DOSEN
Dr. Riedel Christian Gosal, M.Th
NAMA
Sandra Meilan Sologia (202341293)
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
YAYASAN GEREJA MASEHI INJILI di MINAHASA
DOMINEE ALBERTUS ZACHARIAS RUNTURAMBI WENAS
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan saya
kemudahan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dengan judul
“Pemahaman Allah menurut Alkitab dan Ilah-ilah Agama Suku”. Saya membuat makalah ini
sebagai tugas Ujian Tengah Semester dari Bapak Dosen Pdt. Dr. Riedel C Gosal, M.Th
dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Teologi. Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan di dalamnya.
Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini.
Kemudian apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan atau dalam makalah saya ini, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Dosen saya Pdt. Dr. Riedel C Gosal, M.Th yang telah memberikan tugas ini kepada saya
dalam tugas pembuatan makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1. BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................4
A. Latar Belakang ......................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pemahaman tentang Allah menurut Alkitab dan Ilah-ilah agama suku
menurut buku Dogmatika Masa Kini?
C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Pengantar Ilmu
Teologi
2. Agar dapat mengetahui dan belajar tentang pemahaman Allah menurut Alkitab
dan ilah-ilah agama suku
Apakah kata “Allah” itu merupakan suatu pengertian umum? Barangkali pernah kita
pelajari sebuah buku katekisasi ataupun sebuah buku mengenai “ilmu kepercayaan”. Salah
satu bab dari bagiannya yang pertama memang membicarakan tentang “Allah”. Dalam pada
itu mungkin sekali kita sudah mengambil kesimpulan, bahwa apa yang dipersoalkan itu
merupakan kebenaran-kebenaran yang umum diakui oleh umat manusia, yakni adanya suatu
Tuhan. Misalnya, jika buku demikian dimulai dengan membentangkan “bukti” tentang
adanya “Tuhan” ; kosmologis, ontologis, teleologis, moril dan etnologis. Berikutnya, dalam
bab-bab mengenai hakikat Allah serta sifat-sifatNya, mengancam pula bahaya yang sama.
Seolah-olah dengan akal kita sendiri dapat kita membuat suatu daftar berisi sifat-sifat itu.
Jalan pertama untuk menentukan sifat-sifat Allah itu ialah misalnya : menginsafkan, bahwa
ada sifat-sifat tertentu yang tidak dimiliki manusia, melainkan hanya dapat dikatakan tentang
Allah (kekekalan dan sebagainya). Jalan kedua ialah : memperbesar sifat-sifat manusia, lalu
mempertinggi sifat-sifat itu menjadi sifat-sifat Allah (misalnya maha-kuasa). Sebagian dari
sifat-sifat itu kelihatannya sama saja dengan sifat-sifat Allah, sebagaimana agama-agama lain
membicarakannya; baru akhirnya disebutkan sifat-khusus pengertian Kristen tentang Allah,
yaitu kasih Allah. Singkatnya : dogmatika semacam itu seolah-olah mulai dengan suatu
pengertian umum tentang suatu Tuhan yang akan dapat disebutkan “Ilah-yang-am”, lalu dari
yang “am” itu melangkah terus sampai kepada pembentangan yang “khusus”.
