Anda di halaman 1dari 9

BAGIAN 2: MEMAHAMI DAN MENDEKATI TUHAN

“Kita terikat kepada singgasana suatu Zat yang Agung oleh


sebuah rantai yang fleksibel yang membatasi tanpa
memperbudak kita. Aspek yang paling kuat dari skema
universal akan segala hal adalah aksi-aksi makhluk merdeka di
bawah bimbingan agung.”
-Joseph de Maistre, Pertimbangan-pertimbangan di Perancis

Di saat agama monoteisme berbagi mengenai kepercayaan dasar


kepada Tuhan yang satu, pengertian mereka terhadap atribut-
atribut Tuhan sangat berbeda. Banyak dari perbedaan ini,
sebagaimana halnya tiap benang jaring laba-laba, bisa saja
terlihat terpisah dan berbeda ketika dilihat dari jarak pandang
yang terlalu dekat. Akan tetapi, tiap benang ini merajut sebuah
disain yang lebih besar, yang mana hal ini hanya akan terlihat
jelas ketika jaring ini dilihat secara utuh. Hanya dari
kejauhanlah kerumitan disain ini dapat diketahui, dan hanya dari
kejauhan pula fakta bahwa tiap benangnya menunjuk kepada
sebuah kebenaran sentral dapat disadari.

BAB 1. NAMA TUHAN

“Perbedaan antara kata yang hampir benar dan kata yang benar
merupakan hal yang besar – karena perbedaan ini adalah
bagaikan perbedaan antara kunang-kunang (lightning bug) dan
petir (lightning).”
-Mark Twain, Surat untuk George Bainton

Sebuah contoh sederhana mengenai bagaimana beberapa benang


bukti yang dirajut bersama membentuk kesimpulan logis
berhubungan dengan nama Tuhan. Bukti yang diambil dari
agama Yahudi, Kristen dan Islam saling mengikat untuk
mendukung sebuah kesimpulan yang harus diterima oleh ketiga
agama tersebut. Sebagai contoh, kesadaran akan Tuhan sebagai
sang “Pencipta” dan yang “Maha Kuasa” adalah kesadaran
universal. Sudah barang tentu, Tuhan secara universal dikenal
dengan nama-nama indah dan atribut yang mulia. Ketika
seseorang memanggil sang Pencipta dengan salah satu nama-
namanya yang indah ataupun dengan atributNya yang sempurna,
sudah pasti Ia akan mendengar panggilan itu. Jadi apa lagi yang
dibutuhkan?

Yah, untuk beberapa orang, sebuah nama. Dibutuhkan sebuah


nama yang jelas.

Bahwasanya nama Tuhan dalam agama Islam adalah Allah


bukanlah hal baru untuk siapapun. Bahwasanya seseorang dapat
mengusulkan bahwa nama Tuhan Kristen juga Allah beresiko
memprovokasi sebuah kegelisahan, kalau bukan protes yang
besar, pada komunitas Kristen yang berada di Barat. Tapi
seorang yang mengunjungi Tanah Suci akan dengan cepat
menghargai fakta bahwa Allah adalah nama yang dilekatkan
kepada Tuhan oleh semua orang Arab, baik Kristen maupun
Muslim. Kristen Arab dapat melacak warisan mereka ke hari-
hari turunnya wahyu – bahkan, nenek moyang mereka yang
berjalan di tanah yang juga dilalui oleh nabi Yesus – dan mereka
mengidentifikasi sang Pencipta sebagai Allah. Keturunan
mereka hidup makmur sepanjang 2000 tahun di sebuah tanah
yang dikenal dengan toleransi beragama sampai di masa
penciptaan negara Zionis Israel – (sebuah fakta kecil, sekaligus
sebuah fakta yang diputar balikkan sedemikian rupa oleh media
Barat), yang dengan bebas mempraktekkan agama mereka
masing-masing sampai hari ini, dan mereka mengidentifikasi
sang Pencipta dengan nama Allah.

