Anda di halaman 1dari 32

KEGIATAN BELAJAR DUA

SIFAT DASAR ALLAH : KEESAAN DAN KETRITUNGGALAN ALLAH

A. Deskripsi Umum
Setelah memahami Allah Tritunggal sebagai bagian dari wahyu Ilahi,
maka dalam KB dua modul ini akan membahas sifat dasar Allah sebagai
Allah yang Esa dalam tiga keberadaan. Topik-topik yang akan dibicarakan
dalam KB dua ini yakni: Allah Tritunggal dalam Alkitab, Sejarah
Pemikiran Allah Tritunggal, dan hakikat Ketritunggal Allah
B. Petunjuk Penggunaan Modul
Pembahasan KB Dua Mengenai Sifat Dasar Allah yang Esa dan dalam
tiga keberadaan ini dilengkapi dengan sumber-sumber rujukan agar guru
Pendidikan Agama Kristen dapat mengembangkan diri dengan
mempelajari secara lebih lanjut dan mendalam. Penelaahan yang baik
terhadap masing-masing sub pembahasan pada KB Dua diharapkan
semakin membentuk pemahaman yang baik melalui upaya lanjutan guru
Pendidikan Agama Kristen dalam menelusuri sumber-sumber baik
berupa tulisan pada jurnal yang dapat diakses secara online, Youtube,
serta diskusi-diskusi atau debat yang akan menjadi pengarah dalam
menelaah materi KB Dua. Diharapkan juga bahasan ini dapat
direlevansikan secara kontekstual untuk memberi solusi bagi masalah-
masalah yang dihadapi saat ini. Sehingga dalam proses belajar-mengajar
dengan peserta didik di kelas sudah memiliki pemabahan yang mendalam
dan kaya dari guru Pendidikan Agama Kristen.
C. Capaian Pembelajaran
mampu menelaah dengan baik ajaran Alkitab Mengenai Allah
Tritunggal dan menelaah pemikiran-pemikiran Allah Tritunggal dalam
tradisi Gereja dan menganalisis hakikat ketritunggalan Allah

D. Sub Capaian Pembelajaran


1. Menelaah dasar Ajaran Allah Tritunggal dalam Alkitab
2. Menelaah Pergumulan Perumusan Keesaan dan Ketritunggalan Allah
dalam Sejarah Gereja
3. Menganalisis hakikat keTritunggalan Allah

E. Pokok Materi
1. Allah Tritunggal dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

27
2. Sejarah Doktrin Allah Tritunggal dalam tradisi Gereja
3. Hakikat keTritunggalan Allah

F. Pokok Materi dalam Peta Konsep

Allah Hakikat
Allah
Tritunggal Keesaan dan
Tritunggal
dalam tradisi Ketritunggalan
dalam PL dan
Gereja Allah dalam
PB
Konsili-konsili

G. Uraian Materi
1. ALLAH TRITUNGGAL DALAM ALKITAB
Semua pemikir Kristen mengakui bahwa di dalam Alkitab memang
tidak terdapat penggunaan istilah Allah Tritunggal atau Trinitas secara
eksplisit. Walaupun demikian hakikat Allah sebagai Allah Tritunggal
secara implisit ada dalam cukup banyak bagian Alkitab, baik di dalam
Alkitab Perjanjian Baru maupun dalam Alkitab Perjanjian Lama. Dalam
bahasan berikut ini, akan diuraikan bagian-bagian Alitab yang merujuk
pada Allah Tritunggal
a. Keesaan dan KeTritunggal Allah dalam Perjanjian Lama
Saya akan mengawali bahasan ini dengan menelaah terlebih
dahulu hakikat Keesaan Allah dalam Perjanjian Lama dan
kemudian membahas rujukan Tritunggal Allah. Dalam sepuluh
hukum Taurat sebagaimana dimuat dalam kitab Keluaran 20,
khusus hukum pertama dan kedua pada ayat 3-5 “Jangan ada
padamu allah lain di hadapan-Ku, Jangan membuat bagimu
patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau
yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah
bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah
kepadanya”. Hukum ini senada dengan pernyataan dalam kitab
Ulangan 4:35 dan 39 yang menyatakan bahwa “Tuhanlah Allah,
tidak ada yang lain kecuali Dia.”
Ayat selanjutnya yakni yang disebut (Pandey, 2020) sebagai
Pengakuan Iman utama bagi Yudaisme yang termuat di dalam

28
kitab Ulangan 6:4, “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah
kita, Tuhan itu esa”. Pengakuan iman ini umumnya dikenal
sebagai “Shema Israel” yang menjadi dasar pengakuan utama
Israel tentang Keesaan Allah. (Suryaningsih, 2019) menyatakan
bahwa pernyataan ini disampaikan kepada Israel sebagai suatu
pernyataan yang kontras dengan bangsa-bangsa di sekitar Israel
yang bersifat Politheis. Sehingga dapat dipahami alasan dalam
Yudaisme yang sangat kuat menekankan cirinya yang monoteis.
Terhadap realitas politheis terlihat respons dalam Yosua 22:22
bahwa Allah Israel adalah Allah yang mengatasi segala yang
disebut allah. Dia adalah yang tertinggi dan yang melebihi segala
Allah.
Penegasan tentang Keesaan Allah dalam kitab Sejarah dapat
dilihat dalam 1 Samuel 2:2 dan 2 Samuel 7:22; 22:32 dimana
dinyatakan bahwa Tuhanlah Allah satu-satunya dan tidak ada
yang lain selain Dia dan dalam kitab 1 Raja-raja 8:23 “Ya TUHAN,
Allah Israel, tidak ada Allah yang seperti Engkau di atas langit dan
di bawah bumi”; 2 Raja-raja 17:36 ada pernyataan “supaya segala
bangsa di bumi tahu bahwa Tuhanlah Allah, dan tidak ada yang
lain”. Ini adalah pernyataan tentang Tuhan sebagai satu-satunya
Allah. Sedangkan dalam kitab-kitab Syair, dapat dilihat dalam
Mazmur 18:32 dan 86:10 dimana diungkapan keyakinan Raja Daud
bahwa tidak ada Allah selain Tuhan.
Dalam kitab Nabi-nabi dapat dilihat dalam Yesaya 45:6-8, 20-22;
46:8-10, yang menyatakan bahwa di dunia ini benar-benar tidak
ada Allah kecuali Tuhan; selanjutnya Yeremia Yer 14:22 “tidak ada
yang sama seperti Tuhan yang mengatasi segala allah bangsa-
bangsa lain
Tentang Ketritunggalan Allah dalam Perjanjian Lama beberapa
penulis yakni Van Till yang dikutip oleh (Frame, 2002) kemudian
tulisan (Suryaningsih, 2019) dan (Pandey, 2020); merujuk pada
beberapa petunjuk yakni :
Pertama, Digunakannya bentuk jamak dalam penyebutan nama
Allah, yakni :1) Istilah Elohim. Dalam kitab Kejadian 1:1
pernyataan, “Pada mulanya Allah…”. Kata Ibrani yang
diterjemahkan sebagai Allah adalah kata Elohim yang adalah
bentuk jamak dari asal kata El atau Elohe, Allah. Kata Allah dalam
bentuk jamak Elohim ini dalam Alkitab digunakan sebanyak kira-
kira 2300 kali dan merujuk kepada Tuhan Allah Israel. Beberapa

29
teks Alkitab yang menunjuk keadaan jamak yang dapat menjadi
rujukan keTritunggalan Allah adalah sebagai berikut : a) Tuhan
dibeda-bedakan dari Tuhan Allah (Kej. 19:24; Hos. 1:7; Zach 3:2); b)
Anak Allah dibeda-bedakan dari Allah Bapa (Yes 48:16 bdg. Maz.
45:7-8; Yes. 63:9-10); c) Roh juga dibedakan dari Allah Bapa (Kej.
1:1; 6:3; Bil. 27:18). Memang kata Elohim tersebut tidak secara
khusus merujuk pada Allah Tritunggal, tetapi memberi petunjuk
atau dapat mengakomodasi kejamakan dan keesaan Allah. Hal ini
sejalan dengan (Berkhof, 1994) yang menyatakat bahwa ayat-ayat
dimana Allah menyatakan diri-Nya dalam bentuk jamak walaupun
tidak secara langsung menunjuk pada Tritunggal, tetapi menunjuk
pada keadaan jamak dalam diri Allah. Menurut (Pandey, 2020) kata
Elohim sering disebut sebagai jamak keagungan walaupun dalam
penggunaanya ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda.
Mengutip Knight, ia lebih lanjut menyatakan bahwa ada suatu sifat
khas bahasa Ibrani untuk membantu mengerti isitilah Elohim ini
yaitu yang disebut dengan bentuk jamak kuantitatif. Bentuk jamak
kuantitatif ini dapat dinyatakan sebagai perbedaan kuantitaf dalam
kesatuan dan ini dapat merupakan cara terbaik untuk memahami
kejamakan Elohim.
Kedua, penggunaan kata Kita dalam kitab Kejadian 1 : 26.
“Berfirmanlah Allah baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa kita”. Dalam ayat ini kita melihat terjadi
pergeseran dari bentuk tunggal (Allah) ke jamak (kita). Beberapa
orang sebagaimana di kutip oleh (Erickson, 2004) mengajukan
keberatan bahwa pergeseran ini adalah bentuk jamak keagungan
karena menurut mereka sifat jamak dalam kata Elohim dapat
ditafsirkan sebagai peruntuk keagungan Allah, bukan merujuk
pada keanekaragaman hakikat Allah. Tetapi penulis sependapat
dengan Erickson bahwa hal yang penting disini yakni kita dapat
melihat bahwa pergeseran dari yang penggunaan subjek dari
tunggal ke yang jamak. Jadi penggunaan istilah kita merujuk kata
ganti dalam bentuk jamak. Untuk mempertegas argumentasinya
Erickson merujuk pada Yesaya 6 : 8 “Siapakah akan Kuutus
(tunggal) ? Siapakah akan menjadi pembawa berita Kita (jamak)?.
Menurutnya penulis Alkitab tidak menggunakan kata kerja jamak
(keagungan) bersama dengan Elohim, tetapi mengutip perkataan
Allah, dimana kata kerja jamak yang digunakan mengacu pada diri
Allah sendiri sebagaimana diserukan-Nya.

