A. Deskripsi Umum
Dalam kegitaan belajar 4 (empat) modul ini, diuraikan beberapa
pemikiran strategis yang dapat digunakan dalam rangka mengelola
dan merawat keragaman. Uraian ini memanfaatkan baik pemikiran
teoretis maupun temuan hasil penelitian dari beberapa orang yang
dirujuk. Hal ini dimaksud untuk memberi gambaran komprehensif
tentang pemikiran dan praktik yang dapat dimodifikasi dalam rangka
menatakelola realitas kemajemukan yang dimiliki masyarakat.
55
b. Menganalisis memori kolektif sebagai jalan mengelola dan
merawat keragaman
c. Menganalisis keterlibatan perempuan dalam mengelola dan
merawat keragaman di Indonesia
d. Menganalisis keterlibatan pemuda dalam hal mengelola dan
merawat keragaman di Indonesia
D. Pokok-Pokok Materi
1. Advokasi
2. Memori Kolektif
3. Keterlibatan Perempuan
4. Keterlibatan Pemuda
Keterlibatan
Perempuan
Memori
Kolektif
Keterlibatan
Advokaisi
Pemuda
56
F. Uraian Materi
1. Pendahuluan
Keragaman sebagai fakta sosial patut dikelola agar
berkontribusi positif dalam membangun masyarakat. Untuk itu
diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengelola dan merawat
keragaman. Studi-studi sebelum terkait pengelolaan keragaman dari
berbagai tempat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
ilmuan dibidang ini, telah turut membantu menelisik pemanfaatan
strategi tertentu sesuai konteks masayarakat kita (Indonesia). Bagian
ini menjelaskan beberapa strategi, yang ditawarkan untuk
pengelolaan keragaman, sekaligus membangun budaya damai
ditengah konflik dan kekerasan yang marak terjadi di Indonesia dua
dekade terakhir ini.
2. Inti
a. Advokasi sebagai strategi mengelola keragaman
Advokasi potensial dijadikan salah satu strategi utama, yang
dapat dilakukan oleh berbagai eleman masyarakat, dan institusi
negara maupun agama secara simultan bersinergi mengelola dan
merawat keragaman sehingga menjadi kekuatan bangsa
Indonesia (Rumahuru, 2022:6)
1) Arti Advokasi dalam Pengelolaan Keragaman
Advokasi secara umum dapat dimengerti sebagai tindakan
meransang dan mendorong suatu perubahan dalam realitas
sosial. Tindakan tersebut didasarkan pada sejumlah prinsip-
prinsip legal-etis untuk mengevaluasi praktik-praktik sosial
atau penerapan hukum. Pada dasarnya didasarkan pada
beberapa elemen-elemen penting, yaitu strategi, informasi dan
mobilisasi masa.
Samuel (2007, pp.615, 616) mendefinisikan advokasi sebagai
bentuk tindakan sosial, sifat dan karakter advokasi publik dan
yang berpusat pada rakyat dibentuk oleh budaya politik,
sistem sosial, dan kerangka kerja konstitusional negara tempat
advokasi itu dipraktikkan. Selain itu, advokasi juga sangat
dipengaruhi oleh cara keputusan dibuat dan kebijakan publik
juga dipengaruhi oleh kepentingan publik tertentu atau
kelompok aksi dalam konteks sosial yang berbeda. Fokus
57
utama advokasi adalah untuk mempengaruhi kebijakan untuk
mulasi, perubahan, dan implementasi terutama untuk suatu
kebijakan publik yang memainkan peranan penting dalam
menentukan arah keadilan sosial, kebebasan politik dan sipil,
dan kepentingan jangka panjang lingkungan dan masyarakat
umum.
Dalam konteks pengelolaan keragaman, advokasi bertujuan
untuk menghadirkan dan menata harmoni sosial sebagai
perwujudan dari pemenuhan hak-hak individu dalam relasi
bermasyarakat. Advokasi sebagai salah satu strategi
membangun dan merawat harmoni dalam penerapannya
mempertimbangan seluruh dimensi sosial. Dimensi-dimensi
sosial itu, antara lain, ekonomi, sosial-budaya, gender, ekologi
dan agama. Apabila salah satu diantara dimensi sosial itu
tidak termasuk dalam pertimbangan advokasi pengelolaan
keragaman, maka terciptalah ketimpangan. Ketimpangan itu
dapat menjadi sumber terjadinya konflik dalam masyarakat,
serta menganggu stabilitas.
