Anda di halaman 1dari 33

KEGIATAN BELAJAR 3

PERDAMAIAN DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS DAN


SOSIOLOGIS

A. Deskripsi Umum
Pada Kegiatan Belajar 3 ini, mahasiswa akan mempelajari tentang
perdamaian dari perspektif teologis dan sosial. Diawali dengan
memaparkan tentang pengertian dan definisi perdamaian; perdamaian
menurut pandangan teologis dan sosial. Selanjutnya bagian ini akan
diakhiri dengan memaparkan konsep pengampunan dan rekonsiliasi. Hal
ini bertujuan supaya para mahasiswa dapat memiliki pengetahuan dan
wawasan yang utuh dan holistik tentang perdamaian.

B. Petunjuk Penggunaan Modul


Untuk menguasai materi Kegiatan Belajar 3 (KB 3) ini dengan baik,
maka para mahasiswa perlu mengikuti petunjuk belajar sebagai berikut:
1. Sebelum membaca isi materi KB 3, bacalah secara cermat capaian
pembelajaran dan sub capaian pembelajaran kegiatan belajar yang
hendak dicapai.
2. Cermati materi KB 3 yakni perdamaian dari perspektif teologis dan
sosiologis, dengan memberi tanda-tanda khusus pada bagian yang
menurut anda sangat penting.
3. Kerjakanlah resume dan kirimkan ke fitur atau laman LMS yang
tersedia
4. Kerjakanlah diskusi (analisis materi ajar) yang tertera dalam KB 3
dengan sungguh-sungguh dan teliti untuk memperlancar pemahaman
anda.
5. Setelah mempelajari materi KB 3 ini, kerjakanlah soal-soal tes formatif
dengan benar dan sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan (5
menit) untuk mengevaluasi ketuntasan belajar pada KB 3.
6. Jika ada yang penting selama mempelajari modul ini, buatlah catatan
khusus, dan bacalah catatan tersebut secara berulang-ulang untuk
memastikan bahwa para mahasiswa telah mengingat dan menguasai
materi ini secara baik.

53
C. Capaian Pembelajaran
Menganalisis konsep perdamaian dari perspektif teologi dan sosial dan
menentukan langkah perdamaian melalui rekonsiliasi dan pengampunan.

D. Sub capaian Pembelajaran


1. Menjelaskan pengertian dan definisi perdamaian
2. Menganalisis perdamaian dari perspektif teologis
3. Menganalisis karakteristik perdamaian secara sosial
4. Menganalisis konsep pengampunan dan rekonsiliasi

E. Pokok-Pokok Materi dalam Peta Konsep


Adapun pokok-pokok materi dalam KB 3 dapat dilihat pada peta
konsep sebagai berikut:

Gambar 10
tentang Perdamaian dari Perspektif Teologis
dan Sosiologis

1. PENGERTIAN
DAN DEFINISI
PERDAMAIAN

2. PERDAMAIAN
4.
PERDAMAIAN DARI
DARI PENGAMPUN
PERSPEKTIF AN DAN
PERSPEKTIF TEOLOGIS DAN REKONSILIASI
TEOLOGIS SOSIOLOGIS

3.
PERDAMAIAN
DARI
PERSPEKTIF
SOSIOLOGIS

54
URAIAN MATERI:

A. Pengertian dan Definisi Budaya


Arti perdamaian dapat bervariasi secara signifikan di berbagai
bahasa dan budaya. Pemikiran tradisi barat dalam Bahasa Inggris
“Peace”, perdamaian sering diartikan sebagai kondisi di mana tidak
adanya perang dan bentuk kekerasan lainnya. Misalnya, definisi yang
diberikan oleh Merriam-Webster, Oxford English Dictionary, dan
Collins English Dictionary semuanya mencerminkan elemen inti
perdamaian ini, dengan masing-masing memberikan perspektif unik
tentang apa yang dimaksud dengan perdamaian. Merriam-Webster
berfokus pada peran hukum dan adat dalam memastikan perdamaian
dalam suatu komunitas (Peace Definition & Meaning - Merriam-
Webster n.d., Peace), sedangkan Kamus Bahasa Inggris Oxford
mendefinisikan perdamaian sebagai "kebebasan dari, atau penghentian,
perang atau permusuhan." (Peace Noun n.d., peace).
Collins English Dictionary menyoroti gagasan perdamaian yang
dicirikan oleh ketenangan dan tidak adanya kekerasan, keduanya
elemen penting bagi individu untuk menjalani hidup mereka dengan
keamanan dan stabilitas (Peace definition and meaning n.d., peace).
Selain itu, dalam Kata Latin untuk perdamaian, "pax," juga memiliki
arti legalistik, dengan fokus pada perdamaian yang mengalir dari
sumber sipil atau ilahi. Di sisi lain, bahasa dan budaya ke-Timur-an
memiliki interpretasi perdamaian yang berbeda. Misalnya, kata Ibrani
dan Arab untuk perdamaian, masing-masing "shalom" dan "salaam",
berasal dari akar kata "shalev", yang berarti "utuh" atau "tidak terbagi".
Definisi perdamaian Timur cenderung lebih positif, berfokus pada
adanya keseimbangan, harmoni, dan tidak terputus daripada tidak
adanya kekerasan (Anderson; 2004).

55
Dalam budaya Asia dan Timur, perdamaian dipandang sebagai
pemahaman holistik tentang kesejahteraan dan keharmonisan yang
melampaui ketiadaan konflik. Ini mencakup kedamaian dalam hubungan,
komunitas, dan dunia yang lebih besar dan terkait dengan konsep seperti
keseimbangan, harmoni, dan saling ketergantungan. Dalam Taoisme,
kedamaian dipandang sebagai keadaan alami yang terganggu oleh
keinginan dan keserakahan manusia, tetapi dapat dipulihkan melalui
keseimbangan dan harmoni (Wong; 2015; Zhang; 2015). Dalam agama
Buddha, kedamaian adalah aspek mendasar dari jalan menuju
pencerahan, dengan "kedamaian batin" sebagai tujuan utama kebahagiaan
dan kesejahteraan, yang dicapai melalui welas asih, kebaikan, dan tanpa
kekerasan (Yeh; 2006). Dalam agama Hindu, kedamaian dipandang
sebagai aspek realitas tertinggi dan dipahami sebagai ketuhanan, dicapai
melalui meditasi, doa, dan disiplin diri (Roy; 2016). Perdamaian
memegang tempat sentral dalam budaya Asia dan Timur dan dipandang
sebagai aspek kunci kesejahteraan individu dan kolektif, dan sarana
pemenuhan spiritual.
Terlepas dari kepelbagaian definisi dalam konteks budaya di atas,
perdamaian dipandang sebagai keadaan yang diinginkan yang penting
bagi individu dan masyarakat untuk berkembang. Untuk itu, secara
umum, definisi perdamaian mencakup unsur-unsur seperti:
1. Tidak adanya atau penghentian kekerasan atau permusuhan:
perdamaian sering didefinisikan sebagai tidak adanya kekerasan atau
permusuhan, termasuk konflik dan perang.
2. Tranquility dan ketenangan: kedamaian ditandai dengan rasa tenang
dan tentram, yang memungkinkan individu menjalani kehidupannya
dengan aman dan stabil.
3. Kebebasan dari gangguan: kedamaian dipandang sebagai kondisi di
mana individu bebas dari gangguan, konflik, dan kekacauan.
4. Negara keamanan atau ketertiban: kedamaian sering dikaitkan dengan
keadaan keamanan atau ketertiban, yang dipertahankan oleh hukum
atau kebiasaan dalam suatu komunitas.
5. Antikekerasan: beberapa definisi perdamaian menekankan pentingnya
antikekerasan dan tidak adanya paksaan atau penindasan dalam
membentuk masyarakat yang damai.
6. Konteks internasional: beberapa definisi mencatat bahwa perdamaian
bukan hanya fenomena lokal, tetapi juga relevan dalam konteks
hubungan internasional.

56
7. Kontrak sosial: beberapa definisi melihat perdamaian sebagai kontrak
sosial yang disepakati secara formal antara individu dengan kedaulatan
yang sama yang berada di wilayah geografis yang sama.
Elemen-elemen ini menyoroti sifat perdamaian yang kompleks
dan beraneka segi serta berbagai aspek yang berkontribusi dalam
menciptakan dan memelihara masyarakat yang damai (Kurtz 2008;
1549).
Sepanjang sejarah manusia, perdamaian telah menjadi aspek
integral dari kehidupan sehari-hari, masyarakat, negara, dan hubungan
internasional. Konsep perdamaian telah digunakan dalam berbagai
cara, dari filsafat politik awal hingga sastra klasik, dari dokumen
hukum hingga karya seni. Gagasan bahwa umat manusia tidak dapat
memenuhi potensinya tanpa perdamaian dianut secara luas, dan ada
"kehendak untuk perdamaian" yang mendorong masyarakat untuk
memobilisasi perdamaian sebagai tanggapan atas konflik dan
kepentingan pribadi (Richmond; 2014). Konsep perdamaian telah
berkembang dari waktu ke waktu untuk mencerminkan perubahan
kondisi sosial, budaya, dan politik. Sepanjang sejarah, perdamaian
telah dilihat sebagai dimensi kunci yang melindungi kehidupan,
hukum, dan adat istiadat sembari menghindari sifat agresif perang.
Pemahaman ini dapat dilihat dalam karya Mesopotamia kuno seperti
Mosaik Ur dan puisi epik Gilgamesh, di mana perdamaian
digambarkan sebagai hal yang penting untuk menjaga stabilitas dan
mencegah konflik.
Perspektif ini juga tercermin dalam banyak agama dunia, yang
mengadvokasi non-kekerasan, pencerahan, kejujuran, dan integritas
sebagai hal yang penting untuk membangun perdamaian baik di dalam
komunitas maupun dalam skala yang lebih besar. Gagasan tentang
"bentuk ideal" perdamaian terlihat dalam karya-karya seperti Republik
Plato, dan telah diadopsi oleh individu, komunitas, pemimpin, dan
negara sepanjang sejarah. Hal ini tercermin dari banyaknya perjanjian
damai yang telah ditandatangani, mulai dari Perjanjian Kadesh antara
Kekaisaran Het dan Mesir hingga Perjanjian Perdamaian Komprehensif
antara pihak Sudan pada tahun 2005, dengan yang paling signifikan
adalah Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 yang mengakhiri untuk
perang Eropa. Perjanjian perdamaian terkenal lainnya termasuk Pax
Nicephori antara Charlemagne dan Kekaisaran Bizantium, Perjanjian
Venesia antara Paus, Liga Lombard, dan Frederick I, Perjanjian

