Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDEKATAN ANTI-DISKRIMINASI DAN SENSITIVITAS


MULTIKULTURAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Pekerjaan Sosial

Dosen pengampu: 1. Drs. Bambang Sugeng, M.P


2. Ade Subarkah, MPS. SP

Disusun Oleh :

Bella Sandra Tiana 18.04.009

Erwin Mahendra Eka Saputra 18.04.066

Nurul Azizah Aulia 18.04.240

Kelas : 2H – Peksos

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL


BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
berkat, rahmat, dan keridhoan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Pendekatan Anti-Diskriminasi dan Sensitivitas Multikultural” Makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Teori Pekerja Sosial. penulis sampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs.Bambang Sugeng M.P, Ade Subarkah,
MPS. Sp selaku Dosen mata kuliah Teori Pekerjaan Sosial serta semua pihak yang turut
membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari Makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan
baik isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu penulis sangat mengharap
kritik dan saran positif untuk perbaikan di kemudian hari.

Akhirnya, penulis berharap semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca dan khususnya bagi kami.

Bandung, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB 2 ISI....................................................................................................................... 3
2.1 Perspektif Teoritis ......................................................................................... 3
2.2 Perspektif Anti-Rasisme dan Diskriminasi ................................................... 4
2.3 Diskriminasi dan Penindasan ........................................................................ 6
2.4 Analisis Pendekatan Anti-Diskriminasi ........................................................ 7
2.4.1 Analisis Menurut Thompson ..................................................................... 7
2.4.2 Analisis Menurut Darlymple dan Burke .................................................... 8
2.5 Aspek Politik dari Anti-Diskriminasi dan Sensitivitas ................................. 8
2.6 Implementasi Teori Pendekatan Anti-Diskriminasi ..................................... 9
2.7 Implementasi Teori Pendekatan Multikultur ................................................ 11
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... iv

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari tahun 1980-an, kekhawatiran akan berkembangnya konflik etnis di


banyak masyarakat barat dan dalam konflik global serta gerakan sosial telah
meningkatkan kebutuhan dan kemungkinan praktik pekerjaan sosial untuk
menanggapi pembagian etnis dan budaya.
Dua pendekatan terkait mencoba menangani masalah-masalah seperti:
anti-diskriminasi dan sensitivitas multikultural ini berasal dari kekhawatiran akan
rasisme dan konflik etnis, tetapi telah meluas untuk menggabungkan diskriminasi
terhadap kelompok sosial lain dan bentuk pengucilan sosial yang lebih luas.
Pendekatan-pendekatan ini memiliki penekanan yang berbeda, dan pekerja
sosial perlu mencapai pemahaman tentang bagaimana isu-isu ini dapat
dimasukkan ke dalam praktik dan pandangan tentang posisi mereka sendiri dalam
debat teoretis. Karena ini memiliki konsekuensi langsung untuk bagaimana
mereka mempraktikan dan mengimplementasikan nilai-nilai pekerjaan sosial.
Teori-teori anti-diskriminasi mengambil pandangan terutama sosialis-
kolektivis, sementara sensitivitas mendekati, meskipun menggabungkan beberapa
perspektif struktural yang sosialis, terapkan ini dengan cara terapi yang lebih
refleksif, daripada mencari perubahan sosial yang luas. Mereka bertujuan untuk
membuat tatanan sosial saat ini lebih responsif terhadap masalah yang diangkat
oleh masalah ini.
Gagasan tentang pendekatan praktik anti-penindasan dan sensitivitas
multikultural dalam praktik membantu para praktisi untuk memahami berbagai
rintangan budaya dan etnis, serta konflik dan perbedaan dalam masyarakat
sehingga mereka dapat melakukan praktik dengan cara yang lebih menghargai
identitas individual dan sosial; serta memberkan respon terhadap penindasan yang
dilakukan oleh kaum yang dominan. Perbedaan kultural dan etnis memiliki
konsekuensi yang penting bagi perkembangan pribadi dan pengalaman sosial

