Anda di halaman 1dari 6

Dāḇār

J. M. Vianey, CMF

Dāḇār itu sebuah istilah dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Staf redaksi buletin komunitas
Claretian CH (Claret House) Kupang ingin menerbitkan buletin pertama mereka dengan nama dāḇār.
Dalam edisi pertama ini, staf redaksi menghendaki sebuah refleksi tentang apa itu dāḇār. Saya merestui
permintaan ini karena baik juga jika pembaca bisa memahaminya. Artikel ini tidak bermaksud mengulas
tuntas secara biblis dengan sebuah exegetical explanation yang ketat tentang apa itu dāḇār meskipun
perlu sedikit ada pendasaran biblisnya.

Meminjam teorinya Paul Ricoeur tentang metode naratif 1, mungkin lebih tepat jika refleksi ini
bertujuan membantu pembaca untuk memahami Kitab Suci dari sudut dunia pembaca. Bagi pembaca
jaman sekarang, metode klasik dalam mendekati Kitab Suci dirasa kurang memuaskan pembaca karena
kurang menyentuh hidup pembaca. Metode klasik dinilai lebih memusatkan perhatian pada masa lampau
dan kurang memberi perhatian pada dunia pembaca hari ini sebagai locus baru dari revelasi. M. J. Borg
misalnya mempromosikan personal experience sebagai jalan memahami makna religius dari Kitab Suci
bagi pembaca hari ini. Pengalaman pribadi diyakini bisa menjadi jembatan yang menghubungkan teks
klasik dengan dunia pembaca hari ini. 2 Foucault juga menegaskan bahwa pengalaman pribadi pembaca itu
sangat penting untuk mengerti realitas yang notabene dikonstruksi secara sosial. Foucault menamakan
pemikirannya dengan sebutan “ontology of the present”. 3

Sangat beralasan mengapa staf redaksi menamai buletin mereka dāḇār. Selain membantu
pembaca memahami lebih jauh judul buletin dāḇār ini, kiranya refleksi ini juga bisa membantu pembaca
melihat realitas hidup dan pengalaman pribadinya sebagai locus dari dāḇār.

Dāḇār

1
Pemikiran Ricoeur tertuang di dalam karanya sebagai berikut: P. Ricoeur, Temps et Récit I.
Paris : Éditions du Seuil, 1983 ; P. Ricoeur, Temps et Récit II. Paris : Éditions du Seuil, 1984 ; P. Ricoeur,
Temps et Récit III. Paris: Éditions du Seuil, 1985. In English version: K. Mc.Laughlin, D. Pellauer, Time
and Narrative Volume I. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984; K. Mc.Laughlin,
D. Pellauer, Time and Narrative Volume II. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1985;
K. Mc.Laughlin, D. Pellauer, Time and Narrative Volume III. Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1988.
2
M. J. Borg, Reading the Bible Again for the First Time, London: Harper Collins Publishers,
2001.
3
Michel Foucault, Archeology of Knowledge, London: Routledge, 2002. Lih. jugaAlec McHoul
and Wendy Grace, A Foucault Primer: Discourse, Power and the Subject, London – New York:
Routledge, 1993.
Kata dāḇār berasal dari Bahasa Ibrani. Ada juga kata lainnya yang sering dipakai dalam Bahasa
Ibrani: ˒ēmer, ˒ōmer, ˒imrâ, ne ˒um, millâ. Dalam Bahasa Aram dikenal dengan nama mē ˒mar, millâ.
Orang Yunani menyebutnya lógos, rhḗma.4 Meski ada banyak kata dalam Bahasa Ibrani seperti yang
disebut di atas tapi lebih lazim dipakai istilah dāḇār.5 Kurang lebih terdapat empat arti dāḇār sejauh yang
digunakan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.6

Pertama, dāḇār berarti kata (word). “Hatiku meluap dengan kata-kata indah” (Mzm. 45:2).
Dalam Kitab Kejadian, penggunaan dāḇār juga bisa merujuk kepada bahasa dan logat: “Adapun seluruh
bumi, satu bahasanya dan satu logatnya (Kej. 11:1). Dāḇār juga dipakai dalam arti titah raja (Est.
1:12.19). Dalam bahasa sehari-hari jika seseorang mau menasihati orang lain kadang dipakai ungkapan
“Tolong dengarkan kata-kata saya”. Makna yang sama juga dipakai dalam Kitab 2 Raj. 18:20.

