A. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu memahami advokasi sosial
B. INDIKATOR KEBERHASILAN :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian advokasi sosial
2. Menerangkan tujuan advokasi sosial
3. Membedakan prinsip-prinsip dalam advokasi sosial
4. Membedakan jenis-jenis advokasi sosial
5. Menjelaskan strategi dan taktik advokasi sosial
6. Menerangkan tahapan advokasi sosial
7. Mengupas peranan-peranan pekerja sosial
8. Menerangkan indikator advokasi sosial
9. Menjelaskan nilai-nilai dalam advokasi sosial
C. POKOK BAHASAN:
1. Pengertian advokasi sosial
2. Tujuan advokasi sosial
3. Prinsip-prinsip dalam advokasi sosial
4. Jenis-jenis advokasi sosial
5. Strategi dan taktik advokasi sosial
6. Tahapan advokasi sosial
7. Peranan-peranan pekerja sosial
8. Indikator advokasi sosial
9. Nilai-nilai dalam advokasi sosial
1
D. MATERI PEMBELAJARAN :
1. Pengantar
Advokasi sosial merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam
profesi pekerjaan sosial. Keberadaannya sudah cukup lama lebih dari 100 tahun
(Gibelman, 1999), seperti halnya keadilan sosial (Social Justice) dan perbaikan sosial
(Social Reform). Namun keeksisannya belum terlihat, yang terjadi bahwa advokasi
sosial hampir disamakan dengan peran-peran dalam pekerjaan sosial seperti broker,
fasilitator, pengorganisasian masyarakat dan lain-lain, tanpa adanya kejelasan dan
karakteristik khusus diantara sejumlah peran tersebut.
Konsekuensinya, terjadi ambivalensi antara advokasi sosial dengan peran-
peran pekerjaan sosial. Hal ini disebabkan kurangnya komitmen untuk memahami
secara mendalam dari para profesional itu sendiri, sehingga tidak seorang pun
mengetahui apa itu advokasi sosial, serta pengetahuan dan keterampilan apa yang
sebenarnya diperlukan. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ezell (1994), Pawlak
dan Flynn (1990), yang setuju dengan apa yang disampaikan oleh McGowan (1987)
bahwa “Kita mengetahui sedikit tentang tingkatan dan keberadaan advokasi pada
pekerjaan sosial.”
Hal ini cukup mengejutkan kita, karena perkembangan advokasi sosial yang
sudah lama, namun kurang dikenal di kalangan pekerjaan sosial. Dengan demikian
solusinya adalah perlu disampaikan tentang muatan-muatan pokok advokasi sosial
(apa, mengapa, kapan, dan bagaimana melaksanakannya) kepada kelompok sasaran
yaitu potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS).
2. Pengertian Advokasi
Istilah advokasi sangat lekat dengan profesi hukum yang berarti pembelaan.
Advokasi menurut bahasa Belanda yaitu advocaat atau advocateur artinya pengacara
atau pembelaan di pengadilan. Sedangkan dalam bahasa Inggris menurut
Topatimasang, et al, (2000:7) yaitu to depend (membela), to promote
(mengemukakan atau memajukan) , to create (menciptakan) dan to change
2
(melakukan perubahan). Jadi dalam bahasa Inggris advokat lebih luas bukan hanya
membela saja namun sampai pada proses perubahan.
Di bawah ini beberapa pengertian tentang advokasi, sebagai berikut:
a. Suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau
program dari segala tipe institusi.
b. Kegiatan mengajukan, mempertahankan atau merekomendasikan suatu gagasan
di hadapan orang lain
c. Kegiatan berbicara, menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah, dan
mengarahkan pengambil keputusan mencari solusi.
d. Kegiatan memasukkan suatu problem ke dalam agenda, mencarikan solusi
mengenai problem tersebut dan membangun dukungan untuk bertindak
menangani problem mau pun solusinya.
e. Sebagai upaya yang bertujuan untuk mengubah suatu organisasi secara internal
atau mengubah seluruh sistem
f. Berbagai aktivitas jangka-pendek yang spesifik untuk mencapai pandangan
tentang perubahan jangka panjang.
g. Berbagai macam strategi yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pada tingkat organisasi, lokal, provinsi, nasional dan internasional.
h. Menggunakan strategi meliputi mengadakan lobi, pemasaran kepada masyarakat,
memberikan informasi, pendidikan dan komunikasi (IEC = Information,
Education and Communication), membentuk organisasi masyarakat, atau
berbagai macam “taktik” lain.
i. Proses keikutsertaan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
Oleh karena fokus dalam advokasi sosial untuk mempengaruhi atau melakukan
perubahan-perubahan hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal maupun
nasional. Sedangkan menurut Scheneider bahwa tedapat empat jenis advokasi sosial
dalam pekerjaan sosial, yaitu:
a. Advokasi klien (Client advocacy)
Tujuan akhirnya adalah menunjukkan kepada PPKS (keluarga) bagaimana
berjuang memenangkan “perang”nya terhadap suatu lembaga atau sistem.
b. Advokasi masyarakat (Cause advocacy)
Advokasi pekerjaan sosial pada dasarnya untuk membantu PPKS individu dan
keluarga dalam memperoleh pelayanan. Namun, apabila tedapat masalah yang
mempengaruhi kelompok yang lebih besar, maka pekerja sosial dapat
menggunakan jenis advokasi ini.
c. Advokasi legislative (Legislative advocacy)
Advokasi legislatif dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu
undang-undang.
d. Advokasi administratif (Administrative advocacy)
Advokasi administratif memiliki tujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi
keluhan-keluhan dan masalah-masalah administratif yang dapat dilakukan
melalui lembaga
Pekerja sosial sebagai advokat harus kompeten menggunakan jenis-jenis
advokasi tersebut, dapat memilih salah satu atau kombinasi keempatnya, sesuai
dengan situasi PPKS. Perlu diingat, advokasi hanya akan efektif bila pekerja sosial
memahami dan menguasai kebijakan dan prosedur lembaga atau sistem yang sedang
dipertanyakan. Selain itu, pekerja sosial juga harus memahami Hak Asasi Manusia,
hak anak, hak perempuan sehingga dapat menyajikan masalah atau isu secara tepat.
13
pelaksana advokasi yang efektif diperlukan umpan balik dan evaluasi terus-
menerus..
b. Kampanye
Strategi ini digunakan efektif jika oponennya termasuk dalam kategori ke 2
tersebut diatas. Oposisi pada tingkat ini merefleksikan ketidaksetujuan yang
besar, sedikit sekali mau berbagi tentang nilai-nilai, perbedaan sikap, dan
hubungannya renggang serta dingin. Advokator dapat merasakan secara natural
ada minat dari pihak oposisi dengan menunjukkan perubahan-perubahan. Strategi
kampanye berdasarkan bujukan dan upaya meyakinkan pihak oposisi melalui
sentuhan logis dan emosional. Strategi ini mencoba memodifikasi sikap dan
14
nilai-nilai yang kurang dari pihak oponen dengan cara membangkitkan sesuatu
hal yang sudah ada dalam diri oponen, yaitu advokator meningkatkan prinsip-
prinsip / kepercayaan yang para oponen pegang. Dalam strategi kampanye ini
terdapat proses mendidik tetapi tidak secara rasional dan empirikal yang tegas.
Advokator sosial biasanya melakukan negosiasi, tawar menawar, dan
menggunakan politik untuk mempengaruhinya sesuai dengan tingkat oposisinya.
c. Kontes
Strategi ini efektif bagi jenis oponen yang termasuk pada kategori ke 3 tersebut
diatas. Tingkat oposisinya jelas sangat tinggi, tidak mendukung, sedikit
mendukung jika terdapat beberapa hal yang bisa terkoneksikan, dan biasanya
menunjukkan sikap perlawananyang tinggi. Advokator sosial mengharapkan
adanya perubahan perilaku bukan pada kepercayaannya atau nilai-nilainya.
Mereka akan menerapkan tekanan dari sumber-sumber politik atau “grasroots”,
melalui konfrontasi publik, yang didalamnya memuat posisi para oposisi dengan
dalam ranah hukum, atau kekuatan partisipan. Sikap advokator sosial menjadi
tidak kooperatif, penuh dengan pelecehan-pelecehan, menggunakan boikot atau
sanksi, pelanggaran perilaku normatif, atau pelanggaran norma hukum. Beberapa
strategi kontes mengandung resiko bagi pekerja sosial dan PPKS, dan mereka
harus terinformasikan melalui kesepakatan antara advokator sosial dan PPKS
sebelumnya tentang kegiatan yang mengandung resiko tinggi. Dalam hal ini,
tidak tepat memdiskusikan perilaku yang sesuai dengan kode etik pekerja sosial.
Intinya, advokasi sosial harus menganalisa pihak oposisi dan menyesuaikan
mereka dengan kategori strateginya. Tidak akan pernah ada strategi yang sempurna,
tetapi proses penyeleksian strategi yang akan digunakan merupakan salah satu kiat
yang dapat mempengaruhi pihak oposisi.
Selain strategi – strategi tersebut diatas, Netting, et al (1998)
mendeskripsikan model strategi lainnya yang fokus pada kebijakan, program, proyek,
personal dan atau praktik. Netting, et.al menganjurkan para advokator sosial untuk
15
melakukan analisis pada semua pihak yang terlibat, dan menggiring mereka untuk
berubah melalui pengetahuan tentang pemilihan strategi yang tepat.
a. Kebijakan.
Advokator sosial mencoba untuk mengubah suatu kondisi dengan mempengaruhi
kebijakan pemerintah, lembaga, atau asosiasi untuk menghasilkan outcome yang
diharapkan. Keberadaan kebijakan-kebijakan tersebut mungkin saja sangat kaku
dan ingin dimodifikasi. Kebijakan baru mungkin dibutuhkan dengan menekankan
pada kondisi terakhir yang terjadi. Hal ini disebabkan kebijakan yang tampak
menjadi pedoman para pengambil keputusan telah diimplementasikan dalam
tindakan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada, atau bisa saja dengan
melakukan perubahan pada bagian dari kebijakan sebagai salah satu strategi yang
paling baik.
b. Program.
Advokator sosial seringkali mencoba untuk merubah program yang disponsori
oleh penyedia layanan sebab program tersebut sangat lemah dalam administrasi,
tidak sensitif pada kebutuhan PPKS, sumber-sumber yang ada tidak bisa diakses
oleh PPKS tertentu, atau gagal meraih tujuan umum yang ditelah ditetapkan.
Program yang baru seringkali mengusulkan untuk merubah kondisi-kondisi.
Advokator sosial harus mampu memutuskan untuk mengintervensi program yang
tidak sesuai.
c. Proyek.
Advokator sosial disarankan agar dengan adanya batasan waktu untuk berupaya
mengimplementasikan proyek dengan menekankan pada permasalahan PPKS
daripada menciptakan model yang berskala besar yang mungkin lebih mahal atau
kontroversial atau kedua-duanya. Sebuah proyek akan lebih fleksibel dan
eksperimental, apabila pola penyesuaiannya dapat dimonitoring.
d. Personal.
Advokator sosial menyimpulkan bahwa perubahan personal dibutuhkan dalam
rangka menghasilkan outcome yang diinginkan. Kondisi-kondisi yang
16
memungkinkan untuk memutasikan personal-personalnya jika terdapat beberapa
pekerja dengan mudah terjebak dalam konflik, organisasi yang tidak berjalan
sesuai dengan tujuan, kurangnya pelatihan, atau tidak efisiennya keterampilan-
keterampilan kunci yang dimiliki. Advokasi pekerjaan sosial seharusnya lebih
berhati-hati saat mendapatkan dukungan dari para administrasi yang tidak
terkenal karena bisa menyebabkan terjadinya resiko bagi mereka sendiri, PPKS
dan kolega.
e. Praktisi.
Advokator seringkali ingin merubah cara lembaga dalam melakukan
kegiatannya. Praktisi ini bukan polisi; mereka adalah prosedur dan peraturan
yang biasanya menyangkut pemberian layanan pada PPKS atau berinteraksi
dengan PPKS.
Advokator sosial dapat menggabungkan beberapa pendekatan strategi
Netting, dkk (1998) diatas dan mengintegrasikannya dengan penilaian mereka akan
isunya serta menentukan pilihan atas strategi yang akan digunakan.
Taktik
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa antara strategi dan taktik
merupakan suatu proses yang bersinergi saat akan melakukan advokasi dalam
pekerjaan sosial. Adapun yang dimaksudkan dengan taktik adalah langkah-langkah
yang terperinci untuk melaksanakan strategi secara keseluruhan (Bobo et al, 1996).
Artinya dalam taktik tergambarkan adanya kegiatan yang dilakukan setiap saat,
berjangka pendek, memuat teknik-teknik tertentu untuk merancangkan perilaku-
perilaku tertentu pula dalam kaitannya untuk melakukan adaptasi perubahan.
Dalam advokasi pekerjaan sosial, taktik-taktik ini terbagi menjadi tiga
kelompok besar sesuai dengan strateginya, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:
No Jenis Strategi Jenis Taktik
1. Kolaborasi 1. Melakukan penelitian dan studi terhadap isu tertentu
2. Mengembangkan fakta-fakta dan membuat usulan
alternatif kegiatan.
3. Menciptakan pelaksana tugas-tugas atau subkomite
4. Melakukan workshop
5. Komunikasi secara rutin dengan pihak oposisi.
2. Kampanye 1. Lobi dengan para pengambil keputusan
2. Mendidik publik
3. Bekerja dengan media massa
4. Mengorganisasikan penulisan untuk kampanye
5. Memonitor lembaga-lembaga dan para pengambil
keputusan
6. Merancangkan taktik pemaksaan
7. Membangun komunikasi dengan pihak oposisi
3. Kontes 1. Mencari negosiator dan mediator
2. Mengorganisasikan demonstrasi besar
3. Mengkoordinasikan kegiatan boikot, pemogokan,
dan petisi
4. Mengorganisasikan ketidakpatuhan masyarakat sipil
dan pertahanan yang pasif
5. Merancang ekspose di media.
Tahap pertama
Tahap ini yaitu mengidentifikasi masalah untuk mengambil tindakan kebijakan.
Tahap ini juga mengacu pada penetapan agenda. Bisa ada masalah yang tidak terbatas
jumlahnya yang perlu diperhatikan, tetapi tidak semuanya harus mendapat tempat di
dalam agenda tindakan. Pekerja sosial masyarakat advokat harus menentukan
masalah mana yang perlu dituju dan diusahakan untuk mencapai lembaga yang
menjadi sasaran agar diketahui bahwa isu tersebut memerlukan tindakan.
Tahap kedua
Pada tahap ini dilakukan perumusan solusi. Pekerja sosial yang berperan sebagai
advokat dan pelaku kunci yang lain mengusulkan solusi mengenai permasalahan
tersebut dan memilih salah satu yang layak ditangani secara politis, ekonomis, dan
sosial.
Tahap ketiga
Tahap ini yaitu membangun kemauan politik untuk bertindak menangani isu dan
mendapatkan solusinya merupakan bagian terpenting dari advokasi. Tindakan pada
tahap ini meliputi membentuk koalisi, menemui para pengambil keputusan,
membangun kesadaran dan meyampaikan pesan secara efektif.
Tahap keempat
Tahap ini adalah melaksanakan kebijakan: terjadi jika masalahnya telah diketahui,
solusinya diterima dan ada kemauan politik untuk bertindak, semuanya secara
serentak. Keadaan tumpang tindih in biasanya merupakan suatu “celah peluang” yang
dapat lenyap dengan cepat yang harus ditangkap oleh pekerja sosial advokat..
Pemahaman akan proses pengambilan keputusan dan strategi advokasi yang mantap
akan meningkatkan kemungkinan terciptanya celah peluang untuk bertindak.
Tahap kelima
Pada tahap ini, adalah evaluasi. Kegiatan advokasi yang baik harus menilai efektivitas
dari usahanya yang telah berjalan dan menentukan sasaran baru berdasarkan
pengalaman mereka. Para penyumbang pikiran dan institusi yang menerima
perubahan kebijakan secara periodik perlu mengevaluasi efektivitas perubahan
tersebut.
Sumber Bacaan:
1. Armando Morales and Bradford W. Sheafor. 1983. Social Work: A Profession of
many Faces. Ally and Bacon Inc.
2. Charles D. Garvin and Brett A. Seaburry. 1984. Interpersonal Practice in Social
Work: Processes and Procedures. Prentice – Hall, Inc.
3. Charles Zastrow. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions, Social
Problems, Services and Current Issues. The Dorsey Press.
