Anda di halaman 1dari 10

BUKU INSTITUTIO

KARYA ROH KUDUS


Roh Kuds mempersatukan kita dengan Kristus
Segala-galanya yang telah diderita dan dilakukan Kristus demi keselamatan umat
manusia bagi kita tidak ada gunanya, tidak artinya selama Kristus berada di luar kita terpisah
dari Dia. Jadi supaya Dia memberikan kepada kita apa yang telah diterima-Nya dari Bapa,
Dia harus menjadi kepunyaan kita dan diam di dalam hati kita. Kita perlu naik lebih tinggi
dan menyelidiki pekerjaan tersembunyi Roh Kudus yang mebuat kita menikmati Kristus serta
semua harta-Nya. Roh Kudus itu adalah ikatan yang dipakai Kristus untuk mengikat kita
dengan erat pada diri-Nya.

Siapakah Roh Kudus


Allah Bapalah yang, demi Anak-Nya itu pula ditaruh-Nya seluruh kegenapan Roh,
supaya Dialah yang menjadi pengurus dan pembagi pemberian-Nya yang berlimpah itu.
Nama-nama yang diberikan Alkitab kepada Roh itu :
- Dia dinamakan Roh yang menjadikan kita anak-anak Allah (Rm 8:15; Gal 4:6)
- Dia dinamakan jaminan dan meterai warisan kita (2 Kor 1:22)
- Dia dinamakan kehidupan oleh karena kebenaran (Rm 8:10)
- Dia dinamakan air (Yes 55:!)
- Dia digambarkan sebagai mata air yang memancarkan segala kekayaan sorga kepada
kita atau sebagai tangan pelaksana kekuasaan Allah.
- Dia dapat dinamakan kunci yang membukakan kita pintu je harta kekayaan Kerajaan
Sorga, dan penerangan-Nya dinamakan pandangan akal kita yang memungkinkan kita
melihat
Dia menyatukan diri-Nya dengan kita hanya melalui Roh. Hanya melalui karunia serta
Roh itu kita dijadikan anggota tubuh-Nya, sehingga Dia mempunyai kita di bawah-Nya, dan
sebaliknya kita mempunyai Dia.

Iman adalah karunia Roh Kudus, tetapi tidak lepas dari pengetahuan yang diperoleh dari
firman
Iman senantiasa ada hubungannya dengan Firman. Jika Firman dihilangkan, takkan
pula ada lagi iman. Firman itu sendiri ibarat cermin, tempat iman mengamati Allah. Dalam
paham tentang iman, Bukan soal hanya kita mengetahui adanya Allah, tetapi juga bahkan
terutama, kita mengerti bagaimana kehendak-Nya terhadap kita. Iman itu adalah pengetahuan
akan kehendak Allah terhadap kita, yang kita peroleh dari Firman-Nya.

Iman itu timbul dari janji Allah tentang anugerah di dalam Kristus
Iman itu adalah suatu pengetahuan yang kokoh dan pasti mengenai kebaikan Allah
terhadap kita, bahwa pengetahuan itu berdasarkan kebenaran janji-Nya, yang diberikan
dengan rela di dalam Kristus, dan bahwa oleh Roh Kudus pengetahuan itu dinyatakan kepada
akal kita dan dimeteraikan di dalam hati kita.

Pengetahuan iman itu adalah kepastian, karena bertumpu pada janji Allah
Pengetahuan iman lebih terletak dalam kepastian daripada dalam pengertian. Yang sungguh-
sungguh beriman hanyalah orang yang yakin bahwa Allah adalah Bapa yang ramah dan baik
hati, sehingga ia menantikan segala-galanya dari kemurahan hati Allah. Hanya orang yang
percaya akan janji-janji mengenai kebaikan Tuhan terhadapnyalah yang mempunyai harapan
yang pasti akan keselamatan. Iman memiliki segala janji mengenai kehidupan yang kini dan
yang akan datang dan kepastian yang kuat mengenai segala harta.

Firman barulah membawa hasil berkat pengaruh Roh Kudus di dalam hati kita
Firman tidak dapat memasuki hati kita, kalau masuknya tidak dipersiapkan oleh
penerangan Roh Kudus, guru batinnya. Apa yang telah ditangkap oleh akal budi itu, perlu
dituangkan ke dalam hati. Sebab selama masih ada di dalam otak, firman Allah belum
diterima oleh iman, tetapi baru bila telah berakar jauh di dalam hati itu; supaya menjadi
benteng yang tak terkalahkan, dan sanggup bertahan terhadap segala upaya penggodaan dan
menolaknya. Roh berfungi sebagai meterai, supaya dalam hati kita dimeteraikan-Nya justru
janji-janji yang sebelumnya diterangkan-Nya dalam akal budi kita; dan Roh itu menjadi
jaminan yang memantapkan dan mengokohkan janji-janji itu.

Iman tidak ada tanpa pengharapan


Pengharapan itu tiada lain ialah penantian akan hal-hal yang menurut kepercayaan
iman sesungguhnya dijanjikan oleh Allah. Iman itu adalah landasan, tempat tumpuan
harapan; harapan itu memupuk dan mununjang iman. Iman percaya bahwa Dia adalah
seorang Bapa bagi kita; pengharapan itu menantikan bahwa Dia akan selalu bertindak sebagai
Bapa terhadap kita. Iman percaya, bahwa kita dikaruniai kehidupan kekal; pengharapan itu
menantikan bahwa hal itu pada suatu ketika akan dinyatakan.

Oleh iman kita dilahirkan kembali; pertobatan adalah buah iman.


Bahwasannya pertobatan datang segera sesudah iman, bahkan lahir dari iman itu.
Sudah pasti tak seorang punvdapat menerima anugerah Injil tanpa meninggalkan kesesatan
hidupnya yang dahulu dan menempuh jalan lurus, dan tanpa merenungkan pertobatan dengan
penuh ketekunan. Seseorang tidak dapat menempuh pertobatan dengan sungguh-sungguh,
kecuali jika diketahuinya bahwa ia adalah kepunyaan Allah. Tak seorang pun benar-benar
yakin menjadi kepunyaan Allah, kecuali dia yang sebelumnya sudah mulai memahami
rahmat Tuhan.

Apa itu pertobatan


Kata “pertobatan” dalam Bahasa Ibrani diambil dari “berbalik” atau “kembali”, dalam
Bahasa Yunani dari “perubahan pikiran dan pendapat”. Menurut Calvin, pertobatan itu berarti
benar-benar membalikkan kehidupan kita kepada Allah, dengan digerakkan oleh rasa takut
yang tulus dan sungguh-sungguh akan Dia. Dan pertobatan terdiri dari pematian daging kita
serta manusia lama, dan dari dihidupkannya kita oleh Roh.

Tiga unsur pokok dalam pertobatan


Pertama, bila pertobatan itu dinamakan dibalikkannya hidup kita kepada Allah, maka
yang kita inginkan tidak hanya perubahan di dalam jiwa sendiri, sebab baru setelah jiwa itu
menanggalkan sifat-sifat yang lama, dihasilkannya dari dirinya sendiri buah pekerjaan yang
sesuai dengan pembaruannya.
Kedua, pertobatan datang dari rasa takut yang sungguh-sungguh akan Allah. Sebab,
sebelum hati yang berdosa itu cenderung untuk bertobat, haruslah pikiran tentang hukuman
Allah mendorongnya.
Ketiga, pertobatan terdiri dari dua bagian, yaitu dimatikan daging dan dihidupkannya
kita oleh Roh. Pertobatan adalah kelahiran Kembali, supaya gabar Allah yang telah dinodai
Adam, dipulihkan dalam diri kita.
Pembaruan tidak terlaksana dalam satu saat, suatu hari, atau satu tahun. Tetapi, dengan
kemajuan yang berangsur-angsur, bahkan kadang-kadang lambat, Allah membinasakan
kerusakan daging dalam diri orang-orang yang dipilih-Nya.

“Pertobatan” menurut 2 Korintus 7:11; buah pertobatan


Rasul menggambarkan pertobatan itu menjadi tujuh sebab, akibat atau bagian-bagiannya,
yakni: kesungguhan atau keprihatinan, pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, keingingan,
kegiatan, penghukuman.
Kesungguhan : barangsiapa tersentuh oleh rasa tidak puas yang sungguh-sungguh karena
telah berdosa terhadap Allahnya, sekaligus akan terangsang untuk menjadi rajin dan waspada,
supaya dapat melepaskan diri sama sekali dari jerat-jerat iblis.
Pembelaan diri : bukan mengecilkan kesalahannya supaya ia dapat lolos dari hukuman Allah;
tetapi suatu penyucian yang lebih merupakan doa yang hangat demi pengurangan hukuman
ketimbang kepercayaan pada perkaranya.
Kejengkelan : menyebabkan orang yang berdosa itu dalam batinnya menyesali dirinya
sendiri, bila ia menyadari betapa buruk sikapnya dan betapa ia tidak tahu bersyukur kepada
Allah.
Ketakutan: rasa ngeri menimpah hati, setiap kali memikirkan bai kapa yang pantas menjadi
ganjaran, maupun betapa hebatnya amarah Allah terhadap orang-orang berdosa.
Keingingan: kerajinan dalam menunaikan kewajiban, dan kegairahan untuk taat.
Kegiatan : nyala yang dicetuskan di dalam diri kita bila pacu-pacu ini menggiatkan kita, “apa
yang telah kuperbuat?”
Penghukuman : semakin bersikap keras terhadap diri sendiri dan semakin teliti memeriksa
dosa-dosa kita, semakin banyak boleh kita mengharap bahwa Allah akan bersikap ramah dan
murah hati. Karena jiwa yang diharukan ketakutan akan hukum Allah, tak bisa tidak
bertindak sebagai pembalas dengan melaksanakan hukuman terhadap dirinya sendiri.
Menurut Calvin, buah-buah pertobatan itu adalah perbuatan-perbuatan yang wajib kita
tunjukkan terhadap Allah, yaitu kesalehan dan yang wajib kita tunjukkan terhadap manusia
yaitu kasih, dan selanjutnya kesucian dan kemurnian dalam seluruh kehidupan.
KEHIDUPAN KRISTEN
Asas kehidupan baru
Ajaran Alkitab terdiri dari dua pokok utama. Yang pertama ialah hendaknya cinta
akan kebenaran, yang kedua hendaknya bagi kita diadakan patokan yang membuat kita tidak
sesat dalam mengejar kebenaran. Untuk menganjurkan kebenaran itu, sebenarnya Alkitab
mempunyai banyak alasan yang baik. Tetapi menurut Calvin, kita harus kudus karena Allah
itu kudus.

Kristuslah teladan kita


Allah Bapa telah memperdamaikan manusia dengan diri-Nya di dalam Yesus Kristus, maka
dalam Kristus pula telah ditentukan-Nya gambar kita yang dikehendaki-Nya menjadi teladan
yang harus diikuti.

Yang perlu bukanlah kesempurnaan, melainkan kesungguhan


Tuntutan kesempurnaan Calvin yang sesuai dengan Injil tidak begitu keras, sebab jika
demikian Gereja akan tertutup bagi semua orang, karena belum terdapat seorang pun yang
sudah cukup dekat dengan kesempurnaan itu. Yang terpenting pengabdian kepada-Nya ialah
ketulusan yakni kebulatan hati yang sungguh ikhlas, yang tidak kenal tipu dan pura-pura, dan
hati yang mendua.

Kita bukan kepunyaan kita sendiri, melainkan kepunyaan Allah


Hukum Allah mempunyai aturan yang baik sekali dan yang sangat cook tertibnya
untuk dipakai sebagai pedoman hidup. Kendatipun demikian, Guru sorgawi menganggap baik
mendidik orang-orang milik-Nya dengan cara yang lebih cermat menuju patokan yang
ditetapkan-Nya di dalam Hukum itu. Cara itu mempunyai prinsip yang ini: orang-orang
percaya wajib mempersembahkan tubuh mereka kepada Tuhan sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada-Nya (Rm. 12: 1).
Kita bukan kepunyaan kita sendiri melainkan kepunyaan Tuhan. Maka jelaslah
kekeliruan mana yang harus kita jauhi dan ke mana hendaknya diarahkan seluruh kegiatan
hidup kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka jangan sampai akal atau kehendak kita
menguasai rencana dan perbuatan kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka janganlah
kita menentukan usaha mencari apa yang akan berguna menurut daging kita sebagai tujuan
kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka hendaknya kita sedapat mungkin melupakan
diri kita sendiri dan semua perkara kita. Sebaliknya, kita kepunyaan Allah: maka sebaiknya
kita mengabdi kepada Dia dalam kehidupan dan dalam kematian kita. Kita kepunyaan Allah:
maka sebaiknya hikmah dan kehendaknya menguasai segala perbuatan kita. Kita kepunyaan
Allah: maka sebaiknya Dialah, sebagai satu-satunya tujuan yang benar, yang dituju semua
bagian kehidupan kita (Rm. 14:8).
Maka inilah hendaknya yang menjadi langkah pertama: manusia tidak lagi
memusatkan perhatiannya pada dirinya, agar seluruh kekuatan akalnya ditujukan pada
pengabdian kepada Allah. Yang saya sebut "pengabdian" bukan hanya apa yang terkandung
dalam ketaatan pada Firman, melainkan hal yang menyebabkan hati insan melepaskan
perasaan dagingnya sendiri, dan berbalik sepenuhnya serta mengikuti kehendak Roh Allah.
Dari hal ini timbul yang lain, yaitu kita tidak mencari perkara-perkara kita, tetapi hal-hal yang
sesuai dengan kehendak Allah dan yang membuat kemuliaan-Nya dibesarkan.

Oleh karena itu, kita harus melayani sesama kita


Maka akan terjadi bahwa, berhadapan dengan manusia mana pun juga, kita tidak
hanya bersikap tahu diri dan rendah hati, tetapi juga ramah dan bersahabat. Begitu pula untuk
mencapai kelembutan hati yang sejati, tiada jalan lain dari mempunyai hati yang diresapi rasa
rendah diri dan rasa hormat terhadap orang lain.
Tidak dapat dipikirkan aturan yang lebih kokoh, dan anjuran yang lebih kuat agar
memegang teguh aturan itu, daripada yang ini: kepada kita diajarkan bahwa semua bakat
yang merupakan kekuatan kita dipercayakan kepada kita oleh Allah dengan syarat supaya
dipergunakan untuk kegunaan sesama kita. Kita menjadi penyelenggara akan segala sesuatu
yang diberikan Allah kepada kita dan yang dapat kita pakai untuk membantu sesama kita, dan
kita wajib memberi pertanggungjawaban mengenai pengurusannya. Dan pengurusan itu baru
benar, bila diuji dengan patokan kasih.
Selanjutnya, supaya tidak mengendor semangat kita untuk berbuat baik - seperti yang
sewajarnya segera akan terjadi - haruslah ditambahkan hal yang lain yang ditulis rasul, yaitu
bahwa kasih itu sabar dan tidak cemburu (1 Kor. 13:4). Kita ingat bahwa bukan kejahatannya
yang harus diperhatikan dalam diri seseorang, melainkan bahwa dalam diri mereka kita
melihat gambar Allah yang menutupi dosa mereka dan menghapuskannya. Gambar inilah
yang memikat kita dengan keindahan dan keluhurannya, sehingga kita mencintai dan
merangkul mereka.
Kewajiban-kewajiban kasih tidak dipenuhi oleh orang yang hanya melaksanakan
semua keharusan kasih semata-mata, kendati tak satu pun yang dilupakannya. Tetapi, yang
memenuhinya ialah orang yang melaksanakannya karena rasa kasih yang tulus ikhlas. Sebab
memang bisa saja terjadi, seseorang menunaikan sepenuhnya apa yang wajib dilakukannya
terhadap semua orang, artinya apa yang mengenai keharusan lahiriah, tetapi caranya jauh dari
cara menunaikan yang benar.

Dan kita harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah


Kita percaya bahwa dasar keberhasilan dan kesejahteraan seperti yang kita inginkan
seluruhnya terletak hanya dalam berkat Allah.
Kalau itu tidak ada, kita akan tertimpa segala jenis kesengsaraan dan kecelakaan.
Maka kesimpulannya ialah, bahwa kita tidak boleh dengan tamak mencari kekayaan dan
kehormatan, sambil mengandalkan lincahnya kecerdasan kita, atau ketekunan kita, ataupun
mengharapkan kebaikan hati orang, atau percaya kepada nasib, bayangan kosong itu. Tetapi,
kita senantiasa harus memandang kepada Allah, supaya dengan bimbingan-Nya kita dituntun
ke masa depan mana saja yang menurut pemeliharaan-Nya ditetapkan-Nya bagi kita.
Dengän demikian yang pertama-tama akan terjadi ialah: kita tidak berlari dengan
cara-cara yang tidak diizinkan, dengan tipu muslihat dan kelicikan atau dengan nafsu tamak
kita, untuk memburu kekayaan dan mengejar kehormatan dengan merugikan sesama kita.
Tetapi, kita hanya mencari harta yang tidak menyimpangkan kita dari kesucian hati. Kita
akan dipasangi kekang, supaya kita tidak terbawa oleh nafsu yang keterlaluan akan kekayaan,
dan tidak dengan penuh ambisi mendambakan kehormnatan. Dan berkat hal itu, kesabaran
kita tidak akan hilang jika segala perkara tidak berjalan sesuai dengan keinginan atau harapan
kita.
Dan hendaknya tidak hanya dalam hal inilah hati orang saleh tenang dan sabar, tetapi
seharusnya suasana ini juga direntangkan ke semua hal ihwal kehidupan ini. Jadi, tak seorang
pun telah menyangkal diri sebagaimana harusnya, kecuali bila ia telah menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan, hingga dapat menerima bahwa kehidupannya dalam semua
bagiannya diatur oleh kehendak-Nya. Dan barangsiapa yang sudah demikian suasana hatinya,
tidak akan menganggap dirinya malang, apa pun yang terjadi, tidak pula akan mengadukan
nasibnya dengan merasa jengkel terhadap Allah.

Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus memikul salibnya


Semua orang yang diterima oleh Tuhan dan dianggap layak masuk persekutuan
orang-orang milik-Nya, harus menyiapkan diri untuk mengarungi kehidupan yang keras,
susah, gelisah, dan penuh dengan segala macam keburukan dalam jumlah yang besar. Adalah
kehendak Bapa sorgawi untuk melatih orang-orang milik-Nya dengan cara itu agar menguji
mereka dengan tegas.
Tuhan kita tidak perlu memungut dan memikul salib kalau bukan untuk menyatakan
dan membuktikan ketaatan-Nya kepada Bapa. Tetapi, bagi kita banyak alasan, sehingga kita
perlu hidup dengan memikul salib terus-menerus. Kita gampang sekali menilai kekuatan kita
lebih besar daripada yang sebenarnya, dan kita tidak meragukan bahwa, apa pun yang terjadi,
kekuatan itu tak terpatahkan dan tak teralahkan dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan
demikian kita sampai mempunyai kepercayaan yang bodoh dan hampa pada daging kita.
Tidak ada jalan yang lebih baik bagi Allah untuk mematahkan kesombongan in
daripada memperlihatkan melalui pengalaman, betapa besar kelemahan kita, betapa bear
kerapuhan kita. Maka dilanda-Nya kita dengan pengrusakan nama baik, atau dengan
kemiskinan, atau dengan kematian orang-orang yang kita cintai, atau dengan penyakit, atau
dengan malapetaka lainnya, yang sama sekali tak sanggup kita tanggung sehingga kita segera
akan roboh, kalau kita harus mengatasinya sendiri. Setelah kita direndahkan dengan cara itu,
kita belajar memohon bantuan kekuatan-Nya, sebagai yang satu-satunya yang dapat
menolong kita bertahan terhadap beratnya tekanan itu.
Masih ada maksud lain, mengapa Tuhan menyusahkan orang-orang milik-Nya, yaitu
menguji kesabaran mereka dan mendidik mereka supaya taat. Memang mereka tidak dapat
menunjukkan ketaatan kepada-Nya kecuali yang diberikan-Nya sendiri kepada mereka.
Meskipun demikian, Dia berkenan dengan bukti-bukti yang jitu mempermaklumkan dan
menyatakan karunia-karunia yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang suci, supaya tidak
tinggal tersimpan dalam batin mereka tapa guna.
Selanjutnya, dalam penderitaan kita terletak hiburan yang istimewa, bila kita dianiaya
oleh sebab kebenaran. Karena pada waktu dianiaya kita mestinya ingat, betapa besarnya
kehormatan yang oleh Allah diberikan kepada kita, bila kita dilengkapi-Nya dengan tanda
khusus yang menyatakan bahwa kita telah menjadi pejuang-Nya. Sebab, jika harta benda kita
dirampas oleh kejahatan kaum fasik, sedangkan kita tidak bersalah dan hati nurani kita muni,
maka menurut penilaian manusia kita memang menjadi miskin, tetapi dengan demikian
tumbuhlah untuk kita kekayaan yang sebenarya di sisi Allah di dalam sorga. Jika kita diusir
dari rumah kita, kita makin akrab masuk keluarga Allah; jika kita dianiaya dan dihina, kita
makin kuat berakar di dalam Kristus; jika kita dinodai makian dan aib, makin mulialah
tempat kita di dalam kerajaan Allah; jika kita dibunuh, segeralah terbuka pintu ke kehidupan
yang bahagia. Kita harus malu jika hal-hal yang oleh Tuhan diberi nilai yang begitu tinggi,
kita anggap kurang nilainya daripada pikatan-pikatan yang samar-samar dan yang fana dari
kehidupan sekarang ini.

Kesia-siaan kehidupan ini


Dan apa pun juga kesusahan yang menghimpit kita, kita selalu harus mengingat
tujuan ini: hendaklah kita membiasakan diri untuk menganggap remeh kehidupan sekarang
ini, dan dengan demikian tergugah untuk merenungkan kehidupan kelak.
Tidak akan ada seorang pun di antara kita yang tidak ingin kelihatan mengusahakan
dan mengejar kehidupan baka di sorga dalam seluruh jalan kehidupannya. Tetapi, segenap
jiwa yang terjerat dalam pikatan-pikatan daging, mencari kebahagiaannya di dunia. Maka
untuk memberantas keburukan ini, Tuhan mengajarkan kepada orang-orang milik-Nya bahwa
kehidupan ini sia-sia adanya, dengan terus-menerus memberi bukti betapa malangnya
kehidupan itu. Jadi, supaya jangan sampai mereka menaruh harapan akan memperoleh di
dalamnya kedamaian yang besar serta pasti, Dia membiarkan mereka sering dirisaukan dan
diserang oleh perang, atau kerusuhan; atau perampokan, atau bencana-bencana lain. Supaya
jangan sampai mereka dengan terlalu tamak mengejar kekayaan yang fana dan tidak pasti,
atau merasa tenteram mengenar harta yang sudah mereka miliki, Dia membuat mereka kena
musibah pembuangan atau kegersangan tanah, atau kebakaran, atau dengan cara-cara lain
membuat mereka menjadi miskin kembali. Atau sekurang-kurangnya Dia tidak membiarkan
mereka keluar dari keadaan yang sederhana. Supaya jangan sampai mereka terlalu senang
mengenyam kenikmatan-kenikmatan perkawinan, Dia menyebabkan mereka disiksa oleh
watak buruk istri mereka, atau Dia membuat mereka malu karena kejahatan anak-anak
mereka, atau Dia memukul mereka dengan kematian kerabat. Mungkin juga dalam segala hal
ini Dia agak murah hati terhadap mereka. Tetapi, supaya jangan sampai mereka besar kepala
karena pongah, atau besar hati karena percaya pada diri sendiri, maka Dia memperlihatkan
kepada mereka, melalui penyakit dan bahaya, betapa tidak kokohnya dan tidak pastinya
segala harta yang fana itu.
Kita baru maju dengan sewajarnya dalam "sekolah latihan salib", bila kita belajar
bahwa, dinilai sebagaimana ada pada dirinya sendiri, kehidupan ini gelisah, kacau, malang
dari segala segi, dan bagaimanapun juga tidak sungguh-sungguh membahagiakan. Bahwa
segala sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan-kebaikannya adalah tak menentu, rapuh, sia-
sia dan cacat, karena tercampur dengan banyak celaka. Dari keadaan itu kita menarik
kesimpulan pula bahwa di sini yang dapat ditemukan dan diharapkan hanyalah perjuangan;
bila kita memikirkan mahkota, kita harus menengadah ke sorga. Sebab, tidak ada jalan
tengah: dunia harus menjadi tak berharga bagi kita, ataupun mesti memikat kita sehingga kita
terlalu mengasihinya.

Cara yang tepat dalam merenungkan kehidupan yang akan datang


Akan tetapi, orang-orang percaya harus membiasakan diri menganggap kehidupan ini
rendah dalam arti bahwa pada mereka tidak timbul kebencian terhadap kehidupan itu dan rasa
tidak bersyukur terhadap Allah. Sebab, sekalipun penuh dengan kesengsaraan yang tak habis-
habisnya, namun kehidupan in dengan tepat harus dianggap sebagai anugerah Allah yang tak
pantas dibuang. Dan terlebih besar alasannya untuk itu, jika kita ingat bahwa di dalam
kehidupan in kita seakan-akan dipersiapkan untuk kebahagiaan Kerajaan Sorga. Sebab telah
ditetapkan oleh Tuhan bahwa mereka yang pada suatu waktu kelak akan dimahkotai di sorga,
sebelumnya harus mengalami perjuangan di bumi, supaya kejayaan baru mereka capai setelah
mengatasi kesulitan-kesulitan perjuangan itu dan merebut kemenangan.
Selanjutnya, masih ada alasan lain: dalam kehidupan ini melalui berbagai kebaikan,
kita mulai mengecap betapa manisnya keramahan Allah, supaya dengan demikian harapan
serta keinginan kita dirangsang dan kita menantikan penyataan sepenuhnya tentang hal itu.
Bahwa kita hidup di dunia ini merupakan anugerah kemurahan Allah. Karenanya kita
berhutang budi kepada-Nya; anugerah itu harus kita sadari serta terima dengan bersyukur.
Kalau itu sudah pasti barulah pantas kita menanggapi betapa malangnya kehidupan ini,
dengan maksud supaya kita terlepas dari keinginan yang terlalu besar akan hidup, keinginan
yang, seperti telah dikatakan tadi, menjadi kecenderungan hati kita yang wajar.
Maka, bila orang-orang percaya menilai kehidupan yang fana ini, hendaklah yang
menjadi tujuan mereka ialah merenungkan kehidupan kekal nanti dengan keinginan dan
kesediaan yang makin bergairah dan dengan segala kesungguhan, oleh karena mereka
mengerti bahwa kehidupan in sendiri sengsara semata-mata. Sebab, jika sorga itu adalah
tanah air kita, apa lagi dunia ini kalau bukan tempat pembuangan?Jika berpindah dari dunia
ini berarti memasuki kehidupan, apa lagi dunia in kalau bukan kuburan? Dan apa lagi hal
tinggal di dalam hidup ini kalau bukan keadaan di mana kita terbenam dalam kematian? Jika
pembebasan dari tubuh ini berarti dipindahkan ke dalam kebebasan sepenuhnya, apa lagi
tubit ini kalau bukan kungkungan? Jika menikmati kehadiran Tuhan berarti kebahagiaan yang
paling bear, bukankah tidak menikmatinya berarti kesengsaraan? Jika dibandingkan dengan
kehidupan sorgawi, mudah dipastikan bahwa kehidupan di dunia ini patut dianggap kurang
bernilai, bahkan hina. Kehidupan di dunia ini sungguh-sungguh tidak boleh dibenci, kecuali
sejauh mengekang kita sehingga takluk kepada dosa; meski kebencian itu pun tidak boleh
ditujukan kepada kehidupan itu sendiri. Bagaimanapun juga, rasa bosan ataupun rasa benci
yang timbul dalam diri kita terhadapnya harus sedemikian rupa, hingga kita bersedia tinggal
di dalam kehidupan ini sesuai dengan kehendak Tuhan, sekalipun kita menginginkan
akhirnya; dan hendaknya sedemilian rupa hingga rasa bosan itu jauh dari segala gerutu dan
ketidaksabara. Sebab kehidupan itu bagaikan pos penjagaan, tempt kita ditaruh oleh Tuhan,
dan yang harus kita jaga sampai kita dipanggil oleh-Nya.
Akan tetapi, adalah mengerikan kalau banyak orang yang mengaku sebagai orang
Kristen tidak mengharapkan kematian, tetapi tercekam rasa takut akan mati, sehingga setiap
kali mendengar sesuatu tentang kematian itu, mereka menggigil seakan-akan menghadapi
sesuatu yang sama sekali mengerikan dan naas. Memang tidak mengherankan kalau naluri
kita yang wajar merasa seram bila mendengar mengenai kehancuran tubuh kita. Tetapi, tak
tertahankan keadaannya, bila di dalam hati seorang Kristen tidak terdapat cahaya terang yang
datang dari kesalehannya, cahaya yang membawa hiburan yang lebih bear daripada rasa takut
sehingga rasa takut itu, betapapun dahsyatnya, dapat dialahkan dan ditaklukkan. Hendaklah
kita anggap pasti bahwa tidak seorang pun maju dengan baik dalam pelajaran Kristus, kecuali
orang yang dengan gembira menantikan hari kematiannya dan hari kebangkitan terakhir.
Asas-asas dalam menggunakan harta dunia ini
Hendaknya inilah yang menjadi asas: bahwa pemanfaatan anugerah Allah tidak
menyeleweng bila diarahkan ke tujuan yang untuknya Khalik sendiri telah mengadakan dan
menetapkannya bagi kita. Sebab, harta itu diciptakan-Nya untuk kebaikan kita, bukan untuk
kerusakan kita. Kalau kita mempertimbangkan apa tujuan Allah menciptakan makanan, maka
kita akan menemukan bahwa Dia tidak hanya bermaksud untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pokok, tetapi juga untuk menyediakan kenikratan sera keriangan. Sifat-sifat
alamiah yang terdapat dalam hal-hal itu sendiri culup menunjukkan mana tujuan dan batas
pemakaian hal-hal it oleh kita. Mungkinkah Than memberi keindahan yang begitu besar
kepada bunga yang dengan sendirinya terlihat oleh mata kita, dan keharuman yang begitu
manis yang tercium olch penciuman kita, tetapi mata kita tidak boleh tertarik oleh
keindahannya dan hidung kita oleh keharumannya? Bagaimana! Bukankah warna-warna itu
dibeda-bedakan-Nya supaya yang satu lebih menyenangkan dari yang lain? Bagaimana!
Bukankah diberikan-Nya kepada emas dan perak, kepada gading dan pualam suatu keindahan
yang membuatnya lebih mulia dari logam-logam atau batu-batuan lainnya? Pendeknya,
bukankah banyak hal dibuat-Nya menarik bagi kita, terlepas dari kegunaannya yang
langsung?
Maka buanglah jaub-jauh filsafat yang tidak manusiawi yang hanya membolehkan
pemakaian seperlunya segala ciptaan. Filsafat itu jahat karena mencegah kita menikmati
secara sah pemberian-pemberian Allah, bahkan hanya dapat diamalkan dengan membuat
manusia kehilangan pancainderanya shingga menjadi sebongkah kayu. Tetapi, pada pihak
lain dengan tidak kurang rajinnya kita harus melawan nafsu daging, sebab bila tidak
dikendalikan, nafsu itu meluap melampaui batas. Kekang pertama kita pasang bila kita
menegaskan bahwa segala hal dijadikan bagi kita supaya kita mengenal Dia yang
menjadikannya, dan membalas kemurahan-Nya terhadap kita dengan mengucapkan syukur.
Di mana pengucapan syukurmu kalau engkau begitu rakus mengisi perut dengan hidangan
makanan dan minuman anggur sehingga engkau menjadi tumpul atau tak mampu lagi
menyelenggarakan ibadah dan panggilan yang menjadi kewajibanmu?
Akan tetapi, tidak ada jalan yang lebih pasti dan lancar daripada jalan yang terbuka
bagi kita bila kita memandang remeh kehidupan sekarang ini dan merenungkan kehidupan
kekal di sorga. Sebab, dari situ menyusul dua hukum. [Yang pertama berbunyi:] orang yang
menggunakan barang apa pun di dunia ini hendaklah bersikap seolah-olah tidak
menggunakannya, yang beristri seolah-olah tidak beristri, yang membeli seolah-olah tidak
membelil. Kebebasan orang-orang percaya dalam perkara-perkara lahiriah tidak boleh
dibatasi melalui aturan yang tertentu. Namun, kebebasan itu takluk juga pada hukum yang
ini: mereka hanya boleh menyerah sesedikit mungkin pada keinginan mereka. Dan hukum
yang kedua ialah: mereka yang hartanya hanya sedikit dan tak berarti harus tahu menerima
keadaan itu supaya mereka tidak digoda oleh keinginan yang tidak wajar. Kalau mereka
berpegang pada hukum ini mereka akan mencapai kemajuan yang tidak sedikit dalam sekolah
Tuhan.
Di samping itu, dalam Alkitab mash terdapat hukum yang ketiga untuk mengatur
pemakaian hal-hal duniawi. Yaitu bahwa semua harta yang diberikan kepada kita dengan
kemurahan Tuhan dan yang dimaksudkan supaya berguna bagi kita itu seakan-akan dititipkan
kepada kita dan nanti harus kita pertanggungjawabkan.
Panggilan Tuhan sebagai patokan kehidupan kita
Pada akhirnya harus juga dikemukakan bahwa Tuhan memerintahkan kepada kita
masing-masing supaya memperhatikan panggilan-Nya dalam setiap perbuatan selama hidup
kita. Dia telah menetapkan kewajiban-kewajiban bagi setiap orang menurut jalan hidupnya
masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya "panggilan", supaya
tidak ada orang yang dengan sembrono melampaui batasnya sendiri. Jadi, setiap orang diberi
oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri sebagai pos penjagaan, supaya di dalam jalan
hidupnya ia tidak terombang-ambing tanpa tujuan. Maka kehidupan saudara akan diatur
dengan baik, bila itulah yang diperhatikan. Karena dengan demikian orang tidak akan
berupaya, karena terdorong ole kenekatannya sendiri, untuk melakukan sesuatu yang
melebihi panggilannya, sebab ia tahu bahwa ia tidak boleh melampaui batas-batasnya. Siapa
yang menjadi warga yang tak dikenal, akan mengarungi kehidupan yang tanpa jabatan itu
tanpa gerutu, supaya tidak ditinggalkannya tempt yang diperuntukkan baginya oleh Tuhan.
Pada pihak lain, bagi setiap orang kesusahan, kesulitan, dan beban-beban berat lainnya akan
lebih ringan bila diketahui bahwa Allah menjadi pembimbingnya dalam semuanya ini.
Dengan kesediaan yang lebih besar, pembesar pemerintah akan melaksanakan tugasnya,
kepala keluarga akan melakukan kewajibannya, setiap orang dalam jalan hidupnya masing-
masing akan menanggung yang kurang enak, yang susah, yang sedih, yang membosankan,
jika mereka yakin bahwa setiap orang diberi beban oleh Allah. Yang juga akan merupakan
hiburan yang besar sekali ialah bahwa (selama kita taat pada panggilan kita) tak ada
pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya, yang tidakakan bersinar-sinar dan dinilai
berharga di mata Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai