Anda di halaman 1dari 210

ADVOKASI SOSIAL

A. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu memahami advokasi sosial

B. INDIKATOR KEBERHASILAN :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian advokasi sosial
2. Menerangkan tujuan advokasi sosial
3. Membedakan prinsip-prinsip dalam advokasi sosial
4. Membedakan jenis-jenis advokasi sosial
5. Menjelaskan strategi dan taktik advokasi sosial
6. Menerangkan tahapan advokasi sosial
7. Mengupas peranan-peranan pekerja sosial
8. Menerangkan indikator advokasi sosial
9. Menjelaskan nilai-nilai dalam advokasi sosial

C. POKOK BAHASAN:
1. Pengertian advokasi sosial
2. Tujuan advokasi sosial
3. Prinsip-prinsip dalam advokasi sosial
4. Jenis-jenis advokasi sosial
5. Strategi dan taktik advokasi sosial
6. Tahapan advokasi sosial
7. Peranan-peranan pekerja sosial
8. Indikator advokasi sosial
9. Nilai-nilai dalam advokasi sosial

1
D. MATERI PEMBELAJARAN :
1. Pengantar
Advokasi sosial merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam
profesi pekerjaan sosial. Keberadaannya sudah cukup lama lebih dari 100 tahun
(Gibelman, 1999), seperti halnya keadilan sosial (Social Justice) dan perbaikan sosial
(Social Reform). Namun keeksisannya belum terlihat, yang terjadi bahwa advokasi
sosial hampir disamakan dengan peran-peran dalam pekerjaan sosial seperti broker,
fasilitator, pengorganisasian masyarakat dan lain-lain, tanpa adanya kejelasan dan
karakteristik khusus diantara sejumlah peran tersebut.
Konsekuensinya, terjadi ambivalensi antara advokasi sosial dengan peran-
peran pekerjaan sosial. Hal ini disebabkan kurangnya komitmen untuk memahami
secara mendalam dari para profesional itu sendiri, sehingga tidak seorang pun
mengetahui apa itu advokasi sosial, serta pengetahuan dan keterampilan apa yang
sebenarnya diperlukan. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ezell (1994), Pawlak
dan Flynn (1990), yang setuju dengan apa yang disampaikan oleh McGowan (1987)
bahwa “Kita mengetahui sedikit tentang tingkatan dan keberadaan advokasi pada
pekerjaan sosial.”
Hal ini cukup mengejutkan kita, karena perkembangan advokasi sosial yang
sudah lama, namun kurang dikenal di kalangan pekerjaan sosial. Dengan demikian
solusinya adalah perlu disampaikan tentang muatan-muatan pokok advokasi sosial
(apa, mengapa, kapan, dan bagaimana melaksanakannya) kepada kelompok sasaran
yaitu potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS).

2. Pengertian Advokasi
Istilah advokasi sangat lekat dengan profesi hukum yang berarti pembelaan.
Advokasi menurut bahasa Belanda yaitu advocaat atau advocateur artinya pengacara
atau pembelaan di pengadilan. Sedangkan dalam bahasa Inggris menurut
Topatimasang, et al, (2000:7) yaitu to depend (membela), to promote
(mengemukakan atau memajukan) , to create (menciptakan) dan to change
2
(melakukan perubahan). Jadi dalam bahasa Inggris advokat lebih luas bukan hanya
membela saja namun sampai pada proses perubahan.
Di bawah ini beberapa pengertian tentang advokasi, sebagai berikut:
a. Suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau
program dari segala tipe institusi.
b. Kegiatan mengajukan, mempertahankan atau merekomendasikan suatu gagasan
di hadapan orang lain
c. Kegiatan berbicara, menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah, dan
mengarahkan pengambil keputusan mencari solusi.
d. Kegiatan memasukkan suatu problem ke dalam agenda, mencarikan solusi
mengenai problem tersebut dan membangun dukungan untuk bertindak
menangani problem mau pun solusinya.
e. Sebagai upaya yang bertujuan untuk mengubah suatu organisasi secara internal
atau mengubah seluruh sistem
f. Berbagai aktivitas jangka-pendek yang spesifik untuk mencapai pandangan
tentang perubahan jangka panjang.
g. Berbagai macam strategi yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pada tingkat organisasi, lokal, provinsi, nasional dan internasional.
h. Menggunakan strategi meliputi mengadakan lobi, pemasaran kepada masyarakat,
memberikan informasi, pendidikan dan komunikasi (IEC = Information,
Education and Communication), membentuk organisasi masyarakat, atau
berbagai macam “taktik” lain.
i. Proses keikutsertaan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.

Merujuk pada makna advokasi tersebut diatas, dalam pekerjaan sosial,


advokasi diarahkan pada aras sosial, sehingga istilah yang digunakan advokasi sosial.
Adapun advokasi sosial adalah sebagai kegiatan menolong Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau sekelompok PPKS untuk mencapai layanan
3
tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau suatu sistem layanan, dan
membantu memperluas pelayanan agar mencakup lebih banyak orang yang
membutuhkan (Zastrow, 2000). Terlihat bahwa kekhasan advokasi sosial dalam
pekerjaan sosial, bahwa pekerja sosial yang melakukan advokasi menjadi partisipan
berarti bersifat tidak netral yang keahliannya secara eksklusif dimanfaatkan untuk
melayani PPKS.

3. Tujuan Advokasi Sosial


Advokasi Sosial dilakukan manakala melihat suatu kondisi yang tidak
menunjukkan keberpihakan pada orang yang bermasalah dalam mengakses pelayanan
sosial. Advokasi sosial dilakukan oleh pekerja sosial untuk membela kepentingan
PPKS jika lembaga pelayanan yang ada tidak tertarik, tidak mau, atau bahkan
memusuhi mereka. Tujuannya bukan untuk menghakimi, mencela atau melecehkan
sistem yang ada, tetapi untuk mengubah suatu lembaga atau suatu sistem baik
program maupun kebijakannya agar responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan PPKS.
Tujuan advokasi sosial bermaksud untuk mengubah kebijakan, program atau
kedudukan dari pemerintah, institusi atau organisasi. Lebih fokusnya, tujuan advokasi
sosial adalah apa yang ingin kita ubah, siapa yang akan melakukan perubahan itu,
seberapa banyak, dan kapan. Menurut Zastrow (1999) advokasi sosial adalah
menolong PPKS atau sekelompok PPKS untuk mencapai layanan tertentu ketika
PPKS (individu atau kelompok) ditolak suatu lembaga atau sistem pelayanan, dan
membantu memperluas layanan agar mencakup lebih banyak orang yang
membutuhkan. Pada umumnya kerangka waktu untuk suatu pencapaian tujuan
advokasi sosial adalah 1-3 tahun.

4. Jenis-Jenis Advokasi Sosial


Jenis advokasi sosial menurut Sheafor, Horejsi dan
Horejsi, (2000); DuBois dan Miley, (2005); dan Suharto (2006), terbagi 2, meliputi:
a. Advokasi kasus:
Kegiatan yang dilakukan seorang pekerja sosial untuk membantu PPKS agar
mampu menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya.
Alasannya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga,
dunia bisnis atau kelompok profesional terhadap PPKS dan PPKS sendiri tidak
mampu merespon situasi tersebut dengan baik.
b. Advokasi kelas
Diarahkan pada kegiatan-kegiatan atas nama kelas atau sekelompok orang untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak warga dalam menjangkau sumber atau
memperoleh kesempatan-kesempatan.

Oleh karena fokus dalam advokasi sosial untuk mempengaruhi atau melakukan
perubahan-perubahan hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal maupun
nasional. Sedangkan menurut Scheneider bahwa tedapat empat jenis advokasi sosial
dalam pekerjaan sosial, yaitu:
a. Advokasi klien (Client advocacy)
Tujuan akhirnya adalah menunjukkan kepada PPKS (keluarga) bagaimana
berjuang memenangkan “perang”nya terhadap suatu lembaga atau sistem.
b. Advokasi masyarakat (Cause advocacy)
Advokasi pekerjaan sosial pada dasarnya untuk membantu PPKS individu dan
keluarga dalam memperoleh pelayanan. Namun, apabila tedapat masalah yang
mempengaruhi kelompok yang lebih besar, maka pekerja sosial dapat
menggunakan jenis advokasi ini.
c. Advokasi legislative (Legislative advocacy)
Advokasi legislatif dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu
undang-undang.
d. Advokasi administratif (Administrative advocacy)
Advokasi administratif memiliki tujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi
keluhan-keluhan dan masalah-masalah administratif yang dapat dilakukan
melalui lembaga
Pekerja sosial sebagai advokat harus kompeten menggunakan jenis-jenis
advokasi tersebut, dapat memilih salah satu atau kombinasi keempatnya, sesuai
dengan situasi PPKS. Perlu diingat, advokasi hanya akan efektif bila pekerja sosial
memahami dan menguasai kebijakan dan prosedur lembaga atau sistem yang sedang
dipertanyakan. Selain itu, pekerja sosial juga harus memahami Hak Asasi Manusia,
hak anak, hak perempuan sehingga dapat menyajikan masalah atau isu secara tepat.

5. Prinsip-Prinsip Advokasi Sosial


Beberapa prinsip dalam melakukan advokasi sosial, menurut Suharto (2006),
meliputi:
a. Realistis
Advokasi yang berhasil bersandar pada isu dan agenda yang spesifik, jelas dan
terukur. Karena kita tidak mungkin melakukan segala hal, kita harus menyeleksi
pilihan-pilihan dan membuat keputusan prioritas. Pilihlah isu dan agenda yang
realistis dan karenanya dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu. Jangan buang
tenaga dan waktu kita dengan pilihan yang tidak mungkin dicapai. Gagas
kemenangan-kemenangan kecil namun konsisten. Sekecil apapun, keberhasilan
senantiasa memberi motivasi.
b. Sistematis
Advokasi memerlukan perencanaan yang akurat, artinya jika kita gagal
merencanakan, maka itu berarti kita sedang merencanakan kegagalan. Proses
advokasi dapat dimulai dengan memilih dan mendefinisikan isu strategis,
membangun opini dan mendukungnya dengan fakta, memahami sitem kebijakan
publik, membangun koalisi, merancang sasaran dan taktik, mempengaruhi
pembuat kebijakan, dan memantau serta menilai gerakan atau program yang
dilakukan.
c. Taktis
Pekerja sosial harus membangun koalisi atau aliansi dan sekutu dengan pihak
lain. Sekutu dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan dan saling percaya.
Sekutu terdiri dari sekutu dekat dan sekutu jauh. Sekutu dekat biasanya
dinamakan lingkar ini, yaitu kumpulan orang atau organisasi yang menjadi
penggagas, pemrakarsa, penggerak dan pengendali utama seluruh kegiatan
advokasi. Sekutu jauh dalah pihak-pihak lain yang mendukung kita namun tidak
terlihat dalam gerakan advokasi secara langsung.
d. Strategis
Advokasi melibatkan kekuasaan dalam prosesnya. Sangat penting untuk
mempelajari diri kita, lembaga dan anggotanya untuk mengetahui jenis
kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan pada intinya menyangkut kemampuan untuk
mempengaruhi dan membuat orang berperilaku seperti yang kita harapkan. Kita
tidak mungkin memiliki semua kekuasaan seperti yang diinginkan, akan tetapi
tidak perlu meremehkan kekuasaan yang kita miliki. Sadari bahwa advokasi
dapat membuat perbedaan. Kita dapat melakukan perubahan-perubahan dalam
hukum, kebijakan dan program yang bermanfaat bagi masyarakat. Melakukan
perubahan tidaklah mudah, tetapi bukanlah hal yang mustahil yang terpenting
adalah kita bisa memetakan dan mengidentifikasi kekuatan kita dan kekuatan
lawan atau pihak oposisi secara strategis.
e. Berani
Advokasi menyentuh perubahan dan rekayasa sosial secara bertahap. Jangan
tergesa-gesa dan tidak perlu menakut-nakuti pihak lawan, tetapi tidak perlu juga
menjadi penakut. Jadikan isu dan strategi yang telah dilakukan sebagai motor
gerakan dan tetaplah berpijak pada agenda bersama.
Prinsip-prinsip lainnya yang perlu diperhatikan dalam melakukan advokasi
sosial, diantaranya:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar, adanya suatu jaminan bahwa setiap pemerlu
pelayanan kesejahteraan sosial harus terpenuhi kebutuhan dasarnya di manapun
permasalahan tersebut terjadi.
b. Keberlangsungan hidup, adanya suatu jaminan bahwa setiap pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial akan terjamin keberlangsungan hidupnya.
c. Non-diskriminatif, adanya jaminan bahwa pelayanan yang diberikan tidak
membeda-bedakan latar belakang pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial baik :
suku, agama, etnis, ras, dan lain-lain.
d. Kejujuran, ada perhatian yang jujur untuk membela dan memperjuangkan hak
dan kepentingan para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.
e. Gigih/Aponturir , yaitu suatu sikap membela secara sungguh-sungguh, tanpa
pamrih, bagi pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.
f. Ketuntasan, maksudnya bahwa setiap kasus yang ditangani mulai sejak awal
harus selesai.
g. Independensi, bahwa setiap tugas advokasi sosial yang dijalankan harus bebas
dari segala kepentingan.
h. Akuntabel, artinya bahwa setiap tindakan advokasi sosial yang dilakukan harus
dapat dipertanggungjawabkan. Cepat dan tepat, artinya bahwa advokasi yang
diberikan harus tepat sasaran, tepat waktu, tepat kebutuhan dan tempat.
i. Kerjasama, bahwa setiap advokasi yang dilakukan harus diwujudkan melalui
kerjasama dengan pihak terkait.

6. Strategi dan Taktik Advokasi Sosial


Advokasi sosial yang efektif harus melalui pemilihan strategi dan taktik
yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Setelah memutuskan apa yang menjadi
isunya dengan mempelajari fakta yang ada, seorang advokasi sosial harus
menentukan bagaimana mereka bisa mewujudkan apa yang mereka rencanakan.
Dalam melakukan advokasi sosial baik terhadap individu maupun kelompok, para
advokator harus memutuskan bagaimana membujuk sasaran yang akan di advokasi
untuk mengubah pemikiran mereka, untuk mendukung dan memodifikasi kebijakan
legislatif; atau untuk membuat peraturan alternatif di masyarakat. Bahkan, para
advokator sosial dan yang di advokasi ini harus menyetujui apa tindakan yang akan
mereka ambil dan bagaimana mereka menghadapi kesulitan dalam melaksanakan
tugasnya saat mengubah perilaku, nilai, sikap atau keberpihakan mereka.
Kebanyakan para advokator sosial membedakan antara strategi dengan taktik.
Netting et.al. (1998) mengambarkan strategi adalah perencanaan secara keseluruhan
atau pendekatan konseptual yang umum (Sosin & Caulum, 1983) yang akan
digunakan untuk mendorong suatu perubahan. Sedangkan Altman et al (1994)
mengatakan bahwa suatu strategi menyediakan para advokator sosial sebuah
“blueprint” yang jelas untuk mencapai tujuan mereka. Demikian pula, Kotler (1972)
menyatakan bahwa suatu strategi adalah model dasar yang mempengaruhi sasaran
advokasi dengan cara mendidik, persuasif, atau pemaksaan. Berdasarkan strategi
inilah akan menghubungkan dengan aktivitas taktik yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan (Brager & Holloway, 1978).
Selanjutnya, taktik itu sendiri dimaknai sebagai langkah-langkah yang
terperinci untuk melaksanakan strategi secara keseluruhan (Bobo et al, 1996). Taktik
direfleksikan setiap saat, dalam kegiatan jangka pendek; yang didalamnya memuat
teknik-teknik khusus dan dirancang perilaku – perilaku untuk meningkatkan
kemungkinan terjadinya perubahan yang akan diadaptasi (Netting et.al, 1998).
Strategi dan taktik secara bersama-sama digambarkan dengan terintegrasi tentang apa
yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk mencapai tujuan. Kuncinya
yaitu dengan menyeleksi strategi dan taktik yang akan menghasilkan suatu
perubahan.
Dalam rangka memenuhi sejumlah tujuan yang akan dicapai individu atau
kelompok, maka para advokator harus mempunyai rencana secara menyeluruh
sebagai pedoman bagi mereka dalam melakukan langkah-langkahnya. Hal ini
9
disebabkan dalam prosesnya terjadi perubahan yang kompleks, tidak terkoordinasi
dan kegiatan yang tidak beraturan. Para advokator harus melakukan langkah besar
yaitu dengan mengundang media untuk meliput apa yang telah diperjuangan PPKS
dalam memperoleh hak-haknya. Jika langkah-langkahnya tidak sesuai dengan
perencanaan maka akan mengalami perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki.
Untuk mencapai pada tahap perubahan yang diharapkan maka para advokator harus
mencurah waktu dan tenaganya untuk melakukan pendekatan secara keseluruhan
(strategi), begitu pula yang terjadi saat akan melakukan aktivitas khusus atau taktik.
Strategi dalam advokasi sosial didasarkan pada asumsi bahwa percaya
perilaku manusia mau dimodifikasi atau diubah pendiriannya dan meraih
pemahaman yang baru. Terdapat beberapa upaya untuk memformulasikan model-
model strategi yang kemungkinan akan menjadi pendorong untuk meningkatkan
perubahan yang diinginkan, namun tidak ada kesepakatan untuk menentukan strategi
mana yang paling tepat dan efektif. Kebanyakan, pemilihan strategi tergantung pada
fokus masalah, sumber apa yang tersedia, dan sejauh mana pihak oposisi akan
berubah atau tidaknya. Variabel-variabel ini akan berubah dalam setiap situasi
advokasi sosial, setiap proses identifikasi isu dan setiap proses penyimpulan, dimana
menuntut strategi yang tidak mudah.
Hal tersebut menyebabkan pentingnya pemilihan strategi yang tepat dengan
persyaratan-persyaratan khusus (Altman et al, 1994). Hal-hal yang harus diperhatikan
sebelum menentukan strategi, yaitu:
a. Menentukan kategori dari pihak oposisi
Pihak oposisi terbagi kedalam 3 kategori, meliputi:
1) Individu-individu atau kelompok – kelompok yang memerlukan pengetahuan
lebih, mereka yang kurang informasi, mereka yang tidak terinformasikan atau
tidak peduli tentang isu-isu tertentu, mereka yang mau berbagi nilai-nilai
dasarnya dengan para advokator atau mereka memiliki kesamaan isun
biasanya bersifat kooperatif.
2) Individu-individu atau kelompok – kelompok yang netral, tidak ada perbedaan
sikap atau apatis terhadap isu tertentu; mereka yang hanya mau berbagi pada
advokator tertentu; mereka yang mungkin tidak setuju; mereka yang ingin
menonjolkan sikap mereka sendiri; mereka yang mempunyai sedikit investasi
pada dampak dari advokasi sosial tersebut; atau mereka yang berkompetisi
sebelumnya dengan advokator.
3) Individu-individu atau kelompok – kelompok yang jelas tidak setuju atas isu-
isunya; mereka adalah musuh, yang tidak ingin mendengar dan tidak
mendukung; mereka hanya mau berbagi jika terdapat beberapa kesepakatan
dengan advokator; mereka yang tidak ingin berbagi kekuatan; mereka yang
melindungi jagoan mereka atau mereka yang mungkin berkonflik secara
terbuka dengan advokator.

b. Menetapkan Unsur-unsur Pokok Advokasi Sosial


Unsur-unsur pokok advokasi sosial, sangat diperlukan sebelum memilih strategi,
karena banyak informasi yang bisa dijadikan pertimbangan. Menurut Fahrudin
(2010), dalam advokasi sosial terdapat unsur-unsur pokok kegiatan yaitu:
1) Memilih Tujuan Advokasi Sosial
Masalah yang dihadapai mungkin saja sangat kompleks. Karena itu, agar
berhasil, tujuan umum advokasi harus dipersempit sampai pada tujuan yang
didasarkan pada jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
Dapatkah masalah ini mengajak berbagai kelompok bersama-sama
membentuk koalisi yang kuat? Apakah tujuannya mungkin tercapai? Apakah
tujuannya benar-benar menangani masalah itu?
2) Menggunakan Data dan Penelitian untuk Advokasi Sosial
Data dan penelitian merupakan hal yang sangat penting untuk membuat
keputusan yang tepat ketika memilih masalah yang akan ditangani,
mengidentifikasi solusi bagi masalah tersebut, dan menentukan tujuan yang
realistis. Data yang lengkap dan akurat juga dapat menjadi argumentasi yang
kuat. Dengan data dapatkah kita mencapai tujuan dengan realistis? Data apa
yang dapat digunakan untuk mendukung suatu argumentasi ?
3) Mengidentifikasi Sasaran Advokasi Sosial
Jika masalah dan tujuannya telah dipilih, usaha advokasi itu harus diarahkan
kepada orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan
misalnya staf, penasihat, orang tua-tua yang berpengaruh, media, dan
masyarakat. Siapa para pengambil keputusan yang dapat membuat tujuan
umum kita menjadi kenyataan? Siapa dan apa yang mempengaruhi para
pengambil keputusan ini?
4) Mengembangkan dan Menyampaikan Pesan Advokasi Sosial
Sasaran advokasi yang berbeda-beda memberikan tanggapan terhadap pesan
yang berbeda pula.. Misalnya, seorang anggota legislatif di daerah mungkin
tergerak hatinya ketika ia tahu betapa banyak orang di wilayahnya yang
menaruh kepedulian terhadap suatu isu. Seorang Menteri Kesehatan mungkin
akan bertindak ketika kepadanya disajikan data terperinci tentang masih
tingginya angka kematian ibu melahirkan di suatu daerah. Atau, seorang
Menteri Pendidikan terkejut dan segera memanggil para pembantunya rapat
ketika ia memperoleh masukkan dari satu LSM tentang tingginya angka putus
sekolah anak-anak SD di suatu propinsi, sementara Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan sudah mencanangkan kebijakan dan program wajib belajar 9
tahun secara nasional. Pesan apakah yang perlu sampai kepada sasaran
advokasi pilihan demi kepentingan suatu kegiatan advokasi?
5) Membentuk Koalisi
Seringkali kekuatan advokasi terdapat pada beberapa orang, atau beberapa
lembaga yang mendukung tujuan umum kita. Khususnya di Indonesia dimana
demokrasi dan advokasi merupakan fenomena yang relatif baru, melibatkan
sejumlah besar orang yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda dapat
memberikan jaminan keamanan bagi advokasi maupun untuk membentuk
dukungan politik. Di dalam suatu organisasi sekalipun, pembentukan koalisi,
12
misalnya melibatkan orang dan berbagai bagian di dalam menyusun program
baru, dapat membantu membentuk kesepakatan untuk bertindak. Siapa lagi
yang akan diundang untuk bergabung ke dalam kasus Anda? Siapa lagi yang
dapat menjadi rekan Anda? Misalnya, untuk mendorong Pemerintah segera
menyerahkan kepada DPR Rancangan Undang-Undang Kekerasan dalam
Rumah Tangga (RUU KDRT), berbagai organisasi perempuan di masyarakat,
membentuk koalisi dan melakukan berbagai lobby kepada berbagai pihak.
6) Membuat Presentasi yang Persuasif
Kesempatan untuk mempengaruhi sasaran advokasi yang merupakan tokoh
kunci seringkali terbatas. Seorang anggota DPR mungkin memberikan kepada
kita satu kesempatan bertemu untuk mendiskusikan masalah yang kita
advokasi, atau seorang menteri mungkin hanya mempunyai waktu lima menit
di dalam suatu konferensi untuk berbicara dengan kita. Persiapan yang cermat
dan mendalam untuk membuat argumen yang meyakinkan dan gaya penyajian
mungkin dapat mengubah kesempatan yang sempit itu menjadi advokasi yang
berhasil. Jika mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pengambil
keputusan, apa yang hendak kita katakan, dan bagaimana kita akan
mengatakannya?
7) Mengumpulkan Dana untuk Advokasi
Sebagian besar kegiatan, termasuk advokasi, memerlukan sumber dana. Usaha
untuk melakukan advokasi secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang
berarti menyediakan waktu dan energi dalam mengumpulkan dana atau
sumber daya yang lain untuk mendukung tugas advokasi kita. Bagaimana kita
dapat mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan
usaha advokasi ini?

8) Mengevaluasi Usaha Advokasi


Bagaimana kita tahu bahwa kita telah berhasil di dalam mencapai tujuan
advokasi ? Bagaimana strategi advokasi dapat ditingkatkan? Untuk menjadi

13
pelaksana advokasi yang efektif diperlukan umpan balik dan evaluasi terus-
menerus..

Strategi Advokasi Sosial


Setelah menganalisa siapa yang menjadi oposisi, advokator sosial biasanya
menetapkan satu dari ketiga kategori tersebut atau kombinasi dari ketiganya. Adapun
ketiga strategi yang ada sesuai dengan jenis oponennya, sebagai berikut:
a. Kolaborasi
Keberhasilan strategi ini dipengaruhi oleh jenis oponen pada kategori yang ke 1
tersebut diatas. Jenis oponen pada tingkat ini tersebar dan intensitasnya tidak
tinggi, kekuatan mereka mungkin ada, dan masih terdapat batasan antara
advokator dan oponen. Advokator akan berbagi informasi dengan oponen
melalui penggunaan data yang rasional dan empiris. Komunikasi diantara dua
kelompok ini terbuka dan terus terang. Pemecahan masalah yang menjadi
penekanannya adalah dengan bekerjasama dan berbagi tugas secara adil. Komite
atau kelompok yang memiliki kewenangan dapat dibentuk untuk tujuan yang
saling menguntungkan. Semangat dalam kolaborasi ini adalah advokator dan
oponen biasanya kompromi dan negosiasi solusi jika terdapat perbedaan yang
mencolok. Setelah adanya kerjasama maka akan terjadi kesepakatan-kesepakatan
diantara kedua belah pihak.

b. Kampanye
Strategi ini digunakan efektif jika oponennya termasuk dalam kategori ke 2
tersebut diatas. Oposisi pada tingkat ini merefleksikan ketidaksetujuan yang
besar, sedikit sekali mau berbagi tentang nilai-nilai, perbedaan sikap, dan
hubungannya renggang serta dingin. Advokator dapat merasakan secara natural
ada minat dari pihak oposisi dengan menunjukkan perubahan-perubahan. Strategi
kampanye berdasarkan bujukan dan upaya meyakinkan pihak oposisi melalui
sentuhan logis dan emosional. Strategi ini mencoba memodifikasi sikap dan
14
nilai-nilai yang kurang dari pihak oponen dengan cara membangkitkan sesuatu
hal yang sudah ada dalam diri oponen, yaitu advokator meningkatkan prinsip-
prinsip / kepercayaan yang para oponen pegang. Dalam strategi kampanye ini
terdapat proses mendidik tetapi tidak secara rasional dan empirikal yang tegas.
Advokator sosial biasanya melakukan negosiasi, tawar menawar, dan
menggunakan politik untuk mempengaruhinya sesuai dengan tingkat oposisinya.

c. Kontes
Strategi ini efektif bagi jenis oponen yang termasuk pada kategori ke 3 tersebut
diatas. Tingkat oposisinya jelas sangat tinggi, tidak mendukung, sedikit
mendukung jika terdapat beberapa hal yang bisa terkoneksikan, dan biasanya
menunjukkan sikap perlawananyang tinggi. Advokator sosial mengharapkan
adanya perubahan perilaku bukan pada kepercayaannya atau nilai-nilainya.
Mereka akan menerapkan tekanan dari sumber-sumber politik atau “grasroots”,
melalui konfrontasi publik, yang didalamnya memuat posisi para oposisi dengan
dalam ranah hukum, atau kekuatan partisipan. Sikap advokator sosial menjadi
tidak kooperatif, penuh dengan pelecehan-pelecehan, menggunakan boikot atau
sanksi, pelanggaran perilaku normatif, atau pelanggaran norma hukum. Beberapa
strategi kontes mengandung resiko bagi pekerja sosial dan PPKS, dan mereka
harus terinformasikan melalui kesepakatan antara advokator sosial dan PPKS
sebelumnya tentang kegiatan yang mengandung resiko tinggi. Dalam hal ini,
tidak tepat memdiskusikan perilaku yang sesuai dengan kode etik pekerja sosial.
Intinya, advokasi sosial harus menganalisa pihak oposisi dan menyesuaikan
mereka dengan kategori strateginya. Tidak akan pernah ada strategi yang sempurna,
tetapi proses penyeleksian strategi yang akan digunakan merupakan salah satu kiat
yang dapat mempengaruhi pihak oposisi.
Selain strategi – strategi tersebut diatas, Netting, et al (1998)
mendeskripsikan model strategi lainnya yang fokus pada kebijakan, program, proyek,
personal dan atau praktik. Netting, et.al menganjurkan para advokator sosial untuk
15
melakukan analisis pada semua pihak yang terlibat, dan menggiring mereka untuk
berubah melalui pengetahuan tentang pemilihan strategi yang tepat.
a. Kebijakan.
Advokator sosial mencoba untuk mengubah suatu kondisi dengan mempengaruhi
kebijakan pemerintah, lembaga, atau asosiasi untuk menghasilkan outcome yang
diharapkan. Keberadaan kebijakan-kebijakan tersebut mungkin saja sangat kaku
dan ingin dimodifikasi. Kebijakan baru mungkin dibutuhkan dengan menekankan
pada kondisi terakhir yang terjadi. Hal ini disebabkan kebijakan yang tampak
menjadi pedoman para pengambil keputusan telah diimplementasikan dalam
tindakan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada, atau bisa saja dengan
melakukan perubahan pada bagian dari kebijakan sebagai salah satu strategi yang
paling baik.
b. Program.
Advokator sosial seringkali mencoba untuk merubah program yang disponsori
oleh penyedia layanan sebab program tersebut sangat lemah dalam administrasi,
tidak sensitif pada kebutuhan PPKS, sumber-sumber yang ada tidak bisa diakses
oleh PPKS tertentu, atau gagal meraih tujuan umum yang ditelah ditetapkan.
Program yang baru seringkali mengusulkan untuk merubah kondisi-kondisi.
Advokator sosial harus mampu memutuskan untuk mengintervensi program yang
tidak sesuai.
c. Proyek.
Advokator sosial disarankan agar dengan adanya batasan waktu untuk berupaya
mengimplementasikan proyek dengan menekankan pada permasalahan PPKS
daripada menciptakan model yang berskala besar yang mungkin lebih mahal atau
kontroversial atau kedua-duanya. Sebuah proyek akan lebih fleksibel dan
eksperimental, apabila pola penyesuaiannya dapat dimonitoring.
d. Personal.
Advokator sosial menyimpulkan bahwa perubahan personal dibutuhkan dalam
rangka menghasilkan outcome yang diinginkan. Kondisi-kondisi yang

16
memungkinkan untuk memutasikan personal-personalnya jika terdapat beberapa
pekerja dengan mudah terjebak dalam konflik, organisasi yang tidak berjalan
sesuai dengan tujuan, kurangnya pelatihan, atau tidak efisiennya keterampilan-
keterampilan kunci yang dimiliki. Advokasi pekerjaan sosial seharusnya lebih
berhati-hati saat mendapatkan dukungan dari para administrasi yang tidak
terkenal karena bisa menyebabkan terjadinya resiko bagi mereka sendiri, PPKS
dan kolega.
e. Praktisi.
Advokator seringkali ingin merubah cara lembaga dalam melakukan
kegiatannya. Praktisi ini bukan polisi; mereka adalah prosedur dan peraturan
yang biasanya menyangkut pemberian layanan pada PPKS atau berinteraksi
dengan PPKS.
Advokator sosial dapat menggabungkan beberapa pendekatan strategi
Netting, dkk (1998) diatas dan mengintegrasikannya dengan penilaian mereka akan
isunya serta menentukan pilihan atas strategi yang akan digunakan.

Taktik
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa antara strategi dan taktik
merupakan suatu proses yang bersinergi saat akan melakukan advokasi dalam
pekerjaan sosial. Adapun yang dimaksudkan dengan taktik adalah langkah-langkah
yang terperinci untuk melaksanakan strategi secara keseluruhan (Bobo et al, 1996).
Artinya dalam taktik tergambarkan adanya kegiatan yang dilakukan setiap saat,
berjangka pendek, memuat teknik-teknik tertentu untuk merancangkan perilaku-
perilaku tertentu pula dalam kaitannya untuk melakukan adaptasi perubahan.
Dalam advokasi pekerjaan sosial, taktik-taktik ini terbagi menjadi tiga
kelompok besar sesuai dengan strateginya, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:
No Jenis Strategi Jenis Taktik
1. Kolaborasi 1. Melakukan penelitian dan studi terhadap isu tertentu
2. Mengembangkan fakta-fakta dan membuat usulan
alternatif kegiatan.
3. Menciptakan pelaksana tugas-tugas atau subkomite
4. Melakukan workshop
5. Komunikasi secara rutin dengan pihak oposisi.
2. Kampanye 1. Lobi dengan para pengambil keputusan
2. Mendidik publik
3. Bekerja dengan media massa
4. Mengorganisasikan penulisan untuk kampanye
5. Memonitor lembaga-lembaga dan para pengambil
keputusan
6. Merancangkan taktik pemaksaan
7. Membangun komunikasi dengan pihak oposisi
3. Kontes 1. Mencari negosiator dan mediator
2. Mengorganisasikan demonstrasi besar
3. Mengkoordinasikan kegiatan boikot, pemogokan,
dan petisi
4. Mengorganisasikan ketidakpatuhan masyarakat sipil
dan pertahanan yang pasif
5. Merancang ekspose di media.

7. Tahapan Advokasi Sosial


Advokasi sosial merupakan proses dinamis yang menyangkut seperangkat
pelaku, gagasan, agenda dan politik yang selalu berubah. Walaupun demikian,
menurut Fahrudin (2010), bahwa proses yang bersifat multi faset ini dapat dibagi
menjadi lima tahap: mengidentifikasi masalah, merumuskan dan memilih solusi,
membangun kesadaran, tindakan kebijakan, dan evaluasi. Tahap-tahap ini hendaknya
dipandang lentur atau cair, karena tahap-tahap tersebut mungkin saja terjadi
bersamaan atau berurutan, dan prosesnya sendiri mungkin saja berhenti atau
berbalik.

Tahap pertama
Tahap ini yaitu mengidentifikasi masalah untuk mengambil tindakan kebijakan.
Tahap ini juga mengacu pada penetapan agenda. Bisa ada masalah yang tidak terbatas
jumlahnya yang perlu diperhatikan, tetapi tidak semuanya harus mendapat tempat di
dalam agenda tindakan. Pekerja sosial masyarakat advokat harus menentukan
masalah mana yang perlu dituju dan diusahakan untuk mencapai lembaga yang
menjadi sasaran agar diketahui bahwa isu tersebut memerlukan tindakan.

Tahap kedua
Pada tahap ini dilakukan perumusan solusi. Pekerja sosial yang berperan sebagai
advokat dan pelaku kunci yang lain mengusulkan solusi mengenai permasalahan
tersebut dan memilih salah satu yang layak ditangani secara politis, ekonomis, dan
sosial.

Tahap ketiga
Tahap ini yaitu membangun kemauan politik untuk bertindak menangani isu dan
mendapatkan solusinya merupakan bagian terpenting dari advokasi. Tindakan pada
tahap ini meliputi membentuk koalisi, menemui para pengambil keputusan,
membangun kesadaran dan meyampaikan pesan secara efektif.