2) Bentuk-Bentuk Advokasi
Menurut Bagir (Ed.) (2014, pp. 12-13), secara umum, advokasi
terkait pengelolaan keragaman terdiri dari tiga bentuk.
Pertama, pendidikan publik atau peningkatan kesadaran.
Advokasi yang menyasar pendidikan dan kesadaran publik
ini bersifat jangka panjang. Kedua, advokasi kebijakan; ketiga,
advokasi kasus spesifik. Keterangan lebih ringkas tentang
ketiganya dapat dilihat dalam tabel (Bagir, 2014, p.13) berikut:
58
negara apapun - Live-in di suatu
pandangan dan komunitas,
keyakinan - dll.
keagamaannya.
2 Advokasi 1. Advokasi kebijakan, - Lobi-lobi politik
Kebijakan terhadap UU atau ke pemerintah
regulasi tertentu. ataupun
parlemen.
- Pengajuan suatu
regulasi ke
PUTN.
- Pengajuan judicial
review ke
Mahkamah
Konstitusi.
3 Advokasi Kasus 1. Advokasi legal atas - Litigasi
Spesifik kasus-kasus hukum - Mediasi
tertentu (misalnya - Dialog
tuduhan penodaan - dsb.
agama, pembangunan
rumah ibadah)
2. Advokasi penyelesaian
konflik atas kasus-kasus
konflik tertentu
59
terkait dengan hubungan antara suatu komunitas agama
dengan negara, ataupun antar-komunitas agama.
Oleh karena itu, perlu adanya pemetaan sebagai bagian dari
strategi advokasi penting dilakukan. Pemetaan, atau
pemilahan kelompok-kelompok masalah, penting dilakukan,
betapapun tak sempurnanya (dan nanti akan ditunjukkan
keterbatasannya), karena jika tidak, sulit menemukan sumber
masalah yang beragam dan karenanya juga sulit menemukan
solusi yang tepat. Dalam analisis di atas, sumber utama dari
apa yang disebut sebagai “isu-isu keragaman” adalah
menguatnya ekspresi identitas keagamaan di ruang publik.
Tapi analisis umum ini mencakup begitu banyak hal berbeda,
ekspresinya amat berbeda, dengan sasaran berbeda
Baqir (Ed.) (2014) menjelaskan ada beberapa pemetaan isu
keragaman di Indonesia. Pertama, isu terkait kebijakan publik.
Kebijakan publik dapat dilihat pada level nasional dan level
daerah. Misalnya, mempengaruhi kebijakan nasional secara
tidak langsung (misalnya perdebatan menyangkut beberapa
UU yang mempolarisasi kelompok-kelompok keagamaan
seperti UU Sisdiknas, UU Anti-pornografi, Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama yang menyangkut
pendirian rumah ibadah, SKB tentang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia), maupun yang lebih menyangkut Muslim (seperti
UU Zakat, RUU Jaminan Produk Halal). Kedua, terorisme atas
nama agama. Pemboman yang dilakukan di beberapa tempat
atas nama agama, misalnya pemboman Hotel JW Marriot di
Jakarta tahun 2003, Kedubes Australia, Jakarta pada tahun
2014, Jimbaran dan Kuta, Bali di tahun 2005. Ketiga, konflik
komunal antar-komunitas beragama meledak. Yang paling
menarik perhatian tentunya konflik di Ambon, Maluku dan
Poso, Sulawesi Tengah. Keempat, ada dua isu utama sebagai
sumber konflik antar kelompok-kelompok agama yang makin
sering sejak tahun 2008. Yaitu, terkait dengan tuduhan atas
penodaan agama dan kesulitan membangun rumah ibadah
Selanjutnya, menurut Baqir (Ed.) (2014, pp.9,10) tanpa upaya
pemetaan, sebagian analisis cenderung amat simplistik,
misalnya menisbahkan semua masalah pada “intoleransi”,
60
ketika sebetulnya ada struktur hukum yang keliru, yang lebih
merupakan tanggung jawab negara ketimbang masyarakat. Di
sisi lain, ada hal-hal yang tampaknya tak perlu menjadi urusan
negara, dan sebaiknya diselesaikan dengan mengembangkan
mekanisme pembuatan konsensus di masyarakat, atau
memupuk toleransi individu dan kelompok-kelompok agama.
Pemetaan diharapkan dapat mengidentifikasi karakter-
karakter utama masalah meskipun, sekali lagi, tak pernah
sempurna.
b. Memori Kolektif
1) Arti Memory Kolektif
Memori kolektif bukanlah suatu realitas sosial yang terberi,
melainkan konstruksi sosial. Memori tersebut menjadi bagian
dari komunitas sosial, tetapi bukan mitos atau legenda.
Memori kolektif menjadi bagian dari individu atau kelompok
yang mengingat peristiwa tertentu. Memori kolektif menjadi
bagian dari klas sosial, asosiasi, korporasi, militer,
perkumpulan dagang pun memilki memori khusus yang
dikonstruksikan oleh anggotanya dalam jangka panjang.
Individu maupun kelompok ini berada dalam grup tertentu
berusaha untuk menggambarkan masa lalu. Di dalam memori
tersebut ada peristiwa sejarah yang melekat pada kelompok
tersebut, tetapi terbatas dalam ruang dan waktu (Halbwachs,
1992, p. 22).
Namun, Halbaws (1992, p. 25) membedakan antara memory
autobiografi dan memory historis. Memori otobiografi adalah
memori peristiwa yang telah kita alami secara pribadi di masa
lalu. Ini juga dapat berfungsi untuk memperkuat ikatan antara
peserta, seperti ketika suami dan istri merayakan ulang tahun
pernikahan mereka atau ketika orang pergi ke reuni
perguruan tinggi di mana mereka dapat merekonstruksi dan
memperkuat pengalaman kuliah masa lalu di tengah-tengah
orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Namun, cukup
masuk akal bahwa ingatan otobiografi cenderung memudar
seiring waktu kecuali jika diperkuat secara berkala melalui
kontak dengan orang-orang yang berbagi pengalaman dengan
61
mereka di masa lalu. Memory historis orang tersebut tidak
ingat acara langsung; itu hanya dapat dirangsang secara tidak
langsung membaca atau mendengarkan atau dalam acara
peringatan dan perayaan ketika orang-orang berkumpul
bersama untuk mengingat secara umum perbuatan dan
pencapaian anggota kelompok yang sudah lama pergi. Dalam
hal ini, masa lalu disimpan dan ditafsirkan oleh institusi sosial.
Dalam pengolaan keragaman, memory yang dibentuk bukan
hanya ingatan biografi melainkan juga historis. Masyarakat
tidak hanya mengingat konflik karena interaksi sosial
melainkan juga mengingat konflik secara personal. Konflik
tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi
trauma personal.
62
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public
bersama melalui pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut
sebagai civic pluralism, di mana ada ruang partisipasi bagi
masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara damai di
atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog
dan kerja sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan
melalui kebijakan publik negara (Buku ketiga 58).
Salah satu bentuk penggunaan memori kolektif dalam
mengelola keberagaman di orang Maluku, khususnya orang
Maluku Tengah, percaya bahwa sesungguhnya mereka
berasal dari satu negeri. Kepercayaan ini dikenal sebagai mitos
Nunusaku. Mereka percaya bahwa Nunusaku, sebuah
gunung sakral di pulau Seram, merupakan tempat asal mereka
yang asli. Mereka juga mengakui hukum-hukum adat yang
dimiliki oleh negeri-negeri di Maluku berasal dari sumber
yang sama, yaitu dari Nunusaku. Nunusaku adalah “Nusa
Ina” (Pulau Ibu) bagi mereka. Dari Nunusaku mereka
kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di pulau Seram,
Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut) dan Ambon. Mereka juga
kemudian dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar
yaitu Patasiwa (pata = rumpun atau kelompok, siwa =
sembilan) dan Patalima (pata = rumpun atau kelompok, lima
= lima). Pembagian rumpun ini bukan hanya terjadi di Maluku
Tengah tetapi juga di Maluku Tenggara dan Maluku Utara.
Istilah lain untuk patasiwa dan patalima adalah ulisiwa dan
ulilima atau lorsiwa dan lorlima. Hukum-hukum adat, ritus-
ritus dan pola-pola kekerabatan dari suku-suku yang
termasuk dalam kelompok patasiwa/ursiwa/lorsiwa didasari
atas hitungan sembilan, sedangkan untuk kelompok patalim
a/urlima/lorlima terdiri dari lima satuan kecil.
Misalnya dalam membayar mas kawin atau denda karena
melakukan sebuah pelanggaran orang-orang dalam
kelompok patalima harus membayar dalam kelipatan lima,
sedangkan orang-orang dalam kelompok patasiwa harus
membayar dalam kelipatan sembilan. Patasiwa masih dibagi
lagi atas dua kelompok yaitu patasiwa putih dan patasiwa
hitam. Nunusaku‚ mewariskan kepada suku-suku ini sebuah
63
sistem kepercayaan, yang dikenal dengan agama
Nunusaku, yang dikenal juga sebagai agama asli orang
Maluku, khususnya di Maluku Tengah. Agama Nunusaku
dapat dikatakan menjadi wadah pemersatu antar suku,
meskipun mereka sudah menyebar ke berbagai tempat.
Karena itu sebelum ada pela, yang menjadi wadah pengikat
antar suku, ikatan antar suku-suku di Maluku sudah mulai
terbentuk melalui ikatan terhadap agama Nunusaku.
Dieter Bartels, seorang antropolog asal Amerika yang
banyak melakukan penelitian tentang agama dan budaya
Maluku, mengatakan bahwa pela sesungguhnya merupakan
wadah atau sarana bagi „pelestarian“ agama Nunusaku
dalam kehidupan suku-suku di Maluku Tengah dan Ambon.
Menurut Bartels, agama Nunusaku tidak memiliki struktur
organisasi yang formal, tidak ada pemimpin agamanya,
tidak ada tempat ibadahnya. Karena itu boleh dikatakan
bahwa pela melanjutkan“ fungsi agama Nunusaku untuk
mempersa tukan suku-suku di Maluku yang sudah
menyebar ke berbagai tempat dan sudah menganut
kepercayaan lain, Kristen dan Islam. Sekalipun merupkan
sebuah institusi yang hanya bersifat tradisional, pela
menjadi sebuah ikatan yang disakralkan dan sekaligus
merupakan jaminan terhadap persatuan yang melampaui
batas suku dan agama bagi masyarakat Maluku Tengah dan
juga Ambon, karena disertai oleh aturan-aturan yang
ditetapkan dengan sumpah oleh para pemimpin suku pada
masa lalu.
Artikel Jurnal
http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/40/35
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public
bersama melalui pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut
sebagai civic pluralism, di mana ada ruang partisipasi bagi
masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara damai di
atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog
dan kerja sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan
melalui kebijakan publik negara (Buku ketiga 58).
64
c. Keterlibatan Perempuan
1) Peran Perempuan dalam Konteks Sosial Budaya
Ketiadaan analisa tentang keberadaan perempuan dalam
analisa sosial menghasilkan analisa sosial yang tidak lengkap.
Bagaimanapun keberadaan perempuan dalam masyarakat
memberikan posisi penting dalam tafsir sosial. Keberadaan
tersebut bukan hanya kedudukannya sebagai individu
perempuan, melainkan juga perannya dalam masyarakat dan
pengaruh perannya terhadap perubahan sosial.
