Anda di halaman 1dari 4

Maafin Ya

(Kejadian 33:1-20)

Nah adik-adik, siapa di sini yang pernah merasa terluka oleh perilaku atau perkataan orang lain?
Boleh cerita? (bertanya pada mereka). Kalau merasa terluka atau kesal pada orang lain sampai
akhirnya berantem pernahkah? (bertanya pada mereka) Waduh. Oke adik-adik. Pada umumnya
kalau kita disakiti oleh seseorang, entah itu dibohongin, diejek, dan di di yang lain sebagainya, kita
tentu akan merasa sedih, marah, jengkel, kecewa, dan rasanya pengen membalas apa yang dilalukan
oleh orang tersebut.

Bahkan sebisa mungkin membalasnya berkali-kali lipat lebih sakit daripada yang kita rasakan seolah-
olah kita ingin menunjukkan bahwa kita kuat. Kita berani. Kita juga bisa loh melakukan apa yang
kamu lakukan. Tapi sebetulnya kalau adik-adik disakiti lalu memilih untuk marah dan membalas, di
mata Tuhan kalian adalah pribadi yang lemah, bukan pribadi yang kuat! Kenapa?

Karena kalian memilih untuk dikendalikan emosi dan perilakunya oleh orang lain. Coba sekarang
kita ingat-ingat lagi yah. Kebanyakan orang yang tertangkap polisi karena melakukan satu kejahatan,
katakanlah memukuli orang. Ketika ditanya kenapa kamu pukul dia? Maka pasti jawabannya adalah
apa? Ya karena dia sudah duluan bohongin saya, karena dia sudah duluan ngatain saya, makanya
saya pukul. See, dia melemparkan kesalahannya pada orang lain.

Itu kan lemah sebenarnya. Berarti kita sedang membiarkan perilaku dan perasaan kita dikendalikan
orang lain. Padahal bukankah seharusnya Roh Kudus dalam diri yang menuntun kita sehingga kita
dapat mengendalikan atau menguasai diri kita, dan bukan orang lain? Bener gak? Orang bisa
melakukan sesuatu yang menyakiti kita dan itu di luar kontrol kita. Tapi fokus kita adalah pada
bagaimana respon kita setelah kita disakiti. Dan hari ini kita mau belajar lebih jauh tentang
bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai anak-anak Tuhan ketika kita disakiti.

Well adik-adik, kita coba lihat lagi bacaan kita ya. Tadi kita membaca kisah tentang siapa ya adik-
adik? (Bertanya pada mereka). Betul, Esau dan Yakub. Mereka ini hubungannya apa adik-adik?
(meminta mereka menjawab) Mereka adalah saudara kembar, tetapi memang Esau yang lahir
terlebih dulu barulah setelah itu Yakub.

Nah apa yang terjadi di antara mereka sampai-sampai judul perikop yang kita baca adalah “Yakub
berbaik kembali dengan Esau”? (meminta mereka menjawab). Jadi perselisihan di antara kedua
saudara kembar ini bermula ketika Yakub berpura-pura menjadi Esau, lalu ia datang menghadap
Ishak ayahnya dan meminta hak kesulungan.

Hak kesulungan buat orang Israel itu penting sekali dan diberikan hanya kepada anak sulung laki-laki
adik-adik. Siapa di sini yang anak pertama laki-laki? (bertanya pada mereka). Kalau kalian hidup di
masa lalu, kalian akan dapat hak kesulungan ini. Yang isinya bahwa anak sulung akan mendapatkan
harta warisan 2 kali lipat dari saudara yang lain, begitu juga ia akan menjadi kepala keluarga jika
suatu saat ayahnya meninggal.

Nah harusnya yang mendapatkan hak kesulungan ini siapa adik-adik? Esau atau Yakub? Esau! Karena
dia yang lahir duluan, tetapi Yakub berpura-pura menjadi Esau, lalu ia mendatangi Ishak yang pada
saat itu sudah tua dan kondisi matanya kurang baik sehingga hak kesulungan itu jatuh pada Yakub,
dan bukan Esau.
Ya memang sebetulnya kalau kita melihat kisah sebelumnya di Kejadian 25, Esau sendiri juga salah
karena ia menganggap rendah hak kesulungan. Ia bahkan bersedia menukar hak kesulungan
dengan semangkuk sup kacang merah. Tetapi apa yang dilakukan Yakub juga keliru ketika ia menipu
ayahnya dengan berpura-pura menjadi Esau.

Maka ketika Esau tahu bahwa ia betul-betul kehilangan hak kesulungannya, Esau menaruh dendam
dan berencana membunuh Yakub. Itulah mengapa Yakub akhirnya melarikan diri ke rumah Laban,
yang merupakan saudara dari Ribka ibu Yakub. Nah aku tanya ya adik-adik, kalau misal kalian tahu
ada orang yang sebel banget sama kalian karena kesalahan yang kalian lakukan, dan kalian bukannya
meminta maaf tapi justru memilih untuk lari. Apakah kira-kira kalian akan hidup tenang?