The New International Dictionary of the Christian Church


memberitahukan kepada kita bahwa “nama ini juga digunakan
oleh Kristen Arab modern dalam menyebut hal-hal menyangkut
masa depan: “Insha Allah” Kata Insha Allah ini diterjemahkan
menjadi “dengan ijin Allah” atau “jika Allah mengijinkan”. The
Encyclopedia Britannica mengonfirmasi mengenai nama
“Allah” yang dipakai secara bersama-sama ini; “Allah adalah
kata standar bahasa Arab untuk ‘Tuhan’ dan digunakan oleh
Arab Kristen sebagaimana oleh Arab Muslim.”
Bahkan, Kristen Ortodoks di tempat kelahiran Ibrahim (Irak saat
ini), sampai ke Kristen Koptik di Mesirnya Musa, ke Kristen di
tanah Palestina yang diinjak oleh Yesus Kristus, sampai ke
seluruh episentrum Timur Tengah di mana gelombang turunnya
wahyu berpencar ke seluruh dunia, Allah dikenal sebagai nama
yang sesuai untuk apa yang disebut oleh agama-agama Barat
sebagai Tuhan. Arab Kristen diketahui memanggil Yesus
dengan sebutan Yesus ibn Allah – di mana ibn berarti ‘anak’.
Ambil saja eksemplar manapun dari buku Injil berbahasa Arab
dan pasti akan ditemukan di sana bahwa sang Pencipta
diidentifikasikan sebagai Allah. Jadi Allah dikenal sebagai nama
Tuhan di tanah tempat turunnya wahyu Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, dan juga Alquran.

Apa yang tidak dikenal oleh orang Kristen dan Muslim “purist”
atau Ortodoks di Tanah Suci adalah nama generik Barat untuk
Allah yaitu God. Kata ini benar-benar asing dari pengertian
kitab-kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang
belum diterjemahkan, dan kata ini juga asing di mata Alquran –
singkatnya kata ini tidak ada di dalam kitab suci penting dari
ketiga agama Abrahamik ini.

Jadi ketika konsep Tuhan sudah sangat dipahami, sebuah riset


kecil menghasilkan penemuan bahwa kata God tidak memiliki
asal kata yang jelas. Kata ini mungkin saja muncul dari akar
Indo-Eropa, ghut-, kata ini mungkin memiliki arti tersirat “yang
dipanggil”, dan mungkin saja memiliki keterkaitan dengan kata
bahasa Jerman pra-sejarah guth – sebagai nenek moyang jauh
(di mana kata Jerman modern Gott, dan kata Belanda God, dan
kata Swedia dan Denmark Gud berasal). Ada banyak
kemungkinan, tetapi tidak ada kejelasan. Apapun asal dari kata
ini, nama God berasal dari Barat dan non-Injil, dan asal
etimologinya dan juga artinya hilang dalam sejarah.
Singkatnya, kita tidak tahu dari mana kata God ini datang, akan
tetapi kita tahu dari mana ia ‘tidak’ datang – kata ini tidak
datang dari kitab suci Injil manapun, baik itu Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru.

Walau demikian, fakta bahwa Kristen Timur Tengah


menyamakan Tuhan dengan Allah adalah merupakan sebuah
penghinaan terhadap sensitifitas orang-orang yang mengaitkan
Allah dengan orang kafir. Apapun yang terjadi, pertanyaan yang
relevan adalah apakah kata Allah dapat dibuktikan sebagai nama
dari Pencipta kita. Hampir semua orang ingin memastikan
bahwa kepercayaan dan praktek agama mereka memiliki dasar
di dalam kitab suci dan bukan hanya di adat istiadat setempat,
jadi wajar saja jika ada orang yang mempertanyakan apakah
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mendukung penggunaan
kata Allah dalam agama Yahudi dan/atau Kristen.

Jawabannya adalah ya.

