Anda di halaman 1dari 48

Kelahiran Kembali dan Kehidupan Kristen

Saat kita mengambil bagian dengan iman di dalam hubungan dengan Kristus dan kita
dicangkokkan ke dalam tubuh Kristus, Kristus telah hidup di dalam diri kita, atau kita telah
hidup oleh Roh-Nya. Kristus berdiam di dalam kita dan menguasai seluruh hidup kita. Inilah
yang sebenarnya di bentuk oleh kelahiran kembali atau pengudusan. Ada dua aspek yang tidak
terpisahkan dan di kaitkan oleh pertobatan: mematikan manusia lama, dan mengambil bagian
dalam kehidupan baru.

Bagi Calvin, sebagaimana bagi Luther, salah satu konsekuensi dari iman adalah bahwa
iman menunjukkan kepada orang Kristen bahwa meskipun ia telah dibenarkan oleh Kristus, ia
tetap tidak lebih dari seorang berdosa dalam seluruh hidupnya, dan dosa ini harus diperangi
dengan pertobatan.

Meskipun orang percaya tetap adalah orang berdosa dan pengudusannya baru akan di
genapkan dalam kehidupan setelah kematian, tetapi hidup yang baru adalah sebuah realitas yang
bukan murni bersifat eskatologis, tetapi terekspresi dalam kehidupan sekarang dalam perbuatan-
perbuatan yang pasti. Realitas hidup yang baru bersandar pada realitas pemilihan. Hanya orang
pilihan yang di panggil untuk menikmatinya, dan tujuan dari pemilihan mereka secara tepat
terdapat di dalam pengudusan yang di mulai selama kehidupan mereka di dunia. Bagi mereka
yang di pilih oleh Allah, Ia memperbarui dan membenarkan mereka dengan mengkomunikasikan
kepada mereka kekuatan untuk menjalani kehidupan yang saleh. Dekrit pemilihan kekal dengan
demikian bukan merujuk kepada suatu transendensi yang abstrak, atau sebuah sasaran yang kaku
di luar dan melampai kaum pilihan; dekrit itu di realisasikan dalam kehidupan mereka dan
menjadi imanen di dalamnya.

Salah satu konsekuensi praktis langsung dari kelahiran kembali adalah bahwa Kristus
telah membebaskan kita dari peraturan-peraturan dunia ini agar kita bisa melayani-Nya dengan
lebih baik. Kita tidak lagi menjadi milik diri kita sendiri. “Sekarang, jika kita bukan lagi milik
kita sendiri, tetapi menjadi milik Tuhan, kita bisa melihat apa yang harus kita lakukan, agar kita
tidak berbuat salah, dan kemana kita harus mengarahkan setiap bagian kehidupan kita.”

Kepastian akan kehadiran Allah yang permanen dalam kehidupan kita ini membuat orang
percaya menyangkali dirinya sendiri, memikul salibnya, dan mengarahkan seluruh tingkah
lakunya kepada kehidupan yang akan datang. “Allah di anggap sebagai Raja ketika manusia,
dengan menyangkali diri mereka sendiri dan menganggap hina dunia dan kehidupan duniawi ini,
mengarahkan diri untuk bertekun dalam kebenaran Allah di dalam pengharapan akan kehidupan
di sorga.”

Namun semua hal tersebut, tentu saja, tidaklah berguna tanpa tuntutan kebenaran ilahi.
Penyangkalan diri, yang menjadi dasar seluruh etika Calvin, adalah hal yang mustahi tanpa iman
kepada Kristus. Luther, sebagaimana yang kita ketahui, juga telah menekankan tindakan iman ini
pada permulaan kehidupan Kristen. Ia juga berpendapat bahwa pertobatan sejati muncul dari
kasih kepada kebenaran yang dengan sendirinya mempresuposisikan anugerah. Namun, sudut
pandang Calvin tidak tepat sama dengan Luther. Bagi Calvin, sebaliknya, seseorang harus
terlebih dahulu memilki iman untuk bisa menyadari dosa dan merasakan perlunya pertobatan.

Karena melalui imanlah orang percaya di tuntun menuju pertobatan dan penyangkalan
diri. Dengan meminjam terminologi Erasmus, ia memperhadapkan kepada mereka “Filsafat
Kristen” yang menuntut rasio “tunduk dan menarik diri, untuk memberi tempat bagi Roh Kudus
dan taat kepada pimpinan-Nya, sehingga manusia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri tetapi
memiliki, dan mengizinkan dalam dirinya, Kristus yang hidup dan bertakhta dalam hidupnya.

Jika penyangkalan diri seharusnya melahirkan perasaan kasih persaudaraan terhadap


sesama, maka kasih kepada Allah di ekspresikan dalam ketundukan total kepada-Nya. Tidak
seorang pun yang bisa di katakan benar-benar menyangkal diri sampai ia berserah kepada Allah
sedemikian rupa sehingga ia bersedia untuk mengizinkan seluruh hidupnya di perintah sesuai
kehendak Allah. Semakin kita menderita dan menanggung banyak kesulitan, semakin pasti
penyatuan kita dengan Kristus di teguhkan. Segera setelah kita menderita untuk Kristus dan
bersama-Nya, persekutuan kita dengan-Nya di kuatkan. Berbagian dalam penderitaan Kristus
adalah bukti bahwa kita di satukan dengan-Nya.

Calvin sudah pasti tidak sampai mengklaim bahwa kehidupan Kristen harus terdiri dari
penderitaan dan kesengsaraan saja. Namun, penderitaan dan kesengsaraan sangat menonjol;
peperangan selalu terjadi setiap hari, dan jika ada masa-masa tentang, kita harus menganggapnya
hanya sebagai masa gencatan senjata yang di izinkan Allah supaya kita bisa kembali berperang
dengan tenaga yang di perbarui. Penderitaan-penderitaan ini tidak lebih dari jalan yang di
tetapkan oleh Allah untuk memperoleh kesatuan yang semakin intim dengan Kristus dan melalui
Dia kehidupan yang kekal, yang tetap merupakan karunia yang cuma-cuma, dan juga kekuatan
yang memampukan kita untuk mengatasi semua kesengsaraan kita.

Menderita seperti Kristus tidak ada gunanya jika kita tidak berbagian dalam kemuliaan-
Nya begitu juga dalam sengsara-Nya. Calvin menulis: “Bentuk kesengsaraan apa pun yang
mungkin kita derita, kita harus senantiasa memandang pada tujuan akhir ini, untuk membiasakan
diri kita untuk memandang rendah kehidupan sekarang sekarang, sehingga kita bisa terdorong
untuk merenungkan kehidupan yang akan datang. Karena Tuhan lebih mengetahui betapa kita
cenderung mengasihi dunia ini dengan membuta, Ia menggunakan sarana yang paling tepat
untuk menjauhkan kita dari dunia, dan membangunkan kita dari kemalasan, sehingga hati kita
tidak terlalu melekat pada kasih yang bodoh semacam itu.”

Kehidupan duniawi tidak layak mendapatkan apa pun selain di rendahkan ketika di
bandingkan dengan kehidupan yang akan datang; tetapi karena dunia ini adalah sekolah yang
harus kita lalui untuk mencapai kehidupan yang akan datang dan di dalamnya kita mulai
merasakan berkat-berkat Allah, dunia dengan sendirinya menyingkapkan dirinya sebagai
“sebuah karunia dari rahmat ilahi”. Kita memiliki hal untuk memanggil Allah dan meminta-Nya
untuk menggenapi janji-janji-Nya. Doa di dasarkan pada Yesus Kristus, dan hanya pada-Nya.
kita tidak akan menemukan dukungan apa pun bagi doa di dalam diri kita sendiri, apalgi dalam
syafaat orang-orang kudus.

Karena doa di sandarkan pada janji ilahi, maka objeknya niscaya adalah isi dari janji-janji
itu. Namun, kita sendiri tidak tahu apa yang harus kita minta dan bagaimana cara memintanya.
Di sinilah Roh menolong kita. “Sebagaimana pengertian harus di arahkan dengan penuh
perhatian kepada Allah, demikian juga afeksi hati. Namun, keduanya berkubang di bawah, atau
lebih baik kita katakan merana atau berpaling kepada penyimpangan. Oleh karena itu Allah,
dalam rangka mengatasi kelemahan kita, memberikan Roh-Nya menjadi guru bagi kita, yang
mengajari dan memberi tahu kita apa yang benar untuk kita minta, dan yang juga berkuasa atas
afeksi kita.

Syarat pertama untuk bisa berdoa dengan baik adalah bahwa akal budi harus di lepaskan
dari "segala kekhwatiran dan pemikiran tentang hal-hal kedagingan” dan seluruh perhatiannya di
arahkan kepada doa. Kemudian orang percaya harus di kuasi dengan perasaan bahwa apa yang
sedang di mintanya berhubungan dengan kebutuhan yang nyata dan pasti, dan harus memasukan
“afeksi yang menggebu-gebu” ke dalam permohonannya. Selain itu, apa yang di katakan Rasul
Paulus tetap sama benarnya, yaitu bahwa kita harus senantiasa berdoa. Dan terakhir doa
seharusnya di sampaikan dalam roh kepercayaan penuh kepada Allah dan penggenapan janji-
janji-Nya: “doa orang yang berimain harus muncul dari afeksi ganda, yang terdiri dari dan
menunjukan afeksti tersebut, yaitu bahwa ia berkelus kesah akan kejahatan di masa sekarang,
dan ia menanti-nantikan hal-hal yang akan datang, namun ia meletakkan kepercayaannya kepada
Allah, dengan keyakinan bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untuk
menyelamatkannya.”
KEHIDUPAN KRISTEN

Asas kehidupan baru

Maksud kelahiran kembali ialah supaya dalam kehidupan orang-orang percaya ternyata
ada keselarasan dan kesesuaian antara kebenaran Allah dengan ketaatan mereka dan supaya
dengan demikian mereka mengokohkan penerimaan mereka sebagai anak. Memang Hukum
Allah mencantumkan corak kehidupan baru yang memulihkan gambar Allah di dalam diri kita.
Meskipun demikian, karena kita memerlukan banyak rangsangan dan juga bantuan akibat
kelambanan kita, ada gunanya bila dari berbagai tempat di dalam Alkitab dikumpulkan kutipan-
kutipan tentang cara bagaimana kita harus mengatur kehidupan kita, supaya mereka yang
sungguh-sungguh mau bertobat, dalam usaha mereka tidak sampai sesat.

Para filsuf telah merumuskan wujud dari apa yang tulus dan yang sopan, dan dari situ
mereka menjabarkan kewajiban-kewajiban serta seluruh himpunan kebajikan-kebajikan secara
terinci. Demikian pula Alkitab dalam hal ini ada tertibnya, bahkan pembagiannya sangat elok,
dan jauh lebih pasti dari segala pembagian para filsuf.

Ajaran Alkitab yang kita bicarakan terdiri dari dua pokok utama. Yang pertama ialah:
hendaknya cinta akan kebenaran, yang menurut kodrat kita sebenarnya sama sekali tidak menjadi
kecenderungan hati kita. Yang lain ialah: hendaknya bagi kita diadakan patokan yang membuat
kita tidak sesat dalam mengejar kebenaran. Untuk menganjurkan kebenaran itulah, Alkitab
mempunyai banyak sekali alasan yang sangat baik. Dapatkah kita bertolak dari asas yang lebih
baik daripada anjurannya yang ini: bahwa kita harus kudus, karena Allah kita kudus?

Kristus-lah teladan kita

Dan supaya kita lebih didorong lagi, maka Alkitab memperlihatkan bahwa sebagaimana
Allah, Bapa kita, telah memperdamaikan kita dengan diri-Nya di dalam Kristus-Nya, maka di
dalam Kristus pula telah ditentukan-Nya gambar kita yang dikehendaki-Nya menjadi teladan
yang harus kita ikuti. Apakah ada yang berpendapat bahwa hanya para filsuflah yang berhasil
menyusun ajaran etika dengan teratur dan selayaknya? Bila para filsuf itu hendak menganjurkan
kebaikan kepada kita, maka anjuran yang paling tinggi yang mereka berikan ialah supaya kita
hidup selaras dengan alam.

Sebaliknya, Alkitab mengambil anjurannya dari sumber yang sejati. Bukankah


diperintahkannya supaya kita menyerahkan kehidupan kita kepada Allah yang telah
memberikannya kepada kita, Allah yang kepada-Nya kehidupan itu terikat? Dan bukankah
Alkitab menambahkan pula, setelah mengajarkan bahwa kita telah menyimpang dari asal kita
yang sejati dan dari hukum penciptaan kita, bahwa Kristus, yang telah menjadi Pengantara
sehingga kita kembali berkenan kepada Allah, dijadikan teladan bagi kita supaya wujud-Nya
terungkapkan di dalam kehudupan kita?

Yang perlu bukanlah kesempurnaan, melainkan kesungguhan

Saya tidak menuntut supaya tingkah laku seorang Kristen hanya bernafaskan Injil
semata-mata, meskipun itulah yang seharusnya kita inginkan dan kita usahakan. Tetapi, tuntutan
saya akan kesempurnaan yang sesuai dengan Injil tidaklah begitu keras sehingga barangsiapa
belum sampai pada tingkat itu tidak saya anggap seorang Kristen. Sebab kalau begitu, Gereja
akan tertutup bagi semua orang, karena belum terdapat seorang pun yang sudah cukup dekat
dengan kesempurnaan itu; dan masih banyak yang baru sedikit kemajuannya, tetapi yang tidak
sepantasnya untuk ditolak. Hendaklah kesempurnaan itu menjadi tujuan yang terbayang di mata
kita, agar hanya itulah yang kita usahakan dengan tekun. Hendaklah itu dijadikan garis akhir bagi
Kita, yang menjadi sasaran dalam kita berupaya dan berlomba. Sebab dalam hubungan dengan
Allah tidaklah diperbolehkan untuk melakukan pembagian sedemikian rupa, hingga dari hal-hal
yang diperintahkan kepadamu oleh Firman-Nya, kamu menerima sebagian, sedangkan sebagian
lagi kamu lalaikan semaumu. Sebab pertama-tama, yang dianjurkan di mana-mana oleh Allah
sebagai bagian terpenting pengabdian kepada-Nya ialah ketulusan, dan yang dimaksudkan-Nya
dengan itu ialah kebulatan hati yang sungguh-sungguh ikhlas, yang tidak kenal tipu dan pura-
pura, dan yang lawannya ialah hati yang mendua; seakan-akan dikatakan bahwa hidup lurus
mempunyai asas yang bersifat rohani, yaitu bahwa perasaan hati dan batin kita tanpa berpura-
pura dibaktikan kepada Allah untuk melakukan kesucian dan kebenaran.

Akan tetapi, tak seorang pun, selama berada di dalam kurungan duniawi yaitu tubuh kita,
Kita tidak akan menganggap perbuatan-perbuatan jahat kita sebagai sesuatu yang tidak berarti,
tetapi kita akan senantiasa berusaha supaya melampaui kemampuan diri kita dalam hal berbuat
baik, sampai mencapai kebaikan itu sendiri. Kebaikan itu memang kita cari dan kita kejar selama
hidup, tetapi baru akan kita tangkap setelah kita tanggalkan daging kita yang lemah dan kita
diterima dalam persekutuan sepenuhnya dengan Dia.