Kayaknya kok gak yah. Dan nampaknya inilah yang juga dirasakan Yakub. Yakub memang sudah
menerima hak kesulungan itu. Tapi apakah ia bisa menikmati berkat-berkat itu? Belum tentu. Pasti
ada ganjalan dalam dirinya apalagi orang yang berselisih dengan dia adalah darah dagingnya sendiri.
Kakaknya sendiri!

Itulah mengapa di Kejadian 33 akhirnya Yakub yang sebelumnya pengecut dan melarikan diri,
tetapi di dalam pertolongan dan kebergantungannya kepada Tuhan ia akhirnya berani untuk
berhadapan dengan Esau. Dan Esau yang sebelumnya dipenuhi dengan kebencian bahkan sampai
ingin membunuh adiknya sendiri, tetapi di dalam kasih dan pertolongan Tuhan, ia akhirnya
memberikan pengampunan pada Yakub.

Karena itulah di ayat 10 Yakub mengatakan pada Esau sebuah perkataan yang menurutku dalam
banget maknanya, “karena memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah”.
Kira-kira menurut adik-adik kenapa Yakub mengatakan seperti itu kepada Esau? Emang wajah Allah
itu seperti apa yah adik-adik? (bertanya pada mereka)

Nah tentu kita gak bisa memahami kata-kata ini secara harafiah, bahwa jangan kita pikir wajahnya
Esau itu tiba-tiba berubah jadi wajah Allah. Bukan seperti itu, tapi maksudnya adalah Yakub
merasakan kehadiran Allah yang penuh kasih, damai, dan pengampunan dalam diri Esau. Sudah
tidak ada lagi ganjalan dalam dirinya karena ia tahu bahwa Esau sudah mengampuni dirinya.

Nah adik-adik, apa sih yang bisa kita pelajari dari renungan pada hari ini? Ada yang masih ingat tema
renungan kita hari ini apa? (bertanya pada mereka) Ya, tema kita pada hari ini adalah Maafin Ya. Jadi
kita mau belajar tentang pentingnya memaafkan kesalahan orang lain dan meminta maaf apabila
kita memiliki kesalahan.

Mengapa sih kita selayaknya memaafkan kesalahan orang lain? (meminta mereka menjawab) Ya
tentu adik-adik tahu bahwa Tuhan sendiri mengajarkan kita untuk memaafkan, karena Tuhan sendiri
juga sudah memaafkan kesalahan kita. Tetapi ada beberapa hal yang mau kak Cathy share tentang
berkat apa yang akan kita dan orang lain terima jika kita belajar untuk memaafkan.

Pertama, memaafkan atau mengampuni itu tidak sama dengan melupakan, tetapi mengampuni
berarti memiliki pembaruan cara pandang dalam mengingat sebuah peristiwa yang menyakitkan.
Jadi adik-adik, mengampuni itu bukan berarti kita berhasil melupakan peristiwa yang menyakitkan,
karena rasanya tidak mungkin kita bisa melupakan sebuah peristiwa yang menyakitkan kecuali kalau
memang kita mengalami gangguan ingatan secara medis.

Tapi mengampuni berarti memiliki pembaruan cara pandang terhadap peristiwa tersebut. Dari yang
sebelumnya dilihat sebagai sesuatu yang tidak adil, sesuatu yang menyakitkan, musibah, tetapi kita
mampu melihat bahwa semua hal itu merupakan sebuah pembelajaran berarti bagi kita. Itu yang
pertama. Sekarang kita masuk pada poin kedua.
Yang kedua adalah, kita mau belajar bahwa mengampuni itu adalah sebuah aksi memerdekakan
diri. Pertanyaannya, memerdekakan diri dari apa? Memerdekakan diri dari rasa marah, kepahitan,
dendam, rasa mengasihani diri sebagai pihak yang tersakiti atau korban. Jadi mengampuni berarti
bagaimana hidup kita tidak lagi dikungkung dan dikendalikan oleh perasaan-perasaan negatif yang
sebetulnya sangat merugikan bagi jiwa dan tubuh kita, begitu juga bagi orang lain.

Kalau kita masih hidup dalam rasa marah dan dendam, maka kita pasti akan terus-menerus
menyalahkan orang yang menyakiti kita. Kita pasti akan mengatakan “karena kamu, aku jadi begini”.
Tapi orang yang merdeka tidak lagi mengungkit atau menyalahkan atas apa yang sudah terjadi. Ia
akan menghayati hidup saat ini sepenuhnya. Itu yang kedua.