57
Perdamaian Paris yang memberikan kemerdekaan kepada AS dari
Inggris, Piagam PBB pada tahun 1945, Perjanjian Camp David antara
Mesir dan Israel, Perjanjian Oslo antara Israel dan Palestina, dan
Perjanjian Dayton untuk Bosnia-Herzegovina (Richmond; 2014).
Kompleksitas definisi dan sejarah perdamaian ini
mengakibatkan studi terhadap perdamaian perlu mempertimbangkan
aspek-aspek lain secara holistis. Misalnya dengan menggunakan
perpektif sosiologi dan teologi, yang dapat menawarkan pemahaman
yang berbeda namun saling melengkapi tentang apa itu perdamaian
dan bagaimana perdamaian dapat dilaksanakan. Penjelasan pada poin
berikut akan berusaha untuk mengintegrasikan berbagai pendekatan
dan menggabungkan kekuatan dari kedua perspektif sosiologi dan
teologi. Selain itu, integrasi perspektif sosiologis dan teologis juga
dapat mengarah pada apresiasi yang lebih dalam tentang keterkaitan
semua aspek perdamaian, termasuk kesejahteraan individu, keadilan
sosial, dan stabilitas politik.

B. Perdamaian dalam Perspektif Teologi


Dalam tradisi Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Protestan
memandang perdamaian sebagai kekuatan berpengaruh dan dinamis.
Kekuatan perdamaian menghasilkan dan mempertahankan hubungan
harmonis antara individu, komunitas, dan ciptaan. Kekuatan
perdamaian berakar pada perjanjian antara YHWH dengan Israel,
seperti yang dijelaskan dalam Yesaya 54:10 dan Yehezkiel 34:35, 37:26.
Sedangkan, pemahaman tentang damai ditekankan oleh penyataan
Yesus tentang Kerajaan Allah dalam Matius 5. Pandangan tentang
damai dalam berbagai tradisi yang mengacu pada Alkitab, melampaui
ketenangan individu atau tidak adanya konflik saja, melainkan
mencakup perkembangan holistis (Patte; 2010).
Pandangan Kristiani tentang perdamaian adalah aspek sentral
dari iman, yang berakar pada ajaran Alkitab dan sejarah Gereja. Orang
Kristen percaya bahwa kedamaian adalah anugerah dari Tuhan dan
merupakan komponen penting dari kehidupan yang bermakna dan
memuaskan. Dalam pengertiannya yang holistis, perdamaian tidak
hanya mencakup ketiadaan perang dan kekerasan, tetapi juga
mencakup kesejahteraan pribadi, sosial, dan politik (Stümke; 2020).
Pemahaman Kristiani tentang perdamaian didasarkan pada keyakinan

58
akan rekonsiliasi umat manusia dengan Allah melalui Yesus Kristus,
dan pendirian kerajaan perdamaian di bumi.
Sepanjang sejarah, Gereja telah memainkan peran penting dalam
mempromosikan perdamaian dan anti-kekerasan, dan terus
melakukannya hingga saat ini. Dalam konteks ini, pandangan Kristen
tentang perdamaian merupakan pengalaman pribadi dan pencapaian
politik dan sosial, dan sangat terkait dengan masalah keadilan dan
kebenaran.

1. Definisi Damai dalam Agama Kristen


Definisi perdamaian telah mengalami perubahan yang signifikan
dari waktu ke waktu. Di masa lalu, perdamaian dipahami sebagai
tidak adanya perang atau perdamaian negatif. Namun, konsep
perdamaian modern telah diperluas untuk mencakup ketiadaan
kekerasan, baik secara pribadi maupun struktural (perdamaian
positif). Definisi yang diperluas ini diperkenalkan oleh Johan
Galtung, yang dikenal luas sebagai bapak kekerasan struktural.
Galtung mendefinisikan perdamaian bukan sekedar ketiadaan
perang, tetapi juga ketiadaan kekerasan yang dibangun dalam
struktur masyarakat dan institusi budaya (Galtung; 1969).
Dalam tradisi Kristiani, perdamaian terkait erat dengan kasih
dan keadilan dan mencakup dimensi batin atau spiritual. Orang
Kristen percaya bahwa perdamaian tidak bisa ada tanpa kasih,
keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ajaran
Yesus telah dilihat sebagai sumber konsep perdamaian Kristen.
Banyak pemimpin Kristen telah menekankan pentingnya kasih dan
keadilan sebagai dasar perdamaian, dan pandangan ini telah
diungkapkan dalam pernyataan, pidato, dan khotbah resmi gereja.
Deskripsi perdamaian dalam tradisi Kristen biasanya mencakup
unsur-unsur seperti kebenaran, keadilan, keutuhan, kepenuhan
hidup, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kebaikan, tawa,
kegembiraan, kasih sayang, berbagi, dan rekonsiliasi.
Pemimpin agama dan spiritual, mulai dari Buddha dan Yesus
hingga Gandhi dan Dalam Perjanjian Lama, sering mengaitkan
kedamaian dan cinta, baik dalam hal kedamaian batin maupun
bagaimana individu yang maju secara spiritual berinteraksi dengan
orang lain, termasuk mereka yang mungkin tidak menyukai atau iri
pada mereka. Para pemimpin Kristen telah menekankan pentingnya

59
kasih dan keadilan sebagai dasar perdamaian dalam kekristenan
melalui karya tulis seperti pernyataan gereja, surat gembala, dan
khotbah. Misalnya, Paus Paulus VI menyatakan dalam pesannya
untuk Hari Perdamaian Sedunia bahwa "seseorang tidak dapat
benar-benar berbicara tentang perdamaian tanpa mengakui dan
menghormati dasarnya, yaitu keadilan dan cinta. Kami menjunjung
tinggi nilai-nilai ini di bawah bendera perdamaian" (Himes; 2014)
Demikian pula, Desmond Tutu, seorang pemimpin gereja dan
pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1984, mencatat
bahwa “tidak akan ada perdamaian dan keamanan sejati sampai ada
keadilan bagi semua penduduk suatu neger (Tutu; 2009). Alkitab
tidak mengenal perdamaian tanpa keadilan. Untuk itu, shalom,
mencakup kebenaran, keadilan, keutuhan, partisipasi dalam
pengambilan keputusan, kebaikan, kegembiraan, tawa, kasih sayang,
berbagi, dan rekonsiliasi.

2. Konsep Damai Dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian


Baru)
Untuk memahami makna kata "perdamaian" dalam Alkitab,
maka dapat dilakukan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah
analisis/studi kata yang berfokus pada kata Shalom dan Eirene.
Kedua, analisis perikop terhadap konsep perdamaian di dalam
Alkitab.
a) Shalom
Perjanjian Lama menciptakan perdamaian melalui kata
"syalom", yang mirip dengan "salam" dalam Bahasa Arab dan
"selamat" dalam Bahasa Indonesia. Kata ini masih digunakan
sebagai sapaan dalam kebudayaan Israel dan bermakna sejahtera,
harmoni, dan kesejahteraan psikis dan material. Dalam tradisi
Yahudi, seseorang akan mengucapkan "syalom alaikem" dan orang
yang diberi salam akan mengucapkan "alaikem syalom". Aspek-
aspek kata "syalom" dalam PL mencakup perdamaian, harmoni,
keutuhan, kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenangan, yang
mengacu pada terciptanya keadilan dalam kehidupan
masyarakat, sebagai pesan utama dalam PL (Jacobs; 2007).
Keadilan dan perdamaian saling berkaitan, seperti yang
disaksikan oleh Nabi Yesaya: "Di mana ada kebenaran di situ
akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah

60
ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya" (Yesaya
32:17). Tidak mengherankan jika sapaan ini lebih umum
digunakan dalam ruang formal atau non-formal oleh orang
Kristen.
Menurut Perry B. Yoder, aspek-aspek yang terkandung
dalam konsep syalom adalah kesehatan dan kesejahteraan fisik,
seperti yang diilustrasikan dalam kisah Yusuf dan Daud dalam
Perjanjian Lama. Selain itu, syalom juga merujuk pada relasi
sosial yang baik antar bangsa maupun personal, di mana kata ini
digunakan untuk menggambarkan hubungan dekat dengan
teman, dan sikap moral yang jujur dan terbuka. Dalam Mazmur
34:14-15, kata syalom merupakan lawan kata dari kebohongan,
dan dalam Mazmur 37:37, syalom diartikan sebagai sifat yang
berintegritas dan menjadi lawan dari penindas dan orang yang
melakukan kesalahan (Yoder; 2017).
Dari penjelasan Perry B. Yoder tentang aspek-aspek syalom,
dapat disimpulkan bahwa kata ini memiliki makna yang kaya
dan tidak bisa dibatasi hanya dari segi fungsinya saja. Syalom
adalah keadaan damai yang dibangun secara bersama, baik
secara lahir atau batin, yang dapat dinikmati oleh seluruh orang
tanpa memandang golongan, suku, atau ras tertentu. Konsep
perdamaian yang ditawarkan oleh syalom jauh melampaui
konsep perdamaian dalam pengertian negatif, di mana tidak ada
lagi peperangan atau konflik. Syalom mencakup keadilan yang
menyeluruh dalam semua aspek dan bidang kehidupan, serta
menyeluruh bagi semua ciptaan Allah. Syalom bukan hanya
bersifat pasif, tetapi juga bersifat aktif dalam turut menciptakan
perdamaian dan keadilan serta mengakhiri bentuk-bentuk
eksploitasi dan penindasan. Dengan demikian, syalom merupakan
transformasi bukan mengabaikan keadaan yang terjadi atau
memelihara ketiadaan konflik.
b) Eirene
Dalam Perjanjian Baru, kata Damai merujuk pada bahasa
Yunani “Eirene”. Kata ini sangat dipengaruhi oleh kata Ibrani
"shalom". Kata "eirene" muncul sebanyak 92 kali dalam Perjanjian
Baru. Konsep "eirene" bagi orang Yunani adalah sebuah keadaan,
yang berarti "waktu damai" atau "keadaan damai". Kata ini juga
dapat menunjukkan "sikap damai", yang lebih mengacu pada

61
ketiadaan perasaan yang tidak bersahabat daripada keberadaan
perasaan yang baik terhadap orang lain. Sehingga, "eirene" jarang
digunakan untuk keharmonisan antara orang-orang. Dalam arti
dasarnya, lebih cocok digunakan untuk menggambarkan
keadaan pikiran. Dalam Septuaginta, "eirene" hampir selalu
digunakan untuk menerjemahkan "shalom" dan "eirene"
memperoleh makna kesejahteraan umum yang diberikan oleh
Allah saja, tetapi hampir sama dengan gagasan keselamatan.
Namun, dalam Perjanjian Baru, "eirene" memiliki arti yang
jauh lebih luas. Hal ini karena digunakan dalam konteks iman
dan pengalaman Kristen serta pengaruh kata Ibrani "shalom".
Penggunaan "eirene" dalam Perjanjian Baru umumnya mengikuti
makna dan penggunaan "shalom". Oleh karena itu, "eirene"
menjadi salam yang umum digunakan, baik saat bertemu
maupun berpisah (Markus 5:34; Lukas 7:50; Yohanes 20:19, 21; 1
Petrus 1:2; 3 Yohanes 2; Wahyu 1:14). Dalam salam ini, damai
yang ditawarkan berasal dari Allah (Galatia 1:3; Efesus 1:2;
Wahyu 1:4) dan oleh karena itu dapat digambarkan sebagai
"Damai Sejahtera Allah" (Filipi 4:7; Kolose 3:5) karena Allah
sendiri adalah "Allah yang memberikan damai sejahtera" (Roma
15:33; 2 Korintus 13:11; Filipi 4:9; Ibrani 13:20). Dalam
hubungannya dengan mukjizat Yesus, "eirene" adalah janji otentik
keselamatan eskatologis. Oleh karena itu, sebagai pembawa
keselamatan, murid-murid Yesus sudah membentuk sebuah
komunitas damai.
Istilah "damai" digunakan dalam Perjanjian Baru dalam
setidaknya lima makna berbeda. Pertama, yang terkait dengan
"damai" merujuk pada ketiadaan perang atau kekacauan, yang
merupakan pengertian umum pada zaman Yesus. Namun, pada
Perjanjian Baru, makna ini hanya dimaksudkan dalam beberapa
ayat saja, seperti pada Kisah Para Rasul 9:31 dan Kisah Para Rasul
12:20. Kedua, merujuk pada hubungan yang benar dengan Tuhan
atau Kristus, ini adalah dimensi vertikal dari "damai". Ketiga
adalah perkembangan logis dari makna yang sudah dibahas
sebelumnya, yaitu ketiadaan perang dan dapat meliputi
hubungan yang baik antara sesama manusia. Keempat, kata damai
diartikan sebagai keadaan damai dalam diri individu, yaitu
ketenangan atau kedamaian batin yang tidak terganggu oleh

62
kecemasan atau kegelisahan. Dalam Alkitab, contoh
penggunaannya terdapat pada Filipi 4:7, yaitu "Dan damai
sejahtera dari Allah, yang melampaui segala akal, akan
memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." Kelima,
‘damai’ diartikan sebagai bagian dari ucapan salam atau doa.
Contohnya terdapat pada Roma 1:7, "Kepada semua orang yang
di Roma, yang dikasihi Allah dan dipanggil untuk menjadi
orang-orang kudus: Kasih karunia dan damai sejahtera dari
Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu."
Makna ini lebih bersifat formal dan penggunaannya pada
umumnya dalam konteks doa atau ucapan salam dalam surat-
surat dalam Perjanjian Baru (Arichea Jr 1987, 201–5).
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kata "damai"
dalam Perjanjian Baru memiliki berbagai makna yang berbeda,
seperti ketiadaan perang atau kekacauan, hubungan yang benar
dengan Tuhan atau Kristus, hubungan yang baik antara sesama
manusia, keadaan damai dalam diri individu, serta bagian dari
ucapan salam atau doa. Konsep "eirene" yang berasal dari bahasa
Yunani dan dipengaruhi oleh kata Ibrani "shalom" juga memiliki
pengaruh yang signifikan dalam penggunaan kata "damai" dalam
Perjanjian Baru. Kata "eirene" umumnya digunakan dalam
konteks iman dan pengalaman Kristen serta memperoleh makna
kesejahteraan umum yang diberikan oleh Allah. Dalam
hubungannya dengan mukjizat Yesus, "eirene" adalah janji otentik
keselamatan eskatologis. Oleh karena itu, sebagai pembawa
keselamatan, murid-murid Yesus sudah membentuk sebuah
komunitas damai. Kesimpulannya, penggunaan kata "damai"
dalam Perjanjian Baru memiliki makna yang kompleks dan
bervariasi, yang terkait dengan hubungan manusia dengan
Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan diri sendiri, serta
dengan makna keselamatan eskatologis dan komunitas damai
yang dibentuk oleh murid-murid Yesus.

1) Yesus dan Perdamaian


Dalam perjanjian baru, Yesus dikenal sebagai pembawa
perdamaian, karena ajarannya yang menolak kekerasan. Dalam
khotbah di Bukit (Matius 5-7), Yesus mengajarkan makna sejati dari

63
"anak-anak Allah" yang harus mencoba untuk membangun
perdamaian di tengah dunia yang penuh perselisihan. Yesus
mengajarkan kepada orang yang bertikai untuk menyelesaikan
pertikaian dengan orang lain pada hari itu juga, karena semua orang
pada dasarnya memiliki relasi persaudaraan dalam Allah. Yesus
ingin manusia tidak hanya menahan diri untuk tidak membunuh
orang lain, tetapi juga untuk tidak dengan sengaja memikirkan
untuk membunuh orang lain.
Selanjutnya, Yesus mengajarkan mengenai "sesama manusia"
dan mengajak orang untuk mempertanyakan siapa sebenarnya
"sesama manusia" itu. Dalam cerita perumpamaan orang Samaria
yang murah hati (Lukas 10: 25-37), Yesus menunjukkan bahwa
sesama manusia bukan hanya orang-orang yang sama suku, budaya,
atau kepercayaan, tetapi termasuk orang-orang yang berbeda dari
diri kita. Cerita ini juga menjadi kritikan bagi orang Yahudi yang
lebih mementingkan persoalan hal-hal ritual daripada
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa memandang
latar belakang tertentu.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengajarkan makna perdamaian
dan kasih terhadap sesama manusia yang memerlukan tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari (Matius 5:44-47; Lukas 6:27-28;
dan lain-lain). Ajarannya menolak kekerasan dan menekankan
pentingnya mencari perdamaian dalam setiap situasi, serta
mengajarkan untuk melihat orang lain sebagai "sesama manusia"
yang termasuk semua orang tanpa terkecuali.

2) Paulus dan Perdamaian


Paulus, sebagai seorang rasul, memiliki tugas terpenting dalam
hidupnya, yaitu memberitakan Injil atau berita perdamaian Allah
kepada setiap orang. Ia melakukan pengabaran Injil yang berada di
daerah sekitar Yerusalem dan Asia Kecil hingga Makedonia dan
berakhir pada kematiannya di Roma. Dalam surat-suratnya, ia
berusaha mengatasi permasalahan dan ancaman perpecahan yang
terjadi di jemaat yang telah dikunjungi, dengan memberi nasihat-
nasihat etis dan landasan teologis menggunakan ajaran Yesus dan
landasan etis.

