Anda di halaman 1dari 13

KEGIATAN BELAJAR 2:

PERSPEKTIP TEOLOGI KRISTEN TENTANG HARMONI DALAM


KERAGAMAN

A. Deskripsi Umum
Harmoni dalam keragaman merupakan dambaan setiap individu
maupun kelompok-kelompok masyarakat dalam berelasi ditengah
kemajemukan masyarakat seperti Indonesia, tetapi untuk membangun
hidup yang harmoni selalu saja terdapat tantangan. Kegitaan belajar 2
(dua) modul ini mengurai perspektif teologi kristen tantang harmoni
dalam keragaman, yang didahului dengan penjelasan tentang konsep
harmoni dan keragaman sendiri.

B. Petunjuk Penggunaan Modul


Penulis mengurai secara rinci dan menyebut sumber rujukan materi
ini dengan harapan dapat membantu saudara-saudari mahaiswa
menginversitasi persoalan yang menjadi tanta gan pengelolaan
keragaman di Indonesia dan uapya implementasi dan pengembangan
mederasi beragama secara lebih baik.
Beberapa hal yang patut diperhatikan agar pembelajaran modul ini
dapat terserap dengan baik adalah sebagai berikut:
1. Bacalah dengan cermat setiap pernyataan dan penjelasannya
2. Perhatikan secara saksama capaian dan sub capaian yang dibahas
dengan rujukan yang tersedia untuk pendalaman materi
3. Ikuti setiap alur pemikiran yang dikembangkan secara cermat dan
kritis.
4. Perhatikan setiap contoh dan kerjakan latihan/tugas yang diberi.

C. Capaian Pembelajaran dan Sub Capaian Pembelajaran


1. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, naradidik (mahasiswa)
diharapkan mampu menjelaskan konsep dan pandangan teologi
Kristen tentanag harmoni dalam keragaman.

2. Sub Capaian Pembelajaran


1. Menjelaskan konsep harmoni dan keragaman
2. Menjelaskan pemikiran Teologi Kristen tentang harmoni dalam
keragaman

19
D. Pokok-Pokok Materi
a. Konsep harmoni dan keragaman
b. Pandangan teologi Kristen tentang harmoni dalam keragaman

E. Pokok Materi dalam Peta Konsep

b Konsep umum Harmoni


a dan Keragaman
HARMONI DALAM
KERAGAMAN h
a
Pandangan teologi
s Kristen tentang harmoni
dalam keragaman

F. Uraian Materi
1. Pendahuluan
Membangun hidup harmoni dalam keragaman penting
dibahas, terutama dalam konteks Indonesia karena keragaman
sering dipermasalahkan dan tidak jarang dijadikan alasan untuk
berkonflik. Pada satu sisi Indonesia dijadikan contoh dalam
membicarakan harmoni dalam masyarakat majemuk karena relasi
dan kerja sama antar kelompok-kelompok masyarakat yang
beragam terjadi secara baik, tetapi pada sisi lain terdapat pula
ketegangan dan konflik antar kelompok-kelompok etnik dan agama
yang menunjukkan wajah buram harmoni dalam masyarakat.

2. Inti
a. Konsep tentang Harmoni dan Keragaman
1) Arti dan makna Harmoni
Harmoni menurut arti kamus adalah pernyataan rasa,
aksi, gagasan dan minat; keselarasan; keserasian
(https://www.kamusbesar.com). Sesuai konteks
penggunaannya, dalam modul ini harmoni diartikan sebagai
keselarasan. Harmoni atau keselarasan merupakan kata
benda abstrak yang mengandung makna menuju kepada
penyesuaian atau kesatuan. Dalam arti dan makna seperti ini
maka, harmoni dikaitkan dengan kerukunan, yang

