Anda di halaman 1dari 10

1|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

DEMITOLOGISASI PEMAHAMAN
DISEPUTAR NAMA YAHWEH DAN ALLAH

Disampaikan Pada Forum Seminar di Universitas Kristen Indonesia


Tgl 20 November 2004

Teguh Hindarto, MTh.

Terminologi

Dalam sejarah teologi Kristen, istilah Demitologisasi, merupakan terminologi yang


diperkenalkan oleh seorang teolog bernama Rudolph Bultman. Asumsi dasar yang melatarbelakangi
istilah tersebut adalah “adanya gambaran mitologis dalam dunia Perjanjian Baru yang bertentangan
dengan gambaran dunia modern”1. Maksud Demitologisasi atau Enmythologisierung adalah “metode
interpretasi dari nas Perjanjian Baru, dengan maksud supaya kita dapat melihat apakah yang
sebenarnya dimaksudkan dan yang mau dikatakan oleh nas” . Secara epistemologis, saya menolak
2

metodologi kajian dalam teori Bultman yang cacat historis dan mengabaikan nilai pengilhaman Kitab
Suci. Namun dalam kajian berikut, saya meminjam istilah demytologisasi untuk menjabarkan suatu
upaya untuk menghilangkan anggapan-anggapan, prasangka-prasangka, pemahaman yang tidak tepat,
yang telah berurat berakar, sehingga menjadi mitos dalam dunia akademik teologia, mengenai nama
Yahweh, nama Allah serta istilah-istilah Ketuhanan seperti El, Eloah, Elohim.

Pemetaan Persoalan

Sejak kemunculan traktat berseri yang berjudul Siapakah Yang Bernama Allah Itu? dan
munculnya Kitab Suci 2000, kekristenan di Indonesia “dipaksa” (bentuk euphemisme dari “dorongan
yang kuat”) untuk memikirkan ulang eksistensi dan penggunaan nama Allah dalam Kitab Suci dan
komunitas Kristiani. Menanggapi hal tersebut, beberapa penulis, lembaga Kekristenan dan institusi
gerejawi mulai memberikan respon, baik bernada positip maupun negatif. Sampai hari ini, wacana
kontroversi tersebut masih tetap mengemuka, baik dalam forum ibadat, seminar maupun berbagai
penerbitan literatur kekristenan. Bagi mereka yang menabukan dialektika perkembangan pemikiran
keagamaan, wacana ini dianggap sebagai fenomena yang merugikan kesatuan gereja (meskipun
sebelum ada fenomena ini pun gereja ternyata belum juga bersatu). Namun bagi mereka yang
menyadari bahwa pemahaman manusia terhadap realitas kebenaran selalu berkembang,maka akan
menjadikan wacana ini sebagai dasar untuk berefleksi dan menemukan pencerahan baru.

Problematika Dasar

Wacana diseputar redefinisi penggunaan nama Allah dan urgensi penggunaan nama Yahweh
sebagai nama Tuhan yang proper sebagaimana diisyaratkan dalam Kitab Suci TaNaKh (Torah,
Neviim, Kethuvim) dan Kitab Perjanjian Baru, didasarkan pada beberapa problematika dasar sbb:
Pertama, Dilematic Problem. Apakah Tuhan yang diimani oleh kaum Muslim dengan Kekristenan
memiliki kesamaan secara ontologis? Atau sebaliknya, bahwa Tuhan yang diimani Muslim dan
Kekristenan memiliki konsepsi teologis yang bersebrangan? Persoalannya, jika Tuhan yang diimani
memiliki kesamaan ontologis, mengapa banyak statement dogmatik dalam Kekristenan yang
dieliminir oleh Qur‟an? Contoh, Qur‟an menolak eksistensi historis penyaliban dan kebangkitan

1
DR. J.L. Ch. Abineno, Rudolph Bultman & Teologianya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hal 8
2
Ibid., hal 10
2|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