30
Ketiga, penggunaan istilah Echad (conner, 1993). Dalam
Ulangan 6:4 menggunakan kata esa yang merupakan terjemahan
dari kata Ibrani Echad. Bagi orang Israel dalam PL istilah echad
menunjuk pada satu-satunya Allah yang di dalamnya terdapat
kesatuan ke- Allah-an (God’s unity), bukan dalam pengertian satu
(yachid) yang matematis sifatnya. Penggunaan lainnya dapat
dilihat dalam Kejadian 2:24 “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging”. Jadi istilah echad
digunakan dalam pengertian gabungan atau kolektif dari hal yang
terdiri dari lebih dari satu, misalnya satu kumpulan, satu bangsa.
echad merujuk pada satu dalam pengertian sebuah kesatuan
tersusun atau kesatuan gabungan (compound unity), yang selalu
digunakan untuk menggambarkan kesatuan ilahi.

b. Keesaan dan KeTritunggal Allah dalam Perjanjian Baru


Dalam Alkitab Perjanjian Baru, terdapat pengakuan yang jelas
tentang keesaan Allah. Dalam Injil Sinoptik dapat dilihat dalam
perkataan Tuhan Yesus dalam Injil Markus 12:29 menegaskan
kembali pengakuan iman dalam Perjanjian Lama yang tertuang
dalam Ulangan 6:4 ketika Ia berkata: “Hukum yang terutama ialah,
Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa…”.
(Lintuuran, 2018) membuat translasinya berikut ini:

Penegasan Tuhan Yesus ini sebagai respons-Nya terhadap


orang-orang Yahudi yang bertanya kepada-Nya tentang Hukum
yang terutama. Selain itu juga dalam injil Yohanes 17 : 3 ada
pernyataan Yesus, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa
mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar,…”
Rasul Paulus dalam surat-suratnya kepada jemaat-jemaat
seperti dalam Roma 3 : 30 “… sebab Allah adalah satu yang
membenarkan orang-orang bersunat karena iman, dan yang tidak

31
bersunat melalui iman”. Dalam surat Paulus kepada jemaat
Korintus dalam 1 Korintus 8:4-6) keesaan Allah dinyatakan dalam
kalimat, “tidak ada berhala di dunia, dan tidak ada allah lain
daripada Allah yang Esa…” Hal yang sama juga muncul dalam
surat Paulus kepada jemaat di Efesus ketika ia menulis “satu Allah
dan satu Bapa dari semua” (Efesus 4:6). Demikian juga keesaan
Allah dalam surat Gal. 3:20. 1 Tim. 1:17,2:5. Dalam beberapa
bagian surat Paulus Allah yang esa itu disebut Bapa dari umat-Nya
(RM.1:7; 1 Kor.1:3; 2 Kor.1:2-3; Gal.1:3-4). Banyak ahli menulis
bahwa bagian-bagian Alkitab dari bagian Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru membawa kekristenan untuk memperkuat
kepercayaan yang monoteistis.
Selanjutnya terkait dengan dasar Alkitab dalam Perjanjian Baru
mengenai Allah Tritunggal dapat dilihat dalam banyak bagian.
Dalam Injil Matius 28 : 19 yang dikenal sebagai amanat agung, ada
frasa “baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus”. (Pandey, 2020) menjelaskan bahwa kata “dalam nama”
adalah terjemahan kata Yunani berbentuk tunggal, yaitu onoma
yang berarti “nama” bukan bentuk jamak onomata yang berarti
nama-nama. Alkitab KJV menggunakan istilah“the name” bukan
“the names”. Selanjutnya ia menguraikan bahwa Yesus tidak
berkata “dalam nama dari Bapa, Anak dan Roh Kudus, seolah-olah
ada satu sosok tunggal yang memiliki nama tiga lipat tetapi Ia
berkata dalam nama (tunggal) dari Bapa, dan dari Anak, dan dari
Roh Kudus. Sehingga (Pandey, 2020) kemudian menyimpulkan
“nama” yang tunggal itu adalah “nama dari Bapa”, “nama dari
Anak”, juga “nama dari Roh Kudus”. Masih dalam injil Matius
yakni Matius 3:16-17 tentang kisah baptisan Tuhan YesusYesus
segera keluar … Roh Allah seperti burung merpati … suara dari
sorga menyatakan: “Inilah Anak-Ku”.
Dalam Injil Yohanes rujukan Allah tritunggal beberapa bagian.
(Wijanto, 2018) menuliskan bahwa Injil Yohanes sangat penting
dalam membahas dasar Allah Tritunggal dalam Perjanjian Baru
karena dalam injil Yohannes inilah yang secara langsung memuat
konsep ‘preeksistensi’ Tuhan Yesus (konsep ini sebagaimana
diketahui menjadi salah satu isu pokok debat tentang Yesus
dalam sejarah Gereja). Injil Yohanes dibuka dengan pernyataan,
“Pada mulanya ada Firman (logos); Firman itu bersama-sama
dengan Allah (itu), dan Firman itu adalah Allah”. Pernyataan

32
penting bahwa sang Logos ini tidak hanya datang di antara
manusia dalam diri Tuhan Yesus tetapi “telah ada di dunia yang
dijadikannya”. Yohanes pasal 1 : 10-13 dengan jelas menunjuk
kepada suatu masa sebelum logos itu datang dalam manusia Yesus.
(Wijanto, 2018) mencatat dalam Injil ini, istilah ‘Anak Tunggal’
muncul sebanyak empat kali (dua kali dalam bagian ‘pengantar’
1:14,18; dan dua yang lain dalam 3:16,18). Ia lebih lanjut
menjelaskan bahwa dalam keempat ayat ini, istilah yang
digunakan adalah bentukan dari kata ‘monogenes’ yang berarti
“hanya satu kali dilahirkan.” Kata ‘monogenes’ yang dikenakan
pada diri Yesus sebagai manusia yang adalah ‘anak Allah’ memberi
arti bahwa apa yang ada dan terjadi pada diri manusia Yesus,
sungguh-sungguh adalah sesuatu yang mulia, karena di dalam diri
manusia Yesus ini, Allah sendiri yang hadir dan bekerja
sepenuhnya sekaligus mengungkap jati diriNya. Dalam Injil
Yohanes rumusan rangkap 3 dijumpai berkali-kali. George Hendry
yang dikutip (Erikson,2004) merujuk beberapa ayat yakni : Anak
diutus oleh Bapa (14:24), dan berasal dari Dia (16:28). Roh diberikan
oleh Bapa (14:16), diutus oleh Bapa (14:26) dan berasal dari Bapa
(15:16). Sekalipun demikian , Anak sangat terlibat dalam
kedatangan Roh Kudus; Anak mendoakan kedatangan-Nya (14:6),
Bapa mengutus Roh dalan nama Anak (14:26), Anak akan
mengutus Roh dari Bapa (15:26). Pelayanan Roh Kudus dipahami
sebagai kelanjutan dari pelayanan Anak. Yesus juga secara terbuka
memperlihatkan kesatuannya-Nya dengan Bapa. Ia mengatakan
“Aku dan Bapa adalah satu “(10:30) dan “Barangsiapa telah melihat
Aku, ia telah melihat Bapa”(14:9). Dia berdoa agar para murid-Nya
bersatu sebagaimana Dia dan Bapa adalah satu juga (17:21).
Pembahasan dalam Perjanjian baru selanjutnya dapat kita lihat
dalam surat-surat Paulus. Dalam 1 Korintus 12 : 4-6 yang
merupakan dimana rasul Paulus membahas mengenai karunia-
karunia roh atau kharismata. Ia menyatakan, “Ada rupa-rupa
karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu
Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi
Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua
orang.” Bagian lainnya adalah berkat Rasuli dalam 2 Korintus 13:13
berisi Ucapan Berkat Penutup. Rasul Paulus dalam bagian ini
menyebutkan dengan jelas tentang Allah, Tuhan Yesus Kristus dan
Roh Kudus dengan memperlakukan Tiga Pribadi ini secara setara.

33
Dalam Efesus 1 ayat 3 ada rumusan “Terpujilah Allah dan Bapa
Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan
kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga…”, kemudian
Efesus 4:4-6 ketika Rasul Paulus berbicara tentang kesatuan Tubuh
Kritus, ia menyebutkan tiga Pribadi dalam Allah Tritunggal, “satu
tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada
satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu
Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari
semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam
semua”.
Teks Perjanjian baru selanjutnya adalah 1 Petrus 1:2 dimana
diungkapkan “Yaitu orang-orang yang dipilih sesuai rencana
Allah, Bapa kita, dikuduskan oleh Roh, taat kepada Yesus Kristus
dan menerima percikan darahNya”. Bagian berikutnya tercatat
dalam Wahyu 1:4-6. Bagian Alkitab ini merupakan rumusan salam
dimana penulis kitab Wahyu menyebut Allah sebagai Dia, yang
ada, yang sudah ada dan yang akan datang atau Bapa-Nya; Roh
Kudus disebut “tujuh roh.” (Pandey, 2020) menafsirkan bahwa ini
menunjukkan kepenuhan dan kesempurnan-Nya dan Anak yang
disebut sebagai Yesus Kristus.