64
Paulus mengajarkan tentang konsep perdamaian dalam
suratnya, yaitu kasih yang sejati selalu menekankan pada tindakan
proaktif, dan tindakan harus dilakukan tidak hanya ketika konflik
belum terjadi melainkan harus memiliki inisiatif sebelum tindakan
buruk muncul. Paulus memberi nasihat untuk hidup damai dengan
semua orang dan merangkul komunitas lain, sehingga mengurangi
kejahatan (Roma 12:9-21). Bahkan dalam ayat ke 10 dan 13, kasih itu
bersifat proaktif. Kasih dilakukan sebelum konflik terjadi, tetapi juga
harus mempunyai inisiatif sebelum tindakan yang buruk muncul.
Misalnya menjumpai orang lain, dan memberi tumpangan.
Bagian kedua tentang hikmat yang benar adalah melakukan
perdamaian, disampaikan oleh Yakobus. Meskipun Yakobus bukan
merupakan surat yang ditulis oleh Paulus. Hikmat yang lahir dari
kelemah-lembutan ini berkaitan dengan hikmat yang dari atas, yaitu
murni, pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, buah-
buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik ( Yakobus 3:17-
18)
Dalam ajaran Paulus dan Yakobus, konsep perdamaian tidak
hanya sekadar ketiadaan perang, tetapi juga tentang mencintai
sesama, mengasihi, memberikan berkat kepada seteru, dan
mengambil inisiatif untuk membangun perdamaian sebelum konflik
terjadi. Oleh karena itu, upaya perdamaian harus dilakukan oleh
semua orang secara aktif dan proaktif, karena itu merupakan tugas
setiap orang Kristen dan umat Allah.

3. Sikap Kristen terhadap Perang dan Perdamaian


Sikap Kristiani terhadap perang dan perdamaian mengacu pada
keyakinan, nilai, dan praktik Kristiani dalam kaitannya dengan
konflik bersenjata dan upaya perdamaian. Ini mencakup berbagai
pandangan dan posisi tentang isu-isu seperti pembenaran perang,
penggunaan kekerasan, tanggung jawab umat Kristiani untuk
mempromosikan perdamaian, dan peran gereja dalam
mempromosikan rekonsiliasi dan antikekerasan. Tradisi,
denominasi, dan individu Kristen yang berbeda telah
mengembangkan sikap yang berbeda terhadap perang dan
perdamaian, berdasarkan interpretasi mereka terhadap ajaran
alkitabiah, prinsip teologis, pengalaman sejarah, dan realitas

65
kontemporer. Dengan demikian, tidak ada satu pun posisi Kristen
yang bersatu tentang perang dan perdamaian, melainkan
percakapan yang kompleks dan berkembang di antara orang Kristen
di seluruh dunia.
Dalam teologi Kristen, terdapat dua aliran pemikiran utama
mengenai perdamaian dan perang, yakni pasifisme dan just
war/perang yang adil. Dua konsep tersebut telah menjadi topik
perdebatan dan diskusi yang berkelanjutan sepanjang sejarah, ketika
umat Kristen berupaya mencari cara terbaik untuk mempromosikan
perdamaian. Meskipun Alkitab memiliki banyak bagian yang
menunjukkan dukungan terhadap perdamaian dan tanpa kekerasan,
tetapi ada pula kisah tentang perang dan konflik, seperti dalam kisah
penaklukan Kanaan oleh Israel. Para teolog berusaha merangkum
pesan-pesan yang tampaknya saling bertentangan ini dengan
mengembangkan konsep pasifisme dan Just War.

a) Pasifisime
Istilah "pacifism" berasal dari kata Latin "pax," yang berarti
perdamaian, dan "ficus," yang berarti making/membuat atau
membangun. Penggunaannya secara modern dapat ditelusuri
kembali ke tahun 1901, ketika Émile Artaud pertama kali
menggunakan istilah Prancis "pacifisme." Namun, gagasan
tentang menciptakan dan membangun perdamaian bukanlah hal
yang baru dan dapat ditemukan dalam agama Kekristenan mula-
mula. Dalam Perjanjian Baru, Yesus berkata, 'Berbahagialah
kaum "eirenopoios" yang diterjemakan ke dalam Bahasa latin
sebagai "pacifici,"/pasifis' (Dalam Bahasa Latin: beati pacifici) (Mat
5:9). " (Fiala; 2018). Istilah Latin pacifici menggabungkan paci-
(dari pax atau perdamaian) dengan -fici (pembuat). Pacifici
adalah mereka yang berdamai – pembawa damai seperti yang
sering diterjemahkan. Dalam bahasa Yunani kata tersebut adalah
eirenopoios, yang menggabungkan eirene (perdamaian) dengan
poiesis (membuat), yang memberi kita gagasan yang sama.
Pasifisme sebagai teori moral dan sosial dengan demikian lebih
dari sekadar penyangkalan sehubungan dengan kekerasan.
Filsafat perdamaian - filosofi pasifisme - adalah teori positif yang
menguraikan cara hidup, teori moral, dan agenda transformasi
sosial dan politik.

66
Pacifisme adalah suatu tradisi yang menentang kekerasan dan
berakar dari tradisi keagamaan. Sebagai contoh, Gandhi
menggunakan konsep ahimsa yang berarti "non-kekerasan atau
non-kerusakan" dalam Bhagavad-Gita sebagai prinsip untuk
membimbing manusia dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan.
Pacifisme memiliki tradisi keagamaan yang panjang, terutama
dalam tradisi Kristen, di mana para Bapa Gereja besar di abad
awal berpikir bahwa orang Kristen harus menjadi pacifis. Gereja
perdamaian seperti Quakers, Mennonites, Amish, dan Gereja
Saudara juga mengambil jalan menjadi pacifis dan menafsirkan
Khotbah di Bukit secara harfiah sebagai ketaatan pada doktrin
pacifis. Kelompok pacifis percaya bahwa perdamaian yang
otentik hanya dapat dicapai melalui cara damai dan tidak pernah
melalui kekerasan seperti perang. Mereka percaya bahwa
kekerasan secara moral salah dan oleh karena itu tidak dapat
dibenarkan; dan sengketa internasional harus diselesaikan
melalui arbitrase daripada konflik.
Kelompok pasifis percaya bahwa kekerasan bukanlah solusi
yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik, dan bahwa
umat Kristen seharusnya selalu berjuang untuk penyelesaian
tanpa kekerasan. Kekerasan seperti membunuh dan kekerasan
fisik lainnya mungkin memberhentikan keadaan darurat, atau
situasi ketenangan dalam jangka pendek. Namun, kekerasan
tidak bisa menyelesaikan situasi dalam jangka panjang. Sebagai
contoh, musuh yang ditaklukkan dan pertempuran perang, atau
kekerasan fisik tidak dengan demikian bertobat di alam moral.
Kebencian tetap ada pada pihak yang kalah. Kekerasan
merangsang pembalasan dengan kekerasan dan seterusnya.
Mengatakan bahwa dalam beberapa keadaan darurat tertentu
beberapa bentuk kekerasan dapat dibenarkan tidaklah
mengalahkan pasifisme, seperti yang saya jelaskan di sini.
Pasifisme bukan tentang pengecualian, ini tentang upaya umum
untuk mempromosikan perdamaian melalui cara-cara tanpa
kekerasan.
Pasifisme, seperti yang dipahami dalam wacana biasa saat ini,
mencakup berbagai komitmen pada kontinum dari kepatuhan
mutlak terhadap non-kekerasan dalam semua tindakan hingga
jenis anti-warisme yang lebih terfokus atau minimal. Berbeda

67
dengan tradisi perang yang adil, pasifisme menolak perang
sebagai cara yang dapat diterima untuk mendapatkan
perdamaian. Pasifis akan sering menolak untuk bertugas di
militer. Dan beberapa menolak untuk mendukung sistem politik
dan sosial yang mempromosikan perang dengan, misalnya,
menahan pajak mereka. Pasifis telah dikaitkan dengan penarikan
diam-diam dari kehidupan politik dan bahkan anarkisme
langsung. Tetapi pasifis tidak perlu "pasif": banyak pasifis yang
berkomitmen telah secara aktif terlibat dalam protes sosial tanpa
kekerasan. Pasifisme dapat digunakan untuk menggambarkan
akomoditas tanpa kekerasan dalam kehidupan pribadi seseorang
yang mungkin termasuk upaya untuk menumbuhkan kebajikan
pasifik seperti toleransi, kesabaran, belas kasihan, pengampunan,
dan cinta (Andrew Fiala; 2021).
Belakangan ini, terjadi peningkatan signifikan dalam studi dan
penerapan perlawanan tanpa kekerasan (Chenoweth dan
Stephan; 2011; Vinthagen; 2015). Hal ini menimbulkan
kebingungan dalam hubungan antara pasifisme dan
antikekerasan, karena keduanya bertujuan untuk menghilangkan
kekerasan terorganisir dalam politik dan menciptakan
masyarakat yang lebih damai. Meskipun beberapa menganggap
keduanya sebagai sinonim atau dapat dipertukarkan, pendapat
yang lebih umum adalah bahwa pasifisme mewakili bentuk
prinsipil dari tanpa kekerasan, yang berakar dalam keyakinan
moral atau agama. Sementara itu, banyak gerakan perlawanan
tanpa kekerasan yang terlihat di seluruh dunia saat ini
didasarkan pada antikekerasan yang pragmatis, yakni
pendekatan strategis terhadap perjuangan politik yang tidak
selalu memerlukan partisipan untuk secara moral menentang
kekerasan itu sendiri (Richmond and Visoka; 2022).

b) Just War
Sementara itu, Perang adil adalah konsep yang
memperbolehkan perang dalam keadaan tertentu. Konsep ini
berasal dari karya-karya Plato, Aristoteles, dan Cicero, tetapi
dikembangkan secara sistematis oleh St. Augustine dan menjadi
kerangka bagi intervensi kemanusiaan modern. Pendukung
perang adil, seperti Aquinas, Vitoria, Grotius, dan Walzer,

68
mengembangkan ide tersebut karena percaya bahwa umat
Kristen harus berpartisipasi dalam perang yang adil dan tidak
boleh ikut serta dalam perang yang tidak adil. Meskipun terdapat
perbedaan pandangan mengenai perang, baik pendukung pacifis
maupun pendukung perang adil berkomitmen untuk
menciptakan perdamaian. Selama berabad-abad, keduanya telah
membuat catatan impresif dari inisiatif perdamaian yang
signifikan yang secara signifikan berkontribusi pada perdamaian
internasional.

