. Dari lain
pihak Paus juga merasa harus membela bahwa Tuhan adalah adil, sehingga
Ia tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Pius IX menjelaskan
ajarannya – yang menurut hemat saya cukup seimbang dan amat bijaksana
– sebagai berikut:
"Bukan tanpa kesedihan kita mengetahui adanya kekeliruan berat di
antara orang-orang katolik yang berfikir bahwa keselamatan kekal dapat
diperoleh oleh siapa saja tanpa perlu peranan Gereja Kristus yang benar.
Dengan alasan tersebut maka mereka menjadi acuh tah acuh terhadap
ajaran Gereja dan hidup seperti orang-orang yang tidak pernah mengenal
Kristus. Jauh dari maksud kami untuk membatasi daya kerja rahmat Allah
yang tidak terbatas bagi semua orang. Jauh dari maksud kami untuk
berpretensi bahwa kami dapat menyelami isi pikiran Allah. Namun sesuai
dengan kewajiban tugas kerasulan kami, kami ingin menghimbau kepada
semua uskup supaya anda menggunakan seluruh tenaga dan kemampuan
anda untuk memberantas tuntas pandangan umat bahwa keselamatan
dapat dicapai juga di luar Gereja, yakni di dalam setiap agama. Anda harus
berusaha meyakinkan umat bahwa dogma Gereja tidaklah bertentangan
dengan hakekat Tuhan yang adil dan penuh belas kasih. Kita harus yakin
dan teguh bahwa di luar Gereja Roma Katolik, yakni satu-satunya bahtera
keselamatan, tidak ada keselamatan. Namun demikian, kita rupanya juga
harus menyakini bahwa mereka yang hidup tanpa mengenal agama yang
benar, jika kesalahan mereka tidak teratasi (error invincibilis), maka mereka
tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan atas hal itu." 7
Pius IX perlu menegaskan bahwa keselamatan ada di dalam Gereja
7
Singulari quadam, Acta Pii IX, I/1, 626. Lihat F. Sullivan, Salvation outside the Church,113.
katolik. Dan bagi orang-orang katolik keselamatan itu tidak dapat diperoleh
di luar Gereja. Pertama, ini bukanlah penegasan yang perlu dicurigai
sebagai sikap fanatik, sombong dan mau menang sendiri. Penegasan yang
sama itu akan diucapkan oleh para pemimpin agama mana pun di dunia ini
untuk agamanya sendiri bagi para penganutnya. Himbauan ini secara wajar
dapat diterima karena disampaikan kepada umat gembalaan Sri Paus itu
sendiri. Itulah tugas utama Paus, yaitu untuk meneguhkan dan
meyakinkan iman umatnya. Kedua, Pius IX juga mengerti persoalan bahwa
orang-orang yang berada di luar Gereja katolik tanpa kesalahannya sendiri
dapat memperoleh keselamatan. Paus juga bersikap adil dan ingin membela
keadilan dan kebaikan Allah. Allah tidak akan menghukum orang-orang
yang tanpa keselahannya sendiri tidak mengenal Injil. Secara substansial
Pius IX sependapat dengan Giovanni Perrone, teolog yang hidup sezaman
dengan beliau, bahwa semboyan extra ecclesiam nulla salus hanya
diperuntukkan bagi mereka yang berada di luar Gereja karena kesalahan
(culpabilis) mereka sendiri, yaitu orang murtad atau orang yang sudah
mendapat promulgasi hukum injili (lex evangelica) tetapi tidak mau
percaya. Menurut F. Sullivan, SJ, ajaran Pius IX di atas adalah dokumen
kepausan pertama yang berbicara secara eksplisit bahwa semboyan "di luar
Gereja tidak ada keselamatan" hanya dikenakan bagi mereka yang bersalah,
bukan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Tambahan kata culpabilis
(hanya mereka yang dapat disalahkan) ini juga membela keadilan Tuhan.
Rousseau telah menyerang Tuhannya orang kristen sebagai Tuhan yang
tidak adil, karena menghukum orang-orang tak bersalah yang tidak
termasuk anggota Gereja. Kini Pius IX secara tidak langsung melawan
Rousseau dan membela keadilan Tuhan. Tuhan tidak menghukum orang-
orang yang tidak bersalah. Tuhan hanya menghukum orang-orang yang
bersalah, karena Tuhan adalah Maha adil.
Secara lebih rinci F. Sullivan menguraikan teologi Pius IX sbb: "Patut
diperhatikan bagaimana Pius IX menerangkan bahwa orang yang tanpa
salah berada di luar Gereja itu dapat diselamatkan. Keadaan tak bersalah
(inculpabilis) adalah syarat atau conditio supaya orang dapat diselamatkan;
namun keadaan itu bukanlah sebab atau causa keselamatannya. Tidak
tepat juga mengatakan bahwa orang-orang yang tidak dibaptis (non-
baptizati ) dapat diselamatkan dengan berbuat baik, yaitu hidup sesuai
dengan hukum kodrati. Pandangan itu akan jatuh pada Pelagianisme yang
sudah dilawan oleh St. Agustinus. Pius IX mengajarkan bahwa causa atau
penyebab keselamatan itu ialah rahmat Allah. Tegasnya Pius IX
mengajarkan, "Mereka yang tanpa salah tidak mengenal agama kita yang
benar ini, melalui cara hidup yang sesuai dengan hukum alam dan hukum
Allah yang terukir dalam hati nurani mereka, dan hidup dengan jujur dan
lurus, berkat rahmat Allah akan memperoleh keselamatan kekal."8

