Anda di halaman 1dari 19

KEGIATAN BELAJAR 4:

STRATEGI MENGELOLA DAN MERAWAT KERAGAMAN

A. Deskripsi Umum
Dalam kegitaan belajar 4 (empat) modul ini, diuraikan beberapa
pemikiran strategis yang dapat digunakan dalam rangka mengelola
dan merawat keragaman. Uraian ini memanfaatkan baik pemikiran
teoretis maupun temuan hasil penelitian dari beberapa orang yang
dirujuk. Hal ini dimaksud untuk memberi gambaran komprehensif
tentang pemikiran dan praktik yang dapat dimodifikasi dalam rangka
menatakelola realitas kemajemukan yang dimiliki masyarakat.

B. Petunjuk Penggunaan Modul


Penulis mengurai secara rinci dan menyebut sumber rujukan materi
ini dengan harapan dapat membantu saudara-saudari mahaiswa
menginversitasi persoalan yang menjadi tantangan pengelolaan
keragaman di Indonesia dan uapya implementasi dan pengembangan
mederasi beragama secara lebih baik.
Beberapa hal yang patut diperhatikan agar pembelajaran modul ini
dapat terserap dengan baik adalah sebagai berikut:
1. Bacalah dengan cermat setiap pernyataan dan penjelasannya
2. Perhatikan secara saksama capaian dan sub capaian yang dibahas
dengan rujukan yang tersedia untuk pendalaman materi
3. Ikuti setiap alur pemikiran yang dikembangkan secara cermat dan
kritis.
4. Perhatikan setiap contoh dan kerjakan latihan/tugas yang diberi.

C. Capaian Pembelajaran dan Sub Capaian Pembelajaran


1. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, naradidik (mahasiswa)
diharapkan mampu menggunakan dan mengembangkan strategi
tertentu dalam rangka mengelola dan merawat keragaman di
Indonesia.

2. Sub Capaian Pembelajaran


a. Menjelaskan advokasi sebagai strategi mengelola dan merawat
keragaman di Indonesia.

55
b. Menganalisis memori kolektif sebagai jalan mengelola dan
merawat keragaman
c. Menganalisis keterlibatan perempuan dalam mengelola dan
merawat keragaman di Indonesia
d. Menganalisis keterlibatan pemuda dalam hal mengelola dan
merawat keragaman di Indonesia

D. Pokok-Pokok Materi
1. Advokasi
2. Memori Kolektif
3. Keterlibatan Perempuan
4. Keterlibatan Pemuda

E. Pokok Materi dalam Peta Konsep

Keterlibatan
Perempuan
Memori
Kolektif

Keterlibatan
Advokaisi
Pemuda

SRATEGI MENGELOLA & MERAWAT KERAGAMAN

56
F. Uraian Materi
1. Pendahuluan
Keragaman sebagai fakta sosial patut dikelola agar
berkontribusi positif dalam membangun masyarakat. Untuk itu
diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengelola dan merawat
keragaman. Studi-studi sebelum terkait pengelolaan keragaman dari
berbagai tempat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
ilmuan dibidang ini, telah turut membantu menelisik pemanfaatan
strategi tertentu sesuai konteks masayarakat kita (Indonesia). Bagian
ini menjelaskan beberapa strategi, yang ditawarkan untuk
pengelolaan keragaman, sekaligus membangun budaya damai
ditengah konflik dan kekerasan yang marak terjadi di Indonesia dua
dekade terakhir ini.

2. Inti
a. Advokasi sebagai strategi mengelola keragaman
Advokasi potensial dijadikan salah satu strategi utama, yang
dapat dilakukan oleh berbagai eleman masyarakat, dan institusi
negara maupun agama secara simultan bersinergi mengelola dan
merawat keragaman sehingga menjadi kekuatan bangsa
Indonesia (Rumahuru, 2022:6)
1) Arti Advokasi dalam Pengelolaan Keragaman
Advokasi secara umum dapat dimengerti sebagai tindakan
meransang dan mendorong suatu perubahan dalam realitas
sosial. Tindakan tersebut didasarkan pada sejumlah prinsip-
prinsip legal-etis untuk mengevaluasi praktik-praktik sosial
atau penerapan hukum. Pada dasarnya didasarkan pada
beberapa elemen-elemen penting, yaitu strategi, informasi dan
mobilisasi masa.
Samuel (2007, pp.615, 616) mendefinisikan advokasi sebagai
bentuk tindakan sosial, sifat dan karakter advokasi publik dan
yang berpusat pada rakyat dibentuk oleh budaya politik,
sistem sosial, dan kerangka kerja konstitusional negara tempat
advokasi itu dipraktikkan. Selain itu, advokasi juga sangat
dipengaruhi oleh cara keputusan dibuat dan kebijakan publik
juga dipengaruhi oleh kepentingan publik tertentu atau
kelompok aksi dalam konteks sosial yang berbeda. Fokus

