Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN PUBLIK DAN ADVOKASI

ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Advokasi

oleh :
Kelompok 3

Atik Ardiyanti (P17331119408) Inten Noer Indillah (P17331119419)


Fajar Muhammad A (P17331119414) Lati Nurlatifah (P17331119420)
Fitriani Gunawan (P17331119417) Riani Sri Rahayu (P17331119429)
Gina Hanifah (P17331119418)

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG


JURUSAN GIZI
D-IV ALIH JENJANG
2019
PENDAHULUAN

A. Pengertian advokasi kebijakan


Advokasi kebijakan adalah suatu proses terencana dan
sistematis yang dilakukan untuk memperbaiki atau mengubah suatu
kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan siapa
yang mendesakkan terjadinya perbaikan dan perubahan tersebut,
dengan jalan mempengaruhi para penentu kebijakan.

B. Unsur advokasi kebijakan


Unsur yang terkandung dalam advokasi kebijakan:
1. Proses yang terencana dan sistematis.
2. Bertujuan memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan.
3. Kebijakan publik sebagai sasaran advokasi. Dalam pengertian
ini, tercakup pula pembuatan suatu kebijakan publik bagi
kepentingan bersama yang sebelumnya tidak ada.
4. Kehendak, merupakan aspirasi atau materi yang didesakkan,
atau alternatif yang didesakkan untuk menggantikan kebijakan
lama atau ditetapkan sebagai kebijakan baru.
5. Pihak yang melakukan advokasi (mendesakkan kepentingan).
6. Pihak yang diadvokasi (didesak untuk melakukan perubahan
atau menetapkan kebijakan), yaitu para penentu kebijakan.
Penentu kebijakan itu bisa DPR, DPRD, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, kepala desa, ketua RW, ketua RT, dll.

C. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah kebijakan yang diperuntukkan bagi
masyarakat umum. Guna memahami kebijakan publik, maka perlu
dilihat sebagai suatu "sistem hukum" (system of law) yang terdiri dari :
1. Isi hukum (content of law), yaitu uraian atau penjabaran tertulis
dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-
undangan, peraturan, dan keputusan pemerintah. Ada juga
kebijakan-kebijakan yang lebih merupakan kesepakatan umum
(konvensi) yang tidak tertulis.
2. Tata-laksana hukum (structure of law), yang terdiri dari (1)
semua perangkat kelembagaan/lembaga-lembaga hukum
seperti birokrasi pemerintah, pengadilan, penjara, partai politik,
dll; serta (2) pelaksana/aparat pelaksana dari isi hukum yang
berlaku seperti hakim, jaksa, pengacara, polisi tentara, pejabat
pemerintah, anggota DPR, dll.
3. Budaya hukum (culture of law), merupakan aspek kontekstual
(aspek yang berhubungan dengan situasi suatu kejadian) dari
sistem hukum yang berlaku yaitu tentang persepsi,
pemahaman, sikap penerimaan, praktik pelaksanaan,
penafsiran terhadap dua aspek sistem hukum (isi dan tata-
laksana hukum). Termasuk juga bentuk-bentuk tanggapan
(reaksi, respon) masyarakat.terhadap pelaksanaan isi dan tata-
hukum tersebut.

D. Jenis-jenis advokasi
Ada 2 jenis advokasi:
1. Advokasi litigasi, yaitu advokasi yang dilakukan melalui jalur
hukum ke pengadilan. Yang termasuk dalam jenis advokasi
litigasi adalah legal standing dan class action.
a. Legal Standing
Legal standing adalah tuntutan hukum di pengadilan yang
dilakukan oleh orang-perorangan ataupun
kelompok/organisasi yang bertindak untuk dan mewakili
kepentingan publik tanpa harus didasarkan adanya
kepentingan hukum dari tuntutan tersebut dan tanpa harus
merupakan penderita ataupun adanya kuasa hukum dari
mereka yang menjadi penderita.

b. Class Action
Class action dilakukan untuk tuntutan perdata yang biasanya
terkait dengan permintaan ganti rugi yang diajukan oleh
sejumlah orang atau perorangan.
2. Advokasi non-litigasi, yaitu advokasi yang sifatnya lebih
politis, antara lain advokasi kebijakan, kampanye media dan
mobilisasi massa.

E. Langkah-langkah dalam Melakukan Advokasi


1. Menentukan isu
a. Sumber lsu
Isu adalah suatu realitas (kenyataan) sosial yang menjadi
permasalahan nyata yang ada di sekeliling kita. Kesadaran
akan adanya permasalahan ini harus dimunculkan dengan
cara pengamatan, pemahaman, dan interpretasi (tafsir) kita
terhadap realitas sosial yang melingkupi kehidupan kita
sehari-hari karena bisa jadi apa yang sebenarnya
merupakan suatu masalah tapi kita menganggapnya bukan
masalah.
b. Alasan Pemilihan Isu
Dari hasil pengamatan, pemahaman, dan interpretasi
terhadap realitas sosial, maka akan dihasilkan sekian
banyak isu. Dengan melihat kemampuan kita, maka harus
dilakukan pilihan terhadap prioritas isu mana yang harus
digarap terlebih dahulu. Pertimbangannya adalah :
 Sesuai dengan visi dan misi kita.
 Isu tersebut benar-benar penting dan mendesak.
 Sarat dengan kebutuhan dan aspirasi sebagian besar
anggota masyarakat.
 Dilakukan cek ulang terhadap masyarakat, apakah isu
yang diangkat benar-benar merupakan isu mereka.
 Berdampak positif pada pengadaan dan perubahan
kebijakan-kebijakan publik.
c. Mengetahui Posisi Isu secara Hukum
Sebelum advokasi dilakukan, penting untuk mengumpulkan
berbagai informasi berkaitan dengan peraturan atau undang-
undang yang mengatur tentang isu yang akan diangkat. Hal
ini penting dilakukan guna menjamin kita benar-benar
mengetahui posisi hukum isu yang diangkat, resiko yang
akan dihadapi dan celah-celah yang dapat dimanfaatkan
untuk melakukan advokasi dengan meminimalisir resiko.
2. Menentukan target yang ingin dicapai
Target disini diartikan sebagai tujuan dan hasil (out put) minimal
yang ingin dicapai. Ada 5 prinsip yang dapat digunakan dalam
penetapan target, yaitu: Specific, Measurable, Achieveable,
Realistic, dan Time-bound yang disingkat dengan SMART.
a. Specific (terfokus): apakah sasaran yang ingin dicapai
spesifik dan jelas?
b. Measurable (terukur): apakah hasilnya dapat diukur dan
apakah ada indikator (alat ukur) yang jelas yang dapat
digunakan untuk mengukurnya?
c. Achievable (tercapai): apakah sasaran atau hasil yang ingin
dicapai benar-benar dapat diwujudkan?
d. Realistic (rasional): apakah sasaran atau hasil yang ingin
dicapai adalah sesuatu yang wajar yang dapat diwujudkan?
e. Time-bound (waktu): berapa lama waktu yang tersedia untuk
mencapainya ?
3. Mengumpulkan informasi dan melakukan penelitian
Suatu advokasi yang baik harus ditunjang oleh data yang
credible (dapat dipercaya) dan valid (sah, benar). Data atau
informasi ini dapat diperoleh dengan melakukan suatu penelitian
yang ditujukan untuk memilih isu dan menemukan alternatif
pemecahan masalahnya. Akses (ketercapaian) terhadap
sumber informasi sangat penting dengan mengetahui jalur-jalur
informasi di seputar isu yang diangkat dan contact person
(orang-orang yang bisa dikontak) yang dapat membantu
memperoleh isu tersebut.
4. Menentukan konstituen
Konstituen adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan
kelompok, yang mewakili dan orang-orang dari mana kita
mendapat dukungan politik. Cara yang dapat dipraktikkan
adalah dengan mengidentifikasi siapa yang berkepentingan dan
yang diuntungkan dari isu yang diangkat. Konstituen bisa
beragam kelompok kepentingan yang jelas, misalnya: kelompok
petani, kelompok pengusaha kecil, kelompok pedagang, dll.
5. Melakukan analisis potensi dan ancaman
Dalam upaya mendesakkan maupun mengubah suatu
kebijakan, maka tentu akan banyak tantangan yang akan
menghadang. Oleh karena itu kita harus menganalisis potensi
terlebih dulu untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kita,
yang meliputi 2 hal: analisis sumber daya dan analisis ancaman
atau resiko yang akan dihadapi.
a. Analisis Sumber Daya
Suatu rencana hanya akan tinggal rencana jika tak ada
sumber daya yang cukup guna mewujudkannya. Sumber
daya ini menjadi salah satu faktor penentu apakah rencana
advokasi yang telah disusun dapat dilaksanakan atau tidak.
Ada dua jenis sumber daya yang dilihat yaitu:
- Sumber Daya Manusia
Manusia yang terlibat dalam advokasi tersebut idealnya
memiliki kriteria sbb :
 Menguasai isu dan bahan-bahan yang akan
diadvokasikan
 Mampu berkomunikasi dengan baik
 Memiliki cukup jaringan
 Memiliki kematangan emosi
 Ulet dan tak kenal putus asa
- Sumber Daya Anggaran
Meskipun uang bukan segalanya, namun harus diakui
bahwa tanpa keberadaannya akan sulit melakukan suatu
advokasi. Berapa banyak uang atau anggaran yang kita
miliki akan menjadi pertimbangan untuk menentukan
pilihan strategi advokasi.
b. Analisis Ancaman dan Resiko
Isu yang kita pilih bisa jadi dianggap oleh orang lain
(terutama penentu kebijakan) sebagai isu yang merugikan
mereka, sehingga melakukan advokasi terkadang memiliki
konsekuensi resiko. Oleh karena itu sejak awal kita harus
sudah menyiapkan diri untuk menghadapi resiko-resiko
tersebut.
6. Bergabung atau membangun koalisi
Tuntutan yang diajukan oleh banyak orang dan banyak
kelompok kepentingan (lembaga) akan lebih didengar
dibandingkan oleh satu orang dan atau satu lembaga saja. Oleh
karena itu kita, perlu mencari dukungan mitra sebanyak
mungkin yang bisa diajak untuk bekerja sama dalam suatu
koalisi. Koalisi merupakan kerja sama antara beberapa individu
atau kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan yang
lebih besar. Ada 2 keuntungan yang bisa diperoleh dari koalisi:
a. Meningkatkan sumber, pengalaman, kredibilitas (perihal
dapat dipercaya) dan visibilitas (kejelasan) advokasi.
b. Meningkatkan kemungkinan perubahan kebijakan yang kita
tuntut, tuntutan kita akan lebih didengar dan kemungkinan
diraihnya sukses akan lebih besar.
c. Dalam melakukan koalisi, kita bisa bergabung dalam suatu
koalisi yang telah ada yang bisa memperjuangkan apa yang
kita tuntut, atau dengan cara membangun suatu koalisi baru.
7. Mengidentifikasi peluang dan hambatan
Dalam advokasi perlu dilakukan analisis peluang yang bertujuan
untuk mengidentifikasi keunggulan-keunggulan yang kita miliki
dan hal-hal apa yang menjadi hambatan, siapa para
penghambatnya, dan menyiapkan solusi untuk mengantisipasi
dan mengatasinya. Hambatan ini bisa berwujud hambatan
konstirusi, sistem, maupun kelemahan kita sendiri. Para
penghambat biasanya berasal dari mereka yang merasa
dirugikan jika advokasi itu berhasil mencapai tujuannya.
8. Menentukan Strategi Advokasi
Berdasarkan keaktifan dari siapa yang tengah melakukan
advokasi, maka strategi advokasi dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu: strategi advokasi yang proaktif dan
strategi advokasi yang reaktif.
a. Advokasi yang Proaktif.
Suatu strategi dimana kita secara proaktif bertindak untuk
mempengaruhi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan ini
sampai ditetapkan atau disahkan secara hukum. Termasuk
dalam strategi ini adalah bagaimana kita juga mendesakkan
suatu kebijakan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Dalam strategi ini, kita harus secara aktif mencari dan
mendapatkan informasi terhadap isu-isu kebijakan baru yang
akan dikeluarkan oleh para penentu kebijakan. Ada 3
cara/teknik utama yang tergolong dalam kelompok ini, yaitu :
lobby, hearing, dan kampanye.
- Lobby, merupakan sebuah kegiatan advokasi yang
mempengaruhi para pengambil keputusan agar mau
memberi dukungannya terhadap susut pandang kita. Ada
6 langkah penting dalam melakukan lobby:
1) Membangun hubungan yang baik dan kita menjadi
sumber informasi.
2) Memprioritaskan isu dan tidak meminta terlalu
banyak.
3) Datang dengan tawaran pemecahan masalah yang
diperoleh dari hasil penelitian (lihat langkah ke-3).
Tawaran tentang pemecahan masalah ini harus telah
terumuskan dengan baik.
4) Menyiapkan kontak dan materi pertemuan dengan
para pembuat kebijakan serta mempersiapkan
argumen pendukung atau bantahan. Melakukan
kontak, baik personal maupun kelembagaan.
5) Membawa data-data pendukung dalam lobby.

Ketika kita telah bertemu dalam suatu forum dengan para


pembuat kebijakan, maka proses lobby yang kita lakukan
dalam forum tersebut harus mengindahkan 5 prinsip
utama, yaitu :

1) Jangan emosional atau arogan.


2) Proses dialog harus seimbang, dalam arti : jangan
sampai kita menguasai forum dialog dan juga jangan
biarkan lawan bicara kita menguasai forum dialog.
3) Jangan memaksakan kehendak atau merasa kita lah
yang paling benar.
4) Jangan mengemis. Tempatkanlah diri kita sebagai pe-
lobby yang memiliki posisi tawar.
5) Jangan datang me-lobby tanpa membawa alat lobby
atau konsep.
- Hearing, dibagi menjadi dua, yaitu hearing kepada pihak
pengambil kebijakan dan hearing kepada publik. Hearing
kepada pihak pengambil kebijakan biasanya sudah
tercakup dalam kegiatan lobby, sehingga dalam strategi
ini kita memfokuskan diri pada kegiatan public hearing
(dengar pendapat dengan masyarakat) yang bertujuan
untuk mensosialisasikan gagasan kita dan mencari
masukan atau menyerap pandangan masyarakat di
seputar isu yang menjadi perhatian kita. Dalam
praktiknya, public hearing dapat dilakukan melalui
diskusi, debat terbuka, dan seminar.
- Kampanye
Kampanye adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam
rangka mensosialisasikan wacana, ide pandangan kita
terhadap suatui kebijakan atau suatu kasus tertentu yang
bertujuan untuk mendapat dukungan dari publik. Alat
yang bisa digunakan kampanye pada umumnya adalah
media massa, baik media cetak (koran, majalah, dll)
maupun media elektronik (radio, televisi, dll). Bentuk
kegiatan kampanye, misalnya: dialog interaktif di radio
atau TV, mengirimkan siaran pers (press release),
melakukan konferensi pers, mengirimkan suatu artikel,
dll.
b. Advokasi yang Reaktif.
strategi advokasi dimana kita berusaha untuk mengubah
kebijakan setelah kebijakan itu diundangkan atau ditetapkan
secara hukum, atau setelah masyarakat menanggung akibat
dari kebijakan tersebut. Oleh karena sifatnya reaktif, maka
strategi ini terkadang bersifat konfrontatif/perlawanan.
Cara/teknik advokasi yang masuk dalam kelompok ini adalah
: legal standing, class action, boikot, demonstrasi.
- Boikot.
Boikot adalah melakukan pembangkangan atau
penolakan untuk melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah. Boikot merapakan pembalasan/hukuman
terhadap kebijakan/sikap yang tidak kita setujui.
Himbauan untuk boikot biasanya diawali oleh sebuah
deklarasi yang diikuti serangkaian kampanye.
- Demonstrasi/Unjuk Rasa.
Sebelum demo yang pada umumnya melibatkan banyak
orang dilakukan, maka sebelumnya harus dilakukan
terlebih dulu analisa secara seksama : apa tujuan demo,
siapa yang terlibat dalam demo, berapa jumlah orang
yang diharapkan ikut demo, apakah ada kemampuan
untuk mengendalikan massa agar tidak anarkhis, apa
dampak yang akan ditimbulkan dari demo tersebut.
9. Melaksanakan agenda advokasi dan refleksi
Dua prinsip yang harus diingat dalam menjalankan agenda
advokasi adalah kecepatan menangkap peluang dan ketepatan
waktu bertindak. Oleh karena itu perlu diketahui tentang sistem
pemerintah, sistem legislatif dan jadwal kerjanya, identifikasi
pendukung dan penentang, siapa saja dari kalangan pembuat
kebijakan yang memiliki visi dan misi yang sama dengan kita.
Jika agenda advokasi telah dilakukan, maka haras dilakukan
refleksi mengenai apa saja telah kita lakukan.
10. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi penting untuk kelanjutan advokasi
karena kita akan mengetahui kelemahan dan kelebihan kita
yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan langkah
selanjutnya : apakah strategi yang digunakan sudah tepat atau
perlu diganti, apakah isu yang diangkat sudah tepat dengan
kebutuhan dan kepentingan saat itu.
Monitoring menciptakan kesempatan untuk berdiskusi tentang
status perubahan kebijakan dengan para peserta yang terdiri
dari pemerintah, masyarakat, praktisi bisnis, dan kelompok-
kelompok lain yang memungkinkan untuk meningkatkan
dukungan untuk kebijakan yang kita tuntut dan yang ingin
dicapai. Evaluasi difokuskan pada pengaruh dan akibat.

F. Cara Menjamin Keberlangsungan Advokasi


1. Advokasi harus dilakukan secara kontinyu/terus-menerus.
Mengubah suatu sistem yang telah mapan sekian lama tentu
bukan pekerjaan yang mudah karena membutuhkan keuletan,
kerja keras, dan kesabaran. Advokasi kita mungkin belum
membuahkan hasil, namun tidak berarti kita harus berhenti
untuk mencapainya. Demikian sebaliknya, kita jangan terlalu
cepat merasa puas jika isu yang kita perjuangkan berhasil dan
kemudian meninggalkannya begitu saja.
2. Menjamin Kesinambungan Advokasi
Guna menjamin kesinambungan advokasi, ada 4 hal penting
yang harus diperhatikan.
a. Sumber Daya
Sumber daya harus memadai dalam arti dibutuhkan
cadangan sumber daya manusia dan anggaran yang cukup.
Ada kemungkinan pergantian personil di dalam kegiatan
advokasi bisa diatasi dengan dokumentasi kegiatan seperti :
apa saja yang telah dilakukan, siapa saja yang terlibat, apa
yang sudah dihasilkan, apa rencana yang belum
dilaksanakan, dll.
b. Mempertahankan Integritas
Integritas yang kadang dicapai dalam waktu yang lama
harus dipertahankan. Ada beberapa cara seperti :
mempertahankan konsistensi, menjaga kredibilitas bahan
yang diadvokasikan, dan menjaga kebersihan diri dari suap
dan sejenisnya.
c. Mempertahankan Koalisi
Koalisi yang dibangun dalam suatu jaringan kerja harus
dipertahankan karena semakin banyak keterlibatan
orang/lembaga yang mendesakkan isu tersebut, maka
semakin kuat gaungnya sehingga semakin besar pula
kemungkinan untuk didengar dan diperhatikan oleh pembuat
kebijakan.
d. Akses Terhadap Informasi
Advokasi bisa berhenti jika kita kehilangan ketajaman dalam
menangkap isu, kemampuan kita menangkap isu ini
ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengakses
informasi. Oleh karena itu kita harus terus mengakses
informasi dengan cara mengikuti berita-berita yang
berkembang di seputar isu-isu yang tengah kita angkat.
PRODUK ADVOKASI

Setelah advokasi yang dilakukan berhasil, maka akan menghasilkan


produk avokasi berupa kebijakan-kebijakan. Berikut ini adalah beberapa
contoh kebijakan yang terlahir dari hasil advokasi.

A. PEMERINTAH KOMIT TURUNKAN STUNTING

Tinggi angka Stunting di Indonesia dari 34 Provinsi hanya ada 2


Provinsi yang jumlahnya dibawah 20% (batas angka stunting dari WHO).
Untuk mengatasinya, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan angka
stunting melalui beberapa KEBIJAKAN KESEHATAN:
Kementerian Kesehatan menetapkan 3 Kebijakan Kesehatan:

 PIS-PK ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan


No.39 Tahun 2016
Program ini dilakukan dengan mendatangi langsung ke masyarakat
untuk memantau kesehatan masyarakat, termasuk pemantauan gizi
masyarakat untuk menurunkan angka Stunting oleh petugas
Puskesmas.
PIS-PK merupakan salah satu cara Puskesmas untuk meningkatkan
jangkauan sasaran dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan di
wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Diharapkan gizi
masyarakat akan terpantau di wilayah terutama di daerah dan
perbatasan agar penurunan angka Stunting bisa tercapai.

 PMT ditetapkan beradasrkan Peraturan Menteri Kesehatan No.51


Tahun 2016
Standar produk suplementasi gizi. Dalam Permenkes ini telah diatur
Standar Makanan Tambahan untuk anak Balita, Anak Usia Sekolah
Dasar, dan Ibu Hamil.
Pemberian Makanan Tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro
maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam
rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Balita
Stunting.
Makanan lokal lebih bervariasi namun metode dan lamanya memasak
sangat menentukan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Suplementasi gizi dapat juga diberikan berupa makanan tambahan
pabrikan, yang lebih praktis dan lebih terjamin komposisi zat gizinya.

 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)


Selain itu, pemenuhan gizi anak sejak dini bahkan sejak dalam
kandungan atau disebut 1000 HPK perlu diperhatikan, 1000 HPK
dimulai sejak dari fase kehamilan (270 hari) hingga anak berusia 2
tahun (730 hari).
Kebutuhan gizi akan meningkat pada fase kehamilan, khusu energi,
protein, serta beberapa Vitamin dan mineral sehingga ibu harus
memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsinya.
Oleh karena itu, pemenuhan gizi pada anak di 1000 HPK menjadi
sangat penting, sebab jika tidak dipenuhi asupan nutrisinya, maka
dampaknya pada perkembangan anak akan bersifat permanen.
Perubahan permanen inilah yang menimbulkan masalah jangka
panjang seperti Stunting

Sumber: Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia. 25 Mei 2018.
B. KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENANGGULANGAN MASALAH
ANEMIA PADA REMAJA WUS

Dalam upaya penanggulangan masalah anemia pada remaja WUS,


Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes melaksanakan pertemuan advokasi
penanggulangan masalah gizi. Pada sabtu, 3 september 2016. Materi
Advokasi penanggulangan masalah gizi yang diberikan antara lain :
 Gizi seimbang dalam daur kehidupan
 Anemia Gizi, dampak dan pencegahannya
 Kebijakan pemerintah Kab. Brebes dalam program Kesehatan dan
Gizi Remaja
 Pencanangan gerakan minum Tablet Tambah Darah (TTD) untuk
remaja putri dan WUS (wanita usia subur)

Diharapkan dengan adanya advokasi penanggulangan masalah gizi


di kabupaten Brebes, masyarakat mengetahui,dan memenuhi gizi
seimbang dalam konsumsi makanan sehari-hari sehingga dapat mencegah
anemia sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi khususnya di Kabupaten Brebes. Diadakan juga
tanyajawab dan pemberian doorprize bagi peserta pertemuan advokasi.
C. KEBIJAKAN PEMBATASAN IKLAN PANGAN OLAHAN BAGI ANAK
DI BAWAH 12 TAHUN SEBAGAI USAHA PENCEGAHAN STUNTING

Salah satu penyebab stunting adalah pemberian nutrisi dan pangan


yang buruk pada anak (WHO). Komersialisasi produk pangan olahan
dengan kandungan gizi, terutama protein, yang rendah menjadi salah satu
penyebabnya. Contoh produk olahan yang sempat menjadi perdebatan
adalah susu kental manis. Sudah sejak lama, banyak iklan susu kental
manis yang memberikan kesan bahwa susu kental manis setara dengan
susu formula. Padahal, kandungan proteinnya lebih rendah dan hanya
tinggi energi karena mengandung banyak gula.
Di Eropa, pada European Union (EU) Pledge yang dicetuskan pada
tahun 2009 dan diperbaharui pada Oktober 2018 menghasilkan keputusan
yang disepakati 22 produsen pangan olahan multinasional di sana
termasuk produksi Susu Kental Manis (SKM). Salah satu kesepakatannya
adalah dilarangnya iklan produk pangan olahan untuk anak di bawah usia
12 tahun, termasuk iklan secara online.
Di Indonesia, pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) pada tahun 2016 mengeluarkan Peraturan BPOM
Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan yang menyebutkan bahwa
susu kental manis merupakan sub-kategori susu. Juga Peraturan BPOM
Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan yang
menyebutkan bahwa pada label susu kental manis harus mencantumkan
tulisan “Perhatikan! Tidak Cocok Untuk Bayi sampai usia 12 Bulan. Akan
tetapi pengawasan terhadap para produsen masih kurang maksimal
sehingga masih banyak produsen yang mencari celah kelemahan
kebijakan. Karena itu, pada tahun 2018, BPOM kembali menerbitkan Surat
Edaran Nomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 yang tentang Label dan Iklan
pada Produk Susu Kental dan Analognya. Surat edaran tersebut
menyebutkan bahwa produsen susu kental manis tidak boleh menampilkan
anak usia lima tahun dalam bentuk apa pun, dan tidak menampilkan
visualisasi bahwa susu kental manis dan analognya bernilai gizi setara
dengan produk susu lain.
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan surat edaran tersebut oleh
produsen, pada tahun 2018 Komunitas Konsumen Indonesia yang selama
ini juga telah melakukan penelitian pada produk-produk susu kental manis,
mengingatkan BPOM agar tidak terjebak menerbitkan peraturan yang
kurang adil dan jangan menerbitkan keputusan yang menyesuaikan
kebutuhan produsen, tetapi harus membuat keputusan yang terbaik bagi
konsumen.
D. KEBIJAKAN PEMERINTAH TURUNKAN MASALAH GIZI DI
INDONESIA

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak


serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Permasalahan yang
dimaksud antara lain kegagalan pertumbuhan, berat badan lahir rendah,
pendek, kurus dan gemuk. Ini berdampak pada perkembangan selanjutnya.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Doddy Izwardy
menjelaskan seorang anak yang kurang gizi nantinya bisa mengalami
hambatan kognitif dan kegagalan pendidikan. Sehingga berdampak pada
rendahnya produktivitas di masa dewasa.
Kurang gizi yang dialami saat awal kehidupan juga berdampak pada
peningkatan risiko gangguan metabolik yang berujung pada kejadian
penyakit tidak menular. Seperti diabetes type l, stroke, penyakit jantung dan
lainnya pada usia dewasa.
Salah satu kebijakan nasional dalam upaya perbaikan gizi
masyarakat tertuang dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009. Bahwa
upaya perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perorangan dan
masyarakat.
Selanjutnya dalam rangka percepatan perbaikan gizi pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang fokus pada 1.000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK).
Gerakan ini mengedepankan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku
kepentingan secara terencana dan terkoordinasi. Tujuannya untuk
percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada 1.000 HPK.
Doddy menjelaskan sasaran global tahun 2025 disepakati adalah
pertama, menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40%.
Kedua, menurunkan proporsi anak balita yang menderita kurus (wasting)
kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anak yang lahir dengan berat
badan rendah sebesar 30%. Keempat, tidak ada kenaikan proporsi anak
yang mengalami gizi lebih. Kelima, menurunkan proporsi ibu usia subur
yang menderita anemia sebanyak 50%. Keenam, meningkatkan
prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama enam bulan paling
kurang 50%.
Untuk mencapai sasaran global tersebut, pemerintah Indonesia
melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 Kementerian Kesehatan memfokuskan empat program prioritas.
Yaitu percepatan penurunan kematian ibu dan bayi, perbaikan gizi
khususnya stunting penurunan prevalensi penyakit menular dan penyakit
tidak menular.
Upaya lain dilakukan dalam rangka menurunkan stunting, mulai
2013-2018, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah
Amerika Serikat melaksanakan kegiatan perbaikan gizi melalui dana hibah
MCC. Dana hibat tersebut berupa Program Kesehatan dan Gizi Berbasis
Masyarakat (PKGBM) yang terdiri dari tiga kegiatan.
Di antaranya penguatan pemberdayaan masyarakat melalui PNPM
Generasi (demand side). Lalu ada penguatan penyedia pelayanan (supply
side) dan kampanye perubahan perilaku, monitoring dan evaluasi dan
manajemen.
Saat ini kegiatan MCA telah dilaksanakan di 11 Propinsi dan 64
Kabupaten. PKGBM juga dilaksanakan melalui kampanye yang
menggunakan tag line Gizi Tinggi Prestasi.

Anda mungkin juga menyukai