Yesus (Qs 4:157-158), Qur‟an menolak essensi Bapa, Putra dan Roh Kudus (Qs 5:72, Qs 4:171),
Qur‟an menolak status Pra Ada Yesus yang tidak diciptakan (Qs 3:59), Qur‟an menolak Ketuhanan
Yesus (Qs 5:116), Qur‟an menolak status Yesus sebagai Putra Yang Maha Kuasa (Qs 9:30). Disisi
lain, jika dikatakan bahwa Tuhan yang diimani berbeda secara konseptual teologis, mengapa
Kekristenan dan Muslim memanggil nama Tuhan yang sama, yaitu Allah? Kedua, Kerancuan
Terminologis. Dalam Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, ditemui beberapa cara
penulisan yang ganjil. Ada istilah ALLAH (Yehz 37:12, Yes 25:8, Amos 3:8, Hab 3:19), Allah (Kej
1:1, 1 Raj 18:39), allah (1 Taw 16:26, Kel 20:3, Ul 10:17) dan TUHAN (Yes 42:8, Kel 3:15, Kel 6:3).
Apakah perbedaan antara ALLAH, Allah, allah dan TUHAN? Mengapa istilah yang serupa
dipergunakan dalam bentuk yang berbeda? Kalau seorang pengkhotbah mengucapkan Allah di
mimbar, bisakah kita mencerna bahwa yang dia maksudkan adalah ALLAH atau Allah atau allah?
Apakah dibenarkan jika saya menuliskan “Yesus adalah Mesias” atau “Yesus adalah MESIAS” atau
“Yesus adalah mesias?” Tidak ada satupun kaidah menulis yang membenarkan tata tulis demikian.
Kita harus memilih salah satu. Mesias, MESIAS atau mesias bagi Yesus. Ketiga, pelanggaran terhadap
kaidah tata bahasa Indonesia mengenai hukum DM (Diterangkan-Menerangkan). Frasa “Bapak (D)
Teguh (M) berkata”, dapat dimengerti sebagai “ada Bapak yang bernama Teguh yang sedang
berkata”. Jika logika ini diterapkan untuk penulisan nama Tuhan dalam Kitab Suci versi LAI,
menjadi tidak jelas maksudnya. Frasa “Akulah TUHAN, Allah nenek moyangmu…”(Kel 3:15)
bermakna “ada TUHAN bernama Allah”. Namun jika kita membaca Yesaya 42:8 berdasarkan versi
Lembaga Alkitab Indonesia yang berbunyi, “Aku ini TUHAN, inilah namaKu”, maka akan diperoleh
makna bahwa TUHAN adalah nama pribadi. Namun jika melihat struktur penempatan nama Tuhan
dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, menjadi rancu antara nama pribadi dari Tuhan
Pencipta langit dan bumi jika dikaitkan dengan hukum DM.

Akulah TUHAN Allah nenek moyangmu…(Kel 3:15]


(D] (M]

Analisis D-M : Ada TUHAN yang bernama Allah

Aku ini TUHAN, inilah nama-Ku(Yes 42:8]

Analisis: TUHAN adalah nama Pencipta

Kajian Gramatikal Mengenai Terminologi El, Eloah, Elohim

Kekristenan berakar pada Yudaisme3. E.P. Sanders menyebutkan bahwa Yesus merupakan
nabi kharismatik yang sungguh-sungguh berkarakter dan memiliki kebiasaan sebagai seorang Yahudi 4.
D.S. Russel menjelaskan, “Whether or not, he can be categorized in this or in any way, it is clear that
he lived the life og Jew”5. Hary R. Boer menegaskan, “The roots of the christian church reach back

3
Hans Ucko, Akar Bersama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, hal 5
4
E.P. Sanders , Jesus and Judaism, SCM Press and Fortress Press, 1985, p.237-241
5
D.S. Russel, From Early Judaism to Early Church, Philadhelphia, Fortress Press, 1986, p.15
3|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

deeply into the history and religion of Israel…the earliest church was wholly Jewish, her Savior was
6
Jew and the entire New Testament was probably written by Jews .

Kitab Suci TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram dan
diterjemahkan dalam lingua franca, yaitu bahasa Yunani. Dalam Kitab Suci, istilah untuk menjelaskan
mengenai Tuhan, digunakan istilah El (Kej 33:20, Mzm 95:3, Hos 11:9), Eloah (Kel 3:15, 1 Taw
16:26) dan Elohim (Kej 1:1, Yer 10:10, Ul 10:10) serta Adonai (Mzm 90:1). Mengenai istilah El,
Encylopedica Judaica menjelaskan “El, the oldest semitic term for God is El (coresponding to
Akkadian Ilum…and Arabic Il). The etymology of the word is obscure. It is commonly thought the
term derived from a root „yl‟ [il] or „wl‟ (ul), meaning the „powerfull‟ . Sementara Merril F. Unger
7

menjelaskan,”…the original generic term was Ilum, which dropping the mimation and the nominative
case ending „u‟ became „el‟ in Hebrew. The word is derived from the root „wl‟, „to be strong‟,
„powerfull‟, meaning „strong one‟…El has of the Hebrew course, no conection with paganism, but is a
simple generic term8”. Dari penjelasan diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa istilah El adalah
istilah semitik kuno yang menjadi istilah bersama dengan beberapa variasi seperti Ilanu, Ilum, Ilah.
Kesemuanya hendak mengekspresikan mengenai Yang Maha Kuat.