57
utama advokasi adalah untuk mempengaruhi kebijakan untuk
mulasi, perubahan, dan implementasi terutama untuk suatu
kebijakan publik yang memainkan peranan penting dalam
menentukan arah keadilan sosial, kebebasan politik dan sipil,
dan kepentingan jangka panjang lingkungan dan masyarakat
umum.
Dalam konteks pengelolaan keragaman, advokasi bertujuan
untuk menghadirkan dan menata harmoni sosial sebagai
perwujudan dari pemenuhan hak-hak individu dalam relasi
bermasyarakat. Advokasi sebagai salah satu strategi
membangun dan merawat harmoni dalam penerapannya
mempertimbangan seluruh dimensi sosial. Dimensi-dimensi
sosial itu, antara lain, ekonomi, sosial-budaya, gender, ekologi
dan agama. Apabila salah satu diantara dimensi sosial itu
tidak termasuk dalam pertimbangan advokasi pengelolaan
keragaman, maka terciptalah ketimpangan. Ketimpangan itu
dapat menjadi sumber terjadinya konflik dalam masyarakat,
serta menganggu stabilitas.

2) Bentuk-Bentuk Advokasi
Menurut Bagir (Ed.) (2014, pp. 12-13), secara umum, advokasi
terkait pengelolaan keragaman terdiri dari tiga bentuk.
Pertama, pendidikan publik atau peningkatan kesadaran.
Advokasi yang menyasar pendidikan dan kesadaran publik
ini bersifat jangka panjang. Kedua, advokasi kebijakan; ketiga,
advokasi kasus spesifik. Keterangan lebih ringkas tentang
ketiganya dapat dilihat dalam tabel (Bagir, 2014, p.13) berikut:

No Bentuk Advokasi Sasaran Metode / Media


1 Pendidikan 1. Menggunakan argumen - Kampanye
Publik/Peningkata keagamaan untuk - Penelitian
n Kesadaran memupuk sikap - Penerbitan
inklusif terhadap the - Buku
religious others. - Dialog (elit atau
2. Menggunakan argumen akar rumput atau
sivik tentang keduanya)
kesetaraan warga

58
negara apapun - Live-in di suatu
pandangan dan komunitas,
keyakinan - dll.
keagamaannya.
2 Advokasi 1. Advokasi kebijakan, - Lobi-lobi politik
Kebijakan terhadap UU atau ke pemerintah
regulasi tertentu. ataupun
parlemen.
- Pengajuan suatu
regulasi ke
PUTN.
- Pengajuan judicial
review ke
Mahkamah
Konstitusi.
3 Advokasi Kasus 1. Advokasi legal atas - Litigasi
Spesifik kasus-kasus hukum - Mediasi
tertentu (misalnya - Dialog
tuduhan penodaan - dsb.
agama, pembangunan
rumah ibadah)
2. Advokasi penyelesaian
konflik atas kasus-kasus
konflik tertentu

3) Pemetaan Advokasi Pengelolaan Keragaman


Pengelolaan advokasi dalam konteks keragaman agama
berkaitan erat dengan pluralisme sebagai paham yang
mengakomodir beragam eksistensi agama. Advokasi yang
dilakukan pun menggunakan beragam perangkat analisis
dengan tujuan memenuhi tujuan-tujuan spesifik. Namun,
menurut Baqir (Ed.) advokasi untuk kebebasan beragama
yang setia pada instrumen-instrumen HAM belum tentu sama
dengan advokasi yang menggunakan kerangka pluralis yang
lebih luas. Dalam konteks keragaman di suatu Negara. Agama
termasuk hadir dalam ruang publik. Hadirnya agama di ruang
publik tentunya dapat memunculkan masalah-masalah yang

