Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP NEGOSIASI PERUSAHAAN

DOSEN PENGAMPU

DR. FELIKS ANGGIA BINSAR KRISTIAN P., SE.,MM

OLEH

EMMA RIANTI (B2B123050)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN (S2)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2023.1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Globalisasi telah memberikan banyak dampak bagi perkembangan bisnis dunia, terlebih
dengan era digitalisasi dan industri 4.0. Perusahaan dituntut agar dapat melakukan berbagai
strategi dalam menghadapi perbedaan yang ada dalam kegiatan bisnis pada tempat yang
berbeda. Dari berbagai macam perbedaan itu, salah satu yang dihadapi adalah adanya
perbedaan sosial budaya. Budaya mempengaruhi banyak hal dalam bisnis, termasuk laju
bisnis, protokol bisnis yaitu bagaimana pelaku bisnis berbicara dan berinteraksi secara fisik dan
kata, pengambilan keputusan dan negosiasi, mengelola karyawan, kecenderungan mengambil
resiko,pemasaran, penjualan dan distribusi. Perbedaan ini dapat memunculkan konflik dalam
suatu bisnis sehingga memerlukan berbagai cara untuk menyelesaikannya dimana salah
satunya adalah dengan negosiasi.

Negosiasi merupakan faktor penting dalam menyampaikan keinginan kita terhadap


orang lain dengan harapan menghasilkan keputusan bersama antara dua pihak atau lebih
dengan tujuan yang berbeda-beda, hal ini dapat memicu terjadinya konflik, pertikaian, atau
ketidaksepakatan (Utami, 2017).

Faktor yang mempengaruhi proses negosiasi bisnis dan peran dari pemahaman lintas
budaya dalam proses negosiasi bisnis diteliti oleh Indra Pratama, et al., dalam penelitian yang
berjudul "Perlunya Pemahaman Lintas Budaya dalam Proses Negosiasi Bisnis (Studi pada PT.
Pratama Jaya Perkasa). Penelitian ini menggunakan objek penelitian yaitu perusahaan jasa
yang bergerak di bidang konstruksi, mechanical dan electrical. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman
lintas budaya yang baik dapat memperbesar presentase keberhasilan dalam proses negosiasi
bisnis. Hambatan budaya seperti keterbatasan penguasaan bahasa asing dalam berkomunikasi,
rasa etnosentrisme dan prasangka buruk dapat menghambat jalannya proses negosiasi bisnis.

Penelitian lain yang dilakukan Chuanqi Liu, et al., dengan judul "Culture Differences in
Business Negotiations Between China and the UK. Tujuan penelitian adalah meninjau apa
2
karakteristik budaya Cina dan Inggris dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi pola
negosiasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negosiator Cina cenderung kolektivism
sementara negosiator Inggris cenderung individualis. Di samping itu, negosiator Cina lebih
fokus pada hubungan manusia dibanding Inggris yang lebih berbasis kepentingan. Strategi
negosiasi Cina berorientasi pada hasil akhir, sedangkan Inggris lebih pada apakah akan
mematuhi peraturan dan prosedur. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa budaya
berpengaruh terhadap negosiasi, baik itu pada skala nasional maupun skala global.

Salah satu negosiasi perusahaan adalah melalui CSR (corporate sosial responsibility).
Implementasi CSR harus menjadi bagian penting dalam peran bisnis dan termasuk dalam
kebijakan bisnis perusahaan, sehingga dunia bisnis bukan hanya merupakan suatu organisasi
yang berorientasi pada pencapaian laba, tetapi juga memiliki kesadaran sosial pada lingkungan
sosial dimana perusahaan berada.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah

1. Apa itu sosial budaya?


2. Apa itu negosiasi perusahaan?
3. Bagaimana pengaruh sosial budaya terhadap negosiasi perusahaan?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah

1. Untuk mengetahui tentang sosial budaya


2. untuk mengetahui tentang negosiasi perusahaan
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh sosial budaya terhadap negosiasi perusahaan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sosial Budaya