Kita bukan kepunyaan kita sendiri, melainkan kepunyaan Allah

Hukum Allah mempunyai aturan yang baik sekali dan yang sangat cocok tertibnya untuk
dipakai sebagai pedoman hidup. Kendatipun demikian, Guru sorgawi menganggap baik
mendidik orang-orang milik-Nya dengan cara yang lebih cermat menuju patokan yang
&tetapkan-Nya di dalam Hukum itu. Cara itu mempunyai prinsip yang ini: orang-orang percaya
wajib mempersembahkan tubuh mereka kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus, dan yang berkenan kepada-Nya (Rm. 12: 1).

Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka hendaknya kita sedapat mungkin melupakan
diri kita sendiri dan semua perkara kita. Sebaliknya, kita kepunyaan Allah: maka sebaiknya kita
mengabdi kepada Dia dalam kehidupan dan dalam kematian kita. Kita kepunyaan Allah: maka
sebaiknya hikmah dan kehendaknya menguasai segala perbuatan kita. Kita kepunyaan Allah:
maka sebaiknya Dialah, sebagai satu-satunya tujuan yang benar, yang dituju semua bagian
kehidupan kita (Rm. 14.8).

Maka inilah hendaknya yang menjadi langkah pertama: manusia tidak lagi memusatkan
perhatiannya pada dirinya, agar seluruh kekuatan akalnya ditujukan pada pengabdian kepada
Allah. Yang saya sebut “pengabdian” bukan hanya apa yang terkandung dalam ketaatan pada
Firman, melainkan hal yang menyebabkan hati insan melepaskan perasaan dagingnya sendiri,
dan berbalik sepenuhnya serta mengikuti kehendak Roh Allah. Dari hal ini timbul yang lain,
yaitu kita tidak mencari perkara-perkara kita, tetapi hal-hal yang sesuai dengan kehendak Allah
dan yang membuat kemuliaan-Nya dibesarkan.

Oleh karena itu, kita harus melayani sesama kita

Maka akan terjadi bahwa, berhadapan dengan manusia mana pun juga, kita tidak hanya
bersikap tahu diri dan rendah hati, tetapi juga ramah dan bersahabat. Begitu pula untuk mencapai
kelembutan hati yang sejati, tiada jalan lain dari mempunyai hati yang diresapi rasa rendah diri
dan rasa hormat terhadap orang lain.

Kepada kita diajarkan bahwa semua bakat yang merupakan kekuatan kita dipercayakan
kepada kita oleh Allah dengan syarat supaya dipergunakan untuk kegunaan sesama kita. Kita
menjadi penyelenggara akan segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita dan yang dapat kita
pakai untuk membantu sesama kita, dan kita wajib memberi pertanggungjawaban mengenai
pengurusannya. Dan pengurusan itu baru benar, bila diuji dengan patokan kasih. Kewajiban-
kewajiban kasih tidak dipenuhi oleh orang yang hanya melaksanakan semua keharusan kasih
semata-mata, kendati tak satu pun yang dilupakannya. Tetapi, yang memenuhinya ialah orang
yang melaksanakannya karena rasa kasih yang tulus ikhlas.

Dan kita harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah

Kita percaya bahwa dasar keberhasilan dan kesejahteraan seperti yang kita inginkan
seluruhnya terletak hanya dalam berkat Allah. Kalau itu tidak ada, kita akan tertimpa segala jenis
kesengsaraan dan kecelakaan. Maka kesimpulannya ialah, bahwa kita tidak boleh dengan tamak
mencari kekayaan dan kehormatan, sambil mengandalkan lincahnya kecerdasan kita, atau
ketekunan kita, ataupun mengharapkan kebaikan hati orang, atau percaya kepada nasib,
bayangan kosong itu. Tetapi, kita senantiasa harus memandang kepada Allah, supaya dengan
bimbingan-Nya kita dituntun ke masa depan mana saja yang menurut pemeliharaan-Nya
ditetapkan-Nya bagi kita.

Dan hendaknya tidak hanya dalam hal inilah hati orang saleh tenang dan sabar, tetapi
seharusnya suasana ini juga direntangkan ke semua hal ihwal kehidupan ini. Jadi, tak seorang
pun telah menyangkal diri sebagaimana harusnya, kecuali bila ia telah menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan, hingga dapat menerima bahwa kehidupannya dalam semua
bagiannya diatur oleh kehendak-Nya. Dan barangsiapa yang sudah demikian suasana hatinya,
tidak akan menganggap dirinya malang, apa pun yang terjadi, tidak pula akan mengadukan
nasibnya dengan merasa jengkel terhadap Allah.

”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus memikul salibnya”


Semua orang yang diterima oleh Tuhan dan dianggap layak masuk persekutuan orang-
orang milik-Nya, harus menyiapkan diri untuk mengarungi kehidupan yang keras, susah, gelisah,
dan penuh dengan segala macam keburukan dalam jumlah yang besar. Adalah kehendak Bapa
sorgawi untuk melatih orang-orang milik-Nya dengan cara itu agar menguji mereka dengan
tegas. Tuhan kita tidak perlu memungut dan memikul salib kalau bukan untuk menyatakan dan
membuktikan ketaatan-Nya kepada Bapa. Tetapi, bagi kita banyak alasan, sehingga kita perlu
hidup dengan memikul salib terus-menerus. Kita gampang sekali menilai kekuatan kita lebih
besar daripada yang sebenarnya, dan kita tidak meragukan bahwa, apa pun yang terjadi, kekuatan
itu tak terpatahkan dan tak teralahkan dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian kita
sampai mempunyai kepercayaan yang bodoh dan hampa pada daging kita,

Tidak ada jalan yang lebih baik bagi Allah untuk mematahkan kesombongan ini daripada
memperlihatkan melalui pengalaman, betapa besar kelemahan kita, betapa besar kerapuhan kita.
Maka dilanda-Nya kita dengan pengrusakan nama baik, atau dengan kemiskinan, atau dengan
kematian orang-orang yang kita cintai, atau dengan penyakit, atau dengan malapetaka lainnya,
yang sama sekali tak sanggup kita tanggung sehingga kita segera akan roboh, kalau kita harus
mengatasinya sendiri.

Masih ada maksud lain, mengapa Tuhan menyusahkan orangorang milik-Nya, yaitu
menguji kesabaran mereka dan mendidik mereka supaya taat. Memang mereka tidak dapat
menunjukkan ketaatan kepada-Nya kecuali yang diberikan-Nya sendiri kepada mereka.
Meskipun demikian, Dia berkenan dengan bukti-bukti yang jitu mempermaklumkan dan
menyatakan karunia-karunia yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang suci, supaya tidak
tinggal tersimpan dalam batin mereka tanpa guna.

Selanjutnya, dalam penderitaan kita terletak hiburan yang istimewa, bila kita dianiaya
oleh sebab kebenaran. Karena pada waktu dianiaya kita mestinya ingat, betapa besarnya
kehormatan yang oleh Allah diberikan kepada kita, bila kita dilengkapi-Nya dengan tanda
khusus yang menyatakan bahwa kita telah menjadi pejuangNya. Sebab, jika harta benda kita
dirampas oleh kejahatan kaum fasik, sedangkan kita tidak bersalah dan hati nurani kita murni,
maka menurut penilaian manusia kita memang menjadi miskin, tetapi dengan demikian
tumbuhlah untuk kita kekayaan yang sebenarnya di sisi Allah di dalam sorga. Jika kita diusir dari
rumah kita, kita makin akrab masuk keluarga Allah: jika kita dianiaya dan dihina, kita makin
kuat berakar di dalam Kristus, jika kita dinodai makian dan aib, makin mulialah tempat kita di
dalam kerajaan Allah: jika kita dibunuh, segeralah terbuka pintu ke kehidupan yang bahagia,
Kita harus malu jika hal-hal yang oleh Tuhan diberi nilai yang begitu tinggi.

Kesia-siaan kehidupan ini

Tidak akan ada seorang pun di antara kita yang tidak ingin kelihatan mengusahakan dan
mengejar kehidupan baka di sorga dalam seluruh jalan kehidupannya. Tetapi, segenap jiwa yang
terjerat dalam pikatan-pikatan daging, mencari kebahagiaannya di dunia. Maka untuk
memberantas keburukan ini, Tuhan mengajarkan kepada orang-orang milik-Nya bahwa
kehidupan ini sia-sia adanya, dengan terus-menerus memberi bukti betapa malangnya kehidupan
itu. Jadi, supaya jangan sampai mereka menaruh harapan akan memperoleh di dalamnya
kedamaian yang besar serta pasti, Dia membiarkan mereka sering dirisaukan dan diserang oleh
perang, atau kerusuhan, atau perampokan, atau bencana-bencana lain. Supaya jangan sampai
mereka dengan terlalu tamak mengejar kekayaan yang fana dan tidak pasti, atau merasa tenteram
mengenai harta yang sudah mereka miliki,

Kita baru maju dengan sewajarnya dalam ”sekolah latihan salib”, bila kita belajar bahwa,
dinilai sebagaimana ada pada dirinya sendiri, kehidupan ini gelisah, kacau, malang dari segala
segi, dan bagaimanapun juga tidak sungguh-sungguh membahagiakan. Bahwa segala sesuatu
yang dianggap sebagai kebaikan-kebaikannya adalah tak menentu, rapuh, sia-sia dan cacat,
karena tercampur dengan banyak celaka. Dari keadaan itu kita menarik kesimpulan pula bahwa
di sini yang dapat ditemukan dan diharapkan hanyalah perjuangan; bila kita memikirkan
mahkota, kita harus menengadah ke sorga. Sebab, tidak ada jalan tengah: dunia harus menjadi
tak berharga bagi kita, ataupun mesti memikat kita sehingga kita terlalu mengasihinya.

Cara yang tepat dalam merenungkan kehidupan yang akan datang

Akan tetapi, orang-orang percaya harus membiasakan diri menganggap kehidupan ini
rendah dalam arti bahwa pada mereka tidak timbul kebencian terhadap kehidupan itu dan rasa
tidak bersyukur terhadap Allah. Sebab, sekalipun penuh dengan kesengsaraan yang tak habis-
habisnya, namun kehidupan ini dengan tepat harus dianggap sebagai anugerah Allah yang tak
pantas dibuang. Dan terlebih besar alasannya untuk itu, jika kita ingat bahwa di dalam kehidupan
ini kita seakan-akan dipersiapkan untuk kebahagiaan Kerajaan Sorga. Sebab telah ditetapkan
oleh Tuhan bahwa mereka yang pada suatu waktu kelak akan dimahkotai di sorga, sebelumnya
harus mengalami perjuangan di bumi, supaya kejayaan baru mereka capai setelah mengatasi
kesulitan-kesulitan perjuangan itu dan merebut kemenangan.

Kehidupan di dunia ini sungguh sungguh tidak boleh dibenci, kecuali sejauh mengekang
kita sehingga takluk kepada dosa; meski kebencian itu pun tidak boleh ditujukan kepada
kehidupan itu sendiri. Bagaimanapun juga, rasa bosan ataupun rasa benci yang timbul dalam diri
kita terhadapnya harus sedemikian rupa, hingga kita bersedia tinggal di dalam kehidupan ini
sesuai dengan kehendak Tuhan, sekalipun kita menginginkan akhirnya, dan hendaknya
sedemikian rupa hingga rasa bosan itu jauh dari segala gerutu dan ketidaksabaran. Sebab
kehidupan itu bagaikan pos penjagaan, tempat kita ditaruh oleh Tuhan, dan yang harus kita jaga
sampai kita dipanggil oleh-Nya.

Asas-asas dalam menggunakan harta dunia ini

Hendaknya inilah yang menjadi asas: bahwa pemanfaatan anugerah Allah tidak
menyeleweng bila diarahkan ke tujuan yang untuknya Khalik sendiri telah mengadakan dan
menetapkannya bagi kita. Sebab, harta itu diciptakan-Nya untuk kebaikan kita, bukan untuk
kerusakan kita. Kalau kita mempertimbangkan apa tujuan Allah menciptakan makanan, maka
kita akan menemukan bahwa Dia tidak hanya bermaksud untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok, tetapi juga untuk menyediakan kenikmatan serta keriangan Sifat-sifat alamiah yang
terdapat dalam hal-hal itu sendiri cukup menunjukkan mana tujuan dan batas pemakaian hal-hal
itu oleh kita.

Maka buanglah jauh-jauh filsafat yang tidak manusiawi yang hanya membolehkan
pemakaian seperlunya segala ciptaan. Filsafat itu jahat karena mencegah kita menikmati secara
sah pemberianpemberian Allah, bahkan hanya dapat diamalkan dengan membuat manusia
kehilangan pancainderanya sehingga menjadi sebongkah kayu. Tetapi, pada pihak lain dengan
tidak kurang rajinnya kita harus melawan nafsu daging, sebab bila tidak dikendalikan, nafsu itu
meluap melampaui batas. Kekang pertama kita pasang bila kita menegaskan bahwa segala hal
dijadikan bagi kita supaya kita mengenal Dia yang menjadikannya, dan membalas kemurahan-
Nya terhadap kita dengan mengucapkan syukur. Di mana pengucapan syukurmu kalau engkau
begitu rakus mengisi perut dengan hidangan makanan dan minuman anggur sehingga engkau
menjadi tumpul atau tak mampu lagi menyelenggarakan ibadah dan panggilan yang menjadi
kewajibanmu?

Akan tetapi, tidak ada jalan yang lebih pasti dan lancar daripada jalan yang terbuka bagi
kita bila kita memandang remeh kehidupan sekarang ini dan merenungkan kehidupan kekal di
sorga. Sebab, dari situ merryusul dua hukum. (Yang pertama berbunyi:) orang yang
menggunakan barang apa pun di dunia ini hendaklah bersikap seolah-olah tidak
menggunakannya, yang beristri seolah-olah tidak beristri, yang membeli seolah-olah tidak
membeli. Kebebasan orang-orang percaya dalam perkara-perkara lahiriah tidak boleh dibatasi
melalui aturan yang tertentu. Namun, kebebasan itu takluk juga pada hukum yang ini: mereka
hanya boleh menyerah sesedikit mungkin pada keinginan mereka. Dan hukum yang kedua ialah:
mereka yang hartanya hanya sedikit dan tak berarti harus tahu menerima keadaan itu supaya
mereka tidak digoda oleh keinginan yang tidak wajar. Kalau mereka berpegang pada hukum ini,
mereka akan mencapai kemajuan yang tidak sedikit dalam sekolah Tuhan.

Di samping itu, dalam Alkitab masih terdapat hukum yang ketiga untuk mengatur
pemakaian hal-hal duniawi. Yaitu bahwa semua harta yang diberikan kepada kita dengan
kemurahan Tuhan dan yang dimaksudkan supaya berguna bagi kita itu seakan-akan dititipkan
kepada kita dan nanti harus kita pertanggungjawabkan.

