Anda di halaman 1dari 10

Laporan Bacaan

DOKMATIKA MASA KINI


D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Nama : Lasma Sari Padang

Prodi : PAK

Mata Kuliah : Sistematika II

Dosen Pengampu : Harapan Sitanggang, M.Th

Sekolah Tinggi Teologi Oikumene Injili


(STTOI) Sidikalang
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Tuhan masih memberikan saya
kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan tugas laporan bacaan saya yaitu tentang laporan
bacaan Dokmatika Masa Kini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen
mata kuliah Sistematika II yaitu Bapak Harapan Sitanggang, M.Th serta untuk menambah
wawasan kita tentang buku yang saya baca bagi pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan berterimakasih kepada Bapak Harapan Sitanggang, M.Th selaku dosen
mata kuliah Sistematika II yang telah memberikan tugas ini kepada saya sehingga saya bisa
mendapat pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya menyadari,makalah yang saya tulis ini jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu,kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Sidikalang

Lasma Sari Padang


ALLAH
1. Suatu pengertian umum?
Pada suatu hari Yesus berbicara kepada para murid Nya tentang Allah Bapa. Ketika itu, Filipus
pun berkata: "Tuhan, tunjukkanlah Sang Bapa itu kepada kami!" Yesus menjawab: "Telah sekian
lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa: bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada
kami?" (Yoh 14:8-9).

Apakah barangkali kita tidak ingin bertanya kepada dogmatika: tunjukkanlah sekarang Allah itu
kepada kami, jelaskanlah kepada kami siapakah Dia dan ba gaimanakah Dia? Maka jawaban
Alkitab ialah apabila kamu mau mengetahui siapa Allah dan bagaimana Dia, lihatlah kepada
Yesus Kristus Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah: tetapi Anak Tunggal Allah, yang
ada di pangkuan Bapa, Dialah yang telah menyatakanNya (Yoh 1:18). Dengan menyatakan
dirinya di dalam Yesus Kristus, Allah telah memberi jawab atas perta nyaan, siapakah Dia dan
bagaimanakah Dia.

Bila kita mulai berbicara tentang "Allah", maka ada mengancam suatu salah-paham yang besar.
Yaitu seolah-olah Pengakuan Iman dimulai dengan suatu kata yang umumnya terkenal. Tidakkah
kata "Allah" itu dipergunakan di dalam berbagai-bagai agama dan di dalam pelbagai pandangan-
tentang hidup? Athelsme yang konsekwen (menyangkal adanya Tuhan), jarang ada terdapat.
Kebanyakan orang memang percaya, bahwa ada "Sesuatu" yang dapat disebutkan "Tuhan" atau
"Allah" atau "Yang Maha tinggi" ataupun "Yang Mahakuasa". Memang, ada agama-agama yang
pernah dianggap "lebih rendah", yaitu agama-agama yang di dalamnya manusia memuja banyak
ilah polytheisme). Tetapi ada juga agama-agama seperti agama Yahudi dan agama Islam, yang
bersifat monotheisme (mengakui hanya satu Tuhan) Benarkah, bahwa agama-agama yang
monotheistis itu sama-sama setuju tentang arti pasal pertama ini, yakni: kepercayaan kepada
Allah? Apakah kata "Allah" itu merupakan suatu pengertian: umum?

Pengakuan Iman maupun dogmatika kita adalah bercorak khusus! Allah, yang dimaksudkan
dalam Pengakuan Iman, adalah Allah yang Tritunggal, yang menurut kesaksian Alkitab, telah
datang kepada manusia di dalam Yesus Kristus, dan yang melalui Roh Kudus menyatakan
diriNya juga kepada kita kini.