20
mengandung makna tidak adanya permusuhan antar
sesama. Kerukunan menunjuk pada hubungan antara
kelompok-kelompok yang berbeda karakter dengan tetap
menjunjung tinggi sikap saling menghormati, keadilan, dan
kehendak baik. Oleh karena itu kerukunan menggambarkan
adanya kehangatan, ketenagan, dan kesunyian tanpa
kegaduhan dan perselisihan yang mengganggu
keharmonisan hidup.
Dalam materi ini, konsep harmoni digunakan dalam
pengertian yang sama dengan kerukunan. Diasumsikan
bahwa jika individu atau kelompok tertentu dalam
masyarakat merasa hidupnya harmoni, hal itu berarti bahwa
ia atau mereka hidup dengan rukun tanpa pertikaian,
kekerasan dan peperangan. Kehidupan yang rukun selalu
menunjukkan adanya suatu kerharmonisan dalam
masyarakat atau negara, yang memungkinkan setiap orang
dapat berinteraksi membangun kemunikasi dan relasi baik
satu dengan lainnya tanpa merasa ada gangguan dan
ancaman yang datang dari siapa pun.
Apa itu kerukunan sudah banyak dibahas dan menjadi
perbincangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Walau demikian, tidak dijumpai pengertian tunggal tentang
kerukunan. Secara umum orang mengartikan kerukunan
mengikuti asal-usul katanya. Kerukunan berasal dari bahasa
Arab “ruknun” yang dalam bahasa Melayu ditulis rukun.
Kata ini dalam bentuk jamak diartikan sebagai asas atau
dasar. Sedangkan secara adjektiv berarti baik dan damai
tidak bertentangan, bersatu hati bersepakat; menjadikan
bersatu hati. Dalam perspektif ini, istilah kerukunan dapat
diartikan sebagai perihal hidup rukun; rasa rukun;
kesepakatan. Dalam pengertian ini kerukunan memiliki
makna sama dengan damai dan harmoni, yaitu: adanya
situasi yang memungkinkan setiap orang hidup dalam
keselarasan, adil dan sejahtera. (Rumahuru 2016).
Kerukunan seringkali dimengerti dalam kaitan
dengan konteks realitas sosial masyarakat majemuk yang
tidak lepas dari adanya konflik. Tidak mengherankan bila

21
membicarakan kerukunan selalu dihubungkan dengan
pengalaman membangun perdamaian dan penerimaan
antara individu mapun kelompok-kelompok masyarakat.
Dari jenisnya, kerukunan dapat dilihat dalam dua
bentuk yaitu: (1) kerukunan semu atau artifisial; (2)
kerukunan autentik. Kerukunan jernis pertama menunjuk
pada sikap orang-orang yang tinggal pada wilayah sama,
namun tidak bersentuhan dan berelasi satu dengan lain.
Sementara kerukunan jenis kedua menunjuk pada realitas
dimana masing-masing individu berani melampaui batas-
batas primordial, mengambail prakarsa untuk berinteraksi
satu dengan lainnya, dan tidak menaruh prasangka dalam
berelasi membangun kehidupan sosial di masyarakat.

Prosiding. ISSN: 1858-2559.


SeminarIlmiah Nasional Bidang Sosial. (PESAT 2005)

2) Arti dan makna keragaman


Keragaman dalam arti umum sebagaimana terdapat
dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perihal
beragam-ragam, berjenis-jenis; perihal ragam; perihal jenis.
Keragaman (Inggris: diversity) mengandung arti yang sama
dengan plural, yaitu: lebih dari satu atau jamak. Keragaman
dalam modul ini digunakan dalam arti majemuk, dan
memiliki sinonim dengan perbedaan.
Keragaman atau kemajemukan sebagaimana disadari
bersama, bukanlah sesuatu yang direkayasa atau dibuat-buat
dan dicari-cari melainkan merupakan pemberian (given)
Sang Pencipta. Oleh karena keragaman merupakan
pemberian Tuhan maka keragaman patut disyukuri, bukan
dipertentangkan; apalagi dijadikan alasan untuk berkonflik
dan melakukan kekerasan. Penggunaan kata keragaman juga
memiliki pengertian sama dengan pluralisme, yaitu terkait
dengan keadaan masyarakat yang majemuk.
Pluralisme adalah sebuah konsep yang menunjuk
kepada suatu pengakuan, penerimaan, dan sikap terhadap
pluralitas atau keanekaragaman suatu bangsa, suku bangsa,

22
maupun latar kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat
majemuk (plural). Istilah pluralisme memiliki beberapa
makna, tergantung pada masing-masing wacana yang
dirujuknya. Konsep itu pada awalnya diperkenalkan oleh
para filsuf Pencerahan seperti Christian Wolff dan Immanuel
Kant, yang menunjukkan sebuah doktrin tentang
kesempurnaan pandangan dunia yang mungkin
dikombinasikan dengan seruan untuk mengadopsi sudut
pandang universal tentang warga negara dunia (a world
citizen). Dalam filsafat sekarang, konsep pluralisme merujuk
pada pandangan bahwa dunia mungkin bisa
diinterpretasikan dengan beberapa cara, atau merujuk pada
evaluasi bahwa sains dikembangkan oleh persaingan di
antara beberapa interpretasi. Dalam etika dan sosiologi
normatif, ia merujuk pada persoalan bahwa masyarakat
modern tidak lebih didasarkan pada serangkaian norma-
norma otoritatif, sehingga seluruh persoalan etis, meminjam
terminologi Jurgen Habermas, tunduk pada wacana yang
open ended dan rasional (Rumahuru, 2014).
Dari bidang filsafat, istilah itu menyebar ke wacana-
wacana akademik yang lain. Pada pergantian abad ke-20,
para pragmatis seperti William James menggunakan kembali
konsep itu untuk menekankan implikasi-implikasi empiris
dari ontologi pluralistik. Jejak-jejak dari penggunaan ini
masih bisa ditemukan dalam sosiologi kognitif. Pada saat
yang sama, konsep pluralisme menjadi populer dalam
pertimbangan-pertimbangan politis mengenai berbagai
kondisi demokrasi ketika dipertentangkan dengan apparatus
negara monistik, utamanya dalam karya Harold J Laski. Oleh
karenanya, dalam berbagai diskusi politik, "pluralisme"
mungkin merujuk pada fenomena multipartai, pada
desentralisasi apparatus negara, atau pada distribusi
sumber-sumber kekuasaan dalam masyarakat. Dalam teori
ekonomi dan dalam teori sosiologi yang diilhami oleh model-
model pilihan rasional, istilah "pluralisme" dipahami dengan
mengacu pada gagasan bahwa sistem pasar bebaslah yang
mungkin bisa menjamin persaingan terbuka bagi para

23
pemasok dan pilihan bebas bagi para konsumen (Rumahuru,
2014).

Artikel dalam Jurnal Marah Christy


:http://repository.iaknambon.ac.id/

b. Keragaman sebagai ciri bangsa Indonesia


Keragaman sudah merupakan fakta historis dan sosial bangsa
Indonesia yang tidak dapat disangkali, tetapi keragaman yang
menjadi ciri masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sedang dalam
pengujian. Fenomena keragaman yang dipertentangkan
disadari memang bukan hal baru di Indonesia. Dalam sejarah
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
keragaman telah mendapat perhatian serius. Pada masa
persiapan kemerdekaan Repubik Indonesia, telah terbangun
kesadaran tentang keanekaan kelompok-kelompok masyarakat
yang membentuk NKRI. Kesadaran tentang keragaman
sebagaimana dimaksud mencakup kesadaran adanya beragam
suku dengan budaya, adat-istiadat, kesenian, bahasa dan
sebagainya, tetapi juga kesadaran tentang keragaman agama
dan kepercayaan yang dimiliki. Hal ini dapat dipahami dengan
melihat seperti apa perdebatan-perdebatan pandangan pada
saat BPUPKI merumuskan dasar Negara dan bentuk Negara
Indonesia yang akan diproklamsi kemerdekaannya pada saat
itu. Oleh karena kesadaran tentang fakta keragaman seperti
disebut maka, Ir. Soekarno dalam pidato didepan BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945 memberi pemikiran menjadikan pancasila
sebagai dasar falsafah Negara Indonesia yang sedang
diperjuangkan kemerdekaannya saat itu. Seiring dengan
penetapan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia yang
terdiri dari beraneka suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat
dan keseniannya maka, Bhineka Tunggal Ika menjadi
semboyang bagi bangsa Indonesia (Kaelan, 2012).
Bhineka Tunggal Ika merupakn semboyan yang terkandung
dalam lambang Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 36A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang menyatakan bahwa “Lambang Negara Garuda Pancasila,

24
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Mengacu pada formula
tertebut menjadi jalas bahwa eksistensi Bhineka Tunggal Ika
adalah sebagai bagian dari lambang Negara, dan menjadi sistem
simbol untuk menyatakan realitas kemajemukan masyarakat
bangsa Indonesia.
Walau kesadaran tentang keragaman suku, sub suku serta
agama dan kepercayaan telah dicakapkan secara serius oleh para
pendiri bangsa dan dapat dianggap telah final pada saat
menjelang proklamasi kemerdekaan republik Indonesia, namun
demikian dalam perkembangan pasca kemerdekaan Republik
Indonesia sampai saat ini, keberadaan keragaman atau
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat; khususnya perbedaan
agama dan kepercayaan masih terus di permasalahkan.
Sejumlah pertikaian atau konflik sosial pada berbagai daerah di
Indonesia seperti dikemukakan sebelum telah memperlihatkan
betapa perbedaan (agama dan etnik) tetap memprihatinkan di
Indonesia. Walau pancasila dijadikan dasar Negara dan idiologi
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi
praktik intoleransi dalam masyarakat tetap mengemuka di
mana-mana. Peristiwa yang masih segar diingatan publik
Indonesia adalah proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
lalu yang mempertontongkan praktik intoleransi, yang nyata-
nyata mengancam eksistensi keberagamaan masyarakat
Indonesia dan kerukunannya.
Kemajemukan masyarakat merupakan fakta sosial yang tidak
terbantahkan, tetapi sering kali kemajemukan menjadi masalah
disharmoni dalam masyarakat. Bahkan, kemajemukan atau
keberagamaan sering menjadi alasan untuk terjaninya konflik
terbuka di kalangan kelompok-kelompok masyarakat.
Fenomena ini terjadi pada berbagai kelompok masyarakat di
mana pun dengan alasan berbeda-beda. Dalam konteks
Indonesia, sejak akhir abad XX hingga awal abad XXI ini terjadi
konflik antar kelompok dengan akar dan faktor pemicu yang
beragam, mulai dari tindakan kriminal yang tidak diterima oleh
kelompok tertentu, masalah perebutan sumber daya, hingga
perbedaan etnik dan agama. Diantara banyak faktor yang
menjadi alasan konflik di Indonesia, ternyata faktor perbedaan

25
identitas etnik dan agama lebih dominan. Bahkan, identitas etnik
dan agama begitu sensitif sehingga pada sejumlah wilayah di
Indonesia, konflik terbuka dan kekerasan tidak terbendung.
Aneh tetapi nyata, keragaman sebagai pemberian Allah yang
patut disyukuri ternyata dijadikan manusia sebagai alasan
berkonflik, saling merusak, membunuh, dan saling membantai
tanpa rasa malu. Realitas ini dapat dijumpai pada sejumlah
weilayah di Idoensia seperti di Kalimantan, Jawa, Nusatenggara,
Poso, Maluku dan Papua (Mas’oed, Maksum dan Soehadha
(eds.), 2000; Bertrand, 2004; Mujiburrahman, 2006; van Klinken,
2005 dan 2007; Rumahuru, 2005, 2016 dan 2019).