2.1.1 Pengertian

Pengertian budaya atau culture dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan
pikiran, akal budi, hasil. Sedangkan membudayakan berarti mengajarkan supaya mempunyai
budaya, mendidik supaya berbudaya, membiasakan sesuatu yang baik sehingga berbudaya.
Dalam bahasa Sansekerta kata kebudayaan berasal dari kata budh yang berarti akal, yang
kemudian menjadi kata budhi atau bhudaya sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil
pemikiran atau akal manusia. Pendapat lain mengatakan bahwa budaya berasal dari kata budi
dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya
adalah perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai
hasil dari akal dan ikhtiar manusia. Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture, yang
berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, yang diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia.

Pengertian budaya atau kebudayaan menurut beberapa ahli sebagaimana disebutkan oleh Elly.
M. Setiadi, sebagai berikut:

a. E.B Tylor (1832-1917), budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, adat istiadat, dan kemampuan
lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

b. R. Linton (1893-1953), kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku


yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota
masyarakat lainnya.

c. Herkovits (1985-1963), kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang


diciptakan oleh manusia.

4
d. Koentjaraningrat (1985-1963), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.

Hofstede mendefinisikan budaya atau kultur sebagai suatu sistem nilai-nilai kolektif yang
membedakan anggota satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Baskerville (2003) dalam
Zainol dan Ayadurai (2010) menyebutkan bahwa budaya mempengaruhi perilaku, termasuk
kecenderungan mereka terhadap pembuatan atau pendirian suatu usaha baru. Sama halnya
seperti yang diungkapkan oleh Vernon-Wortzel (1997) dalam (Zainol dan Ayadurai, 2010),
budaya merupakan suatu elemen yang penting dalam pembahasan mengenai kewirausahaan,
karena hal itu berkaitan erat dengan sikap seseorang untuk memulai berwirausaha.

2.1.2. Dimensi Budaya Hofstede

Hofstede dalam mengidentifikasi enam model karakteristik untuk mengukur sebuah kultur di
masyarakat lintas negara. Keenam kultur tersebut yaitu Jarak Kekuasaan (power distance),
Individualisme – Kolektivisme, Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian
(Uncertainty Avoidance), Pragmatism, dan Indulgence. Dalam makalah ini akan dipaparkan lima
dimensi Hofstede yaitu:

1. Jarak Kekuasaan (Power Distance)


Jarak kekuasaan merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan
dimana masyarakat menerima kekuatan dalam institusi dan organisasi didistribusikan
tidak sama. Dimensi ini mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat yang bukan
pemangku kepentingan (less powerful) menerima dan memperkirakan bahwa
kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Masalah mendasar di sini adalah
bagaimana masyarakat menangani ketidaksetaraan di antara mereka. Orang-orang di
masyarakat yang hidup dalam sebuah negara dengan power distance yang tinggi
menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang memiliki tempat dan tidak memerlukan
justifikasi lebih lanjut, sedangkan orang-orang di masyarakat yang hidup dalam negara
dengan power distance rendah berusaha untuk mendapatkan persamaan distribusi
kekuatan dan meminta pengakuan terhadap ketidaksetaraan kekuasaan.
2. Individualisme/Kolektivisme.

