Anda di halaman 1dari 9

BAB 11.

ROH KUDUS

Ketika kamu terbebas dari nafsu, kamu akan menyadari misteri yang
ada. Ketika kamu terjerat oleh nafsu, maka kamu hanya akan melihat
manifestasinya.
-Lao Tzy, Tao Te Ching

Semua orang tahu ungkapan “Roh Kudus”, tapi hanya ada segelintir
orang yang mencoba mendefinisikannya. Orang-orang yang
melakukan hal ini biasanya membuat sebuah percampuran antara
opini pribadi dan justifikasi-justifikasi yang ambigu, walau hal ini
memang sah dari sisi doktrin. Dalam pikiran orang banyak, teologi
yang bagai “minyak dan air” ini gagal berbaur dengan sebuah
kenyataan yang serupa. Pemahaman agama Islam, di sisi yang lain,
sangat luar biasa konkritnya, di mana agama ini mengajarkan bahwa
sang “Roh Kudus” adalah Jibril, malaikat pembawa wahyu. Ketika kita
menemui ungkapan Ruh-ul-Qudus di dalam kitab suci Alquran (lihat
QS 2:87), beberapa kalangan (seperti Yusuf Ali) menerjemahkan
“Roh Kudus”, yang lain (seperti Muhammad Al-Hilali dan Muhammad
Khan) menerjemahkan “Jibril” dan sisanya (seperti Shaheeh
internasional) menerjemahkannya dengan “Roh Kudus” dan “Jibril” –
di mana hal ini menunjukkan bahwa, dalam ajaran agama Islam,
kedua frase ini serupa.

Sementara Islam mengajarkan bahwa Injil itu terkorupsi dalam satu


atau hal lainnya, banyak umat Islam yang berpegang bahwa
kebenaran agama Islam justru bisa ditemukan di dalam Injil. Dan
karena umat Islam sering membuat argumen mengenai ideologi
Islam berdasarkan ajaran-ajaran Injil, mungkin kita akan bertanya-
tanya, “Bagaimana agama Islam dapat menjelaskan penggunaan kata-
kata “Roh Kudus” di dalam Injil? Karena malaikat Jibril tidak dapat
digantikan dengan “Roh Kudus” tanpa memperlihatkan banyak ayat-
ayat Injil yang tidak dapat menjelaskan hal ini atau bahkan tidak
masuk akal.

Dan di sini tantangannya adalah, bagi umat Islam baik untuk


memberi kejelasan dari ketidakjelasan ini, dari sebuah sudut
pandang Injil, atau untuk berhenti mendebat mengenai Islam dengan
menggunakan basis Injil. Hal ini akan menjadi tantangan yang pantas,
karena kalau tidak, umat Islam dapat dituduh dengan tuduhan
ketidakaslian yang juga dituduhkan kepada umat Kristen – misalnya,
hanya memilih ayat-ayat Injil yang melayani tujuan mereka,
sementara di sisi yang lain, menutup mata tanpa secara sah
mendiskreditkan ayat-ayat yang telah terbukti sebagai ayat-ayat
yang tidak nyaman secara logis. Akan tetapi, setidaknya terdapat dua
poin yang harus dipertimbangkan untuk dapat memahami sudut
pandang Islam. Poin pertama menyangkut keandalan yang patut
dipertanyakan dari Injil, yang akan diungkapkan nanti di bab-bab
berikutnya yang memang ditujukan untuk permasalahan tersebut.
Yang kedua, yang mengekori hal yang pertama, adalah bahwa umat
Islam tidak mengklaim Injil sebagai wahyu Tuhan yang tak tercemar
yang menunjukkan jalan kepada Quran dan Islam. Alih-alih, umat
Islam percaya bahwa Injil mengandung baik kebenaran Ilahi dan juga
korupsi manusia. Sudah pasti, korupsi-korupsi Injil ini secara
keseluruhan bermula dari penyalinan banyak kesalahan sampai
akhirnya memotivasi penambahan-penambahan, penghapusan-
penghapusan, terjemahan yang disesuaikan, dan dalam beberapa
kasus, bahkan pemalsuan.