c. Pemikiran Teologi Kristen tentang Harmoni dalam


Keragaman
Konsep teologi kristen tentang harmoni sebagaimana
dimaksud disini adalah pandangan Alkitab maupun teolog
tentang hal-hal yang terkait erat dengan keharmonisan hidup
sebagai sesama mahkluk ciptaan Allah. Apabila ditelusuri akan
ditemui bahwa Alkitab menyimpan banyak kisah tentang
harmoni sosial atau kerukunan. Cerita-cerita Alkitab tentang
kehidupan yang harmoni atau rukun antara lain terkait dengan:
• Relasi antara satu komunitas dengan komunitas lain,
• Relasi kekeluargaan yang berbeda suku, sub suku, dan
kepercayaan (etnik dan agama),
• Keharmonisan dan keteraturan hidup, dan
• Relasi antara manusia dengan Sang Pencipta, relasi manusia
dengan sesama manusia, dan relasi manusia dengan alam
atau ciptaan lainnya.

d. Mengasihi sebagai tindakan teologis


Salah satu pokok dari Alkitab yang darinya dapat dipelajari
konsep tentang harmoni dalam keragaman adalah tentang hal
mengasihi. Berikut ini adalah uraian tentang mengasihi Tuhan
dan Sesama sebagai tindakan Teologis.
Perintah untuk saling mengasihi adalah ajaran Tuhan Yesus
kepada murid-murid dan semua orang yang menjadi pengikut-
Nya termasuk kita sekarang ini. Dua perintah utama yang tidak

26
asing bagi orang Kristen; mengasihi Tuhan dan mengasihi
sesama. Meskipun kedengarannya gampang, namun sangatlah
susah untuk kita dapat melakukaknnya dengan sempurna.
Padahal, mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama itulah yang
menuntun manusia untuk dapat memperoleh kebahagiaan di
dunia dan dapat mengantar manusia masuk ke dalam Kerajaan
Sorga.
Kita dapat menemukan hukum kasih dalam Alkitab,
khususnya dalam 3 Injil sinoptik dalam varian kisah yang
menarik tentang “Hukum yang terutama”. Bagian ini dicatat
dalam Matius 22:34-40, Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28.
Masing-masing injil menceritakannya dengan narasi yang
berbeda-beda, namun saling melengkapi antara satu dengan
yang lainnya. Untuk itu perlu dilihat ketiga bagian teks Alkitab
tersebut. Secara garis besar, bagian ini menceritakan tentang
diskusi/tanya jawab antara Yesus dan golongan-golongan
kerohanian pada waktu itu (Farisi, Saduki, dan Ahli-ahli Taurat).
Pokok diskusinya adalah hukum mana yang terutama diantara
sekian banyak hukum yang ada pada waktu itu.
Sekilas gambaran cerita menurut ketiga versi.
1) Cerita Menurut Matius 22:34-40
Dikisahkan bahwa seorang Ahli Taurat bertanya untuk
mencobai Yesus, setelah Yesus membuat orang-orang Saduki
itu bungkam dengan diskusi tentang kebangkitan (lihat
Matius 22:23-33). Orang-orang Farisi dalam cerita ini
berfungsi sebagai pelapor. Pertanyaan tentang hukum mana
yang terutama, dijawab Yesus dengan mengatakan:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dngan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan pertama (ayat 37-38). Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (ayat 39)”. Yesus
menyimpulkan diskusi itu dengan mengatakan: “Pada kedua
hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab
para nabi.”

27
2) Cerita Menurut Markus 12:28-34
Markus menggambarkan sedikit berbeda, di mana seorang
ahli Taurat tertarik kepada Yesus karena memberikan
jawaban dengan tepat kepada orang-orang Saduki.
Pertanyaan yang disampaikan masih sama tentang “Hukum
yang terutama”. Jawaban Yesus pun hampir sama, tetapi Dia
mengutip Syema Israel di bagian awal jawaban-Nya (ayat 29).
Kesimpulan yang diberikan Yesus dengan mengatakan:
“Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua
hukum ini.” Hampir mirip dengan diceritakan Matius.
Namun yang paling berbeda ialah Markus menceritakan
tentang respons yang benar dari ahli Taurat itu (ayat 32-33).
Cerita ini ditutup dengan pujian Yesus kepada ahli Taurat itu
(ayat 34).
3) Cerita Menurut Lukas 10:25-28
Lukas menarasikan hukum kasih secara berbeda dari Matius
dan Lukas. Awal kisanya dimulai dari cerita tentang “Orang
Samaria yang murah hati” (ayat 30-35). Motivasi dari ahli
Taurat tersebut ingin mencobai Yesus dengan pertanyaan
yang sama tentang “Hukum yang terutama” tetapi
pertanyaan sebelumnya ialah: “apa yang harus diperoleh
untuk memperoleh hidup yang kekal?” pertanyaan tentang
“Hukum yang terutama” dijawab sendiri oleh ahli Taurat itu
(ayat 27), tetapi yang menjadi pertanyaan terbesar ialah
”siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29). Dengan pertanyaan
inilah, Yesus tidak langsung menjawabnya, tetapi
memberikan perumpamaan tentang “Orang Samaria yang
murah hati” (ayat 30-35). Di akhir perumpamaan itu, Yesus
menanyakan kepada ahli Taurat itu tentang siapa sesamanya
manusia, dan siapa yang menunjukan kasih terhadap orang
yang malang itu (ayat 36)? Ahli Taurat itu menjawab: “orang
yang telah menunjukan belas kasihan kepada yang malang
itu” (ayat 37). Walaupun ahli Taurat tidak menjawab dengan
tegas bahwa yang menjadi sesama manusia adalah orang
Samaria, tetapi dia telah mendapat satu pencerahan dari cara
pandangannya yang salah. Yesus kemudian menyuruhnya

28
melakukan apa yang ia ketahui tentang hal mengasihi (ayat
37).

e. Perintah untuk mengasihi Tuhan


Sesuai dengan bunyi hukum kasih yang pertama, ”Kasihilah
Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu”
Kata hati merujuk pada pengertian organ yang penting, juga
pusat kehidupan manusia, sekaligus merupakan pengatur
emosi dan sumber kehidupan spiritual. Pengatur emosi dan
perasaan (kegembiraan, dan kesedihan, kebencian dan
kemarahan, dll). Sedangkan kata jiwa, adalah kombinasi dari
tubuh. Saat jiwa meninggalkan tubuh maka tubuh kehilangan
kehidupan. Jiwa juga merupakan bagian dari perasaan,
memberikan tempat buat kasih. Dan dengan segenap akal
budimu, dalam terjemahannya daya pikirmu. Kata daya pikir
merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu atau yang
berkaitan dengan kekuatan fisik.1 Karena itu, hati, jiwa,
kekuatan dan akal budi adalah sebuah ekspresi tentang manusia
secara utuh. Dan keutuhan itu dipertegas dalam kata ”segenap”
yakni semua dan tidak ada yang tersisa. Dengan demikian,
perintah untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan
akal budi adalah sebuah bentuk atau tindakan mengasihi
dengan sungguh-sungguh yang lahir dari kesadaran dalam
batin manusia, bukan dilakukan sebagai sebuah formalitas atau
asal saja ataupun paksaan.
Menurut Thomas Aquinas, untuk mengasihi Allah, ada 3 hal
yang harus dilakukan yakni:
1) Tidak boleh mempunyai Allah lain dengan tidak membuat
patung untuk disembah atau menggunakan kuasa yang lain
di luar kuasa Allah
2) Harus memberikan kepada Allah penghormatan dengan
tidak menyebut namaNya dengan sembarangan dan sia-sia
3) Harus beristirahat di dalam Tuhan dengan memberikan
seluruh hidup untuk dipakai dalam baitNya yakni
memberikan waktu untuk beribadah kepadaNya

1
Jan Rikson Tutuboy, Siapakah sesamaku?, SKRIPSI, STAKPN, Ambon, 2009, hal. 34

29
f. Perintah untuk mengasihi sesama
Sesuai dengan bunyi hukum kedua ” Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri”
Untuk membuktikan kasih kita kepada Allah, maka kita
harus mengasihi sesama seperti yang dijabarkan dalam perintah
hukum Taurat yang ke 4-10 yakni:
1) Kita harus mengasihi orang tua
2) Tidak boleh melukai sesama kita dengan perbuatan – baik
dengan melukai sesama yakni membunuh, berzinah, dan
mencuri
3) Tidak boleh melukai sesama kita dengan perkataan dan
pikiran melukai dengan perkataan yakni saksi dusta,
mengingini istri sesama dan milik sesama
Kedua hukum atau perintah di atas adalah merupakan
petunjuk atau pedoman yang harus dilakukan dan ditaati oleh
manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam Yohanes 13:34-35 Allah
memberi perintah kepada manusia untuk saling mengasihi sama
seperti Allah telah mengasihi manusia.
Merealisasikan kasih dengan benar dalam kehidupan sehari-
hari merupakan tanggungjawab setiap orang Kristen, agar
menjadi pelaku firman dan mempermuliakan nama Tuhan
dalam seluruh kehidupannya. Kasih seharusnya merupakan
bentuk atau wajah kita sebagai orang percaya, sebab seorang
kristen dikenal oleh perbuatan kasihnya. Orang yang mengasihi
akan dikenal sebagai murid Tuhan. Aku memberikan perintah
baru kepada kamu, yaitu supaya kamusaling mengasihi;sama
seperti Aku telah mengasihi kamudemikian pula kamu harus
saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu,
bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling
mengasihi.
Dalam bahasa Yunani, kasih dibedakan sesuai dengan
penggunaannya, itu sebabnya kasih terbagi atas empat jenis
yaitu:
1) Agape yakni, kasih yang sempurna
2) Phileo yakni; kasih terhadap sahabat
3) Storge yakni, kasih terhadap orang tua/keluarga

30
4) Eros yakni, kasih yang mengandung unsur seks
Dari keempat kasih yang disebutkan di atas, kasih Agape
merupakan sifat inti Allah, kasih yang murni dari Allah, kasih
yang sempurna, kasih tanpa syarat, tanpa pamrih, rela
berkorban dan konsisten. Karena Allah mengasihi manusia,
maka Ia menginginkan manusia hidup saling mengasihi sesame
yang ada disekitarnya. Allah memberikan kemampuan kepada
manusia untuk dapat mengasihi sesamanya. Oleh sebab itu,
dalam melakukan kasih atau mengasihi sesama harus dengan
tulus dan tanpa mengharapkan imbalan, jangan memilih-milih
kepada siapa kita mengasihi bahkan sampai kepada musuh atau
orang yang membenci kita.
Praktik hidup mengasihi sesama adalah baik diajarkan atau
dibiasakan sejak kecil dalam keluarga dan berkelanjutan sampai
pada lingkungan dan tempat dimana kita berada, serta didasari
pada tekad untuk melakukannya. Contohnya: menyapa dan
memberi salam kepada sesama, mendoakan teman yang sakit,
tidak menyimpan kesalahan teman atau orang lain, tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan. Sealin kasih, tolong
menolong menjadi hal penting yang mencirikan keberadaan
seorang Kristen.

3. Forum Diskusi
Anda diminta untuk mengidentifikasi dan mendiskusikan ayat-
ayat Alkitab yang mengajari tentang kekerasan dan kerukunan.
Hasil kerja dilaporkan secara tertulis.

31

Anda mungkin juga menyukai