d. Pendapat Johann B. Franzelin (1816-1886) 9


JB. Franzelin melanjutkan ajaran Perrone dan Pius IX. Mengikuti Pius
IX, ia sependapat bahwa kesatuan dengan Gereja katolik adalah syarat
mutlak untuk memperoleh keselamatan. Ia juga berpendapat bahwa orang-
orang tak dibaptis (non-baptizati), yang bukan karena kesalahan mereka
sendiri, dapat memperoleh keselamatan. Franzelin sependapat dengan
Perrone bahwa semboyan extra ecclesiam nulla salus hanya berlaku bagi
para bidaah, skismatik dan orang-orang dibaptis yang murtad. Namun
Franzelin menambahkan unsur lain yang belum dilihat oleh Perrone dan
Pius IX yaitu soal bagaimana Gereja Kristus berperan dalam keselamatan
seseorang. Ia membedakan peranan Gereja untuk memperoleh keselamatan
bagi yang dibaptis dan bagi yang tidak dibaptis. Bagi mereka yang dibaptis,
maka keselamatan diperoleh di dalam dan melalui Gereja (salvation through
the Church). Bagi mereka yang tidak dibaptis, maka keselamatan diperole
dalam relasi dengan Gereja (salvation by a relationship with the Church).
Saya akan menjelaskannya lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan
kedua istilah ini.
a. Keselamatan di dalam dan melalui Gereja. Ini adalah peran Gereja
bagi keselamatan orang yang dibaptis. Keselamatan di dalam dan melalui