Desakan dari argumen Kristen Unitarian dan Muslim, menjadi


berfokus tidak hanya terhadap kepatuhan yang setia kepada
kebenaran yang terungkap, akan tetapi juga terhadap pengakuan dan
penyangkalan dari korupsi-korupsi kitab suci tersebut.

Misalnya saja, kata pnéuma dari bahasa Yunani. Di dalam Injil, kata
pnéuma diartikan sebagai “roh”. Akan tetapi, buku karangan Kittel
dan Friedrich yang berjudul Theological Dictionary of the New
Testament (Kamus Teologi dari Perjanjian Baru) menginformasikan
kepada kita bahwa pnéuma dapat memiliki arti yang lebih luas lagi
(juga lebih sempit lagi); angin, nafas, hidup, jiwa, rasa jiwa yang
dipindahkan (secara metafora), pnéuma mantik (jiwa yang membuat
gejolak dan menginspirasi – “mantik” yang berkaitan dengan
nubuat), pnéuma ilahi (di mana hal ini dikomentari oleh penulis,
“Tapi di dalam bahasa Yunani tidak ada rasa ke-Ruh Kudusan yang
bersifat personal), pnéuma dari Stoicism/sikap tabah (sebuah filosofi
Yunani yang digunakan oleh sedikit kalangan saat ini), dan juga
perkembangan arti non-Yunani (yang dapat dikatakan di sini bahwa
arti-arti tersebut menjadi tidak otentik, karena bahasa Yunani
sekalipun bukanlah bahasa yang digunakan Yesus).

Dalam membaca hal di atas, kita temukan bahwa penerjemah-


penerjemah Injil mengambil sebuah lisensi literasi yang cukup besar,
karena terjemahan yang benar dari kata pnéuma sama sekali bukan
“roh kudus”. Menurut naskah di atas (yang dianggap sebagai salah
satu referensi bonafid dunia mengenai hal ini), kata pnéuma memiliki
penerjemahan yang berbeda-beda. Tentu saja, “angin kudus” atau
“nafas kudus” tidak mendukung doktrin Trinitarian sebagaimana
terjemahan “roh kudus”, tapi apa yang dapat dilakukan oleh seorang
penerjemah? Mencari kebenaran dari wahyu Tuhan, atau
memanipulasi terjemahan demi mendukung keputusan institusional?

Mari kita biarkan Jason BeDuhn menjawab pertanyaan ini. Dalam


karya besarnya, Truth in Translation (Kebenaran dalam
Penerjemahan), ia menulis:

Dalam survey kami dari penggunaan kata “roh” dalam Perjanjian


Baru, kami tidak menemukan adanya terjemahan yang
memperhatikan tata bahasa, sintaksis, konteks literasi, dan juga
lingkungan kebudayaan dengan konsistensi yang lengkap. Para
penerjemah dari seluruh versi yang kami bandingkan menunjukkan
sebuah bias teologi di mana hal ini mengintervensi akurasi mereka.
Dalam satu atau titik lainnya, mereka semua mengimpor “Roh
Kudus” ke dalam ayat-ayat dimana ”roh” digunakan dalam arti yang
berbeda….Tidak ada penerjemahan yang timbul dengan konsistensi
sempurna dan akurat dalam menyikapi banyaknya penggunaan dan
nuansa “roh” dan “roh kudus”.