Dalam teori sosial Parson, peran didefenisikan sebagai
harapan-harapan yang diorganisasi terkait dengan konteks
interaksi tertentu yang membentuk orientasi motivasional
individu terhadap yang lain. Makna peran dapat didefinisikan
sebagai berikut:
a) Peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola
dan berada di sekitar hak dan kewajiban tertentu.
b) Peran berhubungan dengan status seseorang pada
kelompok tertentu atau situasi sosial tertentu yang
dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain terhadap
perilaku yang seharusnya ditampilkan oleh orang yang
bersangkutan.
c) Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra (image)
yang ingin dikembangkan oleh seseorang. Dengan
demikian, peran adalah keseluruhan pola budaya yang
dihubungkan dengan status individu yang bersangkutan.
d) Penilaian terhadap terhadap keragaan suatu peran sudah
menyangkut nilai baik dan buruk, tinggi dan rendah atau
banyak dan sedikit. Peran gender yang dibebankan pada
seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu
masyarakat yang ditentukan oleh keadaan mereka sebagai
perempuan dan atau lelaki yang sudah mencakup aspek
penilaian.
Kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat
mempengaruhi peran yang dilakukan. Dalam melaksanakan
perannya, perempuan berhadapan dengan nilai-nilai yang
disematkan masyarakat kepadanya, nilai-nilai yang terkadang
65
diskriminatif hanya karena perbedaan jenis kelamin dengan
laki-laki.
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja
antara lelaki dan perempuan menggambarkan peran
perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut jenis
kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan
peran lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam
masyarakat mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh
seorang perempuan. Berikut peran perempuan dilihat dari
tradisi pembentukannya. Pertama, Peran Tradisi
menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi
(mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak,
serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga.
Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan
lelaki di luar rumah. Kedua, peran transisi mempolakan peran
tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas
mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan
keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggungjawab
perempuan.
Ketiga, dwiperan memposisikan perempuan dalam
kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik
dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral
suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami
akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik
terbuka atau terpendam. Keempat, Peran egalitarian menyita
waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.
Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki
untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan
pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah
masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari
pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana
kehidupan berkeluarga. Kelima, Peran kontemporer adalah
dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam
kesendirian. Jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi
benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum
terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan
meningkatkan populasinya.
66
Artikel
http://dp3a.semarangkota.go.id/storage/app/media/E-book/peran-
peran-perempuan-dalam-masyarakat.pdf
67
adalah pengakuan tentang peran perempuan selama konflik
berlangsung hingga terciptanya perdamaian. Peran
perempuan sebagai inisiator perdamaian menjadi sirna saat
perundingan perdamaian berlangsung hingga perdamaian
dapat dieksekusi. Akibatnya, hak-hak perempuan gagal
diterjemahkan menjadi kebijakan-kebijakan konkret setelah
perdamaian terjadi.
Artikel
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/40/23
Artikel
https://ijws.ub.ac.id/index.php/ijws/article/view/104
d. Keterlibatan Pemuda
Pemuda dalam masyarakat merupakan kekuatan penting
yang mendukung perubahan sosial. Eksistensi pemuda menjadi
68
salah satu penggerak kekuatan sosial karena kreativitas serta
kebaruan pengetahuan yang melekat pada diri mereka.Eskalasi
konflik dan kekerasan baik dalam skala regional maupun nasional
yang secara khusus melibatkan pemuda sebagai pelaku aktif di
dalarnnya membutuhkan proses penanganan serius dan
pembelajaran tentang peacebuilding, nir-kekerasan dan peace
culture yang mendorong pemuda melakukan tindakan nir-
kekerasan terhadap situasi sosial yang terjadi di lingkungannya.
Jadi, pola-pola peacebuilding dibutuhkan dalam upaya
menanamkan nilai-nilai perdamaian dan nir-kekerasan demi
menciptakan peace culture.
Aktivitas pemuda yang berkaitan dengan gerakan
perdamaian adalah jawaban untuk memberantas kaum muda
‘kekerasan potensial di masa depan. Ini menyesuaikan tempat
luas dibuka, menjembatani dialog, mengundang semakin banyak
generasi muda untuk bertemu dan berbicara satu sama lain,
memahami identitas dan menghormati perbedaan di antara
mereka. Generasi perdamaian merupakan komunitas yang aktif
dalam resolusi konflik dan perdamaian dalam masyarakat
pemuda. Dalam telah terlibat dan memulai banyak kegiatan
pemuda mengenai proses perdamaian dengan mempromosikan
nilai-nilai intinya seperti pemuda, partisipasi, pluralisme, dan
aktif non-kekerasan sebagai dasar penting dari gerakan.