Kedua, dāḇār juga bisa berarti soal (matter, affair, case). Misalnya perkaranya Uriah (1 Raj.
15:5). Dalam teks yang lain dāḇār dipakai dengan arti soal (case) (Lih. 1 Sam. 17:30; Kel. 22:8 dan 1
Taw. 27:1). Dalam penggunaannya dāḇār juga sering dipakai dengan fungsi sebagai kata sambung seperti
“karena; sebagaimana; dalam kaitannya dengan; demikian juga”. Hal ini bisa dilihat dalam Ul. 15:2; dan
Kej. 12:17.

Ketiga, makna lain dari dāḇār adalah hal (thing, something). “Sungguh, Tuhan Allah tidak
berbuat sesuatu (hal) tanpa menyatakan keputusan-Nya kepada hamba-hamba-Nya” (Am. 3:7). Dalam
Kitab Ulangan, sesuatu itu bisa berarti buruk: “Janganlah engkau mempersembahkan bagi Tuhan,
Allahmu, lembu atau domba, yang ada cacatnya, atau sesuatu yang buruk” (17:1). Dalam cara pandang
orang Ibrani, kata dan hal itu mempunyai kaitan yang sangat erat. Maksudnya kata (ucapan) itu
menjelaskan hal (realitas) yang diucapkan. Dengan kata lain, kata dan tindakan itu harus sejalan.

Keempat, dāḇār juga dipakai dengan makna yang sangat khusus sebagai firman/sabda Allah
(word of God). “Kemudian datanglah firman Tuhan kepada Abraham” (Kej. 15:1-4. Lih. juga Kel. 9:20;
Bil. 15:31). Ketika Ehud menjumpai Elgon, Raja Moab, ia mengatakan “Ada firman Allah yang kubawa
untuk tuanku” (Hak. 3:20). Ketika Saul diurapi Samuel menjadi raja, kata Samuel kepada Saul, “Aku
akan memberitahukan kepadamu firman Allah” (1 Sam. 9:27). Nabi Natan dipakai Tuhan untuk
menyampaikan firman-Nya kepada Raja Daud “Pergilah, katakanlah kepada hamba-Ku Daud: Beginilah
firman Tuhan” (1 Taw. 17:4). Firman Allah dipandang juga sebagai perkara Allah (1 Taw. 26:32; 1 Sam.
40:8).

Meskipun ada arti lain tergantung konteks penggunaannya yang muncul dalam Kitab Suci, namun
empat arti dāḇār di atas kurang lebih bisa menjelaskan kepada kita apa itu dāḇār. Dari keempat arti ini
makna dāḇār sebagai firman perlu ditelisik lebih jauh.

4
Penulis tidak bermaksud menjelaskan penggunaan semua kata yang dipakai dalam Kitab Suci
seperti yang tertera di atas. Refleksi ini lebih berpusat hanya pada kata dāḇār.
5
Dāḇār dipakai sebanyak 1.430 kali dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.Jauh melampaui kata
lainnya yang tidak seberapa. Bisa dilihat dalam kokordansi. Lih. D. Robinson (ed.), Concordance to the
Good News Bible, New York: American Bible Society, 1976.
6
Koehler and Baumgartener, The Hebrew and Aramaic Lexicon of the Old Testament, Leiden-
Boston-Koln: Brill, 2001.
Dāḇār Itu Firman Allah