Walter Eichrodt mengulas bahwa penggunaan istilah El, memberikan beberapa makna.
Pertama, “…they do not identify the Godhead with any natural object, but describe it as the power
which stands behind nature or the overruling will manifested in it ”9. Kedua, “…demonstrates a strong
link between the divine activity and the social life of the community. Such names as „Gos is
Mercyfull‟, “God helps‟, „God is judge‟ are extraordinarily frequent and show that we are dealing not
merely with some spiritual being of litle positive account, but with a deity who draws into the sphere
of his concerns the moral and social needs of a people or tribe ” . Ketiga, “…the frequent practice of
10

naming El after one of the Patriach (God of Abraham, Kej 31:53, Fear of Ishaq, Kej 31:42, Mighty
One of Jacob, Kej 49:24)…This distinctivenesss consist in the fact the deity is not associated with
particular cultic sites, but with persons who experienced his first revelation and in whose family he is
now worshipped” . 11

Istilah Eloah, merupakan perkembangan bentuk dari El, sebagaimana istilah El dan Eloah
dimaknai sebagai “Yang Kuat”. C.I. Scofield menjelaskan bahwa Eloah, berasal dari El (Yang Maha
Kuat) dan alla yang bermakna “sumpah”12. Maksudnya, didepan El, seseorang mengikat sumpah.
Mengenai penggunaan istilah Elohim, Walter Eichrodt kembali menjelaskan, “Israel‟s use of the term
„Elohim‟ to exalt the God of Sinai as supreme deity need, therefore, have involved nothing more than
the adoption of a form of expression already long established…By choosing this particular name,
which as the epitome of all embracing divine power exludes all, other divinity, he was able to protect

6
Hary R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan, William B. Eerdmans
Publishing Company, 1986, p.9
7
Encylopedica Judaica Vol VII, 1972, p.674
8
Merril F. Unger, Unger‟s Bible Dictioanry, Chicago, Moody Press, 1962, p.293-294
9
Walter Eichrodt , Theology of the Old Testament, Vol I, Philadhelphia, The Westminster Press, 1961, p.179
10
Ibid.
11
Ibid., p.180
12
C.I. Scofield, Holy Bible Schofield References, 1945, p.3
4|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

his cosmogony from any trace of politheistic thought and at the same time describe the Creator God
as the absolute Ruler and the only being whose will carries aby weight” 13

Kajian Gramatikal Mengenai Nama Yahweh

Manusia memiliki nama, karena ada yang menamai. Hewan memiliki nama karena ada yang
menamai. Kitab Suci mencatat bahwa Yang Maha Kuasa memberi nama Adam kepada ciptaan-Nya
yang mulia (Kej 5:2). Adam, yang diciptakan berdasarkan Demut (Gambar) dan Tselem (Rupa)
Tuhan (Kej 1:27), memiliki otoritas dn kemampuan yang serupa dengan Sang Pencipta, khususnya
dalam memberi nama binatang (Kej 2:20). Jika manusia dan binatang memiliki nama karena dinamai,
maka Tuhan (Elohim) juga memiliki nama. Siapakah nama Tuhan itu? Saat Musa bertanya pada
Yang Maha Kuasa sebelum diutus, dia bertanya, ma shemo? (siapa nama-Nya?, Kel 3:13). Sang
Pencipta menjawab, Ehyeh asyer Ehyeh (Aku Ada Yang Aku Ada, Kel 3:14). Lalu sang Pencipta
melanjutkan, “YHWH, Elohei avotekem, Elohei Avraham we Elohei Yitshaq we Elohei Yaakov,
shelakhmi aleikem. Ze shemi le olam we ze zikri le dor dor” (YHWH, Tuhan nenek moyangmu,
telah mengutus aku kepadamu. Inilah nama-Ku untuk selamanya dan inilah pengingat-Ku untuk
turun temurun, Kel 3:15). Lalu Yang Maha Kuasa menegaskan, “YHWH Elohim Ivrym…” (YHWH,
Tuhan orang Ibrani,…Kel 3:18).

Eksposisi Kitab Keluaran pasal 3, menjelaskan, suatu “revelation” (penyingkapan) dan


“declaration” (pegumuman) mengenai eksistensi Tuhan, nama Tuhan dan Tuhan yang memilij suatu
komunitas untuk melaksanakan mandat-Nya. Frasa Ehyeh asyer Ehyeh sering dianggap sebagai
pernyataan Tuhan yang tetap menutup misteri mengenai nama-Nya14. Namun saya melihat bahwa
kalimat ini merupakan pernyataan Yang Maha Kuasa mengenai keberadaan diri-Nya. Secara
gramatikal, ada dugaan bahwa kata ehyeh, merupakan bentuk “qal imperfect” dari hayah, sehingga
dapat dimaknai “I am the One who is”15 Namun ada jugaa pendapat yang mengatakan bahwa ehyeh
merupakan bentuk “hiphil” sehingga dapat diterjemahkan “He who causes to be”16. “Qal Imperfect”
bermakna, “action which has not yet been completed”,17 sementara “Hiphil” bermakna “primarly as
the causative of the Qal”18. Saya lebih memilih bahwa kata ehyeh merupakan bentuk “qal imperfect”
dari hayah yang bermakna (1) “exist”, “be present” (2) “come into being”, “happen” (3) “auxilliaries
verb”19. Pengertian yang terkandung dalam kata kerja “hayah”, memberikan sinyalemen bahwa Sang
pencipta, merupakan Tuhan yang hidup, dinamis, bertindak dan bukan benda mati seperti patung
berhala. Frasa ini hendak menyatakan eksistensi sang Pencipta yang dinamis. Adapun frasa “YHWH
Elohei Avotekem…ze shemi le olam we ze zikri le dor dor”, merupakan penyataan mengenai nama
diri-Nya. Persoalannya, apakah ucapan yang tepat untuk YHWH? Ada yang mengeja “ Jehovah”,

13
Op.Cit., The Theology of The Old Testament, p.186-187
14
John J. Davis, Moses & the Gods of Egypt, Grand rapids Michigan, Baker Book House, 1977, p.64
15
Ibid.
16
Ibid., p.65

Harley E. Finlay, Ph.D & Charles D. Isbell, Ph.D, Biblical Hebrew: A Beginner‟s Manual, Kansas City,
17

Misouri, Beacon Hill Press of Kansas City, 1982, p.75


18
Ibid., p.114
19
G. Johanes Boterweck & Helmer Ringren, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol III, Grands
Rapids Michigan, William B. Eerdmans Publishing Company, 1976, p.373
5|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

“Yehuwah”, “Yahuweh”, “Yahweh”. Beberapa literatur ilmiah dibawah ini menjelaskan mengenai
pengucapan yang proper dari YHWH.

Encylopedia Judaica menerangkan, “The true pronounciation of the name YHWH was never
lost. Several early Greek writers of the Christian church testify that the name was pronounced
Yahweh . Unger‟s Bible Dictionary menjelaskan, “Yahweh, the Hebrew Tetragrammaton [YHWH]
20

traditionaly pronounced Jehovah is now known to be correctly vocalized Yahweh” . Wycliffe Bible
21

Encylopedia menegaskan, “The name par excelence for the Creator of Israel is Yahweh, found 6.823
times in the Old Testament” . Demikian pula dengan The Interpreter‟s Dictionary, “Yahweh-the
22

vocalization of the four consonants of the Israelite name for the creator, which scholars believe to
approximate known by this name” . Ungkapan pujian “Halelu-Yah”, bermakna “Pujilah Yah”.
23

Seruan ini merupakan indikasi yang lebih menguatkan bahwa proper pronounciation bagi YHWH
adalah “Yahweh”.

Eksposisi Keluaran 3:14-15 menepis anggapan spekulatif bahwa Tuhan tidak memiliki nama.
Plato, dalam bukunya “Parmenides” menyatakan, “Oud ara onoma estin autoi” yang bermakna
“therefore no name can be attributed to him”24. Ibn Arabi, sufistik Islam meyakini bahwa Tuhan tidak
mempunyai nama. Jika Tuhan mempunyai nama, maka Tuhan dibatasi oleh nama itu. Jika Tuhan
dibatasi, maka Dia bukan Tuhan25. Tuhan (Elohim) telah menyatakan nama-Nya pada Musa sebagai
Yahweh (Kel 3:15), nama yang sebelumnya telah dikenal oleh leluhur manusia, sejak Enos (Kej 4:26).
Kitab Suci TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru memberi kesaksian kokoh mengenai Yahweh sebagai,
“Tuhan yang benar” (Yer 10:10, Yoh 17:3), “Tuhan yang esa” (Ul 6:4), “Tuhan yang Roh” (Yoh
4:24), “Bapa Surgawi” (Yes 64:8, Mat 6:9), “Bapa” (dalam arti ontologis) dari Yesus” (Yoh 10:30),
“Pencipta langit dan bumi” (Yes 40:28). Dengan demikian, Yahweh sebagai Tuhan yang disembah
bangsa Israel dalam TaNaKh, merupakan Tuhan yang menyatakan firman-Nya dalam rupa manusia
yaitu Yesus. Christopher B. Kaiser menjelaskan, “We conclude that the fundamental Christian
confession „Jesus is Lord‟ is rooted in the recognition that the risen Christ is Yahweh, the God of
Israel” 26