1
orang-orang, dan pemikiran-pemikiran ini membantu para praktisi
menggabungkan faktor-faktor tersebut ke dalam praktek mereka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas


multikultural?
2. Bagaimana pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas multikultural
bila dilihat dari berbagai perspektif?
3. Bagaimana analisis pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas
multikultural?
4. Bagaimana pengaplikasisan pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas
multikultural dalam praktik pekerjaan sosial?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan anti-diskriminasi dan


sensitivitas multikultural.
2. Mengetahui pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas multikultural
dari berbagai perspektif.
3. Mengetahui analisis pendekatan anti-diskriminasi dan sensitivitas
multikultural.
4. Mengetahui bagaimana pengaplikasisan pendelatan anti-diskriminasi dan
sensitivitas multikultural dalam praktik pekerjaan sosial.

2
`BAB II

ISI

2.1 Perspektif Teoritis

Praktek anti-diskriminasi muncul dari pembelajaran sosiologis dan


psikologis terhadap proses-proses yang digunakan kelompok-kelompok atau
individu-individu di masyarakat dalam menilai rendah karakteristik tertentu dan
melakukan tindakan diskriminatif terhadap suatu kelompok lain. Praktik anti-
penindasan berawal dari sebuah analisis tentang bagaimana perbedaan dan
diskriminasi dapat mengakibatkan pembentukan kelas sosial. Cara ini
menciptakan identitas sosial yang menyebabkan penindasan adalah inti dari teori
anti-penindasan (Dominelli, 2002).
Praktik sensitivitas multikultural berangkat dari pembelajaran tentang
budaya dan hubungannya dengan perilaku dan hubungan dalam masyarakat. Dua
praktik ini saling tumpang tindih namum memiliki tujuan yang berbeda:

1. Praktik anti-penindasan bertujuan untuk mengubah struktur sosial


untuk meraih kesetaraan dan keadilan sosial
2. Praktik sensitivitas multikultural bertujuan untuk mengelola dan
memberi respon secara efektif terhadap konflik-konflik yang ada
dalam kelompok dan hubungan sosial dalam masyarakat.

Sebuah sumber yang penting bagi pemikiran ini adalah penelitian dan
komentar terhadap isu-isu sosial yang berkaitan dengan ras dan etnik. Teori
feminisme dan materi tentang disabilitas dan seksualitas memiliki kontribusi.
Praktik anti-penindasan menggabungkan bidang-bidang tersebut ke dalam sebuah
teori dan praktik yang menangani setiap orang yang mengalami diskriminasi dan
penindasan.
Sedangkan sensitivitas multikultural lebih berfokus pada etnis, ras, dan
spiritualitas, meski mulai banyak digunakan pada pembagian kelas sosial lain
yang memerlukan sensitivitas.

3
2.2 Perspektif Anti-Rasisme dan Diskriminasi

Rasisme adalah sejumlah proses sosial dan ideologis yang


mendiskriminasikan orang lain dengan menggunakan asumsi kenaggotaan ras
yang berbeda (Solomos, 2003:11). Rasisme telah menjadi fenomena yang
mendunia sepanjang sejarah dan mempengaruhi berbagai masyarakat dengan cara
yang berbeda. Asumsi rasial bahwa golongan kulit putih lebih superior daripada
kulit hitam telah beralih menjadi tindakan diskriminasi yang berdasarkan atas
perasaan superioritas dalam hal budaya.
Tanggapan akan situasi tersebut mengarah pada akan pentingnya sikap
menghargai perbedaan etnis atau multikulturalisme (Isajiw, 1997) dan dalam
pekerjaan sosial, ini berujung pada pendekatan yang melibatkan sensitivitas dan
kompetensi budaya. Multikulturalisme mengacu pada upaya untuk
menggabungkan kelompok-kelompok yang berbeda dari populasi dominan ke
dalam sebuah bangsa atau komunitas dengan menghargai kontribusi budaya
mereka dan menekankan nilai-nilai perbedaan serta prulalisme (Rex, 1997)
Paham anti-rasisme memiliki perspektif yang dapat dipakai saat bekerja
dengan kelompok-kelompok:

1. Asimilasi
Kaum minoritas akan berasimilasi dengan budaya dan gaya hidup
mayoritas.
2. Pluralisme liberal
Semua kelompok harus hidup berdampingan dan kesetaraan kesempatan,
yang buka berati kesamaan, harus diatur dengan aturan hukum dan
administratif
3. Pluralisme budaya
Berfokus pada perbedaan: semua kelompok hidup berdampingan dengan
tetap mempertahankan kebudayaan masing-masing
4. Strukturalis/perspektif kritsi
Pemisahan etnis dan budaya diperkuat oleh dominasi ekonomi dan kultural
oleh kelompok yang dominan

4
5. Perspektif kulit hitam
Kelompok masyarakat kulit hitam dan etnik minoritas mengembangkan
pandangan sendiri tentang masyarakat berdasar atas pengamalan dan
sejarah mereka.

Satu aspek dari sensitivitas adalah yang mungkin tertutup oleh asumsi ras,
penekanan tentang kontribusi masyarakat kulit hitam pada sejarah pekerjaan
sosial (Calrton-Laney, 1994, 2001; Martin and Martin, 1995). Jadi, perspektif
mereka menginginkan para praktisi agar bisa bersikap sensitif terhadap
pengalaman dan sejarah kaum kulit hitam, dan juga sensitif terhadap upaya
mereka untuk mengadaptasikan keahlian mereka dalam praktik konvensional
menjadi bagian dari perspektif tersebut.
Martin (1995) membuktikan bahwa sebuah proses eksplorasi terhadap
‘sejarah lisan’ dari seseorang individu yang berasal dari sebuah keluarga atau
komunitas dapat melibatkan perspektif kaum kulit hitam dalam asesmen
profesional. Meski begittu, Graham (2007) mengingatkan bahwa masyarakat kulit
hitam hidupnya tidak hanya bergelut dengan perjuangan melawan penindasan
kaum kulit putih.
Mereka juga memiliki pemandangan dunia yang orisinal dan kreatif secara
keseluruhan. Informasi sosial tentang kaum kulit hitam harus digunakan dan
dikembangkan sebagai respon terhadap pemahaman yang mereka milikiakan
dunia (Robinson, 1995). Kita tidak bisa berasumsi bahwa hanya ada satu budaya
minoritas atau setiap kelompok masyarakat hanya memiliki satu budaya, dan kita
harus mengeksplorasi adanya berbagai budaya, dan kita harus mengeksplorasi
adanya berbagai budaya dalam satu kelompok masyarakat (Gross, 1995).
Di Amerika Serikat, CRT (critical race theory-Teori Ras Kritis; Delgado
dan Stefancic, 2012), yang menggabungkan perspektif multikultural dan
penindasan sangt berpengaruh dalam pendidikan profesional (Abrams dan Moio,
2009) dan secara khusus menekankan perlunya intervensi hukum untuk
menghilangkan penindasan rasial. CRT sendiri mengkritik tentang kebijakan dan
praktik ‘buta warna’ yang memperlakukan semua kalangan dengan sama rata

5
tanpa mempertimbangkan dan melihat fakta bahwa ada kelompok minoritas
tertentu yang pernah mengalami penindasan sehingga perlu dukungan lebih agar
mereka bisa mengetahui potensi dirinya.

2.3 Diskriminasi dan Penindasan

Penedektan anti-penindasan dalam pekerjaan sosial berkembang pada


tahun 1980 dan 90an sebagai akibat dari permasalhan kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh negara-negara barat. Ini juga merupakan respon terhadap kerusuhan
yang terjadi di beberapa negara barat. Parktik anti-penindasan muncul dari teori
kritis yang membahas kelompok masyarakat yang mengalami ketidaksetaraan dan
ketidakadilan.
Diskriminasi melibatkan tindakan yang membeda-bedakan kelompok
masyarakat berdasarkan karakteristik tertentu. Di lain sisi diskirimansi atau
penindasan dapat diperbesar ketika ada dua atau lebih aspek identitas yang
berujung tindasan sosial dapat berujung pada konflik dalam respon dan sikap.
Penedkatan normalisasi dan penetapan peranan sosial (Wolfensberger, 1972,
1984; Race, 2003; lihat bab III) menempatkan diri dalam kelompok asimilasi
karena mencoba memasukkan orang-orang yang memiliki disabilitas ke dalam
‘kehidupan normal’ (Towell, 1988), sehingga peranan sosial mereka bisa setara
dengan orang lain.
Pandangan model sosial mengenai disabilitas (Oliver, 2009) mengandung
elemen-elemen sturuktural dan berpendapat bahwa model medis berkonsentrasi
pada permasalahan kaum cacat. Kita harus menyadari bahwa definisi sosial
tentang apa yang dianggap ‘nrmal’ telah mengakibatkan masyarakat tersusun
dalam sturuktur yang mengakibatkan disabilitas. Pandangan ekonomi politiis usia
(Laczko dan Philipson,1991) fokus pada elemen struktural dan berpendapat
bahwa asusmsi tentang usia berasal dari pengasingan lansia dari dunia kerja,
sehingga mereka tidak dapat hidup mandiri secara ekonomi.
Pandangan hidup dalam kekurangan (Moris, 1993) berpendapat bahwa
individu dan masyarakat yanh mempunyai kekurangan fisik harus bisa mengelola
pelayanannya sendiri agar mereka mencapai kemandirian. Belakangan ini, praktik

6
kewarganegraan yang dilakukan terhadap kaun lansi menekankan pentingnya hak
mereka dan para penderita dementia untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat
melalui proses yang senormal mungkin (Marshall dan Tribs, 2006; Payne, 2011).
Mathies (2010) menyatakan bahwa pekerjaan sosial mempromosikan partisipasi
dan kewarganegaraan dalam masyarakat secara lebih luas, meski tetap mendapat
kritik.
Diskiriminasi diciptakan dan dipertahankan oleh keyakinan dan perilaku
pribadi serta diperkuat oleh ideologi yang berkembang dari kekuatan kelompok
yang bermaksud melanggengkan dan memperkuat dominasi mereka dalam
struktur sosial. Wilson dan Beresfod (2000) berpendapat bahwa cara pekerjaan
sosial mnenkankan pentingnya praktik anti-penindasan membuat mereka
menghargai pemikiran para pengguna jasa yang tertindas sambil mempertahankan
kekuatan untuk menjelaskan apa yang dimaksud penindasan. Salah satu cara
mempertahankan adalah dengan mempertahankan asumsi bahasa dan sosial untuk
mendukung konvensi yang diskriminatif dan ini juga berkaitan dengan teori
konstruksi sosial.

2.4 Analisis Pendekatan Anti-Diskriminasi

Pada tahun 1990-an, semua bentuk diskriminasi dikelompokan dalam


pendekatan anti-diskriminasi (Thompson,2012) atau anti-penindasan (Darlymple
dan Burke, 2006) yang umum. Keduanya membentuk analisis tentang
diskriminasi.

2.4.1 Analisis Menurut Thompson

Teori anti-diskriminasi Thompson (2012) menghubungkan tingkatan


analisis personal/psikologis serta budaya dan struktural dari permasalahan sosial.
Tingkat personal (P) adalah tentang hubungan interpersonal dan perasaan, sikap
dan tindakan personal atau psikologis antar anggota masyarakat; termasuk pekerja
sosial yang dilakukan pada tingkat ini. Ini terdapat dalam konteks kultural (C),
yang mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan tindakan personal. Oleh
karena itu, kesamaan antara orang-orang dalam kelompok yang berbeda,

7
konsensus tentang normalitas dan asumsi bahwa orang-orang akan menyesuaikan
diri dengan norma-norma sosial yang ada dalam budaya tertentu. Tingkatan-
tingkatan ini pada giliranya akan menjadi bagian dari sebuah tingkatan struktural
(S), yang merupakan tatanan sosial dan serangkaian pembagian kelas sosial yang
diterima. Para pekerja sosial memiliki pengaruh yang kuat dalam tingkatan
personal namun menurun pada tingkatan kultural dan struktural.