Firman Allah disampaikan melalui kata. Bukan dalam bentuk tulisan. 7 Inilah ciri, karakter dasar
dāḇār. Melalui kata, Allah mengatakan kehendak dan keinginan-Nya. Meski hanya diungkapkan dalam
kata, tapi ia berdaya cipta (Kej. 1:3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26). Dāḇār yang berdaya cipta ini dimaknai
sebagai sebuah komunikasi ilahi yang datang dari Allah kepada manusia. 8 Komunikasi ilahi yang datang
dari Allah itu bisa ditangkap oleh manusia melalui alam (Mzm. 19:1-4; 29:1-11). Juga dalam bentuk
penglihatan dan mimpi (Kej. 15:1; 31:11; Yes. 2:1; Yer. 2:31; 38:21). Allah juga mewahyukan diri-Nya
melalui para nabi (1 Raj. 12:22; 1 Taw. 17:3) yang berbicara dan bertindak atas nama Allah. Ada formula
yang sering kita jumpai seperti “Dengarlah firman Tuhan” atau Tuhan berfirman” atau “Demikianlah
yang difirmankan Tuhan”. Formula ini menunjukkan kewibawaan kata yang disampaikan para utusan
Allah. Komunikasi ilahi ini bisa berisikan perintah, ramalan, peringatan, dorongan, janji, penghakiman,
berkat atau pengampunan (Kej. 15:1; 21:1; 22:2; Kel. 20:1-17; Yer. 31:31-34).

Israel juga menerima firman Tuhan dalam bentuk hukum. Tôrâ adalah dāḇār yang datang dari
Allah. Bagi orang Yahudi Tôrâ mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam sejarah
hidup mereka. Tôrâ dilihat sebagai Allah yang hadir di tengah mereka. Tidak berlebihan jika kita
mengatakan bahwa Tôrâ adalah penampakan wajah Allah. Namun perlu dipahami bahwa dalam Agama
Yahudi, Allah itu hanya bisa didengar. Ia tidak bisa dilihat. Allah tidak bisa dijangkau secara fisik. Orang
Yahudi tidak meyerupakan Allah dengan benda apapun dalam Sinagoga atau bait Allah. Karena itu
manusia tidak bisa melihat Allah: ”Lagi firman-Nya: Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab
tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (Kel.33:20). Manusia tidak bisa melihat wajah Allah
karena “kabut dan awan” menyelimuti wajah-Nya (kāb̃od: kemuliaan).

Namun di sisi lain, dalam tradisi rabinika diakui bahwa Allah memperlihatkan diri-Nya kepada
Israel. Ada dua momen dimana Allah memperlihatkan diri-Nya kepada orang Yahudi. Kedua momen itu
yakni pemberian Tôrâ dan penyeberangan Laut Merah. Mereka menganggap kedua momen ini sebagai
peristiwa penting dalam sejarah keselamatan Israel (Heilgesichte).9 Dari kedua peristiwa ini yang paling
menonjol adalah revelasi Tôrâ di Gunung Sinai. Dalam peristiwa ini Allah memperlihatkan diri-Nya
kepada Musa (Kel. 24:7-11). Kisah ini menunjukkan bahwa Israel bisa berjumpa langsung dengan Allah
melalui Tôrâ (lih. Mzm. 119).

Jika dāḇār sebagai firman Allah, komunikasi ilahi dari Allah, maka dāḇār itu extension dari
pribadi ilahi. Ada otoritas ilahi pada dāḇār.10 Oleh karena itu dāḇār diindahkan oleh malaikat dan
manusia. “Pujilah Tuhan, hai malaikat-malaikat-Nya, hai pahlawan-pahlawan perkasa yang melaksanakan
firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya” (Mzm. 103:20). Israel diminta untuk taat setia
kepada dāḇār. “Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu lakukan dengan setia, janganlah

7
Meskipun firman Allah itu juga kadang disampaikan dalam bentuk tulisan (Kel. 24:1-7; Yer.
36:1-7), namun lazimnya kehendak Allah itu disampaikan dalam bentuk kata-kata atau ucapan.
8
Penggunaan kata dāḇār sebagai firman Allah dipakai sebanyak 394 kali dalam Perjanjian Lama.
Lih. D. Robinson (ed.), Concordance to the Good News Bible, New York: American Bible Society, 1976.
9
Daniel Boyarin, Sparks of the Logos: Essays in Rabinic Hermeneutics, Leiden-Boston: Brill,
2003, p. 3-23.
10
Lih. Word dalam D. R. W. Wood, I. H. Marshall, A. R. Millard, J. I. Packer & D. J. Wiseman
(Eds.), New Bible dictionary, Leicester: InterVarsity Press, 1996.
engkau menambahinya atau menguranginya” (Ul. 12:32). Dāḇār itu kekal abadi selamanya. “Rumput
menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman ALLAH kita tetap untuk selama-lamanya” (Yes. 40:8).
Kesia-siaan tidak ada pada dāḇār. “Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan
kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil
dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yes. 55:11).

