Anda di halaman 1dari 14

KEGIATAN BELAJAR 3:

STRATEGI MENGELOLA DAN


MERAWAT KERAGAMAN

CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KEGIATAN


Setelah mempelajari materi ini, naradidik (mahasiswa) diharapkan
mampu merancang strategi untuk mengelola dan merawat
keragaman.

POKOK-POKOK MATERI
1. Advokasi mengelola keberagaman
2. Memori Kolektif
3. Keterlibatan Perempuan
4. Keterlibatan Pemuda
5. Pembangunan Perdamaian

URAIN MATERI :
STRATEGI MENGELOLA DAN MERAWAT KEBERAGAMAN

1. Advokasi Mengelola Keberagaman


a. Arti Advokasi dalam Pengelolaan Keragaman
Advokasi secara umum dapat dimengerti sebagai tindakan meransang
dan mendorong suatu perubahan dalam realitas sosial. Tindakan tersebut
didasarkan pada sejumlah prinsip-prinsip legal-etis untuk mengevaluasi praktik-
praktik sosial atau penerapan hukum. Pada dasarnya didasarkan pada beberapa
elemen-elemen penting, yaitu strategi, informasi dan mobilisasi massa. .
Samuel (2007, pp.615, 616) mendefinisikan advokasi sebagai bentuk
tindakan sosial, sifat dan karakter advokasi publik dan yang berpusat pada

1
rakyat dibentuk oleh budaya politik, sistem sosial, dan kerangka kerja
konstitusional negara tempat advokasi itu dipraktikkan. Selain itu, advokasi
juga sangat dipengaruhi oleh cara keputusan dibuat dan kebijakan publik juga
dipengaruhi oleh kepentingan publik tertentu atau kelompok aksi dalam konteks
sosial yang berbeda. Fokus utama advokasi adalah untuk mempengaruhi
kebijakan untuk mulasi, perubahan, dan implementasi terutama untuk suatu
kebijak an publik yang memainkan peranan penting dalam menentukan arah
keadilan sosial, kebebasan politik dan sipil, dan kepentingan jangka panjang
lingkungan dan masyarakat umum.
Dalam konteks pengelolaan keragaman, advokasi bertujuan untuk
menghadirkan dan menata harmoni sosial sebagai perwujudan dari pemenuhan
hak-hak individu dalam relasi bermasyarakat. Advokasi sebagai salah satu
strategi membangun dan merawat harmoni dalam penerapannya
mempertimbangan seluruh dimensi sosial. Dimensi-dimensi sosial itu, antara
lain, ekonomi, sosial-budaya, gender, ekologi dan agama. Apabila salah satu
diantara dimensi sosial itu tidak termasuk dalam pertimbangan advokasi
pengelolaan keragaman, maka terciptalah ketimpangan. Ketimpangan itu dapat
menjadi sumber terjadinya konflik dalam masyarakat, serta menganggu
stabilitas.
b. Bentuk-Bentuk Advokasi
Menurut Bagir (Ed.) (2014, pp. 12-13), secara umum, advokasi terkait
pengelolaan keragaman terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pendidikan publik atau
peningkatan kesadaran. Advokasi yang menyasar pendidikan dan kesadaran
publik ini bersifat jangka panjang. Kedua, advokasi kebijakan; ketiga, advokasi
kasus spesifik. Keterangan lebih ringkas tentang ketiganya dapat dilihat dalam
tabel (Bagir, 2014, p.13) berikut:

No Bentuk Advokasi Sasaran Metode / Media


1 Pendidikan 1. Menggunakan argumen - Kampanye
Publik/Peningkata keagamaan untuk - Penelitian

2
n Kesadaran memupuk sikap inklusif - Penerbitan
terhadap the religious others. - Buku
2. Menggunakan argumen - Dialog (elit atau akar
sivik tentang kesetaraan rumput atau keduanya)
warga negara - Live-in di suatu komunitas,
apapun pandangan dan - dll.
keyakinan keagamaannya.
2 Advokasi 1. Advokasi kebijakan, - Lobi-lobi politik ke
Kebijakan terhadap UU atau regulasi pemerintah ataupun
tertentu. parlemen.
- Pengajuan suatu regulasi ke
PUTN.
- Pengajuan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi.
3 Advokasi Kasus 1. Advokasi legal atas kasus- - Litigasi
Spesifik kasus hukum - Mediasi
tertentu (misalnya tuduhan - Dialog
penodaan agama, - dsb.
pembangunan rumah
ibadah)
2. Advokasi penyelesaian
konflik atas kasus-kasus
konflik tertentu

c. Pemetaan Advokasi Pengelolaan Keragaman


Pengelolaan advokasi dalam konteks keragaman agama berkaitan erat
dengan pluralisme sebagai paham yang mengakomodir beragam eksistensi
agama. Advokasi yang dilakukan pun menggunakan beragam perangkat analisis
dengan tujuan memenuhi tujuan-tujuan spesifik. Namun, menurut Baqir (Ed.) ()
advokasi untuk kebebasan beragama yang setia pada instrumen-instrumen HAM
belum tentu sama dengan advokasi yang menggunakan kerangka pluralis yang

3
lebih luas. Dalam konteks keragaman di suatu Negara. Agama termasuk hadir
dalam ruang publik. Hadirnya agama di ruang publik tentunya dapat
memunculkan masalah-masalah yang terkait dengan hubungan antara suatu
komunitas agama dengan negara, ataupun antar-komunitas agama.
Oleh karena itu, perlu adanya pemetaan sebagai bagian dari strategi advokasi
penting dilakukan. Pemetaan, atau pemilahan kelompok-kelompok masalah,
penting dilakukan, betapapun tak sempurnanya (dan nanti akan ditunjukkan
keterbatasannya), karena jika tidak, sulit menemukan sumber masalah yang
beragam dan karenanya juga sulit menemukan solusi yang tepat. Dalam analisis
di atas, sumber utama dari apa yang disebut sebagai “isu-isu keragaman” adalah
menguatnya ekspresi identitas keagamaan di ruang publik. Tapi analisis umum
ini mencakup begitu banyak hal berbeda, ekspresinya amat berbeda, dengan
sasaran berbeda
Baqir (Ed.) (2014) menjelaskan ada beberapa pemetaan isu keragaman di
Indonesia. Pertama, isu terkait kebijakan publik. Kebijakan publik dapat dilihat
pada level nasional dan level daerah. Misalnya, mempengaruhi kebijakan
nasional secara tidak langsung (misalnya perdebatan menyangkut beberapa UU
yang mempolarisasi kelompok-kelompok keagamaan seperti UU Sisdiknas, UU
Anti-pornografi, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
yang menyangkut pendirian rumah ibadah, SKB tentang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia), maupun yang lebih menyangkut Muslim (seperti UU Zakat, RUU
Jaminan Produk Halal). Kedua, terorisme atas nama agama. Pemboman yang
dilakukan di beberapa tempat atas nama agama, misalnya pemboman Hotel JW
Marriot di Jakarta tahun 2003, Kedubes Australia, Jakarta pada tahun 2014,
Jimbaran dan Kuta, Bali di tahun 2005. Ketiga, konflik komunal antar-komunitas
beragama meledak. Yang paling menarik perhatian tentunya konflik di Ambon,
Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah. Keempat, ada dua isu utama sebagai sumber
konflik antar kelompok-kelompok agama yang makin sering sejak tahun 2008.
Yaitu, terkait dengan tuduhan atas penodaan agama dan kesulitan membangun
rumah ibadah

4
Selanjutnya, menurut Baqir (Ed.) (2014, pp.9,10) tanpa upaya pemetaan,
sebagian analisis cenderung amat simplistik, misalnya menisbahkan semua
masalah pada “intoleransi”, ketika sebetulnya ada struktur hukum yang keliru,
yang lebih merupakan tanggung jawab negara ketimbang masyarakat. Di sisi
lain, ada hal-hal yang tampaknya tak perlu menjadi urusan negara, dan
sebaiknya diselesaikan dengan mengembangkan mekanisme pembuatan
konsensus di masyarakat, atau memupuk toleransi individu dan kelompok-
kelompok agama. Pemetaan diharapkan dapat mengidentifikasi karakter-
karakter utama masalah meskipun, sekali lagi, tak pernah sempurna.
2. Memori kolektif
a. Arti Memory Kolektif
Memori kolektif bukanlah suatu realitas sosial yang terberi, melainkan
konstruksi sosial. Memori tersebut menjadi bagian dari komunitas sosial, tetapi
bukan mitos atau legenda. Memori kolektif menjadi bagian dari individu atau
kelompok yang mengingat peristiwa tertentu. Memori kolektif menjadi bagian
dari klas sosial, asosiasi, korporasi, militer, perkumpulan dagang pun memilki
memori khusus yang dikonstruksikan oleh anggotanya dalam jangka panjang.
Individu maupun kelompok ini berada dalam grup tertentu berusaha untuk
menggambarkan masa lalu. Di dalam memori tersebut ada peristiwa sejarah
yang melekat pada kelompok tersebut, tetapi terbatas dalam ruang dan waktu
(Halbwachs, 1992, p. 22).
Namun, Halbaws (1992, p. 25) membedakan antara memory autobiografi dan
memory historis. Memori otobiografi adalah memori peristiwa yang telah kita
alami secara pribadi di masa lalu. Ini juga dapat berfungsi untuk memperkuat
ikatan antara peserta, seperti ketika suami dan istri merayakan ulang tahun
pernikahan mereka atau ketika orang pergi ke reuni perguruan tinggi di mana
mereka dapat merekonstruksi dan memperkuat pengalaman kuliah masa lalu di
tengah-tengah orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Namun, cukup
masuk akal bahwa ingatan otobiografi cenderung memudar seiring waktu
kecuali jika diperkuat secara berkala melalui kontak dengan orang-orang yang
berbagi pengalaman dengan mereka di masa lalu. Memory historis orang

5
tersebut tidak ingat acara langsung; itu hanya dapat dirangsang secara tidak
langsung membaca atau mendengarkan atau dalam acara peringatan dan
perayaan ketika orang-orang berkumpul bersama untuk mengingat secara
umum perbuatan dan pencapaian anggota kelompok yang sudah lama pergi.
Dalam hal ini, masa lalu disimpan dan ditafsirkan oleh institusi sosial.
Dalam pengolaan keragaman, memory yang dibentuk bukan hanya ingatan
biografi melainkan juga historis. Masyarakat tidak hanya mengingat konflik
karena interaksi sosial melainkan juga mengingat konflik secara personal.
Konflik tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi trauma personal.
b. Pentingnya Memori Kolektif dalam Mengelola Keragaman
Dalam konteks pengelolaan keragaman, menurut Bagir (ed.) (2015, p. xxii)
salah satu aspek penting di dalam membangun inklusi sosial adalah “memori
kolektif” tentang relasi-relasi sosial yang harmonis yang pernah ada dan
tersimpan dalam banyak bentuk, entah itu cerita-cerita rakyat, babad, maupun
tari-tarian dan nyanyian yang masih sering dipentaskan bersama. Aspek ini
menjadi pintu masuk guna merekonstruksi-ulang proses-proses inklusi sosial.
Pada sisi yang lain, pengalaman bersama yang positif berupa sejarah
kejayaan masa lalu dan keinginan untuk menghadirkan kembali narasi-narasi
besar tentang masa lalu untuk pembangunan saat ini dan masa depan, dapat
menjadi energi positif yang dapat mendongkrak semangat dan kerja bersama
sebuah masyarakat.
Walaupun memang patut disadari bahwa tidak semua rekonstruksi terhadap
memori kolektif akan berimplikasi positif terhadap pembangunan masa depan
suatu kelompok masyarakat. Rekonstruksi memori kolektif bisa mempertebal
rasa kebencian antara satu kelompok dengan kelompok yang lain apabila ada
pengalaman dan tragedi masa lalu yang sangat membekas (57, Buku ketiga).
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public bersama melalui
pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut sebagai civic pluralism, di mana ada
ruang partisipasi bagi masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara
damai di atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog dan kerja

6
sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan melalui kebijakan publik
negara (Buku ketiga 58).
Salah satu bentuk penggunaan memori kolektif dalam mengelola
keberagaman di Orang Maluku, khususnya orang Maluku Tengah, percaya
bahwa sesungguhnya mereka berasal dari satu negeri. Kepercayaan ini
dikenal sebagai mitos Nunusaku. Mereka percaya bahwa Nunusaku, sebuah
gunung sakral di pulau Seram, merupakan tempat asal mereka yang asli. Mereka
juga mengakui hukum-hukum adat yang dimiliki oleh negeri-negeri di Maluku
berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Nunusaku. Nunusaku adalah
“Nusa Ina“ (Pulau Ibu) bagi mereka. Dari Nunusaku mereka kemudian
menyebar ke bagian-bagian lain di pulau Seram, Lease (Haruku, Saparua,
Nusalaut) dan Ambon. Mereka juga kemudian dikelompokkan ke dalam
dua kelompok besar yaitu Patasiwa (pata = rumpun atau kelompok, siwa =
sembilan) dan Patalima (pata = rumpun atau kelompok, lima = lima).
Pembagian rumpun ini bukan hanya terjadi di Maluku Tengah tetapi juga di
Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Istilah lain untuk patasiwa dan patalima
adalah ulisiwa dan ulilima atau lorsiwa dan lorlima. Hukum-hukum adat, ritus-
ritus dan pola-pola kekerabatan dari suku-suku yang termasuk dalam
kelompok patasiwa/ursiwa/lorsiwa didasari atas hitungan sembilan,
sedangkan untuk kelompok patalim a/urlima/lorlima terdiri dari lima
satuan kecil.
Misalnya dalam membayar mas kawin atau denda karena melakukan
sebuah pelanggaran orang-orang dalam kelompok patalima harus membayar
dalam kelipatan lima, sedangkan orang-orang dalam kelompok patasiwa
harus membayar dalam kelipatan sembilan. Patasiwa masih dibagi lagi atas dua
kelompok yaitu patasiwa putih dan patasiwa hitam. Nunusaku ‚mewariskan„
kepada suku-suku ini sebuah sistem kepercayaan, yang dikenal dengan
agama Nunusaku, yang dikenal juga sebagai agama asli orang Maluku,
khususnya di Maluku Tengah. Agama Nunusaku dapat dikatakan menjadi
wadah pemersatu antar suku, meskipun mereka sudah menyebar ke berbagai
tempat. Karena itu sebelum ada pela, yang menjadi wadah pengikat antar

7
suku, ikatan antar suku-suku di Maluku sudah mulai terbentuk melalui
ikatan terhadap agama Nunusaku. Dieter Bartels, seorang antropolog
asal Amerika yang banyak melakukan penelitian tentang agama dan
budaya Maluku, mengatakan bahwa pela sesungguhnya merupakan wadah
atau sarana bagi „pelestarian“ agama Nunusaku dalam kehidupan suku-
suku di Maluku Tengah dan Ambon. Menurut Bartels, agama Nunusaku tidak
memiliki struktur organisasi yang formal, tidak ada pemimpin agamanya,
tidak ada tempat ibadahnya. Karena itu boleh dikatakan bahwa pela
melanjutkan“ fungsi agama Nunusaku untuk mempersa tukan suku-suku di
Maluku yang sudah menyebar ke berbagai tempat dan sudah menganut
kepercayaan lain, Kristen dan Islam. Sekalipun merupkan sebuah institusi
yang hanya bersifat tradisional, pela menjadi sebuah ikatan yang
disakralkan dan sekaligus merupakan jaminan terhadap persatuan yang
melampaui batas suku dan agama bagi masyarakat Maluku Tengah dan juga
Ambon, karena disertai oleh aturan-aturan yang ditetapkan dengan sumpah
oleh para pemimpin suku pada masa lalu. Art
Artikel Jurnal
http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/40/35
Memori kolektif perlu dihadirkan dalam ruang public bersama melalui
pendekatan yang oleh Robert Hefner disebut sebagai civic pluralism, di mana ada
ruang partisipasi bagi masyarakat sipil untuk mengatur masyarakat secara
damai di atas dasar pengakuan keragaman dengan membangun dialog dan kerja
sama untuk kemudian dapat diinstitusionalisasikan melalui kebijakan publik
negara (Buku ketiga 58).
3. Keterlibatan Perempuan
a. Peran Perempuan dalam Konteks Sosial Budaya
Ketiadaan analisa tentang keberadaan perempuan dalam analisa sosial
menghasilkan analisa sosial yang tidak lengkap. Bagaimanapun keberadaan
perempuan dalam masyarakat memberikan posisi penting dalam tafsir sosial.
Keberadaan tersebut bukan hanya kedudukannya sebagai individu perempuan,

8
melainkan juga perannya dalam masyarakat dan pengaruh perannya terhadap
perubahan sosial.
Dalam teori sosial Parson, peran didefenisikan sebagai harapan-harapan yang
diorganisasi terkait dengan konteks interaksi tertentu yang membentuk orientasi
motivasional individu terhadap yang lain. Makna peran dapat didefinisikan
sebagau berikut:
1. Peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola dan berada di
sekitar hak dan kewajiban tertentu.
2. Peran berhubungan dengan status seseorang pada kelompok tertentu atau
situasi sosial tertentu yang dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang
lain terhadap perilaku yang seharusnya ditampilkan oleh orang yang
bersangkutan.
3. Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra (image) yang ingin
dikembangkan oleh seseorang. Dengan demikian, peran adalah
keseluruhan pola budaya yang dihubungkan dengan status individu yang
bersangkutan.
4. Penilaian terhadap terhadap keragaan suatu peran sudah menyangkut nilai
baik dan buruk, tinggi dan rendah atau banyak dan sedikit. Peran gender
yang dibebankan pada seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu
masyarakat yang ditentukan oleh keadaan mereka sebagai perempuan dan
atau lelaki yang sudah mencakup aspek penilaian.
Kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat mempengaruhi peran
yang dilakukan. Dalam melaksanakan perannya, perempuan berhadapan
dengan nilai-nilai yang disematkan masyarakat kepadanya, nilai-nilai yang
terkadang diskriminatif hanya karena perbedaan jenis kelamin dengan laki-laki.
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki dan
perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja
menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan peran
lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat
mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh seorang perempuan. Berikut
peran perempuan dilihat dari tradisi pembentukannya. Pertama, Peran Tradisi

9
menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga,
melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100%
untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan
lelaki di luar rumah. Kedua, peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama
dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi
eksistensi mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap
tanggungjawab perempuan. Ketiga, dwiperan memposisikan perempuan dalam
kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam
posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya
keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik
terbuka atau terpendam. Keempat, Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian
perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian
lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan
pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan
saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan
ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga. Kelima, Peran kontemporer
adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian.
Jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi benturan dari dominasi lelaki
atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan
mungkin akan meningkatkan populasinya.
Artikel
http://dp3a.semarangkota.go.id/storage/app/media/E-book/peran-peran-
perempuan-dalam-masyarakat.pdf

b. Peran Perempuan dalam Mengelola Keragaman


Dalam perkembangannya, ketika konflik berlangsung, perempuan tidak
hanya muncul sebagai korban. Tidak jarang dalam peristiwa konflik sosok
perempuan-perempuan muncul yang secara langsung atau tidak langsung
menjadi penengah di dalam konflik atau bahkan juru damai. Bahkan, pada
beberapa peristiwa, perempuan menjadi benteng terakhir para pelaku atau
korban konflik mencari keselamatan dan perlindungan. Namun sayangnya,

10
peran-peran ini kadang tidak terungkap melalui kajian-kajian sejarah
kontemporer. Peran-peran ini baru terungkap ketika pertanyaan tentang konflik
dilontarkan langsung kepada para perempuan yang terlibat. Berdasarkan data
dari Komnas Perempuan saat terjadi konflik di Poso pada tahun 1998-2005,
perempuan berani mendatangi beberapa wilayah yang dianggap berbahaya dan
rawan terjadinya konflik, seperti pasar, sarana pendidikan, dan sarana
kesehatan. Selain untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya,
beberapa perempuan Poso menyadari bahwa konflik berkepanjangan akan
menghancurkan mereka secara permanen. Banyak dari mereka menyadari
bahwa konflik ini harus dihentikan. Beberapa aktivis perempuan Poso dengan
berani masuk ke wilayah konflik untuk melakukan penguatan dan mengetahui
masalah tentang konflik yang terjadi. Tim peneliti PMB (2013) juga menemukan
hal yang hampir serupa terkait posisi perempuan dalam konflik sosial,
khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nusa Tenggara Barat
(NTB). Berdasarkan pengalaman tersebut disadari bahwa akan lebih aman
menjadikan perempuan-perempuan sebagai agen perdamaian dalam suatu
konflik karena umumnya kedua belah pihak yang berseteru dapat lebih
menerima kehadiran perempuan untuk bernegosiasi mencapai kesepakatan
dalam perjanjian perdamaian.
Namun, negosiasi yang lebih sulit adalah pengakuan tentang peran
perempuan selama konflik berlangsung hingga terciptanya perdamaian. Peran
perempuan sebagai inisiator perdamaian menjadi sirna saat perundingan
perdamaian berlangsung hingga perdamaian dapat dieksekusi. Akibatnya, hak-
hak perempuan gagal diterjemahkan menjadi kebijakan-kebijakan konkret
setelah perdamaian terjadi.
Artikel
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/40/23
Peran perempuan yang menyumbang terhadap perdamaian juga terjadi di
Ambon. Sekelompok perempuan yang berjualan terpisah, mampu membawa
dagangannya ke wilayah-wilayah yang dianggap rawan konflik. Perempuan
papalele sebagai perempuan berperan penting dalam menyumbang perdamaian

11
di level grassroots. Perempuan pedagang perempuan pedagang di wilayah
informal atau Papalele dengan aktifitas berdagangnya di pasar, sebagai salah satu
aktor dan aktifitas Diplomasi Hibrida yang belum teridentifikasi sebagai actor
dalam resolusi konflik Maluku. Papalele dengan diplomasi hibrida
memperlihatkan keberadaan Pelaku dan pergerakannya sebagai bentuk
diplomasi yang berada di persimpangan jalur tiga (Peacemaking through
Commerce) dan jalur empat (Peacemaking through Personal involvement) dalam
Diplomasi Multi-Jalur Berangkat dari pesoalan konflik Maluku dan peran
perempuan dalam resolusi konflik Maluku yang tidak terakomodasi dalam
konsep Diplomasi.
Artikel
https://ijws.ub.ac.id/index.php/ijws/article/view/104
4. Keterlibatan Pemuda
Pemuda dalam masyarakat merupakan kekuatan penting yang mendukung
perubahan sosial. Eksistensi pemuda menjadi salah satu penggerak kekuatan
sosial karena kreativitas serta kebaruan pengetahuan yang melekat pada diri
mereka.Eskalasi konflik dan kekerasan baik dalam skala regional maupun
nasional yang secara khusus melibatkan pemuda sebagai pelaku aktif di
dalarnnya membutuhkan proses penanganan serius dan pembelajaran tentang
peacebuilding, nir-kekerasan dan peace culture yang mendorong pemuda
melakukan tindakan nir-kekerasan terhadap situasi sosial yang terjadi di
lingkungannya. Jadi, pola-pola peacebuilding dibutuhkan dalam upaya
menanamkan nilai-nilai perdamaian dan nir-kekerasan demi menciptakan peace
culture.
Aktivitas pemuda yang berkaitan dengan gerakan perdamaian adalah
jawaban untuk memberantas kaum muda „kekerasan potensial di masa depan.
Ini menyesuaikan tempat luas dibuka, menjembatani dialog, mengundang
semakin banyak generasi muda untuk bertemu dan berbicara satu sama lain,
memahami identitas dan menghormati perbedaan di antara mereka. Generasi
perdamaian merupakan komunitas yang aktif dalam resolusi konflik dan
perdamaian dalam masyarakat pemuda. Dalam telah terlibat dan memulai

12
banyak kegiatan pemuda mengenai proses perdamaian dengan mempromosikan
nilai-nilai intinya seperti pemuda, partisipasi, pluralisme, dan aktif non-
kekerasan sebagai dasar penting dari gerakan.
Artikel
http://ejournal.uin-
suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/1150/1060

Gerakan perdamaian oleh pemuda pun telah diupayakan di Ambon.


Kegiatan tersebut sudah mulai berlangsung saat awal-awal konflik melalui
komunitas tari. Komunitas itu terdiri dari berbagai latar belakang suku dan
agama yang berbeda. Relasi dalam komunitas itu berjalan dengan baik dan tidak
menimbulkan masalah, walaupun keadaan semakin memanas. Kegiatan
beberapa kali dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan belum berani
mengampanyekan “damai” karena merasa terancam. Oleh karena itu gerakan
perdamaian di Ambon menggunakan “menganyam pandan” pertemanan antar
individu. Masing-masing kemudian membawa teman untuk bekerja sama.
Teman tersebut memiliki jejaring dan akhirnya membentuk jejaring komunitas
baru hingga membentuk komunitas se-kota Ambon. Komunitas-komunitas ini
pun belakangan menyebut diri mereka sebagai “provokator damai” dan
kemudian membuat film. Jika dilihat dari istilah, provokator pada dasarnya
netral dan juga bisa menggerakan orang atau siapa pun untuk kepentingan apa
pun.
Para pemuda atau penggiat itu pun sudah sampai pada persepsi bahwa
sejahat-jahatnya manusia, pasti memiliki benih damai, kasih dan energy positif.
Asumsi tersebut tentunya mendorong semua pihak yang terlibat untuk tidak
lelah mengajak mantan-mantan pejuang dari kedua bela pihak untuk merajut
kebersamaan. Merajut kebersamaan bukanlah pekerjaan mudah oleh karena itu
perlu diperhitungkan terobosan dan strategi paling nyaman agar semua pihak
dapat bekerja sama dan karena itu anak muda sebaiknya dilatih untuk membuat
terobosan-terobosan baru demi dan strategi yang inovatif.
Artikel

13
http://www.paramadina-pusad.or.id/pemuda-dan-gerakan-perdamaian/

Lebih lanjut tentang proyek pemuda dan perdamain, pembuat film peace
provocator diawali dengan kegiatan rekonsiliasi dan sharing bersama untuk
menggali persepsi awal para pemuda dari masing-masing komunitas. Pada
upaya rekonsiliasi mereka menemukan bahwa masing-masing pemuda dari
komunitas berbeda menyampaikan ketakutan mereka dan kecurigaan mereka
terhadap tinggal bersama dalam komunitas. Kelompok pemuda ini diarahkan
untuk live in di komunitas berbeda. Setelah tinggal beberapa hari, para pemuda
itu diarahkan untuk memberikan pendapat dan kesan mereka tentang keluarga,
komunitas yang berinteraksi dengan mereka. Selengkapnya tentang film tersebut
dapat dilihat pada link di bawah ini.
Artikel
https://www.youtube.com/watch?v=LOHD5s-stXY&t=1046s

14

Anda mungkin juga menyukai