Lalu, terdapat pula “kebetulan” yang mengejutkan antara surat


“Yohanes” yang secara dramatis menjadi lebih puitis dibanding
dengan gospel-gospel lain dan penggunaan unik surat “Yohanes”
terhadap mantik pnéuma, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Bagitu luas jurang perbedaan yang ada sampai-sampai banyak ahli
teologi mengakui keterkejutan mereka pada penyebutan kata Spirit
yang jarang di “Markus” dan “Matius” dibandingkan di “Yohanes”.
Belum lagi dengan fakta di mana doktrin-doktrin Trinitas dan
Inkarnasi yang utamanya berasal dari interpretasi yang dipaksakan
terhadap putisasi dalam “Yohanes” dengan sedikit, itupun jika ada,
dukungan kitab suci dari gospel-gospel yang lain, dan bahwa bobot
doktrin-dokrtin ini terlalu menekankan doktrin di atas fondasi yang
rapuh.

Tidak dapat disangkal lagi, terdapat ruang yang luas bagi interpretasi
kitab suci. Ada orang yang membaca Injil dan mengerti “Roh Kudus”
sebagai sebuah unsur yang tidak dapat didefinisikan sebagai bagian
dari keilahian, mirip dengan pnéuma ari Stoicism atau arti tak otentik
yang berkembang mengikuti masa turunnya wahyu. Sebagian yang
lain memahami Tuhan itu Esa, tanpa sekutu dan subdivisi, dan
mereka mencari apa yang menjadi rasional dan dapat dijustifikasi
dengan logika. Untuk kelompok kedua ini, “Roh Kudus” tidak dapat
dipahami kecuali dengan merujuk kepada sebuah entitas nyata yang
terpisah dan berbeda dengan Tuhan.

Sebuah contoh mengenai bagaimana Injil babak belur dalam


penerjemahannya, dan mengapa kesimpulan-kesimpulannya menjadi
beragam pada akhirnya, dalah fakta bahwa kata paraclete (dari
bahasa Yunani parakletos) dapat berarti “penolong, pembela,
mediator, penghibur. Di tempat-tempat lain kata ini diterjemahkan
sebagai “advokat/pengantara, penolong”. Penerjemahan Harper
merasa cocok dengan arti “advokat”. Mengapa hal ini menjadi
penting? Karena “kata Paraclete hanya muncul lima kali di dalam
Injil, dan kelima kemunculan tersebut berada dalam tulisan yang
konon milik Santo Yohanes: Surat pertama Yohanes 2:1, dan Gospel
yang sesuai dengan surat Yohanes 14:16, 14:26, 15:26, 16:7.”

Haruskah kita membuat asumsi bahwa kata ini tergelincir dari


pikiran-pikiran para penulis gospel lain? Jika demikian, maka kita
akan curiga bahwa kata ini seharusnya bukanlah sebuah kata yang
sangat penting. Akan tetapi justru sebaliknya, kelima ayat ini
merupakan ayat-ayat yang sangat penting. Malah, kaum Trinitarian
menekankan pentingnya menerima sendi-sendi Roh Kudus dari
beberapa kutipan ini. Seorang dapat memahami keganjilan ini,
karena jika konsep Paraclete itu sedemikian pentingnya dalam ajaran
di mana Tuhan menginginkan manusia untuk meraih konsep ini dari
wahyu yang turun, kita harus bertanya-tanya, mengapa kata ini tidak
begitu meninggalkan kesan yang amat mendalam terhadap ketiga
penulis gospel lainnya yang menjadikan kata ini layak untuk
disebutkan, bahkan satu kali pun.

Apapun alasannya, kata paraclete menjadi satu lagi kata yang


seringkali disalah artikan menjadi “Roh Kudus”. Walaupun dengan
adanya terjemahan Injil modern yang cenderung mengacu kepada
integritas yang lebih tinggi lagi, kata paraclete masih sering disalah
artikan sebagai “penasehat” atau “penghibur”. Terjemahan yang
tepat sebagai “penolong”, “pembela”, “mediator”, penasehat”,
“advokat/pengantara”, atau “penolong” akan menyiratkan sebuah
entitas fisik yang sebenarnya, yang akan konsisten dengan fakta
bahwa “beberapa jejak dari penggunaan awal kata parakletos dalam
karya Johannine mengacu kepada penolong yang berasal dari surga”.
Dan “penolong dari surga” mana lagi yang lebih besar dari Jibril, yang
tak lain adalah malaikat pembawa wahyu?