59
terkait dengan hubungan antara suatu komunitas agama
dengan negara, ataupun antar-komunitas agama.
Oleh karena itu, perlu adanya pemetaan sebagai bagian dari
strategi advokasi penting dilakukan. Pemetaan, atau
pemilahan kelompok-kelompok masalah, penting dilakukan,
betapapun tak sempurnanya (dan nanti akan ditunjukkan
keterbatasannya), karena jika tidak, sulit menemukan sumber
masalah yang beragam dan karenanya juga sulit menemukan
solusi yang tepat. Dalam analisis di atas, sumber utama dari
apa yang disebut sebagai “isu-isu keragaman” adalah
menguatnya ekspresi identitas keagamaan di ruang publik.
Tapi analisis umum ini mencakup begitu banyak hal berbeda,
ekspresinya amat berbeda, dengan sasaran berbeda
Baqir (Ed.) (2014) menjelaskan ada beberapa pemetaan isu
keragaman di Indonesia. Pertama, isu terkait kebijakan publik.
Kebijakan publik dapat dilihat pada level nasional dan level
daerah. Misalnya, mempengaruhi kebijakan nasional secara
tidak langsung (misalnya perdebatan menyangkut beberapa
UU yang mempolarisasi kelompok-kelompok keagamaan
seperti UU Sisdiknas, UU Anti-pornografi, Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama yang menyangkut
pendirian rumah ibadah, SKB tentang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia), maupun yang lebih menyangkut Muslim (seperti
UU Zakat, RUU Jaminan Produk Halal). Kedua, terorisme atas
nama agama. Pemboman yang dilakukan di beberapa tempat
atas nama agama, misalnya pemboman Hotel JW Marriot di
Jakarta tahun 2003, Kedubes Australia, Jakarta pada tahun
2014, Jimbaran dan Kuta, Bali di tahun 2005. Ketiga, konflik
komunal antar-komunitas beragama meledak. Yang paling
menarik perhatian tentunya konflik di Ambon, Maluku dan
Poso, Sulawesi Tengah. Keempat, ada dua isu utama sebagai
sumber konflik antar kelompok-kelompok agama yang makin
sering sejak tahun 2008. Yaitu, terkait dengan tuduhan atas
penodaan agama dan kesulitan membangun rumah ibadah
Selanjutnya, menurut Baqir (Ed.) (2014, pp.9,10) tanpa upaya
pemetaan, sebagian analisis cenderung amat simplistik,
misalnya menisbahkan semua masalah pada “intoleransi”,

60
ketika sebetulnya ada struktur hukum yang keliru, yang lebih
merupakan tanggung jawab negara ketimbang masyarakat. Di
sisi lain, ada hal-hal yang tampaknya tak perlu menjadi urusan
negara, dan sebaiknya diselesaikan dengan mengembangkan
mekanisme pembuatan konsensus di masyarakat, atau
memupuk toleransi individu dan kelompok-kelompok agama.
Pemetaan diharapkan dapat mengidentifikasi karakter-
karakter utama masalah meskipun, sekali lagi, tak pernah
sempurna.

b. Memori Kolektif
1) Arti Memory Kolektif
Memori kolektif bukanlah suatu realitas sosial yang terberi,
melainkan konstruksi sosial. Memori tersebut menjadi bagian
dari komunitas sosial, tetapi bukan mitos atau legenda.
Memori kolektif menjadi bagian dari individu atau kelompok
yang mengingat peristiwa tertentu. Memori kolektif menjadi
bagian dari klas sosial, asosiasi, korporasi, militer,
perkumpulan dagang pun memilki memori khusus yang
dikonstruksikan oleh anggotanya dalam jangka panjang.
Individu maupun kelompok ini berada dalam grup tertentu
berusaha untuk menggambarkan masa lalu. Di dalam memori
tersebut ada peristiwa sejarah yang melekat pada kelompok
tersebut, tetapi terbatas dalam ruang dan waktu (Halbwachs,
1992, p. 22).
Namun, Halbaws (1992, p. 25) membedakan antara memory
autobiografi dan memory historis. Memori otobiografi adalah
memori peristiwa yang telah kita alami secara pribadi di masa
lalu. Ini juga dapat berfungsi untuk memperkuat ikatan antara
peserta, seperti ketika suami dan istri merayakan ulang tahun
pernikahan mereka atau ketika orang pergi ke reuni
perguruan tinggi di mana mereka dapat merekonstruksi dan
memperkuat pengalaman kuliah masa lalu di tengah-tengah
orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Namun, cukup
masuk akal bahwa ingatan otobiografi cenderung memudar
seiring waktu kecuali jika diperkuat secara berkala melalui
kontak dengan orang-orang yang berbagi pengalaman dengan

61
mereka di masa lalu. Memory historis orang tersebut tidak
ingat acara langsung; itu hanya dapat dirangsang secara tidak
langsung membaca atau mendengarkan atau dalam acara
peringatan dan perayaan ketika orang-orang berkumpul
bersama untuk mengingat secara umum perbuatan dan
pencapaian anggota kelompok yang sudah lama pergi. Dalam
hal ini, masa lalu disimpan dan ditafsirkan oleh institusi sosial.
Dalam pengolaan keragaman, memory yang dibentuk bukan
hanya ingatan biografi melainkan juga historis. Masyarakat
tidak hanya mengingat konflik karena interaksi sosial
melainkan juga mengingat konflik secara personal. Konflik
tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi
trauma personal.