Dalam naskah-naskah Yahudi, Tuhan dirujuk sebagai Yahweh,


Elohim, Eloah dan El. Dalam naskah Kristen terminologinya
sedikit berbeda, karena untuk orang Yunani Theos tidak jauh
dari terjemahan terhadap kata Elohim. Eloi dan Eli juga
termasuk kata yang ditemui di naskah tersebut.

Di dalam Perjanjian Lama, Yahweh disebut lebih dari 6000 kali


sebagai nama Tuhan, dan Elohim disebut lebih dari 2500 kali
sebagai sebuah nama generik Tuhan; Eloah disebut sebanyak 57
kali dan El disebut lebih dari 200 kali. Bagaimana nama-nama
di Perjanjian Lama ini berkaitan dengan kata Allah? Mudah
saja. Elohim adalah kata plural royal (plural dalam hubungannya
dengan kemuliaan, bukan dengan jumlah) dari Eloah. The
Encyclopedia of Religion and Ethics mengonfirmasi bahwa kata
Arab ilah (kata generik Arab untuk kata Tuhan) identik dengan
Eloah yang digunakan Ayub. Penjelasan linguistik dari asal kata
nama’Allah’ adalah bahwa kontradiksi artikel definitif dari
artikel kata Arab al (sang) dan ilah (tuhan), menurut peraturan
tata bahasa Arab, menjadi Allah (Tuhan). Maka, ke 2500 lebih
kata Elohim dan ke 57 kata Eloah di dalam Perjanjian Lama
memiliki hubungan langsung dengan nama Tuhan sebagai
Allah, karena Elohim adalah kata plural untuk Eloah, yang mana
kata tersebut identik dengan kata Arab ilah, di mana dari kata
ilah lah kata Allah secara linguistik berasal.

Para intelektual Muslim memiliki pendapat lain yang


menggelitik, karena ketika mereka memanggil sang Pencipta,
Muslim memanggil Allah dengan panggilan Allahumma, yang
berarti “Oh Allah.” Kata Allahumma ini sangat mirip, bagaikan
kembar siam, dengan kata sepupu Semitnya yang berbunyi
Elohim, dan fakta ini tidak akan dapat dipungkiri dengan
mudah.

Sayangnya, fakta-fakta seperti ini tidak dikenal oleh orang-


orang yang melakukan pendekatan analisa naskah sebagai
sebuah pencarian obyektif terhadap kebenaran, tetapi hanya
dikenal sebagai sebatas perang pengaruh dalam keagamaan.
Sebagai contoh dari kesensitifan ekstrim terhadap isu ini ada
pada Schofield Reference Bible, yang di edit oleh pastor dan
teolog America, Cyrus I. Schofield, dan dicetak pada tahun 1909
oleh Oxford University Press. Cetakan aslinya menghasut
kecaman Kristen karena menggunakan nama ‘Alah’ (sic).
Secara spesifik, sebuah catatan kaki di kitab Kejadian 1:1
menjelaskan bahwa nama Elohim berasal dari kontraksi El dan
Alah. Fakta bahwa penjelasan ini sangat cocok dengan
penjelasan linguistik yang kita bahas sebelumnya di mana asal
kata “Allah” mungkin saja berasal dari kontraksi artikel definitif
al (sang) dan ilah (tuhan) menjadi Allah (Tuhan) turut mencuri
perhatian beberapa Muslim apologis, terutama Ahmed Deedat
dari Afrika Selatan. Akan tetapi, kesimpulan yang dapat diambil
dari keadan ini menjadi penuh spekulasi, karena Schofield
Reference Bible tidak mengidentifikasi “Alah” sebagai nama
yang sesuai untuk sang Pencipta, akan tetapi injil ini
memberikan definisi: “El – kekuatan, atau dia yang kuat, dan
Alah, untuk bersumpah, untuk mengikat seseorang dengan
sebuah sumpah, jadi menyiratkan keimanan.” Sudah jelas bahwa
klaim Schofield Reference Bible memberi implikasi dengan cara
apapun bahwa pernyataan mengenai nama yang sesuai untuk
sang Pencipta adalah “Allah” merupakan hal yang tidak pantas.
Namun, komentar tersebut memiliki relevansi dengan apa yang
ingin mereka sampaikan, dan tidak terlihat sebagai sesuatu yang
tidak pantas, tidak tepat, atau memancing kemarahan dilihat dari
sudut pandang manapun. Tapi ide bahwa nama Tuhan di
Perjanjian Lama cocok dengan nama Tuhan di dalam Alquran
memberikan reaksi pada kesensitifan agama Kristen. Maka,
catatan kaki ini di edit dari semua edisi selanjutnya.