Tahap keempat
Tahap ini adalah melaksanakan kebijakan: terjadi jika masalahnya telah diketahui,
solusinya diterima dan ada kemauan politik untuk bertindak, semuanya secara
serentak. Keadaan tumpang tindih in biasanya merupakan suatu “celah peluang” yang
dapat lenyap dengan cepat yang harus ditangkap oleh pekerja sosial advokat..
Pemahaman akan proses pengambilan keputusan dan strategi advokasi yang mantap
akan meningkatkan kemungkinan terciptanya celah peluang untuk bertindak.

Tahap kelima
Pada tahap ini, adalah evaluasi. Kegiatan advokasi yang baik harus menilai efektivitas
dari usahanya yang telah berjalan dan menentukan sasaran baru berdasarkan
pengalaman mereka. Para penyumbang pikiran dan institusi yang menerima
perubahan kebijakan secara periodik perlu mengevaluasi efektivitas perubahan
tersebut.

8. Peranan-Peranan Pekerja Sosial


Dalam melakukan advokasi sosial, terdapat beberapa peranan yang secara
umum dilakukan oleh pekerja sosial, meliputi:
a. Menginformasikan kepada penerima pelayanan akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping.
b. Mendampingi para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.
c. Mendengarkan secara empati segala permasalahan pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial sehingga pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial merasa
aman didampingi oleh pendamping
d. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada pemerlu
pelayanan kesejahteraan sosial.
Sedangkan peranan secara khusus dalam advokasi sosial, adalah:
a. Membantu menganalisis dan mengartikulasikan isu kritis yang berkaitan dengan
pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial maupun permasalahan-permasalahan
yang terkait.
b. Membantu pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial untuk memahami dan
melakukan refleksi atas isu tersebut untuk selanjutnya dijadikan leason learn
untuk melangkah dalam kehidupan selanjutnya.
c. Membangkitkan dan merangsang diskusi dan aksi kegiatan yang berarti dalam
rangka memperoleh dukungan dari berbagai pihak dalam penyelesaian masalah
pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.
d. Merubah kebijakan yang selalu membuat program-program yang berpihak pada
para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.

9. Indikator Advokasi Sosial


Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan advokasi sosial, terdapat beberapa
indikator, yaitu:
a. Hak dan kebutuhan dasar pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial dapat
dilakukan secara cepat, tepat waktu, tepat sasaran dan tepat kebutuhan.
b. Terselesaikannya kasus dan masalah yang dihadapi oleh pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial melalui rujukan, aksesibilitas dan fasilitasi serta upaya yang
dilakukan oleh petugas advokasi.
c. Tersedianya kebijakan dan managemen penanganan masalah yang memihak pada
pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.
d. Terpenuhinya kebutuhan dasar pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial untuk
hidup secara layak sebagai bentuk pelayanan perlindungan sosial

10. Nilai dalam Advokasi Sosial


Advokasi sosial mengandung beberapa nilai yang digunakan, diantaranya:
a. Hak dan martabat individual (dignity and right of the individual)
b. Pemberian suara kepada yang tidak kuasa (giving voice to the powerless)
c. Penentuan diri sendiri (self-determination)
d. Pemberdayaan dan perspektif penguatan
e. (empowerment and strengths perspective)
f. Keadilan sosial (social justice)
Demikian, bahwa dalam melaksanakan kegiatan advokasi sosial, yang penting adalah
memahami terlebih dahulu, apa yang menjadi permasalahannya dan apa yang menjadi
kebutuhan serta memetakan sumber-sumber yang bisa diajak melakukan koalisi untuk
mendukung apa yang menjadi tujuannya.

Sumber Bacaan:
1. Armando Morales and Bradford W. Sheafor. 1983. Social Work: A Profession of
many Faces. Ally and Bacon Inc.
2. Charles D. Garvin and Brett A. Seaburry. 1984. Interpersonal Practice in Social
Work: Processes and Procedures. Prentice – Hall, Inc.
3. Charles Zastrow. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions, Social
Problems, Services and Current Issues. The Dorsey Press.
4. Donald Brieland, Lela B. Costin, Charles R. Artherton and Contributors. 1975.
Contemporary Social Work: An Introduction to Social Work and Social Welfare.
Mc-Graw Hill.
5. Fahrudin, Adi. 2010. Advokasi Pekerjaan Sosial. Stks Bandung.
6. Jim Ife. 2002. Community Development. Pearson Education Australia Pty
Limitea.
7. Ritu R. Sharma. 2004. Pengantar Advokasi, Panduan dan latihan (alih bahasa P.
Soemitro).Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
8. Schneider, Robert L. & Lester, Lori. 2001. Social Work Advocacy: A New
Framework for Action. United States: Brooks/Cole Publishing Company.
SOAL-SOAL ADVOKASI SOSIAL

1. Upaya pembelaan yang dilakukan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial


guna menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar, yang apabila hal ini tidak
dipernuhi dapat mengancam kelangsungan hidup pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial, disebut: (JAWABAN C)
a. Advokasi absolut
b. Advokasi hukum
c. Advokasi sosial
d. Advokasi jamak

2. Sebagai pekerja sosial, perlu memberikan jaminan bahwa pelayanan yang


diberikan tidak membeda-bedakan latar belakang pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial baik : suku, agama, etnis, ras, dan lain-lain. Hal ini
termasuk prinsip: (JAWABAN B)
a. Non-confortatif
b. Non-diskriminatif
c. Non-creative
d. Non-jugmental

3. Kegiatan yang dilakukan seorang pekerja sosial untuk membantu pemerlu


pelayanan kesejahteraan sosial agar mampu menjangkau sumber atau
pelayanan sosial yang telah menjadi haknya, termasuk pada, (JAWABAN B)
a. Advokasi Kelas
b. Advokasi Kasus
c. Advokasi Sosial
d. Advokasi Individu
4. Setiap tugas advokasi sosial yang dijalankan harus bebas dari segala
kepentingan, merupakan prinsip, (JAWABAN A)
a. Independensi
b. Akuntabel
c. Tuntas
d. Eligible

5. Pendampingan yang dilakukan oleh seorang pekerja sosial, menunjukkan


beberapa pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial tidak mendapatkkan
program pelayanan sosial karena tidak masuk kriteria program, padahal
seharusnya mereka mendapatkan program tersebut. Pendamping melakukan
advokasi sosial, dan dinyatakan berhasil melakukan advokasi dengan
indikator, sebagai berikut: (JAWABAN C)
a. Bentuk pelayanan sosial seadanya terpenuhi pada kebutuhan dasar pemerlu
pelayanan kesejahteraan sosial.
b. Beberapa kasus dan masalah yang dihadapi oleh pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial tidak terselesaikan.
c. Terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar pemerlu pelayanan kesejahteraan
sosial secara tepat dan cepat
d. Ketidakberpihakan kebijakan pada pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial
Bahan Bacaan Materi
Tahapan Proses Pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial

Disusun Oleh : Raden Dika Permatadiraja, Sp.PSA.

A. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu memahami proses
pertolongan kepada penerima manfaat.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu:
1. Memahami Tahapan Proses Pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial
2. Memahami Identifikasi Permasalahan dan Perencanaan Pemecahan Masalah
3. Menjelaskan tentang Pelaksanaan Pemecahan Masalah
4. Menjelaskan tentang Monitoring dan Evaluasi serta Pengakhiran Masalah
C. Materi Pembelajaran
Pada dasarnya tahapan Proses Pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial
(Pendamping Sosial) terdiri dari Tahap Awal, Tahap Pelaksanaan dan Tahap
Pengakhiran. Salah satu contoh adalah ketika Tenaga Kesejahteraan Sosial harus
melaksanakan tugas pendampingan dan pelayanan kepada penerima manfaat dengan
alasan terdapat suatu permasalahan, maka Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu
memberikan layanan pertolongan agar permasalahannya bisa diatasi.
Tidak jarang kita menemui permasalahan seperti motivasi rendah dari penerima
manfaat agar mencapai kemandirian dan sejahtera; anak dari penerima manfaat yang
rentan putus sekolah; penerima manfaat yang melakukan kekerasan pada anak,
kesulitan ekonomi atau modal usaha dan permasalahan lainnya. Sehingga Tenaga
Kesejahteraan Sosial dipandang perlu memberikan pendampingan sesuai dengan
tahapannya. Berikut ini adalah gambaran tahapan pertolongan kepada penerima
manfaat yang dapat dilakukan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial :

1
Tahapan Pertolongan kepada Perserongan Penerima Manfaat
TKS Pendamping I Pendekatan Awai
ldentifikasi Rencana Pemecahan
: Pemecahan Masalah Monitoring dan Evaluasi
I Permasalahan Masalah

l
Sosial

Membangun . . Menentukan
B
. berapa Pilihan :
Memotivasi penerima
. Melakukan
Wawancara dengan pengawasan
Komunikasi dan penerima manfaat
Fokus Masalah
Tujuan
yang ditangani . manfaat
sepanjang
Menjalin Relasi atau pihak yang
.. Mediasi penerima
kegiatan

..
manfaat

.
berkaitan
Rencana Advokasi . pertolongan
Diskusi bersama
Membangun
Kepercayaandengan
Observasi dan Studi
Dokumentasi
. Penanganan
Waktu
Memberikan rujukan
kepada profesi lain
penerima manfaat

Pihak Pelaksanaan seperti Pekerja Sosial,


Psikolog, Dokter dll

Tahapan Pertolongan kepada Kelompok atau Komunitas Penerima Manfaat

Pendekatan Awai I ldentifikasi Rencana Pemecahan I :I Pemecahan Masalah Monitoring dan Evaluasi
TKS Pendamping Permasalahan
I Masalah I
Sosial

Membangun Komunikasi
dan Menjalin Relasi
FGD, Wawancara,
Observasi dan Studi
Perencanaan
Penanganan Masalah .
Beberapa Pilihan :
Penyuluhan Sosial . Melakukan
Dapat melakukan Dokumentasi Tabel 1 tentang pengawasan
Membangun Kepercayaan
PengembanganJejaring Pengasuhan, sepanjang kegiatan
dengan Pihak

........... ••••...••...••..•........... .......................•... ~··························· . ............. Kesehatan dan •


pertolongan
a Evaluasi
a
I
melalui

Kerja don Kerjasama Methode Participatory of


of
Technology . Ekonomi, . FGD
Evaluasi Tabel 2
lain-lain
Assessment (MPA) Participation (ToP) Pemberdayaan Atau menggunakan
Sosial untuk
Membangun

Pekerja Sosial Participatory Rural Appraisal


LFA
. Penerima Manfaat
(PRA) kasi, dan lain-
.
Seseorong yong memi/iki lotor Terkait
belokang ilmudengan
Pekerjoon Aksesibilitas
Sosial/Kessos don I/mu Sosial Kessos Khusus Kasus Perorangan yang Bersifat Berat maka
tersertifikasi sebagai Peker]a Sosial o
Rujukan ke Peksos agar segera dilakukan Case la
{UU No. 14/2019 Tentang Peksos) Management
Case Management

Gambar 1. Tahapan Proses Pertolongan TKS Pendamping Sosial kepada Penerima


Gambar 1 menunjukkan alur tahapan pertolongan Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam
konteks pertolongan secara perorangan dan secara komunitas. Tidak jarang Tenaga
Kesejahteraan Sosial memperoleh suatu permasalahan yang berkaitan dengan tugas sebagai
Tenaga Kesejahteraan Sosial (Pendamping Sosial) di dalam pertemuan kelompok atau
komunitas dan/atau menemukan permasalahan penerima manfaat secara perserorangan dan
keluarga. Dengan penemuan permasalahan tersebut, Tenaga Kesejahteraan Sosial dituntut
dapat memberikan pendampingan sesuai langkah dengan melakukan beberapa upaya
lainnya seperti mengembangkan jejaring dan kerjasama.
1. Pendekatan awal
Pendekatan awal merupakan upaya Tenaga Kesejahteraan Sosial
(Pendamping Sosial) dalam melakukan pertemuan awal dengan penerima manfaat,
pemangku kepentingan, dan pihak terkait lainnya dengan tujuan mendapatkan
dukungan dan memberikan pelayanan sosial khususnya bagi penerima manfaat.
Dalam hal ini Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat mencari penerima manfaat untuk
diberikan pendampingan terkait permasalahannya atau penerima manfaat mencari
Tenaga Kesejahteraan Sosial untuk memperoleh layanan pendampingan karna
merasa memiliki kebutuhan dan permasalahan.
Tahap pendekatan awal penting dilakukan dalam pelayanan yang diberikan
kepada penerima manfaat dengan tujuan membangun kepercayaan dan
keterbukaan antara Tenaga Kesejahteraan Sosial dan penerima manfaat serta
membangun relasi awal dengan pihak terkait lainnya seperti pihak pemerintah
daerah di tingkat kota, kecamatan sampai dengan kelurahan. Dengan terjalinnya
relasi dan kepercayaan dengan pihak terkait maka diharapkan kegiatan
pendampingan/layanan selanjutnya bisa berjalan dengan baik.
a) Membangun Komunikasi dan Menjalin Relasi
Tenaga Kesejahteraan Sosial membangun komunikasi dengan pihak
terkait seperti pemerintah daerah setempat tingkat kota/kabupaten, kecamatan,
kelurahan dan RW/RT atau tokoh masyarakat lainnya. Pertemuan tersebut dapat

3
dilakukan secara formal dan informal dengan menjelaskan kebijakan dan
pengetahuan suatu program serta menjelaskan maksud dan tujuan layanan yang
diberikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam suatu program.
b) Membangun Kepercayaan dengan berbagai Pihak
Dalam tahap pendekatan awal, Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
melakukan teknik pembauran kegiatan dengan penerima manfaat, wawancara
dan observasi. Proses pelaksanaan kegiatan layanan diupayakan adanya
kepercayaan dari penerima manfaat, melalui keikutsertaan pendamping dalam
suatu kegiatan yang dilaksanakan di wilayah penerima manfaat. Beberapa
contoh kegiatan yang bisa diikuti oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah
kegiatan pertemuan dengan perangkat/petugas di kantor kecamatan/kelurahan,
kerja bakti di wilayah penerima manfaat, visitasi ke rumah penerima manfaat,
dan lain sebagainya.
2. Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan (asesmen) adalah tindakan untuk memahami dan
merumuskan semua masalah serta mengungkapkan dan memperlihatkan informasi
sebab terjadinya masalah dan akibat yang ditimbulkan atas masalah tersebut.
Tujuan dari identifikasi kebutuhan dan permasalahan adalah terumuskan dan
terungkapkannya kebutuhan atau masalah utama yang dihadapi atau dirasakan
penerima manfaat serta terumuskannya hubungannya sebab akibat antara masalah
tersebut. Identifikasi kebutuhan dan permasalahan dilakukan melalui metode
partisipatif.
Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu menentukan teknik identifikasi
kebutuhan dan permasalahan yang dinilai efektif dilakukan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat menentukan apakah permasalahan yang ditangani
bersifat perseorangan atau kelompok/komunitas. Secara umum berikut adalah
teknik-teknik dalam identifikasi kebutuhan dan permasalahan :
a) Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan. Tujuan wawancara adalah untuk
memperoleh informasi tentang gambaran umum penerima manfaat (biodata,
pengalaman dan lain-lain) serta kebutuhan/permasalahan dari penerima
manfaat.
b) Pertemuan kelompok melalui teknik Focus Group Discussion (FGD)
merupakan diskusi terfokus dari suatu kelompok untuk membahas suatu
kebutuhan atau masalah tertentu dari penerima manfaat. Teknik ini dinilai dapat
digunakan jika Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan tahapan pertolongan
kepada penerima manfaat yang bersifat kelompok atau komunitas di suatu
wilayah.
c) Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang diikuti pencatatan secara urut
oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial kepada penerima manfaat.
d) Studi Dokumentasi merupakan teknik yang digunakan untuk memperoleh data
berupa catatan-catatan yang mendukung kegiatan pendampingan. Data-data
tersebut dapat diperoleh dari Kementerian Sosial, Dinas Sosial, dan lembaga
terkait lainnya.
Dalam penerapan teknik identifikasi kebutuhan dan permasalahan, Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat melakukan pertemuan individu atau kelompok
penerima manfaat bahkan pertemuan dengan stakeholder. Tenaga Kesejahteraan
Sosial juga dapat mengembangkan jejaring dan kerjasama dengan profesi lain
salah satunya Pekerja Sosial. Dalam permasalahan perorangan, pekerja sosial
dapat melakukan case management terhadap penerima manfaat; dan bagi
permasalahan pada komunitas maka pekerja sosial dapat melakukan teknik
asesmen melalui Methode Participatory of Assessment (MPA) dan/atau
Participatory Rural Appraisal (PRA).
3. Perencanaan Penanganan Masalah
Tahap perencanaan penanganan masalah yang dilakukan secara partisipatif
merupakan suatu tindakan sistematis untuk memecahkan masalah dan mencapai
tujuan yang diinginkan dengan melibatkan kelompok penerima manfaat. Tujuan
dari perencanaan penanganan masalah adalah mengembangkan rincian kegiatan
dan sistem perencanaan yang partisipatif berdasarkan kebutuhan penerima
manfaat.
Berdasarkan Gambar 1 bahwa tahap pertolongan kepada penerima
manfaat yang bersifat perseorangan maka Tenaga Kesejahteraan Sosial perlu
menentukan beberapa langkah seperti :
(1) Menentukan fokus permasalahan yang akan ditangani berdasarkan hasil
identifikasi permasalahan/asesmen;
(2) Menentukan dan menguraikan tujuan dari penanganan masalah;
(3) Menentukan dan menguraikan rencana penanganan secara komprehensif;
(4) Menentukan potensi dan sumber yang dapat diakses; dan
(5) Menentukan rentan waktu pelaksanaan kegiatan.
Jika Tenaga Kesejahteraan Sosial menentukan perencanaan penanganan
masalah bersama kelompok atau komunitas penerima manfaat, maka Tenaga
Kesejahteraan Sosial melaksanakan sebuah pertemuan kelompok bersama
penerima manfaat dengan menentukan rencana pelaksanaan kerja yang
spesifik dalam jangka waktu tertentu. Tenaga Kesejahteraan Sosial memfasilitasi
pertemuan bersama kelompok atau komunitas penerima manfaat agar rencana
pelaksanaan kerja atau proses pemecahan masalah dapat berjalan dengan baik.
Berikut adalah formulir Perencanaan Pemencahan Masalah :

Tabel 1
Perencanaan Kegiatan Tenaga Kesejahteraan Sosial dengan
Kelompok/Komunitas Penerima Manfaat
Tabel 1 tentang Perencanaan Kegiatan TKS dengan Kelompok/Komunitas
Penerima Manfaat maka Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat menentukan urutan
prioritas permasalahan dari hasil identifikasi masalah/asesmen. Tabel atau formulir
tersebut dapat diisi secara partisipatif bersama kelompok atau komunitas penerima
manfaat tentang intervensi apa saja yang bisa dilakukan untuk merespon
permasalahan yang ada di wilayahnya. Secara partisipatif maka ditentukan
intervensi berupa penyuluhan sosial, pemberdayaan, advokasi atau intervensi
lainnya.
Untuk teknik perencanaan intervensi tertentu seperti Tecnology of
Participation (ToP) dan Logical Framework Analysis (LFA), Tenaga
Kesejahteraan Sosial perlu bekerjasama dan tersupervisi oleh Pekerja Sosial dalam
melakukan perencanaan intervensi. Hal ini merupakan kelanjutan dari proses
identifikasi permasalahan jika diawal penanganan TKS bekerjasama dengan
pekerja sosial. Pola kolaborasi semacam ini cenderung lebih efektif dalam
penanganan permasalahan, seperti dokter dan perawat dalam menangani pasien,
atau polisi dan TNI dalam menjaga keamanan negara. Maka Pekerja Sosial dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat berkolaborasi dalam penanganan permasalahan
penerima manfaat.
4. Pelaksanaan Pemecahan Masalah
Berdasarkan rencanan penanganan masalah yang telah ditentukan bersama
penerima manfaat, maka Tenaga Kesejahteraan Sosial mulai melaksanakan
program kegiatan pemecahan masalah serta penerima manfaat perlu dilibatkan
secara aktif. Pelaksanaan pemecahan masalah membutuhkan pengetahuan/teori,
nilai dan keterampilan yang dimiliki.
Adapun pelaksanaan penanganan permasalahan yang bersifat perseorangan
maka Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat melakukan fungsi supporting, mediasi,
advokasi, fasilitasi, menjangkau aksesibilitas, memberikan rujukan dan lain
sebagainya. Sedangkan teknik pelaksanaan pemecahan masalah pada komunitas
maka dapat dimaksimalkan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial berdasarkan :
A. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat secara umum meliputi perencanaan,
pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program
atau proyek kemasyarakatan. Salah satu contohnya adalah melakukan
penyuluhan sosial dengan tema pendidikan dan pengasuhan anak, upaya
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan, seputar kesehatan/gizi dan lain
sebagainya.
B. Pendampingan Sosial
Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan pendampingan sosial untuk mampu
membantu penerima manfaat dengan mengedepankan partisipasi sosial dan
pemberdayaan masyarakat. Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan fasilitasi,
mediasi, dan advokasi kepada penerima manfaat.
C. Pengembangan Organisasi Lokal
Pengembangan organisasi lokal adalah pendayagunaan dan pengembangan
organisasi yang terdapat di masyarakat agar dapat menyelenggarakan
pengembangan masyarakat atau menjadi pelaksana pengembangan masyarakat
dalam meningkatkan usaha kesejahteraan sosial. (Edi Suharto 2005)
5. Monitoring dan Evaluasi
Secara konseptual monitoring atau dengan kata lain sering disebut dengan
pemantauan adalah kegiatan pemantauan terhadap semua proses kegiatan yang
dilaksanakan. Monitoring dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung.
Sedangkan evaluasi dilakukan untuk melihat perkembangan atau perubahan yang
terjadi di masyarakat dengan sebagai dampak dari kegiatan yang sudah
direncanakan.
Evaluasi dilakukan baik selama proses kegiatan berlangsung maupun pada
akhir bahkan setelah program/kegiatan berakhir. Evaluasi ini dilakukan selain
untuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi juga sejauh mana tujuan
yang sudah ditetapkan tercapai, serta sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Dalam proses pertolongan peserorangan, Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
melakukan diskusi atau wawancara mendalam kepada penerima manfaat untuk
mendiskusikan tentang perkembangan permasalahannya selama ini, sedangkan
proses pertolongan yang bersifat kelompok atau komunitas maka Tenaga
Kesejahteraan Sosial dapat menggunakan strategi diskusi kelompok (FGD) dan
tukar pikiran untuk mencapai kesepakatan. Teknik yang digunakan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial adalah dengan teknik persentasi terlebih dahulu mengenai
tahapan dan proses kegiatan yang telah dilakukan.
Dalam konteks pertolongan pada komunitas, Tenaga Kesejahteraan Sosial
juga menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya evaluasi yakni peserta
melakukan penilaian terhadap item kegiatan yang telah disusun pada awal
pelaksanaan program yang dimulai dari aspek masukan, aspek proses, kegiatan
kemudian aspek keluaran dan diakhiri dengan aspek hasil. Adapun prinsip dalam
proses ini yang digunakan adalah kejujuran, kerjasama dan saling belajar.
Tabel 2
Evaluasi Pelaksanaan Pertolongan TKS bersama Kelompok/ Komunitas
Penerima Manfaat
No Tahapan Aspek Kegiatan Nilai
1 Tahap Awal Sosialisasi kegiatan
Dukungan komunitas
2 Identifikasi Identifikasi masalah/kebutuhan
Masalah/Kebutuhan Penentuan prioritas masalah
3 Perencanaan Intervensi Rencana kegiatan
Tujuan kegiatan
Metode kegiatan
Waktu dan tempat kegiatan
Narasumber/Fasilitator
4 Pelaksanaan Intervensi I
Intervensi II
Intervensi III, dst
5 Evaluasi Evaluasi
Jumlah
Nilai Rata-Rata
Pada tahapan ini, Tenaga Kesejahteraan Sosial melakukan diskusi dari setiap
tahapan dari awal sampai dengan akhir. Hal ini dilakukan secara mufakat dengan
penentuan nilai satu sama dengan kurang, nilai dua sama dengan cukup, nilai tiga
sama dengan baik dan nilai empai sama dengan sangat baik. Keempat kategori
penilaian tersebut didiskusikan oleh peserta kegiatan yang telah hadir.
6. Pengakhiran Penanganan Masalah
Tahap Terminasi merupakan tahap pengakhiran atau pemutusan kegiatan.
Hal ini dilakukan bila tujuan pertolongan telah dicapai atau permintaan sendiri,
karena faktor-faktor tertentu. Tenaga Kesejahteraan Sosial dapat memberikan form
pengakhiran penanganan masalah contohnya seperti formulir pernyataan terminasi
atau formulir pernyataan graduasi yang ditandatangani oleh Tenaga Kesejahteraan
Sosial dan penerima manfaat. Proses pengakhiran masalah harus dilakukan,
mengingat agar penerima manfaat dapat berdaya secara sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah, pendamping sosial dan profesi lainnya.

D. Soal Pilihan Berganda (Multiple Choice)


Bacalah seluruh soal-soal berikut ini secara cermat sebelum mengerjakannya dan
berilah tanda silang (X) pada satu jawaban yang dianggap benar!

1. Salah satu tahapan dalam proses pertolongan untuk mengidetifikasi masalah dan
kebutuhan adalah …
a. Asesmen
b. Intervensi
c. Terminasi
d. Kontrak

2. Dalam penanganan masalah yang di hadapi penerima manfaat (klien), salah satu
prinsip yang harus dipahami Tenaga Kesejahteraan Sosial bahwa manusia itu unik,
prinsip ini disebut …
a. Individualisasi
b. Penerimaan
c. Kerahasiaan
d. Tidak Menghakimi
3. Help people to help them self memiliki makna …
a. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya sendiri
b. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya sendiri dan orang lain
c. Menolong orang agar orang mampu menolong dirinya dan keluarga d.
Menolong orang agar orang mampu menjadi dirinya sendiri

4. Menghubungkan penerima maanfaat dengan lembaga/institusi pemerintah yang


bergerak di bidang kesejahteraan sosial, salah satu peran yang dijalankan Tenaga
Kesejahteraan Sosial tersebut adalah …
a. Mediator b.
Motivator c.
Fasilitator d.
Inisiator

5. Dalam proses pertolongan, Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam proses pemecahan masalah
atau intervensi dapat melakukan menghubungkan penerima manfaat/klien dengan profesi
lain untuk membantu proses pemecahan masalah, hal ini disebut … a. Rujukan
b. Monitoring
c. Advokasi
d. Komunikasi dan relasi

Sumber Bacaan :
Adi Fahrudin. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Dwi Heru Sukoco. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung:
Kopma STKS Bandung.
Edi Suharto. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika
Aditama.
Friedlander, Walter A. 1982. Introductioning Social Welfare 3rd Edition. New Jersey: Prentice-
Hall.
Ellen Netting. F, dkk. Alih Bahasa: Nelson Aritonang, dkk. 2001. Praktek Makro
Pekerjaan Sosial. Bandung: STKS Bandung.
Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institution: Social Problem
Service and Social Isuses. The Dorsey Press: Homewood.
Zastrow, Charles. 2000. Introduction to Social Work and Social Welfare. United States: Brooks
Cole.
Zastrow, Charles. 1999. The Practice of Social Work. Sixth Edition. Pacific Grove: Brooks/Cole
Publishing Company. An International Thomson Publishing Company.
25

DASAR-DASAR PEKERJAAN SOSIAL


(PENGETAHUAN, NILAI, KETRAMPILAN )

Pokok Bahasan
1. Pengetahuan dasar tentang pekerjaan social yakni Definisi Pekerjaan
Sosial, sasaran, tujuan, kerangka referensi, strategi dalam pekerjaan sosial
2. Fokus Utama Pekerjaan Sosial dan Keberfungsian Sosial,
3. Model Intervensi Pekerjaan social Generalis
4. Prinsip-prinsip umum pekerjaan social dan sistem dasar praktik
pekerjaaan Sosial
5. Bidang-Bidang praktik pekerjaan sosial.

A. Kompetensi Dasar
1. Menganalisa dan Memecahkan masalah yang dihadapi oleh penerima
manfaat.
2. Menerapkan nilai-nilai dan prinsip dasar pekerja social dalam
melakukan pelayanan
3. Menghubungkan penerima manfaat dengan sistem sumber layanan yang
dibutuhkan
4. Melakukan pendampingan kepada penerima manfaat sesuai dengan
dasar pekerjaan social

B. Tujuan Pembelajaran
1. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu memahami fokus utama,
tujuan dan sasaran dalam pekerjaan sosial
2. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu memahami kompetensi
dasar dalam pekerjaan sosial
3. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) mampu kerangka dasar dalam
pekerjaan sosial (Knowledge, Skill dan Value)
C. Materi Pembelajaran
1. Definisi Pekerjaan Sosial

Menurut International Federation of Social Workers (IFSW) definisi


pekejaan Sosial adalah :

The social work profession promotes problem solving in human


relationships, social change, empowerment and liberation of people, and the
enhancement of society.

Utilizing theories of human behavior and social systems, social work


intervenes at the points where people interact with their environments.
Principles of human rights and social justice are fundamental to social work

Profesi pekerjaan sosial adalah Profesi yang mempromosikan


pemecahan masalah dalam hubungan manusia, perubahan sosial,
pemberdayaan dan pembebasan orang, dan peningkatan masyarakat.
Memanfaatkan teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerjaan sosial
mengintervensi di mana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-
prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial merupakan hal mendasar dalam
pekerjaan sosial

2. KERANGKA REFERENSI PEKERJAAN SOSIAL

Sebagai suatu aktivitas profesional, Pekerjaan sosial di dasari oleh


tiga komponen dasar yang secara integratif membentuk profil dan pendekatan
pekerjaan sosial. Yaitu : kerangka pengetahuan (Body Of Knowledge),
kerangka keahlian (Body of Skill) dan kerangka nilai (Body of Values).
3. Fokus Utama Pekerjaan Sosial

Fokus Utama Pekerjaan Sosial adalah Meningkatkan Keberfungsian Sosial


(Social Functioning) klien.

a. KEBERFUNGSIAN SOSIAL

Merupakan kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau


masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam
memenuhi/merespon kebutuhan dasar, menjalankan peranan sosial, serta
menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Fokus
keberfungsian social dalam pekerjaan social antara lain sebagai berikut:
1) Kemampuan menghadapi atau memecahkan permasalahan yang
dihadapinya sesuai dengan situasi dan kondisi, serta lingkungannya.
2) Kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan
sosialnya, baik dalam pendidikannya, pekerjaannya, keluarganya,
kelompoknya, masyarakatnya, dan sebagainya secara konstruktif
3) Pelaksanaan tugas-tugas serta peran-peran dalam kehidupannya sesuai
dengan usianya, status, serta tanggung jawab yang disandangnya.
4) Berperilaku secara memadai dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
5) Keberfungsian sosial menunjukkan suatu kondisi pertukaran yang
seimbang, dalam kebaikan, serta adaptasi timbal balik, antara manusia
sebagai individu dengan lingkungannya.
6) Dengan demikian, keberfungsian sosial merupakan hasil sistemik dari
sebuah pertukaran yang saling mengisi antara kebutuhan, sumber daya
yang tersedia, harapan / motivasi dengan kemampuan seseorang untuk
memenuhinya, antara tuntutan, harapan, serta kesempatan dengan
kemampuan lingkungan untuk memenuhinya.
4. Target/Sasaran Pekerja Sosial

5. Tujuan Pekerjaan Sosial

a. Memperkuat kemampuan orang untuk memecahkan ,menghadapi


masalah serta kemampuan pengembangan dirinya
b. Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang dapat menyediakan
sumber-sumber, pelayanan-pelayanan, dan kesempatan-kesempatan atau
peluang dalam penyelesaian masalah klien.
c. Mengembangkan sistem-sistem yang dapat menyediakan sumber dan
pelayanan bagi orang agar pelaksanaannya lebih efektif dan manusiawi.
d. Mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial.
6. Mandat Utama Pekerjaan Sosial

Mandat utama pekerjaan social adalah Memberikan pelayanan sosial


baik kepada individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat yang
membutuhkan sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan
profesional pekerjaan sosial.

7. Metode Intervensi Pekerjaan Sosial :

Metode intevensi Pekerjaan Sosial yaitu sebagai berikut:

a. Case Work (sasarannya individu dan keluarga)

b. Group Work (sasarannya kelompok)

c. Community Work (sasarannya organisasi, masyarakat, dan kebijakan)

8. Strategi Pekerjaan Sosial Dalam Meningkatkan Keberfungsian Sosial:

a. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah yang


dialaminya;
b. Menghubungkan orang dengan sistem dan jaringan sosial yang
memungkinkan mereka menjangkau atau memperoleh berbagai sumber,
pelayanan dan kesempatan;
c. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial sehingga mampu
memberikan pelayanan sosial secara efektif, berkualitas dan
berperikemanusiaan;
d. Merumuskan & mengembangkan perangkat hukum dan peraturan yang
mampu menciptakan situasi yg kondusif bagi tercapainya pemerataan
ekonomi dan keadilan social
9. Model Intervensi Generalis

a. Model Intervensi Generalis didasarkan pada landasan pengetahuan,


ketrampilan, serta nilai yang menggambarkan hakikat keunikan pekerjaan
sosial.
b. Ruang lingkup pemecahan masalah, tidak hanya pada aspek individual,
tetapi juga kelompok, organisasi, masyarakat, bahkan juga kebijakan
( sistem micro, mezzo, dan macro).
c. Sasaran perubahan dipahami atau dianalisis dengan menggunakan
perspektif yang sangat luas.
d. Metode pemecahan masalah yang digunakan bersifat fleksibel.

10. Ciri Pokok Dalam Praktek Generalis

a. Pekerja Sosial selalu bekerja bersama dengan klien/beneficiaries. Klien :


individual, keluarga, kelompok, lingkungan ketetanggaan, organisasi,
masyarakat, dll.
b. Situasi masalah selalu dipandang dalam kerangka konsep “person-in-
environment”.
c. Pekerja Sosial memberikan intervensi pada beberapa tingkatan sistem
yang berbeda, mikro, meso dan makro.