2) Pentingnya Memori Kolektif dalam Mengelola Keragaman


Dalam konteks pengelolaan keragaman, menurut Bagir (ed.)
(2015, p. xxii) salah satu aspek penting di dalam membangun
inklusi sosial adalah “memori kolektif” tentang relasi-relasi
sosial yang harmonis yang pernah ada dan tersimpan dalam
banyak bentuk, entah itu cerita-cerita rakyat, babad, maupun
tari-tarian dan nyanyian yang masih sering dipentaskan
bersama. Aspek ini menjadi pintu masuk guna
merekonstruksi-ulang proses-proses inklusi sosial.
Pada sisi yang lain, pengalaman bersama yang positif berupa
sejarah kejayaan masa lalu dan keinginan untuk
menghadirkan kembali narasi-narasi besar tentang masa lalu
untuk pembangunan saat ini dan masa depan, dapat menjadi
energi positif yang dapat mendongkrak semangat dan kerja
bersama sebuah masyarakat.
Walaupun memang patut disadari bahwa tidak semua
rekonstruksi terhadap memori kolektif akan berimplikasi
positif terhadap pembangunan masa depan suatu kelompok
masyarakat. Rekonstruksi memori kolektif bisa mempertebal
rasa kebencian antara satu kelompok dengan kelompok yang
lain apabila ada pengalaman dan tragedi masa lalu yang
sangat membekas (57, Buku ketiga).

62
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public
bersama melalui pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut
sebagai civic pluralism, di mana ada ruang partisipasi bagi
masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara damai di
atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog
dan kerja sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan
melalui kebijakan publik negara (Buku ketiga 58).
Salah satu bentuk penggunaan memori kolektif dalam
mengelola keberagaman di orang Maluku, khususnya orang
Maluku Tengah, percaya bahwa sesungguhnya mereka
berasal dari satu negeri. Kepercayaan ini dikenal sebagai mitos
Nunusaku. Mereka percaya bahwa Nunusaku, sebuah
gunung sakral di pulau Seram, merupakan tempat asal mereka
yang asli. Mereka juga mengakui hukum-hukum adat yang
dimiliki oleh negeri-negeri di Maluku berasal dari sumber
yang sama, yaitu dari Nunusaku. Nunusaku adalah “Nusa
Ina” (Pulau Ibu) bagi mereka. Dari Nunusaku mereka
kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di pulau Seram,
Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut) dan Ambon. Mereka juga
kemudian dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar
yaitu Patasiwa (pata = rumpun atau kelompok, siwa =
sembilan) dan Patalima (pata = rumpun atau kelompok, lima
= lima). Pembagian rumpun ini bukan hanya terjadi di Maluku
Tengah tetapi juga di Maluku Tenggara dan Maluku Utara.
Istilah lain untuk patasiwa dan patalima adalah ulisiwa dan
ulilima atau lorsiwa dan lorlima. Hukum-hukum adat, ritus-
ritus dan pola-pola kekerabatan dari suku-suku yang
termasuk dalam kelompok patasiwa/ursiwa/lorsiwa didasari
atas hitungan sembilan, sedangkan untuk kelompok patalim
a/urlima/lorlima terdiri dari lima satuan kecil.
Misalnya dalam membayar mas kawin atau denda karena
melakukan sebuah pelanggaran orang-orang dalam
kelompok patalima harus membayar dalam kelipatan lima,
sedangkan orang-orang dalam kelompok patasiwa harus
membayar dalam kelipatan sembilan. Patasiwa masih dibagi
lagi atas dua kelompok yaitu patasiwa putih dan patasiwa
hitam. Nunusaku‚ mewariskan kepada suku-suku ini sebuah