Kajian Gramatikal Mengenai Nama Allah

Kajian mengenai historitas dan aspek etimologis nama Allah, masih debatable. Dari segi
historis pra Islam, ada yang mensinyalir bahwa nama Allah adalah “ dewa orang badui”27 “dewa air
Arabia pra Islam”28, “dewa bulan pra Islam”29, “kepala Pantheon para dewa Arabia pra Islam yang
20
Op.Cit., Encylopedia Judaica Vol VII, p.680
21
Op.Cit., Unger‟s Bible Dictionary , p.1177
22
Wycliffe Bible Encylopedia Vol II, 1975, p.690
23
The Interpreter‟s Dictionary Vol IV, 1962, p.923
24
Adam Clarke, The Holy Bible : A Commentary & Critical Notes, Abingdon Nashville, 1824, p.306
25
Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan, Jakarta, Gramedia Pustaka Tama, 2003, hal 73
26
Christopher B. Kaiser, The Doctrine of God, Westchester, Illinois, Crossway Books, 1982, p.33
27
Prof. DR. H. Kraemer, Agama Islam, Djakarta, BPK, 1952, hal 11
28
Muhamad Wahyuni Nafis, Passing Over, Jakarta, Gramedia Pustaka Tama, 1998, hal 85
29
DR. Robert Morey, Islamic Invasion, Harvest House Publisher, 1992, p.211-218
6|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

berpusat di Mekkah” . Sementara dari aspek etimologis, nama Allah ada yang menghubungkan
30

dengan akar kata Al Ilahah, Al Uluhiyah, Al Uluhah”31, Alaha 32, Lahaya,33, Aliha ya‟lahu 34, Al Ilah ,
35

dimana kesemua ini dihubungkan dengan istilah El, Eloah, Elohim . Kitab Qur‟an sendiri
36

memberikan kesaksian bahwa Allah adalah, “Nama Tuhan yang esa” (Qs 20:14,98), “Pencipta langit
dan bumi” (Qs 2:164), “Tuhan Yahudi dan Nasrani serta Islam” (Qs 29:46), “Sumber Wahyu, Torat,
Injil dan Qur‟an” (Qs 5:44,45,47), “Tuhan yang esa” (Qs 112:1).

Studi komparatif gramatikal mengenai istilah El, Eloah dan Elohim, Yahweh serta Allah,
memberikan gambaran singkat bahwa ada perbedaan secara substansial antara istilah-istilah tersebut.
Perbedaan yang terjadi, bukan hanya dalam aspek gramatikal melainkan secara konseptual teologis.
Ada dua pribadi yang mengklaim Esa dan Pencipta, yaitu Yahweh dan Allah. Keduanya memiliki
perbedaan signifikan dalam karakter. Kesimpulan ini mengaraj pada fakta bahwa kekristenan di
Indonesia telah mengadopsi nama Allah sebagai ganti untuk Elohim dan Yahweh, tanpa menyadari
ada perbedaan yang signifikan dari aspek gramatikal maupun konseptual teologis.

Mitos-Mitos Akademik

Mengapa saya katakan mitos yang berkembang di dunia akademik? Karena berbagai
pernyataan para teolog banyak didasarkan pada asumsi yang mengatasnamakan “keilmiahan”,
“obyektifitas”, namun sebenarnya memiliki sejumlah kecacataan metodologis. Kecacatan metodologis
yang dimaksud karena dipengaruhi Teologi Liberal dalam mendekati status pengilhaman Kitab Suci.
Anggapan-anggaapaan tadi diturunkan dan dipercayai serta dilembagakan dalam berbagai literatur
serta dipercaya sebagai otoritas yang sudah definit. Jika pada seminar di Auditorium Duta Wacana,
Yogyakarta (20 Oktober 2004), saya mengusulkan RE-DEFINISI terhadap penggunaan nama Allah.
Maka saat ini saya menghimbau bahwa kita harus berani melakukan proses DE-MITOLOGISASI
terhadap pemahaman yang keliru diseputar nama Yahweh dan Allah. Beberapa mitos akademik yang
populer diseputar nama Yahweh dan Allah adalah, sbb:

 Nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan. Setelah masa pembuangan dari babilon, nama
Yahweh dilarang diucapkan secara lisan. Pada tahun 70 Ms, sekte Farisi melarang penggunaan
nama Yahweh. Menurut halakha, nama itu “tersembunyi” (b.Pes 50a), “tetap dirahasiakan”


(b.Kidd.71a)36
Nama Yahweh tidak dapat diucapkan. DR. Daud Soesilo mengatakan, “namun tak
seorangpun yang tahu bagaimana melafalkannya…setelah masa pembuangan Israel di

30
James Hastings, Encylopedia of Religion & Ethic, T&T Clark, 1908, p.326
31
DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9
32
Ibid.
33
DR. Djaka Soetapa, Penerjemahan Kata Yahweh & Elohim menjadi TUHAN dan ALLAH dalam Perspektif
Teologi Islam, Sarasehan terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN & ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni
2001
34
Loc.Cit., Menyingkap Tabir Ilahi, hal 3-9
35
Olaf Schuman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174
36
George Fry & James R. King, Islam: A Survey of the Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
36
DR. J. Trimm, Nazarenes & the Name of YHWH, www.nazarene.net
7|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

Babilonia (538 sM), ucapan nama YHWH yang sesungguhnya tidak diketahui lagi ” . 37