Begitu pula, dalam penggunaannya di abad ke 1, “Parakletos


merupakan istilah hukum yang utamanya digunakan untuk
menyebut advokat, pembela, atau perantara. Sejalan dengan arti
dasarnya yang berarti seseorang yang ‘dipanggil untuk berdiri di
samping, membela, menasehati atau menengahi,’ di mana kata ini
digunakan untuk konsultan hukum dan juga saksi-saksi.”

Kutipan-kutipan ini telah membantu kita memahami apa arti kata


paraclete pada periode turunnya wahyu. Akan tetapi pada suatu
waktu, teolog-teolog tertentu mengklaim bahwa mereka lebih paham
mengenai kata ini, dan mereka mengembangkan sebuah pemahaman
yang berbeda jauh akan arti kata ini. Asosiasi kata parakletos dengan
sebuah entitas fisik ternyata membuat tak nyaman orang-orang yang
mendukung argumen kaum Trinitarian, dan sepertinya asosiasi ini
telah sangat dihindari, apapun resikonya.

Maka, untuk melihat kembali:

1. Definisi “roh kudus” sulit dipahami dalam agama Kristen, akan


tetapi istilah tersebut memiliki arti yang konkrit di dalam
Islam, karena istilah ini memiliki persamaankata dengan Jibril,
malaikat pembawa wahyu.
2. Banyak sekali arti yang ada untuk kata pnéuma, akan tetapi
kata ini tidak pernah memiliki arti “roh kudus” dilihat dari arti
asli bahasa Yunani.
3. Hanya menurut perkembangan dari pengertian yang berbeda
dan tidak otentik lah, “arti dari perkembangan non-Yunani”
atas kata pnéuma akhirnya menjadi “roh kudus”.
4. Teologi Kristen mengenai Roh Kudus hampir secara eksklusif
bergantung kepada Gospel dan Surat Pertama dari “Yohanes”.
5. Kata Paraclete tidak disebutkan di surat lain manapun di dalam
Perjanjian Baru.
6. Terjemahan yang tepat terhadap kata paraclete terlihat
menyiratkan sebuah entitas material, yang dapat berupa
manusia atau malaikat.

Dengan mengingat poin-poin ini di dalam pikiran kita, yang dapat


dilakukan adalah melacak arti kata paraclete di dalam 5 ayat
Perjanjian Baru di mana kata ini muncul. Demikian sesuai urutannya:
1. Surat Pertama Yohanes, 2:1 (I Jn 2:1) mengidentifikasi Yesus
Kristus sebagai seorang ‘paraclete’ (yang di sini diterjemahkan
sebagai “pengantara(advokat)”: “namun jika seorang berbuat
dosa, kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu
Yesus”, Jadi apapun seorang paraclete itu – pengantara
(advokat), penolong, penghibur, apapun itu – Yesus adalah satu
di antara paraclete tersebut, sebagaimana disebutkan oleh ayat
ini.
2. Yohanes 14:16-17 yang berbunyi, “Aku akan meminta kepada
Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong
yang lain (maksudnya paraclete), supaya Ia menyertai kamu
selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat
menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak
mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai
kamu dan akan diam di dalam kamu.”

Catat kata sifat “yang lain” yang memenuhi syarat pada penggalan
kalimat “ seorang penolong yang lain”. Kata Yunani yang digunakan
di ayat ini adalah allos, yang berarti “yang lain”, di mana hal ini jelas
menunjukkan bahwa paraclete ini berjumlah lebih dari satu, dan hal
ini sejelas makna yang berhubungan dengan kata heteros, di mana
kata ini menunjukkan bahwa hanya ada dua heteros…” Pembahasaan
di sini sangat spesifik dan tidak meninggalkan ruang untuk banyak
interpretasi. Dalam ayat ini, Yesus menasehati murid-muridnya –
dan, lebih jauh lagi, umat manusia – untuk mengantisipasi akan
adanya seorang paraclete yang lain (maksudnya penolong yang lain)
setelah kenabiannya. Dan bukan sembarang penolong, tapi seorang
penolong yang diciri khaskan dengan kejujurannya (maksudnya,
“Roh Kebenaran”) dan membawa sebuah pesan abadi (maksudnya
penolong ini dapat diam bersamamu untuk selamanya).