Pandangan perang adil mengalami perkembangan dan kriteria


atau penilaian dari dua prinsip Jus ad Bellum dan Jus in Bello.
Menurut Agustinus, Jus ad Bellum adalah menyangkut kapan
perang itu adil. Ia mengajukan syarat-syarat utama yaitu:
Pemerintah harus mencari opsi lain sebelum memilih perang
sebagai opsi terakhir. Perang yang hanya dapat dibenarkan
adalah perang untuk mempertahankan diri dari ancaman atau
serangan terhadap negara sendiri atau sekutu. Hanya pemerintah
yang benar-benar terkait yang dapat memerang dan hanya jika
perang dinyatakan terbuka sebelum pertempuran. Niat yang
benar mengharuskan bahwa perang memulihkan keadilan
daripada memajukan kepentingan nasional. Selain itu, harus ada
prospek kemenangan yang wajar, dan kekuatan yang digunakan
harus proporsional dan wajar.
Sedangkan, Jus in Bello adalah pertempuran yang adil dan
memiliki dua komponen penting, yaitu proporsionalitas dan
diskriminasi. Proporsionalitas mengharuskan kekuatan minimal
yang harus dipakai untuk mencapai hasil dalam perang.
Sedangkan, diskriminasi mengharuskan untuk tidak menyerang
warga sipil, hanya menyerang orang-orang yang terlibat dalam
perang. Kerusakan yang tidak disengaja sebagai hasil dari operasi
militer yang sah tidak adil, tetapi dapat dibenarkan. Hal ini
terjadi saat perang dunia II dimana negara-negara menggunakan
setiap sumber daya untuk perang, membuat perbedaan antara
prajurit dan warga sipil menjadi ambigu. Selain itu, menangkap
orang yang mengenakan seragam musuh, atau bertempur atau
memata-matai sebagai warga sipil, secara tradisional
melegitimasi hukuman mati.

69
Meskipun perang adil dianggap sebagai metode untuk
menciptakan perdamaian dan membawa keadilan, pandangan
Augustinian mengenai perang sebagai dosa selalu ada. Namun,
Augustinus berusaha untuk mendamaikan pandangan pacifisme
Kristen dengan dunia yang sebenarnya. Pandangan Augustinian
ini telah membawa status baru bagi pandangan Kristen tentang
perang dan sebagian besar gereja Kristen menerima model
perang yang adil sebagai metode untuk menciptakan perdamaian
dan membawa keadilan.
Para pendukung perang yang adil percaya bahwa dalam
keadaan tertentu, perang dapat dibenarkan secara moral. Untuk
mendukung posisi ini, mereka sering mengutip bagian tertentu
dalam Perjanjian Baru yang menurut mereka mendukung
penggunaan kekerasan dalam situasi tertentu. Keenam bagian
yang disebutkan dalam teks aslinya adalah Markus 12:13-17,
Yohanes 2:13-16, Matius 10:34-39, Lukas 22:35-38, Lukas 22:49-53,
Matius 8:5-10, dan Yohanes 15:12-17. Dalam Yohanes 2:13-16,
misalnya, Yesus digambarkan menggunakan kekerasan untuk
mengusir para pedagang eksploitatif dari bait suci. Beberapa
pendukung perang yang adil berpendapat bahwa bagian ini
menunjukkan bahwa kekerasan dapat digunakan secara terbatas
untuk mencapai akhir yang damai.
Sementara pasifis dan pandangan pendukung perang yang adil
tentang peperangan, mereka berdua memiliki komitmen yang
sama terhadap perdamaian karena mereka mengakui pentingnya
perdamaian bagi semua umat manusia. Selama berabad-abad,
kedua kelompok telah membuat catatan yang mengesankan
tentang prakarsa perdamaian yang berkontribusi secara
signifikan terhadap penciptaan perdamaian internasional. Salah
satu contohnya adalah gerakan perdamaian Kristen, yang
dimulai pada tahun 1970-an dan memberikan pengaruh besar
pada opini publik dan pemimpin politik untuk menolak
penggunaan dan kepemilikan senjata nuklir. Gerakan ini berhasil
memperoleh dukungan internasional dan berujung pada
penolakan senjata nuklir oleh banyak gereja, termasuk Gereja
Katolik, yang hanya mengizinkan pencegahan nuklir minimal.
Komitmen umat Kristiani untuk menciptakan perdamaian
berlanjut hingga hari ini, dengan contoh seperti gereja American

70
Mennonite yang memainkan peran kunci dalam memediasi
kesepakatan antara pemerintah Nikaragua dan gerakan
pemberontak pada 1980-an, dan organisasi Sant' Egidio
memfasilitasi mediasi.

C. Perdamaian dari Perspektif Sosial


Dalam sosiologi, konsep perdamaian dipahami melalui berbagai
perspektif. Definisi berdasarkan preskriptif umumnya digunakan
dalam wacana ilmiah memberikan pemahaman 'tepat' tentang suatu
kata untuk menjadikannya sebagai alat dalam pembangunan
teori/konsep. Ini berarti bahwa istilah tersebut dipahami hanya sesuai
dengan yang diharapkan dari konsep/teori itu, tanpa ada hubungan
dengan makna lain di sekitarnya atau dalam penambahan dengan
penggunaan sehari-hari. Misalnya, dalam hukum internasional,
'perdamaian' dapat diakui sebagai definisi preskriptif karena
didefinisikan sebagai situasi di mana tidak terjadinya peperangan.
Namun, perspektif ini berbeda dengan kaum pacifis dan aktivis
perdamaian yang menawarkan definisi perdamaian melampaui
perspektif militeristik. Jadi, perspektif sangat menentukan pemahaman
dan tindakan untuk menciptakan perdamaian.
Penjelasan berikutnya akan menguraikan konsep atau teori
sosiolog tentang Perdamaian yang mempunyai perbedaan perspektif:
1. Johan Galtung
Johan Galtung adalah sosiolog, matematikawan, dan peneliti
perdamaian Norwegia yang dikenal luas sebagai pelopor dalam
bidang studi perdamaian dan konflik. Lahir pada tahun 1930,
Galtung telah mendedikasikan karirnya untuk memahami dan
mengatasi akar penyebab kekerasan dan konflik di masyarakat, dan
mempromosikan metode penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Dia
telah menulis lebih dari 160 buku dan artikel tentang berbagai topik,
termasuk pembangunan perdamaian, kekerasan struktural,
pendidikan perdamaian, dan komunikasi tanpa kekerasan. Galtung
juga telah terlibat dalam berbagai prakarsa dan mediasi perdamaian,
dan telah menerima banyak penghargaan dan gelar kehormatan atas
kontribusinya di bidang penelitian perdamaian. Karyanya memiliki
pengaruh besar pada studi dan praktik pembangunan perdamaian di
seluruh dunia.

71
Johan Galtung, dalam artikelnya tahun 1969 "Violence, Peace and
Peace Research," berpendapat bahwa untuk memahami hubungan
antara kekerasan dan perdamaian, penting untuk mendefinisikan
kekerasan terlebih dahulu (kekerasan menurut Galtung telah
djelaskan secara detail dalam KB 1).

a) Perdamaian Positif dan Negatif


Konsep perdamaian mencakup lebih dari sekadar
ketiadaan konflik militer dan kekerasan antar-negara, serta
pencegahan pembunuhan massal terhadap kelompok-kelompok
tertentu. Ketiadaan tindakan kekerasan ini dikenal sebagai
perdamaian negatif, yang lebih baik daripada ada kekerasan
tetapi belum cukup untuk mencapai perdamaian sejati.
Perdamaian positif melibatkan hubungan yang damai antara
berbagai jenis kelamin, ras, kelas, dan keluarga, serta
penghapusan kekerasan struktural - penderitaan lambat dan
tidak disengaja yang disebabkan oleh sistem ekonomi dan politik
yang eksploitatif dan represif (Galtung, 1985). Perdamaian sejati
juga memerlukan penghapusan kekerasan budaya yang
melegitimasi kekerasan langsung dan struktural (Galtung; 1990).
Konsep perdamaian Johan Galtung perlu dilihat dalam
kerangka Kekerasan struktural. Kekerasan struktural merujuk
pada penderitaan yang disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi
dan politik dalam suatu sistem. Dalam konteks perdamaian,
struktural merujuk pada upaya mengeliminasi struktur-struktur
yang menyebabkan penderitaan, seperti ketidakadilan ekonomi
dan penjagaan tembok yang mengisolasi orang-orang tertentu.
Hal ini berkaitan dengan perdamaian karena untuk mencapai
perdamaian yang sejati, tidak hanya perlu menghilangkan
tindakan kekerasan secara langsung, tetapi juga membangun
perdamaian secara langsung, struktural, dan budaya. Untuk
mencapai hal tersebut, dibutuhkan kerja sama dan kesetaraan
yang dibangun ke dalam struktur ekonomi dan politik, serta
budaya yang mempromosikan perdamaian. Dalam hubungan
interpersonal, kekerasan dapat bersifat fisik atau verbal, dan
perdamaian negatif merujuk pada ketiadaan kekerasan,
sementara perdamaian positif merujuk pada upaya membangun

