Anda di halaman 1dari 31

POLITIK MODERASI DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Mata Kuliah: Studi Perdamaian


Dosen Pengampu: Pdt. Dr. Maruasas Nainggolan

Disusun oleh:
Kelompok 2
1. Alwin Wijanarko Silaban (21.3713)
2. Eirene Siringoringo (21.3721)
3. Eva Lilis Suryani Purba (21.3723)
4. Gabriel Hotmartua Pardede (21.3726)
5. Hanna Yohana Nainggolan (21.3728)
6. Jobs Christian Girsang (21.3733)
7. Maninga Samuel Rajagukguk (21.3737)
8. Mikha Theresia Damanik (21.3739)
9. Sindu Patricia Sitanggang (21.3752)
10. Styven Tambunan (21.3753)
11. Gr. Tunas Irwandi Siahaan (21.3757)

Sekolah Tinggi Teologi HKBP


Pematang Siantar
T.A 2022/2023

1
BAGIAN 1: MENAKAR MODERASI BERAGAMA
BAB 1 TITIK TOLAK : POLITIK AGAMA
Sebelum membahas lebih lanjut yang menjadi topik dalam buku Politik Moderasi dan
Kebebasan Beragama ini, kelompok akan terlebih dahulu memaparkan makna kata atau
istilah yang akan sering digunakan. Kata pertama adalah Moderasi, yang dalam KBBI
memiliki arti (n) Pengurangan kekerasan dan (n) Penghindaran Keekstreman. Sedangkan
untuk pengertian lebih lanjut, Kekerasan merupakan (n) perihal, (n) perbuatan seseorang
atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain, dan (n) paksaan. Di sisi lain Keekstreman memiliki
arti (n) hal yang keterlaluan; ekstremitas dan (n) kefanatikan

Kata kedua yang ingin kelompok jelaskan maknanya adalah Beragama yang memiliki
arti antara lain: (v) menganut/memeluk agama, (v) beribadat; taat kepada agama; baik
hidupnya (menurut agama) dan (v) sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan.
Sehingga jika kedua kata tersebut yang digabungkan menjadi frasa Moderasi Beragama
memiliki arti tindakan atau upaya penghindaran atas sikap yang diluar batas kewajaran
dalam hal menganut ajaran agama.

Moderasi Beragama ini merupakan diskursus yang lahir sebagai dampak dari keputusan
resolusi PBB pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa tahun 2019 menjadi tahun perayaan
internasional “moderasi” (International Year of Moderation 2019). Dalam menanggapi
resolusi tersebutlah Pemerintah RI khususnya melalui Kemenag RI sangat gencar melakukan
kampanye “Moderasi Beragama” bahkan pada tahun yang sama, Kemenag RI menerbitkan
buku tanya jawab Moderasi Beragama dan mencanangkan tahun 2019 sebagai “Tahun
Moderasi Beragama” karena Moderasi Beragama “harus menjadi arus utama dalam
membangun Indonesia.” Dampak dari upaya tersebut Moderasi Beragama menjadi salah satu
bagian dari “Pembangunan Karakter” yang merupakan strategi pembangunan SDM dalam
Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Istilah Moderasi Beragama sudah sangat marak di Indonesia bahkan dapat disebut
sebagai kosakata baru “politik agama” bahkan di dalam buku ini disebutkan jika tokoh-tokoh
perwakilan ormas keagamaan yang resmi seperti Pengurus Besar NU, Pengurus Pusat
Muhammadiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu dan tokoh-tokoh lainnya menyatakan
bahwa mereka menyambut positif gagasan Moderasi Beragama ini sebab menurut mereka

2
ajaran masing-masing agama yang mereka yakini sudah “moderat” dan mencakup indikator
kunci yang dipakai oleh Moderasi Beragama seperti komitmen kebangsaan, toleransi, anti-
kekerasan dan penerimaan pada tradisi.

Diskursus Moderasi Beragama ini begitu marak hingga memunculkan berbagai


pertanyaan seperti Apa sebenarnya yang ingin ditawarkan oleh kosakata dan diskursus
Moderasi Beragama ini? Situasi dan masalah keagamaan seperti apa yang ingin dijawab oleh
diskursus Moderasi Bergama? Apakah Moderasi Beragama memiliki perbedaan dengan
praktik tata kelola hidup beragama yang telah ada sebelumnya, yaitu “Trilogi Kerukunan”,
RUU KUB (Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama) dan RUU PUB
(Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama) yang pernah ditawarkan?

Maka dengan didorong oleh pertanyaan-pertanyaan inilah maka tim penelitian PGI
melakukan kajian kritis terhadap diskursus Moderasi Beragama. Ahmad “Inung” Zainul
Hamdi yang merupakan Ketua Forum Nasional Penguatan Moderasi Beragama Kemenag RI
menyampaikan bahwa Moderasi Beragama sebaiknya dilihat sebagai suatu diskursus yang
dibagun untuk menghadapi tiga tantangan serius, yaitu: (1) fenomena kekerasan atas nama
agama; (2) masih tingginya tingkat intoleransi; dan (3) maraknya pemahaman keagamaan
yang eksklusif.

Dalam kajian kritis yang dilakukan maka diskursus Moderasi Beragama ditempatkan
dalam konteks sosio-historis politik agama pemerintah sebagai bagian dari upaya tata kelola
kebhinekaan dengan Politik Agama menjadi perspektif yang digunakan dalam melakukan
kajian kritis ini. Dijelaskan pula bahwa para pengkaji dan pemerhati agama melihat agama
sebenarnya memiliki beragam wajah. Pada satu sisi, agama mencerminkan dan merumuskan
aspirasi paling luhur dari kemanusiaan: persaudaraan antar-umat manusia, penghormatan
pada kehidupan, dorongan untuk mencari dan menemukan Yang Mahasuci, ekspresi
kebudayaan yang luhur, dst. Akan tetapi pada sisi lain sejarah juga dipenuhi oleh praktik-
praktik kekerasan, diskriminasi atau bahkan tindakan genosida yang kerap memakai dan
didasari oleh argumen-argumen keagamaan.

Terkait dengan hal ini, maka tulisan ini menaruh perhatian pada dimensi kuasa saat
mengkaji agama dengan menyingkapkan politik agama yang sedang berjalan di Indonesia.
Menurut Samsul Maarif Politik Agama merupakan upaya politik oleh kelompok warga
negara yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kuasa dan kontrol atas kelompok
warga negara lain yang dilakukan melalui mobilisasi dan tekanan massa dengan klaim atas

3
nama kepentingan dan identitas agama mayoritas melaui kekuatan partai politik hingga
campur tangan negara melalui kebijakan-kebijakan atau aturan perundang-undangan.

Sehingga dengan mengingat bahwa diskursus Moderasi beragama ini digagas,


diproduksi dan disebarluaskan oleh Kemenag RI maka sangat penting untuk mengkaji hal-hal
yang menyangkut kebijakan negara atau pemerintah yang melalui serangkaian UU maupun
peraturan resmi kuat mewarnai atau bahkan ikut membentuk bagaimana bentuk, ajaran,
praktik maupun model penghayatan keagamaan dengan tetap melihat bagaimana klaim-klaim
kepentingan dan identitas agama dipakai oleh kelompok-kelompok sosial-politik, termasuk
lembaga keagamaan sebagai alat legitimasi dan kontrol yang akan menjadi topik pembahasan
pada bagian-bagian selanjutnya.

BAB II KEBANGKITAN DAN KONSTRUKSI AGAMA

Berbicara mengenai peran agama dalam ranah public, tentunya sulit dilepaskan dari
fenomena global yang ramai dibicarakan oleh para pengamat sejak decade 1970-an.
Fenomena ini, merujuk kepada beberapa hal yang memperlihatkan bagaimana elan vital
keagamaan mampu untuk melahirkan Gerakan-gerakan sosial politik dan bahkan
menumbangkan kekuasaan otoriter. Kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur baik atau
jahat, benar atau salahnya tradisi agama ditentukan oleh kepentingan politik keamanan, atau
demi menjaga stabilitas suatu tatanan pemerintahan.

Dalam suatu jurnal ternama dikatakan bahwa dalam menunjukkan cara pandang kita
dalam beragama secara moderat telah menjadi konstruksi global yang memiliki sejarah yang
cukup dalam. Dengan studi kasus di norwegia, rusia, marok, mesir, Indonesia, turki, kenya,
dan sebagainya. Lebih jauh, moderasi juga berkembang sebagai konstruksi akademik global,
yang saling mendukung dengan upaya politik di atas. Dalam kajian Elibeh Shakman Hurd
didalam karyanya Beyond Religious Freedom (2019) Hurd membangun tipologi atas ranah
atau bentuk agama, yaitu agama yang diregulasi (Governed religion), agama yang dikaji oleh
para sarjana (Expert religion) dan agama sehari-hari (Lived religion). Hal ini dikontraskan
dengan agama sehari-hari yang kompleks, dan tak bisa dengan mudah didefinisikan karena
merupakan cermina pengalaman sehari-hari yang berbeda dari satu orang atau komunikasi ke
yang lainnya.

Adapun salah satu variasi penting dari kecenderungan ini adalah adanya persepsi
perang antara “dua wajah agama” yang berbahaya dan agama yang damai. Istilah ini dikutip

4
oleh Hurd dari Tony Blair dimana, gunanya untuk membenuk suatu diskursus tata Kelola
keragaman agama global pada saat ini. Dimana, tugas otoritas politik internasional dan
domestic ialah untuk memastikan agama yang damai dan menang, agar dunia aman dan
damai serta pertumbuhan ekonomi terjaga. Secara singkat, pendekatan ini sebenarnya
merupakan upaya politik untuk menjinakkan agama atau tafsir keagamaan yang dianggap
dapat membahayakan tatanan masyarakat yang demokratis sekalipun kerap dijalankan
dengan cara yang tidak demokratis.

Pendefinisian Agama dan Obsesi Kerukunan

Indonesia memiliki semboyang bhinneka tunggal ika, yang dimana, hal ini menjadi
tantangan yang berat untuk dihadapi ialah bagaimana cara mengelola kebinekaan dan juga
sekaligus tetap menjaga persatuan. Terdapat banyak warisan yang kompleks mulau dari etnis,
bahasa, adat istiadat, keyakinan agama, dan seterusnya. Yang dimana, makin beragam agama
maka makin beragam juga masyarakat, maka tentunya akan ada kebutuhan lebih besar untuk
membangun persatuan. Mencari titik imbang keragaman dan persatuan adalah tugas “politik
kebinekaan” yang akan terus menerus menanang perjalanan kita sebagai bangsa dan negara.
Yang dimana, agama lah yang memainkan peran yang sangat sentral di dalam politik
kebinekaan itu. oleh sebab itu, tidak mengherankan jika agama ditempatkan dalam bingkai
bernegara menjadi pergumulan yang serius. Dalam sejarah, terlihat jelas bahwa pancasila
menjadi suatu kompromi yang goyah, terutama mengenai sila pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, yang selalu hangat diperdebatkan – bahkan sampai sekarang.

Semangat nasionalisme berketuhanan kuat mewarnai “politik agama” negara dan


punya implikasi yang sangat mendalam bagi kehidupan sosio-politik di tanah air. Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang seharusnya menjadi jaminan perlindungan orang-orang
yang beragama, kenyataannya menjadi “jalan-jalan menuju Tuhan yang direstui negara
(state-sanctioned pathways to God). Dan hal inilah yang menjadi konsekuensi besar bagi
negara.

Setidaknya kita dapat mengamati konsekuensi tersebut pada tiga kelompok


masyarakat. Pertama, lewat pendefinisian apa itu “agama”, atau jalan-jalan menuju Tuhan
yang direstui negara tadi: ada kelompok-kelompok kepercayaan atau pemeluk “agama
leluhur”. Dimana keberadaan mereka tidak diakui dan mereka pun tidak menerima
perlindungan, malah mengalami proses diskriminasi yang sangat panjang dan bisa berujung
pada “genosida budaya”. Kedua, tradisi-tradisi keagamaan yang memiliki kosakata non-

5
teistik pun harus menyesuaikan diri dengan kosakata negara agar dapat diakui sebagai
“agama”. Dan yang terakhir Ketiga, ada Undang-Undang yang mengawasi, mengadili, dan
menghukum individu atau kelompok-kelompok yang dituduh “sesat” maupun “menodai
agama”.

Aspek penting lain dalam “politik agama” yang perlu dibedah adalah sifat obsesif
negara dalam menjaga “kerukunan” antar umat beragama. Sudah tentu, persoalan kerukunan
antar kelompok memang sangat penting dan hal ini tidak dapat kita ingkari. Karena tanpa
adanya kerukunan, sudah dapat dipastikan gesekan-gesekan antar kelompok beragama dapat
memporak-porandakan tatanan kehidupan bersama.

Namun yang menjadi persoalan ialah ketika negara mengambil alih seluruh diskursus
“kerukunan” dan menjaganya mati-matian lewat serangkaian kebijakan yang berpengaruh
sangat luas. Setidaknya kita dapat melihatnya dari ketiga aspek ini, yaitu:

1) Pasca prahara nasional 1965, lewat kebijakan dan propaganda sistematis,


unsur-unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) ditabukan dan
dianggap sebagai faktor-faktor yang dapat menimbulkan “ancaman
disintegrasi”. Diskursus seperti ini bahkan sudah tampak pada masa awal
rezim Orde Baru. Padahal unsur-unsur SARA merupakan bagian alamiah dari
kebinekaan yang kita warisi sebagai masyarakat majemuk. Menabukan unsur-
unsur itu sebenarnya menafikan kebinekaan dan membuat masyarakat tidak
memiliki kapasitas untuk mengelola perbedaan yang ada.
2) Terjadi perubahan fundamental dalam kebijakan pendidikan yang menjadikan
dan memperkuat keyakinan agama sebagai penanda identitas utama. Di mana
negara mewajibkan setiap siswa pada setiap jenjang pendidikan untuk
mengikuti pelajaran agama, yakni sejak keluarnya TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Di situ
agama telah menjadi “indeks siswa”, yakni faktor pembeda penting di antara
para siswa.
3) Negara gencar memfasilitasi pertemuan-pertemuan formal para pemimpin
agama dalam rangka menjaga apa yang dikenal sebagai “trilogi kerukunan”,
yakni kerukunan antar umat beragama, kerukunan antara pemimpin dengan
umat beragama, dan kerukunan antara agama dengan pemerintah. Dialog-
dialog formal inilah yang dikesankan sebagai tanda keberhasilan Indonesia

6
dalam menjaga kerukunan. Tetapi jika dilihat secara rinci, tampak sekali
bagaimana seluruh “obsesi kerukunan” yang dibangun oleh negara, terutama
di masa Orde Baru, bertautan erat dengan persoalan penyiaran agama.

Dinamika Politik Agama Pasca Reformasi

Ketika Soeharto dan rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998, ada harapan untuk
menata ulang tata kelola keagamaan. Hal ini terlihat dari empat kali proses amandemen
Konstitusi selama 1999-2002. Tatanan yang paling tidak berpangkal pada dua hal penting:
Pertama, adanya pembatasan kekuasaan, khususnya eksekutif, melalui pemisahan kekuasaan
ke dalam tiga aras (trias politica) yang masing-masing independen sehingga mampu
melakukan proses check and balances. Kedua, suatu tatanan demokratis konstitusional juga
mensyaratkan jaminan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM) yang memberi
perlindungan menyeluruh kepada warga negaranya.

Amandemen Konstitusi memberi arah jelas pada tatanan demokratis konstitusional


yang dicita-citakan tersebut, dengan diterimanya seluruh pasal-pasal HAM. Misalnya, dalam
UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28I UUD 1945 dan pasal 28E UUD 1945, di situ menjadi
jelas, hak dan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) merupakan pilihan yang bebas
“sesuai dengan hati nurani” seseorang yang harus dihormati dan dilindungi. Tidak ada
institusi apa pun yang dapat menghalangi, meniadakan, atau memaksakan agama atau
keyakinan seseorang.

Akan tetapi kita sadar, bahwa hal ini tidak dapat berjalan mulus seperti yang
diperkirakan banyak orang. Tejadinya pergulatan sosial-politik pasca reformasi 1998 masih
menyisakan begitu banyak persoalan HAM di masa lampau maupun praktik-praktik
diskriminatif dan pelanggaran KBB yang terus terjadi. Belum lagi muncul persoalan-
persoalan baru yang mengguncang kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang majemuk:
rangkaian aksi teror atas nama agama dan politisasi isu agam demi kepentingan dalam
mendapatkan jumlah suara yang banyak saat pemilu atau pilkada.

Ada dua sumber kecemasan besar yang melanda, yakni makin menguatnya aksi-aksi
terorisme dan politisasi agama, adalah konteks terdekat munculnya diskursus Moderasi
Beragama sehingga menjadi diskursus dominan saat ini.

7
BAB III : MENGAPA DAN APA MODERASI

Seperti sudah kita ketahui bersama, MB kini sudah masuk ke dalam RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 yang ditetapkan melalui Peraturan
Presiden No. 18/2020. Di situ MB menempati posisi strategis dalam tata kelola pemerintahan
karena masuk dalam sub Prioritas Nasional keempat RPJMN 2020-2024, yakni Revolusi
Mental dan Pembangunan Kebudayaan. Dalam RPJMN itu, MB diturunkan ke dalam lima
kegiatan prioritas yang mencakup:

1. Penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah


2. Penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama
3. Penguatan relasi agama dan budaya
4. Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama,
5. Pengembangan ekonomi dan sumberdaya keagamaan.
Jika dilihat dari cakupan kegiatan prioritas itu, dan posisi strategis program MB dalam
keseluruhan tata kelola pemerintahan, tampak bahwa gagasan MB akan memengaruhi
langgam dan gerak kehidupan keagamaan di tanah aire Kita perlu melihatnya secara lebih
rinci dan kritis, karena kehidupan keagamaan Pertama, ”ajaran keseimbangan” diyakini
sebagai ajaran utama agama-agama untuk menjaga martabat manusia. ”Moderasi beragama
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,” tulisnya. Kedua, adanya multitafsir pesan-pesan
keagamaan sehingga ”kebenaran menjadi beranak pinak”. Dan kerap kali ini menimbulkan
konflik berlatar agama yang dapat memusnahkan umat manusia. Akhirnya, ketiga, ”khusus
dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita
dalam merawat keindonesiaan”.
Salah satu aspek yang paling menggelisahkan adalah munculnya ancaman
ekstremisme dan terorisme. Lukman sendiri menyebut secara eksplisit ancaman itu.
”Ancaman teror dan kekerasan sering lahir akibat adanya pandangan, sikap, dan tindakan
ekstrem seseorang yang mengatasnamakan agama,” tulisnya.
Selain persoalan terorisme, radikalisme dan ekstremisme, konteks lain yang melatari
lahirnya diskursus MB sangat jelas menyimpan kekhawatiran bahwa umat Muslim di
Indonesia akan tergelincir dalam politisasi agama yang berlebihan. Hal itu dirasa makin
menggelisahkan setelah kampanye besar-besaran untuk mendelegitimasi Ahok dalam Pilkada
Gubernur DKI Selain persoalan terorisme, radikalisme dan ekstremisme, konteks lain yang
melatari lahirnya diskursus MB sangat jelas menyimpan kekhawatiran bahwa umat Muslim di
Indonesia akan tergelincir dalam politisasi agama yang berlebihan. Hal itu dirasa makin

8
menggelisahkan setelah kampanye besar-besaran untuk mendelegitimasi Ahok dalam Pilkada
Gubernur DKI

Mempersoalkan ‘’Jalan Tengah’’

Menurut buku ini, sering kali fokus orang hanya pada "ekstrem kanan", yakni kelompok-
kelompok konservatif agama. Padahal orang juga perlu melihat kelompok 'Cekstrem kiri",
yakni mereka yang digolongkan buku ini sebagai kelompok-kelompok "liberal". Kedua
kelompok ekstrem itu, kembali untuk menyitir buku ini, "ibarat gerak sentrifugal dari sumbu
tengah menuju salah satu sisi paling ekstrem. Mereka yang berhenti pada cara pandang,
sikap, dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan
akalnya dalam me nafsirkan ajaran agama sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka
yang berhenti di sisi sebaiknya secara ekstrem akan secara rigid memahami teks agama tanpa
mempertimbangkan konteks.

Kerukunan Atau Kebebasan

Menarik sekali jika kita melihat ke belakang bagaimana MB diputuskan menjadi salah
satu penentu arah kebijakan pemerintah. Menurut buku babon MB, ada enam isu strategis
yang dijadikan sebagai kerangka program Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan.
Salah satunya menyebut, "Masih lemahnya pemahaman dan pengamalan nilai agama yang
moderat, substantif, inklusif dan toleran untuk memperkuat kerukunnan umat beragama"
(MB, h. 132). Keenam isu strategis itu dipakai untuk menentukan arah kebijakan
pemerintah, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Melalui rapat di Bappenas pada 25 Juni
2019, diputuskan empat arah yang akan ditempuh untuk mewujudkan program Prioritas
Nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan, di mana MB menempati posisi
penting sebagai salah satu komponennya; "Memperkuat moderasi beragama sebagai fondasi
cara pandang, sikap, dan praktik beraama jalan tengah untuk meneguhkan toleransi,
kerukunan, dan harmoni sosial" Di situ menjadi jelas, bagaimana obsesi kerukunan memang
sangat kuat mewarnai diskursus MB.

Pada umumnya, meskipun harus tetap hati-hati membuat generalisasi, bila terjadi
konflik dan kekerasan antar kelompok agama di dalam masyarakat, maka aparat keamanan
dan masyarakat memprioritaskan ketertiban umum. Oleh karena itu kelompok minoritas —
bahkan mereka yang menjadi korban — sering diminta diam atau mengalah demi ketertiban

9
umum dalam konflik-konflik tersebut. Jika kita lihat dokumen Rencana Strategis Kementerian
Agama Tahun 2020-2024, tidak jarang ada penyandingan antara "moderasi beragama dan
kerukunan umat beragama" secara bersamaan.$ Sebagaimana dalam dokumen RPJMN, dalam
dokumen Rencana Strategis setebal 309 halaman tersebut tidak ada satu pun disebut
"kebebasan beragama", bahkan kata "kebebasan" pun tidak ada.

BAB IV: MEMBANGUN ‘’DISKURSUS ALTERNATIF’’


Dalam rangka mewujudkan kerukunan umat beragama, pada pertengahan Oktober
2021, Pemerintah melalui Kementerian Agama RI melakukan forum diskusi tentang uji
publik dokumen terbatas “Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama Tahun 2020-2024”.
Dokumen ini merupakan hasil Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama dari
Kementerian Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.720 Tahun 2020. Secara
singkat dokumen ini berisi upaya untuk menjadikan diskursus moderasi beragama
(selanjutnya disingkat MB) sebagai model baru “politik agama” dalam menjawab tantangan-
tantangan masa kini.
Dokumen Peta Jalan ini (selanjutnya disebut Roadmap) merupakan perkembangan
dari buku babon (induk) MB yang telah diterbitkan Kemenag terlebih dahulu, dimana buku
babon MB Kemenag lebih merupakan rumusan “konsep dasar” yang kemudian
disempurnakan dalam Roadmap. Hal ini disebabkan oleh diskursus MB yang memberi
peluang bagi penafsiran ulang, sehingga berubah dan berkembang (living document) sesuai
yang ditegaskan Pokja MB dan menurut Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama saat itu
bahwa “tidak final dan tidak dijadikan pemberi tafsir tunggal atas makna moderasi
beragama”. Hal ini karena konsep MB terus berkembang sesuai dinamika dan
kontekstualisasi dari waktu ke waktu.

Tafsir Baru MB?

Meski Roadmap dibuat berdasarkan buku MB, ada pergeseran signifikan dalam
memahami diskursus MB, berupa pemaknaan dasar MB, kosakata yang dipakai, posisi MB di
tengah tatanan pengelolaan keberagaman. MB dirumuskan ulang dalam Roadmap yang
didefinisikan sebagai:

“Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara
mengejawantahkan esensi ajaran agama, yang melindungi martabat kemanusiaan dan

10
membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati
konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.”

Berdasarkan rumusan baru ini, ada beberapa hal yang menarik, yaitu:

1. Jalan Tengah
Jalan tengah dalam masalah MB dapat dilakukan dengan “memperkuat nilai moderat”,
yakni “pengalaman cara pandang, sikap, praktik keagamaan jalan tengah” dan dapat juga
dengan arah kebijakan negara dalam lima strategi utama. Hal ini berbeda dengan buku
babon MB yang menunjukkan sikap keagamaan “kanan-tengah-kiri” yang problematis
atau secara singkat dapat disebutkan sikap keagamaan yang memihak.
2. Makna baru “ekstrem atau tidak moderat”
Roadmap secara jelas memberikan tiga tolak ukur dari perilaku golongan ekstrem, yaitu:
1) Mencederai nilai luhur kemanusiaan
2) Melabrak kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
3) Melanggar ketentuan hukum yang menjadi panduan bermasyarakat dan bernegara
Tolak ukur ini disimpulkan dari tiga tantangan yaitu, (1) dengan berkembangnya
cara pandang, sikap dan praktik bergam yang berlebihan (ekstrem); (2) dengan
berkembangnya klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan kehendak atas sebuah
tafsir agama; (3) dengan berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras
dengan kecintaan berbangsa.

3. Pertimbangan dasar MB
Pertimbangan dasar ini merupakan jaminan konstitusional. Dalam Roadmap secara jelas
dinyatakan yang menjadi jaminan konstitusional dalam MB adalah UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4. Ekosistem MB
Ekosistem MB yang dimaksud adalah mengenai konteks MB yang sangat luas dan
menyeluruh. Dalam Roadmap disebutkan ada enam institusi dalam ekosistem MB, yaitu
masyarakat, pendidikan, keagamaan, media, politik, dan negara. Di sini peran MB
sebagai proyek governing religion tampak sangat kuat.

Dengan demikian, MB ditempatkan dalam konteks yang lebih riil sesuai tantangan
masa kini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penekanan dalam rumusan MB dalam
Roadmap, yaitu:

11
1. Kehidupan bersama, yaitu aspek penghayatan keagamaan yang berhubungan dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2. Esensi ajaran agama, yaitu peran utama agama dalam “melindungi martabat
kemanudiaan dan membangun kemashlatan umum.
3. Ketaatan kepada konstitusi “sebagai kesepakatan berbagnsa” yang melandasi tatanan
kehidupan bersama suatu masyarakat yang majemuk.

MB sebagai “Strategi Kebudayaan”

Roadmap lebih menekankan diskursus MB sebagai “strategi kebudayaan”, dimana


menggunakan elaborasi strategi dari buku babon MB, yaitu penggunaan literasi bacaan dan
meningkatkan kualitas pendudukan, dan penggunaan media. Menurut Prof. Philip dari
Permabudhi, MB adalah strategi politik “soft power pemerintah” dimana negara berusaha
mengatur melalui pendekatan uang lebih atraktif dan persuasif; dan bersumber dari nilai-nilai,
budaya, dan kebijaksanaan dalam tradisi agama masing-masing.

Terdapat dua hal yang menarik dalam MB sebagai strategi kebudayaan , yaitu:

1) Roadmap mengetengahkan jalur pendidikan dan literasi keberagaman sebagai strategi


utama penguatan MB.
Hal ini nampak dari berbagai segi dalam roadmap seperti dalam ekosistem MB,
pendidikan menjadi salah satu faktor utama yang erat dengan literasi keberagaman
yang didukung oleh faktor masyarakat, keagamaan dan media. Selain itu dalam tujuh
kelompok strategi dalam penguatan MB, dunia pendidikan diberi tempat penting yang
strategis dan lebih jauh.

2) Roadmap memberi tekanan pada reformasi birokrasi, terutama peran ASN (Aparatur
Sipil Negara) dan TNI/POLRI.
Kedua kelompok ini merupakan kelompok strategis, sebab ASN bertugas untuk
“memberi pelayanan serta pemenuhan hak sipil dan hak beragama semua umat
beragama, sesuai dengan amanah konstitusi” dan TNI/POLRI yang bertugas untuk
menjaga keamanan dan ketertiban umum yang “harus dilakukan dengan selalu
berdasar pada hak konstitusional warga negara untuk memeluk agama dan beragama
sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.”
Meski demikian, strategi yang menyasar ASN dan TNI/POLRI masih rawan
ditunggangi oleh kepentingan politik dengan upaya untuk “membersihkan” dan

12
menjadi alat rekrutmen ASN maupun TNI/POLRI. Hal ini dapat dilihat dalam kasus
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang terjadi dalam alat seleksi para pegawai KPK
dengan menggunakan Moderasi Bernegara pada tahun 2021. Greg Fealy menyebut
Indonesia melakukan repressive pluralism (menekan adanya pluralisme). Hal ini perlu
diantisipasi agar tidak berulang dengan mengatasnamakan MB.

Selain dua hal positif di atas, ada tiga kritik terhadap Roadmap MB, yaitu:

1. Roadmap secara jelas menyebutkan pelayan publik adalah “fasilitas pelayanan


keagamaan yang akuntabel serta bersifat inklusif dan non-diskrimantif”. Namun
bila dirinci lebih lanjut, justru muncul kosakata dan jenis layanan yang hanya
menyasar pada kelompok keagamaan tertentu, yakni Islam, seperti “keluarga
sakinah”; “pelayanan haji dan umrah”; “produk halal”. Hal ini menimbulkan kesan
MB seolah-olah adalah bagian dari moderasi Islam. Padahal jika MB memang
ingin menjadi strategi nasional untuk menciptakan kehidupan yang moderat, maka
dia harus melampaui batas kelembagaan dan kelompok.
2. Dalam menentukan indikator menilai MB, ada dua indikator yang digunakan
namun tidak diberi kejelasan kaitan antara kedua indikator tersebut. Indikator yang
dimaksud adalah:
i. Indikator yang bersifat umum dengan empat komponen yaitu komitmen
kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi.
ii. Indikator yang bersifat khusus yang menggunakan tiga komponen yaitu
indeks kesalehan umat beragama, ineks penerimaan umat beragama atas
keragaman budaya, dan indeks kerukunan umat beragama.
Selain itu, tiga indeks yang ingin dicapai tahun 2024 dalam Roadmap tampak
terlalu optimis. Hal ini diutarakan oleh Dr. Maria Puspitasari, dosen komunikasi
massa FISIP UI, dimana dia mengatakan “pekerjaan ini sangat berat mengingat
pengerasan identitas yang terjadi sekarang.”

3. Roadmap secara eksplisit menyebut jaminan konstitusional terhadap Kebebasan


Berkeyakinan dan Beragama (KBB) sebagai landasan diskursus MB. Namun
jaminan konstitusional ini hanya disebut saja tanpa uraian lebih jauh. Dalam
catatan lembaga-lembaga pemantau, banyak masalah KBB yang ditentukan oleh
political will pemerintah di dalam menegakkan imperatif “kebebasan dan
kesetaraan” yang diamanatkan konstitusi. Akan tetapi, setidaknya Roadmap

13
menegaskan dan menguatkan “harmonisasi dan kerukunan umat beragama”
mencakup perlindungan hak sipil dan hak beragama, penguatan lembaga
keagamaan seperti ASN, TNI, POLRI dan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) untuk membangun solidaritas sosial, toleransi dan gotong royong.

Kesimpulan

Diskursus MB muncul untuk menjawab tantangan kebangkitan semangat dan gerakan


keagamaan yang makin lama makin menuntut keterlibatan mereka dalam menentukan tatana
hidup bersama yang berada baik di tingkat internasional dan tingkat nasional, dimana hal ini
sejak peristiwa 9/11.

Dalam konteks Indonesia, diskursus MB muncul sebagai upaya pemerintah menjawab


tantangan terorisme dan berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama atau “de-
radikalisasi”. Hal ini dilakukan sebagai strategi soft power yang dijalankan pada masa
periode kedua pemerintahan Jokowi.

Diskursus Roadmap yang mencari jalan tengah harus ditinjau ulang karena
menyebabkan golongan “moderat” dan “tidak moderat” yang memperlebar polarisasi dari
“ekstrem kanan-ekstrem kiri”. Jika hal ini dibiarkan, diskursus MB dapat menjadi alat
kontrol politik negara terhadap kehidupan beragama. Memang diskursus MB disusun
berdasarkan masukan dari berbagai kelompok agama namun dinilai terlalu bias kepada
kelompok Islam dimana hal ini dapat dilihat dalam kosakata yang dipakai, ranah problematis
yang menjadi concern utama, dan program konkret yang disusun.

Selain itu masalah KBB menjadi sorotan. Meski sudah ditetapkan KBB menjadi
“imperatif konstitusional”, yaitu perintah dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dipenuhi
oleh negara sejak reformasi 1998, namun dalam pelaksanaannya belum tampak jelas,
mengingat masih sangat dominannya “paradigm kerukunan” yang dipakai.

Diskursus MB patut dihargai sebagai suatu “strategi kebudayaan” pemerintah dalam


menangani aksi terorisme atas nama agama, maupun sikap dan pandangan keagamaan yang
membahayakan sendi kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang majemuk berupa
“politik identitas”. Dalam hal tersebut, pendidikan dan upaya membangun literacy
keagamaan menjadi sangat krusial.

14
Sebagai strategi kebudayaan, diskursus MB seharusnya menjadi jaminan
konstitusional KBB serta norma-norma dan penegakan HAM sebagai landasan utamanya.
Roadmap MB menunjukkan strategi kebudayaan difokuskan kepada pembaruan pendidikan
dan pengembangan literacy keagamaan. Dalam konteks KBB, maka negara harus diposisikan
berada “in between”, yakni tidak boleh terlalu jauh campur tangan urusan agama, tapi juga
tidak boleh terlalu jauh lepas tangan tidak mengurusi agama”. Sehingga pemerintah dapat
menekan layanan public bagi setaip warga negara dan memberi kebebasan dengan mencabut
kebijakan yang menekan “agama-agama lokal.” Hal ini dapat membuka ruang partisipasi
agama-agama dan kepercayaan untuk bersama-sama mengembangkan sumber daya dan
ekonomi demi kepentingan hidup bersama. Di sini upaya membangun ruang-ruang dialog
dalam rangka kebhinekaan menjadi sangat penting, seperti terbentuknya FKUB.

Diskursus MB dapat dihargai sebagai tekad pemerintah di dalam memperbaiki


kualitas birokrasi (ASN) agar dapat memberi pelayan publik yang lebih akuntabel,
transparan, dan non-diskriminatif, dimana harus ditekankan untuk menghindari MB sebagai
alat eksekusi seperti kasus TWK di KPK. Diskursus MB menyediakan semacam peta jalan
yang membuat kemungkinan bagi partisipasi kritis kelompok masyarakat termasuk lembaga
keagamaan yang memperjuangkan KBB demi tatanan kehidupan bersama. Dalam buku ini,
ditekankan untuk membuat Roadmap secara final dan disahkan. Selain itu, Roadmap menjadi
pemahaman MB yang lebih riil dan terkini jika dibandignkan dengan buku babon.

BAGIAN II MODERASI BERAGAMA ATAU KEBEBASAN BERAGAA?

BAB V: MODERASI BERAGAMA ATAU KEBEBASAN BERAGAMA: MENGURAI


TITIK TEMU DAN TITIK SETERU

Donald Qomaidiasyah Tungkagi

Kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
masih menjadi tantangan di Indonesia, konsep moderasi beragama yang kini masuk program
prioritas pemerintah juga mengalami tantangan yang sama. Keduanya mengalami sedikitnya
tiga level tantangan, yakni: aspek konseptual, aspek sosial dan aspek hukum. Kebebasan
beragama yang dianggap masih "work in progress" dan moderasi beraga- ma sebagai "living
document" justru memberi peluang kedua- nya dapat ditafsirkan kembali.

PENDAHULUAN

15
Meski tidak mengidentifikasi sebagai negara sekuler atau negara agama," Indonesia
memiliki ciri khas menempatkan agama sebagai sesuatu yang penting di ruang publik."
Beragama seakan menjadi keharusan identitas individual yang telah menjadi bagian dari "jati
diri bangsa" (national identity). Tidak heran jika agama diatur dengan banyak regulasi di
Indonesia jika dibandingkan di negara lain. Relasi erat antara agama dan ne- gara ini terlihat
dari keberadaan lembaga-lembaga keagamaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan agama atau kehidupan beragama, dan kebijakan-kebijakan lain yang bertalian dengan
kehidupan beragama."

Di sinilah negara berperan, dalam konteks Indonesia agama tidak terlepas dari urusan
negara sebab regulasi mengamanahkan negara melindungi semua agama yang dipeluk
rakyatnya. Negara juga bertanggungja- wab atas eksistensi agama, kehidupan beragama, dan
kerukunan hidup umat beragama. Pentingnya peran serta negara terhadap agama ini
diamanahkan dalam UUD 1945 khususnya pasal 28 dan 29. Realitas masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk, dengan keragaman agama, etnis, budaya dan kepercayaan membuat
penguatan moderasi beragama ini dianggap sebuah keniscayaan. Terutama keragaman terkait
agama khususnya meniscayakan lahirnya perbedaan tafsir yang jika tidak dikelola dengan
baik, keragaman tafsir keagamaan yang ekstrem dapat menimbulkan gesekan atau konflik,
baik intra umat beragama, antar umat beragama, maupun antar umat beragama dengan
pemerintah. Program-program negara yang mengatur kehidupan beraga- ma atas nama
menjaga kerukunan umat beragama seperti "mo- derasi beragama" tak lepas dari kritik juga.
Seringkali program seperti ini jika tidak dikaji secara matang justru menjadi justifikasi
kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan.

Sebagai konsep yang baru, kebijakan moderasi beragama tetap perlu dikontrol dengan
konsep lain yang lebih kuat sebagai acuan untuk memperkuat dan memperkaya sehingga
konsep ini se- makin matang. Belajar dari Pancasila yang dijadikan alat politik untuk
melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Pancasila dijadikan alat pukul terhadap kelompok yang
dianggap tidak sehaluan dengan kebijakan negara. Tantangannya tidak hanya terletak pada
implementasinya, tetapi juga dalam hal sisi signifikansinya, makna, dan justifikasinya yang
terus perlu dikaji secara kritis. Di luar polemik dan kontroversi tersebut, kebebasan beragama
dan moderasi beragama merupakan dua wacana yang masih terbuka untuk ditafsirkan
kembali sesuai konteks ruang dan waktu. Konsep kebebasan beragama sampai saat ini
sebagai "upaya yang masih berlangsung" (work in progress).

16
Beberapa Kontrovensi di Sekitar Wacana Kebebasan Beragama dan Moderasi
Beragama

Bagian ini memberi gambaran problematika yang diutarakan sebagian intelektual atas
keberadaan wacana moderasi beragama dan kebebasan beragama. Sebelum membahas
problemati- ka tersebut, penulis memaparkan terlebih dahulu definisi masing-masing konsep
untuk memudahkan pemahaman terkait dengan konsep yang dikritik tersebut. Kritik yang
dipaparkan pada bagian ini tentu tidak komprehensif, namun diharapkan memberikan
gambaran tentang kelebihan dan kelemahan ma- sing-masing.

Kebebasan Beragama dan Kontroversinya

Kebebasan beragama atau berkeyakinan ditinjau dari sisi histo- ris adalah bentuk hak
asasi manusia yang berlaku secara uni- versal yang terkodifikasi dalam instrument-instrumen
hak asasi manusia internasional. "Kebebasan beragama adalah salah satu masalah HAM yang
tertua dan paling kontroversial dan telah menjadi sasaran perhatian internasional sejak
munculnya pertama kali sistem kenegaraan modern".

Kebebasan beragama merupakan konsep yang mapan seba- gai bagian HAM, sejauh
ini konsep ini dijamin dalam berbagai konvensi HAM internasional dan konstitusi negara-
negara yang meratifikasinya.Adapun inti normatif dari hak untuk kebebasan beragama terdiri
dari delapan elemen: 1) kebebasan internal (forum internum), 2) kebebasan eksternal (forum
externum), 3) tidak ada paksaan, 4) non-diskriminasi, 5) hak orang tua dan wali, 6) kebebasan
korporat dan kedudukan hukum, 7) pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan
eksternal, dan 8) tidak dapat dikurangi (non-Derogability),

Menurutnya wacana kebebasan beragama sangat penting bagi para misionaris sebagai
instrumen untuk menyebarkan agama secara bebas di kalangan Muslim dan Koptik tanpa
kendala dari undang-undang dan larangan yang ada terhadap konversi agama. Penolakan
terhadap konsep kebebasan beragama juga disebabkan karena mengakomodir kebangkitan
agama lokal dan membela kelompok minoritas agama yang seringkali juga dianggap sebagai
pembelaan terhadap kebangkitan agama-agama leluhur.Biefeldt dan Wiener juga mengakui
bahwa kebebasan beragama dapat memicu kontroversi politik, teologis dan filosofis.
Kelompok agamawan tradisionalis menilai kebasan beragama mampu melemahkan loyalitas
dan ikatan keagamaan umat mereka.

17
Moderasi Beragama dan Kontriversinya

Moderasi beragama sendiri merupakan program yang cikal bakalnya sudah mulai
digaungkan sejak tahun 2016 oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin (2014-
2019).06 Moderasi beragama lahir karena kesadaran bahwa sebagai negara yang plural dan
multikultural, konflik berlatar identitas sangat potensial di Indonesia. Moderasi beragama
juga menuai kritik, karena secara konseptual istilah moderat seringkali masih dinilai peyoratif
dalam konteks beragama di Indonesia.meluk agama lain." Selain itu, moderat atau
"moderatisme" merupakan sebuah istilah atau nomenklatur konseptual yang tidak mudah
untuk didefinisikan. Istilah moderat terutama ketika dikaitkan dengan agama masih
merupakan konsep yang sangat diperebutkan (highly contested concept). Ahmad Suaedy"s
mengkritik moderasi beragama yang dianggap lebih menunjukkan stateheavy ketimbang
societyheavy sehingga dalam penerapannya lebih mementingkan peran dan kepentingan
pemerintah dan negara ketimbang rakyat dan keharusan konstitusional dan tuntutan
kebutuhan perlindungan kepada minoritas dan mereka yang lemah.

Suaedy memberikan apresiasi atas empat indikator Moderasi Bergama yakni: (1)
komitmen kebangsaan; (2) toleransi; (3) anti kekerasan; dan (4) akomodatif terhadap
kebudayaan lokal. Mes- ki demikian, indikator tersebut tidak akan berarti apa-apa jika tidak
diimplementasikan sendiri oleh pemerintah secara pro aktif progresif. Pro aktif dan
progresifnya pemerintah mengim- plementasikan indikator tersebut mensyaratkan adanya
inisiatif perubahan-perubahan regulasi untuk menjamin hak-hak ma- syarakat dan minoritas.

Titik Temu dan Titik Seteru

Selalu ada harapan bahwa kebijakan pengelolaan keagamaan di Indonesia akan


menuju kemajuan kebebasan beragama dan ke- hidupan keagamaan semakin baik. Hal ini
sudah tampak dari jaminan hak atas kebebasan beragama yang telah tercantum da- lam
berbagai regulasi termasuk juga moderasi beragama yang telah menjadi program prioritas
pemerintah. Tulisan ini beru- saha memperkuat harapan tersebut dengan sumbangsih kajian
atas konsep kebebasan beragama dan kebijakan moderasi bera- gama, terutama mengurai
beberapa titik temu dan titik seteru dari perjumpaan kedua konsep ini.

Universalisme dan Relativisme Budaya

Perbedaan yang paling kentara dari perjumpaan kebebasan ber- agama dan moderasi
beragama adalah pada ruang lingkupnya. Kebebasan beragama ruang lingkupnya universal

18
tanpa sekat geografis, keagamaan, suku dan ras. Sedangkan moderasi bera- gama ruang
lingkupnya partikular yang lahir dari kebutuhan akan realitas sosial masyarakat Indonesia
yang heterogen seca- ra agama, suku dan ras. Meski demikian titik temu perjumpaan kedua
konsep ini adalah sama-sama masih terus berkembang dalam ranah konseptual, serta masih
terus mengalami penyesu- aian dengan konteks zamannya

Sedikitnya terdapat empat pandangan dalam penafsiran me- ngenai HAM yakni; 1)
universal absolut, 2) universal relatif, 3) partikularistis absolut, dan 4) partikularistis relatif.
Untuk konteks Indonesia termasuk juga dunia ketiga, menurut Muladi dan Masyhur Effendi
seperti dikutif Fathuddin's, lebih cocok dengan konsep HAM partikularistis relatif.
Pandangan tersebut dianggap mengakomodir aspek nasionalisme dan nilai partikularitas
keragama budaya dan agama.

Universalitas HAM telah menjadi topik kontroversial dalam diskursus hak asasi
manusia. Namun, kritik terhadap universalitas HAM telah disanggah dengan argumen bahwa
keuniversalan dalam HAM tidak berarti keseragaman. Universalisme pada HAM tidak
mengharuskan keseragaman yang melampaui perbedaan budaya dan agama, tetapi
mencerminkan kemanusiaan yang universal serta tidak bertentangan dengan idealitas dan
aspirasi manusia. Beberapa pengamat, seperti Biefeldt dan Wiener, menyebut universalisme
pada kebebasan beragama sebagai universalisme normatif yang "work in progress". Dengan
kesadaran normatif work in progress, kritik terhadap HAM dapat menuju pemahaman
universalisme HAM yang lebih canggih, lebih hati-hati, lebih rendah hati, dan lebih realistik.
Hal ini sangat penting agar proyek HAM tetap terbuka pada pemahaman, penemuan,
pembaruan, dan adaptasi baru. Dalam hal kebebasan beragama, universalisme normatif
memungkinkan konsep ini untuk terus berkembang dan mengakomodasi perbedaan budaya
dan agama, sambil tetap mempertahankan hak asasi manusia yang fundamental.

Forum Internum

Salah satu yang menjadi titik ketegangan (seteru) kebebasan beragama dan moderasi
beragama terletak pada idealitas yang hendak dituju kedua konsep tersebut. Ketegangan yang
paling nampak dari dua konsep ini adalah tetkait dengan cara pandang atas forum internum.

19
Yakni wilyah yang masuk dalam ranah ruang batin personal seorang individu. Bagi
kebebasan beragama, berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal
18, forum internum dideskripsikan dalam tiga bagian yakni: menjamin hak atas kebebasan
pemikiran, hati nurani dan kepercayaan/keyakinan agama. Pasal ini pula yang menjadi acuan
Komnas HAM membuat buku standar norma pengaturan tentang hak atas kebebasan
beragama yang mana pada pasal 37 disebutkan “hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani,
beragama atau berkeyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
termasuk dalam keadaan darurat"

Konsep moderasi beragama menganggap bahwa ekstremisme dalam agama dapat


membahayakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat. Ada beberapa patokan
untuk mengidentifikasi seseorang yang dianggap sebagai ekstrem atau tidak moderat dalam
agama, yaitu: mencederai nilai-nilai kemanusiaan dalam agama, melanggar kesepakatan
bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan melanggar ketentuan hukum
yang berlaku untuk mewujudkan ketertiban sosial dan kemaslahatan bersama. Sementara itu,
untuk mengukur keberhasilan penguatan moderasi beragama, terdapat beberapa indikator
seperti komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi.
Indikator ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan program
kebijakan publik sehingga tujuan dan ideal dari kebebasan beragama dapat tercapai.

Terdapat titik temu dan titik seteru antara konsep kebebasan beragama dan moderasi
beragama dalam ranah forum internum, yaitu:

Titik Temu:

 Kedua konsep mengakui keberadaan forum internum sebagai wilayah yang penting
bagi individu dalam mengekspresikan keyakinan dan praktek agama mereka.
 Kedua konsep memandang bahwa individu memiliki hak untuk memilih dan memeluk
agama atau kepercayaan sesuai dengan keyakinan dan kehendak mereka.

Dengan demikian, konsep moderasi beragama dapat menjadi solusi untuk mengatasi
berbagai bentuk ekstremisme dalam agama yang dapat membahayakan kedamaian dan
keharmonisan dalam masyarakat. Dalam konteks kebebasan beragama, moderasi beragama
dapat membantu individu untuk mempraktikkan agama mereka secara bebas namun tetap

20
memperhatikan nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat secara umum dan batasan hukum
yang berlaku.

Titik Seteru:

 Konsep kebebasan beragama menempatkan forum internum sebagai wilayah yang


tidak dapat diintervensi oleh pihak luar, sedangkan konsep moderasi beragama
menempatkan forum internum sebagai wilayah yang dapat diintervensi oleh pihak
luar, terutama oleh negara atau institusi keagamaan. Dalam konsep kebebasan
beragama, aliran politik, keyakinan, gender seseorang/suatu kelompok merupakan
bagian dari hak yang harus dijamin sepenuhnya. Selama tidak melakukan kekerasan
maka semua orang memiliki hak. Dengan demikian tidak membela aliran, keyakinan
sesuatu, HAM sedang sedang membela semua orang yang memiliki aliran, keyakinan
yang berbeda-beda.

Namun, di sisi lain lahirnya moderasi beragama karena kesadaran bahwa cara
pandang keagamaan seseorang kadangkala sering bermasalah serta menjadi legitimasi
untuk berbuat kekerasan sehingga perlu dimoderatkan. Cara pandang atau praktik
keagamaan yang ekstrem tersebut yang dianggap menyebabkan seseorang berperilaku
intoleran dan diskrimanatif. Jadi, ketika moderasi beragama menyasar ranah forum
internum dengan mengubah sikap atau pandangan individu, justru dianggap
berpotensi menyeret terlalu jauh mengakibatkan pembatasan yang tidak semestinya
terhadap kebebasan.

 Konsep kebebasan beragama menekankan bahwa individu memiliki hak untuk


mempraktikkan agama mereka tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari pihak luar,
sedangkan konsep moderasi beragama menekankan bahwa praktik keagamaan
individu perlu diatur agar tidak menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan dalam
masyarakat.

Dengan demikian meskipun memiliki banyak kesamaan, ranah forum internum secara
konseptual tetap menjadi titik ketengangan yang terus menuai polemik antara kebebasan
beragama dan moderasi beragama. Solusinya adalah menghargai kedua pandangan tersebut
sebab upaya untuk menyamakan dirasa tidak perlu. Selain itu upaya untuk menyatukan

21
perbedaan tersebut hanya akan membuat salah satu atau keduanya kehilangan nilai-nilai
fundamental dan saling menegasikan.

Relasi Agama dan Negara

Dalam konteks Indonesia, secara umum persoalan utama dari konsep kebebasan
beragama dan moderasi beragama adalah pada sejauhmana relasi agama dan negara. Hal ini
dilakukan demi menghadirkan negara sebagai rumah bersama yang adil dan ramah bagi
warga negara dalam menjalani kehidupan beragama yang rukun dan damai. Dalam melihat
persoalan relasi agama dan negara, perjumpaan kebebasan beragama dan moderasi beragama
memiliki ketegangan sekaligus titik temu. Konsep kebebasan beragama beranggapan bahwa
agama merupakan ranah paling privat dari setiap warga negara, ekspresinya di ruang publik
tidak sepatutnya mendapat kontrol dari negara, sebab telah tertuang pada instrumen-
instrumen internasional dan harus diimplementasikan sedemikian adanya.

Ketika kebebasan beragama mengidealkan negara tidak ikut campur urusan forum
internum agama, moderasi beragama justru sebaliknya berupaya untuk menyelaraskan relasi
beragama dan bernegara dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan natara beragama dan
bernegara. Terkait relasi agama dan negara ini perlu dipahami juga batasan dan ukuran,
kapan negara perlu menyerahkan kepada umat beragama. Misalnya dalam pemberlakukan
norma atau hukum agama yang terkait dengan nilai-nilai universal yang diakui semua agama,
negara wajib hadir dan mengaturnya melalui regulasi untuk menciptakan keadilan dan
keharmonisan. Ketika menyangkut norma agama yang kebenarannya hanya diakui salah satu
agama, negara boleh mengatur tata organisasi dan operasionalnya, bukan pada substansi
ritualnya. Sedangkan ketika sudah menyangkut pemberlakuan norma yang terkait dengan
teologi agama maka negara tidak bisa ikut campur.

Dalam konteks Indonesia, penghilangan sepenuhnya campur tangan negara terhadap


agama sulit diterapkan sebab bertentangan dengan tujuan awal bangsa ini didirikan. Lagi pula
anggapan ideal suatu negara demokratis-sekller, di mana negara sudah tidak seharusnya
mengatur agama sudah dianggap mulai tidak relevan sebab beberapa negara yang sekuler
dengan demokrasi yang terbilang mapan pun justru membuat kebijakan atau regulasi yang
mengatur umat/ lembaga agama. Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan dan
jaminan hak-hak keagamaan warga negara, namun dalam kerangka moderasi beragama,
negara harus membatasi campur tangan dalam ranah teologis dan tidak diskriminatif dalam

22
mengelola kehidupan keagamaan. Dengan demikian, non-diskriminasi menjadi kunci dalam
mencapai titik temu antara kebebasan beragama dan moderasi beragama dalam relasi antara
negara dan agama.

Kemanusiaan dan Pengakuan Agama

Pada dasarnya, titik temu antara moderasi beragama dan kebebasan beragama adalah
manusia sebagai fokus utama. Kebebasan beragama melindungi hak-hak manusia untuk
memilih dan menjalankan agama atau keyakinan tanpa diskriminasi, sementara moderasi
beragama bertujuan untuk mendorong sikap moderat dalam pandangan keagamaan manusia
agar tidak menimbulkan konflik dan intoleransi. Namun, terdapat perbedaan pandangan
dalam hal ciri umum kebebasan beragama dan pemahaman terhadap Pancasila sebagai
ideologi negara.

Menurut pandangan kebebasan beragama, setiap manusia memiliki hak yang sama
untuk memilih dan menjalankan agama atau keyakinan tanpa ada diskriminasi dan harus
dipenuhi oleh negara. Hal ini termasuk memberikan pengakuan terhadap agama-agama lokal,
kesetaraan gender, orientasi seksual, dan kelompok yang tidak beragama. Namun, hal ini
merupakan tantangan tersendiri dalam konteks Indonesia karena beberapa agama minoritas
tidak termasuk dalam kategori agama monoteistik yang diakui dalam Sila "Ketuhanan Yang
Maha Esa" di Pancasila.

Sementara itu, pandangan moderasi beragama mempertegas bahwa setiap warga dan
umat beragama harus meyakini bahwa di Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah
berindonesia, dan berindonesia itu pada hakikatnya adalah beragama. Meskipun Indonesia
bukan negara agama, Indonesia adalah negara beragama dan Pancasila telah menjadi salah
satu landasan utama untuk menjamin kebebasan beragama. Namun, beberapa kalangan
menganggap bahwa istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam konteks agama minoritas
telah membatasi ruang lingkup kebebasan beragama di Indonesia dan menekankan bahwa
kelompok yang tidak mempercayai konsep ketuhanan berpotensi untuk tidak diakui bahkan
berpotensi mendapat diskriminasi.

Aspek Regulasi dan Resolusi Dewan HAM 16/18

Secara hukum, kebebasan beragama dan moderasi beragama memiliki titik temu yang
kuat dalam berbagai regulasi di Indonesia. Kebebasan beragama dijamin oleh UUD 1945,

23
DUHAM tahun 1948, dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM juga menjamin kebebasan beragama dan mengemban tanggung jawab moral dan
hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan DUHAM serta instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia. Di sisi lain, moderasi beragama juga menjadi tanggung
jawab Kementerian Agama, sebagaimana tercantum dalam Perpres 18 tahun 2020 tentang
RPJMN 2020-2024. Oleh karena itu, penguatan moderasi beragama tidak boleh bertentangan
dengan UU No. 39 tahun 1999 dan regulasi hak asasi manusia lainnya.

Meski demikian, terdapat ambivalensi dalam wacana moderasi beragama yang belum
secara jelas menunjukkan keberpihakan pada kepercayaan lokal. Pasal 22 ayat (2) UU 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, "setiap orang bebas memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Belum teraplikasi
secara maksimal dalam tataran praktis. Kebijakan yang ada lebih mengafirmasi pada agama
yang diakui negara tanpa memberikan hak yang setara pada konteks kepercayaan. Terbukti
hingga saat ini pengakuan atas kepercayaan lokal masih belum mencapai titik kesepakatan
yang terlihat dalam kebijakan negara. Seharusnya dengan masuknya moderasi beragama
sebagai program nasional dalam RPJMN, rekognisi terhadap kepercayaan lokal turut serta
menjadi perhatian program moderasi beragama.

Selain DUHAM dan ICCPR, terdapat dua kebijakan internasional lainnya yang
sejalan dengan kebijakan moderasi beragama di Indonesia, yaitu Resolusi Dewan HAM PBB
16/18 tentang memerangi intoleransi dan diskriminasi, serta Resolusi Kembar Moderation
dan International Day of Living Together in Peace. Namun, implementasi moderasi beragama
belum tampak dalam penerapannya dan bahkan seringkali kebijakan yang dianggap sebagai
bagian dari moderasi beragama justru menciderai kebebasan beragama.

Kesimpulan

Secara umum, kesimpulan penelitian ini adalah bahwa dalam konteks Indonesia,
konsep moderasi beragama tidak sepenuhnya bertentangan dengan konsep kebebasan
beragama. Beberapa bagian seperti pandangan atas relasi negara dan agama, aspek
kemanusiaan, bahkan pada ranah forum internum yang seringkali dianggap merupakan kunci
ketegangan keduanya ketika dikaji lebih dalam masih terdapat peluang titik temu. Lebih dari
itu, konsep moderasi beragama justru dapat menjadi sarana untuk memperkuat gerakan
kebebasan beragama di Indonesia.

24
BAB VI: MENAKAR MODERASI BERAGAMA DARI PERSPEKTIF KEBEBASAN
BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN

Pada tahun 2009, Kementerian Agama (Kemenag) RI membuat suatu langkah untuk
memerangi radikalisme agama yaitu dengan meluncurkan gerakan Moderasi Beragama.
Moderasi beragama adalah suatu konsep dan gerakan yang baru dibentuk dan telah membuat
pembatasan KBB dalam bentuk dokumen peraturan maupun hukum. Tetapi Moderasi
Beragama ini dianggap mengekang kebebasan beragama, ada juga penolakan yang datang
dari sejumlah gerakan di masyarakat. Moderasi Beragama dicurigai memicu ketakutan
terhadap agama sendiri. Penolaka juga datang dari organisasi keagamaan Islam seperti
Deklarasi Tegalsari yang menganggap bahwa Moderasi Beragama ini memasukkan konsep
Barat ke pesantren. Hal ini menandakan bahwa kehadiran Moderasi Beragama di Indonesia
membuka ruang perdebatan. MB ini belum banyak mendapatkan perhatian yang serius dari
akademisi, sekalipun ada masih berupa ulasan umum yag disampaikan melalui opini. Ini lah
yang menjadi fokus pada bab enam yang berfokus pada titik tegang antara Modernisasi
Beragama dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan karena peneliti buku ini menyakini
bahwa ada kesenjangan konsep antara MB dan KBB yang mempengaruhi arah tata kelola
agama di Indonesia ini. MB memberi ruang kepada negara untuk terlibat aktif dalam
mengatur kebebasan umat beragama sehingga menghadirkan pelanggaran terhadap KBB.

Moderasi secara harfiah berarti pengurangan kekerasan, setiap orang yang beragama
pasti mengidealkan bentuk keberagamaan yang paripurna, bukan yang setengah-setengah. Di
Barat, istilah moderat dinilai ambigu dan memicu perdebatan. Islam moderat adalah bagian
dari retorika Barat yang dimaksudkan untuk menormalisasi berbagai bentuk kekerasan Barat
di Dunia Muslim. Moderat di Barat dikontruksikan sebagai penerimaan terhadap nilai-nilai
intrinsic Barat, seperti demokrasi, sekularisme, HAM, maupun kesetaraan gender, sekaligus
mengabaikan spectrum dari moderasi. Konsep moderasi ala Barat menajdi permasalahan jika
diterapkan di Indonesia. Kategori yang dipakai untuk menggambarkan muslim di Indonesia
seperti tradisional-modernis, fundamentalist-liberal. Kemenag RI mendefinisikan moderasi
beragama sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi ditengah-
tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama. Definisi ini didasarkan pada
konsep keseimbangan, keadilan, atau posisi di antara dua kutub ekstrem sebagai inti dari
semua ajaran agama manapun. Nilai dan tujuan luhur yag hendak dicapai melalui Moderasi
Beragama dalam mengelola keberagaman agama di Indonesia patut diapresiasi dan didukung.
Intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama menjadi musuh bersama dan

25
menuntut peran serta dari berbagai pihak dan Moderasi Beragama adalah obat yang
diharapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Keberagaman di Indonesia adalah takdir yang
harus diterima, bukan ditawar. Konsep moderasi mengandung bias politik, seperti di negara
Timur Tengah, seperti Maroko, Yordania berhasil menjadi strategi efektif melawan
ekstremisme dengan kekerasan. Dalam mengelola keberagaman agama di Indonesia,
Moderasi Beragama melengkapi norma-norma dalam tatakelola kenegaraan di Indonesia,
termasuk jaminan dan perlindungan kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam pasal 2
UUD 1945 (2).

Kebebasan Beragaa sebagai komponen HAM disebutkan secara eksplisit dalam pasal
18 Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) ‘’setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nuani, dan agama’’. Dalam konteks PBB, istilah Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan (Freedom of Relogion or Belief). Meski sudah distur di ranah internasional
maupun nasional, salah sau komponen HAM ini terus memicu perdebatan. KBB menjai
bagian yang tidak bisa dilepaskan dari tata kelola berbagai negara dalam mengatur
keberahaman agama, meskipun dalam prakteknya sangat beragam. Prinsip KBB yang relevan
dalam pembahasan ini yaitu :

1. Manusia sebagai fokus utama. Setiap orang dilahirkan bebas dan setara dalam
martabat dan hak-haknya. Ketika berbicara mengenai agama, fokus dari KBB
adalah manusia baik secara individu atau kelompok
2. Pembatasan yang diperbolehkan. Pembatasan dilakukan berdasarkan UU dengan
alasan yang sah, seperti keselamatan, ketertiban, kesehatan, moralitas public, dan
kebebasan hak-hak orang lain.
3. Kesetaraan dan nondiskriminasi. Kesetaraan bagi semua orang untuk bebas
menentukan pilihan keyakinannya.
4. Negara berkewajiban menghormati dan melindungi dan memenuhi KBB

Pendekatan moderat bukanlah hal yang baru dalam hubungan agama dan negara di Indonesia.
Perdebatan antara pendukung negara Islam VS Negara Sekular dalam menentukan bentuk
negara berakhir melalui kompromi dengan kelahiran Pancasila. Indonesia merdeka menjadi
negara Pancasila. Wajah KBB di Indonesia sangat bergantung pada kebijakan tata kelola
agama oleh rezim yang berkuasa.

Moderasi Beragama Dan Tafsir Kebebasan

26
Dikatakan bahwa MB adalah salah satu wujud upaya pemerintah menjamin kekebasan
beragama bagi pemeluk agama yang ada di Indonesia. Negara berkewajiban memberi
jaminan dan perlindungan kebebasan beragama yang lapang ban bertanggungjawab dengan
tambahan penjelasan sebagai berikut : “ Beragama adalah menjadikan suatu ajaran agama
sebagai jalan pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang
benar. Karena bersumber dari keyakinan diri, maka paling menentukan keberagaman
seseorang adalah hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan paling pribadi. Apakah
seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan oleh
keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara pribadi.

Meski tidak memberi penjelasan secara eksplisit tentang arti kekebasan beragama,
MB menyebutkan kekebasan beragama yang lapang dan bertanggung jawab. Dalam beberapa
bagian lain, kekebasan beragama dikaitkan dengan toleransi dalam arti kelapang dada, dalam
pengertian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat dan berpenderian lain,
tidak mau mengganggu kekebasan berpikir dan keyakinan lain.

Moderasi Beragama Dan Pembatasan KBB: Orientasi Keamanan Atau Hak

KBB di satu sisi mengharuskan jaminan dan perlindungan KBB pada universalitas yang
sangat ketat, dan juga peran minimal negara. Di sisi lain, MB mengedepankan nilai-nilai
partikularitas, pembatasan yang sewenang-wenang, dan juga peran maksimal Negara melalui
sejumlah aturan. Buku MB memahami keangsaan sebagai kessetiaan pada konsensus dasar
kebangsaan, terutama Pancasila sebagai ideology Negara. Kebangsaan juga mensyaratkan
penolakan terhadap ideology lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Toleransi dalam buku MB dikonseptualisasikan sebagai sikap untuk memberi ruang


dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya,
dan menyampaikan pendpaat, meskipun hal tersebut berebeda dengan apa yang kita yakini.
MB bertujuan untuk melakukan internalisasi ajaran agama sekaligus mengatasi problem
kekerasan atas nama agama. Hak-hak dan kekebasan kelompok radikal dan intoleran perlu
dibatasi karena keberadaan mereka mengancam sendi-sendi keindonesiaan jika dibiarkan
tumbuh dan berkembang. Berdasarkan pasal 28J UUD 1945 Amandemen pembatasan ini bisa
dilakukan karena alasan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamana, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.

27
Argumen “ketertiban umum” banyak dipakai oleh Negara dalam melakukan
pembatasan KBB dan juga kekebasan berekspresi ayau menyamoaikan pendapat, sayangnya,
pembatasan ini dilakukan pada prakteknya bersifat diskriminatif karena dalih stabilitas dan
kepentingan mayoritas. Konteks pembatasan KBB di Indonesia mengikuti nalar hukum
dalam KUHP Ban V, Pasal 154-181, tentang “ Kejahatan terhadap Ketertiban Umum”
termasik penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama, bukan norma HAM.

Di Indonesia, konsep “keselamatan (safety) dalam Pasal 18 diterjemahkan menjadi


“keamanan (security), sebagaimana dijumpai dalam UU No. 12/2005 tentang Pwengesahan
ICCPR. Alih-alih menggunakan istilah keselamatan sebagai norma pembatasan, Pasal 28J
UUD 1945 mencantumkan norma keamanan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demikratis.
Maka tidak heran, pembubaran HTI dan FPI menuai sejumlah penolakan. Koalisi Masyarakat
sipil, misalnya mengganggap pembubaran dan pelanggaran kedua ormas ini betentangan
dengan prinsip Negara hukum dan juga kekebasan berserikat dan berkumpul.

Intoleransi Dan Kekerasan Dalam Kerangka KBB

Penolakan KBB terhadap pembatasan yang sewenang-wenang terhadap radikalisme,


ekstrisme atau ideology apapun mungkin memeri kesan banwa KBB memberi tiket bagi
terjadinya intoleransi atau penodaan agama. Kesan seperti ini biasanya berangkat dari
kesalahpahaman terhadap KBB sebagai proyek riberalisme Barat yang mengusung kekebasan
tanpa batas. Padahal KBB dan juga komponen HAM lainnya lahir dari tragedy kemanusiaan
dalam sejarah peradaban manusia. KBB, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga mengenal
norma-norma pembatasan berdasar nilai-nilai particular dalam konteks lokalitas tertentu.
Namun demikian, KBB menegaskan bahwa berbagai praktik pembatasan, sekalipun atas
nama perang melawan intoleransi maupun terorisme, harus dilakukan secara hati-hati dan
tidak boleh dipakai sebagai justifikasi bagi berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Dalam lensa KBB kekerasan atas nama agama melibatkan banyak faktor dan tidak
boleh direduksi sebagai persoalan agama semata, analisis terhadap berbagai faktor seperti
politik, ekonomi, budaya mutlak diperlukan. Menurut Bielefeldt, keterkaitan antara kekerasan
dan agama kerap dipahami dalam dua pandangan reduksionis. Pertama, pandangan esensialis

28
mengandaikan kekerasan lahir murni dari esensi agama. Kedua, instrumentalisasi agama yang
menyangkal motif agama dalam kekekrasan. Dua cara pandang inij menumbuhkan sikap
dfatalistik dan melahirkan penanganan yang malah berdampak serius pada jaminan dan
perlindungan KBB.

Bagian penting lain dari Resolusi ini adalah ajakan untuk memajukan toleransi
budaya dan perdamaian di segala tingkatan berdasarkan penghormatan terhadap HAM dan
keberagaman agama dan kepercayaan. Seperti MB, KBB juga mendorong toleransi dan
dialog agama sebagai pondasi terciptanya kerukunan dan perdamaian.

Penutup

Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini hendak membenturkan MB dan KBB. Kedua
konsep ini telah menajdi bagian tak terpisahkan dari tata kelola agama di Indonesia. MB
adalah bagian dari ikhtiar pemerintah u tuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Tulisan
ini menunjukkan bahwa MB memiliki celah-celah yang perpotensi melemahkan perlindungan
terhadap KBB, MB telah memasuku ranah internal KBB yang tidak boleh dibatasi dalam
kondidi apapun, MB memposisikan KBB sebagai lebih melindungi “agama” dari pada
“manusia”.

BAB 7: CUKUPKAH MENJADI MODERAT ?

Gagasan Moderasi Beragama dalam penempatan konteks diskursus global dan


nasional. Gagasan MB, telah dikembangkan oleh kemenag yang mewarnai konsep yang
berakar kuat dalam tradisi Islam, yaitu wasathiyah. Beberapa pandangan orang bahkan daari
kaum muslim yang beranggapan bahwa moderasi bukanlah bentuk suatu label yang baru
dilekatkan dalam agama islam tetapi merupakan bagian bagian yang telah melekat dalam
agama islam itu sendiri yang sebenarnya menegaskan bahwa agama-agama yang berada di
Indonesia pada dasarnya memang sudah moderat, yang menegaskan bahwa hal-hal yang
sebenarnya diperlukan dalam konteks perbaikan tata kelola agama secara demokratis yang
didasarkan dengan perspektif yang dibangun dari cita-cita konstitusi Indonesia, yang telah
mengimajinasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang Inklusif dan demokratis. Cita-cita
ini mengeaskan bahwa kelompok-kelompok masyrakat yang berrasal dari indentitas yang
berbeda dapat hidup bersama dan juga memiliki hak maupun kewajiban kewarganegaraan
yang setara satu sama lain.

Silang Sengkarut Konseptual : Sekuritisasi, Moderasi, atau Kebebasan?

29
Munculnya kekhawtiran terhadap sekuritisasi agama sebagai instrument tata kelola
agama, setelah era kebangkitan agama pada tahun 1970-1980-an munculnya peristiwa teror
atas nama agama yang dapat dipahami sebagai kekhawatiran terhadap ideologi dan ekspresi
keagamaan yang keras. Berdasarkan dari perspektif keamanan negara dan masyarakat,
komunitas agama mendapat sorotan terus menerus sebagai bentuk strategi untuk mengubah
ideologi dan ekspresi keagamaan komunitas agama, strategi ini tidak efektif dan menciptakan
rasa tidak percaya dan curiga yang dapat mempengaruhi relasi dalam masyrakat.

Di Indonesia, ide mengenai moderasi bukanlah hal yang baru, namun ide ini telah
menjadi suatu program pemerintahan yuang telah dikampanyekan secara intensif. Program
ini sangat sulit menjaawab persolaan polarisasi atau saling curiga dalam masyarakat yang
tidak sehat berdasrkan demokrasi. Di pelbagai negara termasuk Indonesia mengambil
kebijakan sekuritisasi agamayang terkait dengan politik nasional yang berdasrkan pandangan
lain ide tersebut merupakan pembatasan pada suatu hal yang tidak dianggap moderat,
kebijakan seperti ini yang akhirnya akan pada defisit demokrasi yang akut.

Cukupkah Menjadi Moderat

Program MB telah menjadi program pemerintah yang telah dikonsepsikan sebagai


jawaban atas kritik terhadap pemertintahan yang telah diajukan yang menyatakan bahwa
negara kerap tidak muncul dan hadir dalam pelbagai konflik dan kekerasan yang melibatkan
komunitas keagamaan. Kehadiran program MB sebagai wujud kehadiran yang secara teoritis
dianggap sebagai isu yang tidak mudah . “ bentuk kehadiran “ diperspepsikan sebagai campur
tangan negara yang sangat jauh dalam urusan keagaamaan.

Tata kelola keagaamaan yang mencakup upaya-upaya dalam mengatasi pelbagai


konflik yang melibatkan komunitas agama yang diakibatkan oleh kebijakan negara atau
pergesekan antar kelompok beragama yang mengakibatklan berkurangnya atau hilangnya
hak-hak warga negara. Ide besar yang mendasari mb ialah asumsi terhadap banyaknya
persoalan yang terkait dengan agama, yang terdiri atas konflik, kekerasan , terorisme maupun
diskriminasi.

Moderat adalah atribut bagi pikiran atau keyakinan yang dianggap sebagai faktor
utama dalam mengambil keputusan untuk tindakan. Hal tersebut mengacu pada individu dan
sekelompok kegamaan tertentu yang didasarkan oleh pikiran atau keyakinannya yang

30
menciptakan pelbagai kebijakan yang bersifat diskriminatif, berdasarkan asumsi ini, negara
“hadir” untuk mengintervensi pandangan atau sikap mereka.

Pandangan konflik mengenai teori resolusi atau transformasi konflik menunjukkan


dalam menyelesaikan persolan hal yang penting bukanlah kemoderatan pandangan dalam
setiap orang tetapi sikap dan prilaku menjadi faktor yang penting, sesorang mampu
berkomunbikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Berdasarkan perspektif hak-hak asasi
manusia, yang menjadi perhatian utama didasrkan pada negara itu sendiri sebagai pengemban
kewajiban, negara “ hadir:” ialah melindungi hak-hak yang sama yang dimiliki oleh semua
warga negara. Program MB merupakan suatu bentuk wujud keberpihakan negara pada
kelompok yang bersifat toleran, negara menjamin kesetaraan hak dan mencegah diskriminasi
dan memastikan bahwa negara memenuhi tanggung jawabnya sebagai pengemban kewajiban.

Penutup

Berdasarkan pernyataan diqatas dapat dijawab dengan tegas, bahwa tidak cukup menjadi
m,oderat dan adil dalam menuntut satu gagasan dan program untuk menyelesaikan semua
permasalahan. Kontras antara moderasi dan kebebasan beragam yang perlu mendapat
perhatian. Pendasaran praktik, prinsip utama KBB adalah Non-diskriminasi dan non-koersi
yang menjadi tuntutan utama bagi pemerintahan sebagai pengemban kewajiban, perubahan
diharapakan meski dimulai dari pemerintah itu sendiri. Pemerintah juga memperhatikan
ruang lingkup kebijakan yang lebih besar yang sebagian mengarah pada kontra produktif.
Kementrian agama sebagai sektor yang memimpin pengembangan MB, berperan dalam
mengatasi pelbagai kebijakan yang kontra produktif bagi tujuan MB.

MB telah berkembang lebih luas, bahwa perlunya peringatan gaar program MB tidak
berkembang menjadi instrumen legasl untuk pendisiplinan yang dianggap “tidak moderat”.
Ide bahwa “ moderat” merupakan berada ditengah-tengah yang dapat menjadi penghambat
bagi ide-ide progresif yang biasanya melampaui pandangan yang dianggap dapat diterima,
apabila jika” moderat” bersinggungan dengan kepentingan pihak politik yang berkuasa, yang
dengan tegas mengambil peringatan tegas.

31

Anda mungkin juga menyukai