Untuk bergerak dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru,


penbaca Kristen dapat saja bertanya, “Bagaimana Perjanjian
Baru dapat masuk ke dalam skema yang dijelaskan di atas?”
Sekali lagi jawabannya sangat sederhana, yang mengerucut
kepada beberapa poin yang konkrit. Poin pertama adalah kata
Tuhan yang paling banyak digunakan (1344 dari 1356 kata) di
dalam Perjanjian Baru versi Yunani adalah theos. Kata ini
ditemukan di dalam Septuagint (terjemahan Perjanjian Lama ke
bahasa Yunani kuno) sebagai kata yang awalnya diterjemahkan
dari kata Elohim, kata Ibrani untuk Tuhan. Ke 72 cendekiawan
Yahudi yang dipercaya untuk menerjemahkan Septuagint
(enaam orang dari tiap 12 suku Israel) berpegang pada tradisi
mereka dengan menerjemahkan Elohim menjadi theos.
Perjanjian Baru juga demikian. Kata theos di dalam Perjanjian
Baru versi Yuhani juga dipakai di dalam Perjanjian Lama versi
Yunani (Septuagint), yang mana kedua kata theos di kedua kitab
berasal dari kata Elohim.

Dengan menyadari bahwa dasar kata theos di Perjanjian Baru


adalah kata Elohim di Perjanjian Lama, maka seseorang akan
digiring ke hubungan antara kata Elohim dan Allah seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.

Dan sejujurnya, orang itu seharusnya tidak kaget dengan hal ini.
Kata Eli dan Eloi yang dikatakan oleh bibir Yesus di dalam
Perjanjian Baru (Matius 27:46 dan Markus 15:34) lebih
mendekati kata “Allah” dibanding kata “God”. Begitu juga
dengan Elohim dan Eloah, Eloi dan Eli terdengar seperti “Allah”
dan secara linguistik juga kedua kata tersebut cocok dengan kata
“Allah” baik dari bentuk maupun arti. Ke empat kata ini adalah
kata Ibrani, bahasa saudara dari bahasa Arab dan Aramaic.
Sebagai contoh, pada penggalan kalimat “Eloi, Eloi, lama
sabachthani” (Markus 15:34), kata Eloi dan Lama diterjemahkan
dari bahasa Ibrani, sementara sabachthani ditransliterasikan dari
bahasa Aramaic. Jadi dikarenakan bahasa-bahasa ini merupaan
bahasa saudara, bukanlah hal yang mengejutkan bahwa kata-
kata dalam bahasa Ibrani, Aramaic dan Arab memiliki
kemiripan atau kesamaan arti karena kata-kata dari ketiga
bahasa ini terdengar seperti sepupu fonetik. Ketiga bahasa ini
adalah bahasa Semit, dengan sedikit perbedaan ejaan untuk
kata-kata yang memiliki arti yang sama, sebagaimana ucapan
salam dalam bahasa Ibrani, shalom, dengan ucapan salam
bahasa Arab, salaam, keduanya memiliki arti damai. Di sini
kecurigaan bahwa kata Ibrani Elohim, Eloah, Eloi dan Eli
memiliki kesamaan arti dengan kata Allah sama dengan kata
Ibrani shalom memiliki kesamaan dengan kata Arab salaam
menjadi sebuah kecurigaan yang memiliki dasar yang kuat.