72
hubungan yang harmonis dan mempromosikan cinta dan
persatuan (Galtung; 2011).
2. John Paul Lederach1
John Paul Lederach adalah seorang peacebuilder terkenal yang
telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang studi
perdamaian. Dia telah menulis beberapa buku, artikel, dan makalah
penelitian yang mengeksplorasi berbagai aspek transformasi konflik
dan pembangunan perdamaian. Dia dianggap sebagai pakar
terkemuka dalam transformasi konflik dan telah bekerja di banyak
wilayah yang dilanda konflik di dunia, termasuk Nikaragua,
Somalia, dan Filipina. Karyanya menekankan pentingnya
membangun hubungan, menciptakan ruang untuk dialog, dan
mempromosikan inklusivitas untuk mengubah konflik menjadi
peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Lederach, perdamaian bukan hanya ketiadaan
kekerasan atau konflik, tetapi proses holistik dan transformatif yang
melibatkan penanganan akar penyebab konflik, mendamaikan
hubungan, dan menciptakan struktur yang berkelanjutan untuk
perdamaian jangka panjang. Dia mendefinisikan perdamaian sebagai
"jaringan hubungan yang bercirikan keadilan, kesetaraan, dan saling
menghormati di antara individu, komunitas, dan bangsa." Dalam
pandangannya, perdamaian bukanlah keadaan yang tetap, tetapi
proses yang dinamis dan berkelanjutan yang membutuhkan
perhatian dan keterlibatan terus-menerus.
Menjelajahi definisi perdamaian dalam karya Lederach, muncul
beberapa poin kunci. Pertama, ia menekankan pentingnya mengatasi
akar penyebab konflik, bukan hanya mengatasi gejalanya. Ini
melibatkan pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor sosial,
ekonomi, dan politik yang mendasari yang berkontribusi pada
konflik. Kedua, dia mengadvokasi pendekatan relasional untuk
transformasi konflik, yang berfokus pada membangun kepercayaan,
menciptakan ruang untuk dialog, dan mempromosikan inklusivitas.
Ketiga, dia menyoroti pentingnya mempromosikan keadilan dan
kesetaraan, yang sangat penting untuk menciptakan perdamaian
yang berkelanjutan. Keempat, dia mengakui pentingnya perbedaan
budaya dan kebutuhan untuk menghormati dan menghormati

1
https://mediate.com/john-paul-lederach-a-peacebuilder-bibliography/

73
beragam perspektif dan nilai. Terakhir, dia menekankan pentingnya
pendekatan jangka panjang dan sistemik untuk pembangunan
perdamaian, yang melibatkan penciptaan struktur dan institusi
berkelanjutan yang mendukung perdamaian dan rekonsiliasi dari
waktu ke waktu.
Selain poin-poin penting tersebut, karya Lederach juga
menekankan peran individu dan komunitas dalam mempromosikan
perdamaian. Dia berpendapat bahwa setiap orang memiliki potensi
untuk menjadi seorang peacebuilder dan bahwa perdamaian bukan
hanya tanggung jawab para pemimpin politik atau organisasi
internasional. Sebaliknya, ini membutuhkan tindakan dan
keterlibatan kolektif dari semua lapisan masyarakat, dari aktivis akar
rumput hingga pembuat kebijakan. Akhirnya, dia menggarisbawahi
pentingnya kreativitas dan inovasi dalam pembangunan
perdamaian, menyadari bahwa tidak ada satu pendekatan yang
cocok untuk semua untuk transformasi konflik dan bahwa konteks
yang berbeda membutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda.

3. Elise Boulding
Elise Boulding adalah sosiolog emeritus dari Dartmouth
College dan University of Colorado, yang dikenal sebagai "ibu
pemimpin" gerakan penelitian perdamaian abad ke-20. Dia
berkontribusi secara signifikan pada awal studi perdamaian
akademik, mengadvokasi integrasi pendidikan perdamaian,
penelitian, dan aktivisme. Karya teoretis Boulding tentang peran
keluarga dalam mendidik menuju perubahan sosial dan peran
perempuan dalam penciptaan perdamaian mendahului karya
selanjutnya yang membahas kapasitas unik perempuan untuk
koneksi, jaringan, dan perdamaian. Gagasannya tentang jaringan
transnasional dan hubungannya dengan pemahaman global
dianggap sebagai kontribusi penting bagi pemikiran pendidikan
perdamaian abad ke-20. Sepanjang hidupnya, Elise selalu
menggunakan pengalaman langsung hidupnya untuk menambah
makna keberadaannya. Spiritualitas Quakernya memainkan peran
penting dalam memengaruhi fokus dan isi karyanya di banyak
bidang. Kemitraan dinamis Elise dengan Kenneth Boulding, bersama
dengan beberapa konflik mereka, berkontribusi pada gagasan
teoretisnya tentang budaya perdamaian.

74
Dalam artikel “The Main Argument in Peace Cultures” oleh Elise
Boulding, perdamaian diartikan sebagai budaya yang
mengutamakan penyelesaian konflik tanpa kekerasan dan
mengutamakan kesejahteraan individu dan komunitas. Budaya ini
ditandai dengan pemahaman yang mendalam dan penghargaan
terhadap keragaman, dan komitmen terhadap keadilan, kesetaraan,
dan kerja sama. Menurut Boulding, konsep perdamaian melampaui
ketiadaan perang atau kekerasan, dan sebaliknya merupakan
pendekatan holistik untuk hidup yang memupuk hubungan positif
dan rasa keterkaitan antara semua orang dan alam.
Boulding berpendapat bahwa budaya perdamaian sangat
penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan
mengatasi akar penyebab konflik. Dengan memprioritaskan
kesejahteraan individu dan komunitas, budaya perdamaian
berusaha mengatasi faktor sosial, ekonomi, dan politik mendasar
yang berkontribusi pada kekerasan dan konflik. Ini melibatkan
narasi dan struktur dominan yang menantang yang melanggengkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, dan mempromosikan model
kerja sama alternatif dan saling menghormati. Budaya damai juga
menekankan pentingnya dialog dan komunikasi sebagai alat penting
untuk penyelesaian konflik. Alih-alih menggunakan kekerasan atau
paksaan, budaya perdamaian berusaha untuk terlibat dalam
percakapan konstruktif yang mempromosikan pemahaman dan
kolaborasi. Ini membutuhkan kemauan untuk mendengarkan dan
berempati dengan orang lain, dan komitmen untuk menemukan titik
temu dan solusi bersama.
Secara keseluruhan, konsep perdamaian Boulding didasarkan
pada rasa hormat yang mendalam terhadap keterkaitan semua orang
dan alam, dan kepercayaan pada kekuatan kerjasama dan resolusi
konflik tanpa kekerasan untuk mengatasi tantangan global yang
paling mendesak. Dengan mempromosikan budaya damai, kita
dapat bekerja menuju masa depan yang lebih adil, merata, dan
berkelanjutan untuk semua.

75
4. Tokoh Perdamaian dan Perjuangan Tanpa Kekerasan (Nir-
Kekerasan)
Ada banyak tokoh yang memperjuangkan perubahan melalui
gerakan anti kekerasan. Kelompok ini berpendapat bahwa kekerasan
bukanlah satu-satunya solusi untuk menciptakan perdamaian.
Bahkan terkadang penggunaan kekerasan mengarah kepada hal-hal
yang tidak bermanfaat dan tidak adil. Secara praktis, tindakan-
tindakan anti kekerasan dilakuakn masyarakat yang menerapkan
anti kekerasan secara mutlak dan mereka yang mengadopsi metode-
metode anti kekerasan karena menurut mereka akan lebih berhasil
dalam situasi mereka sendiri. Misalnya kampanye Gandhi di Afrika
Selatan dan India atau kampanya hak pilih bagi kaum wanita
merupakan bentuk anti kekerasan yang aktif dan sangat kuat
pengaruhnya dalam menghasilkan perubahan yang positif. Gerakan
anti kekerasan berusaha menjangkau dan meningkatkan atau
menyadarkan masyarakat yang terlibat dalam suatu konflik,
termasuk pihak-pihak lawan. Selain itu gerakan anti kekerasan juga
berusaha meningkatkan potensi komunikasi yang penuh kebenaran,
sekaligus menghentikan atau mencegah perilaku yang merusak oleh
siapa saja yang terlibat.
Gandhi nama lengkapnya Mohandas Karamchand Gandhi. lahir
di Porbandar, Gujarat, India pada tanggal 2 Oktober 1869. Ia diakui
sebagai pemimpin spiritual dan politik dari India sejak sebelum
kemerdekaan dari penjajahan Inggris. Setelah selesai studi di bidang
Hukum di Inggris, ia menjadi seorang pengacara di Afrika Selatan
yang kala itu masih memberlakukan pemerintahan politik
Apartheid. Sejak kembali ke India, ia memperjuangkan kemerdekaan
India dengan gerakan pemogokan Sipil antikekerasan Ahimsa. Gelar
“Mahatma” yang berarti orang yang berjiwa agung atau luhur,
adalah gelar yang diberikan oleh Rabindranath Tagore, seorang
penyair di India. Gandhi seorang yang rendah hati. hidup
sederhana. sehingga menginspirasi banyak orang untuk
memperjuangkan perdamaian tanpa kekerasan.
Beberapa tokoh lainnya yakni Marthin Luther King Jr
https://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Luther_King_Jr;
https://www.nobelprize.org/prizes/peace/1964/king/biographical
pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat dan Nelson Mandela, seorang
pejuang anti –Apartheid, Afrika Selatan adalah salah satu penerima