Panggilan Tuhan sebagai patokan kehidupan kita

Pada akhirnya harus juga dikemukakan bahwa Tuhan memerintahkan kepada kita
masing-masing supaya memperhatikan panggilan-Nya dalam setiap perbuatan selama hidup kita.
Dia telah menetapkan kewajiban-kewajiban bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-
masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya "panggilan", supaya tidak ada orang
yang dengan sembrono melampaui batasnya sendiri. Jadi, setiap orang diberi oleh Tuhan jalan
hidup sendiri-sendiri sebagai pos penjagaan, supaya di dalam jalan hidupnya ia tidak terombang-
ambing tanpa tujuan Maka kehidupan saudara akan diatur dengan baik, bila itulah yang
diperhatikan. Karena dengan demikian orang tidak akan berupaya, karena terdorong oleh
kenekatannya sendiri, untuk melakukan sesuatu yang melebihi panggilannya, sebab ia tahu
bahwa ia tidak boleh melampaui batas-batasnya. Siapa yang menjadi warga yang tak dikenal,
akan mengarungi kehidupan yang tanpa jabatan itu tanpa gerutu, supaya tidak ditinggalkannya
tempat yang diperuntukkan baginya oleh Tuhan. Pada pihak lain, bagi setiap orang kesusahan,
kesulitan, dan beban-beban berat lainnya akan lebih ringan bila diketahui bahwa Allah menjadi
pembimbingnya dalam semuanya ini. Dengan kesediaan yang lebih besar, pembesar pemerintah
akan melaksanakan tugasnya, kepala keluarga akan mela kukan kewajibannya, setiap orang
dalam jalan hidupnya masingmasing akan menanggung yang kurang enak, yang susah, yang
sedih, yang membosankan, jika mereka yakin bahwa setiap orang diberi beban oleh Allah. Yang
juga akan merupakan hiburan yang besar sekali ialah bahwa (selama kita taat pada panggilan
kita) tak ada pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya, yang tidak akan bersinar-sinar dan
dinilai berharga di mata Tuhan.
PEMBENARAN OLEH IMAN

Calvin menggambarkan pembenaran sebagai prinsip dari seluruh doktrin keselamatan


dan fondasi dari seluruh agama. Pengudusan bukanlah tujuan dari pembenaran. Pengudusan
memang berasal dari sumber yang sama, tetapi tetap berdiri sendiri. Calvin berulang kali
menekankan eksistensi dan natur dari ikatan yang menyatukan dua manfaat yang dihasilkan oleh
penyatuan dengan Kristus.

Kristus tidak membenarkan siapapun yang tidak dikuduskan-Nya pada waktu yang sama.
Karena berkat-berkat ini digabungkan bersama seperti dengan sebuah ikatan yang tetap, sehingga
ketika ia menerangi kita dengan hikmat-Nya, Ia menebus kita: ketika Ia menebus kita, Ia
membenarkan kita; ketika Ia membenarkan kita, Ia menguduskan kita. Fakta bahwa untuk Calvin
pembenaran dan pengudusan adalah dua anugerah yang memiliki nilai yang setara.

Orang yang dikatakan dibenarkan melalui iman adalah orang yang dengan dilepaskan
dari kebenaran berdasarkan perbuatan, dengan iman mengapropriasi kebenaran Kristus, dan
dengan mengenakannya ia tampil di hadapan Allah bukan sebagai seorang berdosa, tetapi
sebagai orang benar. Dengan demikian kita mengatakan secara singkat bahwa kebenaran kita
dihadapan Allah adalah sebuah penerimaan dimana dengan menerima kita kedalam anugerah-
Nya, Ia menganggap kita benar.

Gagasan Calvin tentang pembenaran melibatkan ide tentang kebenaran yang ekstrinsik
dan hanya diimputasikan dengan kita tanpa adanya penghakiman terhadap keadaan kita yang
sebenarnya. Dengan demikian kita sendiri tidak bisa memperoleh kebenaran yang akan
membenarkan diri kita dihadapan Allah dari usaha kita sendri. Jika kita memang dibenarkan itu
karena kita tela dicangkokkan kedalam Dia dan dalam pengertian itu kita telah menerima
kebenaran-Nya. Secara singkat Kristus telah menempatkan diri-Nya menggantikan kita dan
menggenapkan apa yang seharusnya kita lakukan. Perbuatan yang kita lakukan setelah
pembenaran akan dipertanggungjawabkan dalam penghakian yang akan dinyatakan Allah.

MENGENAI DOA

Mengapa perlu berdoa? Di dalam Institutio Calvin memberikan jawaban terhadap


pertanyaan ini dalam konteks yang lebih menyeluruh, yaitu mengenai ketidakberdayaan manusia
apabila ia berada di luar Kristus. Manusia perlu mencari pertolongan dari luar dirinya, karena ia
tidak memiliki sarana keselamatan apapun di dalam dirinya yang sepi dari segala hal yang baik.
Tetapi ketika kita manusia mengetahui melalui iman bahwa segala sesuatu yang kita perlukan
dan yang tidak ada di dalam diri kita sendiri ternyata terdapat pada Allah dan pada Tuhan kita
Yesus Kristus—yang di dalam-Nya seluruh kepenuhan rahmat Allah berdiam—, maka sudah
tentu kita harus mencari Dia senantiasa, dan dalam doa meminta kepada-Nya apa yang sudah
kita ketahui terdapat di dalam Dia. Sama seperti iman lahir dari Injil yang disampaikan kepada
kita, demikian juga hati kita dilatih untuk memanggil nama TUHAN (Rm. 10:14-17).
Doa merupakan penghubung antara manusia dengan Allah. Apapun yang menurut janji
Tuhan dapat kita harapkan dari Dia, menurut perintah-Nya juga kita harus minta di dalam doa.
Memang bukan tanpa alasan bahwa Allah Bapa kita menyatakan bahwa satu-satunya sarana
untuk mencapai keselamatan adalah dengan berseru kepada nama-Nya (Yl. 2:32). Dengan
memanggil nama TUHAN kita memohon kehadiran pemeliharaan-Nya yang menjaga agar
perkara-perkara kita dilindungi; kita memohon kehadiran kekuatan-Nya yang menopang kita
yang lemah dan yang selalu mau roboh; kita memohon kebaikan-Nya yang menerima kita dalam
rahmat-Nya, kita yang secara menyedihkan sarat dengan dosa-dosa. Singkatnya, dengan berseru
kepada nama-Nya kita memanggil Dia supaya datang kepada kita dan menunjukkan kehadiran-
Nya sepenuhnya. Akan tetapi, mungkin akan ada orang yang berkata: bukankah Allah tahu apa
yang menjadi pergumulan kita tanpa kita beri tahu? Apakah perlu kita berdoa? Apakah Allah
seolah-olah mengantuk, atau tidur, sehingga Ia harus dibangunkan oleh doa-doa kita? Di sini
Calvin menegaskan bahwa perintah itu tidak diberikan Allah untuk diri-Nya sendiri, melainkan
untuk kebaikan kita.

Cara berdoa yang tepat


Yang harus ditetapkan sebagai poin pertama dalam menyampaikan doa dengan cara yang
pantas dan tepat ialah: janganlah suasana hati dan batin kita lain dari yang patut bagi mereka
yang hendak berbicara kepada Allah. Maksudnya di sini adalah segala hal dari luar yang
membuat hati kita yang memang sudah tidak tetap, malah dibuat lebih terombang-ambing. Di
sini Calvin menekan-kan dua hal: (1) seseorang perlu mempersiapkan dirinya untuk berdoa,
sehingga hati, pikiran, dan niatnya benar-benar diarahkan kepada doa itu, dengan tidak ditarik ke
sana dan ke mari; dan (2) kita tidak boleh meminta lebih dari apa yang diizinkan Allah kepada
kita, sehingga doa kita harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan.
Poin yang kedua adalah ketika berdoa kita harus benar-benar menyadari kekurangan kita
dan, karena merenungkan dengan sungguh-sungguh betapa kita memerlukan semuanya yang kita
minta. Doa disampaikan dengan keinginan yang tulus, bahkan berapi-api, untuk memperoleh apa
yang diminta. Sebab, banyak orang, seakan-akan ingin cepat-cepat selesai, memanjatkan doa
menurut suatu rumus, seolah-olah doa merupakan suatu tugas atau jasa bagi Allah. Hanya orang-
orang yang menyembah Allah dengan sungguh-sungguh yang berdoa sebagaimana mestinya dan
yang didengar doanya.
Poin yang ketiga adalah barangsiapa menghadap Allah untuk berdoa, hendaklah ia
menjauhi segala pikiran akan kekayaannya sendiri, melepaskan segala khayalan mengenai
martabatnya sendiri. Singkatnya: seseorang harus meninggalkan segala kepercayaan pada
dirinya sendiri. Sebab dengan menganggap remeh dirinya, ia benar-benar memuliakan Allah.
Jangan kita memberanikan diri untuk menuntut sesuatu, betapapun kecilnya, sehingga kita binasa
di hadirat-Nya karena kesombongana .kita yang sia-sia itu. Makin suci seorang abdi Allah,
makin dalam pula ia bersujud bila tampil di hadirat Allah. Oleh karena itu, awal doa dan
persiapan doa sebagaimana mestinya ialah permohonan ampun diiringi pengakuan bersalah yang
tulus dan rendah hati.
Poin yang keempat adalah berdoa dengan iman. Meskipun kita berdoa demikian sujud
dan dikuasai oleh rasa rendah hati yang sungguh-sungguh, hendaknya kita terdorong oleh karena
harapan yang kokoh bahwa doa kita didengar. Murka Allah sangat terangsang oleh
ketidakpercayaan kita apabila kita minta suatu anugerah dari pada-Nya padahal kita tidak
mengharapkan pengabulannya. Maka janganlah doa itu tersembur begitu saja, tetapi hendaklah
datang dengan didahului oleh iman.

Doa-doa umum.
Meskipun ketekunan dalam berdoa itu terutama menyangkut doa pribadi masing-masing
orang, namun hal itu berkenaan juga dengan doa-doa umum di dalam gereja. Ada jam-jam yang
disepakati dan ditetapkan. Tentang adanya jam yang ditetapkan tentu tidak penting bagi Allah,
tetapi perlu ada bagi kita, supaya semua orang diberi kesempatan dan segala sesuatu berlangsung
dengan sopan dan teratur di dalam Gereja.

Berdoa dalam nama Yesus


Di antara umat manusia tidak ada seorang pun yang layak untuk menampilkan diri
kepada Tuhan dan datang ke hadirat-Nya. Maka untuk membebaskan kita dari rasa malu dan rasa
takut yang dapat melenyapkan seluruh keberanian kita, maka Allah Bapa telah memberi kita
Anak-Nya, Yesus Kristus Tuhan kita. Dia diberikan untuk menjadi Pembela dan Pengantara kita
pada-Nya (1 Yoh. 2:1; 1 Tim. 2:5), supaya dengan bimbingan-Nya kita tanpa rasa takut dapat
mendekati-Nya. Karena kita percaya bahwa dengan Pengantara seperti Dia tak ada yang akan
ditolak dari segala sesuatu yang kita minta atas nama-Nya. Karena Dialah satu-satunya Jalan dan
satu-satunya Pintu masuk yang memungkinkan kita mendatangi Allah, maka bagi mereka yang
menyimpang dari jalan itu dan meninggalkan pintu itu tidak ada lagi jalan atau pintu lain. Yang
tersisa bagi mereka pada takhta-Nya adalah amarah, hukuman dan kengerian.

Doa Bapa Kami sebagai Pedoman


Sekarang kita tidak hanya harus belajar tentang cara berdoa yang paling tepat, tetapi juga
tentang bentuk doa itu, yaitu bentuk yang diberikan Bapa di sorga kepada kita melalui Anak-Nya
yang Dia kasihi (Mat. 6:9; Luk. 11:2). Rumus atau pedoman untuk berdoa itu terdiri dari enam
buah permohonan. Meskipun keseluruhan doa itu demikian sifatnya sehingga di setiap bagiannya
kita pertama-tama harus ingat pada kemuliaan Allah, namun ketiga permohonan pertama
khususnya ditujukan ke kemuliaan Allah; dan hanya itulah yang harus kita perhatikan di
dalamnya, tanpa mengindahkan keuntungan kita sendiri. Ketiga permohonan lainnya
menyangkut keperluan kita, dan pada hakikatnya dimaksudkan untuk meminta apa yang berguna
bagi kita. Segala sesuatu yang harus dan pada umumnya dapat kita minta kepada Allah dengan
doa, kita dapati tercantum dalam rumus ini, yang seakan-akan merupakan pedoman untuk berdoa
yang diajarkan kepada kita oleh Kristus, Guru yang paling baik itu, yang oleh Bapa ditetapkan
sebagai Guru bagi kita dan yang dikehendaki-Nya sebagai satu-satunya yang harus kita
dengarkan (Mat. 17:5).

Kita harus berdoa secara teratur dan dengan tekun


Sebagai latihan untuk diri kita sendiri, kita sebaiknya masing-masing menetapkan jam-
jam tertentu yang tidak boleh berlalu tanpa doa. Pada jam-jam tersebut seluruh perasaan hati kita
harus dicurahkan untuk itu. Waktu khusus itu, antara lain: bila kita bangun pagi, sebelum kita
mulai melakukan pekerjaan kita sehari-hari, bila kita duduk untuk makan, setelah kita selesai
makan dengan berkat Allah, dan apabila kita hendak tidur. Asal saja perbuatan menepati jam-jam
itu tidak mengandung takhyul, sehingga kita menganggap bahwa dengan demikian kita seakan-
akan mengerjakan tugas bagi Allah dan telah memenuhi kewajiban kita untuk jam-jam
selebihnya. Lebih tepat hendaknya bahwa doa itu mendidik kelemahan kita, supaya itu terlatih
dan terus menerus mendapat dorongan.
Bila hati kita dibiasakan untuk mematuhi aturan ini sambil membiarkan diri dibimbing
oleh hukum-hukum pemeliharaan Allah, maka kita dengan mudah akan belajar untuk bertekun
dalam doa dan untuk, dengan mengesampingkan keinginan-keinginan kita, menantikan Tuhan
dengan sabar. Karena kita yakin bahwa Dia selalu mendampingi kita, meskipun kelihatannya
sama sekali tidak demikian halnya, dan pada waktunya akan menunjukkan bahwa telinga-Nya
tidak tuli terhadap doa-doa yang menurut pandangan manusia tampaknya tidak diindahkan.
Predestinasi

(Sumber: Francois Wendel: hal.297-322)

Calvin memberikan arti penting bagi predestinasi dalam kedua bentuknya – pemilihan dan reprobasi
(penolakan). Namun hal ini bukan berarti bahwa predestinasi harus dianggap sebagai pusat dari
pengajarannya. Seperti yang Wernie katakan, ”Doktrin ini tidak boleh terlampau ditekankan: iman pada
predestinasi masih sangat jauh dari menjadi pusat Calvinisme. Doktrin ini lebih merupakan konsekuensi
terakhir dari iman pada anugerah Kristus di hadapan enigma-enigma dari pengalaman.”

Dalam Institutes tahun 1536, predestinasi tidak tampil sebagai sebuah doktrin yang berdiri sendiri
melainkan dalam penjelasan tentang artikel kedua dari Pengakuan Iman Rasuli dan definisi Gereja.
Mengenai gereja, Calvin secara khusus menekankan pada keselamatan ”yang tak mungkin terhilang”
yang didasarkan pada pemilihan, dan pada fakta bahwa kaum pilihan dipercayakan dalam pemeliharaan
Kristus. Hanya Allah yang bisa melakukan pemisahan antara kaum pilihan dan kaum reprobat, sedangkan
kita tidak bisa secara jelas membedakan mereka sekalipun ada beberapa ”tanda yang pasti” tentang hal
tersebut yang diberikan kepada kita dalam Kitab Suci. Cukuplah bagi kita untuk ”menilai menurut kasih”
dan memandang semua orang ”mengakui Allah yang satu dan sama dan Kristus beserta kita” sebagai
kaum pilihan dan sebagai anggota Gereja. Di sini Calvin telah mengadopsi doktrin mengenai pemilihan
yang juga biasa diterima para reformator.