8
F. Sullivan, Salvation outside the Church,115.
9 Sama seperti Giovanni Perrone SJ, demikian pula Johann B. Franzelin SJ adalah juga
professor di Collegium Romanum (yang sekarang adalah Universitas Gregoriana). Franzelin
mengajar di sana tahun 1858 – 1876, ketika ia kemudian diangkat menjadi kardinal oleh Pius
IX. Lihat, F. Sullivan, Salvation outside the Church,117.
Gereja diterangkan oleh Franzelin sebagai berikut. Pertama-tama perlu
ditegaskan bahwa tidak ada keselamatan tanpa adanya iman supranatural.
Iman semacam itu muncul karena dua sebab, yakni dari mendengarkan
Sabda Allah dan dari penerangan batin dari Tuhan. Bila iman muncul dari
mendengarkan Sabda, berarti iman itu muncul dari perwartaan Gereja.
Gereja adalah komunitas beriman yang mewariskan tradisi iman (depositum
fidei). Kalau demikianlah peranan Gereja di dalam menimbulkan iman
supranatural yang adalah prasyarat keselamatan, maka keselamatan itu
datang dari Allah melalui Gereja. Para anggota Gereja sampai pada
keselamatan itu melalui kesatuan kelihatan (communio visibilis) dengan
Gereja.
b. Keselamatan dalam relasi dengan Gereja. Bagi mereka yang tidak
dibaptis, keselamatan diperoleh karena atas salah satu cara mereka juga
dihubungkan dengan Gereja. Franzelin menjelaskannya demikian, "Tidak
ada keselamatan di luar Gereja" berarti tidak ada keselamatan tanpa relasi
penyelamatan (a saving relationship) dengan Gereja di atas bumi ini. Itu
berarti bahwa adanya relasi tertentu dengan Gereja dianggap penting
sebagai sarana ( a necessity of means), bukan hanya sebagai prinsip (a
necessity of precept). Artinya, hubungan dengan Gereja tidak cukup hanya
dalam tataran prinsip ( misalnya, secara prinsip: Tuhan tahu isi hati setiap
orang atau melalui perbuatan-perbuatan baik), melainkan perlu dalam
tataran wujud atau nampak secara nyata. Bagaimana hubungan yang
menyelamatkan dengan Gereja itu menjadi nyata? Franzelin menjawab:
“Menyangkut orang-orang yang tidak dibaptis, sejauh mereka “secara jujur
tidak tahu” tentang perlunya keanggotaan Gereja bagi keselamatan, maka
disposisi batin mereka yang jujur dalam hal beriman dan mengasihi adalah
tanda adanya kerinduan untuk menjadi anggota Gereja. Kerinduan hati
seorang manusia untuk berbuat baik dan benar adalah tanda “keinginan
untuk menjadi anggota Gereja” (votum ecclesiae). Kerinduan itu
menghubungkan orang yang bersangkutan dengan Gereja bukan hanya
dalam tataran prinsip, melainkan dalam tataran wujud atas cara
sedemikiran rupa, sehingga mereka bisa disebut “termasuk anggota Gereja
di mata Allah”, meskipun mereka berada di luar Gereja menurut mata
manusia. Dengan demikian Franzelin menganggap orang-orang non-
kristiani yang hidupnya baik dihubungan dengan Gereja melalui votum
Ecclesiae dan dapat memperoleh keselamatan.

e. Ajaran Konsili Vatikan I (1869-1870)


Konsili Vatikan I diadakan atas prakarsa Paus Pius IX di mana dua
teolog Jesuit dari Collegium Romanum itu, Giovanni Perrone dan Johann B.
Franzelin adalah anggota komite konsili. Maka tidaklah mengherankan
bahwa pokok pembahasan yang dipilih serta caranya menjelaskan pokok
itu tidak lari jauh dari permikiran mereka yang sudah kita bahas di atas
tadi. Pokok pembahasan yang saya maksudkan ialah tema "keselamatan di
luar Gereja". Hal itu dapat dilihat dalam draft rancangan keputusan Konsili
tentang Gereja dalam artikel 6 dan 7 tentang schema de ecclesia. Menurut
Francis Sullivan artikel 6 mencerminkan ajaran Franzelin, sedangkan
artikel 7 memuat Ajaran Pius IX dan Perrone.10
Ketetapan Konsili Vatikan I tentang Gereja berbunyi sbb:
a. Gereja adalah perlu untuk memperoleh keselamatan. Artikel 6 de
Ecclesia berbunyi."Kami mengajarkan bahwa Gereja bukanlan suatu societas
fakultatif, seolah-olah tidak punya pengaruh apa-apa bagi keselamatan,
entah orang mengakuinya atau tidak, entah orang masuk menjadi
anggotanya atau meninggalkannya. Sebaliknya, Gereja adalah perlu bagi
keselamatan, bukan hanya perlu karena diperintahkan (necessitas
praecepti), melainkan perlu dari kodratnya sendiri (necessitas medii) 11