Dengan demikian otoritas ilahi yang ada pada dāḇār menuntut kesetiaan karena Ia setia dan
kekal. Kesetiaan pada dāḇār membawa kekekalan. Meskipun Israel kadang mengalami pengalaman hidup
yang pahit, ancaman dan bahaya namun bagi mereka firman Allah itu memberi harapan, sukacita dan
perlindungan terhadap dosa (Mzm. 1; 19: 11.49; Yer. 15:16). Dāḇār menjadi makanan kehidupan (Ul.
8:3).

Dāḇār, Penderitaan dan Keheningan

Edisi pertama buletin Dāḇār ini bertemakan “Penderitaan dan Keheningan”. Bisa jadi kita
bertanya entahkah ada hubungan antara dāḇār, penderitaan dan keheningan. Jika kita telah memahami
bahwa dāḇār adalah komunikasi ilahi yang datang dari Allah kepada manusia maka dalam arti yang luas
dāḇār itu tidak hanya kita temukan dalam Kitab Suci. 11 Kehendak dan keinginan Allah jauh melampaui
daya tangkap manusia yang dirumuskan dalam kata-kata. Sebagai orang beriman, setiap relitas dan
peristiwa hidup manusia bisa dilihat sebagai sapaan Allah bagi kita. Menurut hemat penulis, hal-hal
berikut ini bisa dibaca dan dimaknai sebagai dāḇār, komunikasi ilahi dari Allah bagi manusia.

Hidup adalah “kitab suci” pertama. Sebelum Kitab Suci ditulis, hidup itu sudah ada. Allah yang
hidup menghendaki agar setiap manusia itu hidup. Hidup merupakan media pewahyuan diri Allah. Allah
juga mengkomunikasikan diri-Nya melalui alam semesta. Alam juga bisa menjadi media perjumpaan
antara Allah dan manusia. Allah juga berbicara kepada manusia melalui keinginan hati manusia yang
terdalam. Kehadiran sesama di sekitar kita adalah juga sapaan Allah bagi kita. Sesama menjadi
“sakramen” kehadiran Allah bagi kita. Allah yang tak kelihatan menunjukkan diri-Nya kepada kita
melalui sesama di sekitar kita. Realitas penderitaan bisa menjadi medan perjumpaan diri dengan Allah.
Allah juga berbicara kepada kita melalui keheningan. Akhirnya Allah hadir dalam diri Putra-Nya yang
tinggal di tengah-tengah kita. Melalui Yesus, wajah Allah yang tak kelihatan kini menjadi nyata. Allah
masih terus berkomunikasi dengan kita melalui Gereja, yakni melalui sakramen-sakramen.

Meski Allah terus mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia tapi mengapa manusia kadang
masih sulit berjumpa dengan Allah? Ketika budaya kematian mendominasi hidup manusia maka sulit bagi
manusia untuk melihat sakralitas hidup itu sendiri. Hidup itu bukan sekedar ‘pemberian’ (Gabe) dari
Allah. Ia juga menutut ‘tugas’ (Aufgabe) dari manusia untuk merawat kehidupan. Relasi manusia
terhadap alam yang hanya dibatasi oleh ‘motif fungsional’ membuat manusia semakin serakah untuk
mengeksploitasi alam dan kehidupannya.12

11
Gereja melalaui ajaran sucinya telah mengatakan kepada kita bahwa di dalam menulis Kitab
Suci, Allah memilih orang-orang yang Ia gunakan untuk menulis Kitab Suci. Gereja meyakini bahwa
“semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka” (DV 11). Pikiran penulis
di atas sama sekali tidak bermaksud menentang ajaran ini tapi mengajak pembaca untuk menangkap
maskud dan kehendak Tuhan dalam arti yang lebih luas dalam realitas hidupnya.
Manusia dihadirkan Allah bukan sebagai sebuah mesin otomotif yang tak berjiwa. Manusia juga
tidak hanya makhluk yang berakal budi. Ia dikarunia rasa dan hati. Perkembangan dunia serta ilmu dan
teknologi hari ini tampaknya kurang memberikan ruang bagi manusia untuk sejenak mendengar apa kata
hati. Budaya ‘biarkan hati angkat bicara’ telah diganti oleh dering telpon dan gadget yang bergetar.Selain
itu dalam era yang semakin terbuka, manusia malah cenderung tertutup dengan sesamanya. Kehadiran
sesama tidak lagi dilihat sebagai jalan menuju kesempurnaan. Manusia tidak mampu melihat Allah dalam
diri sesama. Sesama menjadi musuh yang perlu ditakuti. Sesama menjadi ancaman.

Penderitaan kadang dialami sebagai momok atau monster yang menakutkan. Bisa jadi
dipengaruhi oleh stigma retributif yang kuat bahwa penderitaan itu sebagai balas dendam Allah atas dosa
manusia. Allah itu haus darah dan suka menghakimi. Stigma ini telah menutup hati manusia untuk
mengalami daya penebusan ilahi dalam penderitaan. Manusia sulit percaya bahwa melalui penderitaan,
Allah juga bisa mewahyukan diri-Nya.13 Benar bahwa penderitaan itu sebuah pengalaman eksistensial
manusia. Maka wajar jika manusia mempertanyakan mengapa saya harus menderita. Di satu sisi,
penderitaan itu berakar dalam kemanusiaan. Manusia mampu memikul beban deritanya. Tapi di sisi lain,
derita itu juga melampaui daya pikul manusia.

Pertanyaan yang semestinya diajukan ketika menderita adalah bukan mengapa saya harus
menderita tapi bagaimana saya menghadapi penderitaan. Tokoh Ayub yang menderita dalam kisah Kitab
Ayub menjadi contoh bagi kita bahwa tidak ada jawaban yang siap pakai atas pertanyaan mengapa saya
menderita. Hanya dalam keheningan, akhirnya Ayub menemukan jawaban bagaimana seharusnya
menghadapi penderitaan itu. Derita itu kata kerja yang menggugat seseorang untuk bersikap. Bukan kata
benda yang tidak menggerakkan dan menantang untuk bertindak.

Apakah Allah ikut menderita? Allah tidak bisa menderita tapi Dia bisa “menderita dengan”. Allah
tidak tinggal diam melihat penderitaan manusia. Allah itu selalu compassion (cum + patire: menderita
dengan). Solidaritas penderitaan Allah dengan manusia itu sudah terasa sejak jaman dahulu misalnya
dalam kisah pengembaraan Israel di padang gurun. Solidaritas Allah semakin menyata dan jelas dalam
diri Yesus. Melalui Yesus, Allah menampakkan wajah-Nya dalam solidaritas dengan yang sakit dan
menderita, yang miskin dan terlupakan, dan yang berdosa. Allah tidak hanya mengasihi mereka tapi Dia
adalah Kasih itu sendiri. Melalui kasih orang bisa berjumpa dengan Allah. Kasih adalah medan
pewahyuan diri Allah.14 Kita bisa mengatakan bahwa kasih itu “jalan pintas” untuk bisa bertemu Allah
lebih cepat.

Dalam keheningan, Allah hadir dan menyapa manusia. Paus benediktus XVI menegaskan
pentingnnya antara “keheningan dan kata”. Dalam proses komunikasi, salah satu aspek penting yang
12
Bisa baca pemikiran Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Querida Amazonia yang
dikeluarkan oleh Paus sebagai dokumen post-synodal pada tanggal 02 Pebruari 2020.
13
Kitab Ayub memperlihatkan bagaimana Ayub bergelut dengan penderitaan dalam menghadapi
kuatnya stigma retributif yang hidup di tengah masyarakat. Kisah Ayub berakhir dengan “piagam
penghargaan” yang diberikan Allah kepadanya setelah Ayub mengakui dengan imannya yang teguh:
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang
Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”
(Ayb. 42:5-6).
14
Dalam Ensiklik “Deus Caritas Est”, kita bisa memahami lebih jauh apa artinya Allah adalah
Kasih. Ensiklik ini dikeluarkan oleh paus Benediktus XVI pada 25 Desember 2005.
sering diabaikan manusia adalah hubungan antara “keheningan dan kata”. Bagi Paus Benediktus XVI,
kedua aspek ini perlu dipertahankan agar tetap berimbang supaya bisa mencapai dialog yang otentik dan
hubungan kedekatan yang mendalam di antara manusia. Ketika “kata dan keheningan” terpisah satu
dengan yang lain, komunikasi menjadi putus entah karena keterpisahan itu menimbulkan kebingungan
atau  karena sebaliknya menciptakan suasana dingin. Keheningan itu menurut Benediktus adalah unsur
utuh dari komunikasi. Tanpa keheningan, kata yang kaya pesan tak akan ada. Dalam keheningan, kita
lebih mampu mendengar dan memahami diri kita sendiri. Dalam keheningan gagasan-gagasan dapat lahir
dan mencapai kedalaman makna. Dalam keheningan, kita memahami dengan lebih jelas apa yang ingin
kita katakan dan apa yang ingin kita harapkan dari orang lain. Dengan  keheningan kita membiarkan 
orang berbicara  dan mengungkapkan dirinya.15

Dāḇār juga disampaikan Allah dalam keheningan. Para nabi mampu menangkap pesan Allah
karena mereka adalah ”men and women of prayers”. Betul bahwa inisiatip panggilan kenabian mereka itu
datang dari Allah, bukan ”acquired profession” tapi ”inspired mission”. Kita meyakini bahwa ada kualitas
batiniah yang hening dalam diri para nabi, sehingga dāḇār bisa diterima dan bertumbuh dalam hati.
Sebelum mereka melanjutkan pesan yang diterima dari Allah, tentunya ada jedah waktu untuk
’mengunyah’ firman sehingga pesan yang diwartakan itu bisa terasa ’manis’ oleh pendengar.

Kita perlu belajar dari keheningan Salib. Melalui Yesus, Allah membawa seluruh sakit, duka,
derita, dosa dan maut ke dalam keheningan salib. Salib menjadi tanda kedekatan Allah dengan manusia
yang paling intim. Intim tapi sekaligus berjarak karena Salib itu tak terpahami dan terselami. Ada
intimitas ilahi tapi sebuah intimitas yang berjarak dalam kekosongan, kehampaan, keheningan.

Mengingat penderitaan itu berakar dalam kemanusiaan, bisa dipikul oleh manusia tapi sekaligus
melampaui kemanusiaan kita, maka solusi manusiawi tidak pernah bisa selesai untuk menghilangkan
penderitaan manusia. Manusia tidak mampu memberi jawaban final kenapa saya harus menderita. Karena
penderitaan itu juga melampaui kemanusiaan kita, maka solusi final tidak bisa dari manusia. Kebangkitan
Kristus adalah jawaban final. Solusi akhir dari Allah. Sakit, derita, dosa, maut dan ’kesementaraan’
kemanusiaan kita dihancur-lebur dalam makam Yesus dan bersama Kristus yang bangkit kita berziarah
menuju kemuliaan yang jaya.

Akhirnya buletin dāḇār bukan firman Allah. Buletin dāḇār bukan Kitab Suci. Para penulis buletin
dāḇār adalah orang-orang muda yang dipanggil menjadi ”Misionaris pelayan Sabda”. Sebagai misionaris
muda yang tengah mempersiapkan diri untuk misi masa depan Tarekat dan Gereja, mereka mulai
mengasah ketajaman hati nuraninya untuk membaca dan menangkap setiap realitas hidup manusia
sebagai dāḇār, komunikasi ilahi dari Allah untuk manusia. Maka dalam iklim keheningan dan
kontemplasi yang didukung oleh protokol ”physical and social distancing” untuk mencegah penularan
Covid 19, Buletin dāḇār datang menjumpai pembaca agar kita semua semakin memaknai hidup dan
kehidupan kita menurut cara pandang Allah.***

15
Pesan Bapa Suci Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-46 yang dikeluarkan pada
tanggal 20 Mei 2012.

Anda mungkin juga menyukai