5
Individualisme merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan dimana
orang lebih suka bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok. Hubungan
antara satu individu dengan individu lain tidak terlalu mengikat atau longgar. Setiap
individu menjaga diri sendiri dan keluarga langsung mereka saja, seperti keluarga inti
atau yang memiliki hubungan darah. Sedangkan kolektivisme menunjukkan sifat kultur
nasional yang mendeskripsikan kerangka sosial yang kuat dimana individu mengharap
orang lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan melindungi mereka. Individu dari
lahir terus terintegrasi dengan kuat, bersatu didalam kelompok, yang mana sepanjang
hidup anggota masyarakat terus melindungi satu sama lain dengan kesetiaan yang tidak
diragukan lagi. Hofstede menyatakan bahwa citra seseorang dalam masyarakat di
dalam dimensi ini tercermin dalam kata “Saya” (individualisme) atau “Kami”
(kolektivisme).
3. Maskulinitas – Feminimitas
Maskulinitas – feminimitas merujuk kepada fakta mendasar yang mana setiap
masyarakat mengatasi sesuatu dengan cara yang berbeda pula.Definisi dari sisi
maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi masyarakat untuk suatu prestasi,
kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan materi untuk sukses. Masyarakat dalam arti
luas lebih kompetitif di dimensi ini. merupakan tingkatan dimana kultur lebih menyukai
peran-peran maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan pengendalian
versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki posisi sejajar. Penilaian
maskulinitas yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran yang terpisah untuk pria
dan waniya, dengan pria yang mendominasi masyarakat.Berlawanan dengan dimensi
maskulin, dimensi femininitas menyinggung mengenai preferensi untuk kerja sama,
kerendahan hati, menjaga yang lemah, dan kualitas hidup. Masyarakat luas di dimensi
femininitas ini lebih berorientasi kepada konsensus atau permufakatan bersama
(Hofstede, 2001). Hofstede telah mengkarakteristikkan dimensi feminin sebagai semua
orang seharusnya sopan, simpati untuk yang lemah, dan resolusi konflik dilakukan
dengan kompromi dan perundingan. Selain itu pada dimensi ini lebih mengutamakan
solidaritas antar sesama serta pentingnya menjalin hubungan yang hangat terhadap
sesama. Sedangkan pada budaya maskulinitas dikarakteristikkan sebagai seorang yang
tegas, ambisius, tangguh, dan simpati untuk yang kuat. Dalam menghadapi konflik
sebisa mungkin resolusi konflik dilakukan dengan memerangi mereka, terjadinya
kompetisi di antara rekan kerja, dan uang merupakan hal yang penting

6
4. Penghindaran Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance)
Penghindaran ketidakpastian mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat
merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Individu dengan budaya
penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki karakteristik toleran terhadap aturan
atau hal yang tabu. Individu tersebut lebih menyukai inovasi dan ide-ide maupun
perilaku yang menyimpang serta memiliki ketertarikan terhadap suatu hal yang berbeda.
Selain itu, bagi individu dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki
agresi dan emosi yang tidak diperlihatkan. Individu akan lebih di motivasi oleh suatu
prestasi dan harga diri. Sebaliknya, karakteristik seseorang dengan budaya
penghindaran ketidakpastian yang tinggi antara lain takut terhadap sesuatu yang tidak
pasti atau ambigu dan tidak menyukai ide-ide serta perilaku yang menyimpang atau
berbeda. Individu akan lebih menerima resiko yang sudah dikenalnya. Selain itu mereka
jarang melakukan inovasi dikarenakan bagi mereka sesuatu yang baru merupakan hal
yang ditakuti. Individu akan lebih dimotivasi oleh harga diri dan keamanan. Mereka
memiliki prinsip yakni waktu adalah uang atau ‘time is money’
5. Orientasi jangka panjang (Long Term Orientation – Pragmatic) vs Orientasi Jangka
Pendek (Short Term Orientation – Normative) merupakan tipologi terbaru dari Hofstede.
Poin ini berfokus pada tingkatan ketaatan jangka panjang masyarakat terhadap nilai-nilai
tradisional. Individu dalam kultur orientasi jangka panjang melihat bahwa ke masa depan
dan menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi. Setiap masyarakat harus
memelihara beberapa hal terkait dengan masa lalunya saat menghadapi tantangan
masa kini dan masa depan. Masyarakat memprioritaskan dua tujuan eksistensial ini
secara berbeda.Masyarakat yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini, misalnya, lebih
memilih untuk mempertahankan tradisi dan norma yang dianggap memiliki nilai yang
terhormat. Pada saat yang sama, masyarakat ini juga memandang perubahan sosial
dengan rasa curiga. Sedangkan untuk masyarakat dengan nilai dimensi yang tinggi
mengambil pendekatan yang lebih pragmatis: mereka mendorong pemakaian
sumberdaya secara bijak dan berupaya mendorong pendidikan dengan cara modern
sebagai cara untuk mempersiapkan masa depan. Dalam konteks bisnis, dimensi ini
terkait dengan istilah normatif, yang bisa didefinisikan bertindak sesuai dengan kaidah
atau norma yang berlaku (berorientasi jangka pendek) versus pragmatis, yang bisa
didefinisikan bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (berorientasi
jangka panjang).