2.4.2 Analisis Menurut Darlymple dan Burke

Analisis yang dilakukan Darlymple dan Burke (2006) mengembangkan


sebuah model praktik yang melibatkan praktisi dan klien dalam sebuah kemitraan
yang berkomitmen untuk berubah demi mencapai kesetaraan yang lebih luas
dalam masyarakat. Dalam hal ini pekerja sosial bekerja dalam tiga tingkatan:
tingkatan perasaan, merefleksikan biografi klien dan pekerja sosialnya; tingkatan
pemikiran, bekerja untuk mencapai kesadaran akan perasaan dan masyarakat; dan
tingkatan tindakan politis dalam masyarakat yang lebih luas.

2.5 Aspek Politik dari Anti-Diskriminasi dan Sensitivitas

Persaingan antara praktik anti-diskriminasi dan sensitivitas multikultural


muncul karena perbedaan penekanan:

1. Sebuah penekanan pada penjelasan struktural dalam teori anti-diskriminasi


2. Sebuah penekanan pada inklusi budaya dan sosial dalam sensitivitas lagi.

Meski kedua perspektif mencakup dua elemen penjelasan struktural akan secara
logis menghalangi strategi inklusi dan pemberdayaan yang menjadi fokus teori
sensitivitas. Perspektif sensitivitas dianggap sebagai sebuah alternatif yang
mendorong kesadaran dan penerimaan penjelasan struktural tetapo berujung pada
tujuan pemberdayaan, yang tidak mementingkan mereka demi fokus pada
perubahan sosial. Perspektif sensitivitas juga dapat dipahami sebagai suatu aspek
dalam pekerjaan sosial relasional dalam pekerjaan sosial terapeutik yang
kompleks, karena isu-isu budaya dan etnis seringkali merupakan aspek penting
dari isu yang dihadapi klien (Ganzer dan Ornstein, 2002).

8
O’Hagan (2001) memberikan kritik multikultural terhadap anti-
diskriminasi sebagai berikut:

1. Dalam menganalisis rasisme, anti-diskriminasi mengabaikan aspek budaya


yang penting dari diskriminasi, seperti agama.
2. Paham ini berfokus pada perbedaan ‘hitam/putih’, mengacu pada
pemikiran seperti ‘tradisi kulit hitam’ dan perspektif ‘kulit hitam’. Ini
bertentangan dengan keinginan orang-orang yang dilabeli dengan istilah
diatas yang sebenarnya ingin dibedakan dari sisi sejarah, budaya, dan
agama sebagai aspek identitas pribadi dan sosial mereka.
3. Anti-diskriminasi menggunakan istilah seperti ‘etnisitas’, dengan makna
sejarah yang memiliki implikasi ‘bukan kami’, yang berkaitan dengan
istilah-istilah pejorative, seperti ‘pembersihan etnis’ dan telah digunakan
dengan tujuan menjelek-jelekkan (ofensif), yang mengacu pada orang-
orang dari kelompok minoritas sebagai ‘etnis’. Istilah BME (Black and
Minority Ethnic Groups) yang pertama kali digunakan oleh O’Hagan
dalam praktik sehari-hari sering dianggap ofensif.