Mulai dari perkataannya yang pertama, baik Pengakuan Iman maupun dogmatika kita
adalah bercorak khusus! Allah, yang dimaksudkan dalam Pengakuan Iman, adalah Allah
yang Tritunggal, yang menurut kesaksian Alkitab, telah datang kepada manusia di dalam
Yesus Kristus, dan yang melalui Roh Kudus menyatakan diriNya juga kepada kita kini. Jadi,
mengenai pasal pertama, tidak dapat kita berbicara lepas daripada Kristus. Apakah kalau kita
mengaku “aku percaya kepada Allah”, maka isi pengakuan itu ditentukan oleh percaya kita
kepada Kristus, Tuhan yang hidup. Melalui kebangkitan Kristus, kita tahu, bahwa Betlehem
dan Golgota menyatakan maksud pasal pertama, bukanlah suatu pengertian umum,
melainkan adalah Dia yang disebut Bapa dari Yesus Kristus. Dan hanya melalui Yesus
Kristus dapatlah kita sebutkan Allah itu “Bapa Kami”. Jadi lantaran pasal pertama itu tidak
boleh kita berbicara tentang hakikat Allag dan sifat-sifatNya dengan memberikan suatu
uraian secara akal-budi atau secara filsafat, seolah-olah Allah menjadi salah satu “obyek”
1
Dogmatika masa kini : Hal. 74-77 (ALLAH)
bagi pemikiran kita manusia. Haruslah senantiasa kita insafi, bahwa Pengakuan Iman itu
berbicara tentang Allah yang hidup, yang telah mendatangi kita dengan berfirman kepada kita
dan bertindak terhadap kita. Dengan kata lain : apabila kita berkata “aku percaya akan Allah”,
maka tidaklah kita mengucapkan suatu kebenaran yang bersifat umum, melainkan kita
melakukan suatu pengakuan yang sangat istimewa, konkrit dan radikal. Sambil berdiri di
hadapan Allah yang hidup, kita menyebut namaNya, dan mengaku bersama-sama dengan
Tomas : “ya Allah, ya Tuhanku!” (Yoh.20:28). 2
2
Dogmatika masa kini : Hal.74-77 (ALLAH), Hal.184-185 (ALLAH SERTA MANUSIA), Hal. 334-336 (ALLAH ROH
KUDUS)
sendirilah yang menciptakan hubungan ini : itulah pekerjaan Roh Kudus, yang bersama-sama
dengan Sang Bapa dan Sang Anak adalah Allah yang satu dan esa. 3
Pada masa kita sekarang ini, terutama Karl Barth-lah yang telah mengagetkan Gereja
tentang keberagaman manusia. Ia mulai mengingatkan Gereja kepada perkataan Pengkhotbah
: “Jagalah langkahmu, kalua engkau berjalan ke rumah Allah! Janganlah terburu-buru dengan
mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah,
karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi” (Pkh. 4:17-5:1”. Maksudnya : ada jarak yang
tak terbatas antara manusia dengan Allah. Dalam keagamaan yang demikian, Tuhan sendiri
tetap tersembunyi sama sekali di dalam kekekalanNya. Sebagai “Sang Nasib” yang
mengancam, lagipula sebagai yang tak dapat dikenal, melayang-layanglah Dia di atas
kehidupan manusia.
Adanya dan hidupnya ilah-ilah itu tergantung pada keinginan-keinginan dan pikiran-
pikiran kita; mereka berubah bersama-sama dengan kita. Akan tetapi “Yesus Kristus tetap
sama, baik kemarin maupun hari ini, dan sampai selama-lamanya” (Ibr.13:8). Maka melalui
Yesus Kristus, kita mengaku dengan penuh kesukaan dan syukur : aku percaya kepada Allah
yang telah datang demikian dekat kepadaku, sehingga aku boleh menyebut NamaNya,
malahan boleh berkata “Engkau” kepada-Nya !.
1. Agama Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, di dalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
3
Dogmatika masa kini : Hal.337 (ALLAH ROH KUDUS), Hal. 77-81 (ALLAH DAN PARA ILAH)
Selanjutnya kita lihat di dalam agama Weda, bahwa manusia berusaha menempatkan “daya-
daya kekuasaan” itu kekuasaannya, agar tidak dapat mendatangkan kerugian kepadanya,
melainkan menambah keselamatannya. Bagaimanakah manusia dapat mencapai itu? Dengan
pertolongan ritus (upacara). Kepada daya-daya kekuasaan itu orang dapat memberi kekuatan
baru dengan perantaraan ritus, artinya dengan persembahan-persembahan dan kata-kata.
Yang penting ialah, bahwa segala ritus itu harus dikerjakan tepat menurut aturannya. Di sini
tampaklah suatu hal yang penting sekali di dalam agama Weda: Orang tidak mengenal
kesalehan dalam arti kata yang sebenarnya dan juga tidak mengenal kesusilaan dalam arti
yang sewajarnya.
Apakah sebabnya? Karena di dalam agama ini sebenarnya tidak ada dewa atau dewa-
dewa yang berpribadi dan dengan demikian tidak ada juga nisbah kepribadian antara manusia
dan dewa-dewa itu. Oleh karena itu dosa atau kesalahan di dalam agama Weda mempunyai
arti yang lain sekali daripada apa yang kita namakan dosa atau kesalahan. Yang disebut dosa
di situ ialah sesuatu yang menyalahi tata-tertib yang tetap di dalam alam, misalnya suatu
kesalahan di dalam ritus, melahirkan anak kembar, perkawinan adik mendahului kakaknya,
mengucapkan sesuatu kebohongan. Kepercayaan kepada suatu tata-tertib yang tidak
berpribadi, yang sesungguhnya memerintah segala sesuatu itu, menjelaskan kepada kita
bahwa dewa-dewa itu sebenarnya tetap merupakan daya kekuasaan yang kabur dan tidak
mungkin dapat menjadi kepribadian yang sesungguhnya; mereka sebenarnya hanya
merupakan pengistimewaan daripada tata-tertib yang dan yang menguasai segala-galanya.
2. Agama Buddha
Tentang etimologi (ilmu asal-usul kata) perkataan “Buddha”, kami dapat
mengutarakan, bahwa perkataan itu suatu bentuk dari pokok atau dasar kata kerja “buddh”,
yang artinya bangun. Orang Buddha ialah orang “yang bangun”, artinya orang yang telah
bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah-tengah cahaya pemandangan yang
benar. Selanjutnya seorang yang Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan
kekuatannya sendiri. Jadi ia mencapai pengetahuan itu tidak dengan mendapat wahyu dari
sesuatu Allah, juga tidak dengan mempelajari kitab-kitab suci atau dengan pengajaran
seorang guru.
Di dalam kitab-kitab Buddhis pengertian kasih ini dinyatakan dengan perkataan Pali
“metta” atau dengan perkataan Sansekerta “maitri”. Di satu pihak orang hendak mengatakan
mengatakan bahwa pengertian kasih pada Buddha dan pada Kristus itu sama seluruhnya,
tetapi di lain pihak orang hendak membedakannya dengan menunjukkan, bahwa kasih
Kristen itu bersifat lebih aktif. Tetapi kedua pendapat itu tidak ada yang memuaskan.
Bermacam-macam unsur di dalam pengertian kasih dapat diketemukan di dalam
kesusasteraan buddhis. Kasih ialah “meratakan rasa kasihnya ke” atau juga “menggetarkan
kea rah” atau juga “mengabdi” dan “memelihara”. Sebaliknya kasih Kristus mewujudkan diri
di dalam pengorbanan hidup guna menebus akar segala penderitaan, yaitu dosa dan dengan
demikian terambillah akar penderitaan dan kematian dan terbukalah jalan ke hidup baru yang
sejati.4
4
Ilmu Agama (Dr. A.G HONIG J) : Hal. 80 (AGAMA WEDA), Hal. 165 (AGAMA BUDDHA)
A. KESIMPULAN
Pemahaman tentang Allah menurut Alkitab dapat beragam tergantung pada
interpretasi individu atau denominasi. Secara umum, Alkitab menggambarkan Allah
sebagai entitas ilahi yang memiliki sifat-sifat seperti keadilan, kasih, kekuasaan dan kasih
karunia. Sementara itu, ilah-ilah dalam agama suku sering kali terkait erat dengan
kepercayaan dan praktik local, tergantung pada budaya dan tradisi masyarakat tertentu.
Kesimpulan dari kedua pemahaman ini dapat bervariasi dan kompleks tergantung pada
konteks historis, budaya, dan teologis yang berbeda.
B. DAFTAR PUSTAKA