63
sistem kepercayaan, yang dikenal dengan agama
Nunusaku, yang dikenal juga sebagai agama asli orang
Maluku, khususnya di Maluku Tengah. Agama Nunusaku
dapat dikatakan menjadi wadah pemersatu antar suku,
meskipun mereka sudah menyebar ke berbagai tempat.
Karena itu sebelum ada pela, yang menjadi wadah pengikat
antar suku, ikatan antar suku-suku di Maluku sudah mulai
terbentuk melalui ikatan terhadap agama Nunusaku.
Dieter Bartels, seorang antropolog asal Amerika yang
banyak melakukan penelitian tentang agama dan budaya
Maluku, mengatakan bahwa pela sesungguhnya merupakan
wadah atau sarana bagi „pelestarian“ agama Nunusaku
dalam kehidupan suku-suku di Maluku Tengah dan Ambon.
Menurut Bartels, agama Nunusaku tidak memiliki struktur
organisasi yang formal, tidak ada pemimpin agamanya,
tidak ada tempat ibadahnya. Karena itu boleh dikatakan
bahwa pela melanjutkan“ fungsi agama Nunusaku untuk
mempersa tukan suku-suku di Maluku yang sudah
menyebar ke berbagai tempat dan sudah menganut
kepercayaan lain, Kristen dan Islam. Sekalipun merupkan
sebuah institusi yang hanya bersifat tradisional, pela
menjadi sebuah ikatan yang disakralkan dan sekaligus
merupakan jaminan terhadap persatuan yang melampaui
batas suku dan agama bagi masyarakat Maluku Tengah dan
juga Ambon, karena disertai oleh aturan-aturan yang
ditetapkan dengan sumpah oleh para pemimpin suku pada
masa lalu.

Artikel Jurnal
http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/40/35
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public
bersama melalui pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut
sebagai civic pluralism, di mana ada ruang partisipasi bagi
masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara damai di
atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog
dan kerja sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan
melalui kebijakan publik negara (Buku ketiga 58).

64
c. Keterlibatan Perempuan
1) Peran Perempuan dalam Konteks Sosial Budaya
Ketiadaan analisa tentang keberadaan perempuan dalam
analisa sosial menghasilkan analisa sosial yang tidak lengkap.
Bagaimanapun keberadaan perempuan dalam masyarakat
memberikan posisi penting dalam tafsir sosial. Keberadaan
tersebut bukan hanya kedudukannya sebagai individu
perempuan, melainkan juga perannya dalam masyarakat dan
pengaruh perannya terhadap perubahan sosial.
Dalam teori sosial Parson, peran didefenisikan sebagai
harapan-harapan yang diorganisasi terkait dengan konteks
interaksi tertentu yang membentuk orientasi motivasional
individu terhadap yang lain. Makna peran dapat didefinisikan
sebagai berikut:
a) Peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola
dan berada di sekitar hak dan kewajiban tertentu.
b) Peran berhubungan dengan status seseorang pada
kelompok tertentu atau situasi sosial tertentu yang
dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain terhadap
perilaku yang seharusnya ditampilkan oleh orang yang
bersangkutan.
c) Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra (image)
yang ingin dikembangkan oleh seseorang. Dengan
demikian, peran adalah keseluruhan pola budaya yang
dihubungkan dengan status individu yang bersangkutan.
d) Penilaian terhadap terhadap keragaan suatu peran sudah
menyangkut nilai baik dan buruk, tinggi dan rendah atau
banyak dan sedikit. Peran gender yang dibebankan pada
seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu
masyarakat yang ditentukan oleh keadaan mereka sebagai
perempuan dan atau lelaki yang sudah mencakup aspek
penilaian.
Kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat
mempengaruhi peran yang dilakukan. Dalam melaksanakan
perannya, perempuan berhadapan dengan nilai-nilai yang
disematkan masyarakat kepadanya, nilai-nilai yang terkadang

65
diskriminatif hanya karena perbedaan jenis kelamin dengan
laki-laki.
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja
antara lelaki dan perempuan menggambarkan peran
perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut jenis
kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan
peran lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam
masyarakat mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh
seorang perempuan. Berikut peran perempuan dilihat dari
tradisi pembentukannya. Pertama, Peran Tradisi
menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi
(mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak,
serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga.
Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan
lelaki di luar rumah. Kedua, peran transisi mempolakan peran
tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas
mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan
keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggungjawab
perempuan.
Ketiga, dwiperan memposisikan perempuan dalam
kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik
dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral
suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami
akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik
terbuka atau terpendam. Keempat, Peran egalitarian menyita
waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.
Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki
untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan
pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah
masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari
pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana
kehidupan berkeluarga. Kelima, Peran kontemporer adalah
dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam
kesendirian. Jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi
benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum
terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan
meningkatkan populasinya.