Dapatkah kita menyimpulkan bahwa “yang lain” ini (maksudnya


“yang lain”, karena memang jumlahnya banyak) adalah nabi terakhir
dari sebuah rantai panjang kenabian, yang membawa wahyu
terakhir? Tidak kah kesimpulan ini sebuah kesimpulan yang lebih
nyaman untuk dipahami, dibanding dengan klaim yang dipaksakan
bahwa Yesus menggambarkan semacam “ruh suci” yang mistis, yang
diambil dari asal “arti non-Yunani yang berkembang” yang tidak
otentik?” Di sisi lain, kesimpulan bahwa Yesus adalah unik dalam hal
ia adalah “anak Tuhan yang diperanakkan, tidak diciptakan”, jika ada
yang lain, “jelas-jelas di mana ada banyak dari mereka…”, di mana
kesemuanya memiliki deskripsi yang sama persis dengan Yesus
(maksudnya deskripsi dari “paraclete”), merupakan kesimpulan yang
tak berdasar, dan bertolak belakang dengan naskah kitab suci.

Jika ada kebingungan dari poin ini, Perjanjian Baru telah


mengkonfirmasi bahwa kata Yunani pnéuma (diterjemahkan di
bawah ini sebagai “roh”) tidak hanya berarti makhluk-makhluk
mistis akan tetapi dapat pula berarti manusia-manusia yang memiliki
darah dan daging, baik dan jahat. Sebagai contoh, Surat Pertama
Yohanes 4:1-3 berbunyi:

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh,


tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab
banyak nabi-nabi palsu yang telah pergi dan muncul ke seluruh
dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang
mengaku, Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari
Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari
Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu
dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam
dunia.”

Ayat ini tidak hanya menjelaskan kodrat manusia sebagai bagian dari
“roh” (maksudnya pnéuma), akan tetapi umat Islam mengklaim
bahwa ayat ini mengakui Muhammad sebagai bagian dari orang-
orang yang “berasal dari Tuhan”. Muhammad mengatakannya, umat
Islam mangafirmasinya, dan kitab suci Alquran mencatatnya, dan
kepercayaan ini tegak berdiri di hati satu milyar umat Islam.

3&4. Referensi ketiga untuk kata “paraclete” terdapat dalam Yohanes


14:26, yang berbunyi, “tetapi penghibur (maksudnya paraclete),
yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah
yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan
mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan padamu.”

Referensi ke empat, Yohanes 15:26, berbunyi hampir sama. Sekali


lagi, kaum Trinitarian dapat saja menjustifikasi mistisisme mereka
dengan ayat ini. Sebagian yang lain akan melihat ayat ini sebagai
rujukan kepada seorang nabi yang akan mengingatkan dunia
mengenai kebenaran pesan Yesus, berbanding terbalik dengan
ketersesatan yang telah berkembang di kepercayaan dan doktrin
generasi-generasi selanjutnya. Sekali lagi, umat Islam akan
menyarankan umat Kristen untuk melihat kepada nabi Muhammad
dan kitab suci Alquran. Kesatuan dari komentar-komentar yang
berkata bahwa, “Ia akan menjadi saksi terhadap kebenaran atas apa
itu Yesus, apa yang ia lakukan dan apa yang ia katakan,” dan
walaupun sang advokat ilahiyah adalah benar-benar “Roh
Kebenaran” (Yohanes 14:16; 15:26, 16:13), dunia tidak akan
mendengarkannya (14:17)”, menjadi hal yang sangat masuk akal jika
yang dimaksud di sini adalah benar-benar nabi Muhammad.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, baik Muhammad dan kitab suci
Alquran manjadi saksi mengenai “kebenaran mengenai siapa, apa
yang dilakukan, dan apa yang dikatakan Yesus”. Lebih jauh lagi,
Muhammad dikenal dengan kejujurannya (oleh sebab itu namanya
“Roh Kebenaran”) – sepanjang hidupnya ia dikenal, bahkan di antara
musuh-musuhnya, sebagai As-Saadiq Al-Ameen, yang berarti “yang
benar; yang terpercaya”. Akan tetapi, mayoritas umat manusia tidak
akan “mendengarkannya” dan juga tidak menerima pesannya.

5. Penyebutan terakhir dari kata paraclete terdapat dalam Yohanes


16:7: “Namun benar yang kukatakan ini kepadamu: adalah lebih
berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi,
Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi,
Aku akan mengutus Dia kepadamu”.

Referensi terakhir untuk paraclete, adalah seperti sebuah proyektil


kecil namun memiliki kecepatan yang amat tinggi, yang melesat jauh
melampaui doktrin-doktrin yang mengelilinginya. Kaum Trinitarian
mungkin saja terus berpendapat bahwa paraclete merujuk kepada
roh kudus yang mistis, akan tetapi Yohanes 16:7 menampik
kemungkinan tersebut. Dengan cara apa? Yesus dicatat telah
mengatakan bahwa jika ia tidak pergi maka sang “paraclete” tidak
akan tiba; walaupun banyak, banyak sekali ayat-ayat Injil berbicara
tentang keberadaan “roh kudus” di dalam atau sebelum periode
Yesus. Kedua hal ini tidak dapat menjadi benar, dan kesimpulan yang
paling logis adalah, jika Injil memang dapat dipercaya, adalah bahwa
“roh kudus” dan “paraclete” merupakan sinonim.

Yang menambah kebingungan, Yesus sepertinya bertolak belakang


dengan dirinya sendiri. Dalam Yohanes 14:17, Paraclete sudah ada
sebelumnya: “Tapi kamu mengenal Dia (sang paraclete), sebab Ia
menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu”, dan hal ini masuk
akal karena Yesus sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai Paraclete
di dalam 1 Yohanes 2:1. Akan tetapi di dalam Yohanes 16:7, sang
Paraclete diramalkan: “tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus
Dia kepadamu”. Lalu apa kesimpulan gereja? “sang Paraclete adalah
seorang Paraclete yang lain di mana Yesus datang darinya tapi ia
bukanlah Yesus (14:8, 16:7)”. Sebagian orang dapat menerima
penjelasan ini. Yang lain percaya bahwa Yesus berbicara mengenai
dirinya sendiri dalam satu kejadian dan berbicara mengenai seorang
nabi setelahnya di kejadian yang lain. Milyaran umat Islam telah
memilih Muhammad sebagai pemenuhan dari nubuat Yesus,
sebagaimana beberapa juta umat Mormon memilih John Smith,
kumpulan kecil Ahmadiyah memilih Mirza Ghulam Ahmad, kaum
Baha’I memilih Mirza Ali Muhammad dan Mirza Husain Ali, dan
kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi yang telah memilih David
Koresh, Jim Jones, Luc Jouret, Marshall Applewhite dan juga kultus-
kultus serupa lainnya (lihatlah apa yang terjadi dengan kultus-kultus
ini). Permasalahan yang sangat penting di sini adalah, bukan terletak
pada apakah Yesus menubuatkan seorang nabi yang akan datang
setelah kepergiannya, akan tetapi mengenai bagitu banyaknya pihak
yang mengklaim memiliki julukan sebagai orang yang memenuhi
nubuat itu.

Anda mungkin juga menyukai