Artikel
http://ejournal.uin-
suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/1150/1060
69
menggunakan “menganyam pandan” pertemanan antar
individu. Masing-masing kemudian membawa teman untuk
bekerja sama. Teman tersebut memiliki jejaring dan akhirnya
membentuk jejaring komunitas baru hingga membentuk
komunitas se-kota Ambon. Komunitas-komunitas ini pun
belakangan menyebut diri mereka sebagai “provokator damai”
dan kemudian membuat film. Jika dilihat dari istilah, provokator
pada dasarnya netral dan juga bisa menggerakan orang atau siapa
pun untuk kepentingan apa pun.
Para pemuda atau penggiat itu pun sudah sampai pada
persepsi bahwa sejahat-jahatnya manusia, pasti memiliki benih
damai, kasih dan energy positif. Asumsi tersebut tentunya
mendorong semua pihak yang terlibat untuk tidak lelah mengajak
mantan-mantan pejuang dari kedua bela pihak untuk merajut
kebersamaan. Merajut kebersamaan bukanlah pekerjaan mudah
oleh karena itu perlu diperhitungkan terobosan dan strategi
paling nyaman agar semua pihak dapat bekerja sama dan karena
itu anak muda sebaiknya dilatih untuk membuat terobosan-
terobosan baru demi dan strategi yang inovatif.
Artikel
http://www.paramadina-pusad.or.id/pemuda-dan-gerakan-
perdamaian/
70
Artikel
https://www.youtube.com/watch?v=LOHD5s-stXY&t=1046s
G. Forum Diskusi
Anda diminta mereview salah satu strategi untuk diguankan dalam
rangka mengelola dan merawat keragaman di Indonesia, minimal di
lingkungan (wilayah) tempat tinggal anda.
71
DAFTAR PUSTAKA
72
Beragama (Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi), Jakarta: ICRP &
Penerbit Kompas, pp.198-217
Jan Rikson Tutuboy, Siapakah sesamaku?, SKRIPSI, STAKPN, Ambon,
2009, (Unpublished)
John Samuel. (2007). Public Advocacy and People-Centred Advocacy:
Mobilising. For Social Change.Development in Practice.Vol. 17.No. 4/5
(Aug., 2007), pp. 615-621. http://www.jstor.org/stable/25548260
Kementerian Agama. (2019). Moderasi Beragama, Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI.
Maarif, Ahmad S. et al. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Kita, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Mardiatmaja, B.S. (2003). Beberapa Arah Dialog antar Umat Beragama.
Materi Diskusi dan Lokakarya ICRF-MADIA-TIFA, Jakarta, 19-21
Desember 2003.
Mohammad IqbalAhnaf, et.all (ed.). 2018. PraktikPengelolaanKeragaman di
Indonesia. Yogyakarta: CRCS UGM
Rumahuru, Y.Z. (2022). Advokasi dan Tata Kelola Keragaman (Pidato
Pengukuhan Guru Besar), IAKN Ambon.
---------- (2017). Mengonstruksi Kerukunan Dalam Masyarakat
Pascakonflik: Analisis Aktivitas Kelompok-Kelompok Masyarakat di
Kota Ambon dan Kota Tual yang Menyumbang terhadap Harmoni
Sosisla dan Pengelolaan Keragaman. (Laporan Penelitian), IAKN
Ambon 2017.
---------- (2016). Mengembangkan Dialog untuk Penguatan Misi Agama
yang Transformatif, KENOSIS Vol 2, No.1 Juni 2016.
---------- (2014). Keragaman Agama Sebagai Basis Pembelajaran PAK.
MARA CHRISTY, Vol. V. No 2. Juli - Desember 2014.
Suhadi, et al (Eds.). (2016). Mengelola Keragaman di Indonesia, Yogyakarta:
CRCS UGM
Switler, L. (1990). After The Absolute: The Dialogical Future of Religion
Reflection: Temple University Press, Philadelfhia.
Switler, L. and Mozes Paul. (2000). The Study of Religion in an Age of Global
Dialogue: Temple University Press, Philadelfhia.
73