66
Artikel
http://dp3a.semarangkota.go.id/storage/app/media/E-book/peran-
peran-perempuan-dalam-masyarakat.pdf

2) Peran Perempuan dalam Mengelola Keragaman


Dalam perkembangannya, ketika konflik berlangsung,
perempuan tidak hanya muncul sebagai korban. Tidak jarang
dalam peristiwa konflik sosok perempuan-perempuan
muncul yang secara langsung atau tidak langsung menjadi
penengah di dalam konflik atau bahkan juru damai. Bahkan,
pada beberapa peristiwa, perempuan menjadi benteng
terakhir para pelaku atau korban konflik mencari keselamatan
dan perlindungan. Namun sayangnya, peran-peran ini
kadang tidak terungkap melalui kajian-kajian sejarah
kontemporer. Peran-peran ini baru terungkap ketika
pertanyaan tentang konflik dilontarkan langsung kepada para
perempuan yang terlibat. Berdasarkan data dari Komnas
Perempuan saat terjadi konflik di Poso pada tahun 1998-2005,
perempuan berani mendatangi beberapa wilayah yang
dianggap berbahaya dan rawan terjadinya konflik, seperti
pasar, sarana pendidikan, dan sarana kesehatan. Selain untuk
mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, beberapa
perempuan Poso menyadari bahwa konflik berkepanjangan
akan menghancurkan mereka secara permanen. Banyak dari
mereka menyadari bahwa konflik ini harus dihentikan.
Beberapa aktivis perempuan Poso dengan berani masuk ke
wilayah konflik untuk melakukan penguatan dan mengetahui
masalah tentang konflik yang terjadi. Tim peneliti PMB (2013)
juga menemukan hal yang hampir serupa terkait posisi
perempuan dalam konflik sosial, khususnya di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Berdasarkan pengalaman tersebut disadari bahwa akan lebih
aman menjadikan perempuan-perempuan sebagai agen
perdamaian dalam suatu konflik karena umumnya kedua
belah pihak yang berseteru dapat lebih menerima kehadiran
perempuan untuk bernegosiasi mencapai kesepakatan dalam
perjanjian perdamaian. Namun, negosiasi yang lebih sulit

67
adalah pengakuan tentang peran perempuan selama konflik
berlangsung hingga terciptanya perdamaian. Peran
perempuan sebagai inisiator perdamaian menjadi sirna saat
perundingan perdamaian berlangsung hingga perdamaian
dapat dieksekusi. Akibatnya, hak-hak perempuan gagal
diterjemahkan menjadi kebijakan-kebijakan konkret setelah
perdamaian terjadi.

Artikel
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/40/23

Peran perempuan yang menyumbang terhadap perdamaian


juga terjadi di Ambon. Sekelompok perempuan yang
berjualan terpisah, mampu membawa dagangannya ke
wilayah-wilayah yang dianggap rawan konflik. Perempuan
papalele sebagai perempuan berperan penting dalam
menyumbang perdamaian di level grassroots. Perempuan
pedagang perempuan pedagang di wilayah informal atau
Papalele dengan aktifitas berdagangnya di pasar, sebagai salah
satu aktor dan aktifitas Diplomasi Hibrida yang belum
teridentifikasi sebagai actor dalam resolusi konflik Maluku.
Papalele dengan diplomasi hibrida memperlihatkan
keberadaan Pelaku dan pergerakannya sebagai bentuk
diplomasi yang berada di persimpangan jalur tiga
(Peacemaking through Commerce) dan jalur empat (Peacemaking
through Personal involvement) dalam Diplomasi Multi-Jalur
Berangkat dari pesoalan konflik Maluku dan peran
perempuan dalam resolusi konflik Maluku yang tidak
terakomodasi dalam konsep Diplomasi.

Artikel
https://ijws.ub.ac.id/index.php/ijws/article/view/104

d. Keterlibatan Pemuda
Pemuda dalam masyarakat merupakan kekuatan penting
yang mendukung perubahan sosial. Eksistensi pemuda menjadi