4. Donald Brieland, Lela B. Costin, Charles R. Artherton and Contributors. 1975.
Contemporary Social Work: An Introduction to Social Work and Social Welfare.
Mc-Graw Hill.
5. Fahrudin, Adi. 2010. Advokasi Pekerjaan Sosial. Stks Bandung.
6. Jim Ife. 2002. Community Development. Pearson Education Australia Pty
Limitea.
7. Ritu R. Sharma. 2004. Pengantar Advokasi, Panduan dan latihan (alih bahasa P.
Soemitro).Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
8. Schneider, Robert L. & Lester, Lori. 2001. Social Work Advocacy: A New
Framework for Action. United States: Brooks/Cole Publishing Company.
SOAL-SOAL ADVOKASI SOSIAL
A. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu memahami proses
pertolongan kepada penerima manfaat.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu:
1. Memahami Tahapan Proses Pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial
2. Memahami Identifikasi Permasalahan dan Perencanaan Pemecahan Masalah
3. Menjelaskan tentang Pelaksanaan Pemecahan Masalah
4. Menjelaskan tentang Monitoring dan Evaluasi serta Pengakhiran Masalah
C. Materi Pembelajaran
Pada dasarnya tahapan Proses Pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial
(Pendamping Sosial) terdiri dari Tahap Awal, Tahap Pelaksanaan dan Tahap
Pengakhiran. Salah satu contoh adalah ketika Tenaga Kesejahteraan Sosial harus
melaksanakan tugas pendampingan dan pelayanan kepada penerima manfaat dengan
alasan terdapat suatu permasalahan, maka Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu
memberikan layanan pertolongan agar permasalahannya bisa diatasi.
Tidak jarang kita menemui permasalahan seperti motivasi rendah dari penerima
manfaat agar mencapai kemandirian dan sejahtera; anak dari penerima manfaat yang
rentan putus sekolah; penerima manfaat yang melakukan kekerasan pada anak,
kesulitan ekonomi atau modal usaha dan permasalahan lainnya. Sehingga Tenaga
Kesejahteraan Sosial dipandang perlu memberikan pendampingan sesuai dengan
tahapannya. Berikut ini adalah gambaran tahapan pertolongan kepada penerima
manfaat yang dapat dilakukan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial :
1
Tahapan Pertolongan kepada Perserongan Penerima Manfaat
TKS Pendamping I Pendekatan Awai
ldentifikasi Rencana Pemecahan
: Pemecahan Masalah Monitoring dan Evaluasi
I Permasalahan Masalah
l
Sosial
Membangun . . Menentukan
B
. berapa Pilihan :
Memotivasi penerima
. Melakukan
Wawancara dengan pengawasan
Komunikasi dan penerima manfaat
Fokus Masalah
Tujuan
yang ditangani . manfaat
sepanjang
Menjalin Relasi atau pihak yang
.. Mediasi penerima
kegiatan
..
manfaat
.
berkaitan
Rencana Advokasi . pertolongan
Diskusi bersama
Membangun
Kepercayaandengan
Observasi dan Studi
Dokumentasi
. Penanganan
Waktu
Memberikan rujukan
kepada profesi lain
penerima manfaat
Pendekatan Awai I ldentifikasi Rencana Pemecahan I :I Pemecahan Masalah Monitoring dan Evaluasi
TKS Pendamping Permasalahan
I Masalah I
Sosial
Membangun Komunikasi
dan Menjalin Relasi
FGD, Wawancara,
Observasi dan Studi
Perencanaan
Penanganan Masalah .
Beberapa Pilihan :
Penyuluhan Sosial . Melakukan
Dapat melakukan Dokumentasi Tabel 1 tentang pengawasan
Membangun Kepercayaan
PengembanganJejaring Pengasuhan, sepanjang kegiatan
dengan Pihak
3
dilakukan secara formal dan informal dengan menjelaskan kebijakan dan
pengetahuan suatu program serta menjelaskan maksud dan tujuan layanan yang
diberikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam suatu program.
b) Membangun Kepercayaan dengan berbagai Pihak
Dalam tahap pendekatan awal, Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
melakukan teknik pembauran kegiatan dengan penerima manfaat, wawancara
dan observasi. Proses pelaksanaan kegiatan layanan diupayakan adanya
kepercayaan dari penerima manfaat, melalui keikutsertaan pendamping dalam
suatu kegiatan yang dilaksanakan di wilayah penerima manfaat. Beberapa
contoh kegiatan yang bisa diikuti oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah
kegiatan pertemuan dengan perangkat/petugas di kantor kecamatan/kelurahan,
kerja bakti di wilayah penerima manfaat, visitasi ke rumah penerima manfaat,
dan lain sebagainya.
2. Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan (asesmen) adalah tindakan untuk memahami dan
merumuskan semua masalah serta mengungkapkan dan memperlihatkan informasi
sebab terjadinya masalah dan akibat yang ditimbulkan atas masalah tersebut.
Tujuan dari identifikasi kebutuhan dan permasalahan adalah terumuskan dan
terungkapkannya kebutuhan atau masalah utama yang dihadapi atau dirasakan
penerima manfaat serta terumuskannya hubungannya sebab akibat antara masalah
tersebut. Identifikasi kebutuhan dan permasalahan dilakukan melalui metode
partisipatif.
Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu menentukan teknik identifikasi
kebutuhan dan permasalahan yang dinilai efektif dilakukan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat menentukan apakah permasalahan yang ditangani
bersifat perseorangan atau kelompok/komunitas. Secara umum berikut adalah
teknik-teknik dalam identifikasi kebutuhan dan permasalahan :
a) Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan. Tujuan wawancara adalah untuk
memperoleh informasi tentang gambaran umum penerima manfaat (biodata,
pengalaman dan lain-lain) serta kebutuhan/permasalahan dari penerima
manfaat.
b) Pertemuan kelompok melalui teknik Focus Group Discussion (FGD)
merupakan diskusi terfokus dari suatu kelompok untuk membahas suatu
kebutuhan atau masalah tertentu dari penerima manfaat. Teknik ini dinilai dapat
digunakan jika Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan tahapan pertolongan
kepada penerima manfaat yang bersifat kelompok atau komunitas di suatu
wilayah.
c) Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang diikuti pencatatan secara urut
oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial kepada penerima manfaat.
d) Studi Dokumentasi merupakan teknik yang digunakan untuk memperoleh data
berupa catatan-catatan yang mendukung kegiatan pendampingan. Data-data
tersebut dapat diperoleh dari Kementerian Sosial, Dinas Sosial, dan lembaga
terkait lainnya.
Dalam penerapan teknik identifikasi kebutuhan dan permasalahan, Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat melakukan pertemuan individu atau kelompok
penerima manfaat bahkan pertemuan dengan stakeholder. Tenaga Kesejahteraan
Sosial juga dapat mengembangkan jejaring dan kerjasama dengan profesi lain
salah satunya Pekerja Sosial. Dalam permasalahan perorangan, pekerja sosial
dapat melakukan case management terhadap penerima manfaat; dan bagi
permasalahan pada komunitas maka pekerja sosial dapat melakukan teknik
asesmen melalui Methode Participatory of Assessment (MPA) dan/atau
Participatory Rural Appraisal (PRA).
3. Perencanaan Penanganan Masalah
Tahap perencanaan penanganan masalah yang dilakukan secara partisipatif
merupakan suatu tindakan sistematis untuk memecahkan masalah dan mencapai
tujuan yang diinginkan dengan melibatkan kelompok penerima manfaat. Tujuan
dari perencanaan penanganan masalah adalah mengembangkan rincian kegiatan
dan sistem perencanaan yang partisipatif berdasarkan kebutuhan penerima
manfaat.
Berdasarkan Gambar 1 bahwa tahap pertolongan kepada penerima
manfaat yang bersifat perseorangan maka Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu
menentukan beberapa langkah seperti :
(1) Menentukan fokus permasalahan yang akan ditangani berdasarkan hasil
identifikasi permasalahan/asesmen;
(2) Menentukan dan menguraikan tujuan dari penanganan masalah;
(3) Menentukan dan menguraikan rencana penanganan secara komprehensif;
(4) Menentukan potensi dan sumber yang dapat diakses; dan
(5) Menentukan rentan waktu pelaksanaan kegiatan.
Jika Tenaga Kesejahteraan Sosial menentukan perencanaan penanganan
masalah bersama kelompok atau komunitas penerima manfaat, maka Tenaga
Kesejahteraan Sosial melaksanakan sebuah pertemuan kelompok bersama
penerima manfaat dengan menentukan rencana pelaksanaan kerja yang
spesifik dalam jangka waktu tertentu. Tenaga Kesejahteraan Sosial memfasilitasi
pertemuan bersama kelompok atau komunitas penerima manfaat agar rencana
pelaksanaan kerja atau proses pemecahan masalah dapat berjalan dengan baik.
Berikut adalah formulir Perencanaan Pemencahan Masalah :
Tabel 1
Perencanaan Kegiatan Tenaga Kesejahteraan Sosial dengan
Kelompok/Komunitas Penerima Manfaat
Tabel 1 tentang Perencanaan Kegiatan TKS dengan Kelompok/Komunitas
Penerima Manfaat maka Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat menentukan urutan
prioritas permasalahan dari hasil identifikasi masalah/asesmen. Tabel atau formulir
tersebut dapat diisi secara partisipatif bersama kelompok atau komunitas penerima
manfaat tentang intervensi apa saja yang bisa dilakukan untuk merespon
permasalahan yang ada di wilayahnya. Secara partisipatif maka ditentukan
intervensi berupa penyuluhan sosial, pemberdayaan, advokasi atau intervensi
lainnya.
Untuk teknik perencanaan intervensi tertentu seperti Tecnology of
Participation (ToP) dan Logical Framework Analysis (LFA), Tenaga
Kesejahteraan Sosial perlu bekerjasama dan tersupervisi oleh Pekerja Sosial dalam
melakukan perencanaan intervensi. Hal ini merupakan kelanjutan dari proses
identifikasi permasalahan jika diawal penanganan TKS bekerjasama dengan
pekerja sosial. Pola kolaborasi semacam ini cenderung lebih efektif dalam
penanganan permasalahan, seperti dokter dan perawat dalam menangani pasien,
atau polisi dan TNI dalam menjaga keamanan negara. Maka Pekerja Sosial dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat berkolaborasi dalam penanganan permasalahan
penerima manfaat.
4. Pelaksanaan Pemecahan Masalah
Berdasarkan rencanan penanganan masalah yang telah ditentukan bersama
penerima manfaat, maka Tenaga Kesejahteraan Sosial mulai melaksanakan
program kegiatan pemecahan masalah serta penerima manfaat perlu dilibatkan
secara aktif. Pelaksanaan pemecahan masalah membutuhkan pengetahuan/teori,
nilai dan keterampilan yang dimiliki.
Adapun pelaksanaan penanganan permasalahan yang bersifat perseorangan
maka Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat melakukan fungsi supporting, mediasi,
advokasi, fasilitasi, menjangkau aksesibilitas, memberikan rujukan dan lain
sebagainya. Sedangkan teknik pelaksanaan pemecahan masalah pada komunitas
maka dapat dimaksimalkan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial berdasarkan :
A. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat secara umum meliputi perencanaan,
pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program
atau proyek kemasyarakatan. Salah satu contohnya adalah melakukan
penyuluhan sosial dengan tema pendidikan dan pengasuhan anak, upaya
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan, seputar kesehatan/gizi dan lain
sebagainya.
B. Pendampingan Sosial
Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan pendampingan sosial untuk mampu
membantu penerima manfaat dengan mengedepankan partisipasi sosial dan
pemberdayaan masyarakat. Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan fasilitasi,
mediasi, dan advokasi kepada penerima manfaat.
C. Pengembangan Organisasi Lokal
Pengembangan organisasi lokal adalah pendayagunaan dan pengembangan
organisasi yang terdapat di masyarakat agar dapat menyelenggarakan
pengembangan masyarakat atau menjadi pelaksana pengembangan masyarakat
dalam meningkatkan usaha kesejahteraan sosial. (Edi Suharto 2005)
5. Monitoring dan Evaluasi
Secara konseptual monitoring atau dengan kata lain sering disebut dengan
pemantauan adalah kegiatan pemantauan terhadap semua proses kegiatan yang
dilaksanakan. Monitoring dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung.
Sedangkan evaluasi dilakukan untuk melihat perkembangan atau perubahan yang
terjadi di masyarakat dengan sebagai dampak dari kegiatan yang sudah
direncanakan.
Evaluasi dilakukan baik selama proses kegiatan berlangsung maupun pada
akhir bahkan setelah program/kegiatan berakhir. Evaluasi ini dilakukan selain
untuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi juga sejauh mana tujuan
yang sudah ditetapkan tercapai, serta sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Dalam proses pertolongan peserorangan, Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
melakukan diskusi atau wawancara mendalam kepada penerima manfaat untuk
mendiskusikan tentang perkembangan permasalahannya selama ini, sedangkan
proses pertolongan yang bersifat kelompok atau komunitas maka Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat menggunakan strategi diskusi kelompok (FGD) dan
tukar pikiran untuk mencapai kesepakatan. Teknik yang digunakan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial adalah dengan teknik persentasi terlebih dahulu mengenai
tahapan dan proses kegiatan yang telah dilakukan.
Dalam konteks pertolongan pada komunitas, Tenaga Kesejahteraan Sosial
juga menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya evaluasi yakni peserta
melakukan penilaian terhadap item kegiatan yang telah disusun pada awal
pelaksanaan program yang dimulai dari aspek masukan, aspek proses, kegiatan
kemudian aspek keluaran dan diakhiri dengan aspek hasil. Adapun prinsip dalam
proses ini yang digunakan adalah kejujuran, kerjasama dan saling belajar.
Tabel 2
Evaluasi Pelaksanaan Pertolongan TKS bersama Kelompok/ Komunitas
Penerima Manfaat
No Tahapan Aspek Kegiatan Nilai
1 Tahap Awal Sosialisasi kegiatan
Dukungan komunitas
2 Identifikasi Identifikasi masalah/kebutuhan
Masalah/Kebutuhan Penentuan prioritas masalah
3 Perencanaan Intervensi Rencana kegiatan
Tujuan kegiatan
Metode kegiatan
Waktu dan tempat kegiatan
Narasumber/Fasilitator
4 Pelaksanaan Intervensi I
Intervensi II
Intervensi III, dst
5 Evaluasi Evaluasi
Jumlah
Nilai Rata-Rata
Pada tahapan ini, Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan diskusi dari setiap
tahapan dari awal sampai dengan akhir. Hal ini dilakukan secara mufakat dengan
penentuan nilai satu sama dengan kurang, nilai dua sama dengan cukup, nilai tiga
sama dengan baik dan nilai empai sama dengan sangat baik. Keempat kategori
penilaian tersebut didiskusikan oleh peserta kegiatan yang telah hadir.
6. Pengakhiran Penanganan Masalah
Tahap Terminasi merupakan tahap pengakhiran atau pemutusan kegiatan.
Hal ini dilakukan bila tujuan pertolongan telah dicapai atau permintaan sendiri,
karena faktor-faktor tertentu. Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat memberikan form
pengakhiran penanganan masalah contohnya seperti formulir pernyataan terminasi
atau formulir pernyataan graduasi yang ditandatangani oleh Tenaga Kesejahteraan
Sosial dan penerima manfaat. Proses pengakhiran masalah harus dilakukan,
mengingat agar penerima manfaat dapat berdaya secara sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah, pendamping sosial dan profesi lainnya.
1. Salah satu tahapan dalam proses pertolongan untuk mengidetifikasi masalah dan
kebutuhan adalah …
a. Asesmen
b. Intervensi
c. Terminasi
d. Kontrak
2. Dalam penanganan masalah yang di hadapi penerima manfaat (klien), salah satu
prinsip yang harus dipahami Tenaga Kesejahteraan Sosial bahwa manusia itu unik,
prinsip ini disebut …
a. Individualisasi
b. Penerimaan
c. Kerahasiaan
d. Tidak Menghakimi
3. Help people to help them self memiliki makna …
a. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya sendiri
b. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya sendiri dan orang lain
c. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya dan keluarga d.
Menolong orang agar orang mampu menjadi dirinya sendiri
5. Dalam proses pertolongan, Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam proses pemecahan masalah
atau intervensi dapat melakukan menghubungkan penerima manfaat/klien dengan profesi
lain untuk membantu proses pemecahan masalah, hal ini disebut … a. Rujukan
b. Monitoring
c. Advokasi
d. Komunikasi dan relasi
Sumber Bacaan :
Adi Fahrudin. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Dwi Heru Sukoco. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung:
Kopma STKS Bandung.
Edi Suharto. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika
Aditama.
Friedlander, Walter A. 1982. Introductioning Social Welfare 3rd Edition. New Jersey: Prentice-
Hall.
Ellen Netting. F, dkk. Alih Bahasa: Nelson Aritonang, dkk. 2001. Praktek Makro
Pekerjaan Sosial. Bandung: STKS Bandung.
Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institution: Social Problem
Service and Social Isuses. The Dorsey Press: Homewood.
Zastrow, Charles. 2000. Introduction to Social Work and Social Welfare. United States: Brooks
Cole.
Zastrow, Charles. 1999. The Practice of Social Work. Sixth Edition. Pacific Grove: Brooks/Cole
Publishing Company. An International Thomson Publishing Company.
25
Pokok Bahasan
1. Pengetahuan dasar tentang pekerjaan social yakni Definisi Pekerjaan
Sosial, sasaran, tujuan, kerangka referensi, strategi dalam pekerjaan sosial
2. Fokus Utama Pekerjaan Sosial dan Keberfungsian Sosial,
3. Model Intervensi Pekerjaan social Generalis
4. Prinsip-prinsip umum pekerjaan social dan sistem dasar praktik
pekerjaaan Sosial
5. Bidang-Bidang praktik pekerjaan sosial.
A. Kompetensi Dasar
1. Menganalisa dan Memecahkan masalah yang dihadapi oleh penerima
manfaat.
2. Menerapkan nilai-nilai dan prinsip dasar pekerja social dalam
melakukan pelayanan
3. Menghubungkan penerima manfaat dengan sistem sumber layanan yang
dibutuhkan
4. Melakukan pendampingan kepada penerima manfaat sesuai dengan
dasar pekerjaan social
B. Tujuan Pembelajaran
1. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu memahami fokus utama,
tujuan dan sasaran dalam pekerjaan sosial
2. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu memahami kompetensi
dasar dalam pekerjaan sosial
3. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu kerangka dasar dalam
pekerjaan sosial (Knowledge, Skill dan Value)
C. Materi Pembelajaran
1. Definisi Pekerjaan Sosial
a. KEBERFUNGSIAN SOSIAL
16. Sikap
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
c. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila
d. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air
e. Menghargai keanekaragaman budaya, agama, pandangan dan kepercayaan
f. Bekerjasama dan memiliki kepekaan sosial
g. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
h. Menginternalisasi nilai dasar , prinsip umum dan kode etik profesi
pekerjaan sosial
i. Menunjukkan sikap bertanggung jawab didalam praktik pekerjaan sosial
secara mandiri
j. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan
a. Penerimaan (Acceptance)
b. Individualisasi (Individualization)
i. Kerahasiaan (Confidentiality)
r. Pekerja-pekerja musiman.
s. Pekerja migrant
6. Pekerja sosial dalam proses pertolongan memiliki tugas dan fungsi, berikut
ini bukan tugas dan fungsi pekerja sosial…
a. Analisis kebijakan politik dan ekonomi
b. Memberi pertolongan dan memecahkan masalah
c. Pemberdaya dan agen perubahan
d. Analisis kebijakan sosial
A. Kompetensi Dasar
1. Menganalisis masalah psikososial klien/penerima manfaat
2. Melakukan tindakan mengatasi masalah psikososial klien/penerima manfaat
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca materi ini, diharapkan peserta dapat:
1. menjelaskan pengertian dukungan sosial secara benar;
2. membedakan jenis-jenis dukungan sosial secara tepat;
3. memanfaatkan dukungan sosial dengan baik;
4. menerapkan prinsip-prinsip dalam memberikan dukungan sosial dengan
benar; dan
5. mengidentifikasi sistem dukungan sosial masyarakat, pemerintah dan dunia
usaha secara benar.
C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian dukungan sosial
Pernahkah Anda melihat nenek dan kakek Anda merasa senang dan
lahap, saat makan bersama dengan anak-anak dan cucunya? Bagaimana
perasaan Anda ketika melihat ekspresi anak penyandang disabilitas tertawa
lepas saat menonton televisi bersama saudara dan orang tuanya? Bagaimana
respon Anda ketika menemukan keluarga penerima manfaat (KPM) yang
mandiri karena mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah lokal?
Pernahkah Anda menemui anak korban pelecehan seksual yang sempat
mengalami trauma karena mendapat empati dari teman-temannya? Pernahkah
Anda mendampingi anak KPM yang putus sekolah, kemudian melanjutkan
pendidikannya melalui Kejar Paket C setelah mendapat penjelasan dari
pendamping PKH? Lansia yang hidup bersama dan mendapatkan dukungan
sosial anak-anak dan cucu-cucunya akan lebih senang dan bahagia. Anak
penyandang disabilitas yang hidup bersama dengan saudara dan orang tuanya
akan lebih ceria. KPM yang mendapat dukungan dari masyarakat sekitar dan
pemerintah setempat akan cepat menjadi keluarga yang mandiri. Anak korban
pelecehan seksual akan lebih mudah lepas dari masalah traumatik jika
mendapat empati dari teman-temannya. Anak KPM yang putus sekolah,
bersedia melanjutkan pendidikan di Kejar Paket C karena mendapat informasi
pentingnya belajar dari pendamping PKH. Lantas, apakah yang dimaksud
dukungan sosial?
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi verbal maupun non verbal,
bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang
dekat dengan subjek (klien/penerima manfaat) di dalam lingkungan sosialnya
dan hal-hal yang bisa memberikan keuntungan emosional maupun berpengaruh
pada tingkah laku penerimanya (Gottlieb dalam Kuntjoro, 2002)
Menurut King (2012:226), dukungan Sosial adalah informasi atau umpan balik
dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan,
dihargai, dan dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan
kewajiban yang timbal balik.
Jenis Dukungan
Sosial
a. Dukungan informasional
Pernahkah Anda memberi penjelasan tentang prosedur memanfaatkan
BPJS pada lanjut usia yang sedang sakit? Pernahkah Anda menjelaskan
syarat-syarat administrasi pada keluarga agar anaknya mendapat Kartu
Indonesia Pintar? Pernahkah Anda memberi nasihat kepada orang
tua/keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas sensorik agar
anaknya tetap di sekolahkan? Pernahkah Anda memberi penjelasan pada
masyarakat tentang tindakan yang dilakukan pada saat terjadi gempa bumi?
Pernahkah Anda menjelaskan pada anak bermasalah dengan hukum
tentang hak-hak anak pada saat penyidikan dan proses peradilan?
Pernahkah Anda memberitahu lanjut usia cara minum obat anti depresan
yang benar? Pernahkah Anda member saran LKSA yang akan di akreditasi
untuk menyiapkan perlengkapan administrasi, mengondisikan sarana dan
prasarana, dan menyiapkan prosedur layanan asuhan yang akan di
akreditasi? Jika, Anda pernah melakukannya, maka Anda telah memberi
dukungan informasional pada individu, keluarga, lembaga, atau komunitas.
Lantas apa yang dimaksud dengan dukungan informasional?
Dukungan informasional adalah dukungan yang berupa pemberian saran,
sugesti, dan informasi yang dapat digunakan mengungkapkan atau
menyelesaikan masalah. Jenis dukungan informasional meliputi nasehat,
usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Sumber informasi dapat
berupa buku, majalah, harian umum, artikel, siaran radio, dan program
televisi.
b. Dukungan penghargaan
Pernahkan Anda memberikan sanjungan atau pujian pada
klien/penerima manfaat yang melakukan perbuatan positif? Pernahkan
Anda memberikan dukungan pada klien/penerima manfaat Anda yang aktif
pada kegiatan sosial kemasyarakatan dengan cara mengantarkan ke tempat
kegiatannya? Jika pernah, maka kalian telah memberikan dukungan
evaluasional pada kakek/nenek kalian. Keluarga bertindak sebagai pemberi
umpan balik, pembimbing dan penengah pemecahan masalah. Keluarga
juga berperan sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga
yang memiliki masalah (sakit, stress, demensia, trauma, anti sosial, dsb).
diantaranya memberikan suport, penghargaan, dan perhatian. Setiap
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan klien/penerima manfaat
dimusyawarahkan di keluarga.
Dukungan penghargaan dapat menyebabkan individu yang menerima
dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa
bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika individu
mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada
kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental dari keluarga dan masyarakat merupakan
sumber pertolongan yang bersifat praktis dan konkrit bagi individu atau
keluarga yang bermasalah. Dukungan instrumental dapat berupa
pemenuhan kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal,
istirahat, terhindarnya dari kelelahan. Melalui dukungan instrumental,
individu dapat hidup lebih sejahtera. Dukungan instrumental keluarga
dapat memenuhi kebutuhan individu dari aspek biologis, psikologis, sosial,
dan spiritual (biopsikosospi). Kebutuhan biologis seperti menyediakan
makanan dan minuman, pakaian yang bersih, tempat istirahat yang nyaman
dan aman serta perawatan kesehatan. Kebutuhan psikososial seperti rasa
nyaman, kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga. Kebutuhan
sosial seperti kebutuhan bersosialisasi dengan tetangga, teman sebaya,
terlibat dalam kegiatan sosial, dsb. Kebutuhan spiritual merupakan
kebutuhan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan secara langsung
dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu
meringankan tugas orang yang sedang stres.
d. Dukungan emosional
Keluarga merupakan tempat yang aman dan damai bagi anggota
keluarganya yang memiliki masalah. Keluarga, merupakan tempat yang
memberi kemudahan bagi individu untuk mencurahkan segala
perasaannya. Tempat yang dapat membantu individu dalam pemulihan
serta penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional terdiri dari
informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata atau tindakan
yang diberikan melalui keakraban sosial. Dukungan emosional didapatkan
karena kehadiran dan memiliki manfaat emosional bagi individu.
Dukungan emosional mengacu pada kesenangan yang dirasakan,
penghargaan akan kepedulian atau membantu individu dalam penerimaan.
Dukungan emosional adalah dukungan dari ekspresi seperti perhatian,
empati, dan turut prihatin kepada seseorang. Dukungan ini akan
menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tenteram kembali,
merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan
dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta
e. Dukungan kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa
bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-
anggotanya dapat saling berbagi.
Menurut Cohen dan Hoberman, dukungan sosial terbagi menjadi empat
bentuk, yaitu (Isnawati dkk, 2013:3):
Tangiable support, yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau
bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas.
Self esteem support, yaitu dukungan yang diberikan oleh orang lain
terhadap perasaan kompeten atau harga diri individu atau perasaan
seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok dimana para anggotanya
memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-esteem seseorang.
Dunia
Masyarakat
Usaha
Sistem
Dukungan
Sosial
C. Soal latihan
Baca pertanyaan berikut ini dengan saksama. Berikan tanda silang (X) pada
pilihan jawaban yang benar.
1. Keberadaan orang lain, seperti anggota keluarga, anak, cucu, kerabat, dan
sahabat yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat,
penerimaan serta perhatian, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup klien/penerima manfaat, disebut:
a. Dukungan sosial
b. Dukungan emosional
c. Dukungan instrumental
d. Dukungan informasional
2. Pendamping PKH memberikan nasihat pada salah satu KPM nya yang akan
digraduasi agar dapat menerima keputusan untuk tidak lagi menerima bantuan
langsung program PKH. Apa yang dilakukan oleh pendamping PKH
termasuk contoh dari:
a. Appraisal Support
b. Tangiable support
c. Self esteem support
d. Belonging support
3. Salah satu pendamping PKH melakukan kegiatan penyuluhan sosial kepada
keluarga penerima manfaat di desa Sukamaju. Materi penyuluhan sosial
meliputi makanan sehat untuk anak, cara mengelola stress pada anak dan
hidup sehat tanpa merokok di keluarga. Kegiatan penyuluhan sosial tersebut,
termasuk wujud dukungan:
a. Emosional
b. Instrumental
c. Informasional
d. Evaluasional
4. Pendamping PKH melakukan kunjungan ke rumah salah satu KPM yang
mulai jarang hadir dalam pertemuan kelompok. Tujuannya agar KPM
semakin memiliki rasa menjadi bagian dari kelompok KPM yang
didampinginya. Apa yang dilakukan oleh pendamping PKH termasuk:
a. Appraisal Support
b. Tangiable support
c. Self esteem support
d. Belonging support
6. Pendamping PKH, Fatan (27 tahun) sering mendampingi lanjut usia dari
KPM dampingannya yang aktif mengikuti pengajian, hadir di Posyandu
Lansia, dan mengikuti senam lansia. Untuk mensupport aktifitas lansia,
sering kali Fatan mengantar mengingatkan pentingnya lansia aktif dalam
kegiatan sosial. Apa yang dilakukan Fatan pada lansia dampingannya
merupakan contoh dukungan:
a. Emosional
b. Instrumental
c. Informasional
d. Penghargaan
9. Pak Timan (80 tahun) yang telah menduda karena isterinya telah meninggal dunia,
mempunyai 7 orang anak. Enam orang anaknya hidup berdekatan dengan pak Timan
di kota yang sama, anaknya yang nomor 6 tinggal di luar kota. Diantara ke tujuh
anaknya, justru pak Timan merasa nyaman dengan anaknya yang nomor 6, meski
tidak setiap saat dapat dijumpainya. Kondisi yang dialami pak Timan dengan
anaknya yang nomor 6, terjadi karena adanya:
a. Penghargaan
b. Kedekatan
c. Kelekatan
d. Integrasi
10.Kegiatan Bakti Sosial yang diwujudkan dalam bentuk pengobatan dan pemeriksaan kesehatan, pemberian
pakaian layak pakai, pemberian bahan kebutuhan makan sehari-hari dan merenovasi rumah korban bencana
alam. Kegiatan bakti sosial tersebut, termasuk wujud dukungan:
a. Emosional
Setelah membaca dan mempelajari bahan bacaan ini peserta diharapkan mampu menjelaskan, memahami dan
menerapkan komunikasi, relasi sosial dan kerjasama tim secara bersinergi dalam pelaksanaan tugas sebagai
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS).
KOMUNIKASI DAN RELASI SOSIAL
1. Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari dan memahami bahan bacaan ini peserta
diharapkan mampu menjelaskan, memahami dan menerapkan
komunikasi, relasi sosial dan kerjasama tim secara bersinergi dalam
pelaksanaan tugas sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS).
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini peserta mampu:
a.Menjelaskan tentang komunikasi dalam konteks internal dan
eksternal b.Memahami relasi sosial dalam lingkup tugas sebagai tenaga
kesejahteraan sosial
c.Menerapkan kerjasama dalam tim sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial
3. Pokok Bahasan
a. Komunikasi (internal dan eksternal)
b. Relasi Sosial
c. Kerjasama tim (team work)
LEMBAR BACAAN 1
A. Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan proses interaksi yang kompleks antara fikiran, bahasa
dan tindakan. Proses komunikasi memerlukan serangkaian kegiatan timbal balik
antar sumber dan penerima, melalui pengulangan siklus komunikasi yang
diharapkan tujuan komunikasi dapat tercapai. Proses komunikasi secara primer
adalah proses penyampaian fikiran dan perasaan menggunakan lambang (symbol)
berupa bahasa, isyarat, atau gambar yang mampu menerjemahkan pikiran dan
perasaan sumber pada penerima.
2. Komunikasi Yang Efektif
Efektif tidaknya komunikasi yang dibangun secara umum dalam sebuah
proses dapat dipandang dari seberapa besar pencapaian tujuan dari komunikasi itu
sendiri. Adapun tolok ukur keberhasilan komunikasi efektif dapat dilihat dari
beberapa hal:
a. Adanya kepercayaan dari penerima pesan (khalayak sasaran) terhadap
penyampai pesan (dalam hal ini; TKS) serta ketrampilan komunikasi yang
bersangkutan (menyajikan isi dan mengemas pesan sesuai tingkat nalar khalayak
sasaran.
b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan khalayak sasaran.
c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara TKS dengan penerima
manfaat sebagai penerima sekaligus penyampai pesan.
d. Kemampuan khalayak sasaran dalam menafsirkan pesan, kesadaran dan
perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima.
e. Setting komunikasi, baik fisik maupun sosial relatif kondusif (nyaman,
menyenangkan, dan mendukung proses komunikasi yang diharapkan).
f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai)
sesuai dengan jenis indera khalayak sasaran sebagai penerima pesan.
Situasi dan kondisi komunikasi yang akan dibangun agar efektif dapat
disiasati dengan mempertimbangkan tiga langkah awal; (1) menyusun perencanaan
komunikasi, (2) memperhatikan empat unsur penting dalam komunikasi dan (3)
evaluasi obyektif terhadap kredibilitas diri sebagai sumber informasi.
3. Unsur Komunikasi Efektif
Komunikasi yang baik sangat ditentukan empat unsur berikut:
▪ Keahlian komunikasi; keahlian ini sangat menunjang bagi tercapainya
komunikasi efektif dengan berbagai pertimbangan menyangkut strategi dan
perencanaan komunikasi yang akan dibangun, pengemasan pesan dengan jelas,
pemilihan media yang tepat, dan mampu membaca situasi fisik dan sosial yang
mendukung proses komunikasi efektif.
▪ Sikap; didasari sikap-sikap yang sesuai dengan etika dan prinsip komunikasi
yang mendukung proses komunikasi yang efektif.
▪ Tingkat pengetahuan; memperhatikan tingkat pengetahuan khalayak sasaran
agar pesan dapat dikemas sesuai dan difahami penerima pesan. Ketrampilan dan
kemampuan menafsirkan pesan terkait dengan tingkat pengetahuan khalayak
dalam menginterpretasi maksud dan isi pesan yang disampaikan.
▪ Sistem sosial budaya; latar belakang sosial budaya akan memberi pengaruh kuat
terhadap gaya dan cara berkomunikasi seseorang. Oleh karena itu, pertimbangan
sosial budaya pelaku komunikasi perlu difahami benar. Proses penyuluhan perlu
disesuaikan dengan kerangka nilai, kebiasaan dan budaya khalayak sasaran,
terutama dalam hal penggunaan bahasa, dialek, dan gaya bicara sesuai bentukan
sistem sosial budaya khalayak sasaran.
4. Karakteristik Komunikasi dalam Pekerjaan Sosial
Komunikasi merupakan sarana dan juga proses untuk berbagi informasi dan
pengetahuan. Komunikasi memiliki ciri diantaranya:
a. Terjadi bila; (1) ada dua pihak yang memiliki kepentingan bersama untuk saling
berbagi informasi dan pengetahuan. (2) dapat terjadi di mana saja dan kapan
saja. Komunikasi dapat berlangsung sepanjang hari, pagi, siang maupun malam.
(3) apa saja yang ingin dikomunikasikan dapat berbentuk verbal dan nonverbal.
Yang verbal dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis, sedangkan yang
nonverbal dapat dilakukan dengan isyarat, perilaku, gerak-gerik badan (kinesik).
(4) pesan yang dikomunikasikan dan makna sebenarnya akan diterima secara
utuh, apabila kesan verbal dan nonverbal diintegrasikan oleh pihak-pihak yang
berkomunikasi. (5) komunikasi tidak dibatasi oleh waktu dan jarak, asal
disampaikan dalam “bahasa” yang dipahami kedua belah pihak.
b. Keterampilan berkomunikasi penting artinya bagi praktisi Pekerjaan Sosial
karena (1) komunikasi adalah sebuah proses berbagi informasi baru yang
berdaya untuk mengubah perilaku. (2) mereka diharapkan dapat menjadi
pendengar yang baik atau responsif, saat berkomunikasi dengan kliennya. (3)
Perlman; mengemukakan perlunya kita memahami social intelligence klien,
yang mencakup (a) kedalaman pemahaman klien terhadap masalah; (b)
kemampuan berkomunikasi dengan pihak lain maupun pada diri sendiri; (c)
kemampuan memberikan perhatian pada masalah yang dihadapi. (d) kemampuan
merangkum informasi secara sistematik dan tajam analisisnya.
5. Komunikasi Persuasif dalam Pekerjaan Sosial
Tujuan memilih metode komunikasi ialah untuk memperoleh efek, sesuai
dengan yang diinginkan secara sadar dan lestari. Untuk mencapai tujuan dari efek
tersebut, metode persuasif menjadi pilihan yang tepat. Metode ini selalu ditunjukan
kepada upaya yang sifatnya mendorong komunikan agar dapat merubah sikap,
pendapat atau bahkan perilakunya dengan sadar atau atas dasar kesadarannya.
Metode komunikasi persuasif ini sejalan dengan paradigma komunikasi menurut
Lasswell, yaitu; “Who says what in which channel to Whom with What Effect?”
(“Siapa mengatakan apa, dengan saluran apa kepada siapa dan dengan efek apa?”).
Penerapan Komunikasi persuasif senantiasa menggunakan model pendekatan
A-A procedure atau “from Attention to Action Procedure”; yaitu proses
pentahapan persuasi yang dimulai dengan upaya membangkitkan perhatian untuk
kemudian berupaya menggerakkannya untuk melakukan suatu kegiatan yang
diharapkan. Prosedur A-A ini selanjutnya dioperasionalkan dalam proses
pentahapan yang dikenal sebagai AIDDA, yaitu singkatan dari Attention
(Perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan) dan Action
(Tindakan). Dalam proses pentahapan ini, komunikasi persuasif diawali dengan
upaya membangkitkan perhatian terlebih dahulu. Ini tidak hanya dilakukan atas
dasar gaya dan ketrampilan dalam menyatakan pesan saja, tetapi juga harus
didukung oleh penampilan yang meyakinkan, simpatik dan kredibel. Manakala
perhatian telah tumbuh, selanjutnya kita berupaya mengembangkan minat, agar
timbul hasrat untuk mengikuti pesan yang dikomunikasikan. Dengan hasrat yang
telah tertanam kiranya dapat menguatkan untuk mengambil keputusan melakukan
tindakan/kegiatan.
Beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan komunikasi:
a. Adanya kepercayaan dari orang lain (sasaran komunikasi) terhadap dirinya
sebagai penyampai pesan, serta ketrampilan komunikasi yang bersangkutan
(menyajikan isi dan mengemas pesan komunikasi sesuai tingkat nalar orang
yang diajak berkomunikasi sebagai sasaran komunikasi.
b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan kebutuhan
klien.
c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara sumber dan penerima
pesan.
d. Kemampuan orang lain (sasaran komunikasi) dalam menafsirkan pesan,
kesadaran dan perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima.
e. Setting komunikasi, baik fisik dan sosial relatif kondusif (nyaman dan
menyenangkan dalam proses komunikasi yang diharapkan).
f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai) sesuai
dengan karakteristik orang lain (sasaran komunikasi) sebagai penerima pesan.
6. Hambatan dalam Komunikasi Persuasif
Dalam upaya membangun komunikasi persuasif perlu memperhatikan
berbagai masalah dan hambatan yang mungkin dijumpai berkaitan dengan beberapa
faktor berikut:
▪ Perbedaan status (Hambatan Sosiologis)
Komunikasi sering tidak tercapai, bila orang yang terlibat memiliki perbedaan
status sosial yang mencolok.
▪ Perbedaan Bahasa dan Budaya (Hambatan Antropologis)
Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses transformasi nilai sosial
budaya diantara orang yang terlibat. Komunikasi dapat berjalan lancar, bila
dilakukan oleh mereka yang berlatar budaya sama, dimana penggunaan bahasa
dan lambang yang sama akan mudah dipahami diantara mereka.
▪ Hambatan Psikologis
Prasangka; menjadi pembatas dalam berkomunikasi secara terbuka, jujur,
harmonis dan saling menghormati. Prasangka dalam komunikasi sosial biasanya
karena stereotyping;
Kepentingan pribadi (hidden agendas); komunikasi tidak berlangsung alamiah
dengan aliran pesan saling pengertian, bila satu pihak memiliki kepentingan
yang tidak mewakili kepentingan bersama.
Apriori terhadap perubahan; komunikasi akan terhambat, bila khalayak apriori
terhadap setiap gagasan perubahan yang dirancang sebagai tujuan komunikasi
persuasif. Komunikasi ini harus dibangun atas dasar keterbukaan dan saling
menghargai setiap gagasan inovatif diantara orang yang berkomunikasi.
Pengalaman; Kepribadian dan perilaku umumnya dibentuk oleh pengalaman,
baik yang dialami secara sadar maupun tak disadari. Mereka yang melalui
pengalaman yang berbeda akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan
komunikasi.
▪ Hambatan Semantik
Ketidakpahaman terhadap penguasaan perbendaharaan kata dan tata bahasa
dapat menimbulkan miskomunikasi dan mispersepsi diantara orang yang
berkomunikasi. Tujuan komunikasi pun akan mengalami kegagalan karena
adanya kesalahan pemahaman tentang pesan yang disampaikan.
▪ Hambatan Ekologis
Hambatan ini terjadi karena gangguan lingkungan terhadap proses
berlangsungnya komunikasi. Hindarkan situasi dan kondisi lingkungan yang
bising, tidak nyaman dan mengganggu saat membangun proses komunikasi.
RELASI SOSIAL
KERJASAMA TIM
A. Pengertian Kerjasama
Pengertian kerja sama adalah sebuah sistem pekerjaan yang dikerjakan oleh
dua orang atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang direncanakan bersama. Kerja
sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan
kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong
yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam
kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi kesadaran tanggung jawab
tiap anggota dan atau kolega dalam sebuah tim kerja.
Sebagaimana yang dinyatakan Tracy (2006) bahwa, kerjasama dapat
meningkatkan komunikasi dalam kerja tim di dalam dan di antara bagian-bagian
organisasi/lembaga. Kerja sama mengumpulkan bakat, berbagi tugas dan tanggung
jawab untuk mencapai tujuan bersama. Menurut West (2002), kerja sama dilakukan
oleh sebuah tim lebih efektif daripada kerja secara individual telah banyak riset
membuktikan, bahwa kerja sama secara tim (kelompok) mengarah pada efisiensi dan
efektivitas yang lebih baik, sangat berbeda halnya dengan kerja yang dilaksanakan
hanya secara perorangan. 1
Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan
atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama (Soekanto, 1990).
Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil
(Baron & Byane, 2000). Kerjasama adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara
kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara
optimal (Sunarto, 2000).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama adalah
suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah
pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih
baik. Jika tujuan yang ingin di capai berbeda, maka kerjasama tidak akan tercapai.
B. Cara Membentuk Kerjasama Tim
Pentingnya kerjasama tim dalam organisasi adalah untuk mencapai tujuan
dengan hasil yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan bersama.
Seorang pemimpin tim mendapatkan banyak manfaat dari anggota lain dari tim,
mempengaruhi, membimbing, memberi inspirasi, dimana semuanya dapat
mempengaruhi motivasi para anggota tim dalam menggunakan cara-cara positif. Jika
pemimpin tidak dapat membangun kerjasama tim yang baik, otomatis akan
menghambat untuk mencapai tujuan atau bahkan menghasilkan hasil kinerja yang
tidak sesuai apa yang diinginkan. Pemimpin tim yang efektif tidak hanya bicara saja
tetapi mereka juga menunjukkan, membenarkan, mendorong, dan mendesak setiap
langkah. 2
Kerjasama tim yang baik akan berhasil diwujudkan dengan melakukan
beberapa cara berikut:
1. Membangun kepercayaan dan saling menghormati
Tim yang terdiri dari beberapa orang sudah pasti mempunyai pendapat masing-
masing yang berbeda, sebagai tim harus bisa saling menghormati pendapat masing-
masing serta pemikiran yang lainnya. Dengan saling percaya dan saling
menghormati yang kuat akan mempermudah bekerja sama.
2. Sebagai pemimpin harus dapat memfasilitasi komunikasi di antara anggota tim
Dengan dilakukannya komunikasi yang terbuka dan jujur akan membangun
komunikasi yang baik pula antara anggota tim bahkan dengan komunikasi yang
terbuka dan jujur kepada pemimpin juga akan meminimalisir kesalahpahaman yang
akan terjadi. Setiap orang yang ada dalam anggota tim berhak untuk
mengekspresikan dirinya dalam arti bebas untuk memberi opini atau solusi untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh tim.
3. Menanamkan sikap saling memiliki (Sense of belonging)
Sikap saling memiliki akan muncul dan akan semakin mendalam ketika sebuah tim
sering menghabiskan waktu bersama untuk mengembangkan norma. Dan sebaiknya
seorang pemimpin tim harus mengikut sertakan anggota tim nya dalam proses
pengambilan keputusan sebagai realisasi dari kerja sama tim bersama.
4. Pengkajian performa tim dan umpan balik
Pengkajian performa harus dilakukan ulang setelah selesai kerjasama tim untuk
melihat apakah sudah sesuai ekspetasi dan apakah sudah sesuai dengan tujuan tim.
Sebagai pemimpin juga sangat perlu untuk memberikan umpan balik kepada
anggota tim nya berupa diberikannya reward (hadiah) dan intensif seperlunya untuk
meningkatkan motivasi para anggota tim agar kinerja nya semakin baik dan
meningkat dimasa yang akan datang dan sebagai bukti penghargaan atas kerja sama
yang telah dilakukannya. Sehingga anggota tim tidak melakukan kecurangan
karena tidak diberikan penghargaan sama sekali, hal tersebut akan menurunkan
motivasi anggota tim. Oleh karena itu, perlu dibuat sistem yang efektif dan efesien
untuk mencegah dan meningkatkan kinerja tim. Budaya yang baik sangat
berpengaruhi untuk perkembangan karakter tim dan keberhasilan kerjasama tim
dalam sebuah pelayanan dan pendampingan. Dapat disimpulkan bahwa suksesnya
sebuah organisasi dalam mencapai tujuan adalah tergantung dengan kerjasama tim
yang ada dalam organisasi tersebut. Bagaimana TKS membangun tim menjadi tim
yang solid untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan sesuai ekspektasi dan visi
misi organisasinya.
REFERENSI
Achlis. 1992. Komunikasi Pekerjaan Sosial. Bandung: An Naba STKS & Socialia Jakarta;
Dubois, Brenda and Miley, Karla Krogsrud. 2006. Social Work An Empowering
Profession. Boston: Allyn and Bacon.
DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Edisi Kelima.
Terjemahan Ir. Agus Maulana, MSM. Jakarta: Professional Books; Effendi,
Hepworth, Dean H and Larsen, Jo Ann. 1993. Direct Social Work Practice: Theory and
Skill. Pacific Grove, California: Brooks/Cole Publishing Co.
Modul Pelatihan Dasar Pekerjaan Sosial. 2016. Jakarta: Pusdiklat Kesejahteraan Sosial.
Moriotti, John L,. 1966. The Power of Partnerships. Massachussets. USA: Blackwell
Publishers.
Roberts, Albert R., and Greene., Gilbert J. (2008). Social Worker’ Desk Reference
Diterjemahkan oleh Juda Damanik, MSW dan Cynthia Pattiasina, MSW, MPIA
menjadi Buku Pintar Pekerja Sosial. Jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
REFERENSI ELEKTRONIK
Sumber:
https://www.kompasiana.com/taniaprtw/5b5709386ddcae0cac448b12/cara- membangun-
kerjasama-tim-dalam-organisasi?page=all diakses hari Jumat, tanggal 31
Januari 2020, jam 15.58
1. Langkah awal membangun situasi dan kondisi komunikasi agar efektif, diantaranya
dilakukan dengan:
A. Apriori B. Evaluasi C. Stereotyping D. Mengabaikan
terhadap obyektif atas pesan non verbal
gagasan kredibilitas diri
sebagai sumber
informasi
5. Pertukaran gagasan diantara administrator dan petugas dalam suatu organisasi atau
lembaga yang menyebabkan terwujudnya organisasi, lengkap dengan strukuturnya yang
khas, disebut:
A. Komunikasi B. Komunikasi C. Komunikasi D. Komunikasi
internal eksternal formal transaksional
6. Pilih pernyataan dalam konteks relasi TKS yang menurut anda tidak tepat:
A. TKS harus B. Pertolongan C. Relasi sosial D. Relasional adalah
menerapkan sosial berbasis yang positif tanggung jawab
relasi pemberdayaan adalah landasan TKS untuk
pertolongan berusaha bagi proses memulai dan
untuk mengembangkan pemberian mempertahankan
harapan dengan sistem dengan penerima
penerima klien, sejak awal manfaat
manfaat. kerjasama.
10. Untuk mewujudkan kerjasama tim yang baik, maka perlu dihindari:
A. Membangun B. Memfasilitasi C. Menanamkan D. Mengutamakan
kepercayaan komunikasi sikap saling tujuan dengan
dan saling antar anggota memiliki mengabaikan
menghormati umpan balik
BAHAN TAYANG POWERPOINT (PPT)
KOORDINASI DAN JEJARING KERJA
A. Kompetensi Umum:
B. Tujuan
1. Mampu memahami konsep koordinasi dan jejaring kerja.
2. Mampu memahami manfaat koordinasi dan pengembangan jejaring kerja
dalam distribusi sumber daya secara seimbang.
3. Mampu memahami dan menganalisis serta menjelaskan jenis dan tipe
koordinasi dan jejaring kerja.
C. Materi
Koordinasi merupakan suatu proses kerja yang harus dilakukan untuk menjaga agar
serangkaian pekerjaan yang dilakukan oleh banyak bidang yang berbeda, akan tetapi pada
tingkatan yang sama dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata
lain, koordinasi ialah kegiatan yang dikerjakan oleh banyak pihak dari satu organisasi atau
sistem pelayanan yang sederajat dan untuk mencapai suatu tujuan bersama dengan
kesepakatan masing-masing pihak agar tidak terjadi kesalahan dalam bekerja baik
mengganggu pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. James G March dan Herben A
Simon pengertian koordinasi ialah sebuah proses atau kegiatan demi mencapai satu
kesatuan antara berbagai macam pihak dalam mencapai tujuan bersama. Menurut teori
koordinasi, koordinasi merupakan sebuah sinkronisasi atau penyelarasan berbagai pihak
dalam berkerja secara tertip dan teratur dalam batasan waktu akan tetapi koordinasi
berbeda dengan kerja sama yang membedakannya ialah aktifitas atau kegiatan yang
tercipta tidak dari satu sumber.
1. Pengertian Koordinasi
Koordinasi merupakan proses penting yang harus dilakukan secara seksama agar
berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan dapat bekerja bersama secara utuh dalam
mencapai tujuan. Agar proses ini dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan,
maka koordinasi harus dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu secara sistematis.
Koordinasi telah dipelajari oleh berbagai disiplin akademik yang luas, meliputi
sosiologi, administrasi public, ilmu ekonomi, computer, perilaku organisasi dan
sebagainya. Secara historis, koordinasi telah didiskusikan dalam literatur perilaku
organisasi sebagai proses menyatukan dalam mengambil tindakan atau melaksanakan suatu
kegiatan pelayanan, dimana bagian-bagian dari suatu pelayanan menyesuaikan dan
merespon satu sama lain dalam melaksanakan tugas kearah pencapaian tujuan. Fokus dari
koordinasi adalah hubungan antara pelayanan yang diberikan, hubungan kerjasama akibat
keterkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki, serta keterikatan kerjasama SDM pelayanan
dalam suatu sistem pelayanan secara utuh.
Koordinasi menurut James A.F Stoner dan Charles Wankel (dalam Yusuf, 2019)
merupakan suatu proses untuk mengintegrasikan berbagai tujuan dan aktivitas dalam
satuan yang berbeda pada organisasi pelayanan guna meraih tujuan organisasi seefisien
mungkin. Siagian menjelaskan bahwa definisi koordinasi adalah pengaturan keterkaitan
pada usaha bersama dalam rangka mencapai keseragaman tindakan untuk meraih tujuan
bersama. Pengertian koordinasi lainnya yaitu suatu proses pengaturan supaya pembagian
tugas setiap individu maupun grup mampu terbentuk sebagai kebutuhan yang terintegrasi
dengan efisien.
Dari definisi di atas, ada beberapa komponen penting dalam koordinasi yaitu ada
proses mengintegrasikan semua tujuan; ada usaha bersama; keseragaman tindakan dan ada
pembagian tugas. Kesulitan melaksanakan koordinasi yang mudah diucapkan itu adalah
sulitnya mengintegrasikan, menseragamkan tindakan dan mengatur pembagian tugas yang
jelas. Karena proses tersebut berkaitan dengan perilaku manusia dalam organisasi. Dalam
konteks kegiatan pelayanan, Tugas pimpinan atau penyelenggara dan pelaksana
programlah yang bertanggung jawab melaksanakan koordinasi agar pelaksanaan program
atau kegiatan pelayanan sesuai dengan standar operasional pelayanan yang ada dari mulai
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota.
Dalam konteks kelembagaan pelayanan maka bahasan koordinasi difokuskan pada
koordinasi pelayanan pada tingkat Sekretariat pelayanan, Instansi Sosial Kabupaten, Kota
maupun koordinasi yang dibangun oleh satuan sosial masyarakat tingkat terrendah, seperti
Kelurahan atau Desa.
Jadi pada dasarnya, yang dimaksud dengan Koordinasi adalah proses yang
menghubungkan berbagai kegiatan pada berbagai departemen atau individu dalam suatu
organisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, definisi dari Koordinasi
adalah “Perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan
yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur”.
Saling ketergantungan ini juga terjadi pada lingkungan internal organisasi ataupun
eksternal organisasi. Tingkat koordinasi pada dasarnya tergantung pada tingkat saling
ketergantungan tersebut. Lebih banyak saling ketergantungannya (baik internal maupun
eksternal), lebih banyak pula kebutuhan akan koordinasi.
Berikut ini adalah beberapa definisi dan pengertian Koordinasi menurut beberapa ahlinya.
4. Dependensi Sumberdaya
Koordinasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi utama, yaitu dapat
diklasifikasikan berdasarkan Ruang Lingkup dan berdasarkan Aliran koordinasinya.
Berdasarkan Ruang Lingkupnya, Koordinasi dapat dibagi menjadi Koordinasi Internal dan
Koordinasi Eksternal.
• Koordinasi Internal adalah koordinasi di antara berbagai unit kerja atau bagian
dalam suatu organisasi atau sistem pelayanan dengan mengintegrasikan tujuan dan
kegiatan pada unit kerja tersebut.
• Koordinasi Eksternal adalah koordinasi antara organisasi atau kegiatan pelayanan
dengan lingkungan eksternalnya yang terdiri dari pemerintah, komunitas, kelompok
sasaran program, koordinator wilayah, program lain, warga masyarakat setempat
dan lain sebagainya, sekolah, institusi kesehatan, dan sebagainya.
Berdasarkan alirannya, koordinasi dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis yaitu
Koordinasi Vertikal dan Koordinasi Horizontal.
6. Jejaring Kerja
Tidak ada suatu sistem kerja atau sistem pelayanan sosial maupun kemasyarakatan
kompleks yang dapat menjalankan tugas dan pekerjaannya secara mandiri tanpa
keterlibatan pihak lain. Pelaksanaan kegiatan selalu berkaitan dengan berbagai pihak
eksternal yang dapat menyediakan materi, informasi, data, sumber daya, maupun
dukungan.
Pengertian:
Jejaring kerja adalah suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang
membentuk satu ikatan kerjasama pada satu bidang tertentu/tujuan tertentu dg berbagi
ide, informasi dan sumber daya untuk meraih kesuksesan bersama. Berkowitz (1988)
menjelaskan bahwa jejaring sosial merupakan kesatuan individu atau kelompok yang
terhubung satu sama lain melalui relasi sosial bermakna. Relasi sosial yang bermakna yang
dimaksud dalam pengertian tersebut antara lain adalah keluarga, teman, atau yang bersifat
formal, seperti institusi pembina, seperti Dinas Sosial, Dinak Kesehatan, Sekolah,
Pemerintahan desa/kecamatan/kabupaten, dan sebagainya. Akan tetapi, hal yang paling
mendasar yang menjadi persyaratan utama dalam jejaring kerja adalah rasa saling percaya
(Trust). Rasa saling percaya ini mendasari hubungan sosial yang memberikan kekuatan
dalam jejaring kerja. Jejaring kerja inilah yang memperkaya dan memperkuat kerjasama
dalam suatu tim kerja. Kerjasama dalam suatu tim yang diperkaya dengan rasa saling
percaya akan menguatkan efektivitas suatu kegiatan.
a. Adanya masalah atau kebutuhan yang dirasakan bersama. Jejaring yang terbentuk
selalu diarahkan untuk mengatasi suatu masalah, atau suatu kebutuhan tertentu.
Masalah atau kebutuhan inilah yang menjadi arah bagi beroperasinya suatu jejaring
kerja. Tanpa permasalahan atau kebutuhan ini, maka jejaring itu tidak akan terarah
secara jelas dan kemanfaatannyapun menjadi sangat terbatas.
b. Adanya dua pihak/lebih yg memiliki komitmen & kesamaan visi untuk
memecahkan masalah/memenuhi kebutuhan. Jejaring kerja ini harus meliputi dua
pihak atau lebih. Pihak yang terlibat dalam jejaring ini harus memiliki kesamaan
dalam visi, misi, tugas, atau tanggung jawab yang sama. Kerjasama yang tumbuh
dari jejaring kerja ini akan mendorong saling tukar informasi maupun sumberdaya
dari masing-masing pihak yang terlibat dalam jejaring kerja tersebut.
c. Adanya saling percaya. Rasa saling percaya Rasa saling percaya adalah suatu
perasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain atau pihak lain, yang
didasari keyakinan akan kebaikan dan keyakinan bahwa pihak lain tidak akan
merugikan. Rasa saling percaya ini tidak akan muncul tanpa komunikasi dan
kedekatan yang intensif. Dengan demikian, lakukan komunikasi dua pihak atau
lebih dalam kegiatan yang dilakukan.
d. Adanya kesetaraan dan kesejajaran antar pihak yang bermitra. Kesetaraan berarti
posisi atau kedudukan yang sama dari pihak-pihak yang bekerja sama. Tidak ada
pihak yang berada di atas, menggurui, atau mengatur secara kasar pihak lainnya.
Walaupun secara formal ada pihak yang lebih tinggi kedudukannya, tetapi memiliki
kesetaraan dalam kerjasama yang dilakukan.
e. Adanya kesepakatan/kesepahaman bersama. Pihak yang terlibat dalam kegiatan
kerjasama harus memiliki kesepakatan dan kesepahaman yang baik mengenai
mekanisme kegiatan yang dilakukan. Tidak adanya kesepahaman antar pelaku
1
kegiatan, akan menjadi sumber bagi konflik dan menjadi penyebab utama gagalnya
kegiatan yang dilakukan.
f. untuk mencapai tujuan yg lebih besar. Jejaring kerja harus dilakukan karena ada
interdependensi sumber daya atau hubungan saling mengisi dari berbagai pihak yang
terlibat. Satu pihak yang memiliki kelemahan terhadap sumber daya yang dimiliki, akan
mendapat bantuan mengisi kekurangan tersebut dari pihak lain dalam jejaring kerja yang
dikembangkannya.
A. KOMPETENSI UMUM
B. TUJUAN
1. Mampu memahami konsep Monitoring dan Evaluasi.
2. Mampu memahami manfaat Monitoring dan Evaluasi.
3. Mampu memahami dan menganalisis serta menjelaskan jenis dan
tipe Monitoring dan Evaluasi.
1
Pembahasan konsep evaluasi dalam modul ini diarahkan untuk
mengingatkan kembali para peserta sertifikasi tentang proses maupun kaidah
evaluasi. Modul ini tidak dimaksudkan untuk mengulas secara lengkap mengenai
konsep evaluasi secara panjang lebar, akan tetapi dipilih beberapa komponen
penting yang dianggap penting dalam suatu proses evaluasi kegiatan pelayanan.
Modul ini diarahkan untuk memperkuat pemahaman tentang konsep evaluasi bagi
peserta sertifikasi yang telah memiliki pemahaman awal tentang metode
penelitian.
B. KOMPETENSI DASAR
1. Merancang disain evaluasi dan monitoring pelayanan.
2. Melakukan Evaluasi Pelayanan Langsung
3. Melakukan Evaluasi Pelayanan tak langsung
2
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Umum.
Peserta sertifikasi mampu merancang sebuah disain evaluasi serta
melaksanakan rancangan tersebut untuk mengevaluasi praktik pelayanan
yang diberikannya.
2. Tujuan Khusus.
Peserta sertifikasi diharapkan :
a. Mampu memahami konsep evaluasi partisipatoris
• Mampu memahami dengan benar manfaat evaluasi dalam proses
pelayanan yang diberikan.
• Mampu memahami proses-proses, terutama beberapa konsep
penting dalam evaluasi.
• Mampu memahami serta merancang lima disain utama dalam
evaluasi, yaitu disain subyek tunggal, skala pencapaian tujuan, skala
pencapaian tugas, kuesioner kepuasan klien, serta analisis proses
dan dampak program.
b. Mampu memahami dan menggunakan beberapa alat partisipatoris yang
dapat digunakan dalam evaluasi program.
D. MATERI
1. Pengantar
Untuk menjadi seorang pengembangan masyarakat yang efektif, seseorang
harus memahami apakah intervensi yang dikembangkannya dapat dilakukan
secara efektif atau tidak, sesuai dengan harapan klien atau tidak, dapat mencapai
tujuan atau tidak, dsb. Hal ini nampaknya merupakan sesuatu yang sangat
sederhana, akan tetapi untuk mengembangkan strategi dalam mengevaluasi
praktek yang kita lakukan secara efektif tidak selalu menjadi suatu pekerjaan yang
mudah untuk dilakukan. Bahkan walaupun kita telah memiliki rencana yang jelas
untuk mengevaluasi hasil praktek yang telah dilakukan, atau untuk mengevaluasi
program yang dijalankan. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengukur
efektivitas ini.
3
Proses evaluasi secara tipikal merupakan suatu proses yang berkelanjutan
(ongoing process), sehingga kita harus selalu menilai apakah tujuan-tujuan jangka
pendek yang telah ditentukan dapat tercapai dengan baik. Evaluasi juga dapat
dipandang sebagai tahap akhir dalam sebuah kegiatan, yang seringkali mendasari
suatu keputusan bersama antara pekerja sosial dengan klien untuk mengakhiri
hubungan profesional yang terjalin (Termination). Secara umum, diskusi tentang
bahasan ini akan membantu pembaca untuk :
a. Menemukenali serta memilih metode yang sesuai untuk mengevaluasi
praktek pengembangan masyarakat yang dilakukan.
b. Menemukenali beberapa metode yang dapat dan mudah digunakan untuk
melakukan evaluasi program.
c. Menemukenali serta mampu membedakan secara jelas berbagai konsep
penting dalam melakukan evaluasi secara benar, seperti validitas,
reliabilitas, generalisasi, “baseline”, evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif.
d. Menemukenali rancangan (design) yang dapat digunakan dalam
melakukan evaluasi terhadap praktek yang telah dilakukan maupun
mengevaluasi suatu program pelayanan tertentu.
E. MANFAAT EVALUASI
Sumber daya penyandang dana belakangan ini sudah begitu tinggi dalam
memberikan perhatian pada pentingnya pertanggung jawaban (accountability)
pelaksanaan program-program pelayanan. Oleh karena itu tuntutan untuk
melakukan evaluasi atas pelaksanaan program-program tersebut juga meningkat
dengan sangat signifikan. Para penyandang dana ini memberikan tuntutan yang
begitu tinggi untuk memperoleh jaminan bahwa dana yang dialokasikan bagi
program-program tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dan manfaat yang
telah ditentukan. Di lain pihak, juga banyak lembaga-lembaga pelayanan yang
memberikan perhatian untuk mengukur praktek apa yang telah dilakukannya,
4
sampai seberapa jauh proses pelayanan telah sesuai dengan rencana, dan
bagaimana pencapaian tujuan akhirnya.
Gambar 1. Evaluasi dalam Model Intervensi Pemberi pelayanan.
Penerapan Prinsip-
prinsip Intervensi
Penelitian
Asesmen (Assessment)
Perencanaan
Intervensi
EVALUASI
5
karyawan atau stafnya telah bekerja lebih keras. Ukuran yang digunakan pada
contoh tersebut di atas menunjukkan informasi tentang apa yang telah dilakukan
oleh lembaga. Akan tetapi informasi tersebut samasekali tidak menunjukkan
apakah lembaga tadi telah melaksanakan fungsi dan tugasnya kepada klien dengan
baik atau tidak.
6
Supervisor pekerja sosial hanya mampu berbicara tanpa dasar, jika tidak
dilakukan evaluasi secara terrencana.
7
merupakan upaya untuk melihat proses pemberian pelayanan, sedangkan evaluasi
merupakan upaya untuk melihat efektivitas pelayanan. Ahli lain (Rivas dan
Barker) menyatakan bahwa monitoring sebenarnya juga merupakan suatu
evaluasi. Jadi mereka ini hanya membedakan antara evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan untuk melihat proses pelayanan
(identik dengan monitoring), sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk melihat
efektifitas pelayanan, bersifat komprehensif dan dilakukan di akhir kegiatan.
F. PROSES EVALUASI
Proses evaluasi suatu praktek pelayanan sebenarnya juga mengikuti
tahapan proses pemecahan masalah itu sendiri (Duehn, 1985). Pada tahap awal,
kita harus menentukan atau mendefinisikan masalah yang akan diukur atau akan
dievaluasi serta mempertimbangkan berbagai pendekatan penelitian yang
mungkin relevan (assessment). Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut,
kemudian dipilih salah satu pendekatan dan merancang tahapan kerja berikutnya
yang akan dilakukan (planning). Setelah rencana disusun dengan matang, maka
penelitian dilakukan secara intensif (intervention). Akhirnya perlu dilakukan
pengkajian dan evaluasi atas temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut.
Ada beberapa konsep kunci yang sangat penting untuk memahami serta
melakukan evaluasi. Konsep-konsep ini antara lain : Evaluasi sumatif dan
formatif, Baselines, Variabel Bebas dan Variabel Terikat (independent Variables
dan Dependent Variables), validitas dan reliabilitas, metode pengumpulan data,
dan generalisasi.
Banyak ahli yang menyatakan bahwa evaluasi memiliki fungsi sebagai alat
untuk monitoring. Evaluasi semacam ini dilakukan pada saat intervensi atau
pelayanan sedang dilakukan. Evaluasi semacam ini disebut dengan evaluasi
formatif (Formative Evaluation). Fokus utama dari evaluasi formatif atau
monitoring lebih pada proses pemberian pelayanan dibandingkan pada hasil
8
akhirnya. Misalnya suatu evaluasi yang berupa penyampaian kuesioner kepada
kelayan suatu lembaga yang berisi tentang pelaksanaan suatu pelayanan
bimbingan dan konseling dalam suatu rangkaian pelayanan terhadap remaja nakal.
Evaluasi semacam ini bertujuan untuk melakukan assessment apakah kemajuan-
kemajuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Pretest dan post-test dalam
suatu sesi pelayanan dapat juga digunakan sebagai evaluasi semacam ini.
2. Baselines.
Konsep ini berasal dari penelitian perilaku. Istilah ini merujuk pada
kondisi awal sebelum diadakan suatu intervensi atau suatu pelayanan tertentu.
Tanpa mengetahui informasi lengkap tentang kondisi awal, hampir mustahil
seseorang mengetahui bahwa sesuatu telah berkembang. Baseline ini digunakan
sebagai patokan untuk mengukur perkembangan atau perubahan yang telah
dicapai. Frekuensi, intensitas, serta durasi suatu perilaku yang akan diubah dapat
dikatakan sebagai baseline. Dalam suatu bentuk evaluasi tertentu, baseline ini
mungkin perlu dibuat lebih dari satu. Proses identifikasi awal yang dilakukan
secara serius, lengkap, dan akurat terhadap calon klien dari sebuah lembaga
mungkin dapat dijadikan baseline yang sangat berguna yang dapat dijadikan
patokan awal untuk mengukur perubahan atau kemajuan yang diperoleh
sehubungan dengan intervensi yang dilakukan..
9
digunakan dapat mengukur hal yang akan diukur. Jika kita akan mengukur
bagaimana sikap klien terhadap perilaku kriminal tertentu dengan menggunakan
instrumen untuk mengukur perasan klien, maka instrumen tersebut dapat
dikatakan tidak valid. Ada tiga tipe uji validitas (Rubin, 1986) Yaitu
Pilihan tentang metode serta teknik pengumpulan data apa yang akan digunakan
dalam evaluasi ditentukan oleh tujuan intervensi yang dilakukan yang akan
dievaluasi. Biasanya, metode yang digunakan adalah interview kepada pihak
utama yang terkait, studi dokumentasi, dan observasi, diskusi kelompok terfokus
10
(Focused Group Discussion), dsb. Wawancara dapat menggunakan alat ukur
yang terstruktur maupun yang tak terstruktur. Observasi dapat dilakukan secara
langsung tatap muka maupun menggunakan media seperti video tape atau digital
recording. Produk atau hasil karya juga sering digunakan untuk mengevaluasi
pencapaian prestasi tertentu. Kadangkala evaluator diharuskan untuk memperoleh
data subyektif seperti kemarahan, ketakutan, kecemasan, depresi, dan sebagainya.
Untuk itu gunakan alat ukur yang sudah dikembangkan oleh peneliti lain yang
sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Seperti “Self Report”.
Dua konsep penting lain dalam praktek evaluasi adalah variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas (Independent Variables) meliputi “Faktor-faktor
yang diperkirakan akan mempengaruhi atau akan menyebabkan kondisi tertentu”.
Dalam konteks praktek pelayanan dapat berupa program pelayanan yang
dilakukan serta proses pelayanan yang dilakukan. Dengan kata lain, variabel
bebas ini adalah seluruh upaya yang dilakukan oleh pekerja sosial atau lembaga
pelayanan untuk membantu klien.
G. DISAIN EVALUASI
Banyak diantara para praktisi pemberi pelayanan yang terlibat dalam
praktek secara langsung dengan klien atau sistem klien. Hakikat serta tingkatan
praktek yang dilakukan sangat tergantung dari pengetahuan, ketrampilan, tingkat
pendidikan yang dimiliki, tuntutan dari lembaga tempat kerja, sistem klien yang
11
dilayani, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemberi pelayanan harus memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang berbagai teknik untuk melakukan evaluasi
praktek-praktek yang dilakukan. Banyak teknik yang dapat dilakukan dalam hal
tersebut, untuk pembahasan kali ini akan dipusatkan pada disain sistem tunggal,
skala pencapaian tujuan, skala pencapaian tugas, kuesioner kepuasan klien,
analisis proses, serta Analisis dampak program. Untuk itu akan dibahas secara
garis besar sebagai berikut.
12
Jumlah Perilaku Nakal
Anak
6- Fase A
5- * * * * Fase B
4- *
3- *
2- * * *
1-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
(waktu)
Periode Baseline
Dari bagan tersebut terlihat adanya kemajuan yang sangat baik, dimana perilaku
kenakalan yang muncul pada saat proses intervensi berlangsung menunjukkan
penurunan yang cukup jelas. Disain AB ini juga dapat dilakukan tanpa adanya
baseline seperti yang dapat digambarkan sebagai berikut :
6-
5- * * *
4- *
3- *
2- * *
1- * *
1 2 3 4 5 6 7 8 9
(waktu)
Permulaan
intervensi
13
Pada saat petugas pemberi pelayanan tidak memiliki kesempatan untuk
mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai baseline, petugas itu tetap
dapat melakukan pengukuran selama proses intervensi. Disain ini disebut disain
tipe B.
-3 -2 -1 0 1 2 3
Gagal Sangat Sedikit Titik Sedikit jauh
Tujuan ter-
Total Buruk lebih brk Awal lebih lebih capai
spnh-
drpd seblm- baik baik nya
nya
14
Tugas Skor
a. Pelibatan masyarakat 3
b. Pendalaman kasus dan asesmen 4
c. Pemahaman sumber daya yang dimiliki 4
d. Kerjasama dalam penyusunan Rencana aksi 2
e. Kerjasama dalam menggerakkan sumber daya. 1
Jumlah 14
Bagaimana kesimpulannya ?
Dari 5 tugas yang ada dengan maksimum skor adalah 4, kalikan 5 tugas tersebut
dengan skor 4 (skor tertinggi) dan didapat total skor 20.
Dari skor yang ada dijumlahkan dan didapat jumlah skor yaitu 14, kemudian
jumlah tersebut dibagi dengan skor tertinggi (20) didapat 14 : 20 = 0.70. Dari situ
dikonfersikan dengan persen, yaitu rata-rata 70 % tugas telah diselesaikan.
Contoh kuesioner :
Mohon dilingkari skor yang menggambarkan tanggapan anda :
1 Bagaimana tanggapan anda tentang kualitas keseluruhan proses pelibatan
masyarakat pada lembaga sosial ini ?
15
4 3 2 1
Sempurna/ Baik Cukup Buruk
Sangat baik
Komentar :
3. Sampai sejauh mana pemberi pelayanan ini mampu memenuhi kebutuhan anda
?
4 3 2 1
Hampir semua Sbgn besar Sebagian kecil tak ada
kebutuhan
Kbthn saya kbthn saya saja kbthn saya saya yg
terpenuhi
Terpenuhi terpenuhi yg terpenuhi
Komentar :
Proses, menunjukkan kepada kita tentang apa saja yang telah dilakukan, sampai
seberapa jauh hal itu dilakukan, serta bagaimana tanggapan klien terhadapnya.
16
Sedangkan dampak, merupakan hasil akhir yang dicapai sehubungan dengan
proses yang dilakukan. Jika asumsi yang mendasari intervensi adalah untuk
meningkatkan kemampuan fungsi sosial manusia / klien, maka yang masuk dalam
kategori dampak, adalah sejauh mana klien mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dengan baik.
Evaluasi seperti ini dilakukan pula untuk membahas topik-topik khusus, baik yang
bersifat sederhana maupun kompleks, akan tetapi perlu evaluasi tindak lanjut yang
bersifat lebih kompleks. Evaluasi seperti ini tidak memerlukan biaya, tenaga,
maupun ketrampilan khusus, dan sangat mudah dilakukan akan tetapi jarang
dilakukan.
TKS
TKS
TKS
TKS
TKS
Evaluasi seperti ini harus dilakukan secara periodik setiap minggu atau setiap
bulan sekali, sehingga dapat diperoleh manfaat :
17
• Masing-masing anggota dapat selalu mengikuti perkembangan proses
pelayanan
• Masing-masing anggota dpt saling bertukar pengalaman.
• Saling belajar.
• Saling memperbaiki proses-proses yg dilakukan.
• Juga dapat dilakukan ceramah dengan topik tertentu dari salah satu
anggota dengan tujuan pengayaan.
• Dsb.
Evaluasi ini harus selalu disertai dengan laporan tertulis atas proses-proses diskusi
secara lengkap, sehingga dapat dimanfaatkan atau dibaca ulang di waktu lain
secara seksama untuk dipelajari.
18
Komentar Lain :
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
-
2) Evaluasi Program.
Evaluasi ini ditujukan untuk menentukan sejauh mana sebuah program telah
mampu mencapai tujuan-tujuannya dengan baik.
3) Evaluasi kelembagaan
Evaluasi ini bertujuan untuk menilai atau mengkaji kinerja yang berkelanjutan
dari sebuah lembaga.
Lembaga sosial diharapkan merupakan suatu lembaga yang memiliki efisiensi dan
efektivitas dalam memberikan pelayanan sosial. Organisasi pusat seringkali
19
mengharapkan suatu lembaga sosial untuk melakukan evaluasi secara reguler.
Beberapa topik berikut merupakan yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
evaluasi sebuah lembaga :
• Responsiveness /
Apakah lembaga ybs tanggap terhadap kebutuhan publik atau kebutuhan
penyandang masalah.
• Relevansi
Apakah pelayanan yang diberikan oleh lembaga yang bersangkutan relevan
dengan kebutuhan spesifik klien, pelayanan yang diberikan sudah sesuai
dengan maksud sesungguhnya dari pelayanan tersebut.
• Ketersediaan
Apakah jumlah dan tipe pelayanan yang diberikan mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan publik.
• Kemudahan akses
Apakah lokasi, biaya yang dikeluarkan, serta waktu yang digunakan sudah
sesuai dengan harapan publik, apakah proses-proses pelayanan mudah
dijangkau, apakah masih banyak calon-calon klien yang tak terlayani akibat
kesulitan akses.
• Kualitas
Apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan, apakah
terdapat standar yang dapat dijadikan acuan kualitas pelayanan, klien memiliki
kepuasan atas pelayanan yang diberikan.
• Produktivitas.
Apakah lembaga yang bersangkutan telah memanfaatkan sumber daya yang
ada secara efisien dalam mencapai tujuan lembaga.
20
yang tersedia dan digunakannya. Selain itu juga ada isu lain yang berkenaan
dengan persoalan etik, misalnya jika kita akan menggunakan disain eksperimental
yang akan membandingkan antara klien yang telah diberi intervensi dengan yang
belum. Persoalan etik ini perlu diperhatikan sebelum petugas melaksanakan
evaluasi. Beberapa isu maupun persoalan yang berkaitan dengan evaluasi anatara
lain :
Seperti yang telah dibahas pada topik terdahulu, bahwa hasil evaluasi
seringkali menunjukkan hasil tertentu, yang menyimpulkan suatu program
berhasil atau telah gagal. Dari kesimpulan tersebut ditarik kepada kelompok lain
yang lebih luas (Generalisasi). Yang perlu dipahami secara lebih baik, adalah
bahwa suatu program atau suatu kegiatan pelayanan tertentu yang berhasil di
suatu kelompok tertentu belum tentu berhasil pula jika diterapkan pada kelompok
lain. Ada banyak hal yang berkaitan dengan pemahaman tersebut. Salah satunya
adalah masalah dengan generalisasi. Suatu alasan paling mendasar yang
berkenaan dengan masalah generalisasi adalah teknik sampling yang digunakan.
Prinsip penting yang harus selalu dijunjung tinggi dalam penarikan sampel
adalah “Prinsip Keterwakilan” (Representativeness). Semakin tinggi sampel
tersebut dapat mewakili elemen-elemen dalam populasi yang diteliti atau
dievaluasi, maka semakin luas pula kemungkinannya bagi penarikan generalisasi.
Teknik Random Sampling, misalnya, didasari asumsi bahwa setiap unit populasi
akan memiliki kesempatan yang sama untuk terambil menjadi unit sampling.
Akan tetapi terbuka kemungkinan pula bahwa unit populasi yang terambil
ternyata tidak / kurang mewakili pengelompokan-pengelompokan yang ada dalam
populasi tersebut, misalnya jenis kelamin. Dengan teknik random sampling ini
ada kemungkinan bahwa salah satu jenis kelamin terambil lebih besar
dibandingkan dengan jenis kelamin lain, Padahal, informasi dari kedua unit
sampel tersebut akan memberikan warna yang berbeda pada hasil evaluasi yang
akan dilakukan. Dengan demikian, hasil evaluasi juga akan menyimpang dari
21
kondisi yang sebenarnya. Kondisi inilah yang harus diperhatikan dalam
generalisasi suatu hasil evaluasi.
22
4. Ketidak percayaan staf terhadap evaluasi.
23
dari program yang dilakukan lebih terjamin. Selain itu, proses evaluasi tidak
sekedar memberikan penilaian atas proses yang dilakukan serta hasil yang dicapai
begitu saja, melainkan penilaian itu lebih berfungsi sebagai tenaga pendorong
(drives) bagi berjalannya program dengan lebih baik.
Evaluasi partisipatoris ini tidak hanya berhenti pada penilaian atas proses
maupun hasil, akan tetapi juga berupaya untuk mengeksplor apa yang menjadi
hambatan serta apa rekomendasi yang diberikan. Semuanya ini dilakukan oleh
sasaran (target group) dari pelayanan yang dilakukan.
24
1. Persiapan 1. Tdk Ada Hanya org Sebagian Seluruh komp
sosialisasi org yg tertentu yg bsar masy
mengetahui mengetahui kompnen mengetahui
masy
mengetahui
Dst dst
25
masalah 3. Perumusan langkah-langkah kegiatan
4. Pembentukan Kelompok kerja
5. Penyusunan anggaran.
6. Perumusan indikator keberhasilan
7. dst
Nilai rata-rata
Pelaksanaan 1. Mobilisasi sumber
2. Penerapan langkah-langkah kegiatan
3. pemeliharaan
4. dst
Nilai rata-rata
Moneva 1. Pelaksanaan monitoring
2. Pelaksanaan evaluasi hasil
Nlai rata-rata
Harus Diingat :
26
Pembuatan dan pengisian seluruh matriks dan lembar-lembar
monitoring ini harus dilakukan sediri oleh masyarakat / kelompok sasaran
secara penuh.
27
Lembar penilaian evaluasi hasil
ASPEK YG DINILAI NILAI
Ketepatan Waktu
Ketepatan sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yg terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd program
Manfaat yang dirasakan
Lembar gambaran hasil evaluasi hasil. (Tinggal diarsir sesuai dengan nilai yang
ada pada tabel di atas
ASPEK PENGEMBANGAN MASYARAKAT 1 2 3 4
Ketepatan waktu
Ketepatan Sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yang terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd pelayanan yang diberikan
Manfaat yang dirasakan
Ketepatan Waktu
Ketepatan sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yg terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd pelayanan
Manfaat yang dirasakan
28
Harus Diingat :
Pembuatan dan pengisian seluruh matriks dan lembar-lembar Evaluasi
hasil ini harus dilakukan sediri oleh masyarakat / kelompok sasaran secara
penuh.
Kepustakaan :
Ashman, Karen K. Kirst, Grafton H. Hull Jr, 1993. Understanding Generalist
Practice, Nelson Hall Publishers Chicago.
29
Pietrzak, Jeanne, Malia Ramler, Tanya Renner, Lucy Ford, Neil Gilbert, 1990.
Practical Program Evaluation. Sage Publications, London.
Sheafor, Bradford W., Charles Horesjsi, 2003. Techniques and Guidelines for
Social Work
Work Practice, Pearson Education Inc, Boston.
PEMBERDAYAAN
Pokok Bahasan:
1. Pengertian, tujuan, dan tingkatan keberdayaann masyarakat
2. Aspek dan indikator pemberdayaan masyarakat
3. Keterlibatan berbagai elemen dalam pemberdayaan masyarakat
4. Proses pemberdayaan masyarakat
5. Pendekatan, metode, dan strategi pemberdayaan masyarakat
6. Peran pendamping sosial dalam pemberdayaan masyarakat
Bab I
Pengertian, Tujuan, dan Tingkatan Keberdayaan Masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Memahami pengertian pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang tujuan pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang tingkatan keberdayaan masyarakat
Di sisi lain Paul (1987) dalam Prijono dan Pranarka (1996) mengatakan
bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan
kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar
pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan.”Sedangkan konsep
pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif
menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk
melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan
langsung. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan
memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu
kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih
berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material
guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua,
kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
melalui proses dialog.
Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa
yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality
and intergenerational equaty” (Kartasasmita,1997). Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Soemodiningrat, 2002): pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah
punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah
lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban
adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Jika dibuat kedalam sebuah bagan, maka tingkat keberdayaan ini berbentuk:
Gambar
Tingkat Keberdayaan Masyarakat Menurut Susiladiharti
(Huraerah, 2011)
Bab II
Aspek dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang aspek-aspek pemberdayaan masyarakat
• Menguraikan tentang indikator pemberdayaan masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang berbagai elemen yang terlibat dalam pemberdayaan
masyarakat
• Menguraikan tentang mekanisme pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
Bab IV
Proses Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang proses pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang siklus pemberdayaan masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang pendekatan pemberdayaan masyarakat
• Menggunakan metode pemberdayaan masyarakat
• Menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang sifat fasilitator pemberdayaan masyarakat
• Menguraikan peran pendamping sosial dalam pemberdayaan masyarakat
A. Kompetensi Dasar
1. Mengenali jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial
2. Mengklasifikasikan jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan
Sosial
3. Menghubungkan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial dengan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang diperlukan.
B. Tujuan
Peserta uji kompetensi sertifikasi mampu menjelaskan dan
menghubungkan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PSKS) dengan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS)
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya,
sehingga memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik jasmani dan rohani maupun sosial secara memadai dan
wajar (Permensos Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Data
Terpadu Kesejahteraan Sosial)
2. Jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS)
1) Anak Balita Telantar adalah seorang anak berusia 5 (lima) tahun ke
bawah yang ditelantarkan orang tuanya dan/atau berada di dalam
keluarga tidak mampu oleh orang tua/keluarga yang tidak memberikan
pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlindungan bagi anak
sehingga hak-hak dasarnya semakin tidak terpenuhi serta anak
dieksploitasi untuk tujuan tertentu.
Kriteria:
a) terlantar/ tanpa asuhan yang layak;
b) berasal dari keluarga sangat miskin / miskin;
c) kehilangan hak asuh dari orangtua/ keluarga;
d) Anak balita yang mengalami perlakuan salah dan diterlantarkan
oleh orang tua/keluarga;
e) Anak balita yang dieksploitasi secara ekonomi seperti anak balita
yang disalahgunakan orang tua menjadi pengemis di jalanan; dan
f) Anak balita yang menderita gizi buruk atau kurang.
2) Anak Terlantar adalah seorang anak beberusia 6
(enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun, meliputi anak yang mengalami perlakuan
salah dan ditelantarkan oleh orang tua/keluarga
atau anak kehilangan hak asuh dari orang
tua/keluarga.
Kriteria :
a) berasal dari keluarga fakir miskin;
b) anak yang dilalaikan oleh orang tuanya; dan
c) anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
21) Korban Bencana Alam adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor terganggu fungsi
sosialnya.
Kriteria :
Seseorang atau sekelompok orang yang mengalami:
a) korban terluka atau meninggal;
b) kerugian harta benda;
c) dampak psikologis; dan
d) terganggu dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
22) Korban Bencana Sosial adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.
Kriteria :
Seseorang atau sekelompok orang yang mengalami:
a) korban jiwa manusia;
b) kerugian harta benda; dan
c) dampak psikologis.
24) Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Kriteria :
a) tidak mempunyai sumber mata pencaharian; dan/atau
b) mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya
A. Soal Latihan
1. Seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau
lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan
yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
a. Pemulung
b. Tuna Susila
c. Tuna Sosial
d. Pengemis
KUNCI JAWABAN:
Pilihan Berganda
1. b
2. b
3. b
4. a
5. c
TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Pokok Bahasan:
1. Pengertian perkembangan psikososial
2. Perkembangan kepercayaan vs Ketidak percayaan
3. Perkembangan otonomi vs rasa malu & keraguan
4. Perkembangan prakarsa vs rasa bersalah
5. Perkembangan industry vs inferioritas
6. Perkembangan identitas vs kebingungan
7. Perkembangan keintiman vs isolasi
8. Perkembangan generatitas vs stagnasi
9. Perkembangan integritas vs keputusasaan
10. Usaha kesejahteraan sosial dalam penanganan krisis perkembangan
Bab I Pengertian
psikososial
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Memahami pengertian psikososial
• Menjelaskan tentang perkembangan psikososial
1. Pengertian Psikososial
2. Perkembangan psikososial
Bab II
Stage 1 – Usia mulai lahir sampai sekitar 18 bulan
Trust vs. Mistrust (kepercayaan VS ketidakpercayaan)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan keterampilan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan tentang indikator keberhasilan perkembangan psikososial
pada tahap pertama
Tahap pertama dalam teori perkembangan psikososial Erikson terjadi mulai ketika individu
lahir sampai berusia 1 tahun, dan merupakan tahap yang sangat penting dalam kehidupan
individu. Karena pada masa bayi, individu benar-benar bergantung dan mengembangkan
kepercayaan berdasarkan ketergantungannya pada dan kualitas pengasuhan orang dewasa.
Apapun yang diperlukan untuk bertahan hidup termasuk
makanan,cinta,kehangatan,keamanan dan pemeliharaan. Jika pengasuh gaga untuk
memberikan perawatan dan cinta,bayi tersebut akan merasa bahwa ia tidak dapat memercayai
atau bergantung pada orang dewasa sepanjang hidupnya.
Tidak ada anak yang mengembangkan perasaan percaya atau perasaan ragu serratus persen.
Erikson meyakini bahwa perkembangan yang sukses adalah segala sesuatu mengenai
keseimbangan antara dua sisi yang berlawanan. Kalau hal ini terjadi anak mendapat harapan
yang digambarkan oleh Erikson sebagai keterbukaan untuk mengalami dan mewaspadai
situasi marah dan berbahaya.
Bab III
Psychosocial Stage 2 –pada usia sekitar 2-3 tahun
Autonomy vs. Shame and Doubt (otonomi VS rasa malu & keraguan)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan keterampilan yang dialami pada tahap
perkembangan kedua
• Menguraikan tentang indicator keberhasilan dan kegagalan individu pada
tahap kedua
Tahap kedua dari teori perkembangan pskiososial Erikson adalah pada usia awal kanak-kanak
yang berfokus pada pengembangan perasaan control diri yang lebih besar. Pada tahap ini,
anak-anak baru memulai sedikit mandiri. Mereka mulai menampilkan tindakan dasar
terhadap diri mereka sendiri dan membuat keputusan sederhana terhadap apa yang mereka
sukai. Pengasuh dapat menolong anak-anak mengembangkan perasaan otonomi dengan cara
memberi kesempatan untuk memilih dan memperoleh kontrol.
Sama seperti Freud, Erikson meyakini bahwa latihan ke toilet menjadi bagian penting pada
proses ini. Namun, penalaran Erikson sangat berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa
belajar untuk mengendalikan fungsi tubuh seseorang mengarah pada perasaan kontrol dan
rasa kemandirian. Peristiwa penting lainnya termasuk memperoleh control lebih terhadap
pilihan makanan, mainan dan pakaian yang paling disukai.
Anak-anak yang sukses melewati tahap ini secara lengkap merasa aman dan percaya diri,
sedangkan mereka yang tidak sukses secara lengkap akan merasa tidak seimbang dan ragu
terhadap diri sendiri. Erikson percaya bahwa perolehan kesimbangan antara otonomi dan
rasa malu & keraguan dapat mengarahkan anak-anak pada kemauan yaitu keyakinan bahwa
anak-anak dapat bertindak dengan niat,alasan dan batasan.
Bab IV
Psychosocial Stage 3 pada usia sekitar 3-5 tahun
Initiative vs. Guilt (prakarsa vs rasa bersalah)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan tentang ciri-ciri individu yang mengalami kesuksesan dan
kegagalan dalam melewati tahap ketiga
Tahap ketiga perkembangan psikososial adalah usia pra sekolah. Pada titik ini, anak-anak
mulai menunjukkan kekuatan dan kendali mereka terhadap dunia melalui pengarahan
permainan dan interaksi sosialnya
Anak-anak yang sukses pada tahap ini merasa mampu dan bisa memimpin anak-anak lainnya.
Mereka yang mengalami kegagalan untuk memperoleh keterampilan ini akan tertinggal dan
merasa bersalah , ragu dan kurang memiliki inisiatif. Bila keseimbangan ideal dari insiatif
individu dan kemauan untuk bekerja dengan orang lain tercapai, kualitas ego yang dikenal
sebagai tujuan akan muncul.
Bab V
Psychosocial Stage 4-pada usia sekitar 6-11 tahun
Industry vs. Inferiority (industri vs inferioritas)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan keempat
Tahap keempat perkembangan psikososial adalah pada usia 5 sampai 12 tahun yaitu pada
awal usia sekolah. Melalui interaksi sosial, anak-anak mulai mengembangkan perasaa bangga
terhadap kemampuan dan prestasi. Mereka didorong dan diperintahkan oleh orangtua dan
gurunya untuk mengembangkan perasaan mampu dan yakin akan keterampilan yang
dimilikinya. Mereka yang menerima sedikit atau tidak mendapat dorongan dari orangtua,guru
atau teman sebaya akan meragukan kemampuannya untuk sukses. Perolehan keseimbangan
secara sukses pada tahap perkembangan psikososial ini menumbuhkan kekuatan yang dikenal
sebagai kompetensi, dimana anak-anak mengembangkan keyakinan terhadap kemampuan
untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka.
Bab VI
Psychosocial Stage 5-pada usia sekitar 12-18 tahun
Identity vs. Confusion (identitas vs kebingungan)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan kelima
Tahap kelima perkembangan psikososial terjadi pada usia remaja. Pada usia ini remaja sering
mengalami pergolakan. Tahap ini memainkan peran esensial dalam perkembangan perasaan
memiliki identitas diri yang akan mempengaruhi perilaku dan perkembangan hidup
selanjutnya. Selama masa remaja, anak-anak mengeksplor kemandirian dan mengembangkan
perasaan terhadap diri sendiri, mereka yang menerima dorongan dan penguatan yang sesuai
melalui eksplorasi diri akan memunculkan perasaan diri, kemandirian dan Kontrol yang kuat.
Mereka yang tetap tidak pasti akan keyakinan diri dan keinginan akan merasa tidak aman dan
bingung terhadap diri sendiri dan masa depannya.
Ketika psikolog berbicara tentang identitas, mereka merujuk pada semua keyakinan, hal-hal
yang ideal dan nilai-nilai yang dapat menolong membentuk dan menuntun perilaku
seseorang. Pencapaian tahap ini secara lengkap menimbulkan ketaatan yang di gambarkan
oleh Erikson sebagai suatu kemampuan untuk hidup sesuai standar dan harapan masyarakat.
Erikson meyakini bahwa setiap tahap dalam perkembangan psikososial adalah penting, ia
memberi penekanan khusus pada perkembangan identitas ego. Identitas ego adalah kesadaran
diri yang berkembang melalui interkasi sosial dan menjadi fokus utama selama tahap
perkembangan psikososial identitas Vs kebingungan. Menurut Erikson, identitas ego berubah
secara konstan karena pengalaman baru dan informasi yang diperoleh tiap hari melalui
interaksi dengan orang lain. Sebagaimana pengalaman baru yang diperoleh seseorang ia juga
menghadapi tantangan yang dapat membantu atau menghambat perkembangan identitanya.
Identitas pribadi memberikan tiap orang perasaan diri yang terintegrasi dan kohesif yang
bertahan sepanjang hidup kita. Perasaan terhadap identitas pribadi terbentuk melalui
pengalaman dan interaksi dengan orang lain dan membantu sebagai tuntunan
tindakan,keyakinan dan perilaku sepanjang usia.
Bab VII
Psychosocial Stage 6
usia sekitar 19-40 tahunIntimacy vs. Isolation ( Keintiman Vs Isolasi)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan keenam
Tahap ini meliputi periode dewasa awal ketika orang mengeksplorasi relasi pribadinya.
Erikson memercayai bahwa adalah vital bahwa seseorang mengembangkan dan berkomitmen
terhadap relasi dengan orang lain. Mereka yang berhasil pada tahap ini akan membentuk
relasi yang bertahan dan aman. Setiap tahap membentuk keterampilan yang dipelajari dalam
tahap sebelumnya. Erikson meyakini bahwa perasaan yang kuat terhadap indentitas pribadi
adsalah sangat penting untuk mengembangkan hubungan yang akrab. Studi menunjukkan
bahwa mereka yang kurang memiliki perasaan terhadap diri sendiri cenderung kurang
berkomitmen dalam berelasi dan mereka lebih mengalami penderitaan isolasi
emosional,kesepian dan depresi. Resolusi yang berhasil pada tahap ini menghasilkan
kebajikan yang dikenal sebagai cinta yang ditandai dengan kemampuan untuk membentuk
hubungan dengan orang lain secara bermakna dan berjangka Panjang.
Bab VIII
Psychosocial Stage 7 – usia 40-65 tahun
Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs stagnasi)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan ketujuh
Selama masa dewasa, seseorang terus membangun kehidupan yang berfokus pada karir dan
keluarga. Mereka yang berhasil selama tahap ini akan merasa bahwa mereka berkontribusi
kepada dunia dengan menjadi aktif di rumah dan komunitas. Mereka yang gagal untuk
memperoleh keterampilan pada tahap ini akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat
dsalam dunianya. Kepedulian merupakan kebajikan yang dicapai bila tahap ini dilalui dengan
berhasil. Orang menjadi bangga akan keberhasilannya,melihat anak-anaknya bertumbuh
menjadi dewasa, dan mengembangka perasaan menyatu dengan pasangan hidup menjadi
pencapaian penting dalam tahap perkembangan ini.
Bab IX
Psychosocial Stage 8 berusia >65
Integrity vs. Despair (integritas dan keputusasaan)
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan kedelapan
Tahap perkembangan psikososial yang terakhir terjadi selama usia tua dan terfokuskan pada
refleksi kembali kepada kehidupan. Pada masa perkembangan ini, orang melihat kembali
pada kejadian-kejadian dalam kehidupannya dan menentukan apakah mereka Bahagia dengan
kehidupannya selama ini atau menyesali hal-hal yang telah diperbuatnya atau tidak
diperbuatnya. Mereka yang sukses selama tahap ini akan merasa bahwa kehidupan mereka
telah tersia-siakan dan akan mengalami banyak penyesalan. Individu tersebut akan
memendam perasaan kepahitan dan putus asa. Mereka yang merasa bangga akan
keberhasilnnya akan merasa memiliki integritas. Keberhasilan melewati tahap ini berarti
mengenang kembali masa lalu dengan perasaan puas dan dengan sedikit penyesalan.
Individu ini akan memperoleh kearifan, bahkan berani menghadapi kematian/ siap berpulang.
Bab X
Usaha dan pelayanan kesejahteraan sosial bagi
individu yang mengalami masalah atau krisis perkembangan psikososial
Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tiap
tahap perkembangan psikososial
• Mengenali usaha dan pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai bagi
individu yang mengalami hambatan,krisis dan masalah perkembangan
psikososial
Sumber bacaan
Kendra Cherry . 2018. Trust vs. Mistrust: Psychosocial Stage 1
https://www.verywellmind.com/trust-versus-mistrust-2795741
QUIZ
1. Sigmund Freud mengarahkan kajian tentang tahap perkembangan manusia
pada
a. Psikososial
b. Psikoedukasi
c. Psikoseksual
d. Psikodinamika
2. Teori perkembangan Erikson melihat pentingnya pengaruh lingkungan sosial
terhadap perkembangan kepribadian individ. Karena itu,
a. Dampak dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosial
penting bagi individu
b. Pandangan terhadap diri sendiri harus disesuaikan dengan pandangan
orang lain terhadap diri sendiri
c. Perlu memodifikasi lingkungan sosial yang adil dan seimbang bagi
perkembangan psikososial individu
d. Individu harus belajar mengelola emosi agar mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosial
TEKNIK FASILITASI
A. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta memahami
teknik-teknik untuk memfasilitasi.
B. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian fasilitasi
2. Mengetahui sikap fasilitator
3. Mengetahui ciri-ciri fasilitator yang baik
4. Menguasai keterampilan fasilitator
5. Menguasai teknik fasilitasi diskusi
C. Pokok Bahasan
Pokok bahasan pada materi ini meliputi:
1. Pengertian teknik fasilitasi
2. Sikap fasilitator
3. Kriteria fasilitator yang baik
4. Keterampilan fasilitator
5. Teknik mendengarkan dan bertanya
A. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Fasilitasi
Fasilitasi berasal dari kata facil yang bermakna ‘memudahkan’.
Teknik fasilitasi berarti cara untuk membuat mudah suatu proses.
Orang yang melakukan fasilitasi disebut sebagai fasilitator. Fasilitator
1
adalah orang yang bertugas mengelola proses dialog. Fasilitator ada untuk
mendukung kegiatan belajar agar peserta bisa mencapai tujuan belajarnya.
Fasilitator mendorong peserta untuk percaya diri dalam
menyampaikan pengalaman dan pikirannya, mengajak peserta
2
dominan untuk mendengarkan. Tugas fasilitator adalah
merencanakan, membimbing, dan mengelola kelompok atau kelas
dalam suatu acara serta memastikan tujuan tercapai secara efektif
dengan partisipasi peserta yang memadai. Fasilitator memperkenalkan
teknik-teknik komunikasi untuk mendorong partisipasi. Fasilitator
menggunakan media yang cocok dengan kebutuhan peserta dan membantu
proses belajar/komunikasi menjadi lebih efektif. Fasilitator
memperkenalkan teknik-teknik komunikasi untuk mendorong partisipasi.
Fasilitator menggunakan media yang cocok dengan kebutuhan peserta dan
membantu proses belajar atau komunikasi menjadi lebih efektif. Peran
fasilitator ini harus dikurangi secara bertahap dan diserahkan kepada
peserta. Dengan membatasi waktu dari fasilitator, proses pembelajaran bisa
diambil alih oleh peserta sehingga pembelajaran bisa berjalan sebagai
inisiatif sendiri.
2. Sikap Fasilitator
Sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang fasilitator meliputi:
a. Empati
Ikut merasakan dan menghargai pengalaman dan perasaan peserta.
Tidak meremehkan peserta dengan hadir sepenuh hati dan sepenuh
tubuh.
b. Peka terhadap situasi pertemuan
Mengetahui kapan peserta merasa bersemangat, bosan, mengantuk, tahu
kapan harus bicara, berhenti dan bertanya.
c. Tidak hanya memikirkan target penyampaian materi (hasil), melainkan
proses belajar para peserta.
d. Percaya diri
Fasilitator yakin mampu mengajak peserta belajar bersama. Tidak malu
meskipun harus berhadapan dengan peserta yang berbeda usia, kelas
sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
e. Jujur, terbuka, apa adanya saat merespon peserta
f. Tidak menunjukkan sikap dibuat-buat atau berpura-pura.
g. Ramah, semangat, dan luwes Mampu membuat suasana hangat, akrab,
dan peserta merasa diperhatikan.
h. Hormat terhadap peserta secara sederajat
i. Menghargai pengetahuan, pengalaman, tradisi dan kepercayaan yang
dianut peserta.
j. Tidak menonjolkan diri sendiri, menggurui, atau merasa paling ahli
k. Tidak terpancing untuk menjawab setiap pertanyaan.
l. Obyektif
Obyektif adalah sikap untuk berada pada posisi netral atau tidak
memihak.
4. Keterampilan Fasilitator
Keterampilan fasilitator merupakan serangkaian kemampuan yang
harus dikuasai oleh fasilitator sebelum diterjunkan ke masyarakat.
Keterampilan fasilitator meliputi:
a. Bertanya
Tugas utama fasilitator adalah bertanya, memancing pengalaman
peserta, bukan mengajari. Pertanyaan yang baik akan membuat peserta
belajar dari pengalamannya dan menemukan solusi sendiri tanpa merasa
digurui dengan cara: 1) Gunakan pertanyaan yang menggali pengalaman
peserta didasari rasa ingin tahu; 2) Gunakan jenis pertanyaan terbuka
(pertanyaan yang yang jawabannya berupa cerita), misalnya, “Bisa
diceritakan, Bu, apa yang dilakukan putranya kalau sedang; 3) Awali
dengan pertanyaan mudah yang dapat dijawab langsung berdasarkan
keseharian. Biasanya menggunakan kata tanya apa atau bagaimana; 4)
Pertanyaan sensitif, fasilitator dapat mengggunakan pertanyaan orang
ketiga agar peserta tidak merasa dihakimi atau malu. Contohnya,
“Menurut Ibu, mengapa ada orang yang tidak pernah marah pada
anaknya?”; dan 5) Saat peserta terlihat pesimis di tengah diskusi,
gunakan pertanyaan untuk mengajak peserta mengingat keberhasilan di
masa lalu.
b. Mendengar aktif
Fasilitator tidak hanya berkomunikasi satu arah, melainkan lebih
banyak menjadi pendengar. Menjadi pendengar aktif dapat dilakukan
dengan cara: 1) Simak perkataan peserta. Tanggapi pembicaraan dengan
ekspresi wajah yang sesuai (senyum, prihatin, dan lainnya); 2) Beri
tanggapan berupa pertanyaan untuk menggali pengalaman peserta.
Contoh: “Oya?, contohnya bagaimana, Bu?”; 3) Konfirmasi pendapat
peserta dengan menyatakannya kembali. Jangan terburu-buru
menyimpulkan. Tanyakan apakah pernyataan kita betul; 4) Jangan
memotong pembicaraan, kecuali jika topik sudah jauh melenceng. Ajak
peserta kembali ke topik dengan sopan. Misalnya: “Wah, menarik
sekali, Pak. Mungkin kita lanjutkan kembali nanti, sementara ini kita
kembali ke topik awal, Pak.”
c. Komunikasi
Hal utama yang dilakukan fasilitator adalah menjalin komunikasi
yang baik. Komunikasi dalam memfasilitasi dapat dilakukan dengan
cara: 1) Bicara atau bertanya dengan bahasa sederhana tapi jelas; 2)
Gunakan kalimat singkat dan langsung ke tujuan. Misalnya: “Bapak,
putra Anda yang SMP itu masih sering ngajak ngobrol?”; dan 3)
Perkenalkan diri dan hafalkan nama peserta. Supaya bisa menghafal,
gunakan saat memanggil dan ulangi dalam kalimat. Misalnya, “Ibu
Bapak, ada yang akan menanggapi pertanyaan ini? Ya, Ibu Asih kan?”
(sambil mendekati ibu tersebut untuk memberikan kesempatan
menanggapi.
d. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh adalah bentuk komunikasi non verbal. Komunikasi
non verbal meliputi: 1) Tatap mata peserta. Jangan bicara sambil
melihat lantai, langit-langit, atau kertas catatan; 2) Bergerak
secukupnya, misalnya tangan menunjuk pada poster. Jangan gugup,
misalnya tangan memainkan spidol, kaki melangkah ke depan ke
belakang seperti tanpa tujuan; dan 3) Usahakan setara atau melebur
dengan peserta, misalnya duduk sama rendah ketika peserta sedang
duduk di lantai berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok
e. Mengarahkan orang
Fasilitator mengarahkan lalu lintas informasi agar peserta
mengalami proses pembelajaran yang baik. Mengarahkan orang dapat
dilakukan dengan: 1) Pelajari hal yang akan disampaikan agar
pembicaraan tidak melenceng dari topic; 2) Dorong semua peserta
untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan atau diskusi, terutama
peserta yang pendiam. Jangan membiarkan hanya satu atau dua peserta
yang mendominasi; dan 3) Gunakan jeda, canda, dan pujian untuk
mendorong peserta nyaman berbicara. Jangan mengkritik, mendebat,
atau membela diri. Jika diperlukan mendebat atau menyanggah
pendapat peserta, upayakan peserta lain juga melakukan.
4. Teknik Mendengarkan dan Bertanya
Seorang fasilitator harus menguasai teknik mendengarkan dan
bertanya karena akan mempermudah proses perubahan. Beberapa teknik
mendengarkan dan bertanya meliputi:
c. Memantulkan (Mirroring)
Fasilitator berfungsi sebagai dinding, yang memantulkan kata-
kata peserta. Mengulang apa yang dikatakan orang lain persis seperti
yang diucapkan dengan mengulang kembali setiap kata yang diucapkan.
Kadang-kadang ini dibutuhkan untuk meyakinkan orang-orang tertentu
bahwa mereka betul-betul didengarkan. Tujuannya, meyakinkan peserta
bahwa fasilitator mendengarkan ucapannya. Biasanya digunakan bila
fasilitator ingin menegaskan bahwa fasilitator tidak memihak. Teknik ini
berguna mempercepat diskusi yang lamban sesuai untuk memfasilitasi
proses curah pendapat.
Jika pembicara mengatakan satu kalimat, ulangi secara verbatim
(persis seperti yang diucapkan). Jika pembicara mengatakan lebih dari
satu kalimat, ulangi kata kunci atau kalimat pendek.
Cara melakukan mirroring yaitu apabila peserta mengatakan satu
kalimat, ulangi secara verbatim (persis seperti yang diucapkan) atau
pantulkan kata demi kata setepat tepatnya. Tidak kurang, tidak lebih.
Jika pembicara mengatakan lebih dari satu kalimat, ulangi kata kunci
atau kalimat pendek. Gunakan kata kata peserta, bukan kata kata
fasilitator. Apabila peserta berkata dengan menggebu gebu, pantulkan
dengan nada bicara tenang, karena yang harus diulang adalah kata-kata
peserta bukan suara pembicara. Tujuan utamanya disini untuk
membangun kepercayaan peserta.
d. Mengumpulkan gagasan (Gathering ideas)
Mengumpulkan gagasan (Gathering Ideas) adalah teknik
mendaftar gagasan secara cepat. Mengumpulkan gagasan, bukan
membahasnya. Mengumpulkan gagasan adalah keterampilan yang
memadukan antara mirroring dan paraphrasing ditambah dengan
gerakan-gerakan fisik. Dengan memantulkan ucapan, peserta merasa
didengarkan dan mereka akan ikut menyampaikan gagasan secara
singkat.
Keterampilan mendengar dan memberikan pengakuan pada
pendapat atau gagasan orang dapat mengurangi kecenderungan mereka
untuk membela gagasannya. Kumpulkan gagasan dengan memadukan
teknik membahasakan kembali. Bahkan agar lebih cepat, gunakan
terutama teknik memantulkan (mirroring). Biasanya dalam 3 sampai 5
kata. Jadi, kita lebih mudah menuliskannya di papan tulis.
e. Mengurutkan (Stacking)
Mengurutkan (stacking) adalah semacam teknik menyusun
antrian bicara, ketika beberapa orang bermaksud berbicara pada waktu
bersamaan. Dengan teknik ini, setiap orang akan mendengarkan tanpa
gangguan dari orang yang berebut kesempatan bicara, karena setiap
orang tahu gilirannya, tugas fasilitator menjadi lebih ringan.
Cara melakukan Stacking yaitu fasilitator meminta peserta yang
hendak bicara untuk mengangkat tangan lalu mengurutkan giliran yang
akan bicara serta mempersilakan peserta untuk bicara ketika tiba
gilirannya. Sesudah peserta terakhir selesai bicara, fasilitator memeriksa
jika ada peserta lain yang hendak bicara. Jika ada, fasilitator kembali
melakukan teknik mengurutkan.
f. Mengembalikan ke jalurnya (Tracking)
Terkadang beberapa pokok-pokok pikiran muncul bersamaan
dalam sebuah diskusi. Bayangkan bila ada lima orang yang ingin
membicarakan berbagai akibat dari penumpukan sampah. Empat orang
ingin menghitung biaya pengadaan kereta pengangkut sampah. Tiga
orang tertarik membahas pemanfaatan sampah menjadi pupuk organik.
Dalam situasi seperti ini, mereka perlu dibantu untuk mengikuti semua
topik yang sedang dibicarakan. Biasanya orang menganggap bahwa apa
yang ia anggap penting seharusnya terpilih menjadi topik diskusi. Pada
keadaan ini, fasilitator bertugas mengembalikan diskusi ke jalumya.
Teknik ini akan menenangkan orang yang bingung karena gagasannya
tidak mendapatkan sambutan dari orang lain.
Cara melakukan tracking antara lain:
• Mengajak warga untuk kembali pada tema awal.
• Menyebutkan gagasan yang muncul dalam diskusi
• Tanyakan pada kelompok untuk memeriksa ketepatannya.
Berikut adalah contohnya: "Baiklah, nampaknya ada tiga
pembahasan yang sedang berlangsung saat ini. Pembahasan pertama
menyangkut akibat akibat penumpukan sampah. Kedua, mengenai
peralatan dan kebutuhan biaya. Ketiga, membahas tentang Pemanfaatan
sampah. Benarkah demikian?" Biasanya teknik ini membuat orang lebih
memahami situasi diskusi. Jika ada yang mencoba menjelaskan bahwa
saran dia penting, tunjukkan perhatian. Namun, jangan bersikap pilih
kasih. Tanyakan juga pendapat orang yang lain.
g. Menguatkan (Encouraging)
Menguatkan (encouraging) adalah teknik mengajak orang ikut
terlibat dalam diskusi, tanpa membuat mereka tersiksa karena terpaksa
menjadi pusat perhatian. Dalam diskusi biasanya ada peserta yang
hanya duduk dan diam. Diam bukan berarti malas atau tidak mau tahu.
mereka merasa kurang terlibat. Dengan sedikit dorongan, temukan
sesuatu yang menarik perhatian mereka. Teknik menguatkan terutama
membantu selama tahap awal diskusi, pada saat para peserta masih
menyesuaikan diri. Bagi peserta yang lebih terlibat, mereka tidak
membutuhkan begitu banyak penguatan untuk berpartisipasi. Misal:
• "Siapa lagi yang ingin menyumbangkan gagasan?"
• "Sudah ada beberapa pendapat dari perempuan, sekarang mari
kitadengar pendapat dari laki laki."
• "Kita sudah mendengar pendapat Ibu Tini tentang prinsip prinsip
umum memilih kepala desa. Adakah yang dapat memberikan
contoh tentang pelaksanaan prinsip tersebut?"
• "Apakah masalah ini dirasakan oleh semua yang hadir di sini?"
• "Mari kita dengar pendapat dari teman teman yang sementara ini
belum berbicara"
h. Menyeimbangkan (Balancing)
Jika pembicaraan terjadi dengan beberapa orang, terkadang ada
salah satu yang dominan dalam menyampaikan pendapatnya. Orang
lain yang diam belum berarti setuju, bisa jadi karena takut tidak disukai
atau malas berargumentasi. Pendapat paling kuat dalam suatu diskusi
seringkali datang dari orang yang mengusulkan topik diskusi. Mungkin
ada sebagian peserta yang mempunyai pendapat lain, tapi belum mau
bicara.
Teknik menyeimbangkan membantah anggapan umum bahwa
"diam berarti setuju". Teknik menyeimbangkan gunanya untuk
membantu orang yang tidak bicara karena merasa pendapatnya
pasti tidak disetujui banyak orang. Dengan teknik menyeimbangkan,
fasilitator sebenamya menunjukkan bahwa dalam diskusi orang boleh
menyatakan pendapat apapun. Misalnya:
• "Baiklah, sekarang kita mengetahui pendirian dari tiga orang.
• Adakah yang lain atau memiliki pendirian berbeda?"
• "Ada yang punya pandangan lain?"
• "Apakah kita semua setuju dengan ini?"