11. Pendekatan Praktik Pekerjaan Social

a. Praktik pertolongan secara langsung (direct services), yaitu meningkatkan


serta memperbaiki kemampuan orang/kelompok sasaran dalam mencapai
keberfungsian sosial,

b. Praktik pertolongan serta secara tidak langsung (indirect services) yang


berupaya untuk mengubah, memperbaiki, serta membangun kondisi sosial
yang berkaitan erat dengan keberfungsian sosial orang/kelompok sasaran.
12. Kompetensi Dasar Pekerja Sosial

a. Mengidentifikasi dan melakukan assessmen kebutuhan/masalah dan


potensi/sumber yang dibutuhkan dalam layanan.

b. Mengembangkan serta mengimplementasikan suatu rencana intervensi


dalam penanganan masalah klien

c. Mengembangkan atau memperbaiki kemampuan orang dalam memenuhi


kebutuhan, memecahkan masalah, serta kemampuan pengembangan diri
klien.

d. Menghubungkan orang dengan sistem yang dapat memberikan sumber


pelayanan, maupun kesempatan.

e. Memberikan proses pertolongan dan intervensi secara efektif

f. Mengembangkan efektifitas pelayanan sosial.

g. Menciptakan, memodifikasi, serta meningkatkan sistem pelayanan sosial


agar lebih responsif terhadap kebutuhan klien.

h. Melakukan evaluasi terhadap ketercapaian tujuan.

i. Melakukan evaluasi atas pengembangan profesionalisme melalui


ketrampilan praktik.

j. Memberikan kontribusi pada peningkatan mutu pelayanan dengan cara


mengembangkan landasan pengetahuan profesionalnya serta menjunjung
tinggi standar atau etika profesi.

13. Pengetahuan Pekerja Sosial Generalis

a. Pengetahuan dasar tentang perilaku manusia, sistem sosial, dan sistem


ekologi.
b. Pengetahuan tentang bidang-bidang masalah sosial, pengaruh dan
dampaknya pada tingkat idividu, keluarga, kelompok, organisasi,
masyarakat dan Negara serta sumber-sumber dan metode yang sesuai untuk
menangani masalah tersebut.
c. Pengetahuan tentang teori dasar dan metode intervensi pekerja sosial, baik
mikro, meso maupun makro.
d. Pengetahuan dasar tentang pelaksanaan penelitian sosial.

14. Keterampilan Umum

a. Membagun relasi dalam proses pelayanan pekerjaan social.

b. Mengidentifikasi disfungsi sosial pada tingkat individu, keluarga,


kelompok , organisasi , masyarakat dan Negara.

c. Melakukan asesmen secara komperhensif dan menyusun perencanaan


intervensi.
d. Mengidentifikasi sumber – sumber yang dibutuhkan dalam penyelesaian
masalah klien

e. Mengaplikasikan metode intervensi yang tepat terhadap klien

f. Membangun hubungan profesional dalam pengembangan program


lembaga.

g. Memprakarsai pengembangan program – program kelompok masyarakat

h. Melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan yang berlaku.

i. Menerapkan teknik – teknik dasar penelitian social.

15. Keterampilan Khusus


a. Melakukan kontak pendahuluan dengan manusia dan lingkungan sosialnya
b. Melakukan asesmen pekerjaan sosial dengan cara mengkaji keterkaitan
antara perilaku manusia dengan lingkungan sosialnya
c. Memilih dan mengaplikasikan konsep teoritis pekerjaan sosial
d. Menerapkan prinsip, nilai dan etika pekerjaan sosial
e. Mengidentifikasi dan menawarkan alternatif pelayanan
f. Menerapkan metode dan teknik pekerjaan sosial
g. Merancang dan melakukan penanganan masalah sosial
h. Melakukan kajian empirik bentuk-bentuk kebijakan kesejahteraan sosial
i. Melaksanakan fungsi-fungsi manajemen organisasi pelayanan sosial
j. Melakukan penelitian pekerjaan sosial untuk penyusunan program
intervensi

16. Sikap
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
c. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila
d. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air
e. Menghargai keanekaragaman budaya, agama, pandangan dan kepercayaan
f. Bekerjasama dan memiliki kepekaan sosial
g. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
h. Menginternalisasi nilai dasar , prinsip umum dan kode etik profesi
pekerjaan sosial
i. Menunjukkan sikap bertanggung jawab didalam praktik pekerjaan sosial
secara mandiri
j. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan

17. Prinsip-prinsip umum pekerjaan sosisal

a. Penerimaan (Acceptance)

b. Individualisasi (Individualization)

c. Pengungkapan perasaan secara bertujuan (Puposeful expression of feeling)

d. Sikap tidak menghakimi (Nonjudgemental attitude)

e. Memiliki sikap Obyektif (Objectivity)

f. Keterlibatan emosional secara terkendali (Controlled emotional


involvement)

g. Hak menentukan nasib dan kehidupannya sendiri (Self determination)

h. Memiliki akses terhadap sumber daya (Access to resources)

i. Kerahasiaan (Confidentiality)

j. Dapat dipertanggungjawabkan (Accountability)


18. Sistem Dasar Praktik Pekerjaan Sosial

a. Sistem Pelaksana Perubahan (Change Agent System)


orang-orang yang karena keahliannya bertanggung jawab terhadap upaya
perubahan yg dilakukan
b. Sistem Klien (Client System)
orang-orang yang menerima manfaat dari upaya perubahan yang dilakukan
c. Sistem Sasaran (The Target System)
orang-orang yang dijadikan sasaran upaya perubahan
d. System Kegiatan (The Action System)
Orang-orang yang dilibatkan oleh peksos dalam upaya perubahan

19. BIDANG PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL

Bidang-bidang praktik dalam pekerjaan social diantaranya yakni


sebagai berikut :

a. Pekerjaan Sosial dengan penyalahgunaan NAPZA

b. Pekerjaan Sosial dengan HIV/AIDS

c. Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia

d. Pekerjaan Sosial dengan Kesejahteraan Anak

e. Pekerjaan Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga

f. Pekerjaan Sosial di lembaga koreksional.

g. Pekerjaan Sosial di rumah sakit

h. Pekerjaan Sosial di industry.

i. Pekerjaan Sosial dengan pendidikan pekerjaan sosial.

j. Pekerjaan Sosial dengan kecacatan.


k. Perencanaan sosial dan lingkungan.

l. Kependudukan dan keluarga berencana.

m. Komunitas adat terpencil.

n. Pekerjaan Sosial dengan kebencanaan.

o. Komunitas adat terpencil.

p. Perumahan tidak layak huni.

q. Pekerjaan Sosial dengan keterbelakangan dan kesehatan mental.

r. Pekerja-pekerja musiman.

s. Pekerja migrant

t. Pelayanan relokasi (penempatan kembali dan migrasi).


Jawab Soal

1. Dalam penanganan masalah yang dihadapi penerima manfaat (klien) fokus


utama pekerjaan sosial adalah….
a. Keberfungsian social
b. Jaminan Sosial
c. Rehabilitasi Sosial
d. Perlindungan Sosial

2. Dalam aktivitas profesional didasari oleh kerangka kompetensi dasar,


dibawah ini yang bukan kerangka professional dalam pekerjaaan social…
a. Kerangka Sikap
b. Kerangka Pengetahuan
c. Kerangka keahlian
d. Kerangka Nilai

3. Salah satu strategi pekerja sosial dalam meningkatkan keberfungsian


sosial…
a. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah
yang dialaminya
b. Menghubungkan orang dengan system dan jaringan sosial yang terbatas
c. Menjalin relasi dengan penerima manfaat dengan tujuan
ketergantungan kepada pekerja sosial
d. Mengambil alih lembaga-lembaga sosial oleh pekerja sosial untuk
memberikan pelayanan efektif

4. Berikut ini yang bukan tujuan pekerjaan sosial …


a. membatasi kemampuan orang untuk memecahkan ,menghadapi
masalah serta kemampuan pengembangan dirinya
b. Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang dapat menyediakan
sumber-sumber, pelayanan-pelayanan, dan kesempatan-kesempatan atau
peluang
c. Mengembangkan sistem-sistem yang dapat menyediakan sumber dan
pelayanan bagi orang agar pelaksanaannya lebih efektif dan manusiawi.
d. Mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial.

5. Salah satu keterampilan umum seorang pekerja sosial …


a. Membangun relasi
b. Menerapkan nilai dan prinsip pekerjaan sosial
c. Mengidentifikasi dan menawarkan pelayanan
d. Merancang dan melakukan intervensi social

6. Pekerja sosial dalam proses pertolongan memiliki tugas dan fungsi, berikut
ini bukan tugas dan fungsi pekerja sosial…
a. Analisis kebijakan politik dan ekonomi
b. Memberi pertolongan dan memecahkan masalah
c. Pemberdaya dan agen perubahan
d. Analisis kebijakan sosial

7. Orang-orang yang menerima manfaat dari upaya perubahan yang dilakukan,


disebut…
a. Sistem Klien
b. Sistem Sasaran
c. Sistem kegiatan
d. Sistem pelaksana perubahan
DUKUNGAN SOSIAL UNTUK KLIEN/PENERIMA
MANFAAT
“Social support is everything” (Jordan Knight)

A. Kompetensi Dasar
1. Menganalisis masalah psikososial klien/penerima manfaat
2. Melakukan tindakan mengatasi masalah psikososial klien/penerima manfaat

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca materi ini, diharapkan peserta dapat:
1. menjelaskan pengertian dukungan sosial secara benar;
2. membedakan jenis-jenis dukungan sosial secara tepat;
3. memanfaatkan dukungan sosial dengan baik;
4. menerapkan prinsip-prinsip dalam memberikan dukungan sosial dengan
benar; dan
5. mengidentifikasi sistem dukungan sosial masyarakat, pemerintah dan dunia
usaha secara benar.

C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian dukungan sosial
Pernahkah Anda melihat nenek dan kakek Anda merasa senang dan
lahap, saat makan bersama dengan anak-anak dan cucunya? Bagaimana
perasaan Anda ketika melihat ekspresi anak penyandang disabilitas tertawa
lepas saat menonton televisi bersama saudara dan orang tuanya? Bagaimana
respon Anda ketika menemukan keluarga penerima manfaat (KPM) yang
mandiri karena mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah lokal?
Pernahkah Anda menemui anak korban pelecehan seksual yang sempat
mengalami trauma karena mendapat empati dari teman-temannya? Pernahkah
Anda mendampingi anak KPM yang putus sekolah, kemudian melanjutkan
pendidikannya melalui Kejar Paket C setelah mendapat penjelasan dari
pendamping PKH? Lansia yang hidup bersama dan mendapatkan dukungan
sosial anak-anak dan cucu-cucunya akan lebih senang dan bahagia. Anak
penyandang disabilitas yang hidup bersama dengan saudara dan orang tuanya
akan lebih ceria. KPM yang mendapat dukungan dari masyarakat sekitar dan
pemerintah setempat akan cepat menjadi keluarga yang mandiri. Anak korban
pelecehan seksual akan lebih mudah lepas dari masalah traumatik jika
mendapat empati dari teman-temannya. Anak KPM yang putus sekolah,
bersedia melanjutkan pendidikan di Kejar Paket C karena mendapat informasi
pentingnya belajar dari pendamping PKH. Lantas, apakah yang dimaksud
dukungan sosial?
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi verbal maupun non verbal,
bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang
dekat dengan subjek (klien/penerima manfaat) di dalam lingkungan sosialnya
dan hal-hal yang bisa memberikan keuntungan emosional maupun berpengaruh
pada tingkah laku penerimanya (Gottlieb dalam Kuntjoro, 2002)

Dukungan sosial keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan


keluarga terhadap individu. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan
(Hanson dalam Achjar, 2010).

Menurut Johnson (1994:472), dukungan sosial merupakan keberadaan orang


lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan
perhatian, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang
bersangkutan.

Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial mengacu pada kenyamanan,


perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok
kepada individu.
Menurut Saroson (dalam Smet, 1994), dukungan sosial adalah adanya
transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada
individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti
bagi individu yang bersangkutan.

Menurut King (2012:226), dukungan Sosial adalah informasi atau umpan balik
dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan,
dihargai, dan dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan
kewajiban yang timbal balik.

Menurut Apollo dan Cahyadi (2012:261), dukungan sosial adalah tindakan


yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan
instrumen, dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya.

Dukungan sosial dapat diartikan sebagai keberadaan orang lain (anggota


keluarga, anak, cucu, saudara, teman, pekerja sosial, pendamping sosial) dan
kelembagaan (kementerian, dinas sosial, pemerintah lokal, perusahaan,
organisasi sosial, dsb) yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan,
semangat, penerimaan serta perhatian, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup individu, keluarga, atau kelompok yang sedang
menghadapi masalah.
2. Jenis-jenis dukungan sosial
Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial yang diterima oleh individu atau
klien/penerima manfaat dapat berupa:

Jenis Dukungan
Sosial

Informasional Penghargaan Instrumental Emosional Kelompok

a. Dukungan informasional
Pernahkah Anda memberi penjelasan tentang prosedur memanfaatkan
BPJS pada lanjut usia yang sedang sakit? Pernahkah Anda menjelaskan
syarat-syarat administrasi pada keluarga agar anaknya mendapat Kartu
Indonesia Pintar? Pernahkah Anda memberi nasihat kepada orang
tua/keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas sensorik agar
anaknya tetap di sekolahkan? Pernahkah Anda memberi penjelasan pada
masyarakat tentang tindakan yang dilakukan pada saat terjadi gempa bumi?
Pernahkah Anda menjelaskan pada anak bermasalah dengan hukum
tentang hak-hak anak pada saat penyidikan dan proses peradilan?
Pernahkah Anda memberitahu lanjut usia cara minum obat anti depresan
yang benar? Pernahkah Anda member saran LKSA yang akan di akreditasi
untuk menyiapkan perlengkapan administrasi, mengondisikan sarana dan
prasarana, dan menyiapkan prosedur layanan asuhan yang akan di
akreditasi? Jika, Anda pernah melakukannya, maka Anda telah memberi
dukungan informasional pada individu, keluarga, lembaga, atau komunitas.
Lantas apa yang dimaksud dengan dukungan informasional?
Dukungan informasional adalah dukungan yang berupa pemberian saran,
sugesti, dan informasi yang dapat digunakan mengungkapkan atau
menyelesaikan masalah. Jenis dukungan informasional meliputi nasehat,
usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Sumber informasi dapat
berupa buku, majalah, harian umum, artikel, siaran radio, dan program
televisi.

b. Dukungan penghargaan
Pernahkan Anda memberikan sanjungan atau pujian pada
klien/penerima manfaat yang melakukan perbuatan positif? Pernahkan
Anda memberikan dukungan pada klien/penerima manfaat Anda yang aktif
pada kegiatan sosial kemasyarakatan dengan cara mengantarkan ke tempat
kegiatannya? Jika pernah, maka kalian telah memberikan dukungan
evaluasional pada kakek/nenek kalian. Keluarga bertindak sebagai pemberi
umpan balik, pembimbing dan penengah pemecahan masalah. Keluarga
juga berperan sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga
yang memiliki masalah (sakit, stress, demensia, trauma, anti sosial, dsb).
diantaranya memberikan suport, penghargaan, dan perhatian. Setiap
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan klien/penerima manfaat
dimusyawarahkan di keluarga.
Dukungan penghargaan dapat menyebabkan individu yang menerima
dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa
bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika individu
mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada
kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental dari keluarga dan masyarakat merupakan
sumber pertolongan yang bersifat praktis dan konkrit bagi individu atau
keluarga yang bermasalah. Dukungan instrumental dapat berupa
pemenuhan kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal,
istirahat, terhindarnya dari kelelahan. Melalui dukungan instrumental,
individu dapat hidup lebih sejahtera. Dukungan instrumental keluarga
dapat memenuhi kebutuhan individu dari aspek biologis, psikologis, sosial,
dan spiritual (biopsikosospi). Kebutuhan biologis seperti menyediakan
makanan dan minuman, pakaian yang bersih, tempat istirahat yang nyaman
dan aman serta perawatan kesehatan. Kebutuhan psikososial seperti rasa
nyaman, kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga. Kebutuhan
sosial seperti kebutuhan bersosialisasi dengan tetangga, teman sebaya,
terlibat dalam kegiatan sosial, dsb. Kebutuhan spiritual merupakan
kebutuhan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan secara langsung
dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu
meringankan tugas orang yang sedang stres.

d. Dukungan emosional
Keluarga merupakan tempat yang aman dan damai bagi anggota
keluarganya yang memiliki masalah. Keluarga, merupakan tempat yang
memberi kemudahan bagi individu untuk mencurahkan segala
perasaannya. Tempat yang dapat membantu individu dalam pemulihan
serta penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional terdiri dari
informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata atau tindakan
yang diberikan melalui keakraban sosial. Dukungan emosional didapatkan
karena kehadiran dan memiliki manfaat emosional bagi individu.
Dukungan emosional mengacu pada kesenangan yang dirasakan,
penghargaan akan kepedulian atau membantu individu dalam penerimaan.
Dukungan emosional adalah dukungan dari ekspresi seperti perhatian,
empati, dan turut prihatin kepada seseorang. Dukungan ini akan
menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tenteram kembali,
merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan
dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta

e. Dukungan kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa
bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-
anggotanya dapat saling berbagi.
Menurut Cohen dan Hoberman, dukungan sosial terbagi menjadi empat
bentuk, yaitu (Isnawati dkk, 2013:3):

Appraisal Support, yaitu adanya bantuan yang berupa nasihat yang


berkaitan dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi
stressor.

Tangiable support, yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau
bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas.

Self esteem support, yaitu dukungan yang diberikan oleh orang lain
terhadap perasaan kompeten atau harga diri individu atau perasaan
seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok dimana para anggotanya
memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-esteem seseorang.

Belonging support, yaitu dukungan yang menunjukkan perasaan diterima


menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa kebersamaan.
3. Fungsi dan manfaat dukungan sosial
Fungsi dukungan sosial bagi klien/penerima manfaat, jika dilihat dari
hubungannya dengan orang lain adalah sebagai berikut :
a. Kelekatan (perasaan kedekatan emosi dan timbulnya rasa aman
klien/penerima manfaat).
b. Integrasi sosial (perasaan menjadi bagian dari keluarga dan komunitas
yang dapat berbagi tentang hal-hal umum dan aktivitas rekreasional bagi
klien/penerima manfaat).
c. Penghargaan (pengakuan terhadap kemampuan dan keterampilan klien).
d. Ikatan yang dapat dipercaya, jaminan bahwa klien/penerima manfaat
dapat mengandalkan anggota keluarga, saudara dan kerabat untuk
mendapatkan bantuan dalam berbagai keadaan/situasi.
e. Bimbingan berisi nasehat dan informasi yang dapat diperoleh dari pekerja
sosial, pendamping sosial, petugas kesehatan, tokoh agama, tokoh
masyarakat atau figur anggota keluarga yang dihormati.
Manfaat dukungan sosial bagi klien/penerima manfaat adalah:
a. mencegah dan mengurangi depresi klien/penerima manfaat,
b. mencegah keterasingan dan sendirian klien/penerima manfaat,
c. meningkatkan kebahagiaan klien/penerima manfaat,
d. menjaga kesehatan fisik dan kesehatan mental klien/penerima manfaat,
e. menghilangkan stress pada klien/penerima manfaat,
f. meningkatkan keterlibatan klien/penerima manfaat pada kegiatan sosial,
g. mencegah penelantaran klien/penerima manfaat, dan
h. mencegah tindak kekerasan pada klien/penerima manfaat.

4. Prinsip-prinsip dukungan sosial


a. Prinsip menangani perasaan klien/penerima manfaat yang tidak menentu;
b. Prinsip mengoptimalkan dukungan sosial;
c. Prinsip berfokus pada keadaan sekarang;
d. Prinsip menurunkan kecemasan melalui sistem dukungan;
e. Prinsip menolong klien/penerima manfaat untuk menghindari situasi krisis;
dan
f. Prinsip menglarifikasi dan menyelesaikan masalah melalui dukungan,
pendidikan dan perubahan.

5. Sistem dukungan sosial


Sistem dukungan sosial dalam rangka menangani masalah kesejahteraan sosial,
meliputi dukungan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Dukungan sosial
masyarakat dapat berupa nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, gotong royong
dan kedermawanan sosial. Dukungan sosial masyarakat dapat juga berupa
kegiatan layanan sosial yang terlembagakan melalui lembaga kesejahteraan
sosial (LKS). Dukungan sosial pemerintah dalam bentuk kebijakan, peraturan,
program, dan anggaran negara. Dukungan sosial dari dunia usaha dalam
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR). Sistem dukungan sosial ini merupakan bagian dari potensi
dan sumber kesejahteraan sosial yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan
masalah sosial.
Pemerintah

Dunia
Masyarakat
Usaha

Sistem
Dukungan
Sosial
C. Soal latihan
Baca pertanyaan berikut ini dengan saksama. Berikan tanda silang (X) pada
pilihan jawaban yang benar.
1. Keberadaan orang lain, seperti anggota keluarga, anak, cucu, kerabat, dan
sahabat yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat,
penerimaan serta perhatian, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup klien/penerima manfaat, disebut:
a. Dukungan sosial
b. Dukungan emosional
c. Dukungan instrumental
d. Dukungan informasional

2. Pendamping PKH memberikan nasihat pada salah satu KPM nya yang akan
digraduasi agar dapat menerima keputusan untuk tidak lagi menerima bantuan
langsung program PKH. Apa yang dilakukan oleh pendamping PKH
termasuk contoh dari:
a. Appraisal Support
b. Tangiable support
c. Self esteem support
d. Belonging support
3. Salah satu pendamping PKH melakukan kegiatan penyuluhan sosial kepada
keluarga penerima manfaat di desa Sukamaju. Materi penyuluhan sosial
meliputi makanan sehat untuk anak, cara mengelola stress pada anak dan
hidup sehat tanpa merokok di keluarga. Kegiatan penyuluhan sosial tersebut,
termasuk wujud dukungan:
a. Emosional
b. Instrumental
c. Informasional
d. Evaluasional
4. Pendamping PKH melakukan kunjungan ke rumah salah satu KPM yang
mulai jarang hadir dalam pertemuan kelompok. Tujuannya agar KPM
semakin memiliki rasa menjadi bagian dari kelompok KPM yang
didampinginya. Apa yang dilakukan oleh pendamping PKH termasuk:
a. Appraisal Support
b. Tangiable support
c. Self esteem support
d. Belonging support

5. Dukungan sosial yang diberikan pendamping PKH kepada KPM yang


mengalami depresi karena kehilangan suaminya (meninggal dunia), agar
tidak mengalami tekanan psikis yang lebih parah, merupakan contoh
prinsip:
a. Prinsip mengoptimalkan dukungan sosial
b. Prinsip berfokus pada keadaan sekarang
c. Prinsip menurunkan kecemasan melalui sistem dukungan
d. Prinsip menolong klien/penerima manfaat untuk menghindari situasi
krisis

6. Pendamping PKH, Fatan (27 tahun) sering mendampingi lanjut usia dari
KPM dampingannya yang aktif mengikuti pengajian, hadir di Posyandu
Lansia, dan mengikuti senam lansia. Untuk mensupport aktifitas lansia,
sering kali Fatan mengantar mengingatkan pentingnya lansia aktif dalam
kegiatan sosial. Apa yang dilakukan Fatan pada lansia dampingannya
merupakan contoh dukungan:
a. Emosional
b. Instrumental
c. Informasional
d. Penghargaan

7. Fungsi dukungan sosial bagi klien/penerima manfaat, jika dilihat dari


hubungannya dengan orang lain adalah sebagai berikut:
a. Bimbingan teknis
b. Ikatan kekeluargaan
c. Ikatan yang dapat dipercaya
d. Kedekatan

8. Dalam rangka menjaga keberlangsungan program pemberdayaan ekonomi


masyarakat dampingan, beberapa pendamping PKH melakukan kerjasama dengan
perusahaan. Pihak perusahaan menyanggupi dan merealisasikan kerjasama dalam
bentuk pemberian bantuan modal usaha mikro pada beberapa KPM. Kegiatan yang
dilakukan oleh pendamping PKH, termasuk kegiatan yang memanfaatkan sistem
dukungan:
a. pemerintah
b. masyarakat
c. dunia usaha melalui CSR
d. dunia usaha melalui CRS

9. Pak Timan (80 tahun) yang telah menduda karena isterinya telah meninggal dunia,
mempunyai 7 orang anak. Enam orang anaknya hidup berdekatan dengan pak Timan
di kota yang sama, anaknya yang nomor 6 tinggal di luar kota. Diantara ke tujuh
anaknya, justru pak Timan merasa nyaman dengan anaknya yang nomor 6, meski
tidak setiap saat dapat dijumpainya. Kondisi yang dialami pak Timan dengan
anaknya yang nomor 6, terjadi karena adanya:
a. Penghargaan
b. Kedekatan
c. Kelekatan
d. Integrasi

10.Kegiatan Bakti Sosial yang diwujudkan dalam bentuk pengobatan dan pemeriksaan kesehatan, pemberian
pakaian layak pakai, pemberian bahan kebutuhan makan sehari-hari dan merenovasi rumah korban bencana
alam. Kegiatan bakti sosial tersebut, termasuk wujud dukungan:
a. Emosional

b. Informasional c. Evaluasional d. Instrumental


2020

KOMUNIKASI DAN RELASI SOSIAL

Setelah membaca dan mempelajari bahan bacaan ini peserta diharapkan mampu menjelaskan, memahami dan
menerapkan komunikasi, relasi sosial dan kerjasama tim secara bersinergi dalam pelaksanaan tugas sebagai
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS).
KOMUNIKASI DAN RELASI SOSIAL

1. Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari dan memahami bahan bacaan ini peserta
diharapkan mampu menjelaskan, memahami dan menerapkan
komunikasi, relasi sosial dan kerjasama tim secara bersinergi dalam
pelaksanaan tugas sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS).

2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini peserta mampu:
a.Menjelaskan tentang komunikasi dalam konteks internal dan
eksternal b.Memahami relasi sosial dalam lingkup tugas sebagai tenaga
kesejahteraan sosial
c.Menerapkan kerjasama dalam tim sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial

3. Pokok Bahasan
a. Komunikasi (internal dan eksternal)
b. Relasi Sosial
c. Kerjasama tim (team work)
LEMBAR BACAAN 1

KOMUNIKASI DAN RELASI SOSIAL

Membangun komunikasi dan relasi sosial merupakan ketrampilan teknis yang


harus dimiliki oleh tenaga kesejahteraan social (TKS) selaku praktisi sosial, khususnya
yang berkiprah di bidang pelayanan kesejahteraan sosial. Sesungguhnya, efektifitas praktik
dalam pelayanan kesejahteraan sosial menuntut kompetensi komunikasi dan relasi dari
TKS sebagai praktisi sosial dalam membangun komunikasi, relasi sosial, maupun
kerjasama dalam tim kerja (teamwork). Dalam konteks yang lebih luas dan menyeluruh,
TKS perlu memahami nilai-nilai kearifan lokal dari berbagai kultur di masyarakat yang
heterogen dan unik, serta memahami pentingnya membangun jejaring komunikasi sosial
secara komprehensif bagi perluasan dan aksesibilitas pelayanan sosial yang dilakukan.

A. Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan proses interaksi yang kompleks antara fikiran, bahasa
dan tindakan. Proses komunikasi memerlukan serangkaian kegiatan timbal balik
antar sumber dan penerima, melalui pengulangan siklus komunikasi yang
diharapkan tujuan komunikasi dapat tercapai. Proses komunikasi secara primer
adalah proses penyampaian fikiran dan perasaan menggunakan lambang (symbol)
berupa bahasa, isyarat, atau gambar yang mampu menerjemahkan pikiran dan
perasaan sumber pada penerima.
2. Komunikasi Yang Efektif
Efektif tidaknya komunikasi yang dibangun secara umum dalam sebuah
proses dapat dipandang dari seberapa besar pencapaian tujuan dari komunikasi itu
sendiri. Adapun tolok ukur keberhasilan komunikasi efektif dapat dilihat dari
beberapa hal:
a. Adanya kepercayaan dari penerima pesan (khalayak sasaran) terhadap
penyampai pesan (dalam hal ini; TKS) serta ketrampilan komunikasi yang
bersangkutan (menyajikan isi dan mengemas pesan sesuai tingkat nalar khalayak
sasaran.
b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan khalayak sasaran.
c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara TKS dengan penerima
manfaat sebagai penerima sekaligus penyampai pesan.
d. Kemampuan khalayak sasaran dalam menafsirkan pesan, kesadaran dan
perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima.
e. Setting komunikasi, baik fisik maupun sosial relatif kondusif (nyaman,
menyenangkan, dan mendukung proses komunikasi yang diharapkan).
f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai)
sesuai dengan jenis indera khalayak sasaran sebagai penerima pesan.
Situasi dan kondisi komunikasi yang akan dibangun agar efektif dapat
disiasati dengan mempertimbangkan tiga langkah awal; (1) menyusun perencanaan
komunikasi, (2) memperhatikan empat unsur penting dalam komunikasi dan (3)
evaluasi obyektif terhadap kredibilitas diri sebagai sumber informasi.
3. Unsur Komunikasi Efektif
Komunikasi yang baik sangat ditentukan empat unsur berikut:
▪ Keahlian komunikasi; keahlian ini sangat menunjang bagi tercapainya
komunikasi efektif dengan berbagai pertimbangan menyangkut strategi dan
perencanaan komunikasi yang akan dibangun, pengemasan pesan dengan jelas,
pemilihan media yang tepat, dan mampu membaca situasi fisik dan sosial yang
mendukung proses komunikasi efektif.
▪ Sikap; didasari sikap-sikap yang sesuai dengan etika dan prinsip komunikasi
yang mendukung proses komunikasi yang efektif.
▪ Tingkat pengetahuan; memperhatikan tingkat pengetahuan khalayak sasaran
agar pesan dapat dikemas sesuai dan difahami penerima pesan. Ketrampilan dan
kemampuan menafsirkan pesan terkait dengan tingkat pengetahuan khalayak
dalam menginterpretasi maksud dan isi pesan yang disampaikan.
▪ Sistem sosial budaya; latar belakang sosial budaya akan memberi pengaruh kuat
terhadap gaya dan cara berkomunikasi seseorang. Oleh karena itu, pertimbangan
sosial budaya pelaku komunikasi perlu difahami benar. Proses penyuluhan perlu
disesuaikan dengan kerangka nilai, kebiasaan dan budaya khalayak sasaran,
terutama dalam hal penggunaan bahasa, dialek, dan gaya bicara sesuai bentukan
sistem sosial budaya khalayak sasaran.
4. Karakteristik Komunikasi dalam Pekerjaan Sosial
Komunikasi merupakan sarana dan juga proses untuk berbagi informasi dan
pengetahuan. Komunikasi memiliki ciri diantaranya:
a. Terjadi bila; (1) ada dua pihak yang memiliki kepentingan bersama untuk saling
berbagi informasi dan pengetahuan. (2) dapat terjadi di mana saja dan kapan
saja. Komunikasi dapat berlangsung sepanjang hari, pagi, siang maupun malam.
(3) apa saja yang ingin dikomunikasikan dapat berbentuk verbal dan nonverbal.
Yang verbal dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis, sedangkan yang
nonverbal dapat dilakukan dengan isyarat, perilaku, gerak-gerik badan (kinesik).
(4) pesan yang dikomunikasikan dan makna sebenarnya akan diterima secara
utuh, apabila kesan verbal dan nonverbal diintegrasikan oleh pihak-pihak yang
berkomunikasi. (5) komunikasi tidak dibatasi oleh waktu dan jarak, asal
disampaikan dalam “bahasa” yang dipahami kedua belah pihak.
b. Keterampilan berkomunikasi penting artinya bagi praktisi Pekerjaan Sosial
karena (1) komunikasi adalah sebuah proses berbagi informasi baru yang
berdaya untuk mengubah perilaku. (2) mereka diharapkan dapat menjadi
pendengar yang baik atau responsif, saat berkomunikasi dengan kliennya. (3)
Perlman; mengemukakan perlunya kita memahami social intelligence klien,
yang mencakup (a) kedalaman pemahaman klien terhadap masalah; (b)
kemampuan berkomunikasi dengan pihak lain maupun pada diri sendiri; (c)
kemampuan memberikan perhatian pada masalah yang dihadapi. (d) kemampuan
merangkum informasi secara sistematik dan tajam analisisnya.
5. Komunikasi Persuasif dalam Pekerjaan Sosial
Tujuan memilih metode komunikasi ialah untuk memperoleh efek, sesuai
dengan yang diinginkan secara sadar dan lestari. Untuk mencapai tujuan dari efek
tersebut, metode persuasif menjadi pilihan yang tepat. Metode ini selalu ditunjukan
kepada upaya yang sifatnya mendorong komunikan agar dapat merubah sikap,
pendapat atau bahkan perilakunya dengan sadar atau atas dasar kesadarannya.
Metode komunikasi persuasif ini sejalan dengan paradigma komunikasi menurut
Lasswell, yaitu; “Who says what in which channel to Whom with What Effect?”
(“Siapa mengatakan apa, dengan saluran apa kepada siapa dan dengan efek apa?”).
Penerapan Komunikasi persuasif senantiasa menggunakan model pendekatan
A-A procedure atau “from Attention to Action Procedure”; yaitu proses
pentahapan persuasi yang dimulai dengan upaya membangkitkan perhatian untuk
kemudian berupaya menggerakkannya untuk melakukan suatu kegiatan yang
diharapkan. Prosedur A-A ini selanjutnya dioperasionalkan dalam proses
pentahapan yang dikenal sebagai AIDDA, yaitu singkatan dari Attention
(Perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan) dan Action
(Tindakan). Dalam proses pentahapan ini, komunikasi persuasif diawali dengan
upaya membangkitkan perhatian terlebih dahulu. Ini tidak hanya dilakukan atas
dasar gaya dan ketrampilan dalam menyatakan pesan saja, tetapi juga harus
didukung oleh penampilan yang meyakinkan, simpatik dan kredibel. Manakala
perhatian telah tumbuh, selanjutnya kita berupaya mengembangkan minat, agar
timbul hasrat untuk mengikuti pesan yang dikomunikasikan. Dengan hasrat yang
telah tertanam kiranya dapat menguatkan untuk mengambil keputusan melakukan
tindakan/kegiatan.
Beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan komunikasi:
a. Adanya kepercayaan dari orang lain (sasaran komunikasi) terhadap dirinya
sebagai penyampai pesan, serta ketrampilan komunikasi yang bersangkutan
(menyajikan isi dan mengemas pesan komunikasi sesuai tingkat nalar orang
yang diajak berkomunikasi sebagai sasaran komunikasi.
b. Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan kebutuhan
klien.
c. Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara sumber dan penerima
pesan.
d. Kemampuan orang lain (sasaran komunikasi) dalam menafsirkan pesan,
kesadaran dan perhatiannya terhadap kebutuhan terhadap pesan yang diterima.
e. Setting komunikasi, baik fisik dan sosial relatif kondusif (nyaman dan
menyenangkan dalam proses komunikasi yang diharapkan).
f. Sistem saluran penyampai pesan (metode dan media yang dipakai) sesuai
dengan karakteristik orang lain (sasaran komunikasi) sebagai penerima pesan.
6. Hambatan dalam Komunikasi Persuasif
Dalam upaya membangun komunikasi persuasif perlu memperhatikan
berbagai masalah dan hambatan yang mungkin dijumpai berkaitan dengan beberapa
faktor berikut:
▪ Perbedaan status (Hambatan Sosiologis)
Komunikasi sering tidak tercapai, bila orang yang terlibat memiliki perbedaan
status sosial yang mencolok.
▪ Perbedaan Bahasa dan Budaya (Hambatan Antropologis)
Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses transformasi nilai sosial
budaya diantara orang yang terlibat. Komunikasi dapat berjalan lancar, bila
dilakukan oleh mereka yang berlatar budaya sama, dimana penggunaan bahasa
dan lambang yang sama akan mudah dipahami diantara mereka.
▪ Hambatan Psikologis
Prasangka; menjadi pembatas dalam berkomunikasi secara terbuka, jujur,
harmonis dan saling menghormati. Prasangka dalam komunikasi sosial biasanya
karena stereotyping;
Kepentingan pribadi (hidden agendas); komunikasi tidak berlangsung alamiah
dengan aliran pesan saling pengertian, bila satu pihak memiliki kepentingan
yang tidak mewakili kepentingan bersama.
Apriori terhadap perubahan; komunikasi akan terhambat, bila khalayak apriori
terhadap setiap gagasan perubahan yang dirancang sebagai tujuan komunikasi
persuasif. Komunikasi ini harus dibangun atas dasar keterbukaan dan saling
menghargai setiap gagasan inovatif diantara orang yang berkomunikasi.
Pengalaman; Kepribadian dan perilaku umumnya dibentuk oleh pengalaman,
baik yang dialami secara sadar maupun tak disadari. Mereka yang melalui
pengalaman yang berbeda akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan
komunikasi.
▪ Hambatan Semantik
Ketidakpahaman terhadap penguasaan perbendaharaan kata dan tata bahasa
dapat menimbulkan miskomunikasi dan mispersepsi diantara orang yang
berkomunikasi. Tujuan komunikasi pun akan mengalami kegagalan karena
adanya kesalahan pemahaman tentang pesan yang disampaikan.
▪ Hambatan Ekologis
Hambatan ini terjadi karena gangguan lingkungan terhadap proses
berlangsungnya komunikasi. Hindarkan situasi dan kondisi lingkungan yang
bising, tidak nyaman dan mengganggu saat membangun proses komunikasi.