Jadi, mengenai pasal pertama, tidak dapat kita berbicara lepas daripada Kristus. Apakah kalau
kita mengaku "aku percaya kepada Allah", maka isi pengakuan itu ditentukan oleh percaya kita
kepada Yesus Kristus, Tuhan yang hidup. Melalui kebangkitan Kristus, kita tahu, bahwa
Betlehem dan Golgota menyatakan kepada kita, siapakah Allah dan bagaimana Dia. Allah, yang
di maksudkan dalam pasal pertama, bukanlah suatu pengertian umum, melainkan adalah Dia
yang disebut Bapa dari Yesus Kristus. Dan hanya melalui Yesus Kristus dapatlah kita sebutkan
Allah itu "Bapa kami".
Lagipula hanya pasal pertama dari Pengakuan Iman itu dapat kita iakan melalui Roh Kudus,
yang menyatakan kepada kita Kebenaran yang dari Allah. Jadi lantaran pasal pertama itu tidak
boleh kita berbicara tentang hakekat Allah dan sifat-sifat Nya dengan memberikan suatu uraian
secara akal-budi atau secara filsafat, seolah-olah Allah menjadi salah satu "obyek" bagi
pemikiran kita manusia. Haruslah senantiasa kita insafi, bahwa Pengakuan Iman itu berbicara
tentang Allah yang hidup, yang telah mendatangi kita dengan berfirman kepada kita dan
bertindak terhadap kita.

Dengan kata lain: apabila kita berkata "aku percaya akan (atau kepada) Allah", maka tidaklah
kita mengucapkan suatu kebenaran yang bersifat umum, melainkan kita melakukan suatu
pengakuan yang sangat istimewa, konkrit dan dikal. Sambil ber diri di hadapan Allah yang
hidup, kita menyebut namaNya, dan mengaku bersama-sama dengan Tomas: "ya Allah, ya
Tuhanku!" (Yoh 20:28). Dapatkah dan beranikah kita melakukan dogmatika dengan tetap
menginsafi, bahwa kita berdiri di hadapan Tuhan yang hidup? Ada baiknya, kalau kita terkejut
dan ragu ragu sebentar. Sebab "berdogmatika" adalah usaha yang berba haya. Sama bahayanya
seperti bermain-main dengan api (Ibr 12:29).

2. Allah dan para ilah


Sahabat-sahabat Ayub menyangka, bahwa mereka memang telah mengenal Allah dan sudah
cukup mengerti. Sesuai dengan ilmu theologia zamannya, mereka berbicara tentang soal-soal
dogmatika dan etika dengan lancar dan logis sekali. Juga Ayub yang saleh itu mengira, bahwa ia
mengenal Allah, dan ia lebih berhak menyangka demikian daripada sahabat-sahabatnya. Akan
tetapi ketika Allah menyatakan Diri dengan berfirman dari tengah-tengah angin ribut, maka
semuanya harus diam. Sedangkan Ayubpun akhirnya harus mengakui, bahwa dahulu ia hanya
mendengar tentang Allah secara tradisi (Ayub 42:5).

Bahaya yang selalu mengancam ialah: bahwa kepercayaan kepada Allah yang hidup itu kita
ganti dengan hanya mempunyai suatu pengertian-tentang Allah atau suatu pandangan tentang-
Allah. Artinya, bahwa sebenarnya kita menganut sesuatu ilah, yang adalah ciptaan pikiran atau
kesalehan kita

Jadi, kemungkinan pertama ialah, bahwa dengan demikian Allah itu dijadikan seperti seorang
kenalan baik, yang dengannya kita mencoba "berdamai", Manusia senantiasa pula berusaha un
tuk mengikat Allah kepada keinginan-keinginan dan cita-citanya sendiri. Kita membuat Dia
menjadi misalnya Allah dari "agama kita" atau Allah dari mazhab theologia kita. Kita membuat
Dia menjadi kawan dalam perjuangan kita di lapangan politik, atau seorang dukun dalam
keadaan sakit, atau suatu dasar yang kukuh untuk perkumpulan-perkumpulan kita, atau
seseorang yang kepadanya tanpa risiko dapat mengakui segala dosa kita yang tersembunyi.
Demikianlah kita menciptakan suatu ilah, sebagai mana kita inginkan seseorang yang dapat kita
mengerti, yang bersahabatan dengan kita, yang tingkah lakunya dapat kita tangkap, yang kita
mau memaksa untuk memberikan berkatnya, dan jika ia tidak segera dan cukup menolong kita,
maka kitapun menuntut daripadanya pertanggungan-jawab. Bukankah lantaran itu, bahwa kita di
dalam Gereja seringkali begitu lancar dan mudah berbicara tentang Allah ?

Akan tetapi ada juga kemungkinan kedua, jika manusia menciptakan bagi dirinya suatu
pengertian-tentang-Allah dan dengan demikian menciptakan suatu ilah. Itulah kebalikannya
bahwa manusia menciptakan baginya suatu Ilah, yang begitu Jauhnya, yang sama sekali tak
dapat dicapai, yang bersemayam begitu tinggi di surga, sehingga sebenarnya kita tidak dapat
mempunyal hubungan apapun dengan Dia. Akibatnya ialah, bahwa manusia hanya berpegang
kepada suatu Kitab dengan segala perintahnya, atau kepada suatu agama yang "diturunkan" oleh
Allah, ataupun kepada seorang Guru yang diutusNya untuk menyampaikan kepada kita suatu
ajaran-hidup. Dalam keagamaan yang demikian, Tuhan sendiri tetap tersembunyi sama sekali di
dalam kekekalanNya. Sinar kekudusanNya menyilaukan mata manusia, sehingga ia tidak berani
menengadah. Alkitab memberitakan kepada kita suatu kebenaran yang lain Dan kebenaran ini
sama sekali tak dapat dibayangkan, sehingga tak pernah timbul dalam hati manusia (1 Kor 2:9).
Yaitu: bahwa Allahi telah menyatakan Diri di dalam Yesus orang Nazaret itu, bahwa la telah
menjadi manusia seperti kita (namun dalam pada itu la tetap Tuhan !). Yesus Kristus telah
menjadi sama dengan kita dalam segala hal (terkecuali dalam hal dosa). Oleh Yesus Kristus
dapatlah kita kini memberanikan diri untuk langsung menghampiri takhta kasih karunia Allah
(Ibr 4:16). Allah bukanlah Allah yang jauh, yang tak dapat dihampiri, yang tak dapat dimintai
doa. la sendiri telah datang kepada dunia kita ini, dan berkenan datang juga kepada kita kini,
sehingga kita boleh hidup dalam persekutuan yang langsung dan yang pribadi dengan Dia. Kita
diperbolehkan menyebut NamaNya, ya, kita boleh berkata... "Engkau kepada Allah! Dalam
kedatangan Yesus Kristus, Allah yang hidup itu telah menyatakan Diri sebagai Dia yang
sungguh-sungguh Allah serta sungguh-sungguh manusia.

Apabila Allah yang hidup itu datang kepada kita, maka kita pun dimerdekakan dari
penyembahan kepada ilah-ilah, baik yang kasar maupun yang sangat halus coraknya (seperti
ilahnya para filsuf). Adanya dan hidupnya ilah-ilah itu tergantung pada keinginan-keinginan dan
pikiran-pikiran kita; mereka berubah bersama-sama dengan kita. Akan tetapi "Yesus Kristus
tetap sama, baik kemarin maupun hari ini, dan sampai selama-lamanya" (Ibr 13:8). Ayat itu
memperingatkan kita Allah merdeka, la hidup dalam kemerdekaan, la tidak tergantung kepada
kita. Ayat itu juga menghiburkan kita: kemerdekaanNya tidaklah sewenang-wenangnya; di
dalam kemerdekaanNya itu la mengasihi kita dan dalam kasihNya itu la tidak berubah-ubah.

Apabila kita bertemu dengan Allah yang hidup, yang menyatakan diriNya di dalam Yesus
Kristus, maka dengan terkejut kita menyadari, bahwa dahulu kita menyembah banyak ilah yang
tidak ada artinya, yang telah kita ciptakan menurut gambar kita sendiri. Maka melalui Yesus
Kristus, kita mengaku dengan penuh kesukaan dan syukur aku percaya kepada Allah yang telah
datang demikian dekat kepadaku, sehingga aku boleh me nyebut NamaNya, malahan boleh
berkata "Engkau" kepada Nya !
3. Allah di dalam penyataanNya
Memanglah benar, bahwa Allah hanya dapat dikenal melalui dan dengan perantaraan Allah
sendiri. Tetapi Allah sudah menyatakan Diri dalam kedatangan Yesus Kristus; dan oleh Roh
Kudus la membuat kita mengenal Dia. Dengan kata lain: sesungguhnya kita dapat mengenal
Allah, sebab la menyatakan diri. Apakah kita bertanya "siapakah Allah"? dan "bagaimanakah
Allah itu?", maka jawabnya ialah Allah adalah sebagaimana, ia ada dalam menyatakan Diri di
dalam Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus. Maka kita teruskan dengan bertanya siapakah dan
bagaimanakah Allah dalam penyataanNya ? Dalam menjawab pertanyaan itu, kami menyebut
tiga hal yang berikut:

Pertama "penyataan" adalah perbuatan Allah. Di dalam nya tersimpul jawaban pertama atas
pertanyaan tadi. Allah bukan hanya "berada" saja, la bukanlah suatu "keberadaan yang bugil",
yang tidak bergerak. Ia adalah Allah yang bertindak, Allah yang berfirman: dan firmanNya
serentak merupakan perbuatanNya. Sebagai Allah yang Tritunggal la telah mendatangi manusia
dan berkenan juga mendatangi kita, sehingga di dalam percaya sungguh kita alami
perbuatanNya. Itulah sebabnya di dalam Alkitab sering kita baca ungkapan "Allah yang hidup"

Dapat juga kita katakan begini: Allah bukanlah "Sesuatu" melainkan la ber-Pribadi. Ungkapan
itu sering menimbulkan salah-paham, seolah-olah maksudnya ialah bahwa Allah bertubuh seperti
manusia. Tidak! Di dalam Alkitab ditegaskan, bahwa Allah itu Roh (Yoh 4:24). Akan tetapi bila
dikatakan, bahwa "Allah itu Roh", maka tidaklah dimaksudkan bahwa Allah ada lah "sesuatu"
yang tidak ber-pribadi, yaitu sesuatu yang abstrak ataupun yang samar-samar, ataupun sesuatu
"tenaga" seperti misalnya tenaga listrik. Justru Alkitab, yang berkata bahwa Allah adalah Roh,
berbicara secara konkrit dan realistis sekali tentang Allah yang ber-Pribadi, artinya Allah yang
hidup dan berfirman dan bertindak!

Jadi, dengan tegas Alkitab mengatakan Allah itu Roh. Tetapi justru Alkitab berbicara sangat
realistis dan konkrit tentang Allah la adalah Allah yang bertindak Dan demikianlah la hidup
sebagai Allah yang bertindak Demikianlah hakekatNya, artinya demikianlah la hidup dalam
diriNya sendiri. HidupNya adalah perbuatanNya PenyataanNya adalah perbuatanNya. Perbuatan
itu ditujukan kepada dunia dan manusia. Jadi jawaban pertama atas pertanyaan "siapakah dan
bagaimanakah Allah itu?", adalah Allah itu Roh yang ber-Pribadi, yang hidup, yang berfirman,
yang bertindak.

Kedua: "penyataan" berarti, bahwa Allah mendatangi kita sebagai Allah yang adalah Kasih. la
menciptakan perhubungan, malah persekutuan antara Dia dengan kita manusia. Perbuatan Nya di
dalam penyataan itu adalah perbuatan yang timbul dari kasihNya. Bila kita bertanya "siapakah
dan bagaimanakah Allah itu?", maka jawaban kedua ialah: Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8, 16).
KasihNya bukanlah suatu pengertian yang statis, me lainkan suatu realitet yang dinamis: Allah
adalah Yang Mengasihi. Tidak boleh kita balikkan kalimat tadi, sehingga menjadi : Kasih adalah
Allah. Ucapan demikian akan berarti, bahwa kita memperilah sesuatu "Idee" atau pengertian
yang abstrak. Tetapi kasih Allah ditujukan secara konkrit sekali kepada dunia kita.dan kepada
diri kita sendiri. Justru dalam bagian surat Yohanes (1 Yoh 4:7-17) sampai tiga kali diulang,
bahwa inilah kasih Allah : bahwa la telah mengutus Yesus Kristus, Juruselamat dunia, se bagai
perdamaian untuk dosa kita. Oleh kebangkitan Yesus Kristus tahulah kita, bahwa Betlehem dan
Golgota menyatakan kepada kita, siapakah dan bagaimanakah Allah, yakni bahwa Allah adalah
Kasih.

Jadi, penyataan Allah berarti, bahwa Kasih Allah datang kepada kita. Lebih konkrit lagi bahwa
Keselamatan datang kepada kita. Demikianlah Allah dalam menyatakan diriNya; demikianlah
juga la di dalam diriNya sendiri; demikianlah la hidup; demikianlah hakekatNya Allah adalah
Kasih.

Ketiga: "penyataan" berarti, bahwa dalam kedaulatan Nya yang merdeka Allah telah berkenan
untuk datang kepada kita. Bila kita bertanya "siapakah dan bagaimanakah Allah itu?", maka
dapatlah disebutkan kata kemerdekaan, dan dengan ini kita dapat menunjuk ke arah jawaban
yang ketiga. Inilah sungguh suatu kata yang beraib dan yang banyak disalah-gunakan! Apa kah
kemerdekaan itu? Apakah kemerdekaan yang sesungguhnya? Apakah kemerdekaan Allah? Kita
tak dapat menentukan isinya dengan bertolak dari apa yang kita sebut "kemerdekaan", lalu
mengenakannya kepada Allah (misalnya dengan tambahan "seratus persen"). Seringkas-
ringkasnya dapat dikatakan, bahwa "kemerdekaan Allah" berarti bahwa Allah itu Allah, bukan
manusia dan bukan pula ilah.

Biasanya hal itu dijelaskan dengan (1) menggunakan kata trans kendent (atau transenden; dari
katakerja Latin "trans-cen dere" = berada di atas, mengatasi, melebihi, melampaui dan
sebagainya). Maksudnya ialah, bahwa Allah berada di atas (atau : melampaui batas-batas) segala
yang dijadikanNya, merdeka dari segala sifat terbatas yang terdapat pada makhluk-makhluk.
Sebab itu gereja harus menolak pantheisme, karena menurut pandangan pantheisme, Allah
bukanlah "transkendent" melainkan hanya immanent saja (katakerja Latin "immanère" = tinggal
pada sesuatu, menetap di dalam sesuatu). Pantheisme berarti, bahwa sebenarnya Allah tidak ber-
Pribadi, melainkan merupakan "sesuatu" atau "yang ilahi", yang terdapat di dalam segala sesuatu
yang hidup di dunia ini ("pan" = Yunaninya untuk "segala sesuatu"). Dalam pantheisme, Allah
tidak merdeka lagi; untuk bertemu dengan Dia bukanlah merupakan soal penyataan, melainkan
hanyalah soal usaha manusia dan jiwanya Akan tetapi Allah yang hidup itu bertindak serta
menaruh kasih dalam kedaulatanNya yang merdeka, dalam kemerdekaanNya yang berdaulat!

Dalam berbicara tentang kemerdekaan Allah, dapat juga kita pergunakan (2) kata "mutlak".
Akan tetapi haruslah kata itu kita artikan sesuai dengan isi Alkitab, bukan berdasarkan ilmu
filsafat. Yakni sebagai berikut: Allah itu Allah; tidak seorangpun yang seperti Dia; Ia adalah
Alpha dan Omega, yang awal dan yang akhir, yang Pertama dan yang Penghabisan. Makanya
Yesus dapat berkata tentang diriNya, bahwa la adalah Jalan (= satu satunya Jalan), adalah
Kebenaran (= Kebenaran yang sesungguh nya) dan adalah Kehidupan (= Kehidupan yang sejati).
Lihat Yoh 14:6.
Kepada kemerdekaan Allah inipun menunjuk juga (3) perkataan "Allah itu Roh" (Yoh 4:24).
Dalam filsafat Yunani, "roh" (Yunaninya "pneuma") merupakan lawan "tubuh" atau "yang
jasmani". Tetapi tidaklah demikian halnya di dalam Alki tab. Malahan Alkitab dapat juga
mempergunakan ungkapan "tu buh rohani" (1 Kor 15:44), sebab bukanlah "roh" dan "tubuh"
yang merupakan pertentangan yang sedalam-dalamnya. Di dalam Perjanjian Baru selalu
dikemukakan pertentangan antara "Roh" (= Roh Allah) dengan "sarx".

Ringkasnya dengan kata "kemerdekaan" itu ditegaskan, bahwa Allah adalah Allah. Ia tidak
terikat kepada segala yang dijadikan. Ia tidak terikat pula kepada pandangan-pandangan kita,
misalnya mengenai apa yang "baik", apa yang "jahat", apa yang "diperlukan" dan apa "kasih" itu.
Di dalam masa kesesakan yang hebat, sering orang bertanya: Allah adalah kasih? Akan tetapi
pertanyaan sedemikian membuktikan bahwa soalnya telah kita balikkan telah kita tentukan
apakah yang kita anggap sebagai "kasih", lalu kita anggap bahwa "kasih adalah Allah". Tetapi
Allah tidak terikat kepada pengertian kita tentang "kasih" dan sebagainya. Ia merdeka. Sebab la
adalah Allah.