Namun demikian, masih ada orang-orang yang dikondisikan


untuk berpendapat bahwa kata “Allah” adalah kata dari Tuhan
nya orang kafir! Mereka menutup mata terhadap fakta-fakta
bahwa orang kafir secara generik menggunakan kata “god”
sama dengan orang Kristen, Yahudi dan Muslim, dan hal itu
tidak mengubah fakta mengenai Tuhan yang satu. Demikian
pula, kata elohim digunakan di dalam Septuagint untuk merujuk
kepada tuhan-tuhan kafir, dan kata ini juga digunakan untuk
tuhan-tuhan Yunani dan Romawi, dengan tambahan Tuhan yang
satu di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ensyclopedia
Judaica mengklarifikasi poin ini: “kata plural elohim tidak
hanya digunakan untuk ‘tuhan-tuhan’ kafir (contoh: 12:12,
18:11, 20:03) tapi juga untuk ‘tuhan’ kafir individu (Sang
Hakim 11:24; 2 Raja-raja 1:2ff.) bahkan untuk ‘tuhan
perempuan’ (1 Raja-raja 11:5). Sehubungan dengan ‘Tuhan’
Israel kata ini digunakan sangat sering – lebih dari 2000 kali…”
Dengan mengingat bahwa kata Elohim merupakan kata di mana
kata theos berasal, seseorang akan menemukan bahwa
penggunaan kata Tuhan dalam injil mengalir dari bibir dan pena
orang-orang kafir, sebagaimana kata itu dikeluarkan oleh orang
Yahudi dan Kristen. Apakah ini berarti bahwa Elohim adalah
seorang tuhan kafir, atau bahkan kata ini merujuk secara
eksklusif kepada tuhan Yahudi atau Kristen? Jelasnya, fakta
bahwa agama-agama yang berbeda, termasuk agama-agama
kafir, telah menggunakan kata “God/Tuhan”, “Elohim”, dan
“Allah” untuk mengidentifikasi bahwa konsep mereka mengenai
sebuah zat yang agung tidak merefleksikan apapun selain adopsi
agama-agama tersebut terhadap nama Tuhan yang dikenal
secara umum.

“Dikenal secara umum? Kedengarannya aneh untuk saya,” akan


ada yang berkata demikian. Komentar seperti ini juga akan
terjadi dengan kata Shim’own Kipha, Yehowchanan, lakobos,
dan Mathaios – tapi seberapa aneh sebenarnya kata-kata
tersebut? Kata ini asing bagi sebagian orang, tapi apakah kata-
kata ini merupakan kata-kata yang aneh? Tidak, kata-kata ini
adalah kata-kata yang ditransliterasikan dari bahasa Ibrani dan
Yunani yang merupakan nama-nama injil Simon Peter (Simon
Petrus) , John (Yohanes), James (Yakobus), dan Matthew
(Matius) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Jadi mana yang lebih aneh – menciptakan dan mempopulerkan


nama-nama baru yang lebih disukai untuk orang-orang yang
diidentifikasikan di dalam naskah kitab suci, atau untuk tetap
setia berpegang dengan apa yang ada di dalam kitab suci?
Mengidentifikasikan sang Pencipta dengan label “Tuhan/God”
yang diambil dari kreatifitas manusia dan diinkubasi di dalam
budaya Barat, atau menggunakan nama yang disebut dengan
spesifik oleh yang Maha Kuasa, sebagaimana Ia deklarasikan
sendiri di dalam kitab suci?
Tidak dapat disangkal lagi, orang-orang yang mengatakan kata
Yehowchanan, lakobos, dan Allah akan disambut dengan
sambutan tertentu di Barat, akan tetapi yang menjadi bahan
pikiran orang-orang yang benar-benar beriman bukanlah
mengenai popularitas, akan tetapi mengenai kebenaran akan
kesaksian mereka di hadapan sang Pencipta. Seorang Pencipta
di mana namanya yang tepat, sesuai dengan sumber-sumber
agama Yahudi, Kristen dan Islam, adalah “Allah”.

Anda mungkin juga menyukai