7
2.2 Negosiasi

2.2.1 Teori Negosiasi

Negosiasi merupakan suatu kegiatan yang terencana tentang apa yang harus dicapai,
bagaimana, dan dengan apa yang harus dikorbankan untuk mencapai suatu kata sepakat.
Sesuai dengan Sukmawati et al (2013), negosiasi bisa dikatakan sebagai bentuk interaksi sosial
dengan tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan yang saling menguntungkan, mengingat
dalam proses negosiasi pihak -pihak yang terlibat berusaha untuk sama-sama menyelesaikan
masalah yang berbeda dan bertentangan. Menurut Parmitasari (2019), negosiasi merupakan
perundingan diantara para pihak yang melakukan proses tawar menawar. Terdapat pihak yang
melakukan penawaran (offer) kepada pihak lain, dan akan ada penerimaan (accept) dari pihak
yang lainnya. Parmitasari (2019) menambahkan, proses tawar menawar juga merupakan salah
satu kegiatan dari komunikasi. Pada konteks proses komunikasi, seorang negosiator memiliki
peran sebagai komunikator yang mengawali proses terjadinya komunikasi dalam negosiasi.
Maka dari itu, sebagai komunikator, negosiator harus memahami kliennya yang di pihak lain
berperan sebagai komunikan.

2.2.2 Negosiasi Bisnis

Negosiasi bisnis merupakan satu bentuk proses komunikasi dalam suatu transaksi bisnis
dengan tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan. Negosiasi bisnis merupakan rangkaian dari
proses komunikasi yang terstruktur dan direncanakan, di mana dua orang/lebih dan dengan
tujuan yang berbeda-beda melakukan tukar informasi dan kepentingan untuk mendapatkan
hasil yang menguntungkan semua pihak yang bertujuan untuk mempertahankan dan
memperbaiki standar hidup mereka. Dengan adanya proses negosiasi bisnis, masing-masing
pihak dapat berinteraksi untuk menyelaraskan keinginannya.

2.2.3. Tahapan dalam Proses Negosiasi

Menurut Hayes (2003), tahapan negosiasi dibagi menjadi tiga proses, yaitu perencanaan,
persiapan, dan tahap negosiasi:

1. Perencanaan

Sebuah perencanaan dapat memberi kontribusi inti terhadap hasil sebuah negosiasi.

8
2. Persiapan

Pada proses ini negosiator berusaha mengenal pihak lain. Seorang negosiator harus
mengamati, memantau dan bahkan meneliti lawan negosiator, dengan cara berupaya
untuk mencari tahu informasi tentang lawan negosiator untuk mengetahui capaian
minimal pihak lawan.

3. Pengumpulan dan penggunaan informasi


Negosiator mempelajari hal yang perlu diketahui tentang penyelesaian dan
kemungkinan yang akan terjadi apabila gagal dalam mencapai kesepakatan bersama.
Kemudian negosiator membangun posisi yang mereka inginkan untuk mencapai
penyelesaian yang diinginkan, dalam penggunaan informasi

4. Bidding
Merupakan proses mengambil langkah posisi awal, yaitu dilakukan proses penawaran
awal menuju proses penawaran tengah.

5. Menutup bidding
Tujuannya yaitu untuk membangun komitmen terhadap persetujuan yang telah dicapai.

6. Menerapkan kesepakatan

Masing-masing pihak menentukan siapa yang harus melakukan dan apa saja isi
kesepakatan tersebut.

2.2.4. Strategi Negosiasi

Strategi dibutuhkan agar proses negosiasi berjalan dengan lancar. Strategi merupakan
keseluruhan rencana tindakan yang digunakan pada suatu negosiasi (Maddux, 2001). Apabila
diterapkan pada negosiasi, strategi merupakan seluruh rencana untuk mencapai tujuan dalam
negosiasi. Maddux menambahkan penjelasan mengenai tipe-tipe strategi negosiasi: (a)
Distributif (menang-kalah), yaitu menciptakan pola kita-mereka, di mana pihak yang
bersangkutan mencari keuntungannya sendiri; (b) Integratif (menang-menang), menekankan
adanya solusi yang sama-sama menguntungkan; (c) Akomodatif, dapat menimbulkan pola
menyerah secara terus menerus. Negosiator fokus memperhitungkan bahwa hubungan lebih
penting daripada hasil.

9
2.3. Pengaruh Sosial Budaya terhadap Negosiasi Perusahaan

Berdirinya sebuah perusahaan dalam suatu daerah akan menimbulkan berbagai


dampak terhadap daerah tersebut. Maka dari itu, perusahaan yang berdiri di suatu daerah
diwajibkan untuk memberikan tanggung jawabnya sehubungan dengan kelangsungan hidup
masyarakat lokal serta kelestarian lingkungan daerah tersebut. Dan hal itu menjadi sebuah
proses negosiasi yang dilakukan perusahaan dengan masyarakat setempat melalui pemerintah
daerah atau pun pemerintah pusat. Dalam bernegosiasi, tentu perlu mempertimbangkan faktor
sosial budaya yang ada di daerah setempat. Bagaimana misalnya seorang penduduk asli
daerah setempat cenderung lebih baik dalam bernegosiasi dengan negosiator yang memiliki
budaya yang sama dengan dia. Bagaimana perusahaan menghargai pengetahuan lokal dimana
memandang masyarakat sebagai pihak yang paling mengetahui tentang segala sesuatu yang
dalam diri dan lingkungannya. Kearifan lokal dimana salah satu sifat karakteristiknya yaitu
bersifat jangka panjang, yang sejalan dengan dimensi budaya orientasi jangka panjang.
Dimensi budaya kolektivisme dimana masyarakat akan melindungi kelompok mereka terhadap
dampak dari berdirinya sebuah perusahaan, juga merupakan pertimbangan dalam melakukan
negosiasi. Begitu pun dengan dimensi budaya lain.

Seorang negosiator akan melakukan tahapan perencanaan sebelum pada akhirnya


mencapai kata sepakat. Dan salah satu kesepakatan yang muncul akibat negosiasi tersebut
adalah ditandatanganinya kontrak antara perusahaan dan pemerintah setempat, dimana salah
satu di dalamnya terkait kewajiban perusahaan dalam bentuk CSR (Corporate sosial
responsibility).

Konsep CSR diawali dengan konsep sosial sustainability, yang muncul dalam
pertemuan di Yohannesberg pada tahun 2002, sebagai kelanjutan konsep economic
sustainability dan environmental sustainability. Dalam perkembangan selanjutnya ketiga konsep
ini menjadi patokan bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang kita
kenal dengan konsep corporate social responsibility (CSR). Konsep ini merupakan jawaban,
tentang topik tanggung jawab sosial perusahaan yang telah menjadi perdebatan selama
beberapa dekade terakhir tentang hubungan yang ideal antara bisnis dan masyarakat (Klonoski
1991). Tanggung jawab sosial telah didefinisikan atau dikonseptualisasikan dalam berbagai
cara yang berbeda oleh para pakar. Sehingga belum adanya standