Anda di halaman 1dari 12

BAB 4 ISLAM: BAGIAN 2

“Pengetahuan adalah satu-satunya alat produksi yang tidak


pernah mengalami pengurangan.”
-J.M. Clark, Journal of Political Economy, Oct. 1927

Kita telah mencatat sebelumnya bahwa kata Islam telah


dibumbui di dunia ini oleh Muslim dengan pengertian literal dan
bukan Muslim dengan pengertian ideologisnya. Individu-
individu seperti ini bisa saja menyebut diri mereka sendiri
sebagai agnostik, baik orang Yahudi maupun Kristen, akan
tetapi mereka berserah diri kepada ketentuan Pencipta mereka
sebaik yang mereka bisa, dan jika mereka terekspos ajaran Islam
secara baik maka mereka akan siap menerimanya. Mereka
adalah orang-orang yang, ketika mempelajari ajaran Islam, akan
mengatakan, “…kami beriman kepadanya; sesungguhnya;
Alquran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami,
sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang
membenarkan (nya).” (QS 28:53), karena sebelum mereka
menjadi Muslim, mereka telah berserah diri kepada bukti-bukti
kebenaran tentang Tuhan, baik bukti-bukti yang mereka sukai
ataupun tidak, dan hidup di bawah ketentuanNya sejauh
pengertian mereka. Dan itulah yang membuat mereka telah
menjadi Muslim dalam semua hal di luar sumpah kesaksian
mereka.

Ironisnya, pola dasar sejarah dari individu-individu seperti ini


salah satunya adalah Thomas H. Huxley, ayah dari Agnotisme.
Huxkey menuliskan salah satu pernyataan fasih mengenai
keinginan, bahkan hasrat, untuk berserah diri kepada ketentuan
sang Pencipta; “Saya memprotes terhadap suatu kekuatan agung
yang secara penuh membuatku selalu berpikir mengenai
kebenaran dan berbuat benar, tapi mensyaratkan diriku dirubah
menjadi semacam jam dinding yang pada akhirnya setiap pagi
sebelum saya bangun tidur, saya harus dengan segera
mengiyakan ajakannya.”
Banyak orang yang menyatakan keinginan atau hasrat yang
sama untuk hidup dalam keberserahan diri kepada Tuhan, akan
tetapi ujian tertinggi dalam melakukan hal ini adalah di titik
ketika mereka merengkuh kebenaran agung di saat kebenaran
tersebut terbukti. Untuk mundur ke belakang dari T.H Huxley
ke masa Injil, Muslim dan Kristen sama-sama menyadur cerita
mengenai Lazarus (Yohanes 11:1-44) sebagai sebuah contoh.
Dengan kekuasaan Tuhan, Yesus dikatakan membangkitkan
Lazarus dari kematian “…supaya mereka tahu bahwa Engkaulah
yang mengutus aku” (Yohanes 11: 42). Dari kekuatan mukjizat
ini, beberapa orang Yahudi mengakui kenabian Yesus,
sementara yang lain mengutuknya.

Pelajaran yang paling penting di sini adalah bahwa dari sudut


pandang Islam, adalah bahwa ketika dipersembahkan dengan
bukti terang benderang mengenai kenabian, orang-orang yang
ikhlas (definisi literalnya: Muslim) mengikuti (dan menjadi
Muslim dalam arti yang utuh). Sementara, yang tidak ikhlas
lebih memilih pertimbangan-pertimbangan duniawi dalam hal
mengikuti jalan hidup Tuhan.

Masih ada pelajaran yang dapat diambil. Terdapat sebuah pesan


moral dari kisah mengenai Lazarus dari sisi tujuan di balik
kebangkitannya. Seorang mungkin akan bertanya, apakah ada
tujuan lain bagi Tuhan ketika menurunkan utusan-utusannya
selain untuk membimbing manusia menuju jalan yang lurus
sesuai dengan rancanganNya? Siapa yang akan meraih ganjaran
dari mematuhi jalan hidup Tuhan selain mereka yang berserah
diri kepada bukti-buktiNya? Dan siapa yang lebih layak untuk
menerima hukuman dibanding mereka yang menolak kebenaran
ketika kebenaran itu ditunjukkan dengan terang benderang?

Muslim percaya bahwa semua nabi membawa wahyu untuk


mengoreksi penyimpangan umatnya. Lagi pula, mengapa Tuhan
menurunkan seorang nabi kepada sebuah masyarakat yang
sudah melakukan semua hal dengan benar? Sebagaimana Yesus
diturunkan kepada “…domba-domba yang hilang dari umat
Israel.” (Matius 15:24) dengan bukti kenabian agung dan wahyu
korektif, demikian pula dengan Muhammad yang
mempersembahkan kepada seluruh umat - mulai dari masa nya
sampai hari pembalasan nanti - akan bukti kenabiannya dan juga
wahyu yang final. Wahyu final ini mengembalikan
penyimpangan-penyimpangan yang telah merangkak masuk ke
dalam dunia agama yang beragam, termasuk agama Yahudi dan
Kristen, kembali ke relnya. Muslim percaya bahwa orang-orang
yang hidup dalam keberserahan diri terhadap Tuhan dan bukti-
buktiNya akan melihat dan menerima Muhammad sebagai
seorang nabi, sebagaimana seorang Yahudi yang bertakwa
melihat dan menerima Yesus. Sebaliknya, orang-orang yang
berserah diri kepada selain Tuhan – apakah itu uang, kekuasaan,
kesenangan dunia, tradisi keluarga atau budaya, prasangka-
prasangka pribadi yang tak mendasar, atau agama apapun yang
lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan Tuhan – pasti
akan menolak Muhammad, sebagaimana Yahudi yang tak
beriman menolak Yesus.

Yang menarik di sini adalah Islam menuntut keberserahan diri


terhadapTuhan, sebagaimana agama Yahudi dan Kristen
menuntut keberserahan diri terhadap doktrin gereja. Muslim
tidak menuruti doktrin gereja dengan alasan sederhana bahwa,
dalam Islam, tidak ada yang namanya doktrin gereja. Bahkan
kependetaanpun (clergy) tidak dikenal dalam agama Islam.
Mengutip Encyclopedia Dictionary of Religion, “Tidak ada
otoritas keagamaan sentral atau magisterium dalam Islam dan
oleh sebab itu karakter agama ini beragam, terkadang meluas
dibanding bentuk tradisionalnya…” dan Catholic Encyclopedia
yang baru menyatakan, “Islam tidak memiliki sebuah gereja,
tidak juga kependetaan, sistem sakramen, dan hampir tidak ada
liturgi.”

Yang dimiliki Islam adalah para ulama, yang melayani dengan


menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam agama. Akan
tetapi, status ulama ini tidak serta-merta memberikan implikasi
bahwa mereka memiliki kedekatan yang lebih dengan Tuhan
dibanding dengan seorang Muslim sederhana yang takwa,
walaupun tidak terpelajar sekalipun. Dan yang harus
digarisbawahi, Tidak ada hal yang dapat disamakan dengan
kepausan dalam Islam, dan tidak ada pendoa syafaat antara
manusia dan Tuhan. Ketika seseorang telah menerima kitab suci
Alquran sebagai firman Tuhan dan Muhammad sebagai utusan
terakhirnya, maka semua ajaran agama ini akan ditemukan dari
sumber-sumber fundamental ini. Sistem yang mirip dengan
kependetaan hanya ditemukan di dalam beberapa sekte Islam
yang menyimpang. Islam Syiah memiliki imam-imam, Islam
Sufi memiliki para santo, dan Nation of Islam memiliki para
penceramah. Akan tetapi hal ini tidak ditemukan di dalam Islam
Ortodoks (Sunni), di mana imam hanyalah berarti “seseorang
yang berada di depan.” Dengan kata lain, pemimpin sholat.
Imam tidak ditahbiskan dan tidak melaksanakan sakramen.
Fungsi imam tak lain hanyalah untuk mensingkronkan prosesi
sholat dengan cara menyediakan kepemimpinan. Posisi ini tidak
mengharuskan adanya sebuah kantor tertentu ataupun
penunjukkan, dan dapat diisi oleh Muslim dewasa manapun dari
sebuah jamaah.

Agama Islam dibangun di atas fondasi iman. Seorang yang


masuk Islam memiliki iman kepada Tuhan yang satu, kepada
kitab suci Alquran sebagai wahyu final dan kepada Muhammad
sebagai nabi terakhir. Selanjutnya, jawaban atas pertanyaan
apapun, baik mengenai ajaran, hukum, akhlak, spiritualitas, dll,
harus langsung merujuk kepada wahyu Tuhan dan ajaran Rasul
untuk dapat diterima sebagai ajaran yang sah.

Namun tidak demikian halnya dengan institusi Yahudi-Kristen,


yang sebagaimana akan kita liat nanti di dalam buku ini,
menuntut iman kepada doktrin-doktrin yang seringkali
melampaui perintah Tuhan karena interpretasi manusia.
Contohnya adalah tentang bagaimana Yesus tidak pernah
memanggil dirinya sendiri sebagai Anak Tuhan atau pernah
mengajarkan Trinitas telah dijelaskan di awal buku ini. Ini
hanyalah dua dari daftar panjang dari ajaran agama yang tidak
pernah Yesus ajarkan. Oleh sebab itu, orang Kristen mungkin
saja memasuki agama ini dengan beriman kepada Tuhan yang
satu (sebagaimana diajarkan Yesus), Injil sebagai wahyu dan
Yesus sebagai utusan Tuhan. Akan tetapi, orang-orang yang
mempertanyakan fondasi ajaran Kristen akan menemukan
banyak sekali elemen ajaran yang bukan merupakan ajaran
Tuhan atau Yesus sendiri, tapi berasal dari sumber non-injil,
seperti tulisan pendeta-pendeta Apostolik, Teolog-teolog
Pauline, bahkan pendeta modern. Jelas bahwa sumber-sumber
ini tidak datang dari Tuhan maupun Yesus. Oleh sebab itu,
orang Kristen memiliki pertanyaan di benak mereka, karena
jelas-jelas sumber-sumber non-injil ini bertolak belakang
dengan ajaran Yesus.

Yang makin membuat frustrasi agama Abrahamik lainnya,


Muslim menantang orang Yahudi dan Kristen untuk
membuktikan bagaimana ajaran Musa dan Yesus berseberangan
dengan pengertian Islam mengenai Tuhan dan turunnya wahyu.
Lagi pula, kitab suci Alquran memerintahkan Muslim untuk
berkata,” Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari
Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” (QS 2:136).
Lewat ayat ini, Muslim diharuskan untuk mengikuti wahyu yang
diberikan kepada Musa dan Yesus. Di sini lah letak
tantangannya. Jika ada ajaran salah seorang nabi yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam, Muslim akan
diharuskan untuk menghadapi kontradiksi yang ada. Di sisi lain,
jika orang Yahudi dan Kristen gagal untuk membuktikan
mengenai adanya kontradiksi tersebut, mereka diharuskan untuk
menghadapi kesepakatan yang nyata dari ketiga nabi ini.

1400 tahun telah lewat semenjak turunnya wahyu Alquran, dan


sampai hari ini tantangan itu belum juga dapat dijawab. Tidak
ada orang yang pernah membuktikan realitas Tuhan berbeda
dari pengertian ajaran Islam. Lebih dari itu, tidak ada orang pula
yang pernah dapat membuktikan bahwa ajaran Musa, Isa dan
Muhammad saling bertentangan. Malah, banyak orang yang
berpendapat sebaliknya – bahwa ketiga nabi ini dengan tegas
saling mendukung.

Pada akhirnya, banyak biarawati, pendeta, panatua dan rabbi


yang ikhlas – pendeta berpendidikan yang paling tahu mengenai
agama mereka masing-masing – memeluk agama Islam. Di
masa hidup Muhammad, seorang biksu Kristen dari Syria
bernama Bahira mengklaim telah mengenalnya sebagai nabi
terakhir sejak Muhammad masih kecil, berpuluh tahun sebelum
turunnya wahyu pertama untuknya. Waraqah ibn Nawfal,
seorang Kristen buta yang merupakan sepupu Khadijah (istri
pertama Muhammad) bersumpah, “demi Dia yang tangannya
memegang jiwa Waraqah, engkau (Muhammad) adalah nabi
dari bangsa yang besar ini dan sang Namus yang besar (malaikat
yang menurunkan wahyu yaitu malaikat Jibril) telah datang
kepadamu – ialah yang juga mendatangi Musa. Dan kamu akan
ditolak (oleh orang sebangsamu) dan mereka akan menyakitimu,
dan mereka akan mengusirmu dan mereka akan memerangimu
dan andaikan aku masih hidup untuk melihat hari itu aku akan
menolong agama Allah dengan sekuat tenagaku.”

Di masa-masa awal Islam, ketika para Muslim masih lemah dan


berada dalam tekanan, agama ini dipeluk oleh orang-orang yang
gigih mencari kebenaran seperti Salman al Farisi, seorang
Kristen Persia yang dibimbing oleh mentornya, seorang biksu
Kristen, untuk mencari kedatangan nabi terakhir di “negara yang
ditumbuhi pohon kurma.” Negus, pimpinan Kristen Abisinia,
menerima Islam tanpa pernah bertemu Muhammad sekalipun,
dan ini ia lakukan ketika Muslim pada waktu itu masih
merupakan sebuah kelompok yang kecil, yang banyak dihina
dan seringkali harus berjuang mempertahankan hidup mereka.

Lalu pertanyaannya adalah, jika para intelek Kristen dan orang


Kristen yang memiliki posisi demikian penting menerima Islam
di masa ketika Muslim adalah sebuah minoritas yang
dipersekusi dan miskin harta, miskin kekuatan dan miskin
kekuatan politik untuk menjadikan mereka kelompok yang
dapat menarik perhatian dan alih-alih melindungi mualaf-
mualafnya, apa yang menarik orang-orang Kristen ini kepada
Islam, jika bukan iman yang ikhlas? Sejarah mencatat bahwa
Heraclius sekalipun, Raja Kristen Roma, mempertimbangkan
untuk memeluk agama Islam, walaupun ia akhirnya
membatalkannya ketika ia melihat bahwa kepindahan
kepercayaannya akan membuat ia kehilangan dukungan orang-
orang di bawahnya dan juga kerajaannya.

Salah satu cerita kepindahan agama yang paling luar biasa


adalah cerita mengenai kepindahan agama Abdallah bin Salam,
seorang rabi yang disebut oleh orang Yahudi di Madinah
sebagai “tuan kami dan anak dari tuan kami.” Encyclopedia
Judaica menjelaskan bahwa ketika sesama tokoh religi yang
juga rekan Abdallah diundang untuk memeluk agama Islam,
“orang-orang Yahudi itu menolak, dan hanya keluarga
intinyalah, terutama bibinya yang bernama Khalida, yang
memeluk Islam. Menurut sebuah versi lain, kepindahan agama
Abdallah terjadi karena kekuatan dari jawaban Muhammad
terhadap semua pertanyaan yang ia ajukan.”

Maka proses kepindahan agama pun dimulai, dan hal ini terus
berlanjut sampai saat ini. Para mualaf biasanya
mempertimbangkan kepindahan agama mereka konsisten
dengan, jika tidak didikte oleh, kitab suci mereka sendiri.
Dengan kata lain, mereka menemukan bahwa Islam adalah
pemenuhan dari, dan bukannya bertentangan dengan, ajaran
dalam injil. Hal ini pastinya akan memunculkan sebuah
pertanyaan: Apakah orang Yahudi dan Kristen, di hadapan
wahyu kitab suci Alquran, menolak Tuhan dan mata rantai
wahyunya? Isu ini menusuk tepat di akar perdebatan
keagamaan. Muslim beriman, sebagaimana dengan mereka yang
menolak kenabian Yesus Kristus, mereka yang menolak
kenabian Muhammad mungkin saja akan terus diterima oleh
kalangan mereka sendiri dan akan dipandang sebagai orang
dengan kedudukan yang tinggi di kalangan mereka – tapi hal itu
harus mereka bayar dengan ketidak ridhoan Tuhan. Jika hal ini
benar adanya, klaim ini layak untuk didengar. Jika tidak, maka
kesalahan dari keyakinan ini harus di ekspos. Bagaimanapun,
tidak ada yang dapat menggantikan pengujian terhadap bukti ini.

Sementara selama ini telah banyak orang Yahudi dan Kristen


intelek yang memeluk agama Islam, hal sebaliknya tidak terjadi,
dan hal ini memang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah. Ada
beberapa kasus mengenai orang-orang yang berada di sekte-
sekte yang menyimpang dari Islam yang berpindah agama ke
agama-agama lain, akan tetapi hal ini sangat tidak
mengherankan. Dikarenakan oleh ketidakpedulian mereka
terhadap ajaran Islam yang benar, mereka seringkali terbujuk
rayu oleh hawa permisif pada agama lain. Contoh-contoh dalam
hal ini adalah sekte menyimpang termasuk Baha’i, the Nation of
Islam, Ahmadiyyah (yang juga dikenal sebagai Qadian), Ansar,
ajaran Sufi ekstrim, dan yang paling banyak, jika tidak hampir
semua, adalah pemeluk sekte syiah. Kelompok-kelompok ini
mungkin saja mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan label
Islam, akan tetapi sama saja dengan seorang laki-laki yang
menyebut dirinya sendiri sebagai sebatang pohon, lemahnya
akar pada agama akan menggerus klaim itu. Yang lebih penting
lagi, doktrin yang tidak sah dari sekte-sekte menyimpang ini
memisahkan mereka dari islam ortodoks (Sunni), dan hal ini
menuntut penolakan dari seluruh Muslim.

Untuk orang-orang yang terlahir sebagai Muslim dan dibesarkan


dengan ketidakpedulian terhadap agama mereka, maka
kepindahan mereka kepada agama lain tidak dapat secara fair
dilihat sebagai membalikkan badan dari agama Islam – karena
individu-individu ini tidak pernah betul-betul memeluk agama
Islam semenjak awal. Dan tentu saja, tidak semua orang yang
dilahirkan ke dalam sebuah agama adalah suri tauladan sebuah
ketakwaan, walaupun orang yang berpendidikan dari agama
mereka. Lalu ada pula orang yang lemah imannya, yang
mendorong jauh keyakinan agama mereka dan lebih memilih
prioritas keduniaan atau bujuk rayu agama-agama lain yang
lebih permisif. Tapi total jumlah dari orang-orang seperti ini
tidak dapat dibandingkan dengan 1400 tahun kepindahan
pendeta Yahudi dan Kristen ke agama Islam. Hal yang jelas-
jelas tidak ditemukan adalah kepindahan agama Muslim Sunni
yang ikhlas, berkomitmen, berpendidikan dan mempraktekkan
agamanya, ataupun ulama-ulama nya (disamakan dengan
kepindahan rabid an pendeta ke agama Islam).

Pertanyaan ini tetap dipertanyakan: mengapa ada “ulama”


Yahudi dan Kristen yang memeluk Islam? Tidak ada tekanan
bagi mereka untuk melakukannya, dan tidak pula ada alasan
keduniaan bagi mereka untuk melakukannya – misalnya
kehilangan jamaah, posisi dan status, kerabat dan keluarga,
pekerjaan dan pensiun. Dan mengapa ulama Islam tidak pindah
ke suatu agama yang lain? Agama-agama lain jauh lebih
permisif dalam hal keyakinan dan moral, dan tidak ada paksaan
hukum bagi mereka yang keluar dari Islam di negara-negara
Barat.

Jadi mengapa ulama Yahudi dan Kristen memeluk Islam,


sementara Muslim yang berpendidikan tetap teguh dalam agama
mereka? Muslim berpendapat bahwa jawabannya terletak pada
definisi Islam. Orang yang berserah diri kepada Tuhan dan tidak
kepada sebuah badan kegerejaan akan menemukan sebuah rasa
yang agung terhadap wahyu. Islam merepresentasikan sebuah
keberlanjutan dari agama Yahudi dan Kristen yang mana ketika
hal ini disadari, menyapu bersih jalan para pencari ikhlas kepada
jalan mulus sebuah wahyu. Ketika seorang dapat melihat
melampaui prasangka dan propaganda Barat, Muslim percaya
bahwa pintu kepada sebuah pengertian akan terbuka lebar.

Dari sudut pandang Islam, di antara misi Yesus dan


Muhammad, orang-orang yang menyadari Yesus sebagai
pelengkap dari ramalan kitab Perjanjian Lama akan bersaksi
kepada Tuhan yang satu, dan Yesus sebagai utusanNya. Dalam
definisi Islam, pemeluk “Kristen” awal ini adalah Muslim
dilihat dari semua niat dan tujuan mereka. Muslim masa kini
mengingatkan kita bahwa Yesus tidak akan bisa mengajar
banyak hal yang tidak ada di masa kenabiannya, seperti label
“Kristen” dan doktrin Trinitas, yang memang berevolusi dalam
kurun waktu beberapa abad di awal masa post-apostolic/ setelah
kenabian Yesus. Yang pasti diajarkan oleh Yesus adalah tentang
kebenaran Tuhan yang sederhana bahwa Ia satu, dan bahwa
Tuhan telah menurunkan dirinya sebagai seorang utusan. Injil
Yohanes mengatakan hal ini dengan sangat baik: “Inilah.
Hidupku yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau,
satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus
yang telah Engkau utus.” (Yohanes 17:3), dan “Janganlah
gelisah hatimu, percayalah kepada Allah, percayalah juga
kepadaKu” (Yohanes 14:1). Maka, sudut pandang Islam adalah
bahwa label apapun yang kelompok awal in berikan kepada diri
mereka sendiri sepanjang 40 tahun mengikuti Yesus (sebelum
kata Kristen diciptakan), mereka hidup dalam keberserahan
kepada kebenaran Tuhan sebagaimana yang disampaikan
dengan ajaran Yesus. Dan apapun label yang diidentifikasikan
kepada mereka pada waktu itu, hari ini karakter mereka akan
didefinisikan dengan sebuah kata yang diatribusikan kepada
orang-orang yang hidup dalam keberserahan kepada Tuhan
lewat pesan yang turun dalam wahyu – dan label itu adalah
Muslim.

Demikian pula, ulama Kristen dan Yahudi yang menjadi mualaf


yakin bahwa Muhammad memenuhi ramalan kitab Perjanjian
Lama dan Baru mengenai nabi terakhir. Beberapa pembaca akan
menolak hal ini karena mereka tidak pernah menemukan kata
Muhammad dalam Injil. Di sisi lain, berapa kali kita
menemukan kata Yesus di dalam kitab Perjanjian Lama dalam
hubungannya dengan Al Masih yang dijanjikan? Jawabannya
adalah nihil. Perjanjian Lama memuat banyak ramalan
mengenai nabi-nabi yang akan datang tapi tidak pernah
menyebut mereka dengan nama yang biasa ditujukan kepada
mereka. Beberapa dari ramalan ini dipercaya menggambarkan
Yahya, yang lain menganggap ramalan ini adalah tentang Yesus,
dan masih banyak lagi ramalan yang muncul tanpa adanya
persona tertentu di Injil. Injil menginformasikan kepada kita
bahwa orang Yahudi akan didatangi oleh tiga nabi lain, karena
orang-orang Farisi (Pharisees) dicatat pernah mempertanyakan
Yahya dengan pertanyaan sebagai berikut:

Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari


Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi
kepadanya untuk menanyakan dia: “Siapakah engkau?” Ia
mengaku dan tidak berdusta, katanya: “Aku bukan Mesias.”
Lalu mereka bertanya kepadanya: “kalau begitu, siapakah
engkau? Elia?” dan dia menjawab: “Bukan!” “Engkaukah nabi
yang akan datang?” dan dia menjawab: “bukan!” (Yohanes
1:19-21)

Setelah Yahya mengidentifikasi dirinya sendiri dalam kata yang


mengelak, orang-orang Farisi memaksa dengan menanyakan,
“mengapa engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias,
bukan Elia dan bukan nabi yang akan datang” (Yohanes 1:25)

Jadi di sini ada “Elia”, “Kristus” dan “sang nabi”. Hal ini tidak
hanya sekali namun dua kali disebut. Itu merupakan daftar
pendek dari nabi yang diharapkan oleh orang Yahudi menurut
kitab suci mereka.

Lalu, walaupun dengan adanya fakta bahwa Yahya menolak


disebut sebagai Elia seperti yang disebut di atas, Yesus
mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Elia sebanyak dua kali
(Matius 11:13-14, 17:11-13). Dengan mengesampingkan
inkonsistensi kitab suci, mari kita membahas mengenai Elia
dalam hubungannya dengan kata Yesus, tanpa memikirkan
terlalu dalam siapa yang dimaksud dengan “Kristus”, dan
berkonsentrasi dari apa yang ada. Siapakah nabi ketiga dan
terakhir yang diramalkan oleh Perjanjian Lama? Siapakah “sang
nabi” itu?
Ada orang Kristen yang berharap bahwa nabi terakhir ini
maksudnya adalah Yesus ketika ia kembali turun ke bumi, tapi
ada juga yang mengharapkan kedatangan nabi yang benar-benar
baru. Jadi inilah alasan mengapa semua orang Yahudi dan
banyak orang Kristen masih menunggu nabi terakhir itu,
sebagaimana diramalkan oleh kitab suci mereka sendiri.

Muslim percaya bahwa nabi terakhir ini telah datang, dan ia


bernama Muhammad. Lewat Muhammad lah Alquran
diturunkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa (Allah). Orang-orang
yang patuh pada ajaran dari nabi terakhir, Muhammad ibn
Abdullah, dianggap sebagai Muslim, baik dari definisi literal
maupun dari definisi ideology.

Anda mungkin juga menyukai