10 F. Sullivan, Salvation outside the Church,121.


11
Tentang dua istilah teknis ini bisa ditambahkan beberapa penjelasan. Dalam bahasa
Inggris dipakai ungkapan a necessity of precept dan a necessity of means. Kalau Gereja
dianggap perlu bagi keselamatan demi a necessity of precept, itu berarti bahwa perlunya
Gereja karena diperintahkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan memerintahkan dengan cara lain
untuk memperoleh keselamatan, maka Gereja tidak perlu. Sebaliknya, Kalau Gereja
dianggap perlu demi a necessity of means, itu berarti bahwa demi kodratnya Gereja perlu
bagi keselamatan. Gereja perlu bagi keselamatan, bukan hanya karena diperintahkan oleh
Tuhan, melainkan dari kodratnya keselamatan itu membutuhkan Gereja.
Dalam Traktat Sakramen Baptis tahun 1984, P. Jan van Paassen, MSC memberikan
keterangan sbb: "Kaum teolog biasanya membedakan tiga macam necessitates ialah:
a. necessitas praecepti: perlu karena diperintahkan. Sebelum diperintahkan, tidak perlu;
menjadi perlu setelah diperintahkan untuk dilaksanakan. Misalnya, tanda lampu lalu lintas.
dengan mana Tuhan menyelenggarakan karya keselamatan." 12
Pius IX menghendaki supaya tema perlunya Gereja bagi keselamatan
ini ditetapkan sebagai ajaran Gereja untuk meneguhkan iman umat dan
melawan indifferentisme religius akibat pemikiran modern yang bebas.
Gereja bukanlah lembaga keselamatan yang bersifat fakultatif, melainkan
mutlak perlu. Perlunya Gereja bagi keselamatan itu bagaikan perlunya
bernafas untuk hidup, sehingga bercorak kodrati atau istilahnya necessitas
medii absoluta. Perlunya Gereja bagi keselamatan bukan hanya karena
diperintahkan oleh Tuhan, melainkan dari kodratnya sendiri Tuhan sudah
merencanakan di dalam penyelenggaraan-Nya yang maha bijaksana bahwa
Gereja diperlukan bagi keselamatan umat manusia.

b. Artikel 7: Tidak ada keselamatan di luar Gereja bagi orang kristen.


"Adalah ajaran iman kita bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh
keselamatan di luar Gereja. Namun demikian, orang yang tidak mengenal
Kristus dan Gereja-Nya tanpa kesalahan mereka, tidak akan dikenai
hukuman kekal karena ketidaktahuan itu. Sebab Tuhan menghendaki
keselamatan bagi semua orang, sehingga orang semacam itu dapat
mengalami pembenaran dan keselamatan. Namun, tidak seorangpun dapat
memperoleh keselamatan semacam itu bila mereka mati dalam kesalahan
dan dalam keadaan terpisah dari kesatuan Gereja. Setiap orang yang berada
di luar bahtera keselamatan ini akan ditelan oleh banjir." 13
Artikel 7 mencerminkan ajaran Pius IX dan Perrone yang membela
bahwa Allah adalah adil dan penuh belas kasih, sehingga tidak

Setelah tanda itu dipasang di sebuah perempatan jalan, maka setiap pengemudi kendaraan
wajib menaatinya.
b. necessitas medii: perlu karena kodratnya sendiri; diperintahkan atau tidak tetap harus
dilaksanakan. Dan ternyata necessitas ini masih bisa dibedakan menjadi dua:
b1. necessitas medii intrinseca, absoluta: mutlak perlu tanpa kekecualian apapun. Misalnya:
bernafas dan makan supaya manusia tetap hidup. Bernafas tidak usah diperintahkan,
melainkan dengan sendirinya dilakukan kalau manusia mau tetap hidup.
b2. necessitas medii extrinseca, relativa: umumnya perlu, tapi ada kekecualian. Misalnya:
orang bepergian dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api; tetapi bisa juga naik pesawat
terbang, naik bus, sepeda motor atau jalan kaki.
12 F. Sullivan, Salvation outside the Church, 120.
13 F. Sullivan, Salvation outside the Church,123; Mansi, 51, 541 - 42.
menghukum orang yang tidak bersalah. Namun dari lain pihak, karena
Tuhan adalah adil, maka Ia menghukum orang yang bersalah. Dan mereka
itu ialah orang-orang katolik yang murtad atau menjadi indifferentis dan
relativis karena pengaruh mentalitas modernis. Orang-orang katolik adalah
orang-orang yang telah dikenai lex evangelica, sehingga mereka dikenakan
syarat perlunya Gereja bagi keselamatan mereka. Bagi mereka itu tidak ada
keselamatan di luar Gereja.

Anda mungkin juga menyukai