B. Komunikasi (Internal dan Eksternal)


1. Komunikasi internal
Komunikasi internal merupakan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan
organisasi dan atau lembaga. Pada lingkup organisasional tugas pelayanan sosial
TKS, komunikasi internal ini bisa terjadi antara TKS dengan koleganya, TKS
dengan koordinator di atasnya, dan atau pada level organisasional yang lebih besar
seperti dengan pihak lembaga swasta maupun pemerintahan, baik di daerah maupun
di pusat. Komunikasi ini terjadi karena terdapat sebuah struktur dalam organisasi.
Tujuannya untuk meningkatkan kinerja SDM dalam organisasi. Biasanya terjadi
proses pertukaran informasi diantara batang-batang struktur organisasi. Kualitas
komunikasi ditentukan dari frekuensi dan intensitasnya. Akan selalu ada konflik
dan atau hal yang dianggap tidak sesuai dalam sebuah organisasi.
Menurut Brennan (dalam Effendy 2009:122) “komunikasi internal adalah
pertukaran gagasan diantara para administrator dan petugas dalam suatu organisasi
atau instansi yang menyebabkan terwujudnya organisasi tersebut lengkap dengan
strukuturnya yang khas dan pertukaran gagasan secara horizontal maupun vertikal
dalam suatu organisasi yang menyebabkan pekerjaan berlangsung.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui, bahwa komunikasi internal
merupakan penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi
akan berhasil dengan baik apabila timbul saling pengertian. Komunikasi yang baik
dimaksudkan jalinan pengertian antara pihak yang satu ke pihak yang lain, sehingga
apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan dilaksanakan. Tanpa
adanya komunikasi yang baik, pekerjaan dapat menjadi simpang siur dan tumpang
tindih. Pada akhirnya, tujuan organisasi kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Dengan komunikasi, maka seseorang akan menerima berita dan informasi sesuai
dengan apa yang ada dalam pikiran atau perasaan orang lain, sehingga dapat
dimengerti.
Menurut Effendy (2009:122) “komunikasi internal ditunjang oleh dua
komunikasi, yaitu komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal”. Secara
sederhana dapat dipahami sebagai berikut:
a. Komunikasi Vertikal
Komunikasi vertikal yakni komunikasi dari atas ke bawah (downward
communication) dan dari bawah ke atas (upward communication), adalah
komunikasi hierarki secara timbal balik (two-way traffic communication, baik
yang bersifat instruksional, petunjuk, informasi ataupun sebaliknya berupa
laporan, aduan atau saran.
Komunikasi yang dibangun disesuaikan dengan keinginan mereka (perilaku
komunikasi yang diantisipasi), misalnya menanyakan pertanyaan yang relevan,
mendiskusikan maksud sesorang secara terbuka, jujur, merupakan perilaku
komunikatif yang diharapkan dalam komunikasi vertikal, dari dirinya sendiri
atau dari orang lain.
b. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari
TKS kepada koleganya, koordinator kepada koordinator. Pesan dalam
komunikasi ini bisa mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau
mengalir antar bagian. Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran
pengetahuan, pengalaman, metode, dan masalah. Hal ini membantu organisasi
untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan masalah yang lainnya,
serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja.
2. Komunikasi Eksternal
Komunikasi eksternal adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan
khalayak di luar organisasi. Komunikasi eksternal terdiri atas dua jalur secara
timbal balik, yakni komunikasi dari organisasi kepada khalayak (penerima manfaat)
dan dari khalayak (penerima manfaat) kepada organisasi.
a. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak
Komunikasi dari organisasi kepada khalayak pada umumnya bersifat informatif,
yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki
keterlibatan, setidak-tidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui
berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel di media cetak
maupun media elektronik; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster;
banner, konferensi pers.
b. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi
Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai
efek dari kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. Jika informasi
yang disebarkan kepada khalayak itu menimbulkan efek yang sifatnya
kontroversial, maka ini disebut opini publik.
LEMBAR BACAAN 2

RELASI SOSIAL

A. Pengertian Relasi Sosial


Relasi Sosial berbeda dari relasi personal dalam arti bahwa tujuan pekerjaan
sosial pada akhirnya mendefinisikan tujuan relasi. Jadi tujuan dasar pekerjaan sosial -
“untuk mempromosikan atau memulihkan suatu interaksi yang saling menguntungkan
antara individu dan masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupan bagi setiap
orang” (NASW Working Statement, 1981, dalam DuBois & Miley, 2006: 201).
Terkadang relasi muncul dari keprihatinan, kepedulian, dan penghormatan terhadap
orang lain melalui kata-kata, tindakan-tindakan, dan suatu kemauan untuk
mendengarkan. Suatu relasi “tidak dapat ditukangi. Ia bermula pada saat dua orang
berjumpa. Ia bertumbuh ketika kedua orang itu bekerjasama, tetapi ia tidak dapat
dipaksa atau diburu-buru” (Keith-Lucas, 1972: 48, dalam DuBois & Miley, 2006:
201). Relasi yang dibangun terdiri dari dua sisi yaitu sebagai usaha penerima manfaat
dan hasil praktisi (TKS).
Melalui dialog, penerima manfaat dan TKS membentuk relasi kemitraan
mereka, mengalamatkan perbedaan-perbedaan kekuasaan, dan mengembangkan ritme
pelayanan sosial yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam proses penemuan,
mereka mengkontekstualisasikan masalah-masalah pribadi untuk mencakup dimensi-
dimensi sosiopolitik yang relevan dan memperluas arena potensi solusi-solusi di luar
penyesuaian pribadi untuk mencakup perubahan level makro.
Penerima manfaat yang dicap “tidak termotivasi” atau “sulit dijangkau” dapat
bertindak secara berbeda dan menolak usaha TKS sebagai praktisi sosial untuk
bekerjasama dengannya. TKS harus menggunakan relasi pertolongan untuk
meningkatkan motivasi dan harapan penerima manfaat. Tanpa memandang keadaan
atau lingkungan yang menyebabkan mereka (Penerima manfaat dan TKS)
bekerjasama. Pertolongan sosial yang berbasis pemberdayaan berusaha untuk
mengembangkan relasi kerja yang produktif yang mencerminkan kemitraan dengan
sistem klien, sejak dari awal kerjasama. Relasi sosial yang positif adalah landasan bagi
proses pemberian bantuan. Adalah tanggung jawab praktisi sosial untuk memulai dan
mempertahankan interaksi yang saling menghormati dengan penerima manfaat yang
mencerminkan kehangatan, ketulusan dan kepekaan budaya.

B. Keterampilan Interpersonal Dalam Membangun Relasi Sosial


Ada beberapa keterampilan interpersonal yang diharapkan dimiliki TKS
sebagai pendamping sosial dalam membangun budaya kerja dan kinerja dalam tugas-
tugas pendampingan sosialnya mencakup:
a. Kemampuan Personal
• Sehat secara psikologis
• Nyaman untuk membicarakan masalah-masalah yang umum dan luas
• Memiliki kesadaran diri
• Memiliki kemampuan dalam menetapkan batasan, antara area pribadi maupun
profesional
• Memiliki pengetahuan dan kompetensi terkait kompleksitas permasalahan sosial
b. Ketulusan
• Memiliki minat yang kuat untuk membantu orang lain
• Memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain tanpa pura-pura
• Memiliki keinginan yang tulus untuk memahami orang lain
• Memiliki kejujuran dalam menjalin hubungan atau bekerja dengan orang lain
c. Kesiapan/kesegeraan
• Menghadiri sesi dan berbagi mengenai apa yang terjadi, dalam konteks
hubungan profesional
• Fokus pada masalah yang dihadapi
• Memperhatikan masalah yang penting bagi orang yang dilayani
• Luwes dan pandai dalam mengalihkan topik bila diperlukan
d. Hangat dan Empatik
• Keramahan yang tulus
• Memperlihatkan sifat kemanusiaan
• Menerima siapapun apa adanya
• Menunjukkan pengertian
Empatik merupakan sebuah proses aktif perasaan anda terhadap orang lain, yang
menempatkan anda pada posisi orang tersebut, sehingga dapat merasakan dan
memahami perasaan orang tersebut (meskipun tidak sama persis)
e. Saling Menghargai dan Menghormati
• Menghargai adalah sebuah bentuk perilaku dari menghormati
• Menghormati adalah sebuah perilaku; yang harus ditunjukkan
• Sikap menghargai ini mencakup tidak menghakimi, berpikiran terbuka, dan
objektif
• Sikap menghormati berarti menunjukkan sikap peka terhadap sesama dan dapat
dipercaya
• Yakin dan percaya bahwa seseorang dapat dan mampu memecahkan masalah
mereka sendiri

C. Komunikasi Non Verbal Dalam Membangun Relasi Sosial


Ekspresi wajah, kontak mata, gestur, sikap tubuh, dan posisi dapat
“mengkomunikasikan” pesan sama seperti komunikasi verbal (bahkan melebihi),
sebagian besar tidak disadari dan dipelajari saat masa kanak-kanak dari keluarga dan
budaya. TKS harus; memperhatikan tanda-tanda non verbal dari penerima manfaat dan
mawas diri.
Berikut ini adalah contoh komunikasi non verbal berdasarkan budaya, yaitu:
• Kontak mata: Pertanda “ketertarikan dan menghormati” atau mengganggu,
mendominasi, dan tidak sopan?
• Gerak tubuh: Ekspresif sesuai norma atau bahkan mengintimidasi?
• Posisi kedekatan dan sentuhan
• Beberapa komunikasi non-verbal yang berlaku secara umum di berbagai budaya,
seperti:
✓ Respon terhadap kecemasan
✓ Tanda kemarahan
✓ Tanda ketertarikan
• Sentuhan (haptic)
Untuk sebagian orang, sentuhan ringan pada tangan atau pundak akan membuat
mereka merasa lebih nyaman dan dipedulikan.
LEMBAR BACAAN 3

KERJASAMA TIM

A. Pengertian Kerjasama
Pengertian kerja sama adalah sebuah sistem pekerjaan yang dikerjakan oleh
dua orang atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang direncanakan bersama. Kerja
sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan
kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong
yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam
kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi kesadaran tanggung jawab
tiap anggota dan atau kolega dalam sebuah tim kerja.
Sebagaimana yang dinyatakan Tracy (2006) bahwa, kerjasama dapat
meningkatkan komunikasi dalam kerja tim di dalam dan di antara bagian-bagian
organisasi/lembaga. Kerja sama mengumpulkan bakat, berbagi tugas dan tanggung
jawab untuk mencapai tujuan bersama. Menurut West (2002), kerja sama dilakukan
oleh sebuah tim lebih efektif daripada kerja secara individual telah banyak riset
membuktikan, bahwa kerja sama secara tim (kelompok) mengarah pada efisiensi dan
efektivitas yang lebih baik, sangat berbeda halnya dengan kerja yang dilaksanakan
hanya secara perorangan. 1
Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan
atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama (Soekanto, 1990).
Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil
(Baron & Byane, 2000). Kerjasama adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara
kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara
optimal (Sunarto, 2000).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama adalah
suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah
pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih
baik. Jika tujuan yang ingin di capai berbeda, maka kerjasama tidak akan tercapai.
B. Cara Membentuk Kerjasama Tim
Pentingnya kerjasama tim dalam organisasi adalah untuk mencapai tujuan
dengan hasil yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan bersama.
Seorang pemimpin tim mendapatkan banyak manfaat dari anggota lain dari tim,
mempengaruhi, membimbing, memberi inspirasi, dimana semuanya dapat
mempengaruhi motivasi para anggota tim dalam menggunakan cara-cara positif. Jika
pemimpin tidak dapat membangun kerjasama tim yang baik, otomatis akan
menghambat untuk mencapai tujuan atau bahkan menghasilkan hasil kinerja yang
tidak sesuai apa yang diinginkan. Pemimpin tim yang efektif tidak hanya bicara saja
tetapi mereka juga menunjukkan, membenarkan, mendorong, dan mendesak setiap
langkah. 2
Kerjasama tim yang baik akan berhasil diwujudkan dengan melakukan
beberapa cara berikut:
1. Membangun kepercayaan dan saling menghormati
Tim yang terdiri dari beberapa orang sudah pasti mempunyai pendapat masing-
masing yang berbeda, sebagai tim harus bisa saling menghormati pendapat masing-
masing serta pemikiran yang lainnya. Dengan saling percaya dan saling
menghormati yang kuat akan mempermudah bekerja sama.
2. Sebagai pemimpin harus dapat memfasilitasi komunikasi di antara anggota tim
Dengan dilakukannya komunikasi yang terbuka dan jujur akan membangun
komunikasi yang baik pula antara anggota tim bahkan dengan komunikasi yang
terbuka dan jujur kepada pemimpin juga akan meminimalisir kesalahpahaman yang
akan terjadi. Setiap orang yang ada dalam anggota tim berhak untuk
mengekspresikan dirinya dalam arti bebas untuk memberi opini atau solusi untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh tim.
3. Menanamkan sikap saling memiliki (Sense of belonging)
Sikap saling memiliki akan muncul dan akan semakin mendalam ketika sebuah tim
sering menghabiskan waktu bersama untuk mengembangkan norma. Dan sebaiknya
seorang pemimpin tim harus mengikut sertakan anggota tim nya dalam proses
pengambilan keputusan sebagai realisasi dari kerja sama tim bersama.
4. Pengkajian performa tim dan umpan balik
Pengkajian performa harus dilakukan ulang setelah selesai kerjasama tim untuk
melihat apakah sudah sesuai ekspetasi dan apakah sudah sesuai dengan tujuan tim.
Sebagai pemimpin juga sangat perlu untuk memberikan umpan balik kepada
anggota tim nya berupa diberikannya reward (hadiah) dan intensif seperlunya untuk
meningkatkan motivasi para anggota tim agar kinerja nya semakin baik dan
meningkat dimasa yang akan datang dan sebagai bukti penghargaan atas kerja sama
yang telah dilakukannya. Sehingga anggota tim tidak melakukan kecurangan
karena tidak diberikan penghargaan sama sekali, hal tersebut akan menurunkan
motivasi anggota tim. Oleh karena itu, perlu dibuat sistem yang efektif dan efesien
untuk mencegah dan meningkatkan kinerja tim. Budaya yang baik sangat
berpengaruhi untuk perkembangan karakter tim dan keberhasilan kerjasama tim
dalam sebuah pelayanan dan pendampingan. Dapat disimpulkan bahwa suksesnya
sebuah organisasi dalam mencapai tujuan adalah tergantung dengan kerjasama tim
yang ada dalam organisasi tersebut. Bagaimana TKS membangun tim menjadi tim
yang solid untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan sesuai ekspektasi dan visi
misi organisasinya.
REFERENSI

Achlis. 1992. Komunikasi Pekerjaan Sosial. Bandung: An Naba STKS & Socialia Jakarta;

Dubois, Brenda and Miley, Karla Krogsrud. 2006. Social Work An Empowering
Profession. Boston: Allyn and Bacon.

DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Edisi Kelima.
Terjemahan Ir. Agus Maulana, MSM. Jakarta: Professional Books; Effendi,

Onong U. 1992. Spektrum Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju;

. 1992. Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya;

Hepworth, Dean H and Larsen, Jo Ann. 1993. Direct Social Work Practice: Theory and
Skill. Pacific Grove, California: Brooks/Cole Publishing Co.

Modul Pelatihan Dasar Pekerjaan Sosial. 2016. Jakarta: Pusdiklat Kesejahteraan Sosial.

Moriotti, John L,. 1966. The Power of Partnerships. Massachussets. USA: Blackwell
Publishers.

Mulyana D. & Rakhmat, J. 1996. Komunikasi Antar Budaya : Panduan Berkomunikasi


Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Ed. Ke-2. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Roberts, Albert R., and Greene., Gilbert J. (2008). Social Worker’ Desk Reference
Diterjemahkan oleh Juda Damanik, MSW dan Cynthia Pattiasina, MSW, MPIA
menjadi Buku Pintar Pekerja Sosial. Jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Satriawan. 2003. Profesionalitas Pekerja Sosial dalam Tinjauan Komunikasi Kemanusiaan


(Karya tulis di lingkungan intern Perpustakaan BBPPKS Bandung);

REFERENSI ELEKTRONIK

Sumber:
https://www.kompasiana.com/taniaprtw/5b5709386ddcae0cac448b12/cara- membangun-
kerjasama-tim-dalam-organisasi?page=all diakses hari Jumat, tanggal 31
Januari 2020, jam 15.58

Sumber: http://lenterainsan.com/pentingnya-kerjasama-tim-detail-56555 diakses hari


Jumat, tanggal 31 Januari 2020, jam 16.05
SOAL LATIHAN

1. Langkah awal membangun situasi dan kondisi komunikasi agar efektif, diantaranya
dilakukan dengan:
A. Apriori B. Evaluasi C. Stereotyping D. Mengabaikan
terhadap obyektif atas pesan non verbal
gagasan kredibilitas diri
sebagai sumber
informasi

2. Tolok ukur keberhasilan komunikasi efektif dapat dilihat bila:


A. Adanya B. Pengalaman C. Setting D. Jawaban A, B, dan
kepercayaan yang sama komunikasi fisik C benar
dan daya tarik/ tentang isi pesan dan sosial relatif
kesesuaian dan kemampuan kondusif, serta
pesan dengan menafsirkan sistem saluran
penerima pesan antar orang pesan, sesuai
pesan. yang indera penerima
berkomunikasi. pesan.

3. Komunikasi yang terjadi memiliki ciri berikut ini, kecuali:


A. Ada dua pihak B. Apa saja yang C. Komunikasi D. Pesan yang
yang memiliki ingin dibatasi oleh dikomunikasikan
kepentingan dikomunikasikan waktu dan jarak. dan makna
bersama untuk dapat berbentuk sebenarnya
saling berbagi verbal dan diterima secara
informasi dan nonverbal. utuh.
pengetahuan.

4. Komunikasi non verbal berdasarkan budaya meliputi:


A. Kontak mata, B. Kontak mata, C. Kontak mata, D. Kontak mata,
gerak tubuh, gerak tubuh, gerak tubuh, gerak tubuh, jarak
jarak fisik, dan jarak fisik, dan zona jarak, dan fisik, dan kerlingan
lambaian anggukan sentuhan mata

5. Pertukaran gagasan diantara administrator dan petugas dalam suatu organisasi atau
lembaga yang menyebabkan terwujudnya organisasi, lengkap dengan strukuturnya yang
khas, disebut:
A. Komunikasi B. Komunikasi C. Komunikasi D. Komunikasi
internal eksternal formal transaksional

6. Pilih pernyataan dalam konteks relasi TKS yang menurut anda tidak tepat:
A. TKS harus B. Pertolongan C. Relasi sosial D. Relasional adalah
menerapkan sosial berbasis yang positif tanggung jawab
relasi pemberdayaan adalah landasan TKS untuk
pertolongan berusaha bagi proses memulai dan
untuk mengembangkan pemberian mempertahankan
harapan dengan sistem dengan penerima
penerima klien, sejak awal manfaat
manfaat. kerjasama.

7. Keterampilan interpersonal yang sebaiknya dimiliki TKS sebagai pendamping sosial


dalam membangun relasi sosial diantaranya:
A. Sehat secara B. memiliki C. memiliki D. Keramahan yang
psikologis, kesadaran diri, keinginan tulus tulus,
nyaman untuk kemampuan untuk memahami memperlihatkan
membicarakan menetapkan orang lain, jujur, sifat humanis,
masalah yang batasan, minat fokus pada menerima
umum dan luas, yang kuat berbagai masalah siapapun dengan
saling membantu orang yang ada, luwes syarat dan
menghargai lain, kemampuan dan pandai ketentuan, dan
dan menjalin mengalihkan mampu
menghormati, hubungan topik, dan berempati
serta mampu kepura-puraan, mampu
berempati. dan mampu berempati.
berempati.

8. Mana pernyataan berikut ini yang menurut anda paling tepat:


A. Kerjasama B. Kerjasama C. Kerjasama dapat D. Kerjasama dapat
adalah adanya sebagai usaha meningkatkan meningkatkan
keterlibatan bersama antara komunikasi komunikasi
secara pribadi orang/kelompok intrapersonal interpersonal
demi mencapai untuk mencapai dalam kerja tim dalam kerja tim
penyelesaian tujuan bersama diantara bagian secara organisasi
masalah organisasi

9. Mana pernyataan berikut ini yang menurut anda belum tepat:


A. Seorang B. Pengaruh, C. Jika pemimpin D. Pemimpin yang
pemimpin tim bimbingan, dan tidak dapat efektif cukup
mendapatkan inspirasi, dapat membangun menyampaikan
banyak manfaat mempengaruhi kerjasama tim informasi lisan
dari anggota motivasi akan dengan berbicara
lain dari tim anggota tim menghambat dengan anggota
secara positif capaian tujuan tim

10. Untuk mewujudkan kerjasama tim yang baik, maka perlu dihindari:
A. Membangun B. Memfasilitasi C. Menanamkan D. Mengutamakan
kepercayaan komunikasi sikap saling tujuan dengan
dan saling antar anggota memiliki mengabaikan
menghormati umpan balik
BAHAN TAYANG POWERPOINT (PPT)
KOORDINASI DAN JEJARING KERJA

A. Kompetensi Umum:

Melakukan koordinasi dengan tim kerja dan mengembangkan jejaring kerja.

B. Tujuan
1. Mampu memahami konsep koordinasi dan jejaring kerja.
2. Mampu memahami manfaat koordinasi dan pengembangan jejaring kerja
dalam distribusi sumber daya secara seimbang.
3. Mampu memahami dan menganalisis serta menjelaskan jenis dan tipe
koordinasi dan jejaring kerja.

C. Materi

Fragmentasi atau keterpecahan pelayanan merupakan suatu persoalan besar yang


sering dihadapi oleh system pelayanan, atau program pelayanan social. Suatu program
pelayanan yang kompleks, terbagi menjadi berbagai kategori pelayanan yang saling
mengisi satu sama lain, dengan demikian, suatu upaya untuk menyelaraskan berbagai
kategori pelayanan menjadi satu tujuan yang sama menjadi tuntutan yang sangat penting.
Sebagai akibatnya, lembaga pelayanan, system pelayanan, atau suatu kegiatan pelayanan
didorong untuk mengkoordinasikan masing-masing kategori kegiatannya, sehingga
keterpaduan kegiatan akan menjadi suatu sarana untuk mencapai kesederhanaan
aksesibiltas dalam menjangkau system pelayanan, mengurangi duplikasi kerja yang tidak
perlu, serta akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem pelayanan social.
Sebagai tambahan, semakin efisien dan efektif suatu system pelayanan, maka akan
membawa akibat pada semakin berkembangnya peringkat hasil dari perilaku klien.

Koordinasi merupakan suatu proses kerja yang harus dilakukan untuk menjaga agar
serangkaian pekerjaan yang dilakukan oleh banyak bidang yang berbeda, akan tetapi pada
tingkatan yang sama dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata
lain, koordinasi ialah kegiatan yang dikerjakan oleh banyak pihak dari satu organisasi atau
sistem pelayanan yang sederajat dan untuk mencapai suatu tujuan bersama dengan
kesepakatan masing-masing pihak agar tidak terjadi kesalahan dalam bekerja baik
mengganggu pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. James G March dan Herben A
Simon pengertian koordinasi ialah sebuah proses atau kegiatan demi mencapai satu
kesatuan antara berbagai macam pihak dalam mencapai tujuan bersama. Menurut teori
koordinasi, koordinasi merupakan sebuah sinkronisasi atau penyelarasan berbagai pihak
dalam berkerja secara tertip dan teratur dalam batasan waktu akan tetapi koordinasi
berbeda dengan kerja sama yang membedakannya ialah aktifitas atau kegiatan yang
tercipta tidak dari satu sumber.

Koordinasi merupakan suatu tahapan penting dalam keseluruhan program


pelayanan kesejahteraan sosial. Proses inilah yang akan menunjukkan apakah program
pelayanan yang dilaksanakan telah dilakukan secara menyeluruh dan utuh, tidak terpisah-
pisah yang menjadikan pelayanan tidak mampu mencapai tujuan secara baik. Dengan kata
lain, koordinasi merupakan proses penting yang harus dilaksanakan untuk
mensinkronisasikan sistem pelayanan sosial yang melibatkan berbagai pihak yang berbeda-
beda, yang semuanya diarahkan pada pencapaian tujuan, mencegah kegagalan, serta
meningkatkan efektivitasnya.

1. Pengertian Koordinasi

Koordinasi merupakan proses penting yang harus dilakukan secara seksama agar
berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan dapat bekerja bersama secara utuh dalam
mencapai tujuan. Agar proses ini dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan,
maka koordinasi harus dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu secara sistematis.

Pembahasan konsep koordinasi dalam modul ini diarahkan untuk mengingatkan


kembali para peserta sertifikasi tentang proses maupun kaidah koordinasi. Modul ini tidak
dimaksudkan untuk mengulas secara lengkap mengenai konsep koordinasi secara panjang
lebar, akan tetapi dipilih beberapa komponen utama yang dianggap penting dalam suatu
proses kegiatan pelayanan. Modul ini diarahkan untuk memperkuat pemahaman tentang
konsep koordinasi bagi peserta sertifikasi yang telah memiliki pemahaman awal tentang
teori manajemen.

Koordinasi telah dipelajari oleh berbagai disiplin akademik yang luas, meliputi
sosiologi, administrasi public, ilmu ekonomi, computer, perilaku organisasi dan
sebagainya. Secara historis, koordinasi telah didiskusikan dalam literatur perilaku
organisasi sebagai proses menyatukan dalam mengambil tindakan atau melaksanakan suatu
kegiatan pelayanan, dimana bagian-bagian dari suatu pelayanan menyesuaikan dan
merespon satu sama lain dalam melaksanakan tugas kearah pencapaian tujuan. Fokus dari
koordinasi adalah hubungan antara pelayanan yang diberikan, hubungan kerjasama akibat
keterkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki, serta keterikatan kerjasama SDM pelayanan
dalam suatu sistem pelayanan secara utuh.

Koordinasi menurut James A.F Stoner dan Charles Wankel (dalam Yusuf, 2019)
merupakan suatu proses untuk mengintegrasikan berbagai tujuan dan aktivitas dalam
satuan yang berbeda pada organisasi pelayanan guna meraih tujuan organisasi seefisien
mungkin. Siagian menjelaskan bahwa definisi koordinasi adalah pengaturan keterkaitan
pada usaha bersama dalam rangka mencapai keseragaman tindakan untuk meraih tujuan
bersama. Pengertian koordinasi lainnya yaitu suatu proses pengaturan supaya pembagian
tugas setiap individu maupun grup mampu terbentuk sebagai kebutuhan yang terintegrasi
dengan efisien.
Dari definisi di atas, ada beberapa komponen penting dalam koordinasi yaitu ada
proses mengintegrasikan semua tujuan; ada usaha bersama; keseragaman tindakan dan ada
pembagian tugas. Kesulitan melaksanakan koordinasi yang mudah diucapkan itu adalah
sulitnya mengintegrasikan, menseragamkan tindakan dan mengatur pembagian tugas yang
jelas. Karena proses tersebut berkaitan dengan perilaku manusia dalam organisasi. Dalam
konteks kegiatan pelayanan, Tugas pimpinan atau penyelenggara dan pelaksana
programlah yang bertanggung jawab melaksanakan koordinasi agar pelaksanaan program
atau kegiatan pelayanan sesuai dengan standar operasional pelayanan yang ada dari mulai
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota.
Dalam konteks kelembagaan pelayanan maka bahasan koordinasi difokuskan pada
koordinasi pelayanan pada tingkat Sekretariat pelayanan, Instansi Sosial Kabupaten, Kota
maupun koordinasi yang dibangun oleh satuan sosial masyarakat tingkat terrendah, seperti
Kelurahan atau Desa.

2. Pengertian Koordinasi dalam Manajemen


Dalam setiap organisasi, pasti memiliki sejumlah orang yang masing-masing
mempunyai pendapat, pandangan, latar belakang, pengertian dan jenis pekerjaan sendiri
yang berbeda dengan orang lainnya. Keberagaman ini perlu diselaraskan agar dapat
mencapai tujuan bersama yang diharapkan oleh organisasi. Penyelarasan ini biasanya
dikenal dengan istilah “Koordinasi” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
“Coordination” dalam manajemen. Koordinasi dalam suatu organisasi memastikan
kesatuan tindakan individu, kelompok kerja dan departemen serta membawa keharmonisan
dalam melaksanakan berbagai kegiatan dan tugas untuk mencapai tujuan organisasi secara
efisien.

Jadi pada dasarnya, yang dimaksud dengan Koordinasi adalah proses yang
menghubungkan berbagai kegiatan pada berbagai departemen atau individu dalam suatu
organisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, definisi dari Koordinasi
adalah “Perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan
yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur”.

Koordinasi menjaga kesatuan tindakan di antara individu dan departemen. Tidak


adanya koordinasi akan menghasilkan pencapaian tujuan yang tidak optimal. Dalam situasi
yang ekstrim, kurangnya koordinasi akan dapat mengakibatkan ketidak efektivan yang
besar.
Koordinasi menyelaraskan dan menyeimbangkan pendapat yang saling
bertentangan dari individu dan bagian lain dalam sistem pelayanan, meningkatkan upaya
kelompok dan mengarahkan gerakan mereka ke arah yang seragam yaitu untuk mencapai
tujuan organisasinya. Misalnya, jika sistem pelayanan sosial tingkat kecamatan atau desa
tidak mengoordinasikan kegiatannya dengan instansi pengelola tingkat kabupaten atau
kota, maka jenis, hasil, serta kualitas pelayanan tidak dapat mencapai standar yang
diharapkan.

Koordinasi yang efektif didasarkan pada saling ketergantungan dalam kegiatan


organisasi. Perlunya Koordinasi ini didasarkan pada pendekatan sistem untuk manajemen
yang mengakui bahwa sistem pelayanan atau unit kerja yang berbeda dari suatu organisasi
akan memiliki saling ketergantungan antara yang satu sama yang lainnya (input dari satu
bidang pelayanan adalah output dari yang bidang pelayanan lainnya, atau output dari satu
bidang pelayanan, menjadi input dari bidang pelayanan lainnya).

Saling ketergantungan ini juga terjadi pada lingkungan internal organisasi ataupun
eksternal organisasi. Tingkat koordinasi pada dasarnya tergantung pada tingkat saling
ketergantungan tersebut. Lebih banyak saling ketergantungannya (baik internal maupun
eksternal), lebih banyak pula kebutuhan akan koordinasi.

3. Pengertian Koordinasi menurut Para Ahli

Berikut ini adalah beberapa definisi dan pengertian Koordinasi menurut beberapa ahlinya.

a. Pengertian Koordinasi menurut Handoko (2003:195), Koordinasi (coordination)


adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-
satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
b. Pengertian Koordinasi menurut Yohanes Yahya (2006 : 95), Koordinasi adalah
proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada satuan yang terpisah pada suatu
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
c. Pengertian Koordinasi menurut Manullang (2008: 72), Koordinasi adalah usaha
mengarahkan kegiatan seluruh unit-unit organisasi agar tertuju untuk memberikan
sumbangan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan organisasi secara
keseluruhan dengan adanya koordinasi akan terdapat keselarasan aktivitas diantara
unit-unit organisasi dalam mencapai tujuan organisasi.

4. Dependensi Sumberdaya

Dependensi sumberdaya dalam pelayanan sosial merupakan kerangka kerja utama


yang paling dominan dalam hubungan organisasional suatu program. Dependensi sumber
daya inilah yang mengakibatkan perlunya koordinasi antar pelaku kegiatan pelayanan itu.
Dependensi sumberdaya inilah yang menjadi dasar bagi suatu tindakan berbagi
sumberdaya untuk mencapai tujuan tertentu dari kegiatan pelayanan tersebut.

Suatu kegiatan pelayanan, selalu berhubungan dengan dependensi sumber daya


dengan lingkungan eksternal, termasuk pelaku pelayanan lain yang terkait, sumber daya
keuangan, fasilitas pelayanan yang diberikan atau dimiliki oleh pihak lain, personil yang
dimiliki oleh pihak lain, informasi, maupun berbagai pelayanan yang diberikan oleh unsur
lain, termasuk pelayanan referal.
5. Jenis-jenis Koordinasi (Coordination)

Koordinasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi utama, yaitu dapat
diklasifikasikan berdasarkan Ruang Lingkup dan berdasarkan Aliran koordinasinya.

a. Jenis Koordinasi berdasarkan Ruang Lingkup

Berdasarkan Ruang Lingkupnya, Koordinasi dapat dibagi menjadi Koordinasi Internal dan
Koordinasi Eksternal.

• Koordinasi Internal adalah koordinasi di antara berbagai unit kerja atau bagian
dalam suatu organisasi atau sistem pelayanan dengan mengintegrasikan tujuan dan
kegiatan pada unit kerja tersebut.
• Koordinasi Eksternal adalah koordinasi antara organisasi atau kegiatan pelayanan
dengan lingkungan eksternalnya yang terdiri dari pemerintah, komunitas, kelompok
sasaran program, koordinator wilayah, program lain, warga masyarakat setempat
dan lain sebagainya, sekolah, institusi kesehatan, dan sebagainya.

b. Jenis Koordinasi berdasarkan Aliran manajemennya (Flow)

Berdasarkan alirannya, koordinasi dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis yaitu
Koordinasi Vertikal dan Koordinasi Horizontal.