Karya Calvin Catechism, yang ditulis di Jenewa tahun 1537 menandai sebuah tahap penting dan
menentukan. Calvin menyatakan fakta bahwa pemberitaan Firman tidak menggerakkan semua orang yang
mendengarnya dengan cara yang sama, tetapi menghasilkan buahnya hanya dalam kaum pilihan:
sedangkan kaum reprobat, pemberitaan itu hanya akan membawa kematian bagi mereka. Inilah yang
mendominasi uraian Calvin tentang predestinasi sampai pada akhirnya. Calvin juga menegaskan bahwa
kaum pilihan dan kaum reprobat harus berfungsi “sebagai alasan dan perkara untuk mengagungkan
kemuliaan Allah,”. Hal ini pun menjadi salah satu tema konstan ketika Calvin berbicara mengenai
predestinasi.

Predestinasi

(Sumber: Institutio hal.193-212)

Ajaran predestinasi tidak bisa dilepaskan dari konsep pemilihan Allah. Dalam pemilihan itu, tidak
semua orang dipilih Allah untuk mendapatkan anugerah keselamatan dengan cuma-cuma, dan bahkan,
ada sebagian orang yang dicegah untuk memperolehnya. Masalah ini rumit bagi sebagian orang karena
menurut mereka, sangat tidak layak bila beberapa orang ditakdirkan akan selamat dan beberapa
ditakdirkan akan binasa. Namun bagi Calvin, justru dalam pemilihan itulah rahmat Tuhan dimuliakan dan
kedalaman putusan Allah yang mengagumkan menyatakan diri.

Ajaran predestinasi mengandung bahaya, tetapi perlu juga dikemukakan

Mengandung bahaya dikarenakan rasa ingin tahu orang yang tidak bisa dicegah. Maka, dalam hal ini
Calvin mengingatkan bahwa mengejar pengetahuan tentang predestinasi yang tidak diungkapkan oleh
Firman Allah, sama tololnya dengan orang yang hendak menjelajahi tempat yang tak ada jalannya, atau
yang hendak melihat dalam kegelapan.

Ada juga orang yang mengatakan bahwa setiap penyebutan tentang predestinasi sebaiknya
dibenamkan saja, atau dihindari. Bagi Calvin, hal ini seakan-akan hendak merampas kebaikan Allah.
Maka Calvin berkata bahwa jangan sampai orang-orang percaya dijauhkan dari segala sesuatu yang
disingkapkan di dalam Alkitab tentang predestinasi itu.
Maka dari itu, jangan selidiki apa yang dibiarkan Tuhan tersembunyi, tapi juga, jangan abaikan apa
yang telah disingkapkanNya, supaya kita tidak dihukum karena: kita terlalu ingin tahu, dan dalam hal
lain, karena kita tidak bersyukur.

Apa predestinasi itu?

Predestinasi dinamakan keputusan Allah yang kekal, yang ditetapkanNya untuk diriNya sendiri apa
yang menurut kehendakNya akan terjadi atas setiap orang. Tidak semua orang diciptakan dalam keadaan
yang sama, maka ada yang dipredestinasikan untuk kehidupan atau juga, untuk kematian. Predestinasi
ditetapkan tidak hanya dalam diri perseorangan, tetapi diperlihatkannya juga sebagai contoh dalam
seluruh keturunan Abraham.

Melalui Alkitab, Allah telah menentukan keputusanNya bagi orang-orang mana yang hendak
diterimaNya dalam keselamatan, dan mana sebaliknya yang hendak dibiarkanNya binasa. Putusan itu
didasarkan pada rahmatNya yang cuma-cuma, tanpa mengindahkan kelayakan manusia yang
memperolehnya; dan bagi yang diserahkan pada kebinasaan, keputusanNya didasarkan pada
hukumanNya yang benar dan tanpa cela, yang tak dapat kita pahami.

Bagi orang-orang pilihan, panggilan adalah tanda atau bukti tentang terpilihnya mereka, dan
pembenaran adalah tanda selanjutnya hingga mencapai kemuliaan yang merupakan penggenapannya.
Bagi yang ditolak, Allah menutup pengetahuan tentang namaNya atau pengudusan oleh RohNya. Itulah
yang menjadi tanda-tanda yang memberitahukan kepada mereka hukuman apa yang menantikan mereka.

Ajaran predestinasi dalam Alkitab

Paulus mengajarkan bahwa kita dipilih dalam Kristus sebelum dunia dijadikan (Ef.1:4), maka sudah
pasti tidak diperhatikan sama sekali apa kita layak memperolehnya. Paulus dalam hal ini seakan-akan
berkata bahwa Bapa di sorga tidak menemukan dalam seluruh keturunan Adam sesuatu yang layak bagi
pilihanNya, maka pandangan Allah diarahkan pada Kristus, supaya dari tubuh Kristus, dipilihNya
anggota-anggota untuk diterimaNya mendapat bagian dalam kehidupan. Orang percaya harus mengimani
bahwa kita diterima di dalam Kristus karena diri kita sendiri tidak mampu mencapai kemuliaan
sedemikian.

Pemilihan Allah mendahului kekudusan orang-orang yang dipilihNya, bukan sebaliknya, orang saleh
kudus karena terpilih. Tuhan tidak memberi anugerah pemilihan sebagai balasan atas amal-amal yang
sudah lampau, tetapi bahwa itu dikaruniakanNya karena amal-amal yang akan datang. ”Semua yang
diberikan Bapa kepadaKu akan datang kepadaKu. Dan inilah kehendak Bapa, yaitu supaya dari semua
yang telah diberikanNya kepadaKu jangan ada yang hilang” (Yoh.6:37, 39). Di sini, kita diserahkan pada
Kristus berpangkal pada pemberian Bapa. ”Bukan tentang kamu semua Aku berkata. Aku tahu, siapa
yang telah Kupilih” (Yoh.13:18). Arti yang dipilihNya, ialah suatu jenis istimewa dari umat manusia,
istimewa bukan karena kebaikannya, melainkan karena keputusan sorgawi. Tak seorang pun menonjol
karena kekuatan atau ketekunannya sendiri, sebab Kristus menetapkan diriNya sendiri sebagai pelaku
pemilihan itu.

Calvin menyanggah anggapan orang tentang Allah bertentangan dengan dirinya sendiri, bila secara
umum Dia mengundang semua orang untuk datang kepadaNya, padahal hanya sedikit orang pilihan yang
diterimaNya. Menurut Calvin mereka keliru sebab: Dia yang mengancam bahwa ke atas kota yang satu
akan turun hujan dan ke atas kota yang lain tidak (Am.4:7), Dia yang berfirman, bakal ada kehausan akan
mendengarkan firman Tuhan (Am.8:11), dan Dia yang melarang Paulus memberitakan Injil di Asia, dan
menjauhkannya dari Bitinia dan menariknya ke Makedonia (Kis.16:6 dyb). Dia memperlihatkan bahwa
Dialah yang berhak menentukan kepada siapa kekayaan itu hendak dibagikanNya.

Sanggahan terhadap ajaran predestinasi dijawab

Banyak orang mengingkari bahwa ada orang yang ditolak Allah. Tetapi, bagi Calvin pemilihan tidak
akan ada, jika tidak ada penolakan sebagai lawannya. Mereka yang tidak mau menerima bahwa ada orang
yang ditolak Allah tidak dapat lolos dari ucapan Kristus yaitu bahwa, ”Setiap tanaman yang tidak ditanam
oleh BapaKu akan dicabut” (Mat.15:13)? Dan juga ajaran Paulus bahwa, ”Allah menaruh kesabaran dan
kelembutan yang besar terhadap benda-benda kemurkaanNya yang telah disiapkan untuk kebinasaan –
justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaanNya atas benda-benda belas kasihanNya yang telah
dipersiapkanNya untuk kemuliaan” (Rm.9:22).

Ada pertanyaan, ”Dengan hak apa Allah murka terhadap makhluk-makhlukNya yang sebelumnya
sama sekali tidak menantangNya dengan hinaan apapun?” Bagi mereka, menetapkan kebinasaan bagi
orang-orang tertentu menurut perkenananNya, lebih sesuai dengan kesewenang-wenangan seseorang
diktator daripada dengan hukuman adil seorang hakim. Bagi Calvin, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang alasan kehendak ilahi adalah sangat jahat. Kehendak Tuhan adalah aturan tertinggi dari keadilan.
Apa yang dikehendakiNya harus dianggap adil, justru karena dikehendakiNyalah. Jika ditanyakan
mengapa Tuhan telah berbuat begitu, harus dijawab: karena demikianlah kehendakNya. Tetapi, kalau
bertanya, mengapa Dia menghendakinya, maka kita mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada kehendak
Allah, dan itu tak dapat ditemukan.
Ada juga pertanyaan, ”Mengapa Allah sudah dari mulanya mentakdirkan kematian bagi beberapa
orang yang tidak mungkin pantas diberi hukuman mati, karena mereka belum ada?” Calvin menjawab
bahwa kita semua, sebagai yang dinodai dosa, tak bisa tidak harus dibenci Allah. Jika semua orang
dipredestinasikan untuk binasa karena keadaan kodrati mereka tunduk pada hukuman kematian, maka
ketidak-adilan manakah yang telah ditimpakan kepada mereka yang dapat mereka adukan?

Pertanyaan lainnya, ”Bukankah mereka ditakdirkan sebelumnya oleh ketetapan Tuhan untuk
keburukan yang sekarang diajukan sebagai sebab hukuman mereka? Bukankah tidak adil Dia yang
mempermainkan makhluk-makhluknya sekejam itu?” Calvin menjawab, ”Siapakah kamu, hai manusia,
maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya,
’mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah
liatnya untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk tujuan yang mulia dan yang lain untuk
dipakai guna tujuan yang tidak mulia?” (Rm.9:20 dyb). Paulus menegaskan bahwa patokan keadilan
Allah begitu tinggi, sehingga tidak dapat diukur dengan ukuran manusia, atau ditangkap oleh akal
manusia yang kerdil.

Sanggahan lainnya, ”Mengapa Allah memperhitungkan kepada manusia sebagai dosa hal-hal yang
dengan takdirNya ditetapkanNya perlu ada? Jika manusia dengan takdir Allah diciptakan sedemikian rupa
hingga dikerjakannya apa yang memang dikerjakannya sekarang, maka tidak boleh ia dipersalahkan
karena telah melakukan sesuatu yang tak dapat dihindarinya dan yang ditempuhnya karena kehendak
Allah.” Calvin memberi jawaban dengan kata-kata Salomo bahwa, Tuhan membuat segala sesuatu demi
diriNya, bahkan orang fasik dibuatnya untuk hari malapetaka (Ams.16:4). Dengan putusan dan
kehendakNya, ditetapkanNya bahwa di antara manusia, ada yang ditentukan akan mengalami kematian
yang pasti, supaya dengan kebinasaan mereka, namaNya dimuliakan. Mereka yang tertolak itu
menginginkan supaya dosa mereka dapat dimaafkan oleh karena mereka tidak dapat luput dari keharusan
berdosa, dan karena keharusan itu ditanggungkan kepada mereka dengan penetapan Allah. Walaupun
manusia dengan providensi Allah diciptakan untuk sengsara, namun alasan sengsaranya diambilnya dari
dirinya sendiri dan bukan dari Allah.

Mereka juga bertanya, ”Apa sebabnya dari dua orang yang tidak dibedakan oleh satu amal pun, yang
satu dilewati Allah dalam pemilihanNya, dan yang lain diterimaNya. Calvin menjawab bahwa Allah tidak
memandang manusianya, tetapi dari kebaikan hati Allah, Dia mengambil alasan untuk berbuat baik
kepada manusia. Jadi, bahwa Allah memilih yang satu dan menolak yang lain, alasannya bukanlah bahwa
Dia melihat manusianya, melainkan hanya belas kasihanNya yang harus bebas memperlihatkan dan
menyatakan diri, di mana saja dan kapan saja itu berkenan kepadaNya.
Ada juga yang mengajukan bahwa seandainya predestinasi itu dipertahankan, semua ketekunan dan
kerajinan untuk berbuat baik akan runtuh. Sebab bila kehidupan atau kematian telah ditetapkan, berarti
tidak menjadi soal bagaimana perilakunya. Hal ini dijawab Calvin dengan perkataan Paulus bahwa kita
telah dipilih untuk maksud ini, yaitu supaya menjalankan kehidupan yang kudus dan tanpa cacat (Ef.1:4).
Jika kesucian hiduplah yang menjadi tujuan pemilihan, maka ajaran itu harus lebih menggugah dan
mendorong kita untuk menaruh perhatian pada kesucian daripada menjadi dalih untuk kelambanan.
Pemilihan mempunyai tujuan supaya kita berusaha keras melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.

Allah memanggil juga orang-orang yang dipilihNya

Panggilan itu tiada tanpa memilih-milih. Dengannya Allah akhirnya menyatakan pemilihanNya, yang
di luar tindakan itu tetap tersembunyi dalam diriNya. Panggilan itu dapat dinamakan ”kesaksian” tentang
pemilihan itu. ”Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula
untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya; dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka
itu juga dipanggilNya; dan mereka yang dipanggilNya, mereka itu juga dibenarkanNya, supaya sekali
kelak mereka dimuliakanNya” (Roma 8:29, dyb.). Tuhan memang telah mengangkat orang-orang
milikNya menjadi anak-anakNya dengan memilih mereka. Namun, mereka tidak dapat sampai pada
pemilihan itu kalau tidak dipanggil. Bila panggilan dikaitkan pada pemilihan, maka Alkitab dengan jelas
menyatakan bahwa dalam panggilan itu tidak boleh dicari hal yang lain dari belas kasihan Allah yang
diberikan dengan cuma-cuma.

Iman adalah hasil pemilihan, bukan sebaliknya

Ada dua macam kesesatan. Pertama bahwa yang diberikan kepada kita hanyalah kemampuan untuk
beriman, dan bukan iman itu sendiri. Kedua bahwa pemilihan itu tergantung dari apa yang datang
kemudian; seakan-akan pemilihan itu tidak ada kepastian sebelum dikokohkan oleh iman. Memang
pemilihan itu, dilihat dari sudut kita, dikokohkan (bilamana kita beriman). Tetapi, tidaklah benar bila
dikatakan bahwa kekuatannya datang dari situ (iman). Dari hal itulah (iman) kita memang harus mencari
kepastian pemilihan kita, sebab jika kita mencoba dengan nalar kita memasuki ketentuan Allah yang
kekal itu, jurang yang dalam itu akan menelan kita. Tetapi, bila Allah telah memperlihatkan pemilihan
kita kepada kita, kita harus naik lebih tinggi, agar akibat itu tidak meggelapkan sebabnya. Alkitab
mengajarkan bahwa kita diterangi (diberi iman) sebagaimana kita telah dipilih oleh Allah.

Kristus cermin tempat menatapi pemilihan

Jika kita mencari kelembutan Allah dan kebaikan hatiNya, maka pertama-tama kita harus
mengarahkan pandangan kita kepada Kristus yang kepadaNya sajalah Bapa berkenan (Mat.3:17). Jika
kita mencari keselamatan, kehidupan, dan kebakaan sorgawi, maka tempat pelarian kita hanyalah Kristus,
sebab Dialah satu-satunya sumber kehidupan, dan sauh keselamatan, dan ahli waris Kerajaan Sorga. Jadi,
Kristus adalah cermin tempat kita menatapi pemilihan kita.

Jika kita selanjutnya meragukan apakah kita diterima oleh Kristus supaya dirawatNya dan dijagaNya,
maka ditampungNya keraguan kita itu dengan menawarkan diriNya dengan rela sebagai Gembala, dan
dikatakanNya bahwa kita akan termasuk kawanan dombaNya jika kita mendengar suaraNya (Yoh.10:3).
Maka marilah kita dekap Kristus yang diajukan kepada kita dengan penuh keramahan itu dan yang datang
menyongsong kita: dan kita akan dianggapNya termasuk kawananNya, dan akan tetap dijagaNya di
dalam kandangNya.

Panggilan lahiriah dan batiniah

Akan tetapi, tiap hari terjadi bahwa mereka yang tampaknya adalah kepunyaan Kristus,
melepaskanNya dan jatuh. Hal ini memang benar. Sebab ada panggilan umum, yang dipakai Allah untuk
dengan jalan pemberitaan Firman secara lahir mengundang semua orang sama rata supaya datang
kepadaNya, juga mereka yang kepadaNya panggilan itu diajukanNya untuk menjadi ”bau kematian” dan
hukuman yang lebih berat. Ada pula panggilan yang khusus, yang pada umumnya hanya dianggapNya
pantas bagi orang-orang percaya, yaitu bila dengan penerangan batin dari RohNya Dia membuat Firman
yang diberitakan itu berdiam di dalam hati mereka. Tetapi, ada kalanya Dia juga memberi bagian dalam
panggilan ini kepada mereka yang diterangiNya untuk beberapa waktu saja; namun kemudian
ditinggalkanNya mereka sesuai dengan sikap mereka yang tidak tahu bersyukur, dan makin dibutakanNya
mereka.

Sebelum dipanggil, orang-orang yang terpilih tidak berbeda dari yang lain

Orang-orang yang terpilih itu dikumpulkan ke dalam kandang domba Kristus oleh panggilan itu.
Tetapi, sebelum mereka dikumpulkan ke tempat Gembala utama itu, mereka mengembara terpencar-
pencar di padang pasir sama seperti semua orang, dan mereka tidak berbeda dari yang lain kecuali bahwa
mereka dilindungi oleh kerahiman Allah yang khusus. Bahwa mereka tidak sampai pada kefasikan yang
paling hebat dan yang tak tertolong lagi, sebabnya bukanlah karena pada mereka ada suatu kebaikan yang
kodrati, tetapi karena mata Allah menjaga dan tangannya terulur untuk keselamatan mereka. Yes.53:6
berkata, ”kita sekalian telah sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri”, yaitu
jalan ke kebinasaan. Bagi mereka yang ditentukan Tuhan akan dikeluarkanNya kelak dari jurang
kebinasaan itu, Tuhan mengundurkan waktunya sampai tiba saatnya; mereka hanyalah dijagaNya, jangan
sampai mengeluarkan hujat yang tak dapat diampuni.
Alasan Allah untuk menolak orang-orang yang tidak dipilihNya

Sebagaimana Allah melaksanakan keselamatan yang ditentukanNya bagi mereka dengan putusanNya
yang kekal, demikian pula terhadap mereka yang ditolak. Mereka diciptakanNya untuk mengalami
keaiban dalam hidup dan kebinasaan dalam mati supaya menjadi benda-benda kemurkaanNya dan
contoh-contoh kekerasanNya. Supaya sampai pada tujuan itu, bagi mereka dihilangkanNya kemungkinan
untuk mendengar FirmanNya, dan kadang-kadang justru dengan pemberitaan Firman itu dipekatkanNya
kebutaan dan kebodohan mereka.

Apa sebab kepada yang satu diberiNya rahmatNya dan yang lain dilewatiNya? Mereka dilewati Tuhan
karena mereka merupakan benda-benda kemurkaanNya yang diciptakan untuk keaiban. Agustinus
berkata, ”Allah bisa saja mengubah kehendak orang-orang yang jahat menjadi baik, sebab Dia
mahakuasa: sudah tentu hal itu dapat dilakukanNya; maka mengapa itu tidak dilakukanNya? Sebab,
bukan itu kehendakNya; mengapa tidak dikehendakiNya, itu terletak pada Dia.” Sebaiknya kita jangan
mengetahui lebih banyak daripada yang layak.

Bahwa mereka yang ditolak itu tidak patuh pada Firman Allah, kesalahannya memang sudah
sebenarnya dijatuhkan pada kejahatan dan keburukan hati mereka. Asal saja segera ditambahkan bahwa
mereka diserahkan pada kejahatan mereka itu, karena mereka diberi hidup supaya dengan pembinasaan
mereka Dia dimuliakan.

Beberapa keberatan dijawab

Pada satu pihak dikatakan bahwa sudah dari sejak kekal ditetapkan oleh Allah orang-orang yang
hendak ditimpaNya dengan murkaNya; dan pada pihak lain bahwa kepada semuanya, tanpa pilih kasih,
Dia mengabarkan keselamatan (mis. dalam 1 Tim.2:4). Keduanya benar sebab belas kasihanNya tersedia
bagi semua orang, asal mereka menginginkannya dan memohonnya. Tetapi, hal itu hanya dilakukan
mereka yang telah ditentukanNya akan memperoleh keselamatan.

Oleh karena kepada semua orang ditawarkan belas kasihan Tuhan melalui Injil, maka imanlah, yaitu
penerangan oleh Allah, yang membedakan antara yang beriman dan yang fasik; sehingga yang beriman
merasakan keampuhan Injil, yang fasik sebaliknya, sekali-kali tidak memetik buahnya. Penerangan itu
pun diatur oleh pemilihan Allah yang kekal.

Calvin mengakui bahwa apa yang dibuat Allah tidak ada yang dibenci Allah, namun ajaran Calvin
tetap, yaitu bahwa orang-orang yang ditolak itu dibenci Allah karena mereka tidak menerima karunia
RohNya, jadi tidak dapat menghasilkan apa-apa selain hal-hal yang menyebabkan kutukan. Seperti juga
rahmat Tuhan yang ditawarkan kepada semua orang tanpa pilih kasih, baik kepada orang Yahudi dan
orang kafir. Hal ini benar, asal saja mereka mengakui bahwa Allah memanggil dari antara orang Yahudi
maupun dari antara orang kafir menurut perkenananNya (Roma 9:24), sehingga Dia tidak terikat pada
siapa pun. Roma 11:32 menyebutkan bahwa Allah telah mengurung semuanya dalam ketidak-taatan
(dosa) supaya Dia dapat menunjukkan belas kasihan kepada mereka semua. Artinya, karena Dia
menghendaki supaya keselamatan semua orang yang diselamatkan, dianggap berasal dari belas
kasihanNya, meskipun kebaikan ini tidak berlaku umum untuk semua orang.

Calvin menutup pengajarannya dengan seruan bagi mereka yang berbantah, ”Siapakah kamu, hai
manusia, maka kamu membantah Allah?” (Roma 9:20). Sebab benarlah perkataan Agustinus, bahwa
mereka yang mengukur keadilan Allah menurut ukuran keadilan manusia, membalikkan norma
AKHIR ZAMAN

Buku ke-III dari Institutes diakhiri dengan satu bab mengenai "kebangkitan terakhir,"
yang bisa dikatakan, sebagai babak puncak yang dirancang untuk memperlihatkan tujuan dari
karya penebusan Kristus. Tujuannya adalah agar pembaca bisa belajar, Setelah menerima Yesus
Kristus sebagai Pencipta keselamatan sempurna, dan untuk mengangkat diri mereka lebih tinggi
lagi dan mengetahui bahwa kepadanya telah dikenakan kekekalan dan kemuliaan sorgawi, agar
seluruh tubuh bisa disesuaikan dengan Sang Kepala. Maka poin yang ingin dijelaskan oleh
Calvin adalah bagaimana orang beriman memiliki bagian di dalam kehidupan Kristus dalam
dunia yang kekal dan digabungkan dengan Allah.

Mayoritas komentator yang telah meneliti aspek dari teologi Calvin ini telah memberikan
perhatian kepada pengendalian diri dan kejernihan pikiran yang Calvin terapkan pada dirinya
dalam domain ini di mana ia tidak berspekulasi tanpa tindakan pencegahan atau tanpa dukungan
dari data Kitab Suci. Kita tahu juga, bahwa Calvin secara tegas menahan diri dari menerbitkan
tafsiran apa pun mengenai Kitab Wahyu dan hanya mengutip sangat sedikit dari kitab tersebut.
Ini tidak berarti bahwa Calvin tidak menganggap penting kehidupan masa depan dan janji
mengenai dunia kekal. Sebaliknya, ia menganggap meditasi mengenai kehidupan yang akan
datang sebagai sebuah unsur esensial dalam kehidupan Kristen. Dia sering mengulangi perkataan
Augustinus bahwa orang percaya, dalam pengertian sebenarnya, bukan lagi warga dunia ini,
melainkan dalam hal apa pun mereka hanyalah orang asing dan musafir di bumi, dan bahwa
mereka harus hidup dengan mata yang tertuju kepada kehidupan yang akan datang.

Perenungan mereka atas kehidupan masa depan membuat mereka mengambil bagian
sampai taraf tertentu dalam kehidupan sorgawi dengan pengharapan dan iman. "Meskipun orang
yang setia sekarang seperti musafir di dunia ini, tetapi dengan kepercayaan dan jaminan yang
mereka miliki, mereka bergerak melintasi langit, untuk memelihara kedamaian diri dalam
warisan masa depan. Mereka menempatkan warisan itu di dalam pengakuan mereka." Oleh
objeknya sendiri, iman diarahkan kepada hal yang baka dan masa depan, sampai pada hari di
mana kita akan mengenalnya dalam kenyataannya. Iman terikat erat dengan pengharapan dan
janji iman, dalam memahami kasih Allah, menggenggam janji-janji tentang kehidupan masa kini,
maupun masa yang akan datang. Namun, di mana pun terdapat iman yang hidup ini, iman inilah
yang akan selalu membawa serta memberikan pengharapan akan keselamatan kekal, atau
malahan melahirkan dan menghasilkan pengharapan itu sendiri.

Di bagian lain, Calvin mengidentifikasikan pengharapan dengan ketekunan atau dengan


kekonstanan iman. Namun, meskipun objek dari Iman terletak pada kehidupan yang akan datang,
orang percaya hidup dengan objek itu sekarang: "Pengharapan bukanlah sesuatu yang mati;
pengharapan bukanlah khayalan ringan yang kita buat, melainkan pengharapan adalah afeksi dari
Roh Kudus yang sedemikian rupa sehingga meskipun kita melekat pada tubuh yang binasa ini
Allah tetap bekerja dengan kuasa Roh Kudus-Nya, sehingga kita akan tetap diangkat, dan kita
akan melangkah maju, dan menantikan warisan yang disediakan bagi kita tersebut. Tidak pernah
ada keraguan, karena kita pasti akan menerimanya, karena Tuhan kita Yesus Kristus tampak
pada saat itu, dan kehidupan yang sekarang masih tersembunyi bagi kita akan disingkapkan
kepada kita.

Syarat-syarat untuk memasuki kehidupan yang akan datang tersebut ada dua, yaitu:
kekekalan jiwa dan kebangkitan tubuh. Syarat yang kedualah yang menimbulkan berbagai
kesulitan yang lebih besar, ini adalah perkara yang terlampau tinggi untuk bisa dijangkau oleh
pemahaman manusia kepada hal tersebut. Untuk memercayainya, kita membutuhkan dua
bantuan yang ditawarkan Kitab Suci kepada kita, yaitu Kuasa Allah yang tidak terbatas dan
teladan Kristus, yang telah menggenapi kehidupan fana-Nya dalam natur yang diambil-Nya dari
kita, sehingga ketika natur ini dijadikan menjadi kekal, la adalah jaminan yang pasti untuk
kekekalan kita yang akan datang. Transfigurasi dari tubuh kita yang binasa yang akan terjadi
pada Hari Penghakiman dimana sebuah mujizat yang dengan kecemerlangan keagungan-Nya
akan melingkupi seluruh pemikiran kita. Transfigurasi itu muncul dari kuasa Allah yang tidak
terbatas, sehingga tidak ada ruang untuk mencari penjelasan lain tentangnya. Calvin dengan
gigih memerangi pendapat dari mereka yang membayangkan bahwa jiwa tidak akan mengenakan
kembali tubuh yang sekarang mereka kenakan, tetapi bahwa tubuh yang baru akan diciptakan
untuk mereka.
Di samping itu, bukankah Allah telah menghormati tubuh kita dengan menjadikan tubuh
ini sebagai bait bagi diri-Nya sendiri, dengan menjadikannya sebagai anggota dari Kristus,
dengan menetapkan bahwa setiap bagian dari tubuh harus dikuduskan, dan mengaitkannya
dengan penyembahan kita kepada-Nya? Sebuah argumentasi theologis yang dikemukakan untuk
menguatkan sudut pandang ini. Kematian tubuh adalah akibat "aksidental" dari dosa; pemulihan
yang telah Kristus dapatkan untuk kita secara logis menghapus konsekuensi Kejatuhan.

Sedangkan tentang jiwa, karena jiwa adalah kekal, maka kita tidak bisa berbicara
mengenai kebangkitan jiwa. Namun kemudian, apa yang akan terjadi dengan jiwa itu setelah
kematian dan sampai disatukan kembali dengan tubuh yang dibangkitkan pada Hari
Penghakiman? Dalam karya theologisnya yang pertama, Psychopannychia, Calvin telah berusaha
untuk membantah pengajaran dari kaum anabaptis tertentu yang mengatakan bahwa jiwa tertidur
selama periode ini yang mendahului nasib mereka, yang pasti sementara itu mereka dipisahkan
dari tubuh. Kebahagiaan kita, tulisnya pada saat itu sedang dalam perjalanan, sampai tibanya hari
besar yang akan mengakhiri setiap jalan. Kelihatannya, ini adalah kemuliaan dari kaum pilihan
dan akhir dari pengharapan terakhir yang memandang kepada hari yang sama ini, agar keduanya
digenapkan dan menjadi semakin jelas. Tidak ada kesempurnaan atau kebahagiaan ataupun
kemuliaan lain kecuali dalam penyatuan yang sempurna dengan Allah." Orang beriman yang
meninggal sebelum hari terakhir ini tidak tertidur, mereka langsung masuk ke dalam Kerajaan
Allah, Kerajaan yang telah dimulai dan akan disempurnakan.

Calvin mengatakan hal yang sama dalam Institutes tahun 1559 bahwa "Jiwa orang
beriman, setelah melalui masa pertempuran dan penderitaan, dibawa ke tempat perhentian, di
mana mereka menunggu dengan sukacita penggenapan dari kemuliaan yang dijanjikan: dan
dengan demikian segala hal tetap dalam ketegangan sampai Yesus Kristus datang sebagai Sang
Penebus." Perhentian ini bukanlah tidur: tetapi sadar, dan orang yang beriman saling berbagi
dalam kerajaan Allah, tetapi mereka belum bisa masuk ke dalam kemuliaan akhir sampai setelah
Penghakiman. "Dan untuk kaum reprobat, tidak diragukan bahwa kondisi mereka sesuai dengan
apa yang Yudas katakan tentang iblis-iblis. Mereka akan dirantai seperti penjahat sampai pada
waktu di mana mereka diseret kepada hukuman yang diterapkan bagi mereka. Dengan demikian,
keadaan ini adalah sebuah masa penantian, tetapi masa ini sudah memampukan kita untuk
mengetahui sebelumnya mengenai keputusan terakhir.
Berkaitan dengan Penghakiman itu sendiri, sekarang adalah waktunya di mana kita harus
berpikir mengenainya, dan menarik beberapa konsekuensi yang berkaitan dengan kehidupan
masa kini. Tidak ada hal apa pun yang bisa mendorong kita dengan lebih kuat daripada
mengetahui bahwa suatu hari nanti kita akan memberikan pertanggungjawaban. Pengumuman
tentang penghakiman terakhir niscaya menggetarkan seperti sangkakala yang memanggil kita
untuk tampil di hadapan takhta penghakiman Allah.

Dengan cara inilah kita benar-benar bisa digugah dan mulai berpikir untuk menjalani
kehidupan yang baru. Pada hari penghakiman Tuhan akan datang kembali dan akan dilakukan
pemisahan orang yang beriman dari kaum reprobat. la akan turun dalam bentuk yang terlihat
sebagaimana kenaikan-Nya, dan akan muncul di hadapan setiap orang dalam keagungan yang
tidak terucapkan, dalam terang kekekalan, dengan kuasa keilahian-Nya yang tidak terbatas,
dengan diiringi oleh para malaikat-Nya. Ia akan memisahkan domba dari kambing, kaum pilihan
dari kaum reprobat, dan tidak ada seorang pun, baik yang hidup maupun yang mati, yang mampu
untuk melarikan diri dari penghakiman-Nya.

Karena dari seluruh ujung bumi akan terdengar sangkakala, yang dengannya seluruh
manusia akan dipanggil dan dikumpulkan ke hadapan takhta-Nya. Mereka yang masih hidup
maupun mereka yang telah meninggalakan menerima penghakiman. Penghakiman terakhir akan
didahului oleh kebangkitan. Semua akan menghadapi beberapa kesulitan dalam menjawab
pertanyaan orang, baik orang yang beriman maupun kaum reprobat.

Dalam hal ini Calvin ingin kita tahu bahwa semua orang dijadikan tunduk kepada
kematian di dalam Adam; tetapi karena Yesus Kristus, yaitu la yang adalah Kebangkitan dan
hidup telah datang. Setelah mengingat bahwa kebaikan yang Allah lakukan untuk mereka yang
tidak layak menerimanya berbalik menjadi penghukuman yang lebih berat.

Calvin menjadikan kebangkitan tubuh sebagai syarat dari penghakiman itu sendiri. Kita
tidak perlu menganggap hal ini aneh, bahwa kebangkitan seharusnya berlaku bagi orang yang
bersalah, untuk alasan yang lain, yaitu menarik mereka secara paksa menuju takhta kursi
penghakiman. Anggapan Calvin bahwa manusia hanya menerima penghukuman yang terlalu
ringan jika mereka sekadar mengalami kematian tanpa muncul di hadapan Hakim mereka, yang
dari-Nya mereka layak mendapatkan pembalasan tanpa akhir, terus-menerus, dan tanpa ditahan-
tahan, untuk menerima upah atas pemberontakan mereka."

Berkaitan dengan nasib yang menanti kaum pilihan dan kaum reprobat setelah
Penghakiman, Calvin sangat waspada dan berhati-hati untuk tidak melangkah melampaui
indikasi-indikasi Kitab Suci. Meskipun Kitab Suci mengajarkan bahwa Kerajaan Allah penuh
dengan terang, sukacita, kebahagiaan, dan kemuliaan, namun semua yang dikatakan tentangnya
jauh melampaui inteligensi kita dan seakan-akan dibungkus dalam gambaran sampai tibanya hari
di mana Sang Juruselamat akan menjelaskan diri-Nya kepada kita secara bertatap muka.

Alkitab dalam hal ini hanya menggunakan perbandingan material yang tidak memadai
dan yang dalam segala aspek bukan dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang tepat. Yang
bisa kita simpulkan dari Kitab Suci dalam hal ini adalah bahwa meskipun semua orang yang
terberkati berpartisipasi dalam kemuliaan sorgawi, mereka tidak melakukannya dengan cara
yang sama atau dalam taraf yang sama. Anugerah-anugerah yang dilimpahkan Allah dalam
ukuran yang tidak setara untuk orang-orang beriman dalam kehidupan di bumi pada saat ini
adalah seperti sebuah gambaran dari kemuliaan yang menunggu mereka dalam kehidupan baka.
Allah akan membuat seseorang berjalan di depan dan yang lainnya di belakang, tetapi kita akan
melihat bahwa seseorang akan dikaruniai dengan keunggulan yang lebih besar daripada yang
lainnya, kita akan melihat dalam salah satu dari antara mereka kesempurnaan dan kesucian hidup
yang lebih besar daripada yang lainnya. Sebagaimana Allah bekerja di dalam dunia ini melalui
orang-orang beriman, demikian juga Ia akan memuliakan mereka pada hari terakhir. Itulah
alasan mengapa dikatakan bahwa beberapa di antara mereka yang menunjukkan jalan kepada
yang lainnya bahwa mereka akan mendapatkan kemuliaan khusus. Sudah pasti bahwa seluruh
kaum pilihan tidak bisa berharap untuk ditempatkan pada takhta seperti para rasul, atau untuk
menerima mahkota khusus seperti Rasul Paulus.

Perikop-perikop yang berbicara mengenai penderitaan kaum reprobat ini bukanlah


dimaksudkan sebagai deskripsi yang persis tentang hal ini, namun lebih dimaksudkan sebagai
peringatan-peringatan yang ditujukan oleh Allah kepada para hamba-Nya dalam dunia ini, untuk
membangkitkan mereka, di bawah beban salib, untuk bersegera, sampai la menjadi segala-
galanya di dalam segala-galanya.
Pentingnya perkara ini memiliki tujuan untuk memperlihatkan kepada manusia, bahwa
bukan tanpa alasan apabila Paulus berkata kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka sia-
sialah dan berdustalah seluruh injil (1 Kor. 15:13-15). Sebab dalam hal itu kita akan menjadi
yang paling malang dari segala ciptaan, dan menjadi sasaran kebencian. Maka akan semakin
terlihat kewibawaan injil akan jatuh tidak hanya dalam satu hal, tetapi juga secara keseluruhan,
yang rangkumannya ialah penerimaan kita sebagai anak, serta perwujudan keselamatan kita.

CALVINISME DI INDONESIA

1) Calvinisme di Indonesia merupakan hasil adaptasi Calvinisme Belanda dengan konteks


Indonesia. Konteks ini ditentukan oleh kebijkan pemerintah Belanda, keadaan Gereja
yang serba kekurangan tenaga pelayan, dan kedudukan gereja di bawah negara.
Calvinisme mau diadaptasi, adaptasi malah meupakan perwujudan hakikat
2) Ada masa-masa di mana proses adaptasi dengan konteks Indonesia berjalan mulus, tetapi
pada masa-masa lain proses itu berjalan lambat. Situasi letergantungan gereja pada
kebijakan politik dan pemerintah dari VOC dan pemerintah Hindia Belanda amat
menentukan di sini.
3) Untuk waktu yang lama Calvinisme Belanda itu tidak ditanamkan dengan baik di
kalangan orang-orang Kristen Indonesia, kecuali di pusat-pusat VOC. Baru pada abad ke-
19 Calvinisme mendapat kesempatan untuk ditanamkan dengan sungguh-sungguh, yaitu
tatkala badan-badan Zending Gereformeerd dan Gereja Gereformeerd sendiri
mengadakan Pekabaran Injil di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.
4) Sekalipun kita harus mengatakan bahwa Calvinisme Belanda tidak dapat secara lengkap
ditranfer ke Indonesia dan karena itu Calvinisme Indonesia tidaklah murni Calvinisme
Belanda, kita tidak boleh mengatakan bahwa warisan tradisi Calvinisme telah hilang dari
gereja-gereja di Indonesia. Yang harus kita katakan ialah pada gereja-gereja kita di
Indonesia masih tersimpan warisan tradisi Calvinisme itu.
5) Calvinisme di Indonesia sudah bergabung dengan Pietisme, terutama dalam hal kesalehan
hidup. Memang soal hidup saleh bukan milik ekslusif Pietisme. Calvinispun
memilikinya. Namun, “ketertindihan” keduanya dapat dilihat di sana-sini.
6) Salah satu hal yang membedakan Calvinisme Indonesia dari Calvinisme Belanda
mungkin adalah ajaran tidak pernah menjadi persoalan. Ajaran yang disebarkan diterima
tanpa dipersoalkan.

Kebangkitan adalah kebangkitan daging

Memang sukar dipercaya bahwa tubuh-tubuh yang sudah membusuk sampai binasa akan
bangkit lagi kalau sudah tiba waktunya. Maka meskipun sudah ditegaskan oleh banyak filsuf
bahwa jiwa Itu tidak dapat mati, hanya sedikit orang menerima kebangkitan Daging. Dan
meskipun hal itu tidak dapat menjadi dalih, namun kenyataan itu mengingatkan kita bahwa
kebangkitan itu adalah suatu Hal yang begitu tinggi, sehingga perasaan orang tidak dapat tertarik
Padanya. Maka Alkitab menyediakan dua pertimbangan yang bisa Membantu iman agar
mengatasi rintangan sebesar itu: yang satu Terletak dalam kesamaan [kita) dengan Kristus,
yang lain dalam kemahakuasaan Allah.

Maka setiap kali ada dibicarakan tentang kebangkitan, hendak-Nya di mata hati kita
muncul gambaran Kristus. Di dalam tabiat Yang telah diambil-Nya dari kita, Dia telah
menempuh jalan hidup Yang fana ini sedemikian rupa hingga sekarang, setelah memperoleh
hidup yang kekal, Dia menjadi jaminan bagi kita untuk kebangkitan kelak. Kristus telah bangkit
supaya kita menjadi teman-Nya dalam kehidupan yang akan datang. Dia oleh Bapa dibangunkan
kembali karena Dia adalah Kepala dari Gereja. Dia dibangunkan oleh kuasa Roh yang pekerjaan-
Nya ialah menghidupkan kita bersama dengan Dia. Sehingga disimpulkan bahwa Dia telah
dibangunkan supaya menjadi Kebangkitan dan Kehidupan.

Paulus mengajarkan dengan ringkas bahwa, seperti yang telah katakan, dalam
membuktikan kebangkitan itu pikiran kita harus diarahkan pada kekuasaan Allah yang tak
terhingga. “Dia akan mengubah tubuh kita yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan tubuh-
Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya”
(Flp. 3:21). Hendaklah kita ingat pula bahwa tak seorang pun benar-benar yakin akan
kebangkitannya kelak, kecuali yang mengaku kemuliaan kekuasaan Allah karena dihanyutkan
rasa kagum.
Pikiran manusia sepantasnya tak putus-putusnya dipenuhi oleh renungan akan hal itu.
Namun, kematian dinamakan orang sebagai akhir dari kebinasaan manusia, seakan-akan segala
ingatan akan kebangkitan dengan sengaja hendak dihapuskannya. Pada segala zaman, kebodohan
yang dungu ini merajalela, bahkan Gereja pun diterobosnya, sebab orang Saduki telah berani
menyatakan dengan terang-terangan bahwa tidak ada kebangkitan (Mat. 12:18), malahan bahwa
jiwa itu akan mati.

Salah paham penganut Chiliasme mengenai kebangkitan

Iblis tidak hanya menumpulkan akal manusia supaya mereka menguburkan ingatan akan
kebangkitan itu bersama dengan batang tubuh, tetapi ia telah mencoba pula merusak pokok
ajaran ini dengan berbagai angan-angan agar pada akhirnya hilang. Orang Chiliast membatasi
Kerajaan Kristus sampai seribu tahun. Mereka juga tidak disokong oleh Wahyu Yohanes, yang
sudah pasti mereka pakai untuk membunga-bungai kesesatan mereka; karena angka “seribu” itu
(Why 20:4) bukanlah mengenai kebahagiaan Gereja yang kekal, melainkan hanya mengenai
berbagai kerusuhan yang masih akan dihadapi Gereja selama masih ada perjuangannya di bumi.
Pendeknya, mereka sama sekali awam dalam perkara-perkara Allah, atau dengan kejahatan yang
curang mereka mencoba menggoyahkan semesta karunia Allah dan kuasa Kristus. Sebab
penggenapan kedua hal ini terletak hanya dalam pembaruan kehidupan kekal segenapnya, setelah
dosa dihapuskan dan kematian ditelan.

Jiwa tidak mengalami kebangkitan karena tidak mati

Ada yang mengira bahwa jiwa akan bangkit bersama tubuh, seolah-olah manusia
seluruhnya binasa. Ada pula yang mengaku bahwa jiwa tidak bisa mati, tetapi mengira bahwa
kepada jiwa itu akan dikenakan tubuh baru: dan dengan demikian mereka mengingkari
kebangkitan daging.
Alkitab memberikan ajaran dengan memperhatikan unsur yang membedakan kita dari
hewan yang tak berakal. Jika jiwa itu tidak lebih panjang umurnya dari tubuh, apakah kiranya
yang menikmati kehadiran Allah bila sudah terpisah dari tubuh? Dan jika jiwa itu setelah
menanggalkan tubuh, tidak tetap menyimpan hakikatnya, dan tidak dapat mengandung
kemuliaan yang penuh berkat, maka Kristus dulu agaknya tidak akan berkata kepada si
perampok yang bersama-sama dengan Dia pada waktu penyaliban, "Hari ini juga engkau akan
ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Luk. 23:43). Marilah kita melihat contoh
disaat Kristus menyerahkan jiwa manusia ke dalam tangan Allah pada saat kematian (Luk.
23:46); atau sesuai dengan contoh Stefanus, memohon Kristus agar menerimanya (Kis. 7:59),
Kristus yang bukan tanpa alasan dinamakan "Penggembala dan Pemelihara jiwa" yang setia (1
Petrus. 2:25).

Bertanya-tanya mengenai keadaan jiwa dalam waktu antara kematian dan kebangkitan
kita, tidak boleh dan tidak berguna. Banyak orang menyiksa dirinya dengan mempersoalkan
tempat apakah yang mereka duduki, dan apakah mereka sudah mengecap kemuliaan sorgawi
atau tidak. Tetapi, adalah hal yang bodoh dan gegabah untuk menyelidiki perkara-perkara yang
belum diketahui itu lebih jauh daripada yang diizinkan Allah. Alkitab (Yoh. 12:32) berkata
bahwa Kristus ada bersama mereka, dan menerima mereka di Firdaus tempat mereka terhibur;
tetapi bahwa jiwa orang-orang yang ditolak menderita siksaan yang sesuai dengan yang
sepantasnya mereka peroleh.

Yang dibangkitkan ialah tubuh kita ini

Yang sama mengerikannya ialah kesesatan orang-orang yang berkhayal bahwa jiwa itu
tidak akan menerima tubuh yang mereka kenakan sekarang, tetapi akan diberi tubuh baru, yang
berlainan. Walaupun sekarang di dalam diri kita ada banyak yang tidak layak bagi sorga, tetapi
hal-hal itu tidak akan menghalangi kebangkitan”. . “Yang dapat binasa ini,” kata Paulus, ‘harus
mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini mengenakan tidak dapat mati” (1
Kor 15:54).

Tubuh yang dapat mati yang dikenakan-Nya dulu, diterima-Nya kembali. Sebab memang
tidak bakal besar manfaatnya bagi kita bila tubuh yang telah dikorbankan sebagai tebusan itu
dibinasakan dan diganti dengan tubuh baru. Hendaklah kita juga berpegang pada persekutuan
yang telah diberitakan dalam (1 Kor.15:12) bahwa kita bangkit, karena Kristus telah bangkit.
Sebab, tidak ada yang lebih tidak masuk di akal daripada anggapan bahwa daging kita, yang di
dalamnya kita membawa kematian Kristus sendiri, tidak mendapat bagian dalam kebangkitan
Kristus.

Kita harus puas dengan apa yang dikatakan Akitab Mengenai hal
kebangkitan

Pertama manusia harus dipegang teguh pada apa yang telah katakan, bahwa menurut
substansinya kita akan bangkit dalam daging yang sama dengan yang kita kenakan sekarang,
tetapi sifamya akan berlainan. Demikian pula, yang dibangkitkan adalah daging Kristus yang
sama dengan yang telah dikorbankan, namun daging itu mempunyai keunggulan karena kurnia-
karunia lain, seakan-akan daging yang sama sekali berlainan.

Tidak perlu ada jangka waktu antara kematian dan permulaan kehidupan kedua; sebab
dalam sesaat saja, ”dalam sekejap mata”, akan terdengar bunyi nafiri untuk membangkitkan
mereka yang sudah mati dalam keadaan yang tidak dapat binasa, dan untuk mengubah orang
yang masih hidup secara mendadak hingga mencapai kemuliaan yang sama. Hendaklah kita
menempuh jalan yang tersingkat, yaitu bahwa kita puas sekarang dengan memandang dalam
cermin dan dengan gambaran yang samar-samar, sampai kita melihat muka dengan muka. Sebab,
di antara orang banyak, hanya sedikit yang memikirkan mana jalan yang menuju ke sorga; tetapi
semuanya ingin mengetahui sebelum waktunya, bagaimana keadaannya di sana.

Nasib orang-orang tidak percaya

Oleh karena tidak dapat dilukiskan dengan cara yang memadai betapa hebatnya
pembalasan Allah terhadap orang-orang yang ditolak, maka penganiayaan dan siksaan mereka
diungkapkan kepada Kita dengan hal-hal jasmaniah, yaitu dengan “kegelapan”, ”ratap Tangis”,
“kertak gigi”, “api yang tak terpadamkan”, dan dengan seekor ”ulat yang menggerogoti hati tak
habis-habisnya. Dengan membayangkan sedikit nasib sengsara orang-orang yang tak bertuhan.
Tetapi, kita terutama harus memperhatikan betapa celakanya kita bila diasingkan sama sekali
dari kehidupan bersama dengan Allah; dan bukan hanya itu, tetapi kita harus juga merasakan
keagungan Allah datang menentang kita dengan begitu hebat sehingga kita tak dapat tidak
merasa sesak oleh karenanya.

PERJAMUAN KUDUS KRISTUS DAN APA YANG DIANUGERAHKANNYA KEPADA


KITA

(Institutio: Pengajaran Agama Kristen, hal 297-307)

Tanda dan hal yang ditunjuk oleh tanda itu

Kita diterima Allah di dalam keluarga-Nya, supaya kita dianggap-Nya bukan hanya
sebagai pelayan-Nya, melainkan sebagai anak-anak-Nya. Dia berikhtiar untuk memberi kita
makan sepanjang perjalanan hidup kita. Dan karena itupun belum dianggap-Nya cukup, maka
dengan memberi kita sebuah jaminan, kita hendak diyakinkan-Nya akan kemurahan-Nya yang
takkan habis-habisnya itu. Dengan maksud itulah melalui tangan Anak-Nya yang tunggal diberi-
Nya kepada Gereja sebuah sakramen lagi, yaitu hidangan rohani. Di dalamnya Kristus bersaksi
bahwa Dia-lah roti hidup, roti yang menjadi makanan bagi jiwa kita untuk mencapai hidup kekal
yang benar dan berbahagia.

Tanda-tandanya ialah roti dan anggur, yang mewakili bagi kita makanan yang tak
kelihatan yang kita terima dari daging dan darah Kristus. Kristus merupakan satu-satunya
makanan bagi jiwa kita, dan oleh karena itu kita dipanggil oleh Bapa kita di sorga untuk datang
kepada Dia. Supaya setelah menjadi segar karena makan dari makanan itu, kita dapat
menghimpun tenaga sampai kita mencapai kehidupan yang kekal di sorga. Sebagaimana
kehidupan jasmani dipelihara dengan roti dan anggur, begitu pula Kristus menjadi makanan bagi
jiwa kita.

Buah sakramen ini ialah kesatuan dengan Kristus

Maka hati orang-orang saleh sebagai buah dari sakramen ini memperoleh kepercayaan
dan kenikmatan yang besar, oleh karena mereka mendapat kesaksian bahwa kita telah tumbuh
menjadi satu tubuh dengan Kristus, sehingga segala sesuatu yang adalah kepunyaan-Nya boleh
kita namakan kepunyaan kita. Kesimpulannya ialah: kita boleh menjadi yakin bahwa kehidupan
kekal yang telah diwarisi-Nya menjadi milik kita, dan kitab oleh yakin juga bahwa kita tidak
dapat dihukum karena dosa-dosa kita. Kita telah dibebaskan oleh-Nya dari kesalahan yang
merupakan akibat dosa-dosa itu, sebab Dia menghendaki supaya dosa-dosa itu diperhitungkan
kepada-Nya seakan-akan dosa-Nya sendiri. Maka inilah pertukaran yang sangat indah yang telah
dilakukan-Nya dengan kita sesuai dengan kemurahan-Nya yang tak terukur: setelah menjadi
Anak manusia Bersama kita, Dia telah membuat kita menjadi anak-anak Allah Bersama Dia
dengan turunnya Dia ke Bumi. Dia telah merintis jalan bagi kita untuk naik ke sorga; dengan
menerima kefanaan kita, kita diberi-Nya kekekalan-Nya; dengan menerima kelemahan kita, kita
dikokohkan-Nya dengan kekuatan-Nya, dengan menanggung kemiskinan kita, kepada kita
diserahkan-Nya kekayaan-Nya; dengan mengambil alih beban ketidakbenaran yang menghimpit
kita, kita disandangi-Nya dengan kebenaran-Nya.

Roti dan anggur menunjuk pada makanan dan minuman rohani

Mengenai semuanya itu kita di dalam sakramen ini mendapat kesaksian yang teguh.
Sebab, tidak mungkin ada kebohongan atau penipuan dalam kata ini, “Ambillah, makanlah,
minumlah, inilah tubuh-Ku yang diserahan bagi kamu, inilah darah-Ku yang ditumpahkan untuk
pengampunan dosa”. Dengan memerintahkan kita supaya mengambil diberitahukan bahwa itu
adalah kepunyaan kita; dengan memerintahkan kita supaya makan, ditunjukan-Nya bahwa yang
kita makan itu akan menjadi satu substansi dengan kita; dengan menyatakan bahwa tubuh-Nya
telah diserahkan bagi kita, dan bahwa darah-Nya telah ditumpahkan bagi kita, diajarkan-Nya
bahwa tubuh dan darah itu lebih merupakan kepunyaan kita dari pada kepunyaan Dia; sebab
tubuh dan darah itu telah ditanggalkan-Nya bukan karena hal itu berguna bagi Dia, melainkan
demi keselamatan kita.

Hendaklah diperhatikan baik-baik bahwa kekuatan sakramen yang terutama dan boleh
dikatakan hamper seluruh kekuatannya, terletak dalam kata-kata ini, “yang diserahkan bagi
kamu, yang ditumpahkan bagi kamu”. Dengan demikian, bila roti diberikan kepada kita sebagai
lambing tabuh Kristus, maka segera kita harus memahami kiasan ini : sebagaimana roti
memupuk, memelihara, dan menguatkan kehidupan badan kita, begitu pula tubuh Kristus
merupakan satu-satunya makanan yang dapat mengasuh dan menghidupkan jiwa kita. Bila kita
melihat anggur dijadikan lambing darah-Nya maka kita harus ingat apa gunanya anggur itu bagi
badan kita, supaya dapat kita pikirkan bahwa kegunaan yang sama itu diberikan pula kepada kita
secara rohani oleh darah Kristus, yaitu mengasuh, menyegarkan, menguatkan dan
menggembirakan.

Bagaimana dalam sakramen kita memiliki Kristus dan pemberian-Nya

Hal ini terjadi melalui injil dan juga – dengan lebih jelas – oleh Perjamuan Kudus tempat
Dia menawarkan diri-Nya kepada kita Bersama seluruh harta-Nya dan kita menerima Dia
melalui iman. Jadi, Kristus mulai menjadi roti kehidupan bukan baru oleh sakramen itu. Tetapi,
bila sakramen itu menjadikan kita ingat bahwa Dia telah dijadikan roti kehidupan supaya selalu
kita makan, dan bila sakramen itu membuat kita merasakan lezatnya dan harumnya roti itu, maka
kita dibuatnya merasakan kekuatan roti itu. Sebab, dengan itu kia dijanjikan bahwa segala
sesuatu yang pernah dilakukan atau diderita oleh Kristus, telah dilakukan supaya kita
dihidupakan. Selanjutnya, bahwa hal menghidupkan itu kekal sifatnya , Dia pernah satu kali
memberikan tubuh-Nya supaya menjadi roti, waktu diserahkan-Nya untuk disalibkan demi
penebusan dunia. Setiap hari Dia memberikan tubuh-Nya bila Dia menawarkannya, yakni tubuh
yang disalibkan itu kepada kita melalui Firman Injil, supaya kita mendapat bagian di dalamnya;
bila pemberian itu dimeteraikan-Nya dengan rahasia Perjamuan yang kudus; dan bila artinya
yang lahiriah digenapi-Nya secara batin.

Calvin menjelaskan perbedaan antara pemikirannya dengan pendapat zwingly dkk


Selanjutnya, disini kita harus awas supaya jangan sampai melakukan dua kesalahan.
Jangan sampai kita terlalu melemahkan tanda-tanda dan dengan demikian seakan-akan
memisahkan tanda-tanda dari rahasia-rahasia yang ada padanya tanda-tanda itu boleh dikatakan
terikat.

sakramen Perjamuan yang Kudus itu terbagi dari dua hal : tanda-tanda jasmani yang
menggambarkan perkara-perkara yang tak kelihatan di depan mata kita sesuai dengan daya
paham akal kita yang lemah, dan kebenaran rohani yang digambarkan dan sekaligus diberikan
oleh lambing-lambang itu. Bila saya hendak memperlihatkan secara sederhana bagaimana
kebenaran itu, maka saya mengemukakan tiga hal : makna, zat yang berhubungan dengannya,
dan kekuatan atau akibat yang dihasilkan oleh yang dua ini. Makna itu terletak dalam janji-janji
yang boleh dikatakan terselubung dalam tanda itu. Zat atau Substansi itu saya namakan Kristus
beserta kematian dan kebangkitan-Nya. Akibat saya maksudkan penebusan, kebenaran,
penyucian dan kehidupan kekal, beserta semua kebaikan lainnya yang dianugerahkan kepada kita
oleh Kristus.

Jadi, saya berkata bahwa dalam sakramen Perjamuan, dengan lambing roti dan anggur,
Kristus sesungguhnya diberikan kepada kita, yaitu tubuh dan darah-Nya, yang didalamnya Dia
telah memenuhi seluruh ketaatan agar memperoleh kebenaran kepada kita. Tujuannya supaya
kita pertama-tama bersatu dengan Dia menjadi satu tubuh, dan juga supaya kita, denga
memperoleh bagian dalam substansi-Nya, akan merasakan pula kekuatan-Nya dalam
persekutuan dengan semua harta-Nya.

Dengan cara bagaimana Kristus hadir dalam sakramen Perjamuan Kudus: polemik
terhadap ajaran transsubstansiasi dan konsubstansiasi

Kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus harus kita aggap sedemikian rupa hingga Dia
tidak diikat pada unsur roti dan tidak dikurung di dalam roti. Kita juga tidak boleh membatasi-
Nya dengan cara yang ini atau yang itu (karena semua itu jelas mengurangi kemuliaan sorgawi-
Nya). Kedua pembatasan ini, kata saya sekali-kali tidak boleh dibiakan direbut dari kita :

1. Kemuliaan sorgawi Kristus tidak boleh dikurangi seperti yang terjadi bila Dia
dimasukkan ke dalam unsur-unsur yang dapat binasa itu, yang termasuk dunia ini
atau dikaitkan dengan salah satu hal yang diciptakan di bumi.
2. Tubuh-Nya jangan dianggap mempunyai sifat apapun yang tidak cocok dengan
tabiat manusia seperti yang terjadi, bila dikatakan bahwa tubuh itu taka da
batasnya, atau bila tubuh itu ditentukan berada di beberapa tempat sekaligus.

Tiga pengarang Kitab Injil dan Paulus menceritaka bahwa Kristus telah mengambil roti,
dan sesudah mengucap berkat memecah-mecahkannya, lalu memberikannya kepada murid-
murid-Nya dan berkata “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku yang diserahkan (atau dipecah-
pecahkan) bagi kamu”. Mengenai cawan, Matius dan Markus menceritakan bahwa beginilah kata
Kristus, “Cawan ini adalah darah perjanjian baru, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk
pengampunan doa”. Tetapi Paulus dan Lukas berkata, “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh
darah-Ku”. Para pembela dogma transsubstansiasi berkata bahwa yang dimaksud dengan kata
ganti “inilah” ialah wujud roti, karena konsekrasi itu dilaksanakan oleh seluruh perkataan dalam
rumus itu, dan karena tidak ada substansi yang dapat diperlihatkan.

Tubuh Kristus tidak turun ke tempat kita, tetapi kita diangkat kepada Dia

Sangat besarlah kekeliruan mereka yang sama sekali tidak menerima hadirnya daging
Kristus pada Perjamuan Kudus, kecuali bila dianggap berada dalam roti. Sebab dengan demikian
tak ada yang mereka biarkan sebagai karya Roh yang tersembunyi yang menyatukan Kristus
sendiri dengan kita. Bagi mereka Kristus agaknya tidak hadir kecuali Dia sendiri turun ke tempat
kita. Seakan-akan kehadiran-nya tidak akan kita nikmati sama jelasnya bila kita diangkat-Nya ke
tempat-Nya. Maka hanyalah menbgenai caranya: sebab mereka menempatkan Kristus di dalam
roti, tetapi beranggapan bahwa tidak pantaslah ita menurunkan Dia dari sorga. Yang mana dar
kedua hal itu yang lebih benar, terserah kepada pembaca. Hanya jangan sampai ada lagi tuduhan
palsu, bahwa Kristus telah dijauhkan dari Perjamuan Kudus-Nya jika dia tidak tersembunyi di
dalam roti bagaikan dalam selimut. Mengingat misteri ini bersifat sorgawi, maka Kristus tidak
perlu diturunkan ke bumi untuk dipersatukan dengan kita.

Cara merayakan Perjamuan Kudus

Adapun upacara lahiriah perayaan itu : tidaklah menjadi soal, apakah orang-orang
percaya menerima roti dengan tangan atau tidak, apakah mereka membaginya antara mereka atau
masing-masing orang makan apa yang diberikan kepadanya, apakah cawan mereka kembalikan
kepada diaken atau mereka teruskan kepada orang yang disampingnya, apakah roti itu beragi
atau tidak, apakah anggur itu merah atau putih warnanya. Hal-hal ini adalah hal-hal yang tak
begitu penting dan diserahkan pada kebijaksanaan Gereja.

Supaya Perjamuan Kudus dilayankan dengan cara yang paling khidmat, hendaknya itu
sering sekali disuguhkan kepada jemaat, sekurang-kurangnya satu kali seminggu. Hendaklah itu
dimulai dengan doa resmi, selanjutnya diadakan khutbah, lalu setelah pendeta menaruh roti dan
anggur di atas meja, hendaklah ia menuturkan bagaimana Perjamuan itu ditetapkan, lalu
disebutnya janji-jani yang ditinggalkan bagi kita dalam Perjamuan itu; hendaklah ia sekaligus
mengucilkan semua orang yang oleh larangan Tuhan ditolak dari Perjamuan itu. Sesudah itu
hendaklah ia berdoa, kiranya Tuhan, sebagaimana Diak arena kemurahan-Nya telah memberikan
makanan yang suci itu kepada kita, juga selanjutnya mengajar dan membentuk kita supaya kita
menerimanya dengan iman dan hati bersyukur, agar kita yang dari diri kita sendiri tidak layal,
oleh rahmat-Nya dibuat-Nya layak menerimanya. Kemudian dinyayikan mazmur-mazmur, atau
ada sesuatu yang dibacakan, dan hendaklah prang-orang percaya dengan tertib yang sepantasnya
ikut pada perjamuan yang mahakudus itu, sedangkan para pelayan memecah-mecahkan roti dan
membagikannya kepada hadirin. Sehabis Perjamuan, hendaklah para hadirin dinasihati agar
dengan sungguh-sungguh percaya dan mengamalkan kepercayaan itu, supaya menjalankan cinta
kasih dan kehidupan yang patut bagi orang Kristen

BAPTISAN MENURUT CALVIN

Dalam ajaran tentang Sakramen, Calvin menempuh jalan tengah antara Luther dan
Zwingli. Calvin menekankan bahwa sakramen adalah pemberian Allah, bukan sekedar tindakan
pengakuan manusia, tetapi ia menolak pemahaman bahwa sakramen berarti sesuatu apapun
terlepas dari iman orang menerimanya. Bagi Calvin sakramen adalah “suatu tanda lahiriah
(symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji akan
kerelaanNya terhadap kita” dengan maksud untuk memperkuat iman dan mengundang respon
manusia. Dari definisi ini jelas bahwa prakarsa sakramen ada pada Allah, tetapi bahwa segi
pengakuan iman oleh manusia, yang diutamakan Zwingli, ditekankan pula. Lebih lanjut menjadi
jelas bahwa menurut Calvin, sakramen tidak berarti apa-apa apabila terlepas dari pemberitaan
Firman. Tetapi penjelasan tentang apa yang dijanjikan Allah, tidak ada sesuatu untuk
dilambangkan atau dimeteraikan.
Pendapat ini berpengaruh pada pemahaman Calvin tentang efektivitas sakramen.
Pemahaman ini agak rumit karena pada satu pihak ia mencoba menghindari bahwa pemberian
keselamatan dihubungkan langsung dengan tanda sakramen, tetapi pada pihak lain ia juga mau
menghindari kesimpulan bahwa sakramen menjadi suatu tanda saja, tanpa efek apapun untuk
orang-orang percaya. Kedua hal itu dihindari karena ia mempergunakan gagasan yang sudah kita
temukan waktu membicarakan ajaran Calvin mengenai Alkitab. Yang menjadikan sakramen
sesuatu yang dapat memperkuat iman adalah Roh Kudus. Sama seperti kata-kata biasa dipakai
Roh Kudus untuk menggerakkan hati manusia untuk percaya, juga sakramen dipakai sarana
untuk menguatkan iman.
Banyak hal dalam penjelasan Calvin tentang Baptisan dapat disebut tradisional.
Demikianlah baptisan dilihat sebagai tanda pengampunan dosa dan kelahiran baru. Lebih lanjut
baptisan menurut Calvin menandai bahwa orang percaya ikut serta dalam kematian dan
kebangkitan Kristus dan bahwa ia menjadi satu dengan Dia. Namun ciri khas pemahaman
Calvin, yang berkaitan erat dengan ajarannya tentang sakramen secara umum, cukup nyata juga,
umpamanya dari definisinya tentang Baptisan. Baptisan menurut Calvin “adalah tanda bahwa
kita diterima untuk masuk daam persekutuan Gereja”. Dalam definisi ini baptisan pertama-tama
dihubungkan dengan keanggotaan gereja. Hal ini menyatakan keengganan Calvin untuk
menjadikan baptisan sebagai syarat untuk keselamatan. Baptisan tanda dan meterai
pengampunan dosa yang diperoleh Kristus pada kayu salib. Pengampunan ini diberikan Allah
kepada manusia sebelum Ia lahir, sehingga tidak dapat diikat pada pelayanan baptisan, apalagi
tidak pada air baptisan.
Konsekuensi dari ikatan baptisan dengan keanggotaan gereja bagi Calvin adalah bahwa
pelayanan baptisan harus terjadi di dalam kebaktian jemaat oleh pejabat yang ditentukan gereja,
yaitu Pendeta. Dalam hal ini Calvin sependapat dengan Zwingli dan sama seperti Zwingli pula ia
berpendapat bahwa baptisan merupakan tindakan pengakuan.
Dalam gagasan Calvin bahwa keabsahan baptisan anak-anak terletak dalam perjanjian
anugerah antara Allah dengan gereja, kita melihat alasan pokok-pokok mengapa ia hendak
mempertahankan tradisi gereja untuk membaptis bayi yang baru lahir. Hal ini Nampak pada
uraian pendek yang diberikan mengenai manfaat baptisan anak-anak. Melalui baptisan anak-
anak, iman para orang tua diperketat, karena dinyatakan dengan tanda yang kelihatan bahwa
kesetiaan Allah berlaku juga untuk anak-anak mereka, bahkan turun-temurun. Akan tetapi juga
untuk anak-anak sendiri baptisan sangat berguna. Penting bagi mereka untuk sedini mungkin
dimaksukkan dalam persekutuan gereja, karena dengan demikian iman mereka dapat dibina sejak
awal.
Orang yang hendak dibaptis diperkenalkan kepada jemaat, yang menjadi saksi
baptisannya, dan diserahkan kepada Allah. Pengakuan baptisan dan penjelasan mengenai makna
baptisan dibacakan. Kemudian orang itu dibaptis. Seluruh upacara diakhiri dengan doa.
Mengenai cara membaptis Calvin berpendapat bahwa diberi kebebasan kepada gereja untuk
menyelamkan atau hanya memercikan air atas kepalanya.
Baptisan menyaksikan dan memeteraikan pengampunan dosa, perjanjian anugerah antara
Allah dan umat-Nya dan pembaharuan hidup oleh Roh Kudus. Selain pemberian, baptisan juga
mengandung tugas, yaitu untuk mengaku iman dan hidup menurut kehendak Allah. Bahwa anak-
anak boleh dibaptis, ditegaskan dengan menunjuk kepada perjanjian anugerah dan praktik sunat
di Perjanjian Lama. Setelah doa permohonan, diucapkan janji baptisan melalui jawaban atas tiga
pertanyaan. Yang pertama menyangkut keyakinan bahwa anak perlu dibaptis karena telah
disucikan dalam Kristus, sehigga menjadi anggota jemaatnya. Yang kedua mengandug
pertanyaan bahwa ajaran gereja yang meyakinkan baptisan adalah ajaran benar dan alkitabiah,
yang mengantar manusia ke keselamatan. Pertanyaan ketiga mengandung janji untuk mendidik
anak dalam Iman Kristus, setelah itu anak dibaptis dalam nama ALLAH BAPA, ANAK, dan
ROH KUDUS, setelah itu diakhiri dengan doa syukur.

KEBEBASAN SEORANG KRISTEN

Pokok ajaran ini sering menimbulkan salah paham

Sekarang yang harus di bicarakan ialah kebebasa seorang Kristen. Hal ini merpakan salah
satu pokok yag paling di butuhkan; kalau tidak ada pengetahuan tentangnya maka hat nurani
hampir tidak berani menangani satu hal pun tanpa kebimbangan.

Ketiga bagian kebebasan Kristen

Kebebasan seorang Kristen (menurut perasaan saya) terdiri dari tiga bagian. Yang
pertama ialah : bila hati nurani orang-orang percaya mencari kepastian sehingga mereka dapat
percaya bahwa mereka di benarkan di hadiran Allah, emreka mengatasi Hukum dan
meninggalkannya di belakangnya, bahkan melupakan seluruh kebenaran yang berasal dari
hukum.

Bagian kedua kebebasan seorang Kristen, yang bergantung pada bagian pertama tadi,
ialah bahwa hati nurani taat pada Hukum Allah bukanlah seakan-akan di haruskan Hukum itu;
tetapi setelah bebas dari Hukum itu sendiri, hati itu taat pada kehendak Tuhan dengan rela.

Bagian ketiga dari kebebasan Kristen ialah : dalam hal-hal lahiriah, yang tidak seberapa
nilainya, kita tidak terikat di hadapan Tuhan oleh keharusan agama apa pun.

Mengenai batu sandungan

Saya menyukai pembagian yang biasa berlaku : ada batu sandungan yang “di pasang”,
ada yang “diciptakan”. Kalau saudara melakukan sesuatu yang kurang pantas karena sembrono,
ceroboh, atau gegabah, yang tak teratur dan kurang pada tempatnya, sehingga orang yang
sederhana dan lemah tersinggung, maka di katakan bahwa saudara memasang batu sandungan.
Dan pada umumnya dalam suatu perkata, batu sandungan di namakan “di pasang”, bila
kesalahan terletak pada orang yang melaukan sendiri perbuata itu. Batu sandungan itu di
namakan “di ciptakan”, bila suatu perkara yang sebenarnya tidak di lakukan dengan buruk atau
kurang baik, di ambil sebagai alasan untuk tersinggung, karena kemauan jahat atau karena
adanya sifat hati yang curang.

Kita harus memakai kebebasan kita jika di maksudkan untuk membina sesama kita; tetapi
jika tidak bermanfaat bagi sesama kita, lebih baik jangan kita pakai

Kebebasan rohani tidak berarti kebebasan dari segala ketaklukan jasmani

Perkara ini perlu di jelaskan lebih panjang lebar dan mendalam. Sebab, begitu orang
berbicara tentang penghapusan perintah-perintah dan larangan-larangan yang didirkan oleh
manusia, segera timbul huru-hara besar, baik dari pihak kaum peruse maupun dari pihak
pemfitnah. Maka, supaya tidak ada yang tersandung pada batu sandungan ini, perlu di catat dulu
bahwa di antara manusia ada dua macam pemerintahan : yang satu bersifat rohani, dan mengajar
hati nurani supaya saleh dan mengabdi kepada Allah; yang lain bersifat politik, dan mengajarkan
kepada manusia kewajiban-kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga, yang harus di
penuhi di dalam masyarakat manusia.
Pembedaan ini mencegah kita berbuat salah, yakni apa yang di ajarka Injil tentang
kebebasan rohani kita terapkan pada tertib politik. Jangan kita beranggapan bahwa orang-orang
Kristen sejauh menyangkur pemerintahan lahir, kurang takluk di bandingkan denga orang-orang
lain pada undang-undang yang di buat manusia; seakan-akan mereka tak perlu takluk sebab hati
nurani mereka di jadikan bebas terhadap Allah; jangan kita beranggapan bahwa mereka di
bebaskan dair seluruh ketaklukan jasmani sebab mereka bebas secara rohani.

Bab XIX

Kebebasan Seorang Kristen

Pokok ajaran ini sering menimbulkan salah paham

Sekarang yang harus di bicarakan ialah kebebasa seorang Kristen. Hal ini merpakan salah
satu pokok yag paling di butuhkan; kalau tidak ada pengetahuan tentangnya maka hat nurani
hampir tidak berani menangani satu hal pun tanpa kebimbangan.

Ketiga bagian kebebasan Kristen

Kebebasan seorang Kristen (menurut perasaan saya) terdiri dari tiga bagian. Yang
pertama ialah : bila hati nurani orang-orang percaya mencari kepastian sehingga mereka dapat
percaya bahwa mereka di benarkan di hadiran Allah, emreka mengatasi Hukum dan
meninggalkannya di belakangnya, bahkan melupakan seluruh kebenaran yang berasal dari
hukum.

Bagian kedua kebebasan seorang Kristen, yang bergantung pada bagian pertama tadi,
ialah bahwa hati nurani taat pada Hukum Allah bukanlah seakan-akan di haruskan Hukum itu;
tetapi setelah bebas dari Hukum itu sendiri, hati itu taat pada kehendak Tuhan dengan rela.

Bagian ketiga dari kebebasan Kristen ialah : dalam hal-hal lahiriah, yang tidak seberapa
nilainya, kita tidak terikat di hadapan Tuhan oleh keharusan agama apa pun.

Mengenai batu sandungan

Saya menyukai pembagian yang biasa berlaku : ada batu sandungan yang “di pasang”,
ada yang “diciptakan”. Kalau saudara melakukan sesuatu yang kurang pantas karena sembrono,
ceroboh, atau gegabah, yang tak teratur dan kurang pada tempatnya, sehingga orang yang
sederhana dan lemah tersinggung, maka di katakan bahwa saudara memasang batu sandungan.
Dan pada umumnya dalam suatu perkata, batu sandungan di namakan “di pasang”, bila
kesalahan terletak pada orang yang melaukan sendiri perbuata itu. Batu sandungan itu di
namakan “di ciptakan”, bila suatu perkara yang sebenarnya tidak di lakukan dengan buruk atau
kurang baik, di ambil sebagai alasan untuk tersinggung, karena kemauan jahat atau karena
adanya sifat hati yang curang.

Kita harus memakai kebebasan kita jika di maksudkan untuk membina sesama kita; tetapi
jika tidak bermanfaat bagi sesama kita, lebih baik jangan kita pakai

Kebebasan rohani tidak berarti kebebasan dari segala ketaklukan jasmani

Perkara ini perlu di jelaskan lebih panjang lebar dan mendalam. Sebab, begitu orang
berbicara tentang penghapusan perintah-perintah dan larangan-larangan yang didirkan oleh
manusia, segera timbul huru-hara besar, baik dari pihak kaum peruse maupun dari pihak
pemfitnah. Maka, supaya tidak ada yang tersandung pada batu sandungan ini, perlu di catat dulu
bahwa di antara manusia ada dua macam pemerintahan : yang satu bersifat rohani, dan mengajar
hati nurani supaya saleh dan mengabdi kepada Allah; yang lain bersifat politik, dan mengajarkan
kepada manusia kewajiban-kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga, yang harus di
penuhi di dalam masyarakat manusia.

Pembedaan ini mencegah kita berbuat salah, yakni apa yang di ajarka Injil tentang
kebebasan rohani kita terapkan pada tertib politik. Jangan kita beranggapan bahwa orang-orang
Kristen sejauh menyangkur pemerintahan lahir, kurang takluk di bandingkan denga orang-orang
lain pada undang-undang yang di buat manusia; seakan-akan mereka tak perlu takluk sebab hati
nurani mereka di jadikan bebas terhadap Allah; jangan kita beranggapan bahwa mereka di
bebaskan dair seluruh ketaklukan jasmani sebab mereka bebas secara rohani.

Anda mungkin juga menyukai