2.6 Imprementasi Teori Pendekatan Anti-Diskriminasi

Teori prakti anti-diskriminasi mencoba memasukan ke dalam praktek


pekerjaan sosial sebuah kepedulian untuk melawan tindak penindasan terhadap
semua kelompok. Analisi Thompson (2012) tentang praktik anti-diskriminasi
adalah sesuatu yang penting karena merupakan upaya pertama untuk memberikan
sebuah alasan teoritis untuk praktik pekerjaan sosial dalam menghadapi berbagai
macam perlakuan diskriminatif.
Dalrymple dan Burke (2006) menempatkan banyak pemikiran dalam
bahasan praktik anti-diskriminasi. Dalrymple dan Burke melihat praktik anti-
diskriminasi sebagai bagian dari tradisi kritis pekerjaan sosial, termasuk perspektif
radikal, struktural, feminisme dan kulit hitam, serta praktik anti-rasisme. Mereka
juga mendapat informasi dari kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi
seperti para lesbian dan gay, penyandang kesulitan belajar, bekas klien perawatan

9
psikiater, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dan disabilitas.
Ketidakberdayaan muncul dari orang-orang yang menganggap diri dan
identitasnya tidak mampu mencapai tujuan mereka. Hal ini terjadi sebagai akibat
dari pengalamn yang mereka dapatkan dalam sistem soial dimana orang-orang
yang tidak memiiki kekuatan tidak dapat berpartisipasi dalam masyarakat.
Identitas adalah elemen pentingdalam penindasan dan praktik anti-diskriminasi.
Beberapa identitas dibentuk menjadi lebih superior daripada identitas lain.
Praktik anti-diskriminasi teridiri dari empat elemen utama, yaitu:

1. Nilai
Praktik dilakukan dengan membandingkan berbagai argumen dalm
serangkaian keyakinan, pemikiran, dan asumsi yang dimiliki individu dan
kelompok tentang diri mereka sendiri dan masyarakt tempat mereka
tinggal.
2. Pemberdayaan
Praktik membantu orang-orang dengan melalui sebuah proses
pengambilan kontrl yang lebih besar atas hidup mereka dan kapasitas yang
lebih besar untuk berurusan dengan faktor-faktor pribadi dan budaya
setempat yang mempengaruhi hidup mereka, seperti juga halnya
perubahan sosial dan politis.
3. Kemitraan
Praktik bertujuan untuk mencapai sebuah kerja sama antara praktis dan
klien, dengan lembaga lain, sektor swasta dan sukarelawan dan antara
pada profesional
4. Intervensi minimal
Praktik bertujuan untuk melakukan intervensi sedikit mungkin terhadap
hak-hak seseorang dalam kebebasan untuk mengambil keputusan.

Sebuah aspek penting dalam praktik anti-diskriminasi adalah mengidentifkasi dan


menangai konflik nilai dan efeknya pada hidup dan keputusan manusia.
Praktik anti-diskriminasi melihat keterlibatan klien dalam keputusan
sebagai semua hak demokratis warga negara. Evaluasi sering kali dilihat sebagai

10
sesuatu yang dilakukan dalam cara formal oleh para praktisi dan manajer.
Melibatkan klien dan perawat dalam proses dapat menimbulkan berbagai
perspektif dan menghargai hak-hak klien untuk memengaruhi. bagaimana mereka
diberlakukan saat ini dan di masa yang akan dateng.

2.7 Imprementasi Teori Pendekatan multikultur

Diaplikasikan dalam pekerjaan sosial, Cox dan Ephross (1988),


mengambil pendekatan yang agak berbeda dan menciptakan ‘lensa’ yang dapat
digunakan para perkerja sosial untuk melihat klien dan situasi sosial mereka,
menyatakan bahwa kita harus mengidentifikasi aspek-aspke homogenitas dan
heterogenitas dalam kelompok etnis yang kita hadapi.
Sineros et al, (2008) memberikan contoh sebuah imprementasi dari praktik
sensitivitas yang merefkleksikan penggabungan isu-isu budaya yang lebih luas
dari pada etnis dan ras, juga pemikiran seperti interseksionalitas dan
perkembangan identitas (rasial). Multikulturalisme kritis meimplikasikan sebuah
gerakan yang lebih jauh dari sekedar mengetahui perbedaan tersebut hingga
ketelibatan dengan berbagai perbedaan manusia dan kelompok sosial serta
menerima kenyataan bahwa kekuasaan, dominasi, dan kelas soioekonomi
membentuk struktur dan interaksi sosial.

Penindasan dipertahankan melalui lima proses:

1. Eksploitasi;
Satu kelompok mengambil keuntungan dari kelompo lain;
2. Marjinalisasi
Individu dan kelompok dilarang berpartisipasi dalam kehidupan dan
hubungan sosial;
3. Ketidakberayaan
Kelompok sosial tidak memiliki kekuatan, status, dan kesadaran diri;
4. Imperialisme cultural
Budaya dan pengalaman satu kelompok tertentu yang menjadi norma;
5. Kekerasan

11
Satu kelompok menjadi korban kekerasan fisik dan emosional,
penghinaan, pelecehan, dan stigma.

Praktik multikultural kritis mencoba mengembangkan kesadaran diri


dalam pemahaman seseorang tentang hidup dan hubungan sosialnya. Refleksi
kritis diperlukan agar mereka bisa menganalisa posisi mereka dan menyadari
potensi serta kesempatnya yang ada. Pemikiran tentang pengembangan identitas
(Helms, 1993, 1995) menyatakan bahwa seseorang harus melalui beberapa
tahapan dan menemukan dan mnginternalisasikan identitas yang berfokus pada
ras dan etnis mereka.
Sisneros et al. (2008;82-94) menyatakan pemahaman dan praktik dalam
model ini sebagai tindakan “menciptakan jaring” berbagai dimensi dari identitas
seseorang, memahami posisi mereka dan kemudian memindahannnya dengan
memberikan pengalaman yang baru. Ini melibatkan tindakan menggabungkan
berbagai aspek keistimewaan dan marjinalisasi.
Sisneros et al, (2008;87) mengembangkan sebuah diagram jaringan
identitas yang relevan, dan saya lebih menyajikan bentuk yang lebih sederhana
dan umum. Diagram ini menyuluhan sejumlah faktor yang berkontibusi tehadap
identitas pribadi;’ identitas yang menentukan akses dan sumber daya dan batasan
yang dimiliki. Kompetensi budaya membantu kita memahami pandangan kita
sendiri, dan membantu orang lain menemukan dan menghargai pandangan mereka
sendiri.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori anti-penindasan memberi kontribusi yang penting bagi pendekatan


lain dalam pekerjaan sosial. Mereka berkontribusi pada teori kritis dalam bentuk
analisis dari berbagai basis tentang penindasan terhadap kelompok tertentu dan
penciptaan ketidaksetaraan dan kemudian memberi penjelasan yang lebih lengkap
tentang isu-isu yang harus dihadapi oleh pekerja sosial.
Pendekatan sensitivitas budaya mencakup pikiran-pikiran seperti
kompetensi dan perbedaan budaya, mengedepankan respon terhadap perbedaan
budaya dan etnis. Pendekatan ini berfokus membangun sejumlah pekerja sosial
yang memiliki pemahaman yang mendetail dan khusus.
Meskipun kedua pendekatan ini menunjukan nilai-nilai dan menuntut
pemahaman yang harus ada dalam perkerjaan sosial, tidak jelas apakah pendekata-
pendekatan ini bisa menjadi dasar bagi praktik atau harus bergabung dengan
pendekatan lain.

13
DAFTAR PUSTAKA

Payne, Malcom. 2016. Teori Pekerjaan Sosial Modern. Edisi ke-4. Diterjemahkan
oleh: Susiladiharti, dkk. Yogyakarta: Samudra Biru.

Payne, Malcom. 2005. Modern Social Work Theory. Edisi ke-3. New York:
Palgrave Macmillan.

iv

Anda mungkin juga menyukai