2. SEJARAH DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL DALAM GEREJA


Setelah menelaah dasar-dasar Alkitab mengenai Keesaan dan
Ketritunggal Allah, maka selanjutnya akan dibahas pemimikiran bapa-
bapak gereja yang kemudian diputuskan dalam konsili-konsili tentang
doktrin Allah Tritunggal. Ada beberapa pendekatan yang digunakan
oleh para penulis tentang sejarah Trinitas. (Budyanto,1999)
mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yakni: secara kronologis,
Pokok isu yang ditekankan (keesaan Allah yang mengabaikan
keTritunggalannya atau KeTritunggalan yang mengabaikan Keesaan),
Keesaan yang membagi identifikasi antara ketiga pribadi dalam
Trinitas dan pendekatan yang melakukaan pembedaan antara
ketiganya. Modul ini cenderung mengikuti pendekatan (Berkhof,
1992) yang hampir sejalan dengan (Budyanto, 1999) dan (Edison R.L
Tinambunan, 2016).
Sebagaimana yang disampaikan oleh penulis lainnya (Wijanto, 2018)
menegaskan bahwa masalah Allah Tritunggal baru muncul pada abad

34
IV, sebagai akibat lanjut dari adanya pengakuan bahwa Yesus sebagai
Tuhan (kurios), dan kemudian juga Roh Kudus, yang adalah juga allah
(‘theos’). Sehingga dapat dikatakan bahwa bagaimana Allah Tritunggal
dipahami, kurang lebih bergantung juga pada bagaimana Tuhan Yesus
dipahami sebagai Allah.
a. Pemikiran Trinitas Masa Gereja Mula-Mula Sampai Abad II
Sesungguhnya paham Trinitarianisme ini sudah ada sejak abad
permulaan Kekristenan, walaupun kepercayaan orang Kristen
mula-mula kepada Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai Allah yang
Esa masih dalam ungkapan Bahasa yang sederhana. (Edison R.L
Tinambunan, 2016) menyatakan bahwa sampai tahun 150, masa
Kristiani awal memiliki pemikiran bahwa Putra dan Roh Kudus
adalah perantara keselamatan yang berasal dari Tuhan. Dalam
periode ini, Kristiani awali belum menjelaskan hubungan
ketiganya, sehingga muncul upaya-upaya untuk menjelaskannya
seperti Gnosticisme yang berpendapat bahwa pencipta, perantara,
ciptaan berada dalam posisi secara subordinasi, dengan
konsekuensi, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Kemudian
muncullah banyak pendapat mengenai doktrin ini.
Pada pertengahan abad kedua, terjadi perubahan dalam sejarah
kekristenan. Masa ini dilihat sebagai peralihan dari Palestina ke
Yunani. Suatu masa dimana Kristiani mulai menekankan keilahian
Kristus yang dinamai dengan Tuhan dan melihat Kristus sebagai
Putra Allah dan Putra manusia (Ignatius dari Antiokia). Ini sesuatu
yang baru karena dua unsur Kristus dilihat bersamaan (keilahian
dan kemanusiawian) Kristus. (Berkhof, 1992) menuliskan bahwa
Tertullianus adalah orang pertama yang secara gamblang
menyatakan tri-personalitas Tuhan dan setia mempertahankan
pendapat tentang Keesaan substansial dari ketiga person tersebut.
Namun demikian dia belum menerangkan dengan jelas tentang
doktrin Trinitas. (Tinambunan, 2016) menjelaskannya sebagai
dampak dari pengaruh pemikiran filsafat Yunani. Yustinus Martir
(110-165 M) seorang bapa gereja Timur, dapat dikatakan sebagai
Perintis awal yang mencoba menempatkan kebenaran Allah dalam
pemikiran Yunani. Ia membahas tentang hubungan antara Allah
Bapa dengan Logos (firman) yang menjadi daging dalam diri Yesus
Kristus, sehingga di satu sisi, logos itu sama Ilahi-Nya bahkan Ia
adalah Allah, tetapi ketiga logos menjadi daging (inkarnasi), Ia
menjadi berbeda dengan Allah. (Fortmen, 1982). Yustinus Martir

35
menjelaskan pernyataannya ini dengan menggunakan analogi
sinar matahari dan terangnya. Sinar dan terang
memang tidak dapat dipisahkan dari matahari, tetapi sinar dan
terang itu tidak seidentik matahari. Pemikirannya ini kemudian
menempatkannya dalam pemikir atau pendekatan pluralisme,
karena kebenaran Allah menjadi Plural.
Pendekatan selanjutnya yakni monarkhianisme, yang berarti
prinsip tunggal. Menurut Kirchberger sebagaimana dikutip oleh
(Noya, 2013) pendukung paham monarkhianisme lahir dari
kecemasan akan kehilangan hakikat Keesaan Allah oleh
pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Sehingga mereka
mengupayakan bagaimana hubungan Yesus dengan Allah dapat
dipikirkan tanpa menghilangkan keesaan absolute Allah. Ada dua
tipe yang muncul yakni : Monarkianisme dinamis dan
Monarkianisme modalis. Pemikir monarkianisme dinamis adalah
Theodatus dari Byzantium. menurutnya Yesus hanyalah manusia
biasa yang kemudian baru diberi kekuatan khusus pada saat Roh
Kudus turun atasNya Ketika Ia dibaptiskan. Allah dengan roh
ilahiNya memperlengkapi Yesus yang membuat Yesus memiliki
kedudukan yang khusus dimata Allah. Yesus yang disebut sebagai
Anak Allah sama sekali tidak membuat-Nya menjadi Allah.
Sedangkan Monarkhianisme Modalis, melalui pemikir utamanya
Sabelius, sangat kuat memberi tekanan kepada keesaan Allah,
tetapi akibatnya kebhinekaan pribadi Allah dikorbankan. Seballius
mengajarkan bahwa Allah yang satu itu hadir dalam sejarah bukan
hanya dalam pribadi yang berbeda tetapi juga dalam rentang
waktu yang tidak sama, lihat juga (Timo, 2012) juga peran-peran
yang berbeda. Nama modalisme hanya dilihat sebagai mode-mode
atau cara penampilan Allah yang satu.

b. Pergumulan Trinitas Masa Pra Konsili


Masa Pra Konsili dimulai pada akhir abad ke-II hingga awal
abad ke-III. Pada masa ini usaha gereja untuk menjelaskan
kepercayaannya mulai menjadi jelas. (Noya, 2013) merujuk bapa-
bapa Gereja atau para pemikir yang berkontribusi pada masa ini
yakni Irenius, Tertulianus dan Origenes. Ireneus adalah uskup di
kota Lyon, Perancis Selatan. Pandangannya tentang Allah sama
dengan bapa Gereja Timur yang menekankan Keesaan Allah,
“Hanya ada satu Allah Bapa, Tuhan Pencipta langit dan bumi, yang

36
membentuk segala sesuatu oleh anak-Nya dan oleh Roh Kudus
yang selalu bersama-sama dengan Dia. Agar diri-Nya dikenal, Ia
menyatakan diri-Nya pada penciptaan dan penebusan yaitu dalam
Anak dan Roh Kudus (Kelly, 1989). Tentang Yesus Kristus, Ireneus
menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah juga adalah Firman
Allah. Ia menolak pemisahan antara Yesus dan Kristus.
Menurutnya, Yesus itu adalah Firman yang menjadi daging dan
diurapi oleh Roh Kudus. Dia Adalah Allah (Fortman, 1982).
Walaupun Anak ini dilahirkan oleh Bapa, Ia sama kekal dan sama
Ilahinya dengan Bapa (Lohse, 1989). Tentang Roh Kudus
(Budyanto, 1999) menulis bahwa Ireneus menyatakan, Roh Kudus
sama kekalnya dengan Bapa dan Anak. Namun Ia tidak pernah
menyebut Roh Kudus itu Allah. Roh Kudus dilihatnya sebagai
hikmat, tinggal dalam hati manusia…untuk menyatakan kehendak
Bapa, sehingga mereka dapat lepas dari hidup yang lama dan
memulai hidup baru dalam Kristus. Walaupun tidak menyatakan
dengan tegas bahwa Roh Kudus itu Allah, Ireneus menyatakan
tanpa Roh Kudus, Firman tidak dapat dilihat, tanpa Roh Allah kita
tidak dapat diselamatkan, karena dimana Roh Bapa ada, di sana
ada manusia yang hidup.
Kelly, sebagaimana dikutip (Budyanto, 1999) menyebut Trinitas
dari Ireneus sebagai Trinitas yang ekonomis, karena penyingkapan
diri Allah terjadi dalam suatu proses sejarah keselamatan. Terlihat
di sini bahwa Ireneus memandang Anak dan Roh Kudus berbeda
dari konsep pluralisme oleh Yustinus Martir dan monoteisme oleh
Seballeus. Bagi Irenius, Anak bukanlah berada di luar Bapa
(menentang konsep Pluralisme Yustinus), tetapi Anak itu bukan
Bapa (Menentang Konsep monarkhianisme). Anak dilahirkan dari
Bapa sebagai penyelamat kehidupan manusia (Logos Allah). Kata
dilahirkan berarti yang keluar langsung dari Allah sebagai Logos.
Demikian pula Roh Kudus, ia sama kekalnya dengan Bapa dan
Anak. Jika Anak adalah Logos sang Ilahi, maka Roh Kudus bukan
Logos melainkan Hikmatnya (Fortman,1982). Menarik bahwa
ajaran Trinitas Ireneus ini diungkapkan dalam bentuk kredo
sebagai berikut:
1) Pasal Pertama, Allah Bapa tidak diciptakan, tidak nampak, Allah
Yang Esa pencipta langit dan bumi.