Demikian pula DR. Tom Yakob, “…Bagaimana keempat huruf itu (YHWH) diucapkan atau
apa huruf hidupnya, tidak ada orang yang tahu”
 Penggunaan nama Yahweh berarti kembali pada pola Perjanjian Lama. Samin Sitohang
38

memberikan ulasan, “Jika umat kristen mempertahanan YHWH sebagai nama Sang Pencipta
yang kekal dan bukan YHWH-MENYELAMATKAN, maka kita sedang kembali ke dalam
alam Perjanjian Lama”39
 Oleh kehendak Roh Kudus, nama Yahweh telah diganti menjadi Kurios. DR. Josias
Lengkong, MTh., menyatakan dalam makalahnya, “Roh Kudus Yang maha Bijaksana telah
menuntun dan menetapkan bahwa dalam kepentingan misi dunia dan dalam kaitan dengan
penyebaran Injil secara global, maka bukan bahasa Ibrani lagi yang dipakai untuk menjadi
naskah asli Perjanjian Baru, melainkan bahasa Yunani. Dengan demikian para penulis
Perjanjian Baru diilhami (diberi inspirasi) untuk menerjemahkan nama Yahweh dengan
Kyrios; kemudian El dan Elohim dengan Theos”
 Nama Yahweh berasal dari adopsi nama dewa di luar Israel. Ada yang beranggapan bahwa
40

nama Yahweh berasal dari suku Keni, ada yang mengganggap dari Mesir dan ada yang


mengganggap sebagai pahlawan Ilahi dari Kanaan41
Istilah El merupakan nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel . I.J. Satyabudi menjelaskan,
“Kata El ini memiliki asal-usul kata dari nama diri Ilahi suku bangsa Kanaan”42
 Nama Allah cognate dengan istilah El, Eloah, Elohim. Bambang Noorsena mengatakan,
“Kata Allah berasal dari akar kata Ibrani El, Eloah dan Elohim”43
 Nama Allah berasal dari kontraksi Al dan Ilah. Kembali Bambang Noorsena menegaskan,
“Nama Allah merupakan gabungan dari Al dan Ilah. Al adalah definit article (the) dan Ilah
(God) adalah istilah lain bagi Tuhan (God). Allah artinya, “Tuhan itu”44

Demitologisasi Pemahaman diseputar Nama Yahweh dan Allah

Bagi saya, upaya De-mitologisasi, bukan hanya memberikan “interpretasi baru” sebagaimana
tesis Bultman, melainkan meminjam istilah Ulil Abshar Abdala – “membongkar asumsi-asumsi
tersembunyi”45 – dibalik setiap mitos-mitos akademik yang mengelilingi nama Yahweh dan Allah.
Asumsi umum yang berlaku dalam mitos-mitos akademik tersebut adalah, “Tuhan tidak mempunyai

37
DR. Daud Soesilo, Terjemahan Nama-nama Ilahi dalam Alkitab, Seminar Alkitab: Satu Alkitab Beragam
Terjemahan, 2004, hal 1
38
DR. Tom Yakob, Terjemahan Alkitab dalam Konteks Lintas Bahasa dan Budaya: Menerjemahkan Nama
Allah, Seminar Alkitab: Satu Alkitab Beragam Terjemahan, hal 2
39
Samin Sitohang, Siapakah Nama Sang Pencipta? Bandung: kalam Hidup 2003, hal 62
40
DR. Josias Lengkong, MTh, Kontroversi Diseputar Nama Allah:, Seminar di Hotel Indonesia, 25 Agustus
2000
41
Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 126-127
42
I.J. Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, Jakarta, Wacana Press, 2004, hal 79
43
Bambang Noorsena, Menjawab Hujatan Para Penentang Allah, BAHANA, November 2000, hal 14
44
Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Malang, IFSCS, 2001, hal 9
45
Ulil Abshar Abdala, Membakar Rumah Tuhan, Bandung PT. Rosda Karya, 1999, hal 14
8|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

nama”. Nama Tuhan yang beragam adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap Realitas
Absolut yang dijumpainya dalam kehidupan religiusnya. Asumsi demikian tidak memiliki landasan
scriptural yang kokoh. Exegesa Keluaran Pasal 3:13-15, meruntuhkan asumsi apapun yang
menyebutkan bahwa Tuhan tidak punya nama. Kitab Kejadian sampai Wahyu, selalu
menghubungkan perbuatan ajaib Tuhan atas umat-Nya, melalui nama-Nya. Berikut tanggapan penulis
terhadap beberapa mitos akademis yang telah dipaparkan sebelumnya.