• Koordinasi Vertikal adalah koordinasi antara berbagai tingkatan organisasi dan


harus memastikan bahwa semua tingkatan dalam organisasi bertindak selaras dan
sesuai dengan kebijakan organisasi. Koordinasi Vertikal ini pada dasarnya adalah
yang berkaitan dengan kegiatan pengarahan dan penyatuan instruksi dari atasan ke
bawahannya atau ke unit-unit kerja yang berada dibawah tanggung jawab dan
wewenangnya.
• Koordinasi Horizontal adalah koordinasi antara berbagai bagian atau unit kerja
pada tingkat hirarki manajemen yang sama. Misalnya koordinasi antara satu
pendamping dengan pendamping lainnya.

6. Jejaring Kerja
Tidak ada suatu sistem kerja atau sistem pelayanan sosial maupun kemasyarakatan
kompleks yang dapat menjalankan tugas dan pekerjaannya secara mandiri tanpa
keterlibatan pihak lain. Pelaksanaan kegiatan selalu berkaitan dengan berbagai pihak
eksternal yang dapat menyediakan materi, informasi, data, sumber daya, maupun
dukungan.

Pengertian:

Jejaring kerja adalah suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang
membentuk satu ikatan kerjasama pada satu bidang tertentu/tujuan tertentu dg berbagi
ide, informasi dan sumber daya untuk meraih kesuksesan bersama. Berkowitz (1988)
menjelaskan bahwa jejaring sosial merupakan kesatuan individu atau kelompok yang
terhubung satu sama lain melalui relasi sosial bermakna. Relasi sosial yang bermakna yang
dimaksud dalam pengertian tersebut antara lain adalah keluarga, teman, atau yang bersifat
formal, seperti institusi pembina, seperti Dinas Sosial, Dinak Kesehatan, Sekolah,
Pemerintahan desa/kecamatan/kabupaten, dan sebagainya. Akan tetapi, hal yang paling
mendasar yang menjadi persyaratan utama dalam jejaring kerja adalah rasa saling percaya
(Trust). Rasa saling percaya ini mendasari hubungan sosial yang memberikan kekuatan
dalam jejaring kerja. Jejaring kerja inilah yang memperkaya dan memperkuat kerjasama
dalam suatu tim kerja. Kerjasama dalam suatu tim yang diperkaya dengan rasa saling
percaya akan menguatkan efektivitas suatu kegiatan.
a. Adanya masalah atau kebutuhan yang dirasakan bersama. Jejaring yang terbentuk
selalu diarahkan untuk mengatasi suatu masalah, atau suatu kebutuhan tertentu.
Masalah atau kebutuhan inilah yang menjadi arah bagi beroperasinya suatu jejaring
kerja. Tanpa permasalahan atau kebutuhan ini, maka jejaring itu tidak akan terarah
secara jelas dan kemanfaatannyapun menjadi sangat terbatas.
b. Adanya dua pihak/lebih yg memiliki komitmen & kesamaan visi untuk
memecahkan masalah/memenuhi kebutuhan. Jejaring kerja ini harus meliputi dua
pihak atau lebih. Pihak yang terlibat dalam jejaring ini harus memiliki kesamaan
dalam visi, misi, tugas, atau tanggung jawab yang sama. Kerjasama yang tumbuh
dari jejaring kerja ini akan mendorong saling tukar informasi maupun sumberdaya
dari masing-masing pihak yang terlibat dalam jejaring kerja tersebut.
c. Adanya saling percaya. Rasa saling percaya Rasa saling percaya adalah suatu
perasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain atau pihak lain, yang
didasari keyakinan akan kebaikan dan keyakinan bahwa pihak lain tidak akan
merugikan. Rasa saling percaya ini tidak akan muncul tanpa komunikasi dan
kedekatan yang intensif. Dengan demikian, lakukan komunikasi dua pihak atau
lebih dalam kegiatan yang dilakukan.
d. Adanya kesetaraan dan kesejajaran antar pihak yang bermitra. Kesetaraan berarti
posisi atau kedudukan yang sama dari pihak-pihak yang bekerja sama. Tidak ada
pihak yang berada di atas, menggurui, atau mengatur secara kasar pihak lainnya.
Walaupun secara formal ada pihak yang lebih tinggi kedudukannya, tetapi memiliki
kesetaraan dalam kerjasama yang dilakukan.
e. Adanya kesepakatan/kesepahaman bersama. Pihak yang terlibat dalam kegiatan
kerjasama harus memiliki kesepakatan dan kesepahaman yang baik mengenai
mekanisme kegiatan yang dilakukan. Tidak adanya kesepahaman antar pelaku
1

kegiatan, akan menjadi sumber bagi konflik dan menjadi penyebab utama gagalnya
kegiatan yang dilakukan.
f. untuk mencapai tujuan yg lebih besar. Jejaring kerja harus dilakukan karena ada
interdependensi sumber daya atau hubungan saling mengisi dari berbagai pihak yang
terlibat. Satu pihak yang memiliki kelemahan terhadap sumber daya yang dimiliki, akan
mendapat bantuan mengisi kekurangan tersebut dari pihak lain dalam jejaring kerja yang
dikembangkannya.

Beberapa pihak yang dapat dijadikan mitra jejaring adalah :

a. Pengelola program, seperti Kementrian Sosial, Dinas Sosial, atau instansi


pelaksana program. Termasuk para pendamping lain, supervisor, dsb.
b. Pelaku pelayanan dalam masyarakat, seperti dokter, pekerja social, psikolog,
perawat, bidan, dsb.
c. Tokoh masyarakat, baik tokoh formal maupun non formal, seperti aparat desa/kelurahan,
tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat lainnya yang disegani oleh warga
masyarakat.
d. Guru atau pendidik, baik guru pada sekolah formal atau institusi pendidikan, guru
agama, guru pembimbing, dsb
e. Pemilik asset produksi, seperti pengusaha, pemilik warung, pemilik lahan
pertanian, orang yang memiliki kekuatan ekonomi dalam masyarakat desa/kelurahan, dsb.
f. Pelaku kegiatan sosial politik lainnya dalam masyarakat.

MONITORING DAN EVALUASI


1
2

A. KOMPETENSI UMUM

Melakukan Monitoring dan Evaluasi dengan tim kerja.

B. TUJUAN
1. Mampu memahami konsep Monitoring dan Evaluasi.
2. Mampu memahami manfaat Monitoring dan Evaluasi.
3. Mampu memahami dan menganalisis serta menjelaskan jenis dan
tipe Monitoring dan Evaluasi.

C. DESKRIPSI SINGKAT MATERI


Evaluasi merupakan suatu tahapan penting dalam keseluruhan program
pelayanan kesejahteraan sosial. Proses inilah yang akan menunjukkan apakah
program pelayanan yang dilaksanakan telah menjawab persoalan yang muncul
atau tidak, apakah program yang telah dilaksanakan benar-benar memenuhi
kebutuhan klien atau tidak, sesuai dengan prosedur atau tidak, bagaimana
hambatan yang dialami, dan sebagainya. Dengan kata lain, evaluasi merupakan
proses penting yang harus dilaksanakan untuk melihat apakan suatu program
pelayanan mengalami kegagalan atau keberhasilan secara lengkap.
Evaluasi merupakan proses penting yang harus dilakukan secara seksama
agar tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik. Agar proses ini
dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan, maka evaluasi harus
dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu secara sistematis. Karena proses
yang dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui situasi dan kondisi program yang
sedang atau telah dilakukan, maka pada dasarnya proses ini merupakan proses
penelitian atau penilaian secara mendalam yang ditujukan untuk mendapatkan
gambaran lengkap mengenai proses intervensi maupun program pelayanan
yang dilakukan. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam penelitian ilmiah sangat
diperlukan dalam proses evaluasi ini.

1
Pembahasan konsep evaluasi dalam modul ini diarahkan untuk
mengingatkan kembali para peserta sertifikasi tentang proses maupun kaidah
evaluasi. Modul ini tidak dimaksudkan untuk mengulas secara lengkap mengenai
konsep evaluasi secara panjang lebar, akan tetapi dipilih beberapa komponen
penting yang dianggap penting dalam suatu proses evaluasi kegiatan pelayanan.
Modul ini diarahkan untuk memperkuat pemahaman tentang konsep evaluasi bagi
peserta sertifikasi yang telah memiliki pemahaman awal tentang metode
penelitian.

Materi ini akan membahas beberapa konsep penting antara lain :


1. Manfaat evaluasi dalam praktek pelayanan sosial.
2. Proses evaluasi, yang meliputi beberapa konsep penting dalam penelitian,
seperti evaluasi formatif dan sumatif, baseline, validitas dan reliabilitas,
peluang generalisasi, metode pengumpulan data, variabel bebas dan
variabel terikat.
3. Desain Evaluasi yang terutama difokuskan pada lima disain utama, yaitu
disain subyek tunggal (Single subject design), skala pencapaian tujuan
(Goal attainment scaling), Skala pencapaian tugas (task achievement
scaling), kuesioner kepuasan klien (Client satisfaction questionaires),
serta analisis proses dan dampak program pelayanan.
Topik-topik ini sengaja dipilih karena sangat erat kaitannya dengan pekerjaan
sehari-hari para praktisi pelayanan, terutama Tenaga kesejahteraan sosial.

B. KOMPETENSI DASAR
1. Merancang disain evaluasi dan monitoring pelayanan.
2. Melakukan Evaluasi Pelayanan Langsung
3. Melakukan Evaluasi Pelayanan tak langsung

2
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Umum.
Peserta sertifikasi mampu merancang sebuah disain evaluasi serta
melaksanakan rancangan tersebut untuk mengevaluasi praktik pelayanan
yang diberikannya.
2. Tujuan Khusus.
Peserta sertifikasi diharapkan :
a. Mampu memahami konsep evaluasi partisipatoris
• Mampu memahami dengan benar manfaat evaluasi dalam proses
pelayanan yang diberikan.
• Mampu memahami proses-proses, terutama beberapa konsep
penting dalam evaluasi.
• Mampu memahami serta merancang lima disain utama dalam
evaluasi, yaitu disain subyek tunggal, skala pencapaian tujuan, skala
pencapaian tugas, kuesioner kepuasan klien, serta analisis proses
dan dampak program.
b. Mampu memahami dan menggunakan beberapa alat partisipatoris yang
dapat digunakan dalam evaluasi program.

D. MATERI
1. Pengantar
Untuk menjadi seorang pengembangan masyarakat yang efektif, seseorang
harus memahami apakah intervensi yang dikembangkannya dapat dilakukan
secara efektif atau tidak, sesuai dengan harapan klien atau tidak, dapat mencapai
tujuan atau tidak, dsb. Hal ini nampaknya merupakan sesuatu yang sangat
sederhana, akan tetapi untuk mengembangkan strategi dalam mengevaluasi
praktek yang kita lakukan secara efektif tidak selalu menjadi suatu pekerjaan yang
mudah untuk dilakukan. Bahkan walaupun kita telah memiliki rencana yang jelas
untuk mengevaluasi hasil praktek yang telah dilakukan, atau untuk mengevaluasi
program yang dijalankan. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengukur
efektivitas ini.

3
Proses evaluasi secara tipikal merupakan suatu proses yang berkelanjutan
(ongoing process), sehingga kita harus selalu menilai apakah tujuan-tujuan jangka
pendek yang telah ditentukan dapat tercapai dengan baik. Evaluasi juga dapat
dipandang sebagai tahap akhir dalam sebuah kegiatan, yang seringkali mendasari
suatu keputusan bersama antara pekerja sosial dengan klien untuk mengakhiri
hubungan profesional yang terjalin (Termination). Secara umum, diskusi tentang
bahasan ini akan membantu pembaca untuk :
a. Menemukenali serta memilih metode yang sesuai untuk mengevaluasi
praktek pengembangan masyarakat yang dilakukan.
b. Menemukenali beberapa metode yang dapat dan mudah digunakan untuk
melakukan evaluasi program.
c. Menemukenali serta mampu membedakan secara jelas berbagai konsep
penting dalam melakukan evaluasi secara benar, seperti validitas,
reliabilitas, generalisasi, “baseline”, evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif.
d. Menemukenali rancangan (design) yang dapat digunakan dalam
melakukan evaluasi terhadap praktek yang telah dilakukan maupun
mengevaluasi suatu program pelayanan tertentu.

E. MANFAAT EVALUASI
Sumber daya penyandang dana belakangan ini sudah begitu tinggi dalam
memberikan perhatian pada pentingnya pertanggung jawaban (accountability)
pelaksanaan program-program pelayanan. Oleh karena itu tuntutan untuk
melakukan evaluasi atas pelaksanaan program-program tersebut juga meningkat
dengan sangat signifikan. Para penyandang dana ini memberikan tuntutan yang
begitu tinggi untuk memperoleh jaminan bahwa dana yang dialokasikan bagi
program-program tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dan manfaat yang
telah ditentukan. Di lain pihak, juga banyak lembaga-lembaga pelayanan yang
memberikan perhatian untuk mengukur praktek apa yang telah dilakukannya,

4
sampai seberapa jauh proses pelayanan telah sesuai dengan rencana, dan
bagaimana pencapaian tujuan akhirnya.
Gambar 1. Evaluasi dalam Model Intervensi Pemberi pelayanan.

Landasan bagi Praktek pengembangan Masy:


Pengetahuan (Knowledge)
Ketrampilan (Skills)
Nilai (Values)

Penerapan Prinsip-
prinsip Intervensi
Penelitian

Asesmen (Assessment)

Perencanaan

Intervensi

EVALUASI

Review tingkat pencapaian tujuan


Tujuan Tingkat Pencapaian Terminasi atau
assessment ulang

Misalnya suatu lembaga yang menyatakan bahwa mereka mampu


meningkatkan beban kasus sampai 25 % walaupun tidak ada peningkatan dalam
jumlah karyawannya. Dengan demikian diasumsikan bahwa masing-masing

5
karyawan atau stafnya telah bekerja lebih keras. Ukuran yang digunakan pada
contoh tersebut di atas menunjukkan informasi tentang apa yang telah dilakukan
oleh lembaga. Akan tetapi informasi tersebut samasekali tidak menunjukkan
apakah lembaga tadi telah melaksanakan fungsi dan tugasnya kepada klien dengan
baik atau tidak.

Selain pentingnya manfaat ekonomis dalam evaluasi, aspek politis juga


sangat menonjol dalam evaluasi. Suatu evaluasi yang dilakukan dengan baik,
terukur secara akurat, dan dipublikasikan secara luas akan berpengaruh besar
dalam pengambilan keputusan pada tingkat kebijakan. Suatu evaluasi terhadap
berhasilnya suatu program pelayanan terhadap keluarga dan anak, misalnya, dapat
memperkuat sistem legislatif (DPR) untuk mengalokasikan sumberdaya yang ada
bagi keberlanjutan program pelayanan yang diberikan. Evaluasi semacam ini
akan sangat bermanfaat untuk meyakinkan pihak-pihak yang skeptis, pesimis,
serta menentang keberlanjutan program.

Pergerakan keberdayaan para pengguna pelayanan (Consumer Movement


dengan lembaga konsumennya) juga telah berpengaruh terhadap pentingnya
evaluasi yang baik. Klien memiliki hak untuk mengetahui efektivitas pelayanan
yang dia dapatkan. Klien menginginkan suatu jaminan apakah mereka
memperoleh pelayanan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.

Perbaikan, perubahan penyederhanaan suatu proses pelayanan dapat selalu


dilakukan secara serius melalui evaluasi atas proses yang dijalankan. Supervisi
secara berkelanjutan untuk mencapai tujuan di atas hanya dapat dilakukan atas
dasar evaluasi secara terukur. Supervisor hanya dapat melakukan fungsi dan
tugasnya dengan baik jika dilandasi suatu proses evaluasi yang baik pula. Tanpa
evaluasi, sama dengan orang yang tidak pernah bercermin. Dia tidak mengetahui
apa hasil yang telah dicapai, dia tidak mengetahui proses mana yang tidak sesuai
dengan tujuan, dia tidak mengetahui harapan-harapan klien yang terabaikan.

6
Supervisor pekerja sosial hanya mampu berbicara tanpa dasar, jika tidak
dilakukan evaluasi secara terrencana.

Ada beberapa alasan mengapa evaluasi seringkali tidak dilakukan dalam


praktek-praktek pelayanan kepada masyarakat :
a. Pembei pelayanan khawatir bahwa dirinya akan merasa gagal jika
dievaluasi.
b. Pemberi pelayanan terlalu sibuk untuk melakukan evaluasi.
c. Lembaga atau pemberi pelayanan belum atau tidak memberikan perhatian
yang cukup terhadap pentingnya evaluasi.
d. Pemberi pelayanan tidak memiliki ketrampilan yang memadai untuk
melakukan evaluasi secara baik.

Toseland dan Rivas, 1984 (dalam Ashman, 1993) menyebutkan


pentingnya evaluasi dalam praktek pemberian pelayanan sosial :
a. Dapat memberikan pemahaman kepada pemberi pelayanan tentang
dampak dari praktek pertolongan yang telah dilakukannya.
b. Dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada pemberi pelayanan
dalam meningkatkan keterampilannya dalam bekerjasama dengan klien.
c. Dapat menunjukkan kemanfaatan program-program yang dilaksanakan,
yang berguna untuk perbaikan program di masa yang akan datang.
d. Menjadi media untuk memahami kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
klien.
e. Dapat menjadi media bagi klien untuk mengekspresikan sikap, harapan,
serta pandangan-pandangannya.
f. Dapat menjadi media untuk mengembangkan pengetahuan yang
bermanfaat bagi praktek orang lain.

Kettner dan Nichols, 1985 (dalam Ashman, 1993) seringkali membedakan


antara evaluasi dan monitoring, yang menyebutkan bahwa monitoring dan
evaluasi memiliki fungsi saling melengkapi (complementary). Monitoring

7
merupakan upaya untuk melihat proses pemberian pelayanan, sedangkan evaluasi
merupakan upaya untuk melihat efektivitas pelayanan. Ahli lain (Rivas dan
Barker) menyatakan bahwa monitoring sebenarnya juga merupakan suatu
evaluasi. Jadi mereka ini hanya membedakan antara evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan untuk melihat proses pelayanan
(identik dengan monitoring), sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk melihat
efektifitas pelayanan, bersifat komprehensif dan dilakukan di akhir kegiatan.

F. PROSES EVALUASI
Proses evaluasi suatu praktek pelayanan sebenarnya juga mengikuti
tahapan proses pemecahan masalah itu sendiri (Duehn, 1985). Pada tahap awal,
kita harus menentukan atau mendefinisikan masalah yang akan diukur atau akan
dievaluasi serta mempertimbangkan berbagai pendekatan penelitian yang
mungkin relevan (assessment). Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut,
kemudian dipilih salah satu pendekatan dan merancang tahapan kerja berikutnya
yang akan dilakukan (planning). Setelah rencana disusun dengan matang, maka
penelitian dilakukan secara intensif (intervention). Akhirnya perlu dilakukan
pengkajian dan evaluasi atas temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut.

Ada beberapa konsep kunci yang sangat penting untuk memahami serta
melakukan evaluasi. Konsep-konsep ini antara lain : Evaluasi sumatif dan
formatif, Baselines, Variabel Bebas dan Variabel Terikat (independent Variables
dan Dependent Variables), validitas dan reliabilitas, metode pengumpulan data,
dan generalisasi.

1. Evaluasi formatif dan sumatif

Banyak ahli yang menyatakan bahwa evaluasi memiliki fungsi sebagai alat
untuk monitoring. Evaluasi semacam ini dilakukan pada saat intervensi atau
pelayanan sedang dilakukan. Evaluasi semacam ini disebut dengan evaluasi
formatif (Formative Evaluation). Fokus utama dari evaluasi formatif atau
monitoring lebih pada proses pemberian pelayanan dibandingkan pada hasil

8
akhirnya. Misalnya suatu evaluasi yang berupa penyampaian kuesioner kepada
kelayan suatu lembaga yang berisi tentang pelaksanaan suatu pelayanan
bimbingan dan konseling dalam suatu rangkaian pelayanan terhadap remaja nakal.
Evaluasi semacam ini bertujuan untuk melakukan assessment apakah kemajuan-
kemajuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Pretest dan post-test dalam
suatu sesi pelayanan dapat juga digunakan sebagai evaluasi semacam ini.

Selain evaluasi formatif atau monitoring, evaluasi sumatif (Summative


Evaluation), yaitu untuk mengetahui apakah hasil akhir yang diharapkan telah
tercapai atau belum. Evaluasi semacam ini dilakukan setelah suatu proses
pelayanan diselesaikan.

2. Baselines.

Konsep ini berasal dari penelitian perilaku. Istilah ini merujuk pada
kondisi awal sebelum diadakan suatu intervensi atau suatu pelayanan tertentu.
Tanpa mengetahui informasi lengkap tentang kondisi awal, hampir mustahil
seseorang mengetahui bahwa sesuatu telah berkembang. Baseline ini digunakan
sebagai patokan untuk mengukur perkembangan atau perubahan yang telah
dicapai. Frekuensi, intensitas, serta durasi suatu perilaku yang akan diubah dapat
dikatakan sebagai baseline. Dalam suatu bentuk evaluasi tertentu, baseline ini
mungkin perlu dibuat lebih dari satu. Proses identifikasi awal yang dilakukan
secara serius, lengkap, dan akurat terhadap calon klien dari sebuah lembaga
mungkin dapat dijadikan baseline yang sangat berguna yang dapat dijadikan
patokan awal untuk mengukur perubahan atau kemajuan yang diperoleh
sehubungan dengan intervensi yang dilakukan..

3. Validitas dan Reliabilitas.

Ketika pemberi pelayanan akan melakukan suatu evaluasi, harus diyakini


bahwa dia telah menggunakan alat ukur atau instrumen yang tepat. Validitas
merujuk pada suatu kondisi atau sampai seberapa jauh suatu alat ukur yang

9
digunakan dapat mengukur hal yang akan diukur. Jika kita akan mengukur
bagaimana sikap klien terhadap perilaku kriminal tertentu dengan menggunakan
instrumen untuk mengukur perasan klien, maka instrumen tersebut dapat
dikatakan tidak valid. Ada tiga tipe uji validitas (Rubin, 1986) Yaitu

Reliabilitas merujuk pada kondisi sampai seberapa jauh suatu instrumen


atau alat ukur yang mengukur fenomena yang sama akan menghasilkan nilai yang
sama dari waktu ke waktu. Konsep kunci dalam pengertian tersebut adalah “dari
waktu ke waktu”, Artinya, jika alat ukur tersebut digunakan untuk mengukur
fenomena yang sama pada waktu yang berbeda, dengan catatan situasinya tetap,
maka hasilnya harus tetap sama. Instrumen atau alat ukur yang demikian adalah
alat ukur yang reliabel. Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan temuan
evaluasi yang konsisten dalam rentang waktu yang berbeda.

4. Peluang untuk Generalisasi (Generalizability)

Kemungkinan atau peluang untuk dilakukannya generalisasi sebenarnya mengacu


pada suatu kondisi yang diperlukan yang memungkinkan penarikan kesimpulan
pada populasi secara lebih luas atas hasil penelitian atau evaluasi yang kita
lakukan. Persoalan yang seringkali dihadapi adalah sampel yang diambil terlalu
kecil untuk membuat generalisasi. Dengan demikian, evaluator harus memiliki
keyakinan tentang keterwakilan (Representativeness) dari sampel yang diambil
sehingga kita mempunyai keyakinan yang cukup kuat bahwa hasil penelitian atau
evaluasi yang dilakukan memang benar merupakan dampak dari grogram yang
dilaksanakan, bukan pengaruh variabel lain yang menyela (Intervening Variable).

5. Metode Pengumpulan Data.

Pilihan tentang metode serta teknik pengumpulan data apa yang akan digunakan
dalam evaluasi ditentukan oleh tujuan intervensi yang dilakukan yang akan
dievaluasi. Biasanya, metode yang digunakan adalah interview kepada pihak
utama yang terkait, studi dokumentasi, dan observasi, diskusi kelompok terfokus

10
(Focused Group Discussion), dsb. Wawancara dapat menggunakan alat ukur
yang terstruktur maupun yang tak terstruktur. Observasi dapat dilakukan secara
langsung tatap muka maupun menggunakan media seperti video tape atau digital
recording. Produk atau hasil karya juga sering digunakan untuk mengevaluasi
pencapaian prestasi tertentu. Kadangkala evaluator diharuskan untuk memperoleh
data subyektif seperti kemarahan, ketakutan, kecemasan, depresi, dan sebagainya.
Untuk itu gunakan alat ukur yang sudah dikembangkan oleh peneliti lain yang
sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Seperti “Self Report”.

6. Varibel Bebas dan Variabel Terikat

Dua konsep penting lain dalam praktek evaluasi adalah variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas (Independent Variables) meliputi “Faktor-faktor
yang diperkirakan akan mempengaruhi atau akan menyebabkan kondisi tertentu”.
Dalam konteks praktek pelayanan dapat berupa program pelayanan yang
dilakukan serta proses pelayanan yang dilakukan. Dengan kata lain, variabel
bebas ini adalah seluruh upaya yang dilakukan oleh pekerja sosial atau lembaga
pelayanan untuk membantu klien.

Faktor yang dipengaruhi disebut variabel terikat (Dependent Variables). Dalam


konteks praktek pemberian pelayanan, dapat berupa “hasil akhir dari proses
pelayanan”. Asumsinya, bahwa hasil akhir dipengaruhi oleh proses pertolongan
atau pelayanan yang diberikan. Perlu diperhatikan bahwa variabel bebas
seringkali tidak sepenuhnya bertanggung jawab dalam mempengaruhi variabel
terikat. Banyak variabel lain yang mungkin ikut terlibat, variabel ini disebut
Variabel penyela (Intervening Variables).

G. DISAIN EVALUASI
Banyak diantara para praktisi pemberi pelayanan yang terlibat dalam
praktek secara langsung dengan klien atau sistem klien. Hakikat serta tingkatan
praktek yang dilakukan sangat tergantung dari pengetahuan, ketrampilan, tingkat
pendidikan yang dimiliki, tuntutan dari lembaga tempat kerja, sistem klien yang

11
dilayani, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemberi pelayanan harus memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang berbagai teknik untuk melakukan evaluasi
praktek-praktek yang dilakukan. Banyak teknik yang dapat dilakukan dalam hal
tersebut, untuk pembahasan kali ini akan dipusatkan pada disain sistem tunggal,
skala pencapaian tujuan, skala pencapaian tugas, kuesioner kepuasan klien,
analisis proses, serta Analisis dampak program. Untuk itu akan dibahas secara
garis besar sebagai berikut.

a. Evaluasi Pelayanan Langsung.


1) Disain Subyek Tunggal (Single Subject Design)
Bloom dan Fischer (1982) menyatakan bahwa disain sistem tunggal ini
memiliki banyak nama yang dikemukakan oleh ahli yang berbeda, akan tetapi
intinya adalah sama. Nama-nama lain tersebut adalah Single N Research, Single
Subject Research, Single Case Study, AB Design, dan sebagainya. Disain ini
merupakan disain yang cukup sederhana, Pada dasarnya, petugas sosial bekerja
dengan klien yang memiliki masalah sosial. Masalah yang dihadapi oleh klien
akan diatasi melalui suatu bentuk atau suatu proses intervensi yang dilakukan oleh
petugas tersebut. Dari berjalannya proses intervensi tersebut akan memunculkan
suatu hasil sebagai dampak intervensi yang dilakukan. Dampak intervensi
kemudian dibandingkan dengan kondisi sebelum intervensi. Seringkali disain ini
disebut dengan “disain AB”, dimana A menggambarkan kondisi sebelum
intervensi dan B menggambarkan intervensi yang dilakukan. Disain Subyek
Tunggal dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut (pada Panti Kenakalan
Anak)

12
Jumlah Perilaku Nakal
Anak

6- Fase A
5- * * * * Fase B
4- *
3- *
2- * * *
1-

1 2 3 4 5 6 7 8 9
(waktu)

Periode Baseline

Dari bagan tersebut terlihat adanya kemajuan yang sangat baik, dimana perilaku
kenakalan yang muncul pada saat proses intervensi berlangsung menunjukkan
penurunan yang cukup jelas. Disain AB ini juga dapat dilakukan tanpa adanya
baseline seperti yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Jumlah perilaku Nakal


Anak

6-
5- * * *
4- *
3- *
2- * *
1- * *

1 2 3 4 5 6 7 8 9
(waktu)
Permulaan
intervensi

13
Pada saat petugas pemberi pelayanan tidak memiliki kesempatan untuk
mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai baseline, petugas itu tetap
dapat melakukan pengukuran selama proses intervensi. Disain ini disebut disain
tipe B.

2) Skala pencapaian Tujuan (Goal Attainment Scaling)


Tidak jarang intervensi yang dilakukan oleh pemberi pelayanan memiliki
banyak tujuan secara berurutan sesuai tahapan intervensi yang dilakukan. Skala
pencapaian tujuan ini dapat dibuat dengan mengembangkan skor yang dapat
digunakan untuk menilai pencapaian masing-masing tujuan yang telah ditentukan
terlebih dahulu. Misalnya :
Tujuan intervensi : Meningkatnya ketrampilan anak dalam memenuhi kebutuhan
belajarnya

-3 -2 -1 0 1 2 3
Gagal Sangat Sedikit Titik Sedikit jauh
Tujuan ter-
Total Buruk lebih brk Awal lebih lebih capai
spnh-
drpd seblm- baik baik nya
nya

3) Skala Pencapaian Tugas (Task-Achievement Scaling)


Proses intervensi seringkali dapat dirinci menjadi beberapa tugas spesifik yang
dapat diamati secara langsung. Skor 4 menunjukkan bahwa tugas telah terlaksana
secara tuntas, skor 3 menunjukkan ada tugas yang belum terselesaikan, akan tetapi
sebagian besar telah terselesaikan. Skor 2 menunjukkan bahwa setengah dari tugas
telah terselesaikan dan setengahnya lagi belum terselesaikan, skor 1 menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil saja tugas yang ada telah terselesaikan, skor o
menunjukkan bahwa seluruh tugas samasekali belum terselesaikan.

14
Tugas Skor

a. Pelibatan masyarakat 3
b. Pendalaman kasus dan asesmen 4
c. Pemahaman sumber daya yang dimiliki 4
d. Kerjasama dalam penyusunan Rencana aksi 2
e. Kerjasama dalam menggerakkan sumber daya. 1

Jumlah 14

Bagaimana kesimpulannya ?
Dari 5 tugas yang ada dengan maksimum skor adalah 4, kalikan 5 tugas tersebut
dengan skor 4 (skor tertinggi) dan didapat total skor 20.
Dari skor yang ada dijumlahkan dan didapat jumlah skor yaitu 14, kemudian
jumlah tersebut dibagi dengan skor tertinggi (20) didapat 14 : 20 = 0.70. Dari situ
dikonfersikan dengan persen, yaitu rata-rata 70 % tugas telah diselesaikan.

4) Kuesioner Kepuasan Klien (Client Satisfaction Questionnaires)


Dalam berbagai situasi, pemeri pelayanan perlu mengetahui bagaimana
reaksi atau tanggapan klien terhadap intervensi yang diberikan. Untuk
mengetahui kepuasan klien yang kita layani ini dapat menggunakan kuesioner
kepuasan klien. Kusioner ini bisa digunakan untuk klien individual, kelompok
atau bahkan seluruh klien yang dilayani oleh sebuah lembaga sosial.

Contoh kuesioner :
Mohon dilingkari skor yang menggambarkan tanggapan anda :
1 Bagaimana tanggapan anda tentang kualitas keseluruhan proses pelibatan
masyarakat pada lembaga sosial ini ?

15
4 3 2 1
Sempurna/ Baik Cukup Buruk
Sangat baik

Komentar :

2. Apakah anda memperoleh pelayanan sesuai dengan yang anda harapkan ?


1 2 3 4
Benar-benar Tidak sepenuhnya Ya, pada Ya, benar-
Tidak umumnya benar yakin
Komentar :

3. Sampai sejauh mana pemberi pelayanan ini mampu memenuhi kebutuhan anda
?
4 3 2 1
Hampir semua Sbgn besar Sebagian kecil tak ada
kebutuhan
Kbthn saya kbthn saya saja kbthn saya saya yg
terpenuhi
Terpenuhi terpenuhi yg terpenuhi

Komentar :

5) Analisis Proses dan Dampak Program Pelayanan


Jika kita kaji kembali beberapa disain yang telah kita ulas secara garis besar di
atas, nampaknya skala pencapaian tujuan, skala pencapaian tugas, serta
kuesioner kepuasan klien dapat digunakan sebagai alat evaluasi proses pelayanan
atau evaluasi pelaksanaan suatu program pelayanan. Untuk itu tidak akan diulas
kembali tentang hal tersebut. Yang perlu dikaji kembali adalah apa sebenarnya
yang membedakan antara proses dengan dampak.

Proses, menunjukkan kepada kita tentang apa saja yang telah dilakukan, sampai
seberapa jauh hal itu dilakukan, serta bagaimana tanggapan klien terhadapnya.

16
Sedangkan dampak, merupakan hasil akhir yang dicapai sehubungan dengan
proses yang dilakukan. Jika asumsi yang mendasari intervensi adalah untuk
meningkatkan kemampuan fungsi sosial manusia / klien, maka yang masuk dalam
kategori dampak, adalah sejauh mana klien mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dengan baik.

b. Evaluasi pelayanan/ praktek tak langsung.


1) Peer Review.
Merupakan suatu bentuk evaluasi yang dilakukan secara berkelompok bersama
anggota yang memiliki fungsi dan tugas yang sejenis, tanggung jawab yang
sejenis, dan proses pekerjaan yang sejenis. Kegiatan ini berbentuk diskusi
kelompok terfokus dari para pemberi pelayanan yang bertujuan untuk mengetahui,
memonitor, serta mencari jalan keluar atas masalah-maalah praktek yang
dihadapi.

Evaluasi seperti ini dilakukan pula untuk membahas topik-topik khusus, baik yang
bersifat sederhana maupun kompleks, akan tetapi perlu evaluasi tindak lanjut yang
bersifat lebih kompleks. Evaluasi seperti ini tidak memerlukan biaya, tenaga,
maupun ketrampilan khusus, dan sangat mudah dilakukan akan tetapi jarang
dilakukan.

TKS
TKS

TKS

TKS
TKS

Evaluasi seperti ini harus dilakukan secara periodik setiap minggu atau setiap
bulan sekali, sehingga dapat diperoleh manfaat :

17
• Masing-masing anggota dapat selalu mengikuti perkembangan proses
pelayanan
• Masing-masing anggota dpt saling bertukar pengalaman.
• Saling belajar.
• Saling memperbaiki proses-proses yg dilakukan.
• Juga dapat dilakukan ceramah dengan topik tertentu dari salah satu
anggota dengan tujuan pengayaan.
• Dsb.

Evaluasi ini harus selalu disertai dengan laporan tertulis atas proses-proses diskusi
secara lengkap, sehingga dapat dimanfaatkan atau dibaca ulang di waktu lain
secara seksama untuk dipelajari.

Formulir berikut dapat pula dijadikan contoh :


No Item Ya Tidak Komentar / catatan
1. Permasalahan dicatat scr
jelas.
2. Partisipan utama
dilibatkan scr optimal.
3. Perencanaan dilakukan
dengan jelas.
4. Strategi intervensi
tergambar dng jelas.
5. Frekuaensi dan durasi
kontak dilakukan secara
memadai
6. Pemanfaatan sumber
secara memadai.
7. Indikator kemajuan
tergambar dengan jelas.

18
Komentar Lain :
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
-

2) Evaluasi Program.
Evaluasi ini ditujukan untuk menentukan sejauh mana sebuah program telah
mampu mencapai tujuan-tujuannya dengan baik.

Program sosial dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian aktivitas terencana


yang disusun untuk mencapai perubahan individual maupun perubahan sosial
tertentu. Dengan demikian, evaluasi program merupakan pengujian sistematis
yang dilakukan untuk menentukan apakah program tersebut telah mampu
mencapai tujuan-tujuannya. Dengan demikian, evaluasi program harus mampu
mengukur 4 demensi program : Input, Proses, output, dan outcome. Kemudian,
masing-masing demensi diukur dan dikaji apakah masing-masing telah sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Pengukuran dan penilaian dapat menggunakan
disain yang telah dibahas di muka.

3) Evaluasi kelembagaan
Evaluasi ini bertujuan untuk menilai atau mengkaji kinerja yang berkelanjutan
dari sebuah lembaga.

Lembaga sosial diharapkan merupakan suatu lembaga yang memiliki efisiensi dan
efektivitas dalam memberikan pelayanan sosial. Organisasi pusat seringkali

19
mengharapkan suatu lembaga sosial untuk melakukan evaluasi secara reguler.
Beberapa topik berikut merupakan yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
evaluasi sebuah lembaga :
• Responsiveness /
Apakah lembaga ybs tanggap terhadap kebutuhan publik atau kebutuhan
penyandang masalah.
• Relevansi
Apakah pelayanan yang diberikan oleh lembaga yang bersangkutan relevan
dengan kebutuhan spesifik klien, pelayanan yang diberikan sudah sesuai
dengan maksud sesungguhnya dari pelayanan tersebut.
• Ketersediaan
Apakah jumlah dan tipe pelayanan yang diberikan mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan publik.
• Kemudahan akses
Apakah lokasi, biaya yang dikeluarkan, serta waktu yang digunakan sudah
sesuai dengan harapan publik, apakah proses-proses pelayanan mudah
dijangkau, apakah masih banyak calon-calon klien yang tak terlayani akibat
kesulitan akses.
• Kualitas
Apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan, apakah
terdapat standar yang dapat dijadikan acuan kualitas pelayanan, klien memiliki
kepuasan atas pelayanan yang diberikan.
• Produktivitas.
Apakah lembaga yang bersangkutan telah memanfaatkan sumber daya yang
ada secara efisien dalam mencapai tujuan lembaga.

H. ISU-ISU DAN MASALAH DALAM EVALUASI


Setiap program evaluasi, baik yang dilakukan oleh petugas pemberi
pelayanan maupun dilakukan oleh suatu lembaga sosial, memiliki potensi untuk
dilakukan secara salah atau diinterpretasi secara kurang tepat. Salah satu
penyebab kesalahan ini disebabkan oleh hakikat alat penelitian (Research Tools)

20
yang tersedia dan digunakannya. Selain itu juga ada isu lain yang berkenaan
dengan persoalan etik, misalnya jika kita akan menggunakan disain eksperimental
yang akan membandingkan antara klien yang telah diberi intervensi dengan yang
belum. Persoalan etik ini perlu diperhatikan sebelum petugas melaksanakan
evaluasi. Beberapa isu maupun persoalan yang berkaitan dengan evaluasi anatara
lain :

1. Masalah dalam generalisasi.

Seperti yang telah dibahas pada topik terdahulu, bahwa hasil evaluasi
seringkali menunjukkan hasil tertentu, yang menyimpulkan suatu program
berhasil atau telah gagal. Dari kesimpulan tersebut ditarik kepada kelompok lain
yang lebih luas (Generalisasi). Yang perlu dipahami secara lebih baik, adalah
bahwa suatu program atau suatu kegiatan pelayanan tertentu yang berhasil di
suatu kelompok tertentu belum tentu berhasil pula jika diterapkan pada kelompok
lain. Ada banyak hal yang berkaitan dengan pemahaman tersebut. Salah satunya
adalah masalah dengan generalisasi. Suatu alasan paling mendasar yang
berkenaan dengan masalah generalisasi adalah teknik sampling yang digunakan.

Prinsip penting yang harus selalu dijunjung tinggi dalam penarikan sampel
adalah “Prinsip Keterwakilan” (Representativeness). Semakin tinggi sampel
tersebut dapat mewakili elemen-elemen dalam populasi yang diteliti atau
dievaluasi, maka semakin luas pula kemungkinannya bagi penarikan generalisasi.
Teknik Random Sampling, misalnya, didasari asumsi bahwa setiap unit populasi
akan memiliki kesempatan yang sama untuk terambil menjadi unit sampling.
Akan tetapi terbuka kemungkinan pula bahwa unit populasi yang terambil
ternyata tidak / kurang mewakili pengelompokan-pengelompokan yang ada dalam
populasi tersebut, misalnya jenis kelamin. Dengan teknik random sampling ini
ada kemungkinan bahwa salah satu jenis kelamin terambil lebih besar
dibandingkan dengan jenis kelamin lain, Padahal, informasi dari kedua unit
sampel tersebut akan memberikan warna yang berbeda pada hasil evaluasi yang
akan dilakukan. Dengan demikian, hasil evaluasi juga akan menyimpang dari

21
kondisi yang sebenarnya. Kondisi inilah yang harus diperhatikan dalam
generalisasi suatu hasil evaluasi.

2. Pemilihan alat evaluasi yang kurang tepat.

Alat yang digunakan dalam suatu evaluasi harus benar-benar


dipertimbangkan dengan matang, karena alat evaluasi dapat digunakan secara
tidak tepat akan tetapi hasilnya seolah-olah lengkap seperti tidak ada masalah.
Tetapi jika didalami secara serius maka hasil evaluasi tersebut tidak
menggambarkan situasi yang sebenarnya. Misalnya, Penggunaan kuesioner
kepuasan klien untuk mengevaluasi pencapaian tujuan program pelayanan di
lembaga pelayanan kepada anak nakal. Penggunaan alat ini dapat dikatakan
kurang tepat, karena tujuan pelayanan adalah untuk mengurangi tingkat kenakalan
anak, bukan mengembangkan potensi anak. Jadi evaluasi yang dilakukan harus
dapat menggambarkan apakah kenakalan anak menurun, tetap, atau meningkat.

3. Kegagalan untuk melibatkan klien dalam proses evaluasi.

Idealnya, suatu proses evaluasi harus melibatkan klien semaksimal mungkin,


sehingga hasil evaluasi benar-benar menggambarkan situasi sebenarnya yang
hendak diketahui. Di lain pihak, ada hambatan etik tertentu yang tidak
memperbolehkan untuk melakukan penelitian terhadap klien tanpa pemberitahuan
tentang hakikat penelitian yang dilakukan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
keterlibatan klien dalam proses yang dilakukan. Selain itu, prinsip kerahasiaan
seringkali terbongkar dengan adanya penelitian evaluasi secara mendalam.
Kekhawatiran klien terhadap penyebarluasan informasi pribadi akan sangat
berpengaruh terhadap motivasinya untuk terlibat dalam proses evaluasi.

22
4. Ketidak percayaan staf terhadap evaluasi.

Telah diketahui bahwa tidak semua lembaga pelayanan sosial telah


melaksanakan evaluasi secara rutin. Pada lembaga seperti ini, evaluasi yang
dilakukan, terlebih lagi jika dilaksanakan secara mendadak, akan menimbulkan
ketakutan, kekhawatiran, atau bahkan ketidak percayaan terhadap proses dan
manfaat evaluasi yang dilakukan. Mereka merasa bahwa dirinya sedang dinilai,
atau akan dikritik. Dampak selanjutnya adalah pemberian informasi yang kurang
akurat, pemberian dukungan yang sangat terbatas, dan sebagainya yang
mengakibatkan evaluasi tidak memiliki manfaat apapun bagi lembaga tersebut.

5. Proses evaluasi “mencampuri” pemberian pelayanan.

Proses evaluasi hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu


proses intervensi yang dilakukan (Austin, 1982). Untuk menghindari masalah
tersebut, telah dikembangkan sistem informasi dengan menggunakan komputer
untuk menghindari hilangnya data, penjagaan kerahasiaan, serta sangat mudah
dilakukan. Akan tetapi, penggunaan komputer ini mengharuskan penyusunan
kuesioner secara panjang dan lengkap, akibatnya, dibutuhkan waktu yang panjang
untuk mengisi kuesioner tersebut, menghabiskan waktu, serta menjemukan. Hal
ini jelas sangat berpengaruh terhadap proses intervensi yang sedang dilakukan
yang tidak boleh terganggu oleh proses evaluasi yang dilakukan. Sebaliknya, jika
waktu yang diperlukan tersebut dipotong, maka dampaknya mengakibatkan
kurangnya data yang dapat dianalisis, kurang mendalam, dan akhirnya, evaluasi
tersebut kurang bermanfaat.

I. MONITORING DAN EVALUASI PARTISIPATIF


Pada dasarnya, landasan konseptual serta kerangka pikir dari moneva
partisipatif tidak berbeda dengan moneva biasa, hanya saja dilakukan melalui
suatu proses kerja partisipatif serta menggunakan alat kerja yang disusun dan
dikembangkan secara partisipatif. Artinya dilakukan oleh kelompok sasaran dari
program yang akan dievaluasi. Dengan demikian, kepemilikan, sustainabilitas

23
dari program yang dilakukan lebih terjamin. Selain itu, proses evaluasi tidak
sekedar memberikan penilaian atas proses yang dilakukan serta hasil yang dicapai
begitu saja, melainkan penilaian itu lebih berfungsi sebagai tenaga pendorong
(drives) bagi berjalannya program dengan lebih baik.

Evaluasi partisipatoris ini tidak hanya berhenti pada penilaian atas proses
maupun hasil, akan tetapi juga berupaya untuk mengeksplor apa yang menjadi
hambatan serta apa rekomendasi yang diberikan. Semuanya ini dilakukan oleh
sasaran (target group) dari pelayanan yang dilakukan.

Untuk mempermudah evaluasi yang dilakukan, maka diperlukan 2 buah matriks,


yaitu form yang digunakan seagai alat moneva. Matriks ini adalah matriks
evaluasi proses dan matriks evaluasi hasil.

1. Matriks Evaluasi Proses / monitoring.


Adalah suatu matriks yang berisi tentang aspek pengembangan masyarakat
atau aspek sub kegiatan sebagai proses yang dimonitor. Di samping itu juga
berisi tentang penilaian atas tingkat pelaksanaan sub kegiatan tersebut yang
masing-masing diberi skor. Penilaian tingkat pelaksanaan ini terbagi mejadi 4
tingkatan :
• Tidak terlaksana / tidak berjalan ----------- skor 1
• Sebagian kecil terlaksana / sebagian kecil berjalan ----------- skor 2
• Sebagian besar terlaksana / sebagian besar berjalan ----------- skor 3
• Terlaksana / berjalan secara penuh ----------- skor 4
Contoh :
Lembar Indikator
Aspek Aspek 1 2 3 4
Pengembang- Kegiatan
an masy Tidak Sebagian Sebagian Terlaksana
Terlaksana Kecil besar Secara Penuh
Terlaksana Terlaksana

24
1. Persiapan 1. Tdk Ada Hanya org Sebagian Seluruh komp
sosialisasi org yg tertentu yg bsar masy
mengetahui mengetahui kompnen mengetahui
masy
mengetahui

2. Tdk ada Hanya Didukung Didukung oleh


Dukungan dukungan didukng oleh seluruh
msy thd msy oleh org- sebagian komponen msy
pelayanan org tertentu besar
saja komponen
masy
2. Identifikasi Tidak ada Hanya Sebagian Seluruh
Pemahaman Masalah org yg orang-org bsr komponen
dan Analisis terlibat tertentu yg komponen masy terlibat
Masalah dalam terlibat dlm masy dlm proses
proses proses terlibat dlm
proses
Penentuan Seluruh
prioritas Hanya komponen
masalah Tidak ada orang-org Sebagian masy terlibat
org yg tertentu yg bsr dlm proses
terlibat terlibat dlm komponen
dalam proses masy
dst proses terlibat dlm Dst
proses
Dst

Dst dst

Lembar Penilaian Monitoring


Aspek Pengemb Kegiatan Nilai
Masyarakat
Persiapan Sosial 1. Sosialisasi.
2. Penggalangan dukungan masy thd
pelayanan
3. dst
Nilai Rata-rata
Pemahaman dan 1. Identifikasi masalah / kebutuhan.
analisis mslh 2. Penentuan prioritas masalah.
3. Identifikasi sistem sumber
4. dst
Nilai rata-rata
Perencanaan 1. Perumusan nama program pelayanan.
perumusan 2. Perumusan tujuan.

25
masalah 3. Perumusan langkah-langkah kegiatan
4. Pembentukan Kelompok kerja
5. Penyusunan anggaran.
6. Perumusan indikator keberhasilan
7. dst

Nilai rata-rata
Pelaksanaan 1. Mobilisasi sumber
2. Penerapan langkah-langkah kegiatan
3. pemeliharaan
4. dst
Nilai rata-rata
Moneva 1. Pelaksanaan monitoring
2. Pelaksanaan evaluasi hasil
Nlai rata-rata

Lembar Gambaran Hasil Monitoring


ASPEK /TAHAPAN PELAYANAN YG 1 2 3 4
DIBERIKAN
Persiapan sosial
Pemahaman dan analisis masalah
Perencanaan
Pelaksanaan
Moneva

Lembar pengungkapan hambatan dan rekomendasi.


ASPEK HAMBATAN REKOMENDASI
PENGEMBANGAN
MASY/AKTIVITAS
Persiapan
Pemahaman dan analisis
masalah
Perencanaan
Pelaksanaan
Moneva

Harus Diingat :

26
Pembuatan dan pengisian seluruh matriks dan lembar-lembar
monitoring ini harus dilakukan sediri oleh masyarakat / kelompok sasaran
secara penuh.

2. Matriks Evaluasi Hasil.


Adalah suatu matriks yang berisi tentang aspek pengembangan masyarakat
atau aspek sub kegiatan sebagai aspek yang dievaluasi. Di samping itu juga
berisi tentang penilaian atas tingkat pencapaian hasil pelaksanaan sub kegiatan
tersebut yang masing-masing diberi skor. Penilaian tingkat pelaksanaan ini
terbagi mejadi 4 tingkatan :
• Tidak berhasil -------- Skor 1
• Kurang berhasil ------ Skor 2
• Cukup berhasil ------- Skor 3
• Berhasil --------------- Skro 4
Contoh :
Penyusunan indikator.
ASPEK YG TIDAK KURANG CUKUP BERHASIL
DINILAI BERHASIL BERHASIL BERHASIL
1 2 3 4
Ketepatan Jadwal yg Jadwal yg Jadwal yg Jadwal yg
Waktu telah disusun telah disusun telah disusun telah disusun
terlaksana terlaksana terlaksana terlaksana
< 25% 26% - 50 % 51 - 75% > 75%
Ketepatan Target sasaran Target sasaran Target sasaran Target sasaran
sasaran tepat tepat tepat tepat
< 25% 26% - 50 % 51 - 75% > 75%
Kesesuaian Dst
jumlah
sasaran
Kesesuaian Dst
kualitas
Perubahan yg Dst
terjadi
Kesesuaian
lokasi
Penerimaan
warga thd
pelayanan
Manfaat yang
dirasakan

27
Lembar penilaian evaluasi hasil
ASPEK YG DINILAI NILAI

Ketepatan Waktu
Ketepatan sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yg terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd program
Manfaat yang dirasakan

Lembar gambaran hasil evaluasi hasil. (Tinggal diarsir sesuai dengan nilai yang
ada pada tabel di atas
ASPEK PENGEMBANGAN MASYARAKAT 1 2 3 4
Ketepatan waktu
Ketepatan Sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yang terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd pelayanan yang diberikan
Manfaat yang dirasakan

Lembar pengungkapan hambatan dan rekomendasi


ASPEK YG DINILAI HAMBATAN REKOMENDASI

Ketepatan Waktu
Ketepatan sasaran
Kesesuaian jumlah sasaran
Kesesuaian kualitas
Perubahan yg terjadi
Kesesuaian lokasi
Penerimaan warga thd pelayanan
Manfaat yang dirasakan

28
Harus Diingat :
Pembuatan dan pengisian seluruh matriks dan lembar-lembar Evaluasi
hasil ini harus dilakukan sediri oleh masyarakat / kelompok sasaran secara
penuh.

Kepustakaan :
Ashman, Karen K. Kirst, Grafton H. Hull Jr, 1993. Understanding Generalist
Practice, Nelson Hall Publishers Chicago.

Bloom, Martin, Joel Fischer, 1982. Evaluating Practice, Guidelines for


accountable
Professional, Prentice Hall, Englewood Cliffs. NJ.

Mukherjee, Nilanjana, Christien Van Wijk, 2000. Sustainability Planning and


Monitoring
A Guide on methodology for Participatory Assessment for Community
Driven
Development Program, IRC International Water and Sanitation Centre.

29
Pietrzak, Jeanne, Malia Ramler, Tanya Renner, Lucy Ford, Neil Gilbert, 1990.
Practical Program Evaluation. Sage Publications, London.

Sheafor, Bradford W., Charles Horesjsi, 2003. Techniques and Guidelines for
Social Work
Work Practice, Pearson Education Inc, Boston.
PEMBERDAYAAN

Pokok Bahasan:
1. Pengertian, tujuan, dan tingkatan keberdayaann masyarakat
2. Aspek dan indikator pemberdayaan masyarakat
3. Keterlibatan berbagai elemen dalam pemberdayaan masyarakat
4. Proses pemberdayaan masyarakat
5. Pendekatan, metode, dan strategi pemberdayaan masyarakat
6. Peran pendamping sosial dalam pemberdayaan masyarakat
Bab I
Pengertian, Tujuan, dan Tingkatan Keberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Memahami pengertian pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang tujuan pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang tingkatan keberdayaan masyarakat

Berubahnya paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan


desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta
masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan
muncul sebagai kata yang banyak diungkapkan ketika berbicara tentang
pembangunan. Meskipun demikian, pentingnya pemberdayaan masyarakat belum
sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) pembangunan, baik dari kalangan pemerintah, swasta, LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), dan masyarakat. Bahkan di kalangan masyarakat sendiri masih
gamang menghadapi praktik partisipasi dalam melaksanakan setiap tahapan
pembangunan di lingkungannya. Di sisi lain, hampir semua program pemerintah
mensyaratkan pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaanya, dimana masyarakat
ditempatkan pada posisi strategis yang menentukan keberhasilan program
pembangunan. Namun, dalam praktiknya pemberdayaan masyarakat sering
disalahgunakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di


Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan
awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang
berkembang belakangan. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan
masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa “empowerment is a process of helping
disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests,
by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political
action, understanding how to ‘work the system,’ and so on” (Ife, 1995). Definisi
tersebut mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya
memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam
suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan
tugasnya sebaik mungkin.

Di sisi lain Paul (1987) dalam Prijono dan Pranarka (1996) mengatakan
bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan
kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar
pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan.”Sedangkan konsep
pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif
menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk
melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan
langsung. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan
memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu
kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih
berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material
guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua,
kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
melalui proses dialog.

Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah


berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus
melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Soemodiningrat, 2002).
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and
sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan
ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep
pertumbuhan di masa yang lalu.

Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa
yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality
and intergenerational equaty” (Kartasasmita,1997). Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Soemodiningrat, 2002): pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah
punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah
lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban
adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.

Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya


ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Dalam hal
ini, yang terpenting adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan
demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena
hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus
dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan,
dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih
baik secara berkesinambungan.

2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat


Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk mencapai keadilan sosial.
Payne (1997:268) menyatakan keadilan sosial dengan memberikan ketentraman
kepada masyarakat yang lebih besar serta persamaan politik dan sosial melalui upaya
saling membantu dan belajar melalui pengembangan langkah-langkah kecil guna
tercapainya tujuan yang lebih besar.
3. Tingkatan Keberdayaan Masyarakat

Menurut Susiladiharti dalam Huraerah (2011) terbagi ke dalam lima


tingkatan, yakni:
a. Terpenuhinya kebutuhan dasar
b. Terjangkaunya sistem sumber atau akses terhadap layanan publik
c. Kesadaran akan kekutan dan kelemahan atas diri sendiri dan juga
lingkungannya
d. Mampu untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang bermanfaat di
masyarakat dan lingkungan yang lebih luas
e. Kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya. Tingkatan kelima
ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat dalam
mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan institusi
dan pemerintahan.

Jika dibuat kedalam sebuah bagan, maka tingkat keberdayaan ini berbentuk:

Gambar
Tingkat Keberdayaan Masyarakat Menurut Susiladiharti
(Huraerah, 2011)
Bab II
Aspek dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang aspek-aspek pemberdayaan masyarakat
• Menguraikan tentang indikator pemberdayaan masyarakat

1. Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat

Dalam kerangka ini upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowering)


dapat dikaji dari 3 (tiga) aspek:

Pertama, ENABLING yaitu menciptakan suasana yang memungkinkan


potensi masyarakat dapat berkembang. Asumsinya adalah pemahaman bahwa setiap
orang, setiap masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan artinya tidak
ada orang atau masyarakat tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membanguna daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimiliki masyarakat serta upaya untuk mengembangkannya.

Kedua, EMPOWERING yaitu memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat


melalui langkah-langkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai input dan
pembukaan dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat semakin
berdaya. Upaya yang paling pokok dalam empowerment ini adalah meningkatkan
taraf pendidikan dan derajat kesehatan serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi (modal, teknologi, informasi, lapangan keja, pasar) termasuk pembangunan
sarana dan prasarana dasar seperti (irigasi, jalan, listrik, sekolah, layanan kesehatan)
yang dapat dijangkau lapisan masyarakat paling bawah yang keberdayannya sangat
kurang. Oleh karena itu diperlukan program khusus, karena programprogram umum
yang berlaku untuk semua tidak selalu menyentuh kepentingan lapisan masyarakat
seperti ini.

Ketiga, PROTECTING yaitu melindungi dan membela kepentingan


masyarakat lemah. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur
penting, sehingga pemberdayaan masyarakat sangat erat hubungannya dengan
pementapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi (Friedmann, 1994).
Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi
pengambilan keputusan dari kelompok masyarakat yang berlandaskan pada
sumberdaya pribadi, langsung, demokratis dan pembelajaran sosial. Dalam hal ini
Friedmann (1994) menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas
bidang ekonomi saja tetapi juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat
akan memiliki posisi tawar (bargaining position) baik secara nasional maupun
internasional. Sebagai titik fokusnya adalah aspek lokalitas, karena civil society akan
merasa lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal.

2. Indikator Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan memang sebuah proses. Namun, dari proses tersebut dapat


dilihat dengan indikator-indikator yang menyertai proses pemberdayaan menuju
sebuah keberhasilan. Untuk mengetahui pencapaian tujuan pemberdayaan secara
operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat
menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Dengan cara ini kita
dapat melihat ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya
dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya
keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan.

Keberhasilan pemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan meraka


yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akses kesejahteraan, dan
kemampuan kultur serta politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat
dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’
(power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (power with). Dari
beberapa dasar tersebut, berikut ini sejumlah indikator yang dapat dikaitkan dengan
keberhasilan dari pemberdayaan (Suharto, 2005):

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau


wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah
ibadah, ke rumah tangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu
mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli
barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak goreng, bumbu);
kebutuhan dirinya (minyak rambut, shampo, rokok, bedak). Individu dianggap
mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri
tanpa meminta ijin orang lain termasuk pasangannya, terlebih jika ia dapat
membeli barang-barang dengan menggunakan uangnya sendiri.
3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli
barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran,
majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas, point tinggi diberikan
terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin dari
orang lain, terlebih jika ia dapat membeli dengan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat
keputusan secara sendiri maupun bersama (suami/istri) mengenai keputusan
keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk ternak,
memperoleh kredit usaha.
5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah
dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak, mertua) yang
mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang
mempunyai anak, atau melarang bekerja di luar rumah.
6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai
pemerintah desa/kelurahan, seorang anggota DPRD setempat, nama presiden,
mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes seseorang dianggap ‘berdaya’
jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes,
misalnya terhadap suami yang memukul isteri; isteri yang mengabaikan suami
dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau
penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kotribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, aset
produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki
aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.
Bab III
Keterlibatan Berbagai Elemen dalam Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang berbagai elemen yang terlibat dalam pemberdayaan
masyarakat
• Menguraikan tentang mekanisme pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

1. Elemen-elemen Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah,


perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor,
aktor aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi
pemerintah sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan
yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang
banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian
layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat,
komprehensif dan berkelanjutan jika berbagai unsur tersebut membangun kemitraan
dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati (Eko,
2002).

2. Mekanisme Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat harus melibatkan berbagai potensi yang ada dalam


masyarakat, beberapa elemen yang terkait, misalnya: Pertama, Peranan Pemerintah
dalam artian birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini, mampu
membangun partisipasi, membuka dialog dengan masyarakat, menciptakan
instrument peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan
masyarakat bawah.

Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan diluar lingkunan masyarakat,


Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi kemasyarakatan nasional maupun lokal,
Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan didalam masyarakat itu sendiri
(local community organization) seperti BPD (Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa), PKK, Karang Taruna dan sebagainya. Keempat, koperasi sebagai wadah
ekonomi rakyat yang merupakan organisasi sosial berwatak ekonomi dan merupakan
bangun usaha yang sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia.
Kelima, Pendamping dierlukan karena masyarakat miskin biasanya mempuyai
keterbatasan dalam pengembangan diri dan kelompoknya, Keenam, pemeberdayaan
harus tercermin dalam proses perencanaan pembangunan nasional sebagai proses
bottom-up. Ketujuh, keterlibatan masyarakat yang lebih mampu khususnya dunia
usaha dan swasta.

Bab IV
Proses Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang proses pemberdayaan masyarakat
• Menjelaskan tentang siklus pemberdayaan masyarakat

1. Proses Pemberdayaan Masyarakat


Miley and DuBois (Shera & Wells, 1999:3) menjelaskan bahwa “through
dialogue, workers develop collaborative partnerships with clients, articulate the
aspects of challenging situations, and define the purposses to locate resources on
which to construct plans for change. For development, workers and clients activate
interpersonal and institutional resources, forge connections with other persons and
systems, and create new oppotunities to distribute the resources of just society”.
Dalam upaya agar masyarakat berdaya maka memerlukan intervensi. Ada
beberapa tahapan intervensi yang direncanakan agar tercapai keberhasilan
pemberdayaan tersebut. Tahapan yang dilakukan lebih dekat sebagai upaya
pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat yang dilakukan diharapkan
berujung pada terrealisasinya proses pemberdayaan masyarakat (Zubaedi, 2007).
Menurut Adi (2013) tahapan dalam proses pengembangan masyarakat, yaitu:
1) Tahap persiapan (engagement)
Tahap persiapan dalam kegiatan pengembangan masyarakat terdiri dua hal, yaitu
persiapan petugas dan persiapan lapangan. Persiapan petugas diperlukan untuk
menyamakan persepsi antar anggota tim sebagai pelaku perubahan mengenai
pendekatan apa yang akan dipilih dalam melakukan pengembangan masyarakat.
Sementara, persiapan lapangan dilakukan melalui studi kelayakan terhadap daerah
yang akan dijadikan sasaran, baik dilakukan secara formal maupun informal. Jika
sudah ditemukan daerah yang ingin dikembangkan, petugas harus mencoba
menerobos jalur formal untuk mendapat perizinan dari pihak terkait. Di samping
itu, petugas juga harus menjalin kontak dengan tokoh-tokoh informal agar
hubungan dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik.
2) Tahap pengkajian (assessment)
Proses pengkajian yang dilakukan dengan mengidentifikasi masalah atau
kebutuhan yang diekspresikan dan sumber daya yang dimiliki komunitas sasaran.
Masyarakat dilibatkan secara aktif agar permasalahan yang keluar adalah dari
pandangan mereka sendiri, dan petugas memfasilitasi warga untuk menyusun
prioritas dari permasalahan yang mereka sampaikan. Hasil pengkajian ini akan
ditindaklanjuti pada tahap berikutnya, yaitu tahap perencanaan.
3) Tahap perencanaan alternatif kegiatan (planning)
Pada tahap ini petugas secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk
berpikir tentang masalah yang mereka hadapi, bagaimana cara mengatasinya serta
memikirkan beberapa alternatif program dan kegiatan yang dapat dilakukan.
4) Tahap formulasi rencana aksi (action plan formulation)
Pada tahap ini petugas membantu masing-masing kelompok untuk merumuskan
dan menentukan program dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan guna
mengadaptasi permasalahan yang ada.
Pada tahap ini diharapkan petugas dan masyarakat sudah dapat membayangkan
dan menuliskan tujuan jangka pendek tentang apa yang akan dicapai dan
bagaimana mencapai tujuan tersebut.
5) Tahap implementasi kegiatan (implementation) Tahap pelaksanaan ini merupakan
salah satu tahap yang paling penting dalam proses pengembangan masyarakat,
karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik dapat melenceng dalam
pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara pelaku perubahan dan
warga masyarakat, maupun kerjasama antarwarga.
6) Tahap evaluasi (evaluation)
Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program
yang sedang berjalan. Pada tahap ini sebaiknya melibatkan warga untuk
melakukan pengawasan secara internal agar dalam jangka panjang diharapkan
membentuk suatu sistem dalam masyarakat yang lebih mandiri dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan
umpan balik bagi perbaikan kegiatan.
7) Tahap terminasi (termination)
Tahap ini merupakan tahap ‘perpisahan’ hubungan secara formal dengan
komunitas sasaran. Terminasi dilakukan seringkali bukan karena masyarakat
sudah dianggap mandiri, tetapi karena proyek sudah harus dihentikan karena
sudah melebihi jangka waktu yang ditetapkan sebelumnya, atau karena anggaran
sudah selesai dan tidak ada penyandang dana yang dapat dan mau meneruskan
program tersebut.
Ketujuh tahapan intervensi di atas merupakan proses siklikal yang dapat
berputar guna mencapai perubahan yang lebih baik, terutama setelah dilakukan
evaluasi proses (monitoring) terhadap pelaksanaan kegiatan yang ada. Siklus juga
dapat berbalik di beberapa tahapan yang lainnya, misalnya ketika akan
memformulasikan rencana aksi, ternyata petugas dan masyarakat merasakan ada
keanehan atau perkembangan baru di masyarakat sehingga mereka memutuskan
untuk melakukan pengkajian kembali (reassessment) terhadap apa yang sudah
dilakukan sebelumnya.
2. Siklus Pemberdayaan Masyarakat
Bab V
Pendekatan dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang pendekatan pemberdayaan masyarakat
• Menggunakan metode pemberdayaan masyarakat
• Menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat

1. Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat


Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek
dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut
(Sumodiningrat, 2002): pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer
disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan
program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu
mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan
kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus
meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-
sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang
dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya
dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari
penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dipahami
sebagai proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik
masyarakat, sehingga perubahan struktural yang terjadi diharapkan merupakan proses
yang berlangsung secara alami. Teori-teori ekonomi makro memerlukan intervensi
yang tepat sehingga kebijaksanaan pada tingkat makro mendukung upaya menutup
kesenjangan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat mikro yang langsung ditujukan
kepada masyarakat lapisan bawah, sehingga pemberdayaan masyarakat (empowering)
sebagai model pembangunan dapat menjadi jembatan bagi konsep-konsep
pembangunan makro dan mikro.
2. Metode Pemberdayaan Masyarakat
Kartasasmita (1995:95) mengemukakan bahwa upaya memberdayakan rakyat
harus dilakukan melalui tiga cara yaitu:
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk
berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan
masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian
dam keberdayaan rakyat adalah keyakinan dan potensi kemandirian tiap individu
perlu untuk diberdayakan. Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada
proses kemandirian tiap individu, yang kemungkinan meluas ke keluarga, serta
kelompok masyarakat baik ditingkat lokal maupun nasional.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan
langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana
dan sarana yang baik fisik (irigasi, jalan dan listrik), maupun sosial (sekolah dan
fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling
bawah. Terbentuknya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin
berdaya seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan
pemasaran. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini yang penting antara lain
adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta
akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi
lapangan kerja serta pasar.
c. Memberdayakan masyarakat dalam arti melindungi dan membela kepentingan
masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai
yang lemah bertambah lemah atau mungkin terpinggirkan dalam menghadapi yang
kuat oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah sangat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan
membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.

3. Strategi Pemberdayaan Masyarakat


Huraerah (2008:87) mengungkapkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah
sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community
self-reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk
membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi
masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai kemampuan
yang dimiliki.
Bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
pemberdayaan masyarakat? Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan
untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat.
Pertama: menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama, menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan
berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik,
seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan
kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta
ketersediaan lembaga lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan,
dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu
ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program
umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi
juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras,
hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya
pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di
dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan,
pengamalan demokrasi.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena
hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus
dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan,
dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih
baik secara berkesinambungan.
Bab VI
Peran Pendamping Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang sifat fasilitator pemberdayaan masyarakat
• Menguraikan peran pendamping sosial dalam pemberdayaan masyarakat

1. Sifat Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat

2. Peran Pendamping Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat

Peran pendamping sosial dalam pemberdayaan masyarakat dapat merujuk pada


peran community worker sebagai pelaku perubahan dalam pemberdayaan masyarakat,
seperti dijelaskan berikut ini:
Daftar Pustaka
Buku:
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas, Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI
Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pers
Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Utama
Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan
Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan, Edisi Kedua. Bandung:
Humaniora
Ife, Jim & Tesorierro, Frank. 2008. Community Development: Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Edisi Ketiga (Sastrawan
Manullang, Nurul Yakin, M. Nursyahid; alih bahasa). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Jamasy, Owin. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan.
Jakarta: Blantika
Kenny, Susan. 2007. Developing Communities for the Future, Third Edition.
Australia: Nelson Australia Pty Limited
Murray Hawtin & Janie Percy-Smith, 2007. Community Profiling: A Practical Guide,
Second Edition. England: McGraw Hill Open University Press
Netting, F. Ellen, Kettner, Peter M. & McMurtry. 1993. Steven L. Social Work
Macro Practice. New York:, Longman
Priyono, Onny S. & Pranarka, A.M.W. (Penyunting), 1999. Pemberdayaan: Konsep,
Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies
Shera, Wes & M. Wells, Lilian (ed.). 1999. Empowerment Practice in Social Work,
Canadian Scholars’ Press Inc., Toronto
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Cetakan
Pertama. Bandung: PT Refika Aditama
PEMERLU PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
(PPKS) DAN POTENSI DAN SUMBER KESEJAHTERAAN
SOSIAL (PSKS)

Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk


memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Dampak dari kemiskinan sangat kompleks menyentuh berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak dari masalah kemiskinan adalah
meningkatnya jenis dan jumlah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial
(PPKS).
Upaya penanganan masalah kemiskinan memerlukan berbagai strategi
dalam pelaksanaannya. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
merupakan potensi atau sumber yang ada pada manusia, alam dan institusi sosial
yang dapat digunakan untuk usaha kesejahteraan sosial dalam penanganan
kemiskinan. PSKS inilah yang bersama-sama dengan pendamping sosial akan
berupaya melakukan usaha kesejahteraan sosial dalam penanganan kemiskinan
untuk itu diperlukan pemahaman mendalam para pendamping sosial tentang
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS khususnya dalam menyelenggarakan pendampingan
kepada masyarakat.

I. PEMERLU PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (PPKS)

A. Kompetensi Dasar
1. Mengenali jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial
2. Mengklasifikasikan jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan
Sosial
3. Menghubungkan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial dengan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang diperlukan.
B. Tujuan
Peserta uji kompetensi sertifikasi mampu menjelaskan dan
menghubungkan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PSKS) dengan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)

C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS)
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya,
sehingga memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik jasmani dan rohani maupun sosial secara memadai dan
wajar (Permensos Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Data
Terpadu Kesejahteraan Sosial)
2. Jenis-jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS)
1) Anak Balita Telantar adalah seorang anak berusia 5 (lima) tahun ke
bawah yang ditelantarkan orang tuanya dan/atau berada di dalam
keluarga tidak mampu oleh orang tua/keluarga yang tidak memberikan
pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlindungan bagi anak
sehingga hak-hak dasarnya semakin tidak terpenuhi serta anak
dieksploitasi untuk tujuan tertentu.
Kriteria:
a) terlantar/ tanpa asuhan yang layak;
b) berasal dari keluarga sangat miskin / miskin;
c) kehilangan hak asuh dari orangtua/ keluarga;
d) Anak balita yang mengalami perlakuan salah dan diterlantarkan
oleh orang tua/keluarga;
e) Anak balita yang dieksploitasi secara ekonomi seperti anak balita
yang disalahgunakan orang tua menjadi pengemis di jalanan; dan
f) Anak balita yang menderita gizi buruk atau kurang.
2) Anak Terlantar adalah seorang anak beberusia 6
(enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun, meliputi anak yang mengalami perlakuan
salah dan ditelantarkan oleh orang tua/keluarga
atau anak kehilangan hak asuh dari orang
tua/keluarga.
Kriteria :
a) berasal dari keluarga fakir miskin;
b) anak yang dilalaikan oleh orang tuanya; dan
c) anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

3) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah orang yang telah


berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, meliputi anak yang disangka, didakwa, atau
dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana dan anak yang
menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Kriteria :
a) disangka;
b) didakwa; atau
c) dijatuhi pidana

4) Anak Jalanan adalah anak yang rentan bekerja di


jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak
yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghasilkan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Kriteria :
a) menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan maupun
ditempattempat umum; atau
b) mencari nafkah dan/atau berkeliaran di jalanan maupun
ditempattempat umum.
5) Anak dengan Kedisabilitasan (ADK) adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun yang mempunyai kelainan fisik atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani
maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari anak dengan disabilitas
fisik, anak dengan disabilitas mental dan anak dengan disabilitas fisik
dan mental.
Kriteria :
a) Anak dengan disabilitas fisik : tubuh, netra, rungu wicara
b) Anak dengan disabilitas mental : mental retardasi dan eks psikotik
c) Anak dengan disabilitas fisik dan mental/disabilitas ganda
d) Tidak mampu melaksanakan kehidupan sehari-hari.

6) Anak yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan


Salah adalah anak yang terancam secara fisik dan nonfisik karena
tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam
lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani
maupun sosial.
Kriteria :
a) anak (laki-laki/perempuan) dibawah usia 18 (delapan belas) tahun;
b) sering mendapat perlakuan kasar dan kejam dan tindakan yang
berakibat secara fisik dan/atau psikologis;
c) pernah dianiaya dan/atau diperkosa; dan
d) dipaksa bekerja (tidak atas kemauannya)

7) Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus adalah anak yang


berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dalam
situasi darurat, dari kelompok minoritas dan terisolasi, dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, diperdagangkan, menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza), korban penculikan, penjualan, perdagangan, korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, yang menyandang disabilitas,
dan korban perlakuan salah dan penelantaran.
Kriteria :
a) berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun;
b) dalam situasi darurat dan berada dalam lingkungan yang
buruk/diskriminasi;
c) korban perdagangan manusia;
d) korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental dan seksual;
e) korban eksploitasi, ekonomi atau seksual;
f) dari kelompok minoritas dan terisolasi, serta dari komunitas adat
terpencil;
g) menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika
dan zat adiktif lainnya (NAPZA); dan h. terinfeksi HIV/AIDS.

8) Lanjut Usia Telantar adalah seseorang yang berusia 60


(enam puluh) tahun atau lebih, karena faktor-faktor
tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kriteria :
a) tidak terpenuhi kebutuhan dasar seperti sandang,
pangan, dan papan; dan
b) terlantar secara psikis, dan sosial.

9) Penyandang Disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan


fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama
dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan hal ini dapat
mengalami partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat
berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Kriteria :
a) mengalami hambatan untuk melakukan suatu aktifitas sehari-hari;
b) mengalami hambatan dalam bekerja sehari-hari;
c) tidak mampu memecahkan masalah secara memadai;
d) penyandang disabilitas fisik : tubuh, netra, rungu wicara;
e) penyandang disabilitas mental : mental retardasi dan eks psikotik;
f) penyandang disabilitas fisik dan mental/disabilitas ganda.

10) Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual


dengan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan
bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan
imbalan uang, materi atau jasa.
Kriteria :
a) menjajakan diri di tempat umum, di lokasi atau tempat pelacuran
seperti rumah bordil, dan tempat terselubung seperti warung
remangremang, hotel, mall dan diskotek; dan
b) memperoleh imbalan uang, materi atau jasa

11) Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang


tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal
yang tetap serta mengembara di tempat umum.
Kriteria :
a) tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP);
b) tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap;
c) tanpa penghasilan yang tetap; dan
d) tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.

12) Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan meminta-


minta ditempat umum dengan berbaggai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan orang lain.
Kriteria :
a) mata pencariannya tergantung pada belas kasihan orang lain;
b) berpakaian kumuh dan compang camping;
c) berada ditempat-tempat ramai/strategis; dan
d) memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.

13) Pemulung adalah orang-orang yang melakukan


pekerjaan dengan cara memungut dan
mengumpulkan barang-barang bekas yang berada
di berbagai tempat pemukiman pendudukan,
pertokoan dan/atau pasarpasar yang bermaksud
untuk didaur ulang atau dijual kembali, sehingga
memiliki nilai ekonomis.
Kriteria :
a) tidak mempunyai pekerjaan tetap; dan
b) mengumpulkan barang bekas.

14) Kelompok Minoritas adalah kelompok yang mengalami gangguan


keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi dan marginalisasi yang
diterimanya sehingga karena keterbatasannya menyebabkan dirinya
rentan mengalami masalah sosial, seperti gay, waria, dan lesbian.
Kriteria :
a) gangguan keberfungsian sosial;
b) diskriminasi;
c) marginalisasi; dan
d) berperilaku seks menyimpang.

15) Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP)


adalah seseorang yang telah selesai menjalani masa pidananya sesuai
dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk
menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga
mendapat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau
melaksanakan kehidupannya secara normal.
Kriteria :
a) seseorang (laki-laki/perempuan) berusia diatas 18 tahun;
b) telah selesai dan keluar dari lembaga pemasyarakatan karena
masalah pidana;
c) kurang diterima/dijauhi atau diabaikan olehkeluarga dan
masyarakat;
d) sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap; dan
e) berperan sebagai kepala keluarga/pencari nafkah utama keluarga
yang tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya.

16) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah seseorang yang telah


dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS dan membutuhkan pelayanan
sosial, perawatan kesehatan, dukungan dan pengobatan untuk
mencapai kuaalitas hidup yang optimal.
Kriteria :
a) seseorang (laki-laki/perempuan) berusia diatas 18 (delapan belas)
tahun; dan
b) telah terinfeksi HIV/AIDS.

17) Korban Penyalahgunaan NAPZA adalah seseorang yang


menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya diluar
pengobatan atautanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
Kriteria :
a) seseorang (laki-laki / perempuan) yang pernah menyalahgunakan
narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya baik dilakukan
sekali, lebih dari sekali atau dalam taraf coba-coba;
b) secara medik sudah dinyatakan bebas dari ketergantungan obat
oleh dokter yang berwenang; dan
c) tidak dapat melaksanakan keberfungsian sosialnya.
18) Korban Trafficking adalah seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Kriteria :
a) mengalami tindak kekerasan;
b) mengalami eksploitasi seksual;
c) mengalami penelantaran;
d) mengalami pengusiran (deportasi); dan
e) ketidakmampuan menyesuaikan diri di tempat kerja baru (negara
tempat bekerja) sehingga mengakibatkan fungsi sosialnya
terganggu.

19) Korban Tindak Kekerasan adalah orang baik individu, keluarga,


kelompok maupun kesatuan masyarakat tertentu yang mengalami
tindak kekerasan, baik sebagai akibat perlakuan salah, eksploitasi,
diskriminasi, bentuk-bentuk kekerasan lainnya ataupun dengan
membiarkan orang berada dalam situasi berbahaya sehingga
menyebabkan fungsi sosialnya terganggu.
Kriteria :
a) mengalami perlakuan salah;
b) mengalami penelantaran;
c) mengalami tindakan eksploitasi;
d) mengalami perlakuan diskriminasi; dandibiarkan dalam situasi
berbahaya.

20) Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS) adalah pekerja migran


internal dan lintas negara yang mengalami masalah sosial, baik
dalam bentuk tindak kekerasan, penelantaran, mengalami musibah
(faktor alam dan sosial) maupun mengalami disharmoni sosial
karena ketidakmampuan menyesuaikan diri di negara tempat bekerja
sehingga mengakibatkan fungsi sosialnya terganggu.
Kriteria :
a) pekerja migran domestik;
b) pekerja migran lintas negara;
c) eks pekerja migran domestik dan lintas negara;
d) eks pekerja migran domestik dan lintas negara yang sakit, cacat
dan meninggal dunia;
e) pekerja migran tidak berdokumen (undocument);
f) pekerja migran miskin;
g) mengalami masalah sosial dalam bentuk :
(1) tindak kekerasan;
(2) eksploitasi;
(3) penelantaran;
(4) pengusiran (deportasi);
(5) ketidakmampuan menyesuaikan diri di tempat kerja baru
(negara tempat bekerja) sehingga mengakibatkan fungsi
sosialnya terganggu; dan
(6) mengalami traffiking

21) Korban Bencana Alam adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor terganggu fungsi
sosialnya.
Kriteria :
Seseorang atau sekelompok orang yang mengalami:
a) korban terluka atau meninggal;
b) kerugian harta benda;
c) dampak psikologis; dan
d) terganggu dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
22) Korban Bencana Sosial adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.
Kriteria :
Seseorang atau sekelompok orang yang mengalami:
a) korban jiwa manusia;
b) kerugian harta benda; dan
c) dampak psikologis.

23) Perempuan Rawan Sosial Ekonomi adalah seorang perempuan


dewasa menikah, belum menikah atau janda dan tidak mempunyai
penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari.
Kriteria :
a) perempuan berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 59
(lima puluh sembilan) tahun;
b) istri yang ditinggal suami tanpa kejelasan;
c) menjadi pencari nafkah utama keluarga; dan
d) berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan
hidup layak.

24) Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Kriteria :
a) tidak mempunyai sumber mata pencaharian; dan/atau
b) mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya

25) Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis adalah keluarga yang


hubungan antar anggota keluarganya terutama antara suami-istri,
orang tua dengan anak kurang serasi, sehingga tugas-tugas dan
fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
Kriteria :
a) suami atau istri sering tidak saling memperhatikan atau anggota
keluarga kurang berkomunikasi;
b) suami dan istri sering bertengkar, hidup sendiri-sendiri walaupun
masih dalam ikatan keluarga;
c) hubungan dengan tetangga kurang baik, sering bertengkar tidak
mau bergaul/ berkomunikasi; dan kebutuhan anak baik jasmani,
rohani maupun sosial kurang terpenuhi.

26) Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang


bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam
jaringan dan pelayanan baik sosial ekonomi,
maupun politik.
Kriteria :
a) berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup
dan hommogen;
b) pranata sosial bertumpu pada hubungan
kekerabatan;
c) pada umumnya terpencil secara geografis
dan relatif sulit dijangkau;
d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistem;
e) peralatan dan teknologinya sederhana;
f) ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam
setempat relatif tinggi; dan
g) terbatasnya akses pelayanan sosial ekonomi dan politik.

CI. POTENSI DAN SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL (PSKS)


A. Kompetensi Dasar
1. Menemukenali Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
2. Menyusun daftar Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
3. Memilih Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang sesuai dengan
kebutuhan dan permasalahan PPKS
4. Menggunakan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial untuk
menangani permasalahan PPKS
B. Tujuan
Peserta uji kompetensi sertifikasi mampu mengidentifikasi, menentukan, dan
menghubungkan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dengan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang diperlukan.
C. Materi
a. Pengertian Potensi Kesejahteran Sosial (PSKS)
Pengertian PSKS pada dasarnya mencakup:
1. Potensi Kesejahteran Sosial adalah individu, kelompok, organisasi,
dan lembaga yang belum memiliki dan atau belum memperoleh
pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan
kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya belum dapat
didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan
kesejahteraan sosial.
2. Sumber Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, organisasi,
dan lembaga yang telah memiliki kemampuan dan atau telah
memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek
pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya dapat
didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan
kesejahteraan social.
3. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disebut
PSKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat
yang dapat berperan serta untuk menjaga, menciptakan, mendukung,
dan memperkuat penyelenggaraan kesejahteraan social.
ii. Jenis-Jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
PSKS seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial terdiri dari :
1) Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di
lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek
pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial.
Kriteria:
a) telah bersertifikasi pekerja sosial profesional; dan
b) melaksanakan praktik pekerjaan sosial.
2) Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) adalah warga masyarakat yang
atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong
oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial
secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial.
Kriteria :
a) Warga Negara Indonesia;
b) laki-laki atau perempuan usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
c) setia dan taat pada Pancasila dan Undang-Undangan Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d) bersedia mengabdi untuk kepentingan umum;
e) berkelakuan baik;
f) sehat jasmani dan rohani;
g) telah mengikuti pelatihan PSM; dan
h) berpengalaman sebagai anggota Karang Taruna sebelum menjadi
PSM.

3) Taruna Siaga Bencana (Tagana) adalah seorang relawan yang


berasal dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif dalam
penanggulangan bencana.
Kriteria untuk dapat diangkat menjadi Tagana :
a) generasi muda berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 40
(empat puluh) tahun;
b) memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanggulangan
bencana;
c) bersedia mengikuti pelatihan yang khusus terkait dengan
penanggulangan bencana;
d) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan
e) setia dan taat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

4) Lembaga Kesejahteraan Sosial selanjunya disebut LKS adalah


organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Kriteria :
a) mempunyai nama, struktur dan alamat organisasi yang jelas;
b) mempunyai pengurus dan program kerja;
c) berbadan hukum atau tidak berbadan hukum; dan
d) melaksanakan/mempunyai kegiatan dalam bidang penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
5) Karang Taruna adalah Organisasi sosial kemasyarakatan sebagai
wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang
tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab
sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di
wilayah desa/kelurahan terutama bergerak di bidang usaha
kesejahteraan sosial.
Kriteria :
a) organisasi kepemudaan berkedudukan di desa/kelurahan;
b) laki-laki atau perempuan yang berusia 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 45 (empat puluh lima) tahun dan berdomisili di desa;
c) mempunyai nama dan alamat, struktur organisasi dan susunan
kepengurusan; dan
d) keanggotaannya bersifat stelsel pasif.

6) Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga selanjutnya disebut


(LK3) adalah Suatu Lembaga/Organisasi yang memberikan pelayanan
konseling, konsultasi, pemberian/penyebarluasan informasi,
penjangkauan, advokasi dan pemberdayaan bagi keluarga secara
profesional, termasuk merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain
yang benar-benar mampu memecahkan masalahnya secara lebih
intensif.
Kriteria :
a) Organisasi Sosial;
b) aktifitas memberikan jasa layanan konseling, konsultasi, informasi,
advokasi, rujukan;
c) didirikan secara formal; dan
d) mempunyai struktur organisasi dan pekerja sosial serta
tenagafungsional yang profesional.
7) Keluarga Pioner adalah keluarga yang mampu mengatasi
masalahnya dengan cara-cara efektif dan bisa dijadikan panutan bagi
keluarga lainnya.
Kriteria:
a) keluarga yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga;
b) keluarga yang mempunyai prilaku yang dapat dijadikan panutan;
c) keluarga yang mampu mempertahankan keutuhan keluarga dengan
prilaku yang positif; dan
d) keluarga yang mampu dan mau menularkan perilaku positif kepada
keluarga lainnya.

8) Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat


yang selanjutnya disebut (WKSBM) adalah Sistim kerjasama antar
keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha
kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya.
Kriteria :
a) adanya sejumlah perkumpulan, asosiasi, organisasi/kelompok yang
tumbuh dan berkembang di lingkungan RT/RW/Kampung/ Desa/
kelurahan/nagari/ banjar atau wilayah adat;
b) jaringan sosial yang berada di RT/RW/Kampung/ Desa/
Kelurahan/nagari/ banjir atau wilayah adat; dan
c) masing-masing perkumpulan, asosiasi, organisasi kelompok
tersebut secara bersama-sama melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara sinergis di lingkungan.

9) Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial adalah wanita yang mampu


menggerakkan dan memotivasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial
di lingkungannya.
Kriteria :
a) berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 59 (lima puluh
sembilan) tahun;
b) berpendidikan minimal SLTP;
c) wanita yang mempunyai potensi untuk menjadi/sudah menjadi
pemimpin dan diakui oleh masyarakat setempat;
d) telah mengikuti pelatihan kepemimpinan wanita di bidang
kesejahteraan sosial; dan
e) memimpin usaha kesejahteraan sosial terutama yang dilaksanakan
oleh wanita di wilayahnya.

10) Penyuluh Sosial :


a) Penyuluh Sosial Fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang mempunyai jabatan ruang lingkup, tugas, tanggung jawab,
wewenang, untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Kriteria :
Penyuluh Sosial Fungsional:
(1) berijazah sarjana (S1)/ Diploma IV;
(2) paling rendah memiliki pangkat Penata Muda, Golongan III/a;
(3) memiliki pengalaman dalam kegiatan penyuluhan sosial
paling singkat 2 (dua) tahun;
(4) telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan
fungsional penyuluh sosial;
(5) usia paling tinggi 50 (lima puluh) tahun; dan
(6) setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan
pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-
3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
b) Penyuluh Sosial Masyarakat adalah tokoh masyarakat (baik dari
tokoh agama, tokoh adat, tokoh wanita, tokoh pemuda) yang
diberi tugas, tanggung jawab wewewang dan hak oleh pejabat
yang berwenang bidang kesejahteraan sosial (pusat dan daerah)
untuk melakukan kegiatan penyuluhan bidang penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Kriteria :
Penyuluh Sosial Masyarakat;
(1) memilki pendidikan minimal SLTP/sederajat;
(2) berusia antara 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 60
(enam puluh) tahun;
(3) tokoh agama/tokoh masyarakat/tokoh pemuda/tokoh
adat/tokoh wanita;
(4) Pekerja Sosial Masyarakat (PSM);
(5) Taruna Siaga Bencana (Tagana);
(6) Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamantan (TKSK);
(7) Pendamping Keluarga Harapan (PKH);
(8) Petugas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga
(Petugas LK3);
(9) Manager Kesejahteraan Sosial tingkat desa (Kepala Desa);
(10) memiliki pengaruh terhaddap masyarakat tempat domisili;
(11) memiliki pengalaman berceramah atau berpidato;
(12) paham tentang permasalahan Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS); dan
(13) memahami pengetahuan tentang Potensi Sumber
Kesejahteraan Sosial.

11) Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan yang selanjutnya disebut


TKSK adalah Tenaga inti pengendali kegiatan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di kecamatan.
Kriteria :
a) berasal dari unsur masyarakat;
b) berdomisili di kecamatan dimana ditugaskan;
c) pendidikan minimal SLTA, diutamakan D3/S1;
d) diutamakan aktifis karang taruna atau PSM;
e) berusia 25 (dua puluh lima) tahun sampaidengan 50 (lima puluh)
tahun;
f) berbadan sehat (keterangan dokter/puskesmas);
g) diutamakan yang sudah mengelola UEP; dan
h) SK ditetapkan oleh Kementerian Sosial.

12) Dunia Usaha adalah organisasi yang bergerak di bidang usaha,


industri atau produk barang atau jasa serta Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta/atau wirausahawan beserta
jaringannya yang peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial.
Kriteria :
a) peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial; dan
b) membantu penanganan masalah sosial.
Pada dasarnya Pendamping Sosial merupakan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang bertugas salah satunya memberikan
pendampingan sosial sesuai dengan masalah dan kebutuhan Penyandang
Masalah Kejahteraan Sosial (PPKS) yang ditanganinya.

A. Soal Latihan
1. Seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau
lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan
yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
a. Pemulung
b. Tuna Susila
c. Tuna Sosial
d. Pengemis

2. Individu, kelompok, organisasi, dan lembaga yang belum memiliki


dan atau belum memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di
berbagai aspek pembangunan kesejahteraan sosial sehingga
keberadaannya belum dapat didayagunakan secara langsung untuk
mendukung pembangunan kesejahteraan sosial.
a. Sumber kesejahteraan sosial
b. Potensi kesejahteraan sosial
c. Aset sosial
d. Semua benar
3. Anak yang berusia 5-18 tahun dan belum menikah, yang diduga,
disangka, dan didakwa atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindakan pidana.
a. Anak yang bermasalah sosial psikologis
b. Anak yang berhadapan dengan Hukum
c. Anak jalanan
d. Anak terlantar

4. Wanita yang mampu menggerakkan dan memotivasi penyelenggaraan


kesejahteraan sosial di lingkungannya.
a. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial
b. Wanita Penyelenggara Kesejahteraan Sosial
c. Wanita Pengggerak Kesejahteraan Sosial
d. Wanita Pendorong Kesejahteraan Sosial

5. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang dapat


digunakan dalam penanganan anak yang menjadi korban tindak
kekerasan atau diperlakukan salah adalah:
a. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Rumah Sakit, Pekerja
Sosial Masyarakat
b. Lembaga Kesejahteraan Sosial, Taruna Siaga Bencana, Pekerja
Sosial Masyarakat
c. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Lembaga Kesejahteraan
Sosial, Pekerja Sosial Profesional
d. Kepolisian, Rumah Sakit, Pekerja Sosial Profesional

KUNCI JAWABAN:
Pilihan Berganda
1. b
2. b
3. b
4. a
5. c
TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

Pokok Bahasan:
1. Pengertian perkembangan psikososial
2. Perkembangan kepercayaan vs Ketidak percayaan
3. Perkembangan otonomi vs rasa malu & keraguan
4. Perkembangan prakarsa vs rasa bersalah
5. Perkembangan industry vs inferioritas
6. Perkembangan identitas vs kebingungan
7. Perkembangan keintiman vs isolasi
8. Perkembangan generatitas vs stagnasi
9. Perkembangan integritas vs keputusasaan
10. Usaha kesejahteraan sosial dalam penanganan krisis perkembangan
Bab I Pengertian
psikososial

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Memahami pengertian psikososial
• Menjelaskan tentang perkembangan psikososial

Masalah yang dialami seseorang tidak hanya disebabkan faktor pribadi


individual tetapi dihasilkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan
sekitarnya. Stressor dari lingkungan seperti keluarga, tradisi,adat istiadat,politik,
ekonomi global akan mempengaruhi respon,reaksi dan kemampuan transaksi sosil
individu yang bersangkutan.

1. Pengertian Psikososial

Psikososial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara


kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental/emosionalnya. Dari katanya, istilah
psikososial melibatkan aspek psikologis dan sosial. Contohnya, hubungan antara
ketakutan yang dimiliki seseorang (psikologis) terhadap bagaimana cara ia
berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya. (informasitips.com).
Pendekatan psikososial melihat pada individu dalam konteks tentang kombinasi
pengaruh antara faktor psikologi dengan lingkungan sosial sekitar individu terhadap
kesejahteraan fisik dan mental serta kemampuan individu untuk berfungsi.
(wikipedia.org/wiki/Psychosocial ,Aug 12 2019)

2. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson, perkembangan kepribadian seseorang berasal dari pengalaman


sosial sepanjang hidupnya sehingga disebut sebagai perkembangan psikososial.
Perkembangan ini sangat besar mempengaruhi kualitas ego seseorang secara sadar.
Identitas ego ini akan terus berubah karena pengalaman baru dan informasi yang
diperoleh dari interaksi sehari-hari dengan orang lain. Selain identitas ego, persaingan
akan memotivasi perkembangan perilaku dan tindakan. Secara sederhananya, apabila
seseorang ditangani dengan baik, maka ia akan memiliki kekuatan dan kualitas ego
yang baik pula. Namun, jika penanganan ini dikelola dengan buruk, maka yang akan
muncul adalah perasaan tidak mampu
Erik Erikson memiliki keyakinan yang sama seperti Sigmund Freud. Ia percaya
bahwa perkembangan kepribadian seseorang terjadi dalam serangkaian tahapan. Teori
ini tidak seperti teori Freud tentang tahapan psikoseksual, teori perkembangan
psikososial ini menggambarkan dampak dari pengalaman sosial di seluruh umur.
Erikson tertarik pada bagaimana interaksi dan hubungan sosial berperan dalam
pengembangan dan pertumbuhan manusia.
Setiap tahapan dalam teori Erikson dibangun berdasarkan tahapan sebelumnya dan
membuka jalan untuk periode pengembangan berikutnya. Dalam setiap tahap,
Erikson percaya bahwa orang mengalami konflik yang berfungsi sebagai titik balik
dalam perkembangan. Dalam pandangan Erikson, konflik ini berpusat pada baik
perkembangan kualitas psikologis atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas
tersebut. Selama masa ini, individu memiliki potensi pertumbuhan pribadi yang
tinggi, tetapi juga memiliki potensi kegagalan. Jika individu yang bersangkutan
berhasil menangani konfliknya, maka muncul tahapan kekuatan psikologis yang akan
menolongnya sepanjang hidup. Jika ia gagal untuk berurusan secara efektif dengan
konflik ini, ia mungkin tidak mengembangkan keterampilan penting yang diperlukan
untuk rasa diri yang kuat.
Erikson juga memercayai bahwa rasa mampu memotivasi perilaku dan tindakan.
Setiap tahap dalam teori Erikson. Tiap tahap dalam teori Erikson prihatin/peduli
terhadap menjadi kompeten dalam kehidupan (being comptent). Apabila setiap tahap
perkembangan dapat dilalui dengan baik maka individu yang bersangkutan akan
memiliki perasaan mampu dimana perasaan ini didasarkan pada kekuatan atau
kualitas ego. Apabila tahapan ini dikelolah secara lemah, individu tersebut akan
merasa ketidakseimbangan dalam aspek-spek perkembangannya.
Gambar Daur perkembangan manusia

Verywell / Joshua Seong

Bab II
Stage 1 – Usia mulai lahir sampai sekitar 18 bulan
Trust vs. Mistrust (kepercayaan VS ketidakpercayaan)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan keterampilan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan tentang indikator keberhasilan perkembangan psikososial
pada tahap pertama
Tahap pertama dalam teori perkembangan psikososial Erikson terjadi mulai ketika individu
lahir sampai berusia 1 tahun, dan merupakan tahap yang sangat penting dalam kehidupan
individu. Karena pada masa bayi, individu benar-benar bergantung dan mengembangkan
kepercayaan berdasarkan ketergantungannya pada dan kualitas pengasuhan orang dewasa.
Apapun yang diperlukan untuk bertahan hidup termasuk
makanan,cinta,kehangatan,keamanan dan pemeliharaan. Jika pengasuh gaga untuk
memberikan perawatan dan cinta,bayi tersebut akan merasa bahwa ia tidak dapat memercayai
atau bergantung pada orang dewasa sepanjang hidupnya.

Bila bayi/individu tersebut dapat mengembangkan kepercayaan, ia akan merasa aman di


dunianya. Pengasuh yang tidak konsisten , beremosi labil, atau memiliki perasaan tertolak
akan berkontribusi pada perasaan tidak percaya anak-anak yang berada dalam
pengasuhannya. Kegagalam untuk mengembangkan kepercayaan akan berakibat pada
munculnya perasaan takut dan keyakinan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat
diprediksi.

Tidak ada anak yang mengembangkan perasaan percaya atau perasaan ragu serratus persen.
Erikson meyakini bahwa perkembangan yang sukses adalah segala sesuatu mengenai
keseimbangan antara dua sisi yang berlawanan. Kalau hal ini terjadi anak mendapat harapan
yang digambarkan oleh Erikson sebagai keterbukaan untuk mengalami dan mewaspadai
situasi marah dan berbahaya.
Bab III
Psychosocial Stage 2 –pada usia sekitar 2-3 tahun
Autonomy vs. Shame and Doubt (otonomi VS rasa malu & keraguan)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan keterampilan yang dialami pada tahap
perkembangan kedua
• Menguraikan tentang indicator keberhasilan dan kegagalan individu pada
tahap kedua

Tahap kedua dari teori perkembangan pskiososial Erikson adalah pada usia awal kanak-kanak
yang berfokus pada pengembangan perasaan control diri yang lebih besar. Pada tahap ini,
anak-anak baru memulai sedikit mandiri. Mereka mulai menampilkan tindakan dasar
terhadap diri mereka sendiri dan membuat keputusan sederhana terhadap apa yang mereka
sukai. Pengasuh dapat menolong anak-anak mengembangkan perasaan otonomi dengan cara
memberi kesempatan untuk memilih dan memperoleh kontrol.

Sama seperti Freud, Erikson meyakini bahwa latihan ke toilet menjadi bagian penting pada
proses ini. Namun, penalaran Erikson sangat berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa
belajar untuk mengendalikan fungsi tubuh seseorang mengarah pada perasaan kontrol dan
rasa kemandirian. Peristiwa penting lainnya termasuk memperoleh control lebih terhadap
pilihan makanan, mainan dan pakaian yang paling disukai.
Anak-anak yang sukses melewati tahap ini secara lengkap merasa aman dan percaya diri,
sedangkan mereka yang tidak sukses secara lengkap akan merasa tidak seimbang dan ragu
terhadap diri sendiri. Erikson percaya bahwa perolehan kesimbangan antara otonomi dan
rasa malu & keraguan dapat mengarahkan anak-anak pada kemauan yaitu keyakinan bahwa
anak-anak dapat bertindak dengan niat,alasan dan batasan.

Bab IV
Psychosocial Stage 3 pada usia sekitar 3-5 tahun
Initiative vs. Guilt (prakarsa vs rasa bersalah)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan tentang ciri-ciri individu yang mengalami kesuksesan dan
kegagalan dalam melewati tahap ketiga

Tahap ketiga perkembangan psikososial adalah usia pra sekolah. Pada titik ini, anak-anak
mulai menunjukkan kekuatan dan kendali mereka terhadap dunia melalui pengarahan
permainan dan interaksi sosialnya
Anak-anak yang sukses pada tahap ini merasa mampu dan bisa memimpin anak-anak lainnya.
Mereka yang mengalami kegagalan untuk memperoleh keterampilan ini akan tertinggal dan
merasa bersalah , ragu dan kurang memiliki inisiatif. Bila keseimbangan ideal dari insiatif
individu dan kemauan untuk bekerja dengan orang lain tercapai, kualitas ego yang dikenal
sebagai tujuan akan muncul.
Bab V
Psychosocial Stage 4-pada usia sekitar 6-11 tahun
Industry vs. Inferiority (industri vs inferioritas)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan keempat

Tahap keempat perkembangan psikososial adalah pada usia 5 sampai 12 tahun yaitu pada
awal usia sekolah. Melalui interaksi sosial, anak-anak mulai mengembangkan perasaa bangga
terhadap kemampuan dan prestasi. Mereka didorong dan diperintahkan oleh orangtua dan
gurunya untuk mengembangkan perasaan mampu dan yakin akan keterampilan yang
dimilikinya. Mereka yang menerima sedikit atau tidak mendapat dorongan dari orangtua,guru
atau teman sebaya akan meragukan kemampuannya untuk sukses. Perolehan keseimbangan
secara sukses pada tahap perkembangan psikososial ini menumbuhkan kekuatan yang dikenal
sebagai kompetensi, dimana anak-anak mengembangkan keyakinan terhadap kemampuan
untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka.

Bab VI
Psychosocial Stage 5-pada usia sekitar 12-18 tahun
Identity vs. Confusion (identitas vs kebingungan)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan kelima

Tahap kelima perkembangan psikososial terjadi pada usia remaja. Pada usia ini remaja sering
mengalami pergolakan. Tahap ini memainkan peran esensial dalam perkembangan perasaan
memiliki identitas diri yang akan mempengaruhi perilaku dan perkembangan hidup
selanjutnya. Selama masa remaja, anak-anak mengeksplor kemandirian dan mengembangkan
perasaan terhadap diri sendiri, mereka yang menerima dorongan dan penguatan yang sesuai
melalui eksplorasi diri akan memunculkan perasaan diri, kemandirian dan Kontrol yang kuat.
Mereka yang tetap tidak pasti akan keyakinan diri dan keinginan akan merasa tidak aman dan
bingung terhadap diri sendiri dan masa depannya.

Ketika psikolog berbicara tentang identitas, mereka merujuk pada semua keyakinan, hal-hal
yang ideal dan nilai-nilai yang dapat menolong membentuk dan menuntun perilaku
seseorang. Pencapaian tahap ini secara lengkap menimbulkan ketaatan yang di gambarkan
oleh Erikson sebagai suatu kemampuan untuk hidup sesuai standar dan harapan masyarakat.
Erikson meyakini bahwa setiap tahap dalam perkembangan psikososial adalah penting, ia
memberi penekanan khusus pada perkembangan identitas ego. Identitas ego adalah kesadaran
diri yang berkembang melalui interkasi sosial dan menjadi fokus utama selama tahap
perkembangan psikososial identitas Vs kebingungan. Menurut Erikson, identitas ego berubah
secara konstan karena pengalaman baru dan informasi yang diperoleh tiap hari melalui
interaksi dengan orang lain. Sebagaimana pengalaman baru yang diperoleh seseorang ia juga
menghadapi tantangan yang dapat membantu atau menghambat perkembangan identitanya.

Identitas pribadi memberikan tiap orang perasaan diri yang terintegrasi dan kohesif yang
bertahan sepanjang hidup kita. Perasaan terhadap identitas pribadi terbentuk melalui
pengalaman dan interaksi dengan orang lain dan membantu sebagai tuntunan
tindakan,keyakinan dan perilaku sepanjang usia.
Bab VII
Psychosocial Stage 6
usia sekitar 19-40 tahunIntimacy vs. Isolation ( Keintiman Vs Isolasi)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan keenam

Tahap ini meliputi periode dewasa awal ketika orang mengeksplorasi relasi pribadinya.
Erikson memercayai bahwa adalah vital bahwa seseorang mengembangkan dan berkomitmen
terhadap relasi dengan orang lain. Mereka yang berhasil pada tahap ini akan membentuk
relasi yang bertahan dan aman. Setiap tahap membentuk keterampilan yang dipelajari dalam
tahap sebelumnya. Erikson meyakini bahwa perasaan yang kuat terhadap indentitas pribadi
adsalah sangat penting untuk mengembangkan hubungan yang akrab. Studi menunjukkan
bahwa mereka yang kurang memiliki perasaan terhadap diri sendiri cenderung kurang
berkomitmen dalam berelasi dan mereka lebih mengalami penderitaan isolasi
emosional,kesepian dan depresi. Resolusi yang berhasil pada tahap ini menghasilkan
kebajikan yang dikenal sebagai cinta yang ditandai dengan kemampuan untuk membentuk
hubungan dengan orang lain secara bermakna dan berjangka Panjang.

Bab VIII
Psychosocial Stage 7 – usia 40-65 tahun
Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs stagnasi)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan ketujuh

Selama masa dewasa, seseorang terus membangun kehidupan yang berfokus pada karir dan
keluarga. Mereka yang berhasil selama tahap ini akan merasa bahwa mereka berkontribusi
kepada dunia dengan menjadi aktif di rumah dan komunitas. Mereka yang gagal untuk
memperoleh keterampilan pada tahap ini akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat
dsalam dunianya. Kepedulian merupakan kebajikan yang dicapai bila tahap ini dilalui dengan
berhasil. Orang menjadi bangga akan keberhasilannya,melihat anak-anaknya bertumbuh
menjadi dewasa, dan mengembangka perasaan menyatu dengan pasangan hidup menjadi
pencapaian penting dalam tahap perkembangan ini.

Bab IX
Psychosocial Stage 8 berusia >65
Integrity vs. Despair (integritas dan keputusasaan)

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tahap
ini
• Menguraikan ciri-ciri kesuksesan dan kegagalan individu dalam melewati
tahap perkembangan kedelapan

Tahap perkembangan psikososial yang terakhir terjadi selama usia tua dan terfokuskan pada
refleksi kembali kepada kehidupan. Pada masa perkembangan ini, orang melihat kembali
pada kejadian-kejadian dalam kehidupannya dan menentukan apakah mereka Bahagia dengan
kehidupannya selama ini atau menyesali hal-hal yang telah diperbuatnya atau tidak
diperbuatnya. Mereka yang sukses selama tahap ini akan merasa bahwa kehidupan mereka
telah tersia-siakan dan akan mengalami banyak penyesalan. Individu tersebut akan
memendam perasaan kepahitan dan putus asa. Mereka yang merasa bangga akan
keberhasilnnya akan merasa memiliki integritas. Keberhasilan melewati tahap ini berarti
mengenang kembali masa lalu dengan perasaan puas dan dengan sedikit penyesalan.
Individu ini akan memperoleh kearifan, bahkan berani menghadapi kematian/ siap berpulang.
Bab X
Usaha dan pelayanan kesejahteraan sosial bagi
individu yang mengalami masalah atau krisis perkembangan psikososial

Tujuan pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu:
• Menjelaskan tentang krisis dan kemampuan yang berkembang pada tiap
tahap perkembangan psikososial
• Mengenali usaha dan pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai bagi
individu yang mengalami hambatan,krisis dan masalah perkembangan
psikososial
Sumber bacaan
Kendra Cherry . 2018. Trust vs. Mistrust: Psychosocial Stage 1
https://www.verywellmind.com/trust-versus-mistrust-2795741

QUIZ
1. Sigmund Freud mengarahkan kajian tentang tahap perkembangan manusia
pada
a. Psikososial
b. Psikoedukasi
c. Psikoseksual
d. Psikodinamika
2. Teori perkembangan Erikson melihat pentingnya pengaruh lingkungan sosial
terhadap perkembangan kepribadian individ. Karena itu,
a. Dampak dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosial
penting bagi individu
b. Pandangan terhadap diri sendiri harus disesuaikan dengan pandangan
orang lain terhadap diri sendiri
c. Perlu memodifikasi lingkungan sosial yang adil dan seimbang bagi
perkembangan psikososial individu
d. Individu harus belajar mengelola emosi agar mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosial

3. Isu penting dalam teori perkembangan psikososial adalah :


1. Sigmund Freud mengarahkan kajian tentang tahap perkembangan manusia pada
a. Pertumbuhan manusia pada umumnya
a. Psikososial
b. Kematangan hormonal individu
b. Psikoedukasi
c. Krisis dan pertumbuhan kapasitas individu
c. Psikoseksual
d. Normalitas dan abnormalitas
d. Psikodinamika
4. Usia keemasan dalam perkembangan individu adalah pada
1. Usia 0-3 tahun
2. Usia 4-10 tahun
3. Usia 11-18 tahun
4. Usia >18 tahun
5. Individu akan mengalami kebutuhan integrity pada tahap perkembangan
a. Ketiga
b. Kelima
c. Keenam
d. kedelapan
6. Bayangkanlah s dan identifikasikan 3 hal terkait dengan usia perkembangan KPM
dampingan anda
7. Bila anak KPM dampingan anda sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan
pergaulannya, fakta kunci apa yang dapat anda ungkap terkait tahap perkembangannya?
8. Identifikasikan jenis usaha kesejahteraan sosial atau pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan dan krisis perkembangan KPM dampingan anda!

TEKNIK FASILITASI

A. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta memahami
teknik-teknik untuk memfasilitasi.

B. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian fasilitasi
2. Mengetahui sikap fasilitator
3. Mengetahui ciri-ciri fasilitator yang baik
4. Menguasai keterampilan fasilitator
5. Menguasai teknik fasilitasi diskusi

C. Pokok Bahasan
Pokok bahasan pada materi ini meliputi:
1. Pengertian teknik fasilitasi
2. Sikap fasilitator
3. Kriteria fasilitator yang baik
4. Keterampilan fasilitator
5. Teknik mendengarkan dan bertanya

A. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Fasilitasi
Fasilitasi berasal dari kata facil yang bermakna ‘memudahkan’.
Teknik fasilitasi berarti cara untuk membuat mudah suatu proses.
Orang yang melakukan fasilitasi disebut sebagai fasilitator. Fasilitator

1
adalah orang yang bertugas mengelola proses dialog. Fasilitator ada untuk
mendukung kegiatan belajar agar peserta bisa mencapai tujuan belajarnya.
Fasilitator mendorong peserta untuk percaya diri dalam
menyampaikan pengalaman dan pikirannya, mengajak peserta

2
dominan untuk mendengarkan. Tugas fasilitator adalah
merencanakan, membimbing, dan mengelola kelompok atau kelas
dalam suatu acara serta memastikan tujuan tercapai secara efektif
dengan partisipasi peserta yang memadai. Fasilitator memperkenalkan
teknik-teknik komunikasi untuk mendorong partisipasi. Fasilitator
menggunakan media yang cocok dengan kebutuhan peserta dan membantu
proses belajar/komunikasi menjadi lebih efektif. Fasilitator
memperkenalkan teknik-teknik komunikasi untuk mendorong partisipasi.
Fasilitator menggunakan media yang cocok dengan kebutuhan peserta dan
membantu proses belajar atau komunikasi menjadi lebih efektif. Peran
fasilitator ini harus dikurangi secara bertahap dan diserahkan kepada
peserta. Dengan membatasi waktu dari fasilitator, proses pembelajaran bisa
diambil alih oleh peserta sehingga pembelajaran bisa berjalan sebagai
inisiatif sendiri.

2. Sikap Fasilitator
Sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang fasilitator meliputi:
a. Empati
Ikut merasakan dan menghargai pengalaman dan perasaan peserta.
Tidak meremehkan peserta dengan hadir sepenuh hati dan sepenuh
tubuh.
b. Peka terhadap situasi pertemuan
Mengetahui kapan peserta merasa bersemangat, bosan, mengantuk, tahu
kapan harus bicara, berhenti dan bertanya.
c. Tidak hanya memikirkan target penyampaian materi (hasil), melainkan
proses belajar para peserta.
d. Percaya diri
Fasilitator yakin mampu mengajak peserta belajar bersama. Tidak malu
meskipun harus berhadapan dengan peserta yang berbeda usia, kelas
sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
e. Jujur, terbuka, apa adanya saat merespon peserta
f. Tidak menunjukkan sikap dibuat-buat atau berpura-pura.
g. Ramah, semangat, dan luwes Mampu membuat suasana hangat, akrab,
dan peserta merasa diperhatikan.
h. Hormat terhadap peserta secara sederajat
i. Menghargai pengetahuan, pengalaman, tradisi dan kepercayaan yang
dianut peserta.
j. Tidak menonjolkan diri sendiri, menggurui, atau merasa paling ahli
k. Tidak terpancing untuk menjawab setiap pertanyaan.
l. Obyektif
Obyektif adalah sikap untuk berada pada posisi netral atau tidak
memihak.

3. Fasilitator yang baik


Menjadi fasilitator itu tidak mudah karena harus mampu untuk
memberi kemudahan dalam segenap proses kegiatan. Berikut ini beberapa
tips untuk menjadi fasilitator yang baik, meliputi:
a. Menjaga kelompok tetap fokus pada tujuan dan proses.
b. Tetap obyektif.
c. Membantu kelompok menentukan arah yang akan ditempuh dan
mencapai tujuannya.
d. Lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
e. Dapat menyesuaikan dengan gaya belajar yang berbeda-beda.
f. Sensitif terhadap gender dan budaya.
g. Mendorong semua orang berpartisipasi. Setiap orang berpartisipasi
dengan cara yang berlainan. Ada yang hanya berbicara dalam kelompok
kecil, tetapi tetap berpartisipasi, nmun yang lain mungkin banyak bicara
tetapi sedikit kontribusi.
h. Membantu kelompok mentaati waktu.
i. Memberi semangat atau membuat kelompok rileks sesuai kebutuhan.
j. Sewaktu-waktu menyimpulkan yang terjadi dalam pertemuan dan
membantu kelompok mengaitkan satu sesi dengan sesi lainnya.
Seorang fasilitator harus mewaspadai hal-hal berikut ini:
a. Waspada terhadap tanda-tanda kebingungan peserta. Peserta saling
bertanya pada orang di sebelahnya, wajah bingung atau frustasi dan
sikap menolak, dan sebagainya).
b. Biarkan kelompok bekerja sendiri, jangan melakukan pekerjaan
kelompok.
c. Berkeliling dari kelompok ke kelompok; tetapi jangan menjadi bagian
dari satu kelompok saja karena anda akan mempengaruhi kelompok itu.
d. Berikan waktu pada setiap kelompok memahami tugas yang diberikan
dan konsep-konsep pendukungnya.
e. Bahas kembali bagian-bagian pertemuan yang membingungkan kalau
ada peserta yang kelihatannya mengalami kesulitan.
f. Jangan menganggap diri anda seorang ahli. Ingatkan kelompok dan diri
sendiri bahwa anda adalah fasilitator. Penting selalu diingat akan
keahlian dan pengalaman yang peserta miliki. Biasakan melibatkan
audien/peserta dengan mengajukan pertanyaan pada peserta lain,
misalnya: “Pertanyaan bagus, dari Ibu Ari. Bagaimana menurut Ibu
Citra?”; “Pertanyaan yang bagus. Apa ada yang mau menanggapi?
g. Sering-seringlah bertanya: “Apakah ada pertanyaan?”
h. Bersikap fleksibel dan gunakan penilaian anda sendiri tentang perhatian,
energi dan pemahaman kelompok kemudian sesuaikan dengan waktu
seperlunya. Perubahan tidak berarti rencana yang buruk, tetapi anda
mendengar, menyimak dan menyesuaikan rencana dengan situasi.
i. Jangan lupa waktu istirahat 15-20 menit. Kondisi ini perlu menjadi
perhatian agar peserta enjoy dan tidak kelelahan dalam megikuti
kegiatan.
Seorang fasilitator harus mampu mengenai dan memahami apabila
ada resistensi/penolakan dari peserta agar dapat mengelola pertemuan
dengan baik.
Resistensi itu dapat dikenali dari:
a. Ketika kelompok yang difasilitasi sangat lamban dalam mengikuti
proses atau mencapai kesepakatan, atau bahkan menolak sama sekali
untuk bekerja sama.
b. Dalam situasi terburuk, mereka mungkin menolak gagasan-gagasan
anda.
c. Mereka menolak untuk mengubah cara berpikir mereka dan semakin
menjadi lebih nyata ketika orang sekelilingnya mendukung semangat
itu.
d. Menghindari kontak mata.
e. Melakukan diskusi kecil terus menerus tanpa menghiraukan
keberadaan anda sebagai fasilitator.
f. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengalihkan perhatian dari
yang menjadi fokus dalam pertemuan.
g. Tampak secara fisik menarik diri dari kegiatan diskusi pada
pertemuan.
h. Menunjukkan secara terus menerus berbeda pendapat tentang
pembahasan dalam pertemuan.
i. Interupsi berulang-ulang
j. Mengungkapkan rasa frustasi secara langsung atau tidak langsung.

Tips menghadapi resistensi/penolakan dalam memfasilitasi peserta


antara lain:
a. Cek perasaan semua peserta/seluruh kelompok
Lemparkan pertanyaan kepada seluruh kelompok untuk memperoleh
pendapat kelompok tentang masalah yang muncul, misal: “Bagaimana
menurut yang lain?”
b. Pusatkan kembali perhatian
Selalu mengingatkan pokok bahasan, misal: iya Bu Dewi, apa yang
disampaikan ibu, saya pikir masalah yang berbeda dengan apa yang
sedang kita bahas saat ini boleh disimpan dulu untuk kemudian kita
diskusikan?
c. Gunakan bahasa tubuh
Berdirilah dan berjalan menuju tengah-tengah ruangan, ajak peserta
untuk terlibat dengan kontak mata dan mencondongkan badan ke
depan.
d. Gunakan humor yang sepantasnya
Kalau digunakan dengan pantas, humor akan mengurangi ketegangan.
Namun harus menghindari bercanda yang membuat orang lain
ditertawakan.
e. Ingatkan akan norma kelompok
Satu hal yang kita sepakati pada awal pertemuan adalah norm
kelompok sehingga tidak terjadi diskusi tersendiri. Norma itu harus
disepakati oleh seluruh peserta.
f. Alihkan perhatian
Mengalihkan perhatian agar lebih fokus dapat dilakukan pada peserta
yang resisten. Misal: “Bisa minta waktu 2 menit lagi sebelum kita
lanjutkan ke kesimpulan?”
g. Jangan mengabaikan atau menghindar.
Memang sulit untuk menghadapi resistensi ketika kita mendeteksinya.
Tetapi, mengabaikan atau menghindar dari resistensi yang ada akan
mengacaukan proses-proses selanjutnya. Bukan tidak mungkin akan
menghentikan (membubarkan) proses sama sekali.

4. Keterampilan Fasilitator
Keterampilan fasilitator merupakan serangkaian kemampuan yang
harus dikuasai oleh fasilitator sebelum diterjunkan ke masyarakat.
Keterampilan fasilitator meliputi:
a. Bertanya
Tugas utama fasilitator adalah bertanya, memancing pengalaman
peserta, bukan mengajari. Pertanyaan yang baik akan membuat peserta
belajar dari pengalamannya dan menemukan solusi sendiri tanpa merasa
digurui dengan cara: 1) Gunakan pertanyaan yang menggali pengalaman
peserta didasari rasa ingin tahu; 2) Gunakan jenis pertanyaan terbuka
(pertanyaan yang yang jawabannya berupa cerita), misalnya, “Bisa
diceritakan, Bu, apa yang dilakukan putranya kalau sedang; 3) Awali
dengan pertanyaan mudah yang dapat dijawab langsung berdasarkan
keseharian. Biasanya menggunakan kata tanya apa atau bagaimana; 4)
Pertanyaan sensitif, fasilitator dapat mengggunakan pertanyaan orang
ketiga agar peserta tidak merasa dihakimi atau malu. Contohnya,
“Menurut Ibu, mengapa ada orang yang tidak pernah marah pada
anaknya?”; dan 5) Saat peserta terlihat pesimis di tengah diskusi,
gunakan pertanyaan untuk mengajak peserta mengingat keberhasilan di
masa lalu.
b. Mendengar aktif
Fasilitator tidak hanya berkomunikasi satu arah, melainkan lebih
banyak menjadi pendengar. Menjadi pendengar aktif dapat dilakukan
dengan cara: 1) Simak perkataan peserta. Tanggapi pembicaraan dengan
ekspresi wajah yang sesuai (senyum, prihatin, dan lainnya); 2) Beri
tanggapan berupa pertanyaan untuk menggali pengalaman peserta.
Contoh: “Oya?, contohnya bagaimana, Bu?”; 3) Konfirmasi pendapat
peserta dengan menyatakannya kembali. Jangan terburu-buru
menyimpulkan. Tanyakan apakah pernyataan kita betul; 4) Jangan
memotong pembicaraan, kecuali jika topik sudah jauh melenceng. Ajak
peserta kembali ke topik dengan sopan. Misalnya: “Wah, menarik
sekali, Pak. Mungkin kita lanjutkan kembali nanti, sementara ini kita
kembali ke topik awal, Pak.”
c. Komunikasi
Hal utama yang dilakukan fasilitator adalah menjalin komunikasi
yang baik. Komunikasi dalam memfasilitasi dapat dilakukan dengan
cara: 1) Bicara atau bertanya dengan bahasa sederhana tapi jelas; 2)
Gunakan kalimat singkat dan langsung ke tujuan. Misalnya: “Bapak,
putra Anda yang SMP itu masih sering ngajak ngobrol?”; dan 3)
Perkenalkan diri dan hafalkan nama peserta. Supaya bisa menghafal,
gunakan saat memanggil dan ulangi dalam kalimat. Misalnya, “Ibu
Bapak, ada yang akan menanggapi pertanyaan ini? Ya, Ibu Asih kan?”
(sambil mendekati ibu tersebut untuk memberikan kesempatan
menanggapi.
d. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh adalah bentuk komunikasi non verbal. Komunikasi
non verbal meliputi: 1) Tatap mata peserta. Jangan bicara sambil
melihat lantai, langit-langit, atau kertas catatan; 2) Bergerak
secukupnya, misalnya tangan menunjuk pada poster. Jangan gugup,
misalnya tangan memainkan spidol, kaki melangkah ke depan ke
belakang seperti tanpa tujuan; dan 3) Usahakan setara atau melebur
dengan peserta, misalnya duduk sama rendah ketika peserta sedang
duduk di lantai berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok
e. Mengarahkan orang
Fasilitator mengarahkan lalu lintas informasi agar peserta
mengalami proses pembelajaran yang baik. Mengarahkan orang dapat
dilakukan dengan: 1) Pelajari hal yang akan disampaikan agar
pembicaraan tidak melenceng dari topic; 2) Dorong semua peserta
untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan atau diskusi, terutama
peserta yang pendiam. Jangan membiarkan hanya satu atau dua peserta
yang mendominasi; dan 3) Gunakan jeda, canda, dan pujian untuk
mendorong peserta nyaman berbicara. Jangan mengkritik, mendebat,
atau membela diri. Jika diperlukan mendebat atau menyanggah
pendapat peserta, upayakan peserta lain juga melakukan.
4. Teknik Mendengarkan dan Bertanya
Seorang fasilitator harus menguasai teknik mendengarkan dan
bertanya karena akan mempermudah proses perubahan. Beberapa teknik
mendengarkan dan bertanya meliputi:

a. Membahasakan Kembali (Paraphrasing)


Membahasakan kembali merupakan teknik yang paling penting
untuk dipelajari. Paraphrasing membantu pembicara menilai apakah
ucapannya ditangkap atau tidak oleh orang lain. ucapannya ditangkap
atau tidak oleh orang lain. Teknik ini merupakan dasar dari teknik
lainnya. Teknik ini bersifat menenangkan, membuat peserta paham
bahwa ucapannya dimengerti orang lain. Terutama digunakan untuk
menanggapi jawaban yang berbelit dan membingungkan.
Cara melakukan paraprashing yaitu gunakan kalimat sendiri
untuk membahasakan kembali jawaban orang lain. Apabila jawabannya
pendek, bahasakan kembali secara pendek. Apabila jawabannya
panjang, bahasakan kembali dengan meringkasnya. Awali dengan
kalimat seperti:
• "Tadi Ibu mengatakan,.. ", Sesudahnya, perhatikan reaksi orang itu.
Sertai dengan kata, misalnya, "Apa itu yang Ibu maksud ....".
• “ kedengarannya anda tadi mengatakan bahwa…”
• “ Yang saya tangkap dari pendapat anda adalah …”
• “ Saya memahami yang dikatakan lebih kurang …”

b. Menarik keluar/Menggali lebih jauh (Drawing people out)


Kondisi ini dilakukan, apabila jawaban lawan bicara kurang
lengkap, sehingga fasilitator perlu menarik keluar gagasan yang belum
dikatakan. Menggali lebih jauh adalah cara mendukung orang supaya
menjelaskan lebih lanjut ide atau gagasannya.Teknik ini digunakan
apabila lawan bicara mengalami kesulitan dalam menjelaskan gagasan.
Cara melakukannya yaitu didahului dengan teknik
membahasakan kembali (Paraphrasing). Misal:
• "tadi ibu Dewi mengatakan ……………
• Lanjutkan dengan pertanyaan terbuka,seperti,"Bisa lebih diperjelas?"
• Ada juga cara lain. Setelah peserta selesai bicara sambut dengan kata
sambung seperti, "Karena…" atau "Jadi,…"

c. Memantulkan (Mirroring)
Fasilitator berfungsi sebagai dinding, yang memantulkan kata-
kata peserta. Mengulang apa yang dikatakan orang lain persis seperti
yang diucapkan dengan mengulang kembali setiap kata yang diucapkan.
Kadang-kadang ini dibutuhkan untuk meyakinkan orang-orang tertentu
bahwa mereka betul-betul didengarkan. Tujuannya, meyakinkan peserta
bahwa fasilitator mendengarkan ucapannya. Biasanya digunakan bila
fasilitator ingin menegaskan bahwa fasilitator tidak memihak. Teknik ini
berguna mempercepat diskusi yang lamban sesuai untuk memfasilitasi
proses curah pendapat.
Jika pembicara mengatakan satu kalimat, ulangi secara verbatim
(persis seperti yang diucapkan). Jika pembicara mengatakan lebih dari
satu kalimat, ulangi kata kunci atau kalimat pendek.
Cara melakukan mirroring yaitu apabila peserta mengatakan satu
kalimat, ulangi secara verbatim (persis seperti yang diucapkan) atau
pantulkan kata demi kata setepat tepatnya. Tidak kurang, tidak lebih.
Jika pembicara mengatakan lebih dari satu kalimat, ulangi kata kunci
atau kalimat pendek. Gunakan kata kata peserta, bukan kata kata
fasilitator. Apabila peserta berkata dengan menggebu gebu, pantulkan
dengan nada bicara tenang, karena yang harus diulang adalah kata-kata
peserta bukan suara pembicara. Tujuan utamanya disini untuk
membangun kepercayaan peserta.
d. Mengumpulkan gagasan (Gathering ideas)
Mengumpulkan gagasan (Gathering Ideas) adalah teknik
mendaftar gagasan secara cepat. Mengumpulkan gagasan, bukan
membahasnya. Mengumpulkan gagasan adalah keterampilan yang
memadukan antara mirroring dan paraphrasing ditambah dengan
gerakan-gerakan fisik. Dengan memantulkan ucapan, peserta merasa
didengarkan dan mereka akan ikut menyampaikan gagasan secara
singkat.
Keterampilan mendengar dan memberikan pengakuan pada
pendapat atau gagasan orang dapat mengurangi kecenderungan mereka
untuk membela gagasannya. Kumpulkan gagasan dengan memadukan
teknik membahasakan kembali. Bahkan agar lebih cepat, gunakan
terutama teknik memantulkan (mirroring). Biasanya dalam 3 sampai 5
kata. Jadi, kita lebih mudah menuliskannya di papan tulis.

Cara melakukan mengumpulkan gagasan (Gathering ideas) diawali


dengan penjelasan tugas secara singkat. Kemudian lakukan curah
pendapat. Kumpulkan gagasan sebanyak banyaknya. Tuliskan gagasan
para peserta, apapun yang mereka katakan, dengan memakai teknik
memantulkan atau teknik membahasakan kembali. Jika para peserta
telah merasa cukup, akhiri proses ini lalu berikan penghargaan terhadap
semua pandangan peserta. Misalnya : “Dalam 10 menit mendatang,
berikan tanggapan pada usulan ini dengan menyebutkan kelebihan dan
kekurangannya. Saya minta satu kelebihan lalu satu kekurangan, begitu
selanjutnya. Kita akan membuat dua daftar sekaligus.”

e. Mengurutkan (Stacking)
Mengurutkan (stacking) adalah semacam teknik menyusun
antrian bicara, ketika beberapa orang bermaksud berbicara pada waktu
bersamaan. Dengan teknik ini, setiap orang akan mendengarkan tanpa
gangguan dari orang yang berebut kesempatan bicara, karena setiap
orang tahu gilirannya, tugas fasilitator menjadi lebih ringan.
Cara melakukan Stacking yaitu fasilitator meminta peserta yang
hendak bicara untuk mengangkat tangan lalu mengurutkan giliran yang
akan bicara serta mempersilakan peserta untuk bicara ketika tiba
gilirannya. Sesudah peserta terakhir selesai bicara, fasilitator memeriksa
jika ada peserta lain yang hendak bicara. Jika ada, fasilitator kembali
melakukan teknik mengurutkan.
f. Mengembalikan ke jalurnya (Tracking)
Terkadang beberapa pokok-pokok pikiran muncul bersamaan
dalam sebuah diskusi. Bayangkan bila ada lima orang yang ingin
membicarakan berbagai akibat dari penumpukan sampah. Empat orang
ingin menghitung biaya pengadaan kereta pengangkut sampah. Tiga
orang tertarik membahas pemanfaatan sampah menjadi pupuk organik.
Dalam situasi seperti ini, mereka perlu dibantu untuk mengikuti semua
topik yang sedang dibicarakan. Biasanya orang menganggap bahwa apa
yang ia anggap penting seharusnya terpilih menjadi topik diskusi. Pada
keadaan ini, fasilitator bertugas mengembalikan diskusi ke jalumya.
Teknik ini akan menenangkan orang yang bingung karena gagasannya
tidak mendapatkan sambutan dari orang lain.
Cara melakukan tracking antara lain:
• Mengajak warga untuk kembali pada tema awal.
• Menyebutkan gagasan yang muncul dalam diskusi
• Tanyakan pada kelompok untuk memeriksa ketepatannya.
Berikut adalah contohnya: "Baiklah, nampaknya ada tiga
pembahasan yang sedang berlangsung saat ini. Pembahasan pertama
menyangkut akibat akibat penumpukan sampah. Kedua, mengenai
peralatan dan kebutuhan biaya. Ketiga, membahas tentang Pemanfaatan
sampah. Benarkah demikian?" Biasanya teknik ini membuat orang lebih
memahami situasi diskusi. Jika ada yang mencoba menjelaskan bahwa
saran dia penting, tunjukkan perhatian. Namun, jangan bersikap pilih
kasih. Tanyakan juga pendapat orang yang lain.

g. Menguatkan (Encouraging)
Menguatkan (encouraging) adalah teknik mengajak orang ikut
terlibat dalam diskusi, tanpa membuat mereka tersiksa karena terpaksa
menjadi pusat perhatian. Dalam diskusi biasanya ada peserta yang
hanya duduk dan diam. Diam bukan berarti malas atau tidak mau tahu.
mereka merasa kurang terlibat. Dengan sedikit dorongan, temukan
sesuatu yang menarik perhatian mereka. Teknik menguatkan terutama
membantu selama tahap awal diskusi, pada saat para peserta masih
menyesuaikan diri. Bagi peserta yang lebih terlibat, mereka tidak
membutuhkan begitu banyak penguatan untuk berpartisipasi. Misal:
• "Siapa lagi yang ingin menyumbangkan gagasan?"
• "Sudah ada beberapa pendapat dari perempuan, sekarang mari
kitadengar pendapat dari laki laki."
• "Kita sudah mendengar pendapat Ibu Tini tentang prinsip prinsip
umum memilih kepala desa. Adakah yang dapat memberikan
contoh tentang pelaksanaan prinsip tersebut?"
• "Apakah masalah ini dirasakan oleh semua yang hadir di sini?"
• "Mari kita dengar pendapat dari teman teman yang sementara ini
belum berbicara"

h. Menyeimbangkan (Balancing)
Jika pembicaraan terjadi dengan beberapa orang, terkadang ada
salah satu yang dominan dalam menyampaikan pendapatnya. Orang
lain yang diam belum berarti setuju, bisa jadi karena takut tidak disukai
atau malas berargumentasi. Pendapat paling kuat dalam suatu diskusi
seringkali datang dari orang yang mengusulkan topik diskusi. Mungkin
ada sebagian peserta yang mempunyai pendapat lain, tapi belum mau
bicara.
Teknik menyeimbangkan membantah anggapan umum bahwa
"diam berarti setuju". Teknik menyeimbangkan gunanya untuk
membantu orang yang tidak bicara karena merasa pendapatnya
pasti tidak disetujui banyak orang. Dengan teknik menyeimbangkan,
fasilitator sebenamya menunjukkan bahwa dalam diskusi orang boleh
menyatakan pendapat apapun. Misalnya:
• "Baiklah, sekarang kita mengetahui pendirian dari tiga orang.
• Adakah yang lain atau memiliki pendirian berbeda?"
• "Ada yang punya pandangan lain?"
• "Apakah kita semua setuju dengan ini?"

i. Membuka ruang (Making space)


Teknik membuka ruang adalah teknik membuka kesempatan
kepada peserta yang pendiam untuk terlibat dalam diskusi. Dalam
setiap diskusi selalu ada yang bicara terus, ada yang jarang bicara. Pada
saat diskusi berlangsung cepat, orang pendiam dan yang berpikir lambat
mungkin mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Ada orang
yang tidak mau berperan banyak, karena tidak ingin dianggap ingin
menang sendiri. Ada pula yang ikut dalam diskusi sambil meraba raba
apakah ia dapat diterima atau tidak. Banyak juga yang enggan bicara
karena menganggap dirinya bodoh. Maka, fasilitator perlu membuka
ruang partisipasi.
Cara melakukan membuka ruang (making space), yaitu:
• Amati peserta diskusi yang pendiam. Perhatikan gerak tubuh atau
mimik mukanya, apakah menunjukkan bahwa mereka ada hasrat
untuk bicara?
• Persilakan mereka untuk bicara: "Apakah ada yang hendak Ibu
kemukakan?" "Apakah Bapak ingin menambahkan sesuatu?"
"Kelihatannya anda mau mengatakan sesuatu?
• Jika mereka mundur, perlakukan mereka dengan ramah dan
segeralah beralih. Tak seorang pun suka dipermainkan. Setiap orang
berhak untuk memilih kapan ia berpartisipasi.
• Jika si pendiam tampaknya ingin bicara, jika perlu, tahan orang lain
untuk bicara.

j. Diam sejenak (intentional silence)


Diam sejenak (intentional silence) adalah berhenti bicara
selama beberapa detik. Menunggu sejenak agar si pembicara
menemukan apa yang ingin ia katakan. Banyak orang membutuhkan
keadaan tenang untuk mengenali pemikiran atau perasaannya. Kadang
kadang berhenti bicara beberapa detik sebelum mengatakan sesuatu
yang mungkin berisiko. Ada pula yang diam sejenak untuk menyusun
pikirannya. Gunakan teknik ini jika peserta diskusi terialu mudah
berbicara. Teknik ini akan mengajak mereka untuk berpikir lebih
mendalam.

Cara melakukan diam sejenak (intentional silence) dengan:


• Hening selama lima detik tampaknya begitu lama. Banyak orang tak
sabar dengan "keheningan" tersebut. Jika fasilitator mampu
melakukannya, orang lain pun akan mampu.
• Tetaplah tenang. Pelihara kontak mata pada pembicara.
• Jangan berkata apapun. Bahkan tidak juga berdehem atau batuk
batuk kecil atau menggaruk dan menggeleng gelengkan kepala.
Tetaplah tenang dan berikan perhatian.
• Jika perlu, angkat tangan untuk memberi isyarat kepada orang agar
tidak memecahkan keheningan.

k. Menemukan kesamaan pemikiran dasar


Teknik menemukan kesamaan pemikiran dasar terutama berguna
ketika peserta diskusi terbelah oleh perbedaan pendapat. Teknik ini
dapat memperjelas letak persamaan dan pertentangan pendapat yang
terjadi dalam, diskusi. Teknik ini dapat membangkitkan harapan.
Membuat peserta tersadar bahwa meski saling bertentangan, mereka
memiliki kesamaan tujuan. Untuk hal yang dasar mereka memiliki
banyak kesamaan. Misal:
• Katakan bahwa kita akan merangkum hal hal yang menjadi
perbedaan dan persamaan di dalam. kelompok diskusi.
• Ringkaskan perbedaan perbedaan.
• Catat aspek aspek dasar yang sama
• Periksa catatan tersebut bersama peserta.

SOAL TEKNIK FASILITASI

Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat!


1. Cara untuk membuat mudah suatu proses belajar atau proses perubahan
merupakan pengertian ………….
a. Teknik penyuluhan
b. Teknik fasilitasi
c. Presentasi
d. Seminar
2. Menjadi fasilitator itu tidak mudah karena harus mampu untuk memberi
kemudahan dalam segenap proses kegiatan. Berikut ini salah satu tips untuk
menjadi fasilitator yang baik yaitu ……….
a. Lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
b. Menarik keluar/Menggali lebih jauh (Drawing people out)
c. Memantulkan (Mirroring)
d. Mengumpulkan gagasan (Gathering ideas)
3. Dalam memfasilitasi seringkali kita dihadapkan pada resistensi/ penolakan dari
peserta. Cara untuk mengatasi resistensi antara lain……….
a. Pentingnya memiliki sifat empati.
b. Tidak menunjukkan sikap dibuat-buat atau berpura-pura.
c. Hormat terhadap peserta secara sederajat
d. Gunakan humor yang sepantasnya

4. Keterampilan yang harus dikuasai fasilitator meliputi ……….


a. Bertanya, mendengar aktif, komunikasi, bahasa tubuh, dan mengarahkan
orang
b. Bertanya, mendengar aktif, komunikasi, bahasa tubuh, dan presentasi
c. Bertanya, mendengar aktif, komunikasi, bahasa tubuh, dan non verbal
d. Bertanya, mendengar aktif, komunikasi, bahasa tubuh, dan mengarahkan
orang
5. Seorang fasilitator harus menguasai teknik mendengarkan dan bertanya. Salah satu
teknik mendengarkan dan bertanya yang mengulang apa yang dikatakan orang lain
persis seperti yang diucapkan dengan mengulang kembali setiap kata yang
diucapkan merupakan batasan dari ……….
a. Memantulkan (Mirroring)
b. Mengumpulkan gagasan (Gathering ideas)
c. Mengurutkan (Stacking)
d. Menguatkan (Encouraging)

Anda mungkin juga menyukai