Sebagai manusia, hanya dapat kita insafi kemerdeka an yang sesungguhnya itu, jika kita berada
"di dalam Kristus" dan dengan demikian menjadi "ciptaan baru" (2 Kor 5:17). Kata
"kemerdekaan" memperingatkan kita : Allah bukanlah manusia dan bukanlah ilah. Tetapi
serentak hal itu berarti penghiburan. Sebab dengan demikian Allah yang menjadi Tuhan kita itu
adalah Allah yang hidup, Allah yang satu-satunya, Allah yang merdeka dan...... yang sungguh
dapat memerdekakan kita manusia dari kuasa dosa, iblis dan maut (Yoh 8:36).

Siapakah Allah? Bagaimanakah Allah? Dari penjelasan di atas mulai menunjukkan kepada
jawabannya dengan mengemukakan tiga perkataan; penyataan Allah bersaksi tentang
perbuatanNya, tentang kasihNya, tentang kemerdekaanNya. Apabila di dalam dogmatika kita
mencoba berbicara tentang Allah, maka soal yang pertama dan yang penghabisan adalah apakah
kita mengaku percaya kepada Allah itu? Dan dalam kepercayaan yang sungguh-sungguh ada
terkandung, bahwa kita mempercayakan diri sendiri kepada Allah, sekarang dan untuk selama-
lamanya. Dalam percaya yang demikian itu tersimpul segala sesuatu yang kita perlukan, pada
waktu hidup maupun pada waktu mati. Sebab Allah yang dimaksudkan di dalam Pengakuan
Iman adalah Allah Tritunggal Bapa, Anak dan Roh Ku dus; yaitu Khalik, Pendamai dan Pelepas-
Allah yang hidup, Allah yang demi kasihNya yang mengherankan, mendatangi kita dan
mengadakan persekutuan dengan kita, agar supaya di dalam Dia kita memperoleh Keselamatan.
Hendaknya kita, dengan penuh hormat dan takut, tetapi juga dengan penuh kesukaan dan ucapan
syukur, tunduk di hadapan hadiratNya serta berkata; "ya Allah, ya Tuhanku!"

4. Allah dan segala kesempurnaanNya

Di dalam dogmatika Kristen dan buku-buku katekisasi kita, sifat-sifat Allah pernah dibagi atas
dua golongan. Pertama: sifat-sifat yang di dalamnya manusia tidak ambil bagian (jadi sifat-sifat
yang hanya dapat dikatakan tentang Allah), seperti ketidak-bergantungan kepada siapa dan
apapun, ketidak-berubahan, keesaan, kehadiran di mana-mana, kekekalan. Kedua: sifat-sifat
yang di dalamnya manusia sekedar ambil bagian (jadi sifat-sifat yang ternyata juga ada sedikit
dalam diri manusia), seperti hikmat, mahatahu, mahakuasa, kesetiaan, keadilan, kesucian,
kebaikan, belas-kasihan, pengasihan.

Karl Barth berbicara tentang segala kesempurnaan Allah dengan menghubungkannya kepada (a)
kasih Allah, (b) kemerdekaan Allah. Lalu sebagai kesempurnaan-kesempurnaan yang tergolong
kepada kasih, ia menguraikan : 1. rahmat Allah dan kekudusanNya, 2. belas-kasihan Allah dan
keadilanNya (kebenaran Nya), 3. kesabaran Allah dan hikmatNya. Sebagai kesempurnaan-
kesempurnaan yang tergolong kepada kemerdekaan Allah, ia menguraikan : 1. keesaan Allah dan
kehadiranNya di mana-mana, 2. kesetiaan Allah (ketidak-berubahan) dan mahakuasaNya, 3.
kekekalan Allah dan kemuliaanNya.

Pertama-tama, harus diberi ingat, bahwa penggunaan kata sifat-sifat sangatlah mudah
menimbulkan salah-paham. Kita dapat berbicara tentang sifat-sifat logam tertentu; akan tetapi
logam itu adalah barang yang mati. Kita juga misalnya dapat menganalisir sekuntum bunga, lalu
menyebut bagian-bagiannya; tetapi dengan begitu bunga itu dimatikan. Dengan cara demikian
tidak dapat dan tidak boleh kita berbicara tentang Allah yang hidup. Allah bukanlah sesuatu
pengertian, yang dapat kita pecahkan menjadi sejumlah bagian-bagian tertentu. Allah bukanlah
merupakan hasil penjumlahan sejumlah "sifat-sifat". Demikianlah bahayanya, apabila "percaya
kepada Allah" itu dibicarakan semata-mata dengan membentangkan "sifat-sifatNya".

Kata "sifat-sifat" adalah terlampau netral dan "obyektif", seolah-olah hati dan hidup kita tidak
ada sangkut-pautnya dengan pokok ini. Sebab itu ada yang lebih suka berbicara tentang
"perbuatan-perbuatan besar Allah" (1 Ptr 2:9). Kami lebih suka mempergunakan ungkapan
kesempurnaan-kesempurnaan. Sebab tiap "sifat" merupakan kesempurnaan Allah yang esa, dan
salah satu sifat tidak lepas dari segala kesempurnaan bersama-sama. Tidak boleh kita memisah-
misahkan "sifat" itu satu sama lain, apa lagi mempertentangkan dua macam sifat (misalnya
keadilan dan belas-kasihan) sedangkan yang ketiga (misalnya hikmat) mengimbangi kedua tadi.

Bahaya yang terbesar dalam membicarakan "sifat-sifat Allah" itu ialah: bahwa kita
menguraikannya secara akal-budi melulu, secara filsafat! Kalau demikian, maka hasilnya ialah
bah wa uraian-uraian tentang pokok ini sebenarnya tak ada sangkut pautnya lagi dengan percaya
yang sesungguhnya. Berdogmatika secara itu berarti, bahwa daftar sifat-sifat Allah kita hafalkan,
lalu menyangka: nah, sekarang tahulah kita sudah, sekarang jelaslah kepada kita, siapa Allah dan
bagaimana Dia! Tetapi da lam membicarakan pokok inipun haruslah nyata, bahwa dogmati ka
adalah usaha yang praktis, yang bersangkut-paut dengan pem beritaan serta pengakuan Gereja,
malahan yang berarti bagi hidup kita sehari-hari.

Mengenai "sifat-sifat Allah", justru besar sekali bedanya antara menguraikan secara akal-budi
dan membicarakannya secara dogmatika. Baiklah kami jelaskan hal itu dengan suatu contoh.
Apakah artinya, bahwa Allah itu mahakuasa? Dalam mem bicarakan soal itu secara akal-budi,
pernah seseorang mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan sebagai berikut: "Seandainya Allah
membuat sebuah batu yang sebesar mungkin, akan sanggupkah Ia mengangkatnya?" Tetapi
apabila kita bertanya kepada Alkitab (yang menjadi ukuran bagi dogmatika), apa artinya, kalau
Allah itu dikatakan mahakuasa, maka jawab yang konkrit sekali, yang menyangkut segenap diri
saya, ialah; karena kuasa Allah, Yesus Kristus telah bangkit dari orang-orang mati (2 Kor 13:4);
malah karena kuasa ini, engkaupun dapat diselamatkan (Mat 19:25-26). Sesungguhnya berbicara
secara akal-budi melulu tentang "sifat-sifat Allah" adalah bahwa kepada kita diberikan "batu
sebagai ganti roti" (Mat 7:9). Dogmatika tidak mempedulikan batu-batu demikian, tetapi mau
menunjuk kepada "roti hidup"! (Yoh 6:35).

Dogmatika ada sangkut-pautnya dengan pemberitaan Gereja tentang Keselamatan yang datang
kepada kita. Sebab itu dogmatika menjadi seperti suatu nyanyian-pujian. Hanya dengan cara
begitulah boleh kita berbicara tentang segala kesempurnaan Allah, yakni dalam hubungannya
dengan pemberitaan atau khotbah yang ditujukan kepada diri saya sendiri, dan sebagai nyanyian-
pujian yang dinyanyikan untuk memuliakan Allah. Sebab Allah yang dimaksudkan dalam bab
pertama itu bukanlah suatu "Ilah-yang-am", melainkan Allah yang hidup, yang telah menyatakan
Diri di dalam Yesus Kristus. Demikianlah pembicaraan tentang segala kesempurnaan Allah
mendapat arti yang praktis bagi kehidupan Kristen.

Anda mungkin juga menyukai