Anda di halaman 1dari 3

Selamat Tinggal Diriku!

(Lukas 3:15-22)

Saudara, tahun yang baru menjadi sebuah penanda bagi kita akan usia yang juga bertambah, atau
bahasa simple-nya “kita semua pasti akan bertambah tua”. Dan kita tidak bisa menolak pertambahan
usia karena memang hidup kita terbingkai dalam waktu. Tapi tentu kita juga menyadari bahwa
pertambahan usia tidak menjadi jaminan bahwa seseorang bertumbuh menjadi pribadi yang
semakin dewasa, semakin berhikmat, dan semakin berkenan di hadapan Allah.

Malah justru kadang kita juga mendengar cerita bahwa orang yang semakin tua itu bisa saja semakin
menjadi kekanak-kanakan. Menjadi kanak-kanak ini bukan berarti harus tidur siang, tidurnya gak
bisa malam-malam, makannya pilih-pilih atau susah makan, tapi menjadi kanak-kanak ini berbicara
soal sifat. Anak-anak itu kan pada umumnya memang masih memikirkan dirinya sendiri, tidak berani
bertanggung jawab untuk tindakan yang dilakukan, dan bukan tidak mungkin hal ini juga kita
temukan dalam diri orang-orang tua.

Menjadi tua bukan menjadi semakin matang dalam mengelola emosi, bukan menjadi semakin
berhikmat dalam menghadapi berbagai situasi, tapi bisa jadi justru semakin dikendalikan emosi dan
seenaknya sendiri. Nah itulah mengapa kita tentu tidak asing dengan ungkapan yang mengatakan
demikian, “menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan”. Getting old is mandatory, but
growing up is a choice.

Mengapa menjadi dewasa itu pilihan saudara? Karena untuk bertumbuh menjadi pribadi yang
semakin matang, untuk bertumbuh menjadi pribadi yang serupa dengan Kristus itu diperlukan upaya
yang aktif, serius, dan konsisten dari dalam diri kita, pun juga keterbukaan kita untuk hidup dipimpin
oleh Roh Kudus. Dan pesan untuk terus bertumbuh ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak kecil dan
orang-orang muda saja saudara. Tetapi berapapun usia kita, pesan ini tetap relevan buat kita karena
hidup beriman tidak pernah berhenti pada satu titik, entah pada fase ataupun usia tertentu, tetapi
hidup beriman senantiasa mendorong kita untuk terus bertumbuh dalam iman dan pengenalan akan
Tuhan.

Jadi jangan pernah berpikir bahwa kalau saya sudah selesai ikut kelas katekisasi, sudah sidi ataupun
baptis dewasa, maka selesailah sudah proses pembelajaran saya untuk lebih mengenal Tuhan.
Karena kalau kita punya pemikiran seperti ini maka bisa jadi setelah seseorang dibaptis atau sidi,
langsung tak terlihat lagi kehadirannya di gereja karena merasa sudah tuntas jadi orang Kristen. Yang
penting sudah dibaptis, sudah diselamatkan, wis aman.

Nah hari ini pada Minggu Yesus Dibaptis, kita sekali lagi diajak untuk merenungkan kembali, bahwa
sebetulnya apa sih makna dari baptisan itu? Apakah baptisan hanya perkara soal kita mendapatkan
jaminan keselamatan? Nah saudara, memang betul bahwa sebagai salah satu sakramen, baptisan
menjadi tanda akan anugerah keselamatan Allah bagi umat yang percaya padaNya. Namun kalau kita
memahami akar kata “baptisan”, maka kita akan melihat baptisan bukan hanya sebagai sebuah
tanda atau ritual belaka, melainkan juga sebagai sebuah komitmen dan panggilan seumur hidup.

Saudara, kata “baptisan” itu berasal dari bahasa Yunani yaitu baptizo yang secara harafiah artinya
membersihkan, menyucikan, dan membenamkan. Maka ketika seseorang menerima baptisan, ia
dibersihkan, disucikan, dan dibenamkan dari kehidupannya yang lama supaya setelahnya ia hidup
sebagai ciptaan yang baru. Baru ini tentu tidak berarti penampilan yang baru, ganti wajah gitu misal
tapi “baru” ini berbicara tentang kualitas hidup yang dibarui dan ditransformasikan secara total dan
permanen. Kita tidak lagi diperbudak oleh dosa tetapi hidup sebagai anak-anak Allah, sebagaimana
tema ibadah kita minggu lalu.

Nah itulah mengapa air menjadi media pembaptisan karena air sendiri memiliki fungsi
membersihkan. Tetapi yang menarik saudara, kalau melihat dalam Bacaan Injil kita, di sini kita akan
menemukan bahwa betapa berkuasanya Yesus Sang Mesias yang kita imani. Yohanes Pembaptis
yang pada kala itu dianggap Mesias, tetapi dengan rendah hati Ia menyatakan keagungan Sang
Mesias. Kita perhatikan apa yang dikatakan Yohanes dalam Lukas 3:16, “Aku membaptis kamu
dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku … Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus
dan dengan api”.

Saudara, tentulah Yohanes tidak berbicara secara harafiah di sini bahwa kita akan dibaptis dengan
api. Kalau benar begitu serem juga yang ada nanti kita kebakar hehe. Tetapi Yohanes ingin
menyampaikan begini. Ketika Yohanes memberikan baptisan pertobatan dengan air sebagai simbol,
maka baptisan itu tak akan bermakna apapun jika tidak dilandasi dengan kuasa Sang Mesias yang
memurnikan dan menguduskan hidup orang percaya (dan inilah yang dimaksud dengan api sebagai
simbol pemurnian), pun juga baptisan tidak akan bermakna tanpa kuasa Sang Mesias yang mampu
mengaruniakan Roh Kudus sebagai pribadi yang menginsafkan manusia akan dosa-dosanya, yang
membantu manusia memahami kebenaran Allah serta memampukan setiap orang percaya untuk
terus-menerus membarui dirinya.

Oleh sebab itu frasa “membaptis dengan Roh Kudus” itu tidak merujuk pada tindakan ritual lain
saudara. GKI tidak memisahkan antara baptisan percik dengan baptisan roh, karena baptisan percik
selalu dilayankan pada seseorang dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang mana berarti bahwa
Roh Kudus telah dicurahkan atas kita. Bahkan kalau kita membaca 1 Korintus 12:3 di sana tertulis
demikian, “tidak ada seorang pun yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus”.
Maka ketika kita percaya pada Kristus, itu semua pun hanya terjadi karena karya Roh Kudus.

Tetapi pertanyaannya adalah sudahkah kita terbuka pada karya Roh Kudus untuk membimbing kita
pada upaya pembaruan yang tak pernah putus? Atau jangan-jangan kita masih memilih untuk hidup
dibimbing oleh hawa nafsu, kedagingan dan keakuan dalam diri kita? Saudara, ada sebuah quote
terkenal yang mungkin sering kita dengar. Quote tersebut mengatakan demikian, “all growth starts
at the end of your comfort zone”. Pertumbuhan itu terjadi ketika kita keluar dari zona nyaman kita.

Barangkali memang musuh utama kita untuk tidak bertumbuh adalah rasa nyaman dan egoisme
dalam diri, saudara. Sama halnya seperti kita yang merasa berat, sedih, dan mungkin juga marah
ketika kita harus ditinggalkan orang yang kita sayang, atau kalau bahasa anak muda “ditinggal pas
lagi sayang-sayangnya dan nyaman-nyamannya”, berat juga bagi kita untuk meninggalkan pola
hidup yang membuat kita nyaman. Dan mungkin kita berpikir bahwa dengan saya bertumbuh,
dengan saya berubah malah akan ada banyak hal yang merugikan saya.

Saudara, kehadiran Roh Kudus dalam diri kita tak berarti bahwa hidup akan menjadi nyaman dan
mudah. Coba kita perhatikan lagi Alkitab kita. Setelah di Lukas 3 Yesus dibaptis dan Roh Kudus turun
atasNya, apa yang terjadi? Di Lukas 4 kita membaca kisah tentang Yesus yang dicobai. Tetapi, Yesus
bisa melalui pencobaan itu karena penyertaan Roh Kudus dalam diriNya. Demikian juga halnya
dengan kita. Proses pertumbuhan dan pembaruan diri memang tidaklah mudah, tetapi Roh Kudus
yang ada dalam diri akan memberikan kita penyertaan ketika melewati berbagai kesulitan, kekuatan
di kala kita merasa tak berdaya, dan hikmat untuk memahami kebenaranNya.

Pada akhirnya ketika kita telah memberi diri untuk dibaptis, berarti kita pun juga berkomitmen untuk
terus-menerus membarui diri. Jangan pernah bandingkan diri kita dengan orang lain, tapi
bandingkanlah diri kita hari ini dengan diri kita kemarin, sudahkah kita bertumbuh menjadi pribadi
yang semakin dikehendaki Allah dan perlahan meninggalkan segala pola hidup yang tak berkenan di
hadapanNya? Selamat Tinggal Diriku, tak berarti bahwa kita harus menjadi orang lain. Namun, kita
diajak untuk menanggalkan keakuan dalam diri yang dapat membawa kita menjauh dari
kebenaranNya, dan menerima serta menghidupi nilai-nilai kebenaran firman Allah sebagai bagian
dari diri kita. Tuhan memberkati kita. Amin.

Anda mungkin juga menyukai