Anda di halaman 1dari 35

KEGIATAN BELAJAR 4

PENERAPAN NILAI-NILAI PERDAMAIAN

A. Deskripsi Umum
Pada Kegiatan Belajar 4 (KB 4) ini, mahasiswa akan mempelajari
tentang penerapan nilai-nilai perdamaian. Hal ini lebih berfokus pada
aspek sikap (afektif) dan ketrampilan (psikomotorik). Bagian materi ini
akan diawali dengan memaparkan realitas konteks yakni tantangan dan
hambatan apa saja yang seringkali dihadapi dalam mengupayakan
perdamaian; mekanisme dan cara-cara menciptakan dan memelihara
perdamaian; pendidikan multikultural serta membangun perdamaian
yang berbasis budaya lokal.

B. Petunjuk Penggunaan Modul


Untuk menguasai materi KB 4 ini dengan baik, maka para mahasiswa
perlu mengikuti petunjuk belajar sebagai berikut:
1. Sebelum membaca isi materi modul ini, bacalah secara cermat capaian
pembelajaran dan sub capaian pembelajaran kegiatan belajar yang
hendak dicapai.
2. Cermati materi KB 4 yakni penerapan nilai-nilai perdamaian, dengan
memberi tanda-tanda khusus pada bagian yang menurut anda sangat
penting.
3. Kerjakanlah resume dan kirimkan ke fitur atau laman LMS yang
tersedia
4. Kerjakanlah diskusi (analisis materi ajar) yang tertera dalam KB 4
dengan sungguh-sungguh dan teliti untuk memperlancar pemahaman
anda.
5. Setelah mempelajari materi KB 4 ini, kerjakanlah soal-soal tes formatif
dengan benar dan sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan (5
menit) untuk mengevaluasi ketuntasan belajar pada KB 4.
6. Jika ada yang penting selama mempelajari modul ini, buatlah catatan
khusus, dan bacalah catatan tersebut secara berulang-ulang untuk
memastikan bahwa para mahasiswa telah mengingat dan menguasai
materi ini secara baik.

86
C. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari modul konflik dan perdamaian, KB 4 ini, maka
diharapkan mahasiswa dapat memahami tantangan dan hambatan yang
dihadapi dalam mengupayakan perdamaian dan menerapkan nilai-nilai
perdamaian dalam kehidupan sehari-hari.

D. Sub Capaian Pembelajaran


1. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam
mengupayakan perdamaian
2. Menerapkan mekanisme dan cara-cara membangun dan memelihara
perdamaian
3. Melaksanakan pendidikan perdamaian (multikultural)
4. Membangun perdamaian yang berbasis budaya lokal dan langkah-
langkahnya

87
E. Pokok-Pokok Materi dalam Peta Konsep
Adapun pokok-pokok materi dalam Kegiatan Belajar 4 dapat
dilihat pada peta konsep sebagai berikut,

Gambar 11
Peta Konsep tentang Penerapan Nilai-Nilai Perdamaian

1. TANTANGAN
DAN
HAMBATAN
DALAM
MEMBANGUN
PERDAMAIAN

2. MEKANISME 4.
DAN CARA- MEMBANGUN
CARA PENERAPAN
PERDAMAIAN
MEMBANGUN NILAI-NILAI BERBASIS
DAN
MEMELIHARA PERDAMAIAN BUDAYA
PERDAMAIAN LOKAL

3. PENDIDIKAN
PERDAMAIAN
(MULTIKULTUR)

URAIAN MATERI :

A. Tatangan-tantangan yang Dihadapi dalam Mengupayakan Perdamaian


Membangun hidup damai memang tidak mudah dilakukan. Sebab
realitas sehari-hari berhadapan dengan berbagai tantangan dan hambatan
yang menyebabkan terjadinya distabilitas dalam hidup dan disharmoni.
Beberapa tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam mengupayakan
perdamaian sebagai berikut:

88
1. Ekslusivisme
Eksklusivisme adalah paham atau ajaran yang cenderung
memisahkan diri dari pergaulan dengan orang lain, atau masyarakat
secara umum, karena menganggap bahwa hanya nilai-nilai
golongannya yang paling benar. Sedangkan sikap ekslusif adalah suatu
sikap yang beranggapan bahwa kebenaran hanya ada pada agama
yang dianutnya, sedangkan di luar dirinya tidak ada keselamatan.
Beberapa ciri sikap eksklusif yakni: sering menutup diri, suka curiga
terhadap orang lain, memusuhi orang lain, berpikir negative,
mengutamakan kepentingan diri/golongan/agama, dan sering
menyalahkan orang lain dan lainnya. Sikap ekslusif bisa berdampak
positif maupun negative. Dampak positifnya yakni orang berpegang
teguh pada nilai-nilai atau budayanya tanpa dipengaruhi oleh nilai-
nilai lainnya; sedangkan dampak negatifnya yakni orang sulit bersifat
terbuka dan membangun relasi dengan kelompok yang lain. Bahkan
dalam kondisi tertentu terjadi pemaksaan nilai-nilainya terhadap orang
lain yang berbeda baik itu dengan cara-cara yang halus sampai dengan
kekerasan. Sikap ini tidak hanya berakibat pada tindakan kekerasan
(violence), tetapi juga menolak dan menegasikan nilai-nilai dan
kebenaran yang dianut oleh kelompok yang lain.
Wacana eksklusivisme yang biasanya muncul dalam agama-
agama terkait klaim kebenaran (truth claims). Bahwa kebenaran
maupun keselamatan itu mutlak menjadi milik agamanya, sedangkan
di luar agamanya tidak ada keselamatan, keselamatan dan dianggap
sebagai sesat atau kafir. Bahkan terkadang sikap dan cara pandang
ekslusif tersebut turut didukung oleh teks-teks kitab suci. Contohnya
dalam kekristenan, beberapa ayat Alkitab yang sifatnya sangat ekslusif
seperti di Yohanes 14:6; Matius 28:19-20, dan lain-lain. Sedangkan
ekslusifisme etnis biasanya muncul dalam cara pandang yang
menganggap etnisnya lebih baik atau lebih unggul dari etnis lainnya,
sehingga etnis lain dijauhi, dihindari, dan bahkan dimusnahkan.
Konsekuensi yang sering muncul dari cara pandang ekslusif yakni
sikap dan praktik radikal terhadap kelompok dan agama lain sehingga
terjadi konflik dan kekerasan.

2. Politik Identitas

89
Identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang berarti
memiliki tanda ciri atau jati diri yang melekat pada satu individu atau
sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Menurut Eman
Sulaiman, identitas bisa dipahami sebagai interpretasi terhadap dirinya
sendiri, sehingga secara umum bisa dimaknai bahwa identitas
seseorang adalah siapa orang tersebut (who a person is). Contoh
seseorang itu beragama Muslim, berasal dari Sunda, maka ini
menunjuk kepada identitasnya. Sedangkan identitas pada kelompok
bisa diartikan sebagai siapa kelompok tersebut (who a group are).
Singkatnya identitas dapat kita pahami sebagai ciri-ciri fisik atau
kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang yang
membuat mereka berbeda atau unik dari yang lain (Sulaeman Eman,
2022).
Bhakry mengatakan ada identitas pribadi (personal identity) dan
identitas kolektif (collective identity). Identitas pribadi adalah konsep
yang dikembangkan seseorang tentang dirinya yang berkembang
selama hidup orang itu, dan identitas kolektif adalah rasa kesamaan
atau kebersamaan yang dimiliki oleh suatu kelompok. Identitas
kelompok atau kolektif menjadi bagian dari identitas individu
seseorang (Bakry Umar Suryadi, 2020). Dengan mengutip pandangan
Fitri Ramdhani Harahap, Bakry mengatakan ada 2 kategori identitas
yakni identitas sosial yang meliputi gender, seksualitas, etnis, ras, kelas
dan agama; dan identitas politik yang meliputi kewarganegaraan
(citizenship) (Bakry Umar Suryadi, 2020).
Sedangkan politik sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
kekuasaan, politics is all about power. Sebagai sebuah arena, politik tidak
lepas dari kepentingan (interest); sebagai sebuah proses, politik sebagai
sebuah metode untuk menyelesaikan konflik agar tidak berkembang
menjadi disintegrasi; politik juga berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan; sebagai sebuah aktifitas, politik bisa didefinisikan sebagai
sebuah aktifitas bersama, atau aktifitas yang kita gunakan dengan
melibatkan orang lain (Bakry Umar Suryadi, 2020).
Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan
politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu
kategori politik yang utama. Sedangkan Donald L Morowitz (1998),
pakar politik dari Univeritas Duke, mendefinisikan politik identitas
adalah memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang
akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis

90
penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai
anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen
(Agnes Heller dan Donald L Morowitz dalam Muhtar Haboddin; 2012).
Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memperlihatkan
sebuah benang merah yang sama yakni politik identitas dimaknai
sebagai politik perbedaan.
Juhana Nasrudi dengan mengutip pandangan Lukmantoro
mengartikan politick identitas sebagai politik untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatau kelompok
karena memiliki kesamaan, identitas atau karakteristik baik
berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan (Nasrudin
Juhana, 2018); Kemala Chandakirana (1989) menyebutkan bahwa:
politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai
retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang
menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang
harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar
untuk dijadikan alat memanipulasi, alat untuk menggalang politik,
guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”. Pemaknaan
politik identitas antara Kemala dengan Agnes Heller dan Donald L
Morowitz sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat
politik identitas yang terjadi pada tataran praktis. Yang biasanya
digunakan sebagai alat memanipulasi, alat untuk menggalang politik
guna kepentingan ekonomi dan politik.
Salah satu menguatnya politik identitas ditandai dengan
munculnya ekspresi identitas tertentu di ruang publik, yang
merupakan upaya untuk mendominasi ruang publik oleh pihak atau
kelompok tertentu (Baqir Zainal, 2011). Jika hal ini terus terjadi maka
kelompok lain (minoritas) akan mengalai tekanan sosial dan berakibat
pada ketegangan antar warga yang berebda etnis, agama, ras, orientasi
sekasual, ekonomi, politik dan sebagainya. Beberapa dampak dari
politik identitas yakni: diskriminasi pada kelompok tertentu, terjadi
segregasi masyarakat, dan eklusi terhadap kelompok yang berbeda.
Beberapa contoh kasus politik identitas etnis yakni Kejawaan
yang menekankan hak-hak masyarakat Tionghoa dimana mereka
sebagai mayoritas pelaku usaha pasar (bisnis), tidak diberi hak
kepemilikan tanah di kota tersebut (Yogyakarta). Karena secara
ekonomi mereka dianggap lebih mampu. Sedangkan dalam ranah
agama, menguatnya identitas ke-Islaman pada beberapa kelompok

91
Muslim memunculkan gerakan radikal. Beberapa kelompok di
antaranya: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI); Front Pembela Islam
(FPI), Hizbut Tariri Indonesia (HTI). kelompok tersebut menolak atau
anti terhadap realitas keragaman, demokrasi dan nasionalisme,
menegakan hukum Islam dan hendak mengubah negara RI menjadi
negara Islam (Syafii Maarif; 2012). Contoh-contoh di atas baik itu
penguatan identitas etnis dan agama sangat mengganggu kehidupan
dan menciptakan ketegangan dan disharmoni. Bahkan terkadang bisa
berujung kepada konflik dan kekerasan terhadap sesama yang berbeda.

3. Hoaks (Hoax)
Hoax adalah informasi yang tidak benar. Dalam Cambridge
Dictionary, kata hoax berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan menipu, trik
penipuan, rencana penipuan disebut dengan hoax. Menurut Sokal,
istilah hoax berasal dari kata hocus, sebuah kata latin yang menunjuk
kepada informasi palsu atau bohong, merupakan sebuah tindakan,
dokumen atau artifact yang bertujuan untuk menipu masyarakat
(Sokal; 2010). Jadi hoax adalah informasi yang direkayasa baik dengan
cara memutarbalikkan fakta ataupun mengaburkan informasi, sehingga
pesan yang benar tidak dapat diterima seseorang (Nursahid, et.al;
2019).
Ada 3 jenis Hoaks yakni : pertama, misinformasi, yakni informasi
salah yang disebarkan oleh seseorang tanpa maksdu membahayakan
orang lain karena orang tersebutmeyakini bahwa informasi yang ia
peroleh adalah benar; kedua, disinformasi, yakni informasi salah yang
dengan sengaja disebarkan oleh seseorang yang mengetahui kesalahan
tersebut, dengan tujuan negative untuk membahayakan sesamanya
seperti penipuan dan ancaman; ketiga, malinformasi yakni informasi
yang benar yang dengan sengaja disebarkan dan dipakai untuk
mengancam dan membahayakan orang atau kelompok lain (Nursahid,
et.al; 2019).
Sedangkan ada 7 jenis misinformasi dan disinformasi di
antaranya: 1]. satire atau parody yakni sindirian terhadap seseorang
atau suatu peristiwa yang dikemas dalam sebuah humor dan tidak
dimaksudkan untuk merugikan tetapi dapat mengelabui; 2]. konten
yang salah yakni konten yang berisi berita yang benar tapi ditampilkan
dengan konteks informasi yang salah; 3]. konten yang menyesatkan,
penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu; 4].

92
konten tiruan, merupakan konten tiruan dari sumber yang asli; 5].
konten palsu adalah informasi yang tidak memiliki kebenaran sama
sekali, yang dibuat dengan sengaja untuk menipu dan merugukan
orang lain; 6]. koneksi yang salah yakni sebuah konten atau berita yang
memuat judul, isi, gambar, dan keterangan gambar tidak mendukung
konten; 7]. konten yang dimanipulasi yakni konten yang memuat
konten gambar, video, atau tulisan yang telah dimodifikasi sehingga
tidka menampilan informasi yang sama dengan konten yang asli
(Nursahid, et.al; 2019).
Wahyu Widodo dengan mengutip pemikiran Mastel dalam
Chordhry, memaparkan hasil survey sebagai berikut: dari 1.146
responden, 44,3% di antaranya menerima berita hoax setiap hari dan
17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Bahkan media arus
utama yang diandalkan sebagai media yang dapat dipercaya terkadang
ikut terkontaminasi penyebaran hoax. Media arus utama juga menjadi
saluran penyebaran informasi atau berita hoax, masing-masing sebesar
1,20% (radio), 5% (media cetak) dan 8,70% (televisi). Selain itu, hoax
juga banyak beredar di masyarakat melalui media online. Penelitian
yang dilakukan Mastel (2017) menyebutkan bahwa saluran yang
banyak dipakai dalam penyebaran hoax adalah situs web, sebesar
34,90%, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80%,
dan melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) yang
merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40%
(Chordhry, A. 2017). Lebih lanjut Widodo dengan mengacu pada data
yang dipaparkan Kementerian Komunikasi dan Informatika
menyebutkan bahwa terdapat 800 ribu situs di Indonesia yang
terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam link dibawah ini:
(https://kominfo.go.id/content/detail/8863/penebar-hoax-bisa-
dijeratsegudang-pasal/0/sorotan_media).
Dalam beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa hoax
sangat berbahaya dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia
dalam berbagai aspek baik itu politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

4. Ujaran Kebencian (Hate Speech)


Dari hasil kajian linguistic forensic terhadap kasus ujaran
kebencian, dilkatakan ujaran kebencian (hate speech) adalah merupakan
tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok

93
tertentu dalam bentuk provokasi, hasutan binaan, penistaan,
pencemaran nama baik, serta penyebaran berita bohong dalam aspek
seperti ras, warna kulit, gender, etnis, cacat fisik, orientasi seksual,
kewarganegaraan, agama dan lain-lain (Permatasari Devita Indah dan
Subryantoro, 2020). Menurutnya, ujaran kebencian menjadi kasus yang
akhir-akhir ini sering terjadi dengan pelaku, mulai dari masyarakat
awam, artis (public figure) sampai pejabat. Adapun sasaran ujaran
kebencian juga beragam mulai dari pelajar sampai masyarakat luas dan
pejabat.
Beberapa ahli lainnya mendefinisikan ujaran kebencian sebagai
berikut, ujaran kebencian adalah semua bentuk ujaran kebencian baik
melalui pesan teks, siaran radio, selebaran, dan yang diucapkan
menimbulkan konflik karena ujaran kebencian memprovokasi orang
untuk menggunakan kekerasan, memancing permusuhan antar group
dan melukai banyak orang yang mendengarnya (Hirsch; 2008); ujaran
kebencian merupakan ujaran yang bermotif jahat yang
mengekspresikan diskriminasi, intimidasi, penolakan, praduga orang
perseorangan atau sekelompok orang yang berkaitan dengan isu
gender, ras, agama, etnik, warna, negara asal, ketidakmampuan atau
orientasi seksual (Raphael Cohen-Almagon melalai Gagliardone; 2014).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Devita Permatasari
dan Subyantoro terhadap media social, yakni facebook penutur
merupakan bentuk tuturan yang mengandung cemoohan, sindiran,
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan dan penyebaran berita
bohong yang ditujukan kepada seseorang, beberapa orang bahkan
sekelompok orang. Menurutnya terdapat 6 bentuk ujaran kebencian
yang ditemukan dalam penelitian tersebut: yakni 1) ujaran kebencian
dalam bentuk memprovokasi; 2) ujaran kebencian dalam bentuk
menghasut; 3) ujaran kebencian dalam bentuk menghina; 4) ujaran
kebencian dalam bentuk penistaan; 5) ujaran kebencian dalam bentuk
pencemaran nama baik; 6) ujaran kebencian dalam bentuk penyebaran
berita bohong.
Ujaran kebencian dalam bentuk memprovokasi, adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan cara menghasut, memancing
amarah, kejengkelan dan membuat orang terhasut mempunyai pikiran
negative dan emosi. Ada 3 jenis karakter yakni karakter ujaran
kebencian bentuk memprovokasi dengan maksud membentuk pikiran
pembaca agar menyetujui apa yang dituturkan; ujaran kebencian

94
dengan bentuk memprovokasi yang berdampak pada diskriminasi
pada pembeda golongan, dan ujaran kebencian bentuk memprovokasi
dengan dorongan emosi dari penutur yang berlebihan; Ujaran kebencian
dalam bentuk menghasut, adalah tindakan yang mendorong, mengajak,
membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat
sesuatu; Ujaran kebencian dalam bentuk menghina, yakni menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga yang diserang merasa
malu. Objek penghinaan ini berupa harga diri atau martabat mengenai
kehormatan dan mengnai nama baik orang baik bersifat individual
ataupun komunal (kelompok); Ujaran kebencian dalam bentuk penistaan,
adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang
dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan atau
sikap prasangka entah dari pelaku pernyataan tersebut ataupun korban
dari tindakan tersebut; Ujaran kebencian dalam bentuk pencamaran nama
baik (defamation) yakni tindakan mencemarkan nama baik atau
kehormatan seseorang melalui cara menyatakan sesuatu baik secara
lisan maupun tulisan; dan Ujaran kebencian dalam bentuk penyebaran
berita bohong yaitu menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata kabar
yang disiarkan itu adalah kabar bohong, yang dipandang sebagai kabar
bohong tidak saja memberitahukan suatu kabar kosong, akan tetapi
juga menceritakan secara tidak betul suatu kejadian (Permatasari
Devita Indah dan Subryantoro, 2020).
Semua ujaran kebencian di atas merupakan tuturan yang dapat
berpotensi menyebabkan konflik sosial yang berdampak pada benturan
fisik atau perseturuan yang berdampak luas dan menimbulkan
ketidakamanan dan disintegrasi sosial, sehingga mengganggu
ketentraman dan menimbulkan disharmoni.