76
nobel perdamaian https://id.wikipedia.org/wiki/Nelson_Mandela;
https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/your-life/mengenal-
nelson-mandela. Mereka mengakui Gandhi sebagai inspirator
mereka. Di Indonesia penerus ajaran Gandhi adalah Ibu I Gedong
Bagoes Oka (https://1001indonesia.net/ibu-gedong-bagoes-oka/)
Beberapa perempuan lainnya berjuang untuk keadilan,
kebenaran dan perdamaian tanpa pengakuan yang mendunia. Baru
pada akhir abad XX Panitia Nobel mulai memberikan apreasiasi
kepada perjuangan kaum perempuan dalam budang kemanusiaan.
Apresiasi itu antara lain diberikan kepada Mother Teresa (India,
1979), Aung san Suu Kyi (Myanmar, 1991). Pada tahun 2011, hadiah
nobel perdamaian diberikan juga kepada tiga perempuan. Mereka
adalah Tawakkul Karman (Yaman), Leymah Gbowee (Liberia), dan
Presiden Liberia, Ellen Jhonson Sirleaf.
Tawakkul Karman salah seorang perempuan penerima nobel
perdamaian, adalah ibu dari 3 orang anak yang memperjuangan
hak-hak perempan. dalam kultur budaya Yaman, perempuan masih
mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuk. Karman menentang
praktik kawin paksa gadir-gadir dibawah umur, sehingga
berulangkali masuk keluar penjara. Pada tahun 2005, Tawakkul
Karman mendirikan oposisi “Perhimpunan Jurnalis Perempuan
Tanpa Belenggu” dan memakai jejaring sosial untuk
mengkampanyekan ide-ide perjuangannya. Pada tahun 2007. hampir
setiap minggu ia melakukan aksi protes terhadap rezim Presiden Ali
Abdullah Saleh di depan kantor pemerintah Yaman di kota Sanaa,
sehingga ia mendapat julukan “Ibu Revolusi” di Yaman. Tahun 2011,
ia menerima hadiah nobel perdamaian karena ia memperjuangkan
perubahans ecara damai (non violence), dan menjauhkan diri dari
kelompok opsisi yang melakukan pendekatan kekerasan (Alfiani
Permata, 2012).

D. Pengampunan dan Rekonsiliasi


Pengampunan (forgiveness) dan rekonsiliasi adalah komponen
penting dalam keberadaan manusia yang dapat terjadi pada berbagai
tingkat, seperti individu, komunitas, nasional, dan internasional.
Pengampunan adalah proses dan pilihan yang kompleks yang dapat
terjadi dalam diri sendiri atau antara orang lain. Definisinya sulit
ditentukan karena aplikasinya dapat bervariasi tergantung pada

77
situasi. Pengampunan tidak selalu berarti rekonsiliasi dengan pelaku
kejahatan, tetapi hampir tidak mungkin mencapai rekonsiliasi tanpa
pengampunan. Pengampunan dapat membutuhkan melepaskan
sesuatu yang penting, seperti keinginan untuk membalas dendam atau
kebutuhan untuk benar. Pengampunan dapat berkontribusi pada
pembangunan masyarakat dengan memperkuat fleksibilitas dan
meminimalkan dendam-dendam sejarah. Pengampunan dapat
diajarkan melalui berbagai proses yang dirancang oleh akademisi dan
praktisi. Namun, memaksa atau memberikan tekanan pada individu
untuk memaafkan tidak pantas dilakukan karena pengampunan adalah
hadiah yang harus diberikan oleh korban secara sukarela. Rekonsiliasi
dapat dimulai dengan mendengarkan dengan seksama cerita dan rasa
sakit orang lain, sehingga mempromosikan empati dan pemahaman.
Membudayakan sikap pengampunan dapat bermanfaat dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat dan membangun komunitas yang
lebih kuat dengan menghasilkan hasil kesehatan yang lebih baik,
menjaga hubungan yang positif, dan mengurangi kecemasan.

1. Pengampunan
Mengampuni bukan berarti melupakan kejahatan dan perbuatan
menyakitkan yang dilakukan oleh orang lain. Pengampunan
merupakan cara baru “mengingat” kejahatan dan penderitaan yang
timbul akibat pihak lain kepada orang yang merasakan penderitaan
akibat perbuatan itu. Seseorang dapat memaafkan tanpa perlu
pengakuan atau pengungkapan rasa bersalah dari pihak lain yang
melukainya. Dengan demikian, banyak para ahli mengungkapkan
bahwa pengampunan sebaiknya dipahami sebagai proses internal:
perubahan emosi, motivasi, dan sikap yang sering kali mengarah
pada perubahan perilaku (Baumeister and Vohs; 2007).
Definisi tentang pengampunan secara beragam disajikan oleh
para ahli yang menekankan bidang keilmuannya masing-masing.
Penting bagi pembaca modul ini melihat pengampunan sebagai
tema yang perlu dikaji secara komprehensif dari bidang psikologi,
sosiologi, etis-moral, filosofis, dan lain sebagainya. Namun, pada
bagian ini hanya dijelaskan secara singkat pandangan kekristenan
terhadap pengampunan.
Dalam kekristenan, beberapa teolog memberikan pendapatnya
terhadap pengampunan yang memiliki perbedaan. Pertama,

78
Miroslav Volf, seorang teolog dan profesor di Yale Divinity School,
yang memberikan kontribusi signifikan pada teologi pengampunan.
Ia berpendapat bahwa pengampunan adalah konsep yang
kompleks yang melibatkan pemberian dan penerimaan anugerah,
keadilan, dan cinta. Bagi Volf, pengampunan tidak hanya tentang
melepaskan kemarahan dan kebencian, tetapi juga tentang
merestorasi hubungan yang rusak karena dosa dan ketidakadilan.
Salah satu konsep utama dalam pemikiran Volf adalah gagasan
"pelukan/embracing". Ia percaya bahwa pengampunan melibatkan
rangkulan/pelukan pelaku kesalahan oleh korban. Pelukan ini
bukanlah penerimaan pasif terhadap kesalahan yang telah
dilakukan, tetapi merupakan pilihan aktif untuk merestorasi
hubungan dengan pelaku kesalahan. Pelukan ini dimungkinkan
oleh salib Kristus, yang menunjukkan bahwa kasih Allah meliputi
segala sesuatu dan bahwa tidak ada yang berada di luar jangkauan
pengampunan Allah.
Konsep penting lain dalam pemikiran Volf adalah gagasan
"memberi dan menerima". Volf berpendapat bahwa pengampunan
tidak hanya tentang korban memberikan pengampunan kepada
pelaku kesalahan, tetapi juga melibatkan pelaku kesalahan
menerima pengampunan dari korban. Hal ini berarti bahwa pelaku
kesalahan harus mengakui kerusakan yang telah mereka sebabkan
dan berusaha memperbaiki tindakan mereka. Proses memberi dan
menerima pengampunan ini sangat penting untuk restorasi
hubungan.
Teologi pengampunan Volf juga menekankan pentingnya
keadilan. Ia berpendapat bahwa pengampunan tidak hanya tentang
melepaskan kemarahan dan kebencian, tetapi juga tentang mencari
keadilan atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini berarti bahwa
pengampunan melibatkan mempertanggungjawabkan pelaku
kesalahan atas tindakan mereka dan berusaha mencapai resolusi
yang adil terhadap konflik. Akhirnya, teologi pengampunan Volf
menekankan pentingnya Tritunggal. Ia berpendapat bahwa
pengampunan dimungkinkan oleh kasih dan anugerah dari Allah
Tritunggal, yang merupakan sumber utama pengampunan. Ini
berarti bahwa pengampunan tidak hanya merupakan tindakan
manusia, tetapi juga tindakan ilahi, dan hanya melalui kekuatan

79
kasih Allah yang sejati pengampunan yang sesungguhnya dapat
dicapai.
Kedua, Martha E. Strotz menyoroti hubungan antara pemuridan
dengan pengampunan dan rekonsiliasi. "Pemuridan" atau disebut
juga sebagai "discipleship" adalah bagian penting dari teologi dan
ajaran Kristen yang menekankan pentingnya mengikuti Yesus dan
hidup dalam iman. Pengampunan dan rekonsiliasi adalah konsep
kunci dalam pemuridan, karena terkait dengan hubungan antar
sesama manusia dan dengan Allah.
Untuk memahami pengampunan dan rekonsiliasi, penting
untuk mengakui peran yang dimainkan oleh ingatan atau "memory"
dalam proses ini. Ingatan tidak hanya menjadi catatan netral dari
peristiwa masa lalu, tetapi dibentuk oleh emosi, pengalaman, dan
keyakinan kita. Dalam konteks pengampunan dan rekonsiliasi,
ingatan bisa menjadi sumber rasa sakit, tetapi juga bisa menjadi
sumber penyembuhan dan transformasi. Melalui kuasa kasih dan
karunia Allah, ingatan bisa berubah dari sumber luka dan
kebencian menjadi kesempatan untuk tumbuh, mengampuni, dan
berdamai.
Pemuridan melibatkan tidak hanya menerima pengampunan,
tetapi juga memberikan pengampunan kepada orang lain. Ajaran
Yesus tentang mengampuni orang lain karena manusia telah
diampuni oleh Allah, dan untuk mencari rekonsiliasi bila
memungkinkan. Tugas ini sangat menantang, karena
membutuhkan manusia untuk melepaskan luka dan mencari
kebaikan orang lain. Namun, melalui pemuridan, manusia
diberdayakan oleh Roh Kudus untuk memberikan pengampunan
dan bekerja menuju rekonsiliasi dalam hubungan dengan sesama.
Dalam perspektif Strotz, pengampunan dan rekonsiliasi akhirnya
didasarkan pada karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib.
Melalui pengorbananNya, manusia direkonsiliasi dengan Allah dan
sesama manusia, dan manusia diberdayakan untuk memperluas
rekonsiliasi tersebut kepada orang lain.
Menurut L. Gregory Jones, dari sudut pandang teologis Kristen,
alasan mengapa Allah mengampuni manusia adalah untuk tujuan
rekonsiliasi. Secara teologis, hal ini membuat sulit untuk
membayangkan bentuk pengampunan yang emosional yang dapat
dipisahkan dari tujuan rekonsiliasi. Mengacu pada karya-karya

80
Dietrich Bonhoeffer, teolog Kristen L. Gregory Jones (1995)
mengkritik model pengampunan yang dikemukakan oleh terapi
barat yang telah diterima oleh budaya Amerika. Jones berargumen
bahwa pengaruh konsepsi terapeutik telah mendorong
pengampunan yang diprivatisasi, di mana pengampunan tidak lagi
menjadi disiplin interpersonal tetapi menjadi latihan intrapersonal.
Jones menggunakan istilah pengampunan yang diprivatisasi untuk
menjelaskan tindakan ini sebagai bentuk pengampunan yang
direduksi sehingga mengabaikan konteks hubungan/relasi sesama
manusia. Pengampunan yang diprivatisasi adalah jawaban mudah
terhadap pekerjaan yang sulit yang diperlukan oleh pengampunan
Kristen.
Dari perspektif teologis (Jones; 1995), pengampunan yang sejati
berakhir dengan penyembuhan dari apa yang telah rusak. Ini
adalah perjuangan di mana kedua pihak yang bersalah dan yang
salah diperiksa dan akhirnya diatasi oleh pemulihan komunitas.
Tujuan dari pengampunan bukanlah untuk merasa lebih baik, tetapi
untuk memperdalam dan memperkaya komunitas. Ini adalah cara
hidup; bukan cara hidup dalam diri sendiri, tetapi cara hidup
bersama orang lain (Frise and Mcminn; 2010).

2. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi adalah proses memperbaiki hubungan yang rusak
antara dua pihak yang saling terluka atau terlibat konflik.
Rekonsiliasi mencakup pengakuan kesalahan, permintaan maaf,
dan komitmen untuk memperbaiki hubungan. Pengampunan, di
sisi lain, adalah proses di mana seseorang melepaskan kemarahan
atau dendam terhadap orang yang telah melukainya. Pengampunan
tidak selalu menghasilkan rekonsiliasi, tetapi dapat membebaskan
seseorang dari rasa sakit dan memungkinkan dia untuk
melanjutkan hidupnya tanpa dendam.
Perbedaan antara pengampunan dan rekonsiliasi penting karena
keduanya adalah proses yang berbeda dengan tujuan yang berbeda.
Pengampunan adalah tentang melepaskan kemarahan atau
dendam, sementara rekonsiliasi melibatkan perbaikan hubungan
yang rusak. Memahami perbedaan antara keduanya
memungkinkan seseorang untuk memutuskan apa yang mereka
inginkan dan bagaimana mereka ingin melanjutkan hubungan

81
mereka dengan orang yang telah melukai mereka. Terkadang,
seseorang mungkin memutuskan untuk memaafkan tetapi tidak
mungkin memulihkan hubungan dengan orang yang telah melukai
mereka, dan itu adalah keputusan yang sah dan dapat
dihormati.(FREEDMAN; 1998).
Mengingat adalah sebuah langkah awal yang penting dalam
proses rekonsiliasi karena dengan mengingat, kita dapat memberi
keadilan kepada para korban dan memberi kesempatan bagi
mereka untuk penyembuhan ingatan pahit mereka. Dalam
perayaan Ekaristi, mengingat Kristus dan penderitaannya
menawarkan pengampunan dosa yang penuh sukacita dan
menempatkan ingatan itu di kaki Kristus sehingga kita terbebas
darinya. Mengingat memberikan kesempatan bagi orang untuk
memahami kesalahan yang dilakukan, mengakui kesalahan
tersebut, dan memberikan penyesuaian atau perubahan perilaku
yang dibutuhkan untuk memperbaiki hubungan yang rusak.
Mengingat dalam konteks rekonsiliasi adalah proses mengingat
kembali pengalaman masa lalu yang menyakitkan dan meresapi
perasaan tersebut dengan itikad baik dan kejujuran. Mengingat
bukanlah tentang melupakan atau memaafkan dengan mudah,
melainkan tentang memberikan tempat bagi korban dan memberi
kesempatan bagi mereka untuk menyembuhkan ingatan pahit
mereka. Dalam konteks perayaan Ekaristi, mengingat juga mengacu
pada mengingat pelayanan dan kehidupan Kristus, serta
pengorbanan-Nya untuk keselamatan kita.
Ada beberapa cara untuk mengingat dalam konteks rekonsiliasi,
seperti dengan memeriksa ingatan kita secara terbuka dan jujur,
menghadapi emosi yang muncul dan memperbaiki hubungan yang
rusak, dan memberikan waktu bagi korban untuk meresapi ingatan
mereka dan memproses emosi mereka dengan cara yang sehat.
Liturgi perayaan Perjamuan Kudus yang baik perlu disiapkan
untuk memperoleh perayaan ingatan yang membebaskan ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengingat dapat diterapkan
dalam berbagai situasi, seperti ketika ada konflik dalam hubungan
interpersonal atau kelompok, di mana proses rekonsiliasi melalui
mengingat dapat membantu untuk memperbaiki hubungan yang
rusak dan memberi kesempatan bagi korban untuk menyembuhkan
ingatan pahit mereka. Dalam konteks yang lebih luas, mengingat

82
juga dapat membantu kita mempelajari pelajaran dari masa lalu dan
mencegah kesalahan yang sama terjadi di masa depan.

E. Forum Diskusi
Pertanyaan pemantik:
Mengawali pembelajaran pada KB 3 tentang perdamaian dari
perspektif teologis dan sosial, beberapa pertanyaan pemantik sebagai
berikut;
1. Apakah yang saudara ketahui tentang damai /perdamaian?
2. Bagikanlah pengalaman saudara/i yang terkait situasi atau kondisi
di sekitarmu yang menunjukkan tanda-tanda belum terciptanya
damai (keluarga/sekolah/masyarakat/gereja)!
3. Menurut pengetahuan saudara/i, apa saja yang harus dilakukan
untuk mengupayakan damai?

Tontonlah Video dalam link di bawah ini!


https://www.youtube.com/watch?v=o3SbynNl5j4

Pertanyaan untuk diskusi:


1. Analisis situasi tersebut dengan menggunakan perspektif Alkitab
dan pemikiran salah satu ahli dalam materi KB 3!
2. Buatlah pemetaan tentang upaya damai yang dilakukan dalam
video tersebut dan tantangan apa saja yang dihadapi!
3. Bagaimana refleksi saudara/i terhadap upaya damai yang telah
dilakukan Pastor James dan Imam Ashafa? Pelajaran apakah yang
bisa diambil untuk mengupayakan situasi yang damai dalam
kehidupan sehari-hari?

83
DAFTAR PUSTAKA

Andrew Fiala. 2021. “Pacifisim.” The Stanford Encyclopedia of Philosophy.


Arichea Jr, Daniel C. 1987. “Peace in the New Testament.” The Bible Translator 38(2):
201–6.
Baumeister, Roy, and Kathleen Vohs. 2007. Encyclopedia of Social Psychology. 2455
Teller Road, Thousand Oaks California 91320 United States : SAGE
Publications, Inc.
Dilts, Andrew et al. 2012. “Revisiting Johan Galtung’s Concept of Structural
Violence.” New political science 34(2): e191–227.
Fiala, Andrew. 2018. Transformative Pacifism: Critical Theory and Practice.
Bloomsbury Publishing.
FREEDMAN, SUZANNE. 1998. “Forgiveness and Reconciliation: The Importance
of Understanding How They Differ.” Counseling and Values 42(3): 200–216.
Frise, Nathan R., and Mark R. Mcminn. 2010. “Forgiveness and Reconciliation: The
Differing Perspectives of Psychologists and Christian Theologians.” Journal of
Psychology and Theology 38(2): 83–90.
Galtung, Johan. 1969. “Violence, Peace, and Peace Research.” Journal of peace
research 6(3): 167–91.
———. 2011. “Peace, Positive and Negative.” In The Encyclopedia of Peace
Psychology, Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.
Himes, Kenneth. 2014. “Papal Thinking about Peace Since Pacem in Terris: The
World Day of Peace Messages, 1967-2013.” Journal of Catholic Social Thought
11(1): 9–32.
Kurtz, Lester R., ed. 2008. Encyclopedia of Violence, Peace, and Conflict
Encyclopedia of Violence, Peace, and Conflict. Elsevier Inc.
Richmond, Oliver P, and Gëzim Visoka. 2022. The Palgrave Encyclopedia of Peace and
Conflict Studies. Springer Nature.
Roy, Kaushik. 2016. “Concept of Peace in Hinduism: A Historical Analysis.” In
Visions of Peace, Routledge, 47–66.
Tutu, Desmond. 2009. No Future without Forgiveness. Image.
Wong, Eva. 2015. Being Taoist: Wisdom for Living a Balanced Life. Shambhala
Publications.
Yeh, Theresa Der-lan. 2006. “The Way to Peace: A Buddhist Perspective.”
International Journal of Peace Studies: 91–112.

84
Yoder, Perry. 2017. Shalom: The Bible’s Word for Salvation, Justice, and Peace. Wipf
and Stock Publishers.
Zhang, Ellen Y. 2015. “8 ‘Weapons Are Nothing but Ominous Instruments.’”
Chinese Just War Ethics: Origin, Development, and Dissent.

85

Anda mungkin juga menyukai