Lalu yang ketiga, pengampunan itu tidak hanya memerdekakan diri kita dari segala perasaan
negatif, tapi juga memerdekakan orang yang menyakiti kita dari rasa bersalah dan ketakutan. Ini
poin yang tidak kalah penting adik-adik, dan bukankah hal itu yang dilakukan Esau ketika ia bertemu
dengan Yakub?

Adik-adik, sebetulnya Yakub sangat takut bertemu dengan Esau. Makanya itu kalau kita lihat lagi
ayat 3, di sana dikatakan bahwa Yakub berjalan dan sujud ke tanah. Ini ungkapan penyesalan dan
ketakutannya. Tetapi apa yang dilakukan Esau ketika bertemu dengan Yakub? Ayat 4, “tetapi Esau
berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-
tangisanlah mereka”.

Esau membebaskan Yakub dari perasaan bersalah dengan perilakunya yang hangat. Esau ingin Yakub
memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan memulai kembali hubungan mereka yang dipenuhi
dengan cinta kasih. Itu yang ketiga. Dan yang keempat teman-teman, mengampuni berarti tak akan
membiarkan hal yang menyakitkan terjadi pada ia atau mereka yang telah menyakiti kita.

Hal ini rasanya sudah sangat jelas juga kita temukan dalam sosok Esau. Di ayat 12 Esau mengatakan
kepada adiknya untuk berjalan bersamanya dan bahwa ia akan menyertai Yakub. Meskipun memang
Yakub menolak tawaran itu karena anak-anak dan ternaknya membutuhkan istirahat, tapi kita dapat
melihat niat baik dan kasih Esau kepada adiknya.

Mengapa Esau bisa melakukan hal ini? Tak lain dan tak bukan karena ia sudah berpulih dari luka-
lukanya. Ia sudah merdeka dari masa lalunya yang pahit, sehingga ia pun juga dapat mengasihi
dengan benar. Dan inilah yang dilakukan Esau. Kemerdekaan diri membuat ia tak dibelenggu oleh
rasa takut disakiti kembali, tapi justru membuka diri untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama
sehingga hidupnya sungguh diberkati dan menjadi berkat.

Nah adik-adik, dalam hidup ini, setiap kita pasti pernah tersakiti. Setiap kita pasti memiliki luka. Kita
dapat terluka oleh karena relasi yang hancur. Kita dapat terluka oleh karena rasa kehilangan yang
begitu memilukan dan terlalu mendadak. Kita juga dapat terluka oleh karena harapan atau
ekspektasi yang tak tercapai. Namun kerapkali, kita menjadikan luka tersebut sebagai sebuah alasan
untuk menyakiti orang lain. Sebagai contoh, karena aku pernah mengalami penolakan, maka
sekarang aku pun melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Karena dulu aku pernah mendapat
kekerasan, maka sekarang aku melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Nah kalau kita memilih untuk menggunakan luka sebagai senjata untuk menyerang sesama, maka
bagaimana mungkin kita dapat menjadi berkat bagi sesama? Bagaimana mungkin hidup kita dapat
menjadi kitab yang terbuka kalau perilaku kita tidak didasari oleh kasih, tetapi justru oleh luka dan
kebencian? Oleh karena itu adik-adik, kalau hari ini kita masih hidup dalam berbagai luka, maka
jangan abaikan luka itu.
Jangan menutup diri, atau mungkin memilih untuk melarikan diri dari kepahitan yang dialami.
Namun, terimalah luka itu sebagai bagian dari kehidupan kita, bukalah diri kita untuk disentuh oleh
kasih Kristus yang memulihkan, sehingga kita dapat mengubah cara pandang terhadap luka yang
dialami, kita dapat melepaskan pengampunan bagi mereka yang menyakiti kita, dan jadilah saksi
cinta Tuhan dalam setiap pengalaman yang kita hadapi karena kita menyadari bahwa rencana Allah
jauh lebih besar dari rancangan kita sebagai manusia.

Dengan demikian adik-adik, rasa sakit, penolakan, kekecewaan, kerapkali tak terhindarkan dalam
kehidupan kita. Namun bagaimana kita merespon setiap luka yang ada, itulah yang akan
menentukan apakah hidup kita akan memberkati atau justru melukai orang lain. Jika kita rindu untuk
senantiasa menjadi saluran berkatNya, maka tak ada jalan lain selain bersandar pada Allah dan
memohon kekuatanNya untuk melepaskan pengampunan, sebab sebagaimana yang kita pelajari
tadi. Pengampunan adalah satu-satunya jalan menuju pembaruan cara pandang dan juga
kemerdekaan diri, sehingga hidup kita senantiasa digerakkan oleh kasih Allah yang membawa
pemulihan, pengharapan, dan juga kesempatan. Selamat menjadi saluran berkatNya. Kiranya Tuhan
memberkati kita. Amin.

Anda mungkin juga menyukai