 Mengatakaan bahwa nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan, merupakan mis-interpretsi
terhadap Keluaran 20:7 yang memerintahkan, “lo tisha et shem Yahweh la shawe”. Ayat ini
tidak memaksudkan bahwa kita tidak boleh sama sekali memanggil nama Yahweh, melainkan
berhati-hati dan menggunakan nama itu bukan untuk melegalisasi perilaku yang jahat. Firman
Tuhan menegaskan, “ho du la Yahweh yiqru bishemo” artinya, “Bersyukurlah kepada
Yahweh, panggilah nama-Nya” (1 Taw 16:8). Umat-umat Tuhan dalam zaman pra Mesias,
memanggil secara langsung nama Yahweh dalam doa seperti Elia (1 Taw 18:36), Daud (2 Sam
22:2), Salomo (1 Raj 3:7), dll. Bahkan Kitab Suci Perjanjian Baru Semitik yang lebih tua dari
naskah Yunani seperti Shem Tov, Du Tillet, Ccrawford dan Munster, yang dikompilasi oleh
DR. James Trimm dalam the Hebraic Root version New Testament, menuliskan nama diri


Yahweh sebanyak 210 kali dibeberapa ayat46
Tidak masuk akal jika nama Yahweh tidak dapat diucapkan. Jika setiap huruf dalam bahasa
Ibrani yang tertulis dalam kitab Suci dapat diucapkan dan dituliskan, mengapa nama Yahweh
tidak bisa diucapkan. Kitab Kejadian 1:1 tertulis, “brsht br lhm t h shmym w t h rts”, orang
Yahudi dan para ahli bahasa akan langsung mengucapkan, “ bersehit bara Elohim et ha
shamaym we et ha arets”. Namun mengapa dalam Keluaran 3:15, YHWH lh vtkm” menjadi
“ADONAI Elohe Avotekem?” Justru varian penyebutan nama YHWH menjadi “Iabe”,
“Iaove”, “Ian”, “Yau”, “Jehovah”, “Yahuweh”, “Yahweh”, memberikan indikasi pada kita
bahwa nama YHWH dapat diucapkan, dapat dibunyikan dan perlu diselidiki dengan
mendalam akurasi pelafalannya. Seruan “Halelu-Yah”, memberikan indikasi kuat bahwa


pelafalannya adalah Yahweh.
Menyimpulkan bahwa menggunakan dan memanggil nama Yahweh adalah kembali ke alam
Perjanjian Lama, menyiratkan “asumsi tersembunyi” bahwa Torah bersifat sementara. Jika
Torah bersifat sementara fungsinya, maka segala apapun yang berhubungan dengan Perjanjian
Lama adalah sementara dan akan digantikan oleh Perjanjian Baru. Namun Yahshua
menegaskan makna kedatanganNya, yaitu bukan untuk meniadakan Torah, melainkan untuk
memenuhkan arti Torah (Mat 5:17-20]. Pengaruh Marcionisme yang mempertentangkan
eksistensi Torah dan Perjanjian Baru, berpengaruh pula terhadap penggunaan nama Yahweh.
Jika nama itu akan menjadi nama satu-satu-Nya di bumi (Zak 14:9), dimana tertera di dahi
pengikut Putra-Nya (Why 14:1), bagaimana mungkin kita menyimpulkan bahwa nama


Yahweh adalah sebuah masa lalu yang harus ditinggalkan?
Menyimpulkan bahwa Roh Kudus mengilhami para murid untuk mengganti nama Yahweh
menjadi Kurios, adalah pemahaman yang over simplicity. Bagaimana mungkin Roh Kudus
yang adalah Roh Yahweh sendiri (Yoh 15:26) yang mengilhami para nabi bernubuat bahwa
segala bangsa akan sujud dan memanggil nama Yahweh (Mzm 22:29-32), serentak
mengilhami untuk mengganti menjadi Kurios? Bagaimana mungkin Tuhan inkonsisten
dengan perintah-Nya? Perubahan nama Yahweh menjadi Kurios, bukan merupakan
pengilhaman Roh Kudus namun pengaruh tradisi Yudaisme paska babilon yang melarang
penggunaan nama Yahweh secara langsung. Tradisi Yudaisme ini diperluas dengan
menerjemahkan TaNaKh dalam bahasa Yunani dengan menerjemahkan ADONAI menjadi
KURIOS. Naskah Perjanjian Baru berbahasa Yunani merujuk kebiasaan ini, sehingga nama
Yahweh diganti Kurios dalam Perjanjian Baru. Namun naskah semitik Perjanjian Baru tetap

46
Teguh Hindarto, Bahasa Tuhan, Yogyakarta, ANDI Offset, 2004, hal 46-47
9|Demitologisasi Pemahaman Di Seputar Nama YHWH dan Allah

melestarikan nama Yahweh sebanyak 210 kali dan tersebar diseluruh ayat Perjanjian baru.
DR. james Trimm telah menerbitkan The Hebraic Root Version New Testament, pada tahun


2001, yaitu penerjemahan naskah Ibrani-Aramaik Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris.
Anggapan bahwa nama Yahweh merupakan nama dewa di luar Israel yang diadopsi oleh
Israel, merupakan “mitos akademik” yang telah mengakar kuat karena pengaruh teori
“Hipotesa Dokumenter” dari Jean Astruc, J.G. Eichorn, K.H. Graff, Wellhausen47. Teori-
teori diatas menyediakan jalan bagi asumsi yang lebih jauh, bahwa nama Yahweh adalah dewa
impor. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta mengikat
perjanjian dengan Israel untuk memberitakan perbuatan-Nya yang ajaib serta mengutus
Mesias bagi Israel dan dunia, adalah Tuhan yang meminjam nama dewa bangsa lain? Sungguh
memalukan dan tidak masuk akal! Yang Maha Kuasa telah mengidentifikasi nama diri-Nya
sebagai Yahweh (Kel 3:15, Yes 42:8), Tuhan yang tidak memiliki persamaan dengan yang
lainnya (Yes 45:21), Tuhan yang mengatasi segala yang dipertuhan (Ul 10:17). Bagaimana
mungkin bahwa nama pribadi-Nya adalah nama hasil adopsi? Teori diatas memiliki asumsi
tersembunyi yang dilandasi teori-teori liberalistik terhadap Kitab Suci. Arkeologi belum


membuktikan bahwa ada patung dewa Yahweh yang disembah bangsa di luar Israel.
Istilah El, merupakan istilah bersama di dunia semitik kuno dengan bermacam variannya
seperti Ilah (Arab), Ilum dan Ilanu (Akkadian), Elah (Aram). El, bukanlah nama dewa
tertentu, meskipun bangsa Kanaan kuno memahami El sebagai kepala Pantheon yang
memiliki putra Baal. Telah terjadi pemahaman bersama di dunia semitik kuno dan terjadi
proses sinkretisme terhadap El, secara sporadis dibeberapa wilayah yang cenderung
paganistik. Meminjam istilah Prof. Raviy Siregar, “tidak ada paradigma keilmuan yang
memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh
atau karena plagiat” . Asumsi tersembunyi dibalik argumentasi bahwa El adalah nama dewa
48

Kanaan yang diadopsi Israel, adalah pengaruh teori “evolusi agama” yang dikenakan dalam


sejarah Israel.
Jika benar bahwa Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa pada kasus “Al” dan
“Ilmu”, tidak menjadi “Almu?” Atau “Al” dan “Ilham”, tidak menjadi “Alham?” Pendapat
yang mengatakan bahwa Allah adalah bentukan dari “Al” dan “Ilah” adalah salah satu dari
sekian banyak teori mengenai akar kata Allah yang masih debatable. Jadi bukan satu-satunya
harga mati. Allah adalah bentuk tunggal (mufrad). Ini memberikan indikasi nama diri.
Sementara “Ilah”, dapat dibuat jamak menjadi “Alihah”. Sebagaimana dalam terminologi
Ibrani, istilah “Eloah” dapat dibuat jamak menjadi “Elohim”. Setiap nama diri, selalu
berbentuk tunggal, al., Yahweh, Yahshua, Yokhanan, Adam, Abraham, dll. Demikian dengan
nama Allah, tidak ada bentuk jamak dari Allah49

Kesimpulan

Mitos-mitos yang berkembang dalam dunia akademik teologi, dipengaruhi oleh asumsi
tertentu. Upaya de-mitologisasi, bukan hanya membuang mitos-mitos tersebut atau memberikan
interpretasi baru terhadap realitas yang telah diteliti, namun juga membongkar asumsi-asumsi yang
tersembunyi dibalik setiap teori-teori yang mengatasnamakan akademik dan ilmiah. Argumentasi yang
dikemukakan untuk melemahkan relevansi penggunaan nama Yahweh dimasa kini, tidak lebih hanya
mitos-mitos akademik saja. Karenanya, perlu dilakukan De-mitologisasi dan Re-definisi secara

47
J.D. Douglas, Ensiklopedi Masa Kini, Jilid I, Yayasan Bina Kasih, OMF, 1994, hal 230-232
48
Prof. Raviy Siregar, Sufisme: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002,
hal 31-21
49
Teguh Hindarto, STh., Kritik & Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH., BAHANA, No 09, 2001,
hal 13
10 | D e m i t o l o g i s a s i P e m a h a m a n D i S e p u t a r N a m a Y H W H d a n A l l a h

sinergis serta terpadu., dengan melibatkan kuasa Roh Kudus, pengkajian teologi yang mendalam,
pengkajian gramatikal yang akurat serta penguasaan perkembangan sejarah dan arkeologi
kontemporer. Darimana dan siapa yang harus memulai strategi De-mitologisasi dan Re-definisi?
Siapapun yang telah mengalami pencerahan terhadap kebenaran nama suci ini. Tulisan ini
merupakan salah satu upaya dalam memberikan landasan epistemologis dan teologis, sehingga setiap
orang dapat memperoleh rambu-rambu untuk mengambil keputusan serta pencerahan

Anda mungkin juga menyukai