68
salah satu penggerak kekuatan sosial karena kreativitas serta
kebaruan pengetahuan yang melekat pada diri mereka.Eskalasi
konflik dan kekerasan baik dalam skala regional maupun nasional
yang secara khusus melibatkan pemuda sebagai pelaku aktif di
dalarnnya membutuhkan proses penanganan serius dan
pembelajaran tentang peacebuilding, nir-kekerasan dan peace
culture yang mendorong pemuda melakukan tindakan nir-
kekerasan terhadap situasi sosial yang terjadi di lingkungannya.
Jadi, pola-pola peacebuilding dibutuhkan dalam upaya
menanamkan nilai-nilai perdamaian dan nir-kekerasan demi
menciptakan peace culture.
Aktivitas pemuda yang berkaitan dengan gerakan
perdamaian adalah jawaban untuk memberantas kaum muda
‘kekerasan potensial di masa depan. Ini menyesuaikan tempat
luas dibuka, menjembatani dialog, mengundang semakin banyak
generasi muda untuk bertemu dan berbicara satu sama lain,
memahami identitas dan menghormati perbedaan di antara
mereka. Generasi perdamaian merupakan komunitas yang aktif
dalam resolusi konflik dan perdamaian dalam masyarakat
pemuda. Dalam telah terlibat dan memulai banyak kegiatan
pemuda mengenai proses perdamaian dengan mempromosikan
nilai-nilai intinya seperti pemuda, partisipasi, pluralisme, dan
aktif non-kekerasan sebagai dasar penting dari gerakan.

Artikel
http://ejournal.uin-
suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/1150/1060

Gerakan perdamaian oleh pemuda pun telah diupayakan di


Ambon. Kegiatan tersebut sudah mulai berlangsung saat awal-
awal konflik melalui komunitas tari. Komunitas itu terdiri dari
berbagai latar belakang suku dan agama yang berbeda. Relasi
dalam komunitas itu berjalan dengan baik dan tidak
menimbulkan masalah, walaupun keadaan semakin memanas.
Kegiatan beberapa kali dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
dan belum berani mengampanyekan “damai” karena merasa
terancam. Oleh karena itu gerakan perdamaian di Ambon

69
menggunakan “menganyam pandan” pertemanan antar
individu. Masing-masing kemudian membawa teman untuk
bekerja sama. Teman tersebut memiliki jejaring dan akhirnya
membentuk jejaring komunitas baru hingga membentuk
komunitas se-kota Ambon. Komunitas-komunitas ini pun
belakangan menyebut diri mereka sebagai “provokator damai”
dan kemudian membuat film. Jika dilihat dari istilah, provokator
pada dasarnya netral dan juga bisa menggerakan orang atau siapa
pun untuk kepentingan apa pun.
Para pemuda atau penggiat itu pun sudah sampai pada
persepsi bahwa sejahat-jahatnya manusia, pasti memiliki benih
damai, kasih dan energy positif. Asumsi tersebut tentunya
mendorong semua pihak yang terlibat untuk tidak lelah mengajak
mantan-mantan pejuang dari kedua bela pihak untuk merajut
kebersamaan. Merajut kebersamaan bukanlah pekerjaan mudah
oleh karena itu perlu diperhitungkan terobosan dan strategi
paling nyaman agar semua pihak dapat bekerja sama dan karena
itu anak muda sebaiknya dilatih untuk membuat terobosan-
terobosan baru demi dan strategi yang inovatif.

Artikel
http://www.paramadina-pusad.or.id/pemuda-dan-gerakan-
perdamaian/

Lebih lanjut tentang proyek pemuda dan perdamain,


pembuat film peace provocator diawali dengan kegiatan
rekonsiliasi dan sharing bersama untuk menggali persepsi awal
para pemuda dari masing-masing komunitas. Pada upaya
rekonsiliasi mereka menemukan bahwa masing-masing pemuda
dari komunitas berbeda menyampaikan ketakutan mereka dan
kecurigaan mereka terhadap tinggal bersama dalam komunitas.
Kelompok pemuda ini diarahkan untuk live in di komunitas
berbeda. Setelah tinggal beberapa hari, para pemuda itu
diarahkan untuk memberikan pendapat dan kesan mereka
tentang keluarga, komunitas yang berinteraksi dengan mereka.
Selengkapnya tentang film tersebut dapat dilihat pada link di
bawah ini.

70
Artikel
https://www.youtube.com/watch?v=LOHD5s-stXY&t=1046s

G. Forum Diskusi
Anda diminta mereview salah satu strategi untuk diguankan dalam
rangka mengelola dan merawat keragaman di Indonesia, minimal di
lingkungan (wilayah) tempat tinggal anda.