5. Fundamentalisme
Salah satu tantangan yang dihadapi belakangan ini oleh oleh
umat beragama di Indoensia maupun oleh banyak tempat di dunia
adalah peningkatan gerakan fundamentaslime, radikalisme dan aksis
terorisme. Salah satu contohnya yakni peristiwa penyerangan 11
September 2001 di New York dan Washington DC, yang diikuti
serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan dan
kemudian ke Iraq yang sampai sekarang masih belum terselesaikan,
yang ditambah lagi dengan konflik dan kekerasan yang terus

95
berlanjut antara Israel dan Palestina (Azra Azyumardi, 2018). Aksi
tersebut bukan saja terjadi di kalangan agama Kristen maupun Muslim
tetapi juga agama-agama lain. Bahkan aksi tersebut bukan saja
dilakukan atau direkayasa oleh agama atau kelompok tertentu sampai
kepada oknum atau pribadi.
Istilah “fundamentalisme” berasal dari kata “fundamen” berarti
asas, dasar hakikat, fondasi (Tim Penyusun Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 1991). Dalam bahasa Inggris menggunakan kata
fundamentalis artinya pokok (Echols John M. dan Shadily Hassan, 1979).
Sehingga kata fundamentalisme menunjuk kepada sebuah faham yang
menganut ajaran dasar dan pokok yang berhubungan dengan ajaran
keagamaan atau aliran kepercayaan. M. Abduh Wahid dengan
mengutip pemikiran beberapa ahli yakni Lewis Mulford Adams,
Ralplh Taylor, William Montogomery Waat, mengatakan bahwa
fundamentalisme adalah istilah umum untuk gerakan keagamaan di
banyak sekte-sekte Protestan, untuk menguatkan inspirasi tekstual dari
Injil. Kata fundamentalis pada dasarnya merupakan istilah dari
Protestan Anglo Saxon, yang khususnya diterapkan bagi orang-orang
yang berpendapat bahwa Bibel wajib diterima dan dinterpretasikan
secara literal. Dalam perkembangan selanjutnya istilah tersebut juga
menjadi salah satu paham dalam kelompok dalam Islam, baik yang
bermazhab Sunni maupun Syi’ah. Dalam Sunni, kaum fundamentalis
menerima Alquran secara literal, sekalipun dalam hal-hal tertentu,
mereka pun memiliki ciri-ciri khas lainnya. Mazhab Syi’ah (Iran), kaum
fundamentalis, tidak menginterpretasikan Alquran secara literal
(harfiah) (Wahid M. Abdul, 2018). Jadi kaum fundamentalis adalah
mereka yang memahami naskah-naskah secara literaral, sehingga tidak
terbatas pada satu kelompok dan agama, bisa terjadi pada semua
kelompok, agama bahkan oknum tertentu.

6. Radikalisme dan Terorisme


Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastic (Departemen Pendidikan Nasional; 1995). Orang-orang
radikal adalah mereka yang menginginkan perubahan terhadap situasi
yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. G. Gish
mengartikal radikal sebagai menuju ke akar permasalahan tersebut
dengan menawarkan alternative kepada status quo. Sedangkan Egon

96
Bittner mengatakan bahwa term radikalisme cenderung menunjuk
kepada sesuatu yang bersifat revisionis atau perbaikan atas keadaan
sebelumnya (Ro’uf Abdul Mukti, 2007). Biasanya cara yang digunakan
bersifat revosioner, artinya menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada
secara drastic lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrim (M.
Amien Rais dalam (Ro’uf Abdul Mukti, 2007). Lebih lanjut menurut
Abdul Mukti, radikalisme bisa dipahami positif, tetapi juga bisa
negative ketika perubahan yang menyeluruh diikuti dengan kekacauan
dan tindakan anarkhis sehingga menghancurkan infrastruktur sosial
politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut.
Radikalisme berbasis agama merupakan salah satu fenomena
yang khas terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi umum di dunia dan
agama-agama. Beberapa contoh yakni : pada tahun 1999 terjadi
penembakan etnis di California dan Illinois; tahun 1998 kedutaan-
kedutaan Amerika di Afrika diserang, pemboman klinik aborsi di
Albama dan Georgia tahun 1997; peledakan bom pada Olimpiade
Atlanta dan penghancuran kompleks perumahan militer Amerika
Serikat di Dhahran Arab Saudi pada tahun 1996; Penghancuran secara
tragis bangunan Federal di Oklahoma City pada tahun 1999; dan
peledakan World Trade Centre di New York City pada tahun 2001.
Oleh Marx Juergensmeyer, insiden tersebut memiliki kaitannya dengan
ekstrimis-ekstrimis keagamaan di Amerika, di antaranya: milisi
Kristen, gerakan Christian Identity, dan aktivis-aktivis Kristen anti-
aborsi. Demikian juga Perancis memiliki masalah dengan aktivis
Muslim, Algeria, Inggris dengan kaum Nasionalis Katolik Irlandia, dan
Jepang dengan gas beracun yang disebabkan oleh anggota-anggota
sekte Hindhu-Budhis dalam kereta bawah tanah di Tokyo. India
mengalami masalah dengan separatis Sikh dan pejuang-pejuang
Kashmi, Srilangka dengan pejuang Tamil dan keyakinan (Ro’uf Abdul
Mukti, 2007)
Sedangkan aksi terorisme terjadi sepanjang sejarah kehidupan
manusia dan berkembang seiring dengan perubahan Zaman. Terorisme
adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi
suatu kepentingan politik tertentu. Walter Reich mengatakan terorisme
adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan
hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di
kalangan masyarakat umum; sedangkan Brian Jenkins mengatakan
terorisme adalah penggunaan atau ancaman penggunaan kekekrasan,

97
yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik
(Hendropriyono Abdulah Machmud, 2009)
Lebih lanjut menurut A.M. Hendropriyono, terorisme adalah
tindakan yang didasari oleh sistim nilai dan cara pandang dunia
sehingga untuk memahaminya memerlukan suatu kerangka dan
metodologi pemikiran yang biasa digunakan dalam tradisi filasafat,
misalnya : seringkali mereka yang diberi label teroris : pelaku kejahatan
itu justru memandang diri atau aksi terorisnya sebagai tindakan suci,
berguna bagi kemanusiaan. Logika dan bahasa serta argumen yang
mereka bangun itu prrlu dipahami untuk mencari akar permasalahan
guna mencari solusi perdamaian. Contohnya saja beberapa oknum
perbuatan bom Bali mengatakan sebagai berikiut: Bom Bali merupakan
jihad fisabilillah, karna yang disasarkan utamanya adalah bangsa-
bangsa penjajah seperti Amerika Serikat dan sekutunya, ini makin jelas
dengan adanya pembantaian massal terhadap umat Islam di
Afganistan pada bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh
hampir seluruh umat manusia (Samudra; 2004).
Dari pernyataan tersebut maka terorisme adalah suatu fenomena
sosial yang sulit untuk dimengerti bahkan terkaang oleh para teroris itu
sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai sekalipun, dengan cukup
berbekal latihan praktik sekedarnya, seorang terorisme didapat
melakukan aksi yang mencengangkan dengan ukuran yang sangat
luas. Sementara strategi terorisme terus berkambang, seriring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan
cara-cara. ungkapan-ungkapan, dan bahasa sendiri dalam perjuangan
untuk mencapai tujuannya (Hendropriyono Abdulah Machmud, 2009)

Beberapa kasus yang menonjol di Indonesia beberapa tahun


belakangan memperlihatkan bahwa aksi terorisme dan bom bunuh diri
masih terus mengancam keamanan dan perdamaian bangsa yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu (termasuk kaum perempuan).
Beberapa kasus terorisme dan bom bunuh diri di antaranya Bom Bali
pada tanggal 12 Oktober 2022 mengakibatkan 202 orang meninggal dan
300 orang terluka; Bom J.W.Mariot 5 Agustus 2003 mengakibatkan 12
orang tewas dan 150 terluka; Bom depan Kedutaan Besar Australia
Jakarta pada tanggal 9 september 2004 yang mengakibatkan 9 tewas
dan 161 orang terluka; Bom Sarinah oleh ISIS, tanggal 14 Januari 2016
yang mengakibatkan 4 orang meninggal’; Bom kampung Melayu

98
tanggal 24 Mei 2017 mengakibatkan 3 orang polisi meninggal dan 11
orang terluka; Bom Bunuh diri di beberapa gereja Surabaya pada
tanggal 13 Mei 2018 yang menimbulkan korban.
Selengkapnya bisa dilihat dalam beberapa link dibawah ini:
https://www.youtube.com/watch?v=nw4NUWyg-6g;
https://www.youtube.com/watch?v=10o2fCbVgvw
https://www.youtube.com/watch?v=4ffQTTAF0s4
https://www.youtube.com/watch?v=0FQvMme85oQ
Tantangan-tantangan yang telah dipaparkan di atas, merupakan
factor penghambat untuk bisa mewujudkan kehidupan yang aman,
damai dan harmonis di negara Indonesia.

B. Mekanisme dan Cara-cara Membangun Perdamaian


Membangun dan memelihara perdamaian merupakan tanggung
jawab semua orang. Setiap orang mesti memiliki kesadaran tentang
pentingnya membangun hidup yang rukun dan damai serta turut
bertanggungjawab untuk menciptakan dan memelihara kehidupan yang
harmonis. Kesadaran tersebut mesti berawal dari diri sendiri, keluarga,
gereja dan masyarakat. Hal tersebut melibatkan semua unsur mulai dari
level pemimpin baik itu tokoh masyarakat, tokoh agama sampai dengan
masyarakat akar rumput (grass root). Setiap orang mesti ikut
bertanggungjawab untuk membangun dan memelihara hidup yang aman
dan damai. Tanpanya maka perdamaian itu tidak akan pernah terwujud.
Menjadi agen perdamaian di tengah-tengah situasi konflik dan kekerasan
adalah sebuah keharusan untuk mewujudkan kehidupan yang rukun,
damai dan harmonis.

Menciptakan atau memelihara perdamaian merupakan tugas dan


peran agama-agama. Agama berperan dalam membangun budaya damai
nir kekerasan. Louis Kriesberg mengatakan ada 3 mekanisme yang mesti
dilakukan dalam membangun perdamaian yakni:
1. Mekanisme internal umat beragama. Mekanisme internal dilakukan
dengan cara reinterpretasi kitab suci dalam semangat perdamaian,
mengedepankan HAM, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan agama dan
keyakinan; melakukan dialog internal mengingat setiap agama
memiliki berbagai denominasi dan mazhab; dan optimalisasi peran
para pimpinan agama;

99
2. Mekanisme antar umat beragama. Yakni mengembangkan sikap dan gaya
hidup bertetangga yang ditunjukan dalam hubungan dan pergaulan
sosial sehari-hari seperti saling mengunjungi pada hari besar
keagamaan, mengalami musibah, kegiatan, pergaulan anak-anak yang
berbeda iman;
3. Mekanisme eksternal. Atau mekanisme pada level sistematik yakni
perlakukan adil terhadap komunitas agama-agama baik oleh negara
maupun kelompok yang mayoritas (Asry Yusuf M, 2013).

Sedangkan cara-cara untuk menciptakan hidup yang damai dapat


dilakukan melalui:
1. Membangun nilai dan budaya perdamaian (Culture of Peace)
Budaya damai (culture of peace) dipahami bukan sebagai suatu
kondisi yang ada begitu saja sebagai suatu pemberian dan harus
diterima oleh umat manusia. Sebaliknya budaya damai dipahami
sebagai hasil dari proses panjang yang melibatkan berbagai faktor dan
aktor. Apabila konflik dan damai merupakan dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan maka sesungguhnya budaya damai adalah hasil dari suatu
cara di mana suatu komunitas mengelola konflik yang dialami. Cara
berpikir baru mengenai konflik merupakan hal yang sangat penting
saat ini (Johan Galtung, 2003) (Sumartana Th., 1999)
Pemahaman kita mengenai konflik baik sebagai kondisi maupun
nilai-nilai tidak bisa diremehkan. Sebab pemahaman kita akan sangat
mempertajam perasaan dan tindakan kita serta cara bagaimana kita
hidup dan bagaimana kira berinterelasi dengan liyan (the others).
Karena alasan inilah maka Fritjof Capra dalam karya yang sangat
terkenal the Turning Point berargumentasi mengenai kebutuhan akan
perubahan cara berpikir mengenai konsep dan nilai, sebagai suatu
keniscayaan langkah pertama dalam menyelesaikan berbagai problem
kita dewasa ini (Mukhsin Jamil: 2012).
Preambul UNESCO menyatakan bahwa “Sejak perang dimulai
dalam pikiran seseorang, maka pertahanan kedamaian harus segera
dibangun dalam pikiran orang tersebut”. Dalam rangka menjaga misi
tersebut UNESCO memulai program budaya damai dan tampaknya
program itu menjadi gerakan global. UNESCO telah merumuskan
budaya damai dengan aspek-aspek sebagai berikut: Penghargaan
terhadap kehidupan (respect all life), menolak kekerasan (reject
violence), berbagi dengan yang lain (share with others), mendengar

100
untuk memahami (listen to understand), menjaga kelestarian bumi
(preserve the planet), menemukan kembali solidaritas (rediscover
solidarity), persamaan antara laki-laki dan perempuan, demokrasi
(democracy).
Deklarasi mengenai budaya damai itu akhirnya diadopsi oleh
badan umum PBB pada tahun 1999. Mengenai budaya damai itu
Deklarasi PBB (1998) menyatakan: budaya damai adalah seperangkat
nilai, sikap, tradisi, cara-cara berperilaku dan jalan hidup yang
merefleksikan dan menginspirasi:
a. Respek terhadap hidup dan hak asasi manusia
b. Penolakan terhadap segala kekerasan dalam segala
bentuknya dan komitmen untuk
c. Mencegah konflik kekerasan dengan memecahkan akar
penyebab melalui dialog dan negosiasi
d. Komitmen untuk berpartisipasi penuh dalam proses
pemenuhan kebutuhan untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang
e. Menghargai dan mengedepankan kesetaraan hak dan
kesempatan bagi kaum perempuan dan laki-laki
f. Penerimaan atas hak-hak asasi setiap orang untuk kebebasan
berekspresi, opini dan informasi
g. Penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan,
keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kerja-sama,
pluralisme, keanekaragaman budaya, dialog dan saling
pengertian antar bangsa-bangsa, antar etnik, agama, budaya,
dan kelompok-kelompok lain dan serta individu-individu
(Mukhsin Jamil: 2012).

Jadi yang dimaksud dengan budaya damai bukan berarti bahwa


tidak ada konflik sama sekali atau perdamaian pasif. Akan tetapi
bagaimana kita mendorong unsur-unsur dan struktur kebudayaan
dalam masyarakat untuk secara aktif menjadi sentral pengendalian
konflik dalam masyarakat itu sendiri. Unsur-unsur yang ada dalam
budaya damai mencakup; aksi rasa saling memahami satu sama
lainnya, toleransi, solidaritas, penghormatan atas HAM,
pembangunan ekonomi, sosial, budaya, adanya partisipasi yang
demokratis dan aksi untuk meningkatkan keamanan dan perdamaian
internasional (Tim Penulis FKUB, 2009).

101
Karena itu setiap orang terpanggil dan bertanggungjawab untuk
memelihara dan membangun perdamaian baik itu lembaga
pemerintah, gereja (agama), maupun anggota masyarakat. Termasuk
lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal mesti
menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai perdamaian dalam
konteks perbedaan.

2. Membangun sikap Inklusif dan Pluralis


Sikap inklusif adalah sebuah sikap yang berlawanan dengan
sikap eksklusif, dimana seseorang bersikap terbuka terhadap orang
lain dan menghargai mereka yang berbeda baik suku, budaya, agama,
nilai dan cara pandang dan lainnya. Kekristenan dan agama-agama
mesti membangun sikap inklusif dan menolak berbagai perilaku
eksklusif yang membuat orang hidup dalam pemikiran yang sempit,
sikap tertutup, saling curiga, saling menghakimi, bahkan permusuhan
yang bisa membawa kepada kehancuran. Mentalitas triumfalistik dan
permusuhan yang biasa dimiliki oleh agama-agama mesti diubah
dengan sikap keterbukaan (inklusif) dan hospitalitas. Sikap inklusif
membuat orang bersikap terbuka, toleran, saling menghargai dan
menghormati yang lain walaupun berbeda. Orang Kristen dan
agama-agama mesti bersikap ramah, terbuka, adil; memberikan
kenyamanan dan kenyamanan kepada orang lain bahkan merangkul
mereka yang berbeda termasuk para musuh sekalipun.
Sedangkan sikap pluralis adalah sebuah sikap yang
beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama itu memiliki
keselamatan dan kebenaran, hanya masing-masing agama memiliki
pemahaman yang berbeda-beda karena budayanya. Karena itu semua
agama dan para penganutnya harus diterima sebagai agama yang
benar. Pemahaman dasar yang melekat pada sikap pluralisme adalah
pendekatan teosentrisme para pluralis ada pada kehendak universal
Allah yang menyelamatkan semua manusia. Pluralisme muncul
sebagai perkembangan dari relativisme bahwa setiap agama memiliki
tujuan yang sama memenuhi pemenuhan yang absolut. Hal tersebut
dikemukakan oleh Ernst Troeltsch, yang selanjutnya dikembangkan
dalam pemikiran John Hick.
Menurut Jhon Hick, Allah adalah pusat seluruh agama, dan
bukan pada satu agama saja. Pluralitas agama adalah suatu kenayatan
sejarah dunai, namun dalam kenyataannya orang hanya menekankan

102
satu agama saja yyakni agamanya sendiri. Lebih lanjut Hick
mengatakan bahwa penghayatan kita tentang Tuhan turut ditentukan
oleh pengalaman kita dan lekat hubungannya dengan sejarah kita,
iklim dan ekonomi. Tuhan merupkan proyeksi manusia yang
dikondisikan seturut agama dan budaya tertentu juga kondisi suatu
masyarakat tertentu. Misalnya dalam masyarakat Israel, kebenaran
yang disebut External One, yang kekal dipahani sebagai Yahweh,
dalam bentuk Allah Abraham, Isak dan Yakub, sebagai bagian dari
sejaharh orang Yahudi. Dalam masyarakat India, yang kekal itu
dipahami sebagai Syiwa atau Krishna; bagi orang Islam, yang kekal
disebut Allah SWT; bagi orang Kristen, yang kekal disebut Allah
Tritunggal; sedangkan bagi orang Konghucu yang kekal disebut
sebagai Thian. Menurut John Hick, nama-nama itu dibuat oleh orang-
orang karena latarbelakang budayanya, karenanya penamaan itu yang
kemudian menghasilkan bentuk ekslusivisme agama (Panmilo
Yangin, 2010b)
Dengan kata lain, menurut Hick Tuhan itu satu namun banyak
nama. Dalam pandangan inilah maka muncul agama-agama besar di
dunia, sehingga manusia dengan tradisi agamanya yang berbeda
bebas untuk mengunjungi teman dari pada sebagai musuh.

3. Membangun Dialog
Istilah dialog berarti percakapan (Partanto Pius A. dan Al Barry
M. Dahlan, 2001) Dialog dapat diartikan juga sebagai komunikasi
yang mendalam yang mempunyai tingkat dan kualitas yang tinggi
sehingga orang mampu untuk saling mendengarkan dan saling
berbagi pandangan satu sama lain. L. Swidler, yang dikutip oleh
Bahang mengatakan: “Dialoque is a conversation in a common subject
between two or more persons with differing views, the primary purpose of
which is for each participant to learn from the another so that she/he can
change and grow” (Bahang Konstantinus, 2019)
Bahwa percakapan dalam hal ini adalah tentang subjek umum
antara dua orang atau lebih dengan pandangan berbeda, agar setiap
peserta belajar dari yang lain sehingga masing-masing orang dapat
saja belajar dari yang lain dan dapat berkembang dan berubah
pandangannya. Dalam dialog mengarah pada keterlibatan bersama,
masing-masing menentukan interaksi yang bermakna yang

103
memungkinkan tumbuh dalam pemahaman masing-masing untuk
ada bersama yang lain.
Martin Buber mengatakan dialog sejati adalah interaksi yang
memberikan pemahaman melalui pemahaman langsung, pengalaman
yang interpersonal yang sangat bermakna (Bahang Konstantinus,
2019). Dalam dialog, orang berupaya untuk bertemu secara setara
untuk mendengarkan secara empati dan berusaha untuk
menghancurkan beberapa hambatan. Sehingga dialog pada
prinsipnya bersifat dinamis dan dalam proses belajar bersama.
Dewasa ini, dialog agama-agama terasa amat kuat pengaruhnya.
Gerakan praksis dialog dengan agama-agama lain telah dan
dilakukan dimana-mana dalam upaya mewujudkan kerukunan dan
perdamaian. Hans Küng menegaskan bahwa tak ada perdamaian
dunia tanpa perdamaian antaragama (Sumartana Th., 1999). Dengan
kata lain, Hans Kung hendak mengatakan bahwa perdamaian
antaragama menjadi prasyarat bagi perdamaian dunia. Salah seorang
teolog pluralis, Paul F. Knitter mengatakan alasan dilakukannya
dialog oleh agama-agama karena agama-agama seperti halnya Gereja,
harus melayani dunia. Menurutnya dialog antaragama tidak dapat
dibatasi pada masalah religius semata tetapi mesti mencakup semua
dimensi kehidupan baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya, dan
agama. Semua agama mesti memiliki komitmen untuk
memperuntukkan hidupnya bagi umat manusia sehingga mereka
dapat saling mengisi dan menemukan urgensi dan relevansi dialog
dalam semua tingkatan (Knitter Paul, 2003).
Agama-agama mesti membangun kesepahaman atau rasa saling
memahami satu terhadap yang lain melalui proses perjumpaan atau
dialog. Banawiratma mengatakan : “untuk menjadi orang beragama
saat ini adalah menjadi orang ber-antaragama” (Banawiratma J.B.,
2010). Banawiratma mengacu pada kebutuhan orang Kristen untuk
mengevaluasi teologi agama-agama mereka yang merupakan teologi
untuk mengekplorasi bagaimana orang Kristen berhubungan dengan
agama-agama lain dalam hal keselamatan, kebenaran, dan
kekhususan agama. Lebih lanjut Ia mengatakan model-model klasik
yang dikembangkan dalam wacana agama-agama seperti
ekslusivisme, inklusifisme dan pluralism ternyata tidak cukup
mewujudkan kehidupan damai antar kelompok radikal Kristen dan
Muslim di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena ketiga model

104
klasik tersebut cenderung kaku dan tidak memperhitungkan
kompleksitas seseorang atau iman komunitas. Ekslusifitas tidak
mengijinkan saling pengertian dan rekonsiliasi untuk terjadi.
Inklusivitas tidak bisa sepenuhnya tercapai, karena agama yang
dianut oleh orang Kristen dan Muslim sejak awal bersifat ekslusif.
Pluralisme beresiko mencairkan kekhususan Kristen dan Islam.
Sehingga hubungan antara kelompok radikal Kristend an Muslim
membutuhkan model baru yang berfokus pada dialog yang holistik
dan flesibel dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat
(Suryanto Agus dan Hartono Paulus, 2016).
Raimundo Panikkar mengatakan bahwa agama-agama mesti
membangun perjumpaan melalui dialog yang sejati, yang disebutnya
dengan dialog intra-religius (Panikkar Raimundo, 1994). Dialog intra-
religius tersebut dibedakan dari dialog inter-religius. Jika dialog inter-
religius berupaya untuk belajar memahami yang lain dari luar, maka
dalam dialog intra-religius, terbuka ruang bagi agama-agama baik
secara personal maupun komunal untuk belajar memahami yang lain
sehingga dari situlah terjadi transformasi pemahaman. Yang paling
penting dari dialog tersebut yakni orang bisa mengubah cara pandang
melalui upaya untuk mengkritik dirinya atau komunitasnya termasuk
tradisi keagamaannya. Ada beberapa kriteria dalam membangun
dialog dimaksud, yakni:
a. Dialog harus terbebas dari berbagai kepentingan, dimana orang
selalu membuktikan kebenaran/nilai yang dianut;
b. Menghilangkan sikap saling curiga serta kecenderungan
menghakimi orang lain;
c. Menghadapi resiko yakni mempertahankan iman atau sebaliknya
berupaya menghadapinya;
d. Berfokus pada masalah-masalah yang sedang dihadapi;
e. Melibatkan pengalaman; 6]. menghasilkan pemikiran teologis yang
relevan dengan kebutuhan konteks dan agama-agama;
f. Melibatkan semua penganut agama, bukan saja tokoh agama;
g. Dialog harus berdasar pada iman, harapan dan kasih (Panikkar
Raimundo, 1994).
Lebih lanjut menurutnya, perjumpaan atau dialog yang
dilakukan melampaui dialog dimana orang sekedar hidup
berdampingan dan toleran satu dengan yang lain secara co-existence,

105
tetapi lebih kepada dialog yang mendorong kepada pro existence yang
selanjutnya dapat membawa kepada perubahan.
Sehingga dalam dialog, orang mesti memperhatikan nilai-nilai
kesetaraan, kejujuran, hospitalitas, dan saling pengertian satu
terhadap yang lain (Suryanto Agus dan Hartono Paulus, 2016). Nilai
kesetaraan, menekankan bahwa setiap orang walaupun memiliki
latarbelakang yang berbeda baik agama, politik, pendidikan tetapi
semua setara dan berhak mendapat penghormatan, keprihatian dan
kasih. Beberapa contoh kegiatan yang melibatkan Muslim dan Kristen
misalnya : dialog lintas iman yang dilakukan oleh gereja-gereja dalam
lingkup Gereja Protestan Maluku pada saat maupun pasca konflik
kemanusiaan tahun 1999-2004 yang melibatkan para toloh agama
bukan saja Muslim dan Kristen, dialog antar umat beragama di
antaranya pemuda, remaja dan anak, serta kegiatan Live In para
pendeta di rumah-rumah umat yang beragama Muslim; pada tahun
2005, Sinode GKMI menugaskan MDS menjadi lengan diakonianya,
tidak hanya untuk anggota jemaat tetapi juga bagi masyarakat. MDS
tidak hanya memiliki sikap inklusifitas dengan melayani kelompok
yang rentan dan terpinggirkan, bahkan musuh tetapi salah satu
terobosan yang dilakukan adalah menghndang kelompok para militer
Islam sebagai mitra sejajar yang ada dalam dialog dalam mewujudkan
hidup yang rukun dan damai; Nilai kejujuran, nampak dalam
komitmen iman maupun dalam kesungguhan untuk berpartisipasi
dalam dialog tanpa agenda yang tersembunyi seperti Kristenisasi,
Muslimisasi yang bisa menodai integritas dialog. Misi Kristen sejati
bukanlah Kristenisasi, tetapi penyebaran nilai-nilai universal Yesus
Kristus yakni kasih, keadilan, perdamaian, kebenaran, keutuhan
ciptaan. Sehingga dalam dialog pentingnya nilai kejujuran dan
integritas; Nilai hospitalitas, menunjuk kepada sikap keterbukaan dan
keramahtamaan kita terhadap kelompok dan agama lain yang
berbeda. Misalnya: yesus mengunjungi rumah Zakheus, makan dan
pemungut cukai, dan bercakap-cakap dengan perempuan Samaria di
pinggir sumur. Atau jamuan makan bersama yang dilakukan oleh
Yesus. Tradisi hospitalitas tersebut banyak muncul dalam kitab
Perjanjian Lama (Hospitalitas Abraham) maupun dalam Perjanjian
baru. Dalam tradisi jamuan makan bersama, Yesus menjadi tuan
rumah yang memberikan keramahtamaan, kenyamanan dan membagi
makanan dan kehidupan kepada orang lain termasuk yang berbeda.

106
Keramahtamahan tidak perlu ditakuti. Salah satu contoh yakni
kunjungan rutin dari Hartono di pusat komando Hizbullah membuka
jalan untuk rekonsiliasi dan saling pengertian antara komunitas
Mennonite dan Hizbullah; Saling pengertian dan klarifikasi. Dialog
butuh kerendahan hati setiap orang untuk bisa menerima dan
memahami yang lain. Hal ini penting secara khusus bagi kelompok-
kelompok yang radikal. dan karena itu butuh bahasa bersama (comon
language) untuk membangun dialog damai (Suryanto Agus dan
Hartono Paulus, 2016).

4. Membangun Jejaring dan Kerja Sama


Alviany Permata dengan mengutip pemikiran Varshney
mengatakan bahwa jaringan kerjasama (networks of engagement)
merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengelolaan konflik
dan mewujudkan perdamaian. Varshney mengatakan jaringan
kerjasama dapat mewujud kepada 2 hal yakni: pertama, asosiasi
(associational forms of engagement) sebagai organisasi yang anggotanya
mempunyai kesadaran jenis dan persamaan kepentingan pribadi
maupun bersama. Kedua, yakni kerjasama dalam kehidupan sehari-
hari (everyday forms of engagement). Dalam asosiasi, para anggotanya
melakukan relasi sosial, kontak, dan komunikasi serta ikatan
organisasi formal. Jenis asosiasi juga terbagi atas asiosiasi sukarela
dan asosiasi askriptif. Asosiasi sukarela menunjuk kepada kebebasan
para anggotanya untuk memilih identitas yang cocok untuknya serta
kepedulian atau keinginan bersama untuk mencapai tujuan bersama,
sementara asosiasi askiprif menunjuk kepada ikatan-ikatan
primordial, kesukuan, keluarga, dan klan tempat mereka
mempertahankan tradisi untuk tetap menjadi satu ikatan (Alviani
Permata, 2012)

Keanggotaan dalam asosiasi sukarela menjamin tumbuhnya


sikap saling percaya dan bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama. Para anggotanya bisa berasal dari berbagai latarbelakang
agama, suku bangsa, tiingkat pendidikan, maupun usia. Nilai-nilai
yang berlaku adalah kesetaraan, sikap saling menghormati dan
menghargai sesama anggota menjadi hal yang penting untuk
diwujudkan. Sikap memaksakan kehendak, merasa diri paling benar,

107
atau ingin dihormati akan menjadi penghambat dalam sebuah asosiasi
dalam mengupayakan keberlangsungan asosiasi terkait.
Lebih lanjut menurut Varshney, organisasi-organisasi seperti
serikat dagang, asosiasi pebisnis, pedagang, guru, dokter. pengacara,
dan kader partai secara komunal terintegrasi, tercipta kekuatan yang
seimbang (countervailing forces) untuk menghadirkan situasi damai
dalam sebuah kota (Alviani Permata, 2012).
Semakin banyak keterlibatan seseorang dalam asosiasi dan
performa yang kuat dari asosiasi itu, akan mempromosikan
perdamaian terus menerus dalam masyarakat plural.
Selain asosiasi, Fredrik Barth mengatakan bahwa kehidupan
bertetangga dan lingkungan Rukun Tetangga (RT)/ Rukun warga
(RW) merupakan bagian dari jenis kolektifitas dapat memengaruhi
pola hubungan antar etnik dan antar agama. Dengan demikian adalah
penting bagi seseorang yang berada dalam lingkungan RT/RW untuk
membuka diri dan mengikuti dengan aktif segala kegiatan yang
ditawarkan. Contohnya: memperingati Hari Kemerdekaan, Syawalan
dalam rangka Idul Fitri, Kerja Barti bersih desa, atau kegiatan ronda
malam, dan lain-lain. Dalam kegiatan tersebut semua pihak terlibat
dan bekerjasama mewujudkan tujuan dimaksud: para ibu
menyediakan masalah, para bapak mendirikan tenda, para pemuda
menyebar undangan dan mempersiapkan acara. para anak ikut
kegiatan lomba atau tampil mengisi acara. Sehingga asosiasi dan
lingkungan RT/RW juga menjadi bentuk koletifitas keseharian yang
berperan penting dalam membangun perdamaian. Sikap keterbukaan
dan nilai kesetranaan di antara anggotanya menciptakan suasana cair,
menghilangkan ketegangan, sehingga segala masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan dengan baik, karena para anggotanya hidup dalam
keberagaman untuk membangun perdamaian.

5. Pendidikan Perdamaian (Multikultural)


Istilah damai, bukan hanya menunjuk kepada tidak adanya
monflik tetapi tekait dengan ketenangan dan kesejahteraan. Dalam
Alkitab, perdamaian dan keadilan merupakan 2 hal yang tidak
terpisahkan. Kata mispat (keadilan) dan tsedaqah (kebenaran) seringkali
digunakan bersama-sama dengan kata perdamaian (Yesaya 32:16-17).
Sedangkan pendidikan adalah sebuah proses yang bertujuan untuk

108
sebuah transformasi krisis atau konflik masa kini menuju kepada
struktur dan relasi sosial yang diharapkan (John Paul Lederach dalam
Tabita Kristiani; 2011).
Salah satu upaya untuk mewujudkan damai adalah melalui
proses pendidikan atau pengajaran damai yang dilaksanakan baik
secara formal maupun non formal. Lembaga-lembaga pendidikan dan
para guru berperan penting dalam proses menanamkan pendidikan
damai di sekolah-sekolah melalui berbagai program maupun
skill/ketrampilan membangun dan mengelola damai dalam realitas
kelompok siswa yang beragam (Boulding Elise, 2014).
Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat penting. Dari segi etimologi,
kata multikultur berasal dari dua terma yakni “multi” dan “kultur”.
Kata dasar “kultur” yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau
pemeliharaan. Sedangkan “multi” berarti banyak, ragam, atau aneka,
Dengan demikian multikultural berarti keragaman budaya, aneka
kesopanan atau banyak pemeliharaan (Panmilo Yangin; 2010).
Pendidikan sendiri merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasanan belajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi direinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta penampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Sehingga pendidikan multikultur merupakan
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya,
etnis, suku, dan aliran atau agama (Panmilo Yangin, 2010)
Azyumardi Azra menjelaskan tentang apa dan bagaimana
pendidikan multikutural di Indonesia. Menurutnya Pendidikan
multikultural adalah konsep dan praksis pendidikan yang mencoba
untuk memberikan pemahaman mengenai keanekaragaman ras, etnis.
dan budaya dalam suatu masyarakat. Tujuannya adalah agar manusia
dapat hidup berdampingan secara damai anyar komunitas yang
berbeda ras, etnis, budaya maupun agama (Azyumardi Azra; 2010).
Konsep pendidikan multikultur bertumbuh dari kesadaran kolektif
akan keragaman budaya dan merespons perubahan demografis dan
kultur lingkungan masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Keragaman adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindari
sebaliknya mesti disikapi dengan adanya saling penerimaan terhadap

109
berbagai keragaman. Jadi pendidikan multikultural adalah medium
pengenalan atas keberagaman kebudayaan, sehingga dengannya
dapat menumbuhkan sikap toleransi, saling pengertian. keterbukaan
dan inklusivisme; semua sikap dan nilai penting bagi harmoni sosial
dan perdamaian (Azyumardi Azra; 2010); Selain itu menurut
Zakyyuddin, karakteristik dasar dari pendidikan multikultur yakni
belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling
memahami. saling menghargai, berpikir terbuka, apresiasi dan
interdependensi, resolusi konflik dan rekonsiliasi nir kekerasan.
Sedangkan dasar dari pendidikan multikultural adalah Sumpah
Pemuda, Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang SISDIKNAS
(Panmilo Yangin, 2010).
Dalam konteks keragaman di Indonesia, pendidikan
multikultural sangatlah penting. Choirul Mahfud mengatakan
terdapat 3 urgensi pendidikan multikuktural di Indonesia: Pertama,
pendidikan multikultural berfungsi sebagai sarana alternative
pemecahan konflik; Kedua, dengan pelajaran pendidikan berbasis
multikultural, siswa dihadapkan tidak tercerabut dari akar
budayanya; Ketiga, pendidikan multikultural sangat relevan di alam
era demokrasi seperti saat ini di Indonesia (Choirul Mahfud; 2006).
Karena itu melalui pendidikan multikultural, peserta dididik
dapat mengelola kemajemukan secara kreatif. Diharapkan konflik
yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial
dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan
kehidupan bangsa di masa depan melalui dilakukannya pendidikan
multikultural. Pendidikan berbasis multikultural sebaiknya dapat
dikembangkan ke dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya
dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
rawan konflik sosial).

Yan Vita mengatakan bahwa pendidikan berbasis multikultural


akan menjadi sangat penting diterapkan guna mengurangi dan
mencegah terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai
keberagaman (Vita Yan, 2014). Menurutnya : Pertama, pendidikan
berbasis multikultural selayaknya dipandang sebagai program

110
pendidikan, dalam makna pendidikan (education) bukan kegiatan
pendidikan di persekolahan (schooling) atau sekedar menjadi
program-program sekolah formal saja; Kedua, selayaknya pendidikan
berbasis multikultural ini jangan sampai menyamakan pandangan
bahwa kebudayaan sebagai kelompok etnik. Oleh karena individu-
individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek
atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi
dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu
memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan;
Ketiga, dengan pengembangan pendidikan berbasis multikultural
pada pendidikan di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang
akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh
situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara konseptual
antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial
dalam kelompok etnik tertentu. Pendidikan apa pun bentuknya, tidak
boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya
pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam
kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional.
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, dalam mengokohkan
bangunan pendidikan multikultural maka lima pilar utama harus
ditegakkan yakni : pertama, adanya integrasi kurikulum pendidikan
yang menempatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan; kedua,
konstruksi pengetahuan yang diwujudkan dengan mengetahui dan
memahami secara komprehensif atas keragaman yang ada; ketiga,
pengikisan prasangka yang lahir dari interaksi antar elemen
keragaman dalam kultur pendidikan; keempat, pedagogik kesetaraan
yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap
elemen pendidika yang beragama. Karena itu elitisme dan
ekslusivisme dalam praktik pendidikan harus ditiadakan; kelima,
memberdayakan budaya sekolah terhadap setiap elemen dalam
pendidikan (Azra Azyumardi, 2018).
Dengan kata lain, pendidikan multikultural harus dapat
membangun kesadaran multikultur pada diri siswa, mahasiswa, guru,
dosen, hingga akan turut berperan menjadi penyangga bagi
terbangunnya masyarakat yang cinta damai. Bahkan juga semua
pihak diluar pendidikan formal yakni masyarakat umum dan
keluarga. Karena di lingkungan itulah praktik kehidupan yang

111
multikultur dijalankan. Sehingga menurut Azyumardi Azra memang
tidak mudah mendesain pendidikan multikultur di masyarakat luas
karena banyak pihak terlibat antara lain:
a. Media masa dalam bentuk jurnalisme damai;
b. Organisasi masyarakat termasuk NGO dan yang lainnya dalam
bentuk penyuluhan da pelatihan serta advokasi masyarakat di
akar rumput;
c. Tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi rujukan dalam kehidupan
sosial diharapkan menjadi penyampai hakekeat multikultur dan
juga juru damai ketika terjadi konflik (Azra Azyumardi, 2018)
Pentingnya keluarga Kristen menjadi wahana tempat
bertumbuh dan penyemaian nilai-nilai damai yang berbasis
multikultur melalui sikap dan keteladanan orangtua. Para pemimpin
termasuk orangtua mesti menjadi role model, yang dapat memberikan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berbasis nilai-nilai
multikultural sehingga kehidupan damai dan harmoni dapat
terwujud.

6. Membangun Perdamaian yang Berbasis Budaya Lokal


Setiap masyarakat atau bangsa tentunya memiliki kearifan
lokal atau tradisi yang unik dan beragam dan unik yang berbeda dari
yang lain. Tradisi tersebut mengandung nilai-nilai kekeluargaan dan
perdamaian bahkan bagi kehidupan masyarakatnya. Tradisi-tradisi
tersebut berupa: ritual, simbol, bahasa, nyanyian/kapata/pantun,
tarian dan lainnya. Beberapa di antaranya yakni Tradisi Bakar
Batu/Barapen (di Papua), tradisi Slametan dan Gayub Rukun/harmoni
sosial (di Jawa), tradisi Pamabakng (di Dayak), tradisi Siri Na Pacce (di
Bugis); tradisi Pela Gandong dan Makan patita di Maluku dan lainnya.
Tradisi-tradisi tersebut menekankan nilai-nilai perdamaian yang
mengatur relasi manusia dengan penciptanya (Tuhan) dan
sesamanya yang terungkap dalam sikap musyawarah, tolong
menolong, saling membantu, hidup bersatu, adil, tidak diskriminatif,
nilai kekerabatan, nilai kerukunan dan lainnya (Ribut Lupiyanto;
2018).
Secara khusus dalam budaya masyarakat Maluku, terdapat
sejumlah pranata sosial budaya yang menjadi ruang ruang
ketegangan sosial dan strategi pengelolaan keberagaman (agama dan
etnisitas). Hal ini nampak dalam tradisi pela dan gandong. Tradisi pela

112
dan gandong telah hidup dalam masyarakat selama ratusan tahun
sejak masa para leluhur (ancestors) dan diwariskan turun temurun.
Pela adalah mekanisme pengelolaan konflik dan membangun relasi
yang damai oleh masyarakat Maluku melalui sebuah kesepakatan
atau perjanjian kultural antara beberapa komunitas lokal. Menurut S.
Gaspersz, kekuatan pela terletak pada dimensi Covenental
(perjanjian/kesepakatan) setelah komunitas terlibat dalam pertikaian.
Sehingga pela lebih bermakna sosiologis antropologis, Sedangkan
Gandong leboh bermakna eksistensial karena di dalamnya termuat
makna relasi persaudaraan “sekandung” (gandong=Rahim) yang
kemudian memilih jalan-jalan kehidupan dan identitas yang berbeda
(utamanya terkaitd engan agama, dalam hal ini Islam dan Kristen).
Pemaknaan relasi-relasi persaudaraan tersebut sangat kuat melekat
dalam kesadaran kultiral dan kenyataan sosial masyarakat Maluku
secara turun temurun (S. Gaspersz; 2019).
Beberapa tradisi lainnya di Maluku yakni tradisi kumpul sudara,
panas pela, panas gandong (di Maluku Tengah), tradisi Yelim (di
Kepulaun Kei), tradisi Kai-Wait (di Kepulauan Buru), Duan Lolat (di
Kepulauan Aru), Kalwedo, Kalwedo Kidabela (di Kepulauan Maluku
Tenggara Barat dan Kepulauan Maluku Barat Daya). Tradisi-tradisi
tersebut mengandung nilai-nilai yang berharga yakni mengumpulkan
saudara, ikatan/hubungan kekerabatan, memperkuat kembali
hubungan persaudaraan, membantu orang dalam susah dan senang,
hidup berbaikan sebagai adik dan kakak, hidup saling
sepenanggungan, hidup berbagai salam, sukacita dan perdamaian
bagi sesama, membangun nilai persaudaraan dan perdamaian, dan
lainnya (Aholiab Watloly, 2016). Tradisi atau kearifan lokal tersebut
dikelola dengan baik akan menyemai benih-benih damai bagi proses
perdamaian baik di tingkat lokal, nasional dan global.

Di sisi lain, menurut Deni Pinontoan, tradisi Mapalus adalah


salah satu praktik dan sistim nilai budaya yang masih hidup dalam
wujud sistim nilai dan kesadaran, yang mendasari pemikiran dan
tindakan orang-orang Minahasa dalam mengusahakan perdamaian di
tengah kemajemukan yang berpotensi konflik. Mapalus berhubungan
erat dengan pandangan hidup komunalistik pada masyarakat
Minahasa. Dimana ada prinsip-prinsip kebersamaan, kekeluargaan
dan solidaritas. Bahkan dalam praktik Mapalus, mencerminkan

113
kesatuan hubungan antara individu dan masyarakat dengan alam dan
Yang Sakral (Yusak Setyawan, 2017). Sedangkan menurut Graafland,
tradisi tersebut mengungkapkan sistim nilai dan sikap pemeliharaan
keseimbangan, keharmonisan dan kebersamaan (Graafland N., 1991)
Menurut Pinontoan, seiring dengan perkembangan zaman,
sistim kerja Mapalus di bidang pertanian mulai menghilang. Namun
sebagai produk kebudayaan, Mapalus mengalami metamorphosis
menjadi praktik–praktik hidup dalam kebersamaan sesuai dengan
kreativitas dan kebutuhan yang ada pada masyarakat Minahasa. Pada
masyarakat Minahasa kontemporer, Mapalus hidup dalam ingatan
dan sistim nilai kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas, keterbukaan
dan keramahan (Yusak Setyawan, 2017).

a. Langkah-langkah Mengelola dan Membangun Damai berbasis


Budaya Lokal
Dalam rangka mengelola perdamaian di kalangan orang
bersaudara diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang
langkah-langkah yang harus ditempuh (T. D .Pariela dalam Dok.
Labsos UNPATTI; 2007) sebagai berikut:
1) Mengenali lingkungan masyarakat (negeri adat)
Pengenalan terhadap lingkungan masyarakat adat
adalah kebutuhan penting dalam rangka mengelola damai. Hal
ini dimiliki oleh para tokoh adat yang mempunyai kedudukan
dan peran strategis di dalam masyarakat. Para tokoh adat harus
mengenal, memahami, dan menjiwai setiap anggota
masyarakat dengan karakternya masing-masing. Perlu cara-
cara berhubungan yang baik untuk mengenal, mengakrabi dan
membimbing setiap warga untuk mengambil peran secara aktif
dan produktif dalam melakukan pembinaan lingkungan
masyarakat. Sehingga perlu adanya sikap keterbukaan dan
menunjukkan perasaan senasib sepenanggungan dengan
mereka.

2) Mengembangkan kepekaan terhadap lingkungan adat.


Mesti adanya kepekaan terhadap potensi konflik dan
potensi damai yang sering kali tersembunyi di dalam
masyarakat. Biasanya potensi konflik lebih besar dari potensi
damai. Selain pengamatan, perlu adanya upaya investigasi

114
(mencari tahu) sehingga mendapatkan data yang akurat terkait
dengannya.

3) Melakukan analisis damai berbasis Orang Bersaudara


Analisis damai berfokus pada 2 hal sebagai berikut : 1).
Mencegah konflik dengan memperkuat potensi damai dalam
konteks potensi konflik masyarakat adat yang bersangkutan; 2).
Memperkuat modal sosial (jejaring, saling percaya, norma-
norma adat) untuk meningkatkan derajat kohesi sosial orang
bersaudara. Aktivitas ini bisa disengaja atau mendatangi
tempat-tempat berkumpul warga untuk mengobrol atau
sekedar bersantai. Kesempatan yang sama dipergunakan untuk
kepentingan pengelolaan damai dengan cara menyosialisasikan
gagasan-gagasan perdamaian berbasis adat orang bersaudara
yang bersifat konstruktif dan menyatukan. Analisis damai juga
harus dilakukan terhadap orang-orang yang potensial menjadi
provokator, mengenali sikap dan cara pandang mereka yang
biasa bekerja untuk menjadi provokator warga.
4) Mengambil keputusan
Beberapa hal dalam mengambil keputusan:
a) Apa agenda (rencana) kegiatan yang dilakukan ke depan (1
minggu atau beberapa bulan ke depan). Termasuk agenda
tentang siapa yang didatangi dan untuk pembicaraan apa?
b) Siapa saja yang dapat diajak kerja sama atau bekerja
bersama-sama untuk mengelola perdamaian.
Mempertimbangkan orang-orang yang mempunyai
kedekatan hubungan dengan sasaran yang akan didekati,
biasanya cukup efektif untuk perubahan sikap
c) Bagaimana cara dan pendekatan yang akan digunakan dan
waktu yang dianggap tepat. Biasanya cara atau pendekatan
informal sangat membantu interaksi
d) Bagaimana merekrut agen-agen dalam masyarakat untuk
memperluas jaringan orang-orang yang cinta damai atau pro
damai berbasis adat. Upaya ini dilakukan secara sengaja, tapi
tidak harus disadari mereka yang direkrut.

115
C. Forum Diskusi
Pertanyaan Pemantik:
Mengawali pembelajaran pada KB 4 tentang penerapan nilai-
nilai perdamaian, beberapa pertanyaan pemantik sebagai berikut;
1. Apakah kehidupan yang rukun dan damai di sekitarmu sudah
terwujud?
2. Identifikasi apa saja tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam
mewujudkan hidup aman, rukun dan damai?
3. Bagaimana cara-cara saudara/I mewujudkan hidup damai?
4. Ceritakanlah pengalaman saudari-saudari dalam membangun
hidup damai yang berbasis budaya lokal dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya !

Tontonlah Video dalam link di bawah ini!:


https://www.youtube.com/watch?v=hbdBhYtDJio&t=20s
Judul : Cahaya Dari Timur (Beta Maluku)

Pertanyaan untuk diskusi:


Bagaimana tanggapan/refleksi saudara/I tentang film tersebut?
1. Bagaimana mekanisme dan cara-cara perdamaian yang dilakukan
oleh kedua komunitas (Salam dan Sarani) untuk membangun relasi
yang damai pasca konflik Maluku?
2. Diskusikan model-model pengelolaan damai di
wilayah/lingkunganmu, dan langkah-langkah membangun
perdamaian sejati dalam perspektif budaya lokal dan kosmologi
masyarakat!

116
DAFTAR PUSTAKA

Alfiani Permata, dkk. (2012). PEACE, BUKU AJAR Pendidikan Perdamaian


untuk Perguruan Tinggi. Duta wacana University Press.
Alviani Permata, dkk. (2012). Buku Ajar-Pendidikan Perdamaian untuk
Perguruan Tinggi. Duta Wacana University Press.
Asry Yusuf M. (2013). Masyarakat Membangun Harmoni; Resolusi Konflik dan
Bina Damai Etnoreligius di Indonesia. Balai Litbang RI.
Azra Azyumardi. (2018). “Terorisme, Radikalisme dan Fundamentalisme.”
SIASAT, 4(1), 13–17.
Bahang Konstantinus. (2019). Interreligious Dialoque Between Muslims And
Christians in Indonesia. Edizioni Sant’Antonio.
Bakry Umar Suryadi. (2020). Multikulturalisme dan Politik Identitas : Dama Teori
dan Praktik. PT RajaGrafindo Persada.
Banawiratma J.B., dkk. (2010). Dialog Antar Umat beragama: Gagasan dan Praktik
di Indonesia,. Mizan.
Baqir Zainal. (2011). Pluralisme Kewargaan. Mizan.
Boulding Elise. (2014). “Peace Culture for Today and Tomorrow” dalam Yahya
Wijaya, Diktat Kuliah: Kekerasan, Perdamaian dan Iman Kristen. Universitas
Kristen Duta Wacana.
Echols John M. dan Shadily Hassan. (1979). Kamus Bahasa Inggris Indonesia
(Cet.VII). PT Gramedia.
Frend W.H.C. (1984). The Rise Christianity. Philadephia Fortress.
Graafland N. (1991). Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya, terj. Lucy R.
Montolalu. Pusaka Utama Grafiti.
Hendropriyono Abdulah Machmud. (2009). Terorisme, Fundamentalisme
Kristen, Yahudi dan Islam. PT Media Kompas Nusantara.
Johan Galtung. (2003). Studi Perdamaian, Perdamaian dan Konflik Pembangunan
Peradaban. Pustaka Eureka.
Knitter Paul. (2003). Menggugat Arogansi Kekristenan. Orbis Books.
Leo D Fefebure. (2003). Pernyataan Allah, Agama dan Kekerasan. BPK Gunung
Mulia.
Nasrudin Juhana. (2018). “Politik identitas dan Representasi Politik, Studi
Kasus pada Politik DKI Periode 2018-2022). Jurnal Hanifiya, Volume 1.
Olaf Schumann. (2021). Agama-Agama, Kekerasan dan Perdamaian. BPK Gunung
Mulia.
Panikkar Raimundo. (1994). Dialog Intra Religius, terj. A. Sudiarja. Kanisius.

117
Panmilo Yangin. (2010a). Gereja dan Pendidikan Multikultural, Pilar Membangun
Masa Depan Indonesia,. Kanisius.
Partanto Pius A. dan Al Barry M. Dahlan. (2001). Kamus Ilmiah Popular. Arkola.
Paulus S.Wijaya. (2014). Kekerasan, Perdamaian dan Iman kristen. Universitas
Kristen Duta Wacana.
Permatasari Devita Indah dan Subryantoro. (2020). “Ujaran Kebencian
Facebook Tahun 2017-2019.” Sastra Indonesia, JSI 9 (1).
Ro’uf Abdul Mukti. (2007). “Mengurai Radikalisme Agama di Indonesia Pasca
Orde Baru.” Ulumuna, Volume 11.
Simon Fisher, at all. (2000). Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk
Bertindak. The British Council Indonesia.
Sulaeman Eman. (2022). Politik Identitas, Dalam Perspektif Al-Quran da Teori
Modern,. Pustaka AL-KAUTZAR.
Sumartana Th. (1999). “Kata Pengantar” dalam Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel,
Etika Global (terj.). Pustaka Pelajar.
Suryanto Agus dan Hartono Paulus. (2016). Laskar dan Mennonite, Perjumpaan
Islam-Kristen untuk Perdamaian di Indonesia. BPK Gunung Mulia.
Th. Sumartana dkk. (n.d.). Pluralisme, Konflik Dan Perdamaian Studi Bersama
Antar Iman,. Institut Dian Interfidei.
Tim Penulis FKUB. (2009). Kapita Selekta Kerukunan Umat Beragama. FKUB.
Vita Yan. (2014). “Penanaman Budaya Damai Via Pendidikan,.” Jurnal
Pemikiran Agama Untuk Pemberdaaan, Dimas, 14, No 1.
Wahid M. Abdul. (2018). FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME
ISLAM (Telaah Kritis tentang Eksistensinya Masa Kini). Sulesana, Volume
12.
Watloly Aholiab, dkk. (2016). Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara.
Kanisius.
Yusak Setyawan. (2017). Perdamaian dan Keadilan dalam Konteks Indonesia yang
Multikutural dan Beragam Tradisi Iman. BPK Gunung Mulia.

Buku Peraturan/Jurnal/Majalah
“Jurnal Multikultural dan Multireligius”, Harmony, Volume VII, No 23 Tahun
2007
Habodin Muhtar, “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal” dalam
Jurnal Studi Pemerintahan, Vol.3 No.1 Februari 2012
Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Beragama,
Departemen Agama RI: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Tahun 2007.

118
Widodo Wahyu, dkk, “Hoaks di Indonesia, Suatu Kajian” Jurnal Meta-Yuridis,
Vol. 2 No.1 Tahun 2019.

Link Internet
http://gkipi.org/hospitalitas-wajah-sosial-gereja-masa-kini/
https://www.voaindonesia.com/a/pbb-kekerasan-baru-ancam-perdamaian-
di-republik-afrika-tengah/3960988.html
https://jalandamai.org/kearifan-lokal-menyemai-perdamaian-global.html,
oleh Ribut Lupiyanto, “Kearifan Lokal Menyemai Perdamaian Global”.
Diakses Mei 2019.
http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/hubungan-sosial-dalam-
masyarakat.html, diakses Mei 2019.
http://eprints.walisongo.ac.id/6997/3/BAB%20II.pdf
https://kominfo.go.id/content/detail/8 863/penebar-hoax-bisa-
dijeratsegudang-pasal/0/sorotan_media
Chordhry, A. ,2017,. Facebook Launches A New Tool That Combats Fake
News. Retrieved May 4, 2017, from https://www.forbes.com/sites/amitch
owdhry/2017/03/05/facebook-fakenews-tool/#460b19677ec1
https://kominfo.go.id/content/detail/8863/penebar-hoax-bisa-
dijeratsegudang-pasal/0/sorotan_media
https://www.youtube.com/watch?v=nw4NUWyg-6g;
https://www.youtube.com/watch?v=10o2fCbVgvw
https://www.youtube.com/watch?v=4ffQTTAF0s4
https://www.youtube.com/watch?v=0FQvMme85oQ

Glosarium

PAK : Pendidikan Agama Kristen


PPG : Pendidikan Profesi Guru
ISIS : Islamic State of Iraq and Syria
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
LMS : Laman Managemen Service
RI : Republik Indonesia
AS : Amerika Serikat
HAM : Hak Asasi Manusia

119
UNESCO : The United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama
GKMI : Gereja Kristen Muria Indonesia
MDS : Mennonite Diakonal Service
SISDIKNAS : Sistim Pendidikan Nasional

120

Anda mungkin juga menyukai