2) Pasal Kedua, Firman Allah, Anak Allah, Yesus Kristus yang

37
dinyatakan oleh para nabi dengan cara nubuat mereka sesuai
kehendak Allah. Anak yang dalam kesempurnaan menjadi
manusiaberada di tengah-tengah keberadaan manusia, dapat
dilihat dan disentuh menghancurkan kematian, memberi
kehidupan dan membaharui persekutuan antara Allah dan
manusia.
3) Pasal Ketiga, Roh Kudus melalui para nabi bernubuat dan
nenek moyang kita diajarkan oleh Allah dalam kebenaran,
yang sekarang berdiam bersama manusia supaya ada
pembaharuan hidup di dunia.Sekalipun demikian ada jenjang
hirarkhis yang terlihat bahwa Allah Bapa adalah sumber
untuk Anak dan Roh Kudus.
Budyanto melihat konsep Trinitas Irenius sebagai Trinitas
fungsional karena perbedaan ketiganya dilihat dalam Fungsi,
dimana Allah Bapa sebagai Sumber untuk Anak dan Roh
Kudus. Ketiganya memiliki fungsi masing--‐masing Bapa
sebagai Pencipta, anak sebagai Penyelamat dan Roh Kudus
sebagai Yang Memberkati kehidupan baru yang dimiliki umat--‐
Nya.
Pemikir selanjutnya yakni Tertulianus (145-220 M). Tokoh
yang sangat berjasa dalam perumusan Trinitas. Istilah substansi
atau zat, juga persona atau pribadi dirumuskan olehnya. Ia
merupakan orang yang pertama kali menggunakan kata Trinitas
(Osborn, 2004) yang secara khusus dipakai Tertulianus untuk
melawan pluralisme dalam diri Allah (pemikiran Yustinus Martir)
dan Praxeas dalam keesaan Allah (pemikiran Saballius). Pluralisme
Yustinus martir dinilai sebagai sesuatu yang keliru, sebab sejak
semula Allah adalah satu, sehingga ketiganya tidak bisa dipakai
untuk melepaskan keesaan yang satu dari lainnya. Selain itu,
konsep Praxeas yang mengajarkan bahwa Bapa sendiri turun ke
dalam anak dara Maria, yang kemudian Ia sendiri lahir melaluinya,
Ia sendiri yang menderita, dan kemudian Ia itulah Yesus Kristus.
Tertulianus mengembangkan gagasannya yang kemudian
dirumuskan sebagai “Allah adalah satu dalam substansi-Nya, dan
tiga dalam persona-Nya atau pribadi-Nya atau dikenal sebagai
Una Substantia Tres Personae. Kata Persona menunjukkan Bapa,
Anak dan Roh Kudus berbagi satu zat Ketuhanan yang ada dalam
tiga persona tersebut, sementara substantia mengacu pada apa yang
bergabung sebagai satu Ketuhanan dari masing-masing persona.

38
Lebih lanjut Tertulianus menyatakan rumusannya bahwa ”Kita
percaya hanya kepada Allah yang Esa, yang memiliki Anak-Nya
yang tunggal, Firman-Nya yang keluar dari Dia, yang oleh-Nya
segala sesuatu diciptakan dan tanpa Dia tidak ada sesuatu yang
ada. Kita juga percaya bahwa Dia diutus oleh Bapa kepada seorang
perawan, dan dilahirkan olehnya baik sebagai Allah maupun
manusia, maupun sebagai Anak Allah dan dipanggil dengan nama
Yesus Kristus. Kita juga percaya bahwa Dialah yang menderita,
mati dan dikuburkan sesuai dengan Alkitab, dan sesudah itu
dibangkitkan lagi oleh Bapa, diangkat naik ke Sorga, duduk di
sebelah kanan Allah Bapa, dan akan datang kembali untuk
menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Dan sesuai janji-
Nya, Ia juga mengutus dari sorga, dari Bapa, Roh Kudus atau
parakletos , penyuci iman orang yang percaya kepada bapa, Putra
dan Roh Kudus.” Bagi Tertulianus, Allah telah ada sebelum alam
semesta ini diciptakan, maka tidak ada yang di luar Allah selain
Allah sendiri. Lebih lanjut ia menyatakan, Allah memiliki akal budi
pada dirinya (Rasio), yang kemudian dikeluarkan dalam Firman
atau Logos. Maka yang ada sejak semula bersama-sama dengan
Allah adalah akal budi itu sendiri. Pada Bapa, akal budi itu muncul
sebagai yang pertama secara langsung, tetapi dalam Anak, akal
budi itu adalah firman yang disampaikan Allah melalui Anak,
sehingga hal ini dapat menjelaskan kesatuan substansinya
sekalipun berbeda secara bentuk. Sementara Roh Kudus sejak
semula bersama-sama dengan Allah, tetapi ketika Kristus
ditinggikan, Roh Kudus itu keluar dari Bapa dan Anak. Ia melihat
Anak dan Roh Kudus sebagai pribadi yang menduduki tempat
kedua dan ketiga sesuai fungsi dan tugasnya, sedangkan Bapa
menempati fungsi yang pertama sebagai sumber dari substansi
Allah. Hal ini secara fungsional menjelaskan bahwa Allah memiliki
fungsi yang jamak dalam diri-Nya. Pemikiran Tertulianus
walaupun merupakan acuan yang penting mengenai tiga pribadi
dalam satu substansi sebagai keesaan Allah, namun konsep
trinitasnya tereduksi dalam tingkatan dan derajat yang berbeda
antara satu pribadi dengan pribadi lainnya.
Pemikir terakhir pada masa pra-konsil ini ialah Adamatinus
Origenes (185-254 M) dari Alexandria. Origenes menguasai filsafat
Yunani dan juga seorang pangajar kristen (katekitsasi). Tujuan
utama Origenes adalah membentuk iman kristen yang dapat

39
dipertanggung- jawabkan secara ilmiah. Untuk itu teologinya
bertolak dari unsur – unsur gnostik dan filsafat Yunani (Van den
End, 2001). Dalam filsafat Yunani tentang Allah, adalah Allah
bersifat Mutlak, kekal, diluar Allah, bukan Allah, tetapi roh-roh
setengah ilahi yang berada dibawah Allah. Roh-roh ilahi tersebut
bertugas sebagai pengantara Allah dan manusia (Lohse, 1994).
Mengenai ini ada dua point penting dalam pemikiran Origenes,
yakni:

1) Pertama, Anak dan Roh adalah Allah, karena apa yang


dilahirkan dari Allah adalah Allah, akan tetapi keilahian Anak
dan Roh bersifat sekunder, sebab diturunkan dari keilahian
sang Bapa. Untuk menunjukan ketiga pribadi ini, Origenes
menggunakan istilah hypostasis, yang bagi dia berarti
keberadaan. Bagi Origenes, Putra dan Roh berlainan dengan
Bapa sebab hypostasis mereka, tetapi mereka adalah satu
karena hakikat mereka homo-ousios.
2) Kedua, Anak dan Roh tidak terjadi di dalam waktu sebab Anak
dan Roh dilahirkan dalam kekekalan bersama dengan sang
Bapa. Bapa adalah kekal, Anak adalah kekal dari sang Bapa,
dan Roh adalah kekal dari Sang Bapa dan Sang Anak.
Ketiganya adalah keabadian, tidak terdapat masa waktu
didalamnya (masa lampau maupun masa depan) yang ada
hanyalah masa kekinian yang kekal.
Origenes membuat pembedaan dilahirkan dan diciptakan.
Diciptakan berarti memiliki kedudukan yang sama dengan dunia
ciptaan lainnya, tetapi dilahirkan yang berarti memiliki bagian dari
yang melahirkan, yaitu Allah sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep Trinitas di
masa awal perkembangan gereja memiliki untuk merumuskan
Kepercayaan kepada satu Allah yang hadir dalam hakekat Allah
Anak dan Roh Kudus untuk menjawab tantangan Monoteisme
Yahudi dan memberi penjelasan tentang kodrat diantara ketiganya
(Bapa, Anak dan Roh Kudus) secara rasional untuk menjawab
tantangan ajaran Gnostik dalam perkembangan filsafat Yunani.

c. Masa Konsili dari Nicea sampai Konstantinopel


Konsili dimulai sejak pertengahan abad ke-III hingga awal abad
ke-IV. Pada periode konsili ini, Trinitas dirumuskan sebagai

40
sebuah pengakuan yang sah didalam gereja. Periode konsili
diawali dengan Konsili Nicea tahun 325 pada masa kepemimpinan
Kaisar Konstantin. Tetapi keputusan dalam konsili tersebut belum
mampu menyelesaikan persoalan iman dalam gereja sehingga
kemudian diadakan Konsili kedua di Konstantinopel tahun 381
untuk menyelesaikannya. Dua tokoh utama selain kaisar
Konstantin yang memiliki pengaruh besar dalam proses konsili
yakni Arius pada konsili Nicea dan Athanasius pada konsili
Konstantinopel.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan dibentuknya konsili
Nicea (Berkhof, 1989). Pertama, isu perpecahan yang dikemukakan
oleh Arius, uskup Bacilius dari Alexandria. Ia menyatakan bahwa
Yesus Kristus tidak sehakikat dengan Sang Bapa. Persoalan ini
kemudian menimbulkan kebingungan bahkan menimbulkan
perpecahan dalam tubuh kekristenan. Kedua, kepentingan politik
kaisar dengan agama Kristen, dimana Kaisar Konstantinopel
menempatkan kekristenan sebagai agama negara terutama untuk
kekuatan pemersatu dalam wilayah kekuasaannya. Sehingga
perpecahan yang terjadi dalam tubuh kekeristenan dapat
menghancurkan kekuasaannya (Shedd, 1978). Kaisar memiliki
kepentingan untuk mempertemukan semua pihak gereja dan
mendorong para uskup untuk menemukan formula perdamaian
untuk mempersatukan gereja dan meredam ancaman disintegrasi.
Konsili Nicea terjadi tahun 325.
1) Pandangan Arius
Arius mengikuti Origenes, dan menstrukturkan Kembali
pemikiran Origenes. Ia tetap mempertahankan transendensi
Allah dan lebih menerima Keesaan-Nya daripada
Ketritunggalannya. Bedanya Origenes menerima kesamaan
substansi ke-tiga pribadi meskipun dalam derajat yang berbeda,
sedangkan Arius menolaknya. Arius menempatkan
monoteisme radikal dalam sistem Origenes bahwa hanya Bapa
sajalah Allah, di luar Bapa bukan Allah hanya ciptaan yang
diangkat oleh Allah.
Arius menyatakan pengakuan imannya bahwa “kami
mengaku satu Allah yang satu-satunya tidak diperanakan,
yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa
awal, yang satu-satunya benar, yang satu-satu tidak dapat mati,
yang satu-satunya baik, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-

41
satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semua,” maka
yang kami akui adalah Allah Bapa sumber dari segala yang
diciptakan dan satu-satunya Allah dalam kekristenan”
(Berkhof, 1989). Menbgacu pada rumusan pengakuan imannya
maka ada dua hal penting yang menjadi dasar pemikiran Arius.
Pertama, karya penyelamatan Kristus. Bagi Arius, karya
utama penyelamat adalah teladan bagi kita. Kristus adalah
Anak Allah, tetapi seorang anak melalui proses adopsi
(pengangkatan), sehingga Kristus bukanlah ho-Theos, tetapi
hanya dilihat sebagai Theos. Arius menyatakan bahwa Allah
tidak selamanya Bapa. Ada saat dimana ia sendirian tanpa
nama berdiri dalam kekalan, kemudian baru ia diisi oleh Bapa
sebagai pencipta. Bapa dapat menjadi Allah karena ia tidak
berubah dan bukan pribadi, Ia kekal dalam waktu, bukan
terikat dalam waktu. Anak menjadi Kristus memerlukan
penyempurnaan sementara bapa tidak memerlukan
penyempurnaan untuk menjadi Allah. Selanjutnya Arius
menyatakan bahwa penyempurnaan Yesus menjadi Anak Allah
terjadi melalui penyempurnaan kebijaksanaan dan keallahan-
Nya secara bertahap. Ia dapat berubah, sebab bila Ia tidak dapat
maka tak dapat pula ia menjadi semakin sempurna (Ibrani 2:52),
sehingga Anak tidak dapat mencapai Bapa, meski demikian
kesempurnaan sebagaimana sang Bapa, maka Kristus adalah
ciptaan seperti kita (Urban, 2003)
Kedua, hakikat Kristus sebagai Anak yang mengalami
perubahan ke arah penyempurnaan terjadi oleh karena ketaatan
dan kehidupan spiritual-Nya. Bagi Arius, Kristus bukanlah
manusia biasa. Ia percaya bahwa sang Anak adalah pencipta
dunia yang pra-ada (pre-eksisten). Ia seperti malaikat, Ia bukan
manusia, bukan pula Allah. Arius menyatakan bahwa Kristus
adalah pencipta yang pra-ada dan sekaligus ciptaan. Ia berada
atau bereksistensi di dalam waktu. Salah satu kalimat Arius
yang terkenal adalah “ada masa ketika ia belum atau tidak ada,
dan saat ia ada menandakan ia bukan manusia biasa bukan
pula Allah”. Hakikat kristus berubah, berkembang. Kristus
seperti demi-god (setengah dewa) atau malaikat, sehingga
hakikat Kristus adalah campuran: tubuh manusia dengan jiwa
malaikat (Lohse, 1994), dapat disimpulkan bahwa Arius hanya
melihat satu Allah bukan tiga Allah, juga hirarkhis tetapi hanya

42
satu Allah yang kemudian menyempurnakan Kristus untuk
menyelamatkan umat-Nya dan memberikan Roh kudus bagi
keberlangsungan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya.
2) Konsili Nicea
Konsili Nicea terlaksana pada tahun 325 atas inisiatif
kaisar Konstantin. Konsili dihadiri oleh 300 uskup, dipimpin
oleh uskup Hosius, dari Cordoba yang merupakan penasihat
rohani dari Konstantin. Kata penting yang muncul dan menjadi
inti dari konsili Nicea yakni homo-ousios yang artinya
“sehakekat” tidaklah dikeluarkan oleh para uskup, tetapi oleh
kaisar sendiri yang diyakini telah menerima masukan dari
uskupnya yakni Hosius (Groenen,1988). Sebenarnya kata
Homo-ousios digunakan pertama kali oleh Tertulianus untuk
menunjukan bahwa Pribadi Bapa dan Anak adalah sehakekat.
Kredo ataupun pengakuan iman terhadap Allah pada konsili
Nicea berbunyi demikian:
“Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Maha Kuasa,
Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan
tak kelihatan. Dan akan Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang
Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari
Allah, terang dari terang. Allah benar dari Allah benar. Ia
dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala
sesuatu dijadikan olehnya.Ia turun dari sorga untuk kita
manusia, dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging
oleh Roh Kudus dari perawan Maria dan menjadi manusia.Ia
pun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus, Ia wafat
kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit,
menurut Kitab Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan
yang mati; Kerajaan-Nya takkan berakhir. Aku percaya akan
Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan; yang berasal dari Bapa
dan Putra, yang serta Bapa dan Putra disembah dan
dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku
percaya akan Gereja yang satu, kudus, universal dan apostolik.
Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku
menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia
yang akan datang. Amin.”
Inti dari konsili ini adalah Sang Anak bukan dijadikan,
tetapi dilahirkan, sehingga sang anak bukanlah exnihilo dan

43
juga tidak pernah ada waktu dimana Bapa tidak bersama
dengan Anak, sebab keduanya memiliki kodrat yang sama,
dengan kata lain keduanya adalah sehakikat.
3) Konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel adalah respons terhadap
ketidakpuasaan dari Gereja Timur pengikut Arius bahwa Yesus
sehakikat dengan Sang Bapa. Titik krusialnya adalah frasa “apa
yang dilahirkan dariAllah adalah Allah”. Ada tiga alasan yang
diajukan, yakni oleh kelompok ini. Pertama, karakter dasar dari
Allah adalah tak-berasal-usul (unoriginated). Jelas hal ini tak
dapat diberikan kepada Anak, sebab Ia berasal dari Allah.
Kedua, bila Bapa tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, maka
Anak seharusnya juga tidak dilahirkan dan tidak melahirkan.
Ketiga, bila Anak memiliki segala karakteristik (properties) yang
sama dengan Bapa, maka Ia pun dapat melahirkan seorang
Anak, dan Anak itu melahirkan lainnya,demikian seterusnya.
Penolakan Kaum Arian ini kemudian menimbulkan persoalan
baru dalam gereja. Untuk mengakhiri perbedaan ini maka
dibentuklah Konsili Konstantinopel pada tahun 381 dengan
tokoh pentingnya yaitu Athanasius Uskup dari Alexandria
yang menjelaskan penerapan homo-ousios untuk pribadi Anak
dan Bapa.
4) Athanasius
Athanasius adalah uskup Alexandria pada tahun 373.
Dalam upayanya untuk melawan Arianisme, Athanasius
memberikan tiga argumentasi yakni : Pertama, karakteristik
Allah. Menurutnya kaum Arian salah memaknai kata kelahiran,
sebab persoalannya bukan pada penerusan, karakter ataupun
sifat, melainkan pada aspek material yang sama oleh keduanya
yakni keallahan itu sendiri. Athanasius menekankan bahwa
sebagaimana Allah, maka Anak adalah Allah. Keallahan yang
mestinya dijadikan sebagai sebagai karakteristik dari proses
kelahiran yang dijadikan. Kedua, hakikat Allah. Baginya,
hakikat Allah antara Bapa dan Anak berbeda. Perbedaan
keduanya didasari oleh aspek esensial ilahi oleh
keduanya. Bapa dan Anak dalam esensinya tidak menjelaskan
Allah secara langsung tetapi secara fungsional sebagai pribadi.
Bapa menyimbolkan pribadi Allah yang menciptakan segala
sesuatu, sumber dari segala sesuatu dan Anak menyimbolkan

44
pribadi Allah yang menyelamatkan segala sesuatu. Ketiga,
esensi Roh Kudus. Bagi Athanasius, konsep Arius yang melihat
roh merupakan ciptaan yang berada di bawah Anak, menjadi
sesuatu yang keliru. Karena Roh Kudus juga merupakan bagian
dari ousios Allah antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh
Kudus merupakan Roh Allah. segala yang dimiliki Anak
dimiliki pula oleh Roh, demikian pun yang dimiliki Anak
adalah juga dimiliki Bapa. Maka ketiganya adalah hakikat Allah
itu sendiri.
5) Ketiga Orang Kapadokia: Basilius Agung, Gregorius dari
Nyssa dan Gregrorius dari Nazianze
Ketiga orang dari Kapadokia ini mengembangkan istilah
yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada
umumnya di satu pihak dan para pribadi individu di pihak lain.
Jika para teolog sebelumnya menggunakan istilah ousia dan
hypostasis secara campur baur, maka ketiga orang Kapadokia
ini menempatkan kedua isitilah tersebut sesuai fungsinya.
Istilah ousia ditempatkan untuk menggambarkan hakikat
(esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga
pribadi, sedangkan hypotasis untuk eksistensi
pribadi yang dimiliki oleh masing- masing diri Ilahi. Dari hal ini
ousia untuk ketuhanan, dan hypotasis untuk
diri atau pribadi. Lebih lanjut mereka
Selain dalam memperjelas terminologi teologis, ketiga
orang dari Kapadokia juga berjasa dalam mempertajam
kekhususan para pribadi Tritunggal. Bagi mereka, Bapa
mengenakan Kebapaan yang menjelaskan asal-usul, anak
mengenakan Keputraan yang menjelaskan penyelamatan, dan
Roh Kudus menggambarkan pengudusan yang menjelaskan
akhir atau kepenuhan. Dari hal ini jelas bahwa ketiganya
berbeda dalam pribadi yang dijalankan, akan tetapi satu dalam
tujuan yang dilaksanakan.
6) Konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel merupakan kelanjutan dari
Konsili Nicea yang dinilai belum mampu diterima semua pihak
dan menjelaskan essensi ketiga pribadi yang semakin luas. Ada
pun rumusannya sebagai berikut :

“ Kami percaya kepada satu Allah,Bapa yang Maha

45
kuasa,Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang
kelihatan dan yang tak kelihatan. Dan akan satu
Tuhan,Yesus Kristus,Anak Allah yang tunggal; Ia lahir
dari Sang Bapa sebelum ada segala abad, Terang dari
Terang,Allah benar dari Allah benar, dilahirkan,bukan
dijadikan;sehakekat dengan Sang Bapa, segala sesuatu
dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari sorga untuk kita
manusia dan untuk keselamatan kitadan Ia menjadi
daging oleh RohKudus dari perawan Maria dan menjadi
manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu
Pontius Pilatus, Ia menderita, wafat dan dimakamkan,
Pada hari yang ketiga, Ia bangkit menurut kitab suci, dan
Ia naik ke surga disisi Bapa; Ia akan datang kembali
dengan kemuliaan untuk mengadili orang yang hidup
dan yang mati; yang kerajaan-Nya takkan berakhir. Dan
akan Roh Kudus. Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia
berasal dari Sang Bapa, yang serta Bapa dan Anak
disembah dan dimuliakan, Ia bersabda perantaraan para
nabi. Akan Gereja yang satu dan kudus, katolik dan
apostolik. Kami mengakui satu baptisan akan
penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang
mati dan hidup di akhirat. Amin
Pengakuan iman ini merupakan pengakuan iman
pertama kali yang diterima dari hasil sidang yang dilakukan.
Pengakuan iman ini juga menjadi titik tolak baru dari gereja
beralih dari masa gereja purba. Ada perbedaan antara
pengakuan iman pra-konsili dan pasca-konsili. Pada pra-
konsili, hanya Bapa yang dapat dilihat sebagai Allah, tetapi,
setelah konsili, hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus
dilihat sehakikat (homo-ousios) sebagai Allah yang satu, tidak
ada perbedaan dalam kedudukan mana yang lebih tinggi dan
mana yang lebih rendah diantara ketiganya.
Konsili Konstantinopel tidak mengubah rumusan
pengakuan Konsili Nicea, tetapi hanya menambahkan
rumusan mengenai Roh Kudus dan Gereja seperti yang telah
dikutip pada deklarasi Konsili tersebut.

46
7) Perkembangan Trinitas pada Masa Pasca-Konsili Nicea-
Konstantinopel
Setelah masa konsili ada kebutuhan untuk menjelaskan
Trinitas lebih dalam agar umat Kristen dapat memaknai
kebutuhan dari pengakuan iman tersebut. Tokoh pentng pada
masa paca–konsili adalah Santo Agustinus (354-430). Terkait
dengan pengakuan iman Kristen ia berangkat dari dua
pertanyaan penting mengenai Trinitas. Pertama, bagaimana
menjelaskan keesaan Allah dalam tiga pribadi sebagai Bapa,
Anak dan Roh Kudus? dan Kedua, bagaimana memahami
Trinitas yang bekerja terbagi sebagai Yang Mencipta, Yang
Menyelamatkan dan Yang Memberkati ? (Erickson, 1995).
Augustinus memulai penjelasannya dengan berangkat
dari kesamaan esensi Bapa, Anak dan Roh Kudus. Ini sekaligus
menghadang subordinasionisme Origenes dan Arius. Kesatuan
atau Allah bagi Augustinus adalah Mutlak, sekalipun kesatuan
ini tidak berasal dari Satu Pribadi melainkan Tiga Pribadi.
Keberadaan Allah dalam pemikiran Augutinus bukan secara
substantia, melainkan essensia seperti Athanasus. Bahasa
substansi bagi Agustinus menunjukan satu Yang Mutlak
menguasai semua yang berada di bawah substansi tersebut,
tetapi dalam Trinitas Yang Mutlak adalah Tiga bukan satu
sehingga konsep yang lebih tepat adalah essensia untuk
menjelaskan Keesaan Allah adalah hasil dari kesatuan Tiga
Pribadi, bukan otoritas satu pribadi. Dengan mengutip Yohanes
1 ayat 1 “Pada Mulanya adalah Firman, Firman itu adalah
Allah.” Kemudian menjelaskan bahwa ungkapan ini
menunjukan hakekat Bapa sebagai Allah. Firman itu kemudian
menjadi manusia hakekat Yesus sebagai Allah, dan ketika
Firman Itu berdiam bersama kita Ia menggambarkan Hakekat
Roh kudus sebagai Allah. Hal ini menunjukan bahwa ada tiga
pribadi Allah, tetapi tiga pribadi tersebut bukanlah latar depan
dari Allah melainkan latar belakang dari satu essensi yang
adalah latar depan dari ketiganya Maka tidak dapat dikatakan
bahwa hanya Bapa saja, atau Anak saja, atau Roh kudus saja
yang menggambarkan Allah, tetapi Allah menjadi nampak dari
kesatuan ketiganya (Berkhof, 1989; Budyanto, 2001; Noya,
2013).

47
Selanjutnya Augustinus membahas tentang hakikat dari
masing-masing Pribadi Allah dengan menggunakan konsep
relasi. Menurutnya relasi antara Bapa, Anak dan Roh Kudus
yaitu ketiga yang disebut “pribadi’ tersebut bukan sesuatu yang
berbeda dalam diri-Nya sendiri, melainkan hanya berbeda
dalam relasi-Nya satu sama lain dan kepada dunia. Artinya
paham relasi mengacu kepada kehidupan batin Allah (Inter-
trinitas, antara Bapa, Putra dan Roh Kudus). Ketiga Person
memiliki sifat-sifat yang agung yang melekat pada kesatuannya
(essensi Primer) berbeda dalam Fungsionalitasnya (essensi
sekunder). Allah Bapa, dalam arti primer menyatakan tentang
Keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tetapi
dalam arti sekunder, Bapa dilihat dari sudut pandang
penciptaan, sumber dari segala sesuatu yang diciptakan untuk
kehidupan ciptaannya. Anak dalam arti sekunder dilihat dari
sudat pandang penebusan, sebagai penyelamat yang
membebaskan manusia dari dosa dan kesalahannya. Sementara
Roh Kudus dalam arti sekunder dilihat sebagai Pemberi berkat
menggambarkan puncak dari satu ekonmi keselamatan Allah.
Maka dalam arti sekunder, dapat dirasakan perbedaan antara
ketiga Pribadi. Tetapi dalam arti primer Hakikat dari ketiganya
adalah satu.
Pemikiran Augustinus yang juga penting untuk
dibicarakan yakni tentang ekonomi Keselamatan yakni cara
Allah menyatakan diri dalam sejarah manusia dalam tiga
pribadi, tanpa melepaskan keesaannya. Agustinus menyatakan
bahwa di dalam jiwa ada ingatan, pikiran dan kehendak,
dimana ketiganya tidak terpisah namun saling mengisi, sama
halnya dengan tiga aktivitas ilahi dalam karya
keselamatannya. Ekonomi keselamatan menunjukan bahwa
relasi trinitas bukan hanya mengenai kehidupan di dunia, tetapi
juga kehidupan setelah kematian. Ia menegaskan bahwa
“Berkat apa yang dimiliki oleh Bapa dan Anak, Allah ingin
mengadakan persekutuan antara kita dengan-Nya, berkat
pemberian yang mempersatukan Bapa dan Putra, maka Allah
juga membawa kita dengan kesatuan melalui Roh Kudus, untuk
menikmati kegembiraan yang penuh bersama dengan-Nya. Hal
ini hendak menunjukan bahwa dunia, doa, dan kematian tidak

48
lagi membatasi karya Allah dalam Bapa, Anak dan Roh Kudus
bagi manusia.

8) Periode Konsili Efesus, Konsili Calcedonia dan


Konstantinopel II
Dua konsili ini (Konsili Efesus dan Konsili Calcedonia)
dibahas Bersama, dengan pertimbangan keduanya saling
berkelanjutan dan sama-sama focus pada Pribadi Yesus. Dalam
satu abad setelah konsili Nicea, masih muncul perdebatan
terutama tentang Ptibadi Yesus. Isu pokok yang dibahas yakni
Yesus adalah Allah atau manusia? Atau Allah dan sekaligus
manusia? Berapa pribadi yang dimiliki Kristus, dua atau satu?.
Tokoh yang terus memunculkan debat ini adalah Nestorius,
dari sekolah Antiokia. Pada tahun 428 Nestorius terpilih sebagai
uskup Konstantinopel dengan kontroversi di kalangan para
imam. Ia menekankan kemanusiaan Yesus dan
mengesampingkan Keilahiannya. Nestorius menolak theotókos
dan mengatakan bahwa Maria adalah “christotókos” (Maria ibu
Kristus) yang hanya menekankan kemanusiaan Kristus.
Nestorius dipengaruhi oleh Paulus dari Samosata yang
mengembangkan eresi adopsionisme di Antiokia. Ajarannya
adalah Yesus adalah melulu manusia dan berkat adopsi, ia
menjadi Kristus. Pada awalnya Yesus memiliki satu kodrat
yaitu, manusia dan setelah pengangkatannya ia memiliki dua
kodrat dan memiliki dua ousia yang secara terpisah. Nestorius
dan pengikutnya mempertahankan argumentasi bahwa bahwa
Kristus memiliki dua ousia dan dua ipostasis. Karena ia
mengabaikan teguran Cirilius dari sekolah Alexandria,
sehingga atas inisiatif Cirilius dilaksanakan konsili ketiga atas
izin Teodosius, kaisar di Konstantinopel. Konsili ini pada tahun
431, lebih sebagai debat (dengan surat-menyurat antara
Nestorius dan Cirilius. Keputusan akhirnya tidak mengubah
konsili Nicea dan Konstantinopel. Tetapi merumuskan catatan
tambahan terkait Maria.

“Kami mengakui Yesus Kristus, Putra tunggal Bapa,


sungguh Tuhan dan sungguh manusia; memiliki jiwa
dan tubuh, dilahirkan dari Bapa dan memiliki
keilahian kekal, lahir dari perawan Maria menurut

49
kemanusiaan untuk keselamatan kita, memiliki
kodrat keilahian yang sama dengan Bapa, memiliki
kodrat manusiawi yang serupa dengan kita, akan
tetapi di dalam dirinya menjadi satu kesatuan yang
manusiawi dan ilahi; dengan demikian kami
mengakui hanya satu Kristus, satu Putra dan satu
Tuhan. Kami mengaku santa Perawan Maria ibu
Tuhan yang melahirkan Sabda Tuhan yang
berinkarnasi dan menjadi manusia.”

Selain Nestorius, terdapat pula Eutiche di masa itu yang


mengatakan bahwa sebelum inkarnasi, Kristus memiliki dua
kodrat dan sesudah inkarnasi hanya satu kodrat saja, yaitu yang
manusiawi.
Pasca konsili Efesus pendukung Nestorius masih tetap
kuat dan berusaha mempertahankan pendapat pemikiran
tokohnya. Oleh sebab itu diadakan konsili Calcedonia, tahun
451. Konsili ini menghasilkan keputusan untuk meneguhkan
posisi iman Gereja (konsili Nicea dan Konstantinopel) melawan
pengikut Nestorius. Berikut ini keputusan-keputusan konsili
Calcedonia:
a) Dengan mengikuti teladan para Bapa Gereja, maka kami
mengajarkan untuk mengakui bahwa hanya ada satu Putra,
Tuhan kita Yesus Kristus, sungguh manusia dan sungguh
Tuhan, sempurna dalam keilahian dan kemanusiaan,
memiliki jiwa dan badan, con- sostanza dengan Bapa dalam
keilahian dan con-sostanza dengan kita dalam hal
kemanusiaan, sama dengan kita kecuali dalam hal dosa;
secara ilahi dilahirkan dari Bapa dan dilahirkan kepada kita
untuk keselamatan kita dari perawan Maria, ibu Tuhan.
b) Satu Kristus, tetapi memiliki dua kodrat tanpa ada
pertentangan satu sama lain, tidak berubah, tidak
terpisahkan, tidak terbagi, kedatangannya ke dunia tidak
mengurangi keilahiannya tetapi tetap mempertahankan
keduanya (ilahi dan manusiawi) di dalam satu persona atau
ipostasis; ia tidak terbagi menjadi dua persona tetapi satu
Putra, Tuhan dan Yesus Kristus yang telah diajarkan oleh para
nabi dan dilanjutkan para bapa gereja

50
Sesudah konsili Calcedonia, situasi Gereja berjalan
lancar-lancar saja karena telah memiliki pedoman untuk
membimbing umat beriman pada jalan iman. Sehingga eresi
atau bidat yang lain bisa dinilai berdasarkan keputusan-
keputusan konsili tersebut. Bahkan pada konsili Konstantinopel
yang kedua pada tahun 553 praktis tidak memiliki keputusan
yang baru, hanya mengikuti hasil konsili-konsili sebelumnya
dengan cara menegaskan kembali, untuk menjawab beberapa
tokoh eresi yang muncul atau pengembangan eresi sebelumnya.

9) Perkembangan Ajaran Doktrin Allah Tritunggal di Masa Kini


Menurut (Noya, 2013) pergumulan ajaran Allah
Tritunggal pada masa kini kembali menimbulkan pertanyaan
apakah satu yang menghasilkan ketiganya ataukah tiga yang
merupakan satu dalam Trinitas Sosial. Dalam konteks ini
muncul dua kelompok, yakni Monopersonal yang
mempertahankan Trinitas sebagai yang berasal satu dan
Trinitas Sosial yang memandang Trinitas sebagai tiga pribadi
independen dalam satu persekutuan. Teolog penting yang
mendukung konsep Trinitas Monopersonal adalah Karl Barth
dan Karl Rahner, sementara tokoh yang mendukung Trinitas
Sosial ialah Jurgen Moltmann. Dalam Trinitas monopersonal,
Karl Barth melihat Allah Tritunggal tidak dapat terdiri dari tiga
pribadi ataupun tiga subyek, tetapi hanya satu. Allah hanya
memiliki satu Aku, (bukan Tiga Aku), hanya satu kehendak, (
bukan tiga kehendak ). satu wajah, satu sabda, dan satu karya.
Kata "pribadi" yang digunakan Barth dipakai untuk
mengacu kepada Allah yang, esa, yang merupakan Zat
berpikir, berkehendakdan bertindak, dan yang kebebasan-Nya
tiada taranya. Allah itu satu pribadi dalam tiga "cara berada"
(seinsweisen).74 Karl barth dalam analoginya menggunakan
Trinitas Pewahyuan dimana Bapa adalah mengucapkan, Anak
adalah Firman yang diucapkan, dan Roh Kudus adalah
tanggapan dalam hati manusia. Mereka semua adalah satu
dalam arti bahwa mereka adalah bagian dari tindakan
pewahyuan itu sendiri. Ketiganya dapat dibedakan sebagai
unsur yang membentuk tindakan itu, tetapi bukan sebagai
bagian yang dapat dibuang dan dipisahkan dari suatu tindakan

51
rill pewahyuan. Barth menandasakan bahwa sejak semula Bapa,
Anak dan Roh Kudus adalah kekal. Sehingga ia memandang
bahwa Trinitas bukan hanya bersifat ekonomis, tetapi juga
imanen.
Sedangkan Karl Rahner melihat bahwa didalam Allah
tidak lebih dari satu subjektifitas, satu pusat kegiatan rohani,
satu kegiatan dan satu kehendak, maka tiad engkau, tiada
pemberian diri timbal balik. Cara berada Allah dalam rangkap
tiga, menurut rahner merupakan cara bersubsistensi Allah
berkaitan dengan komunikasi diri-Nya dengan ciptaan-Nya.
Jika tidak demikian, maka Allah tidak benar-benar
berkomunikasi dengan ciptaan-Nya. Rahner menambahkan
bahwa ketiganya adalah cara Allah berkomunikasi tanpa
melepaskan kesatuan diri-Nya dalam Tindakan dan Hakikat-
Nya. erat dengan pewahyuan diri-Nya hanyalah bentuk Ia
mewahyukan diri-Nya. Sehingga ketiga cara ini hanyalah
sesuatu yang semu dari Allah yang satu dalam pewahyuan-
Nya.
Jurgen Moltmaan dalam menggungkapkan Trinitas
Sosial menggunakan istilah Perikhoresis, yang berasal dari
bahasa Latin dalam hal memandang konsep Trinitas, yang
berarti duduk menggelilingi atau dapat juga diartikan sebagai
persekutuan. Ungkapan yang sangat terkenal dalam Trinitas
Sosial ialah “Aku menjadi Aku berkat Engkau.”
Jurgen Moltmaan mengatakan, bahwa sejarah Trinitas
adalah sejarah tiga subjek dari Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Allah yang tunggal dan esa itu tidak dapat dikenal dalam satu
pribadi, tetapi ia dapat dikenal melalui proses yang dilakukan
oleh tiga pusat kegiatan yang independen. Maka keesaan Allah
menurut Moltmann bukanlah keesaan satu subjek, melainkan
melainkan sebagai bentuk persatuan tiga subyek yang ada di
dalamnya. Memaknai tiga subyek itu sebagai persekutuan
Allah yang esa, Moltmaan melihatnya sebagai relasi timbal
balik antara ‘aku’ dan ‘diri’ dalam Allah. Sebagai Aku, Bapa
adalah Pencipta, Anak adalah Penyelamat dan Roh Kudus
adalah Penuntun. Ketiganya adalah subjek yang berbeda tetapi
satu dalam diriNya, yakni Allah, sehingga Moltmaan
menyimpulkan bahwa Allah tunggal memiliki keesaan dalam
diriNya, akan tetapi menjadi jamak dalam sejarah sebagai Aku.

52
Hal ini disebutkan oleh Moltmaan sebagai komunitas kasih dari
Allah. Jika Allah dapat menerima persekutuan kasihnya, maka
orang-orang Kristen harus terangsang untuk merima
persekutuan Allah di muka bumi.
Dari kedua konsep ini ditemukan bahwa Monopersonal
membatasi penyataan Allah demi keesaan Allah yang mutlak
dalam satu pribadi, dan Trinitas Sosial yang mengakui
penyataan Allah yang jamak sebagai satu persekutuan Allah
yang esa dan mutlak.

3. HAKIKAT ALLAH TRITUNGGAL


Pembahasan berikut ini akan focus pada Hakikat ajaran Allah
Tritunggal bagi kepercayaan Kristen.
a. Allah Tritunggal sebagai Dasar Kepercayaan Kristen
Bagi seorang Kristen, pengenalan tentang Allah yang benar
menjadi dasar yang sangat penting bagi perkembangan imannya.
Doktrin tentang Allah dalam kepercayaan Kristen sebagai Allah
Tritunggal memang tidak mudah dipahami dan dijelaskan, baik
bagi kalangan Kristen sendiri maupun terhadap agama-agama
lain. (Uling, 2019) menegaskan bahwa doktrin Tritunggal
mencerminkan keyakinan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan
Allah Roh Kudus. Termasuk di dalamnya keyakinan terhadap
inkarnasi Yesus Kristus yang mesti dilihat dalam kerangka
penebusan atau karya keselamatan bagi manusia. Ini menurutnya
adalah worldview Kristen dimana melalui formulasi doktrinal akan
menjadi lifeview ataupun habitus dalam hidup orang Kristen baik
dalam pemahaman imannya maupun acuan dalam berelasi
dengan sesamanya.
Menurut (Grudem, 1994) Allah Tritunggal dapat
didefinisikan sebagai: “God eternaly exists as Three persons, Father,
Son, and Holy Spirit, and eachperson is fully God, and There is one God.
Doktrin Tritunggal merupan keyakinan dan pengakuan orang
Kristen yang teguh atau kokoh mengenai Allah Bapa, Putra dan
Roh Kudus sebagai Allah yang dikenal dalam iman Kristen.
Sependapat dengan (Uling, 2019) doktrin Tritunggal adalah pusat
dari iman Kristen, tanpa doktrin Tritunggal kekristenan
kehilangan konten dan esensi dari iman Kristen itu sendiri. Posisi
sentral dari doktrin Tritunggal dalam kepercayaan Kristen ini