71
DAFTAR PUSTAKA

Adeney-Risakotta, B., (Ed.). (2015). Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama


dan Isu-isu Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia,
(Diterjemahkan oleh G. Admiranto, Maufur, dan Ilyas Hasan).
Yogyakarta: Mizan Pustaka
Ahnaf, Iqbal M. et al (Eds.). (2016). Papua Mengelola Keragaman: Pengalaman
Warga Kampung Wonorejo, Kab.Keerom, Papua, Yogyakarta: CRCS
UGM
Ahnaf, Iqbal M. et al (Eds.). (2018). Praktik Pengelolaan Keragaman di
Indonesia: Konstruksi Identitas dan Eksklusi Sosial (Buku Kedua),
Yogyakarta: CRCS UGM
Ahnaf, Iqbal M. et al (Eds.). (2018). Praktik Pengelolaan Keragaman di
Indonesia: Jalan-jalan Alternatif Membangun Inklusi Sosial (Buku Ketiga),
Yogyakarta: CRCS UGM
Ali-Fauzi, Ihsan (Ed.). (2019). Buku Panduan Melawan Hasutan Kebencian,
Jakarta: PUSAD Yayasan Paramadina
Bagir, Z.A. (ed.). (2014). MengelolaKebebesandanKeragaman Agama di
Indonesia. Yogyakarta: CRCS UGM
Bagir, Z.A. (Ed.). (2014). Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di
Indonesia: Sejarah, Teori dan Advokasi (Buku Satu). Yogyakarta: CRCS
Sekolah Pascasarjana UGM
Bagir, Z.A. (Ed.). (2014). Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di
Indonesia: Refleksi atas Beberapa Pendekatan Advokasi (Buku Kedua).
Yogyakarta: CRCS Sekolah Pascasarjana UGM
Bagir, Z.A. et al. (2011). Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik di Indonesia,
Yogyakarta: CRCS UGM dan MIZAN Pustaka
Boellstorff, Tom. (2005). The Gay Archipelago: The Sexuality and Nation in
Indonesia, New Jersey: Princeton University Press
Epafras, L.C. (2016). “Agama dan Mayantara/Internet”, dalam Sojan, et al.
Lokakarya Pengayaan Wacana Agama & Kekerasan. Yogyakarta: ICRS
UGM.
Forward, M. (2001). Iter-Religious Dialogue: One World, Oxford.
George, Cherian. (2017). Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan
Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi, (Diterjemahkan oleh: Tim
PUSAD Paramadina dan IIS UGM), Jakarta: PUSAD Yayasan
Paramadina
Halbwachs, Maurice. (1992). On Collective Memory. Chicago: University of
Chicago Press
Hasan, Nooehaidi. (2009). “Multikulturalisme dan Tantangan
Radikalisme” dalam Taher, E.P. (Ed.), Merayakan Kebebasan

72
Beragama (Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi), Jakarta: ICRP &
Penerbit Kompas, pp.198-217
Jan Rikson Tutuboy, Siapakah sesamaku?, SKRIPSI, STAKPN, Ambon,
2009, (Unpublished)
John Samuel. (2007). Public Advocacy and People-Centred Advocacy:
Mobilising. For Social Change.Development in Practice.Vol. 17.No. 4/5
(Aug., 2007), pp. 615-621. http://www.jstor.org/stable/25548260
Kementerian Agama. (2019). Moderasi Beragama, Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI.
Maarif, Ahmad S. et al. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Kita, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Mardiatmaja, B.S. (2003). Beberapa Arah Dialog antar Umat Beragama.
Materi Diskusi dan Lokakarya ICRF-MADIA-TIFA, Jakarta, 19-21
Desember 2003.
Mohammad IqbalAhnaf, et.all (ed.). 2018. PraktikPengelolaanKeragaman di
Indonesia. Yogyakarta: CRCS UGM
Rumahuru, Y.Z. (2022). Advokasi dan Tata Kelola Keragaman (Pidato
Pengukuhan Guru Besar), IAKN Ambon.
---------- (2017). Mengonstruksi Kerukunan Dalam Masyarakat
Pascakonflik: Analisis Aktivitas Kelompok-Kelompok Masyarakat di
Kota Ambon dan Kota Tual yang Menyumbang terhadap Harmoni
Sosisla dan Pengelolaan Keragaman. (Laporan Penelitian), IAKN
Ambon 2017.
---------- (2016). Mengembangkan Dialog untuk Penguatan Misi Agama
yang Transformatif, KENOSIS Vol 2, No.1 Juni 2016.
---------- (2014). Keragaman Agama Sebagai Basis Pembelajaran PAK.
MARA CHRISTY, Vol. V. No 2. Juli - Desember 2014.
Suhadi, et al (Eds.). (2016). Mengelola Keragaman di Indonesia, Yogyakarta:
CRCS UGM
Switler, L. (1990). After The Absolute: The Dialogical Future of Religion
Reflection: Temple University Press, Philadelfhia.
Switler, L. and Mozes Paul. (2000). The Study of Religion in an Age of Global
Dialogue: Temple University Press, Philadelfhia.

73

Anda mungkin juga menyukai