53
dinyatakan oleh (Timo, 2012) sebagai berikut “Tanpa iman kepada
Allah Tritunggal, pemahaman Kristen tentang semua hal dalam
iman Kristen tidak memiliki keunikan apa-apa. Tanpa iman
kepada Allah Tritunggal, ibadah dan penyembahan Kristen
hampa, tidak bermakna dan kehilangan pengharapan. Karena
iman Kristen berbeda dari agama-agama lain”. Pokok-pokok
penting dalam iman Kristen, bergantung pada ajaran bahwa Allah
adalah tiga dalam satu.
Oleh (Erickon, 1985) kemudian disingkat menjadi “The
Oneness of God, The Deity of Three, dan Three-in-Oneness.”
Jadi dapat dikatakan bahwa doktrin Tritunggal adalah
fondasi atau dasar dari keseluruhan Teologi Kristen. Posisi
penting doktrin Allah Tritunggal yang demikian mengharuskan
adanya perumusan yang sederhana tetapi jelas, sehingga dapat
dipahami dengan baik oleh orang Kristen maupun agama-agama
lain.
Untuk kebutuhan itu kita dapat mengikuti pernyataan
doktrin Tritunggal secara ringkas dalan pengakuan iman
Westminster sebagai berikut,
“Di dalam Allah yang esa, terdapat tiga Pribadi, yang
adalah satu dalam substansi, kuasa dan kekekalan; Allah
Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Bapa bukan dari
apapun, juga bukan diperanakkan oleh siapapun, juga
bukan keluar dari apapun; Anak diperanakkan dari Bapa
sejak kekekalan; Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak sejak
kekekalan”

b. Equalitas dan Relasionitas “Tiga Persona” Allah


Dalam hubungan dengan hakikat egual dalam keyakinan
Allah tritunggal dirimuskan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus
sama-sama Allah yang tunggal dan memiliki esensi yang tidak
terbagi-bagi dan segala kesempurnaan dan prerogatif ilahi, adalah
kepunyaan dari masing-masing Pribadi dalam pengertian dan
derajat yang sama. Selanjutnya penting untuk dimengerti bahwa
Bapa, Anak dan Roh Kudus sehakikat, setara, sekedudukan,
seesensi, merupakan tiga pribadi yang berbeda, tetapi satu Allah.
Satu keberadaan, tiga Pribadi, atau tiga Pribadi dalam satu
keberadaan. Bapa tidaklah lebih mulia dan lebih tinggi derajat-Nya
daripada Anak, demikian juga Anak tidaklah lebih tinggi

54
derajatnya daripada Roh Kudus, demikian juga sebaliknya.
Artinya, masing-masing Pribadi adalah Allah sepenuhnya,
memiliki semua atribut ilahi. Pribadi-pribadi itu bukankah
bagian-bagian dari Allah, seolah-olah Satu Pribadi bisa bertindak
tanpa kedua Pribadi lainnya. Keberadaan Allah menunjukkan
suatu identitas numeral yang mutlak. Ia adalah satu
“Keberadaan”, bukan tiga; ketiga-tiganya mengambil bagian dari
satu “esensi.” Satu esensi dalam tiga Pribadi yang sama-sama
equal. Karena itu, Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah setara dalam
hakekat. Diantara ketiganya tidak ada hakekat yang lebih tinggi
atau lebih rendah Bahkan ketiganya bukan hanya memiliki hakikat
yang setara, tetapi juga hakekat yang satu (bukan triteisme
ataupun politeisme). Dalam pergumulannya, gereja Gereja
kemudian tiba pada keyakinan bahwa Allah yang monoteis itu
juga triniter (trinitarian monotheism). Pergumulan ini
sebagaimana dikemukan
Sedangkan dalam hubungan dengan hakikat relasional tiga
persona Allah, dipercaya bahwa doktrin Tritunggal Allah memiliki
aktivitas relasional di dalam diri- Nya sendiri bahkan sebelum
dinia diciptakan. Schaffer mengatakan bahwa: tiga Pribadi saling
mengasihi dan saling berkomunikasi, sebelum adanya semua hal
yang lain (sebelum penciptaan).
Dalam perkembangan penjelasan atau rumusan tentang
Allah Tritunggal aspek trinitarianisme dikenal dengan istilah
perichoresis atau dalam bahasa Latin circumincessio adalah
doktrin yang menunjukkan saling berdiamnya tiga Pribadi dari
Tritunggal. Dimana satu sama lain, berada dalam kesatuan. Istilah
ini didefinisikan sebagai pemahaman dan berdiamnnya tiga
Pribadi secara timbal balik dalam satu dan lainnya. Dalam
konsepsi Yunani tentang Tritunggal ada penekanan pada
pemahaman timbal balik dari tiga Pribadi, dalam keastuan
esensi Ilahi. Dalam gagasan Latin, penekanannya pada relasi
internal dari tiga Pribadi
Artinya bahwa Pribadi Ilahi yang merupakan eksistensi
relasional, tidak tertutup dalam dan bagi masing-masing diri,
melainkan saling berelasi. (Atawalo, 2022) menegaskan bahwa
teologi Trinitas mengandaikan kesatuan antara dimensi kristologis
dan pneumatologis. Dalam persekutuan ilahi, paternitas Bapa
tidak dapat dimengerti tanpa keputraan Yesus; dan relasi antara

55
Bapa dan Putra tidak dapat dimengerti tanpa peran Roh Kudus
sebagai ikatan kasih sempurna antara keduanya. Ia menjelaskan
lebih lanjut bahwa dalam persekutuan dengan kasih Trinitas
proses ‘menjadi diri’ dan ‘menjadi hadiah bagi yang lain’
merupakan dua gerakan harmonis, gerakan yang saling mengisi
satu sama lain, tidak bertentangan atau saling mengabaikan. Setiap
Pribadi Ilahi unik dan bebas, namun wujud kebebasannya ialah
pengosongan diri (kenosis) agar tetap tinggal bersama Pribadi lain.
Itulah karakter ontologis Trinitas. Allah adalah kasih, dan kasih
membawa keharmonisan.

H. Forum Diskusi
1. Ada banyak diskusi terkait dengan doktrin Allah Tritunggal yang
diimani orang Kristen. Salah satunya adalah kelompok yang
bersikeras meminta rujukan Alkitab secara eksplisit. Bagaimana
respons kita ?
2. Sejarah pergumulan perumusan Pengakuan Iman mengenai Allah
Tritunggal terjadi dalam rentang waktu yang panjang, melewati
banyak tantangan, termasuk banyak ajaran sesat dan perdebatan
serius. Menurut saudara bagaimana cara kita sebagai orang Kristen
yang hidup di Era ini yang menerima warisan pengakuan Iman
Percaya tersebut ?
3. Silahkan menonton Kanal Youtube di bawah ini, kemudian berikan
tanggapan yang berisi pemahaman saudara dalam debat mengenai
hakikat Keesaan Allah dalam Ketritunggalan

https://www.youtube.com/watch?v=-m3X2J4MzRQ

56
DAFTAR PUSTAKA

Atawolo, A.B. (2022), Allah Trinitas, Misteri Persekutuan Kasih, Jakarta : Obor
Berkhof L (1992). Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas. Bandung : Sinar
Baru
Bray, G. (1993),The Doctrine of God: Contours of Christian
Theology.Downers Grove, Il: Intervarsity Press
Budyanto. (2001). Mempertimbangkan Ulang Ajaran Trinitas. Yogyakarta :
Taman Pustaka Kristen
Conner, K. (1993). Doktrin Dasar, (2 vols., Jakarta: Harvest Publication House
Erickson, M.J.(2004) Teologi Kristen, (3 vols).Malang: Gandum Mas, cet., ke-
2
Fortman, E.J. (1982). The Triune God, A Historical Study of the Doctrines of
Trinit (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House
Frame, J.M. (2002), Suatu Analisis terhadap pemikirannya Cornelius Van Til,
Surabaya : Penerbit Momentum;
Lintuuran, W.J. (2018), Trinitas : Keesaan Allah dari Perspektif Alkitab,
Jakarta : STT Ekumene
Lohse. B. (1989), Pengantar Sejarah Dogmatika Kristen, Jakarta : BPK Gunung
Mulia
Kely, J. N. D. (1989). Early Christian Doctrines(London ; A& C Black, 5 th.
Ed
Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika
Kristiani(Maumere: LEDALERO, 2007 ), Noya, Y. (2013),
Opolastala dan Trinitas, Suatu Studi Perbandingan Terhadap Nilai-
Nilai Agama Suku tentang Ketuhanan di Buru Selatan dan Konsep
Trinitas dalamKekristenan. Tesis. Magister Sosiologi Agama-
UKSW.
Nuban Timo. E. I. (2012) Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri.
KDT
Osborn, E. (2004). Tertullian, In The First Christian Theologians(Malden,
MA: Blackwell
Pandey, D. E. (2020). Allah Tritunggal: Sebuah Risalah Teologis Alkitabiah
tentang Keesaan dan Ketritunggalan Allah. Davar : Jurnal Teologi,
1(1), 43–64.
Shedd, William G.T.(1978) A History of Christian Doctrine(Minneapolis,
MN: Klock & Klock Christian Publishers

57
Suryaningsih, E. W. (2019). Doktrin Tritunggal Kebenaran Alkitabiah.
PASCA: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 15(1), 16–22.
Tinambunan Edison R.L. (2016). Perkembangan Trinitas., 17.
Urban, L. (2003). Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Wijanto, M. W. (2018). Allah Tritunggal dalam Injil Yohannes. Gema Teologi,
32(2), 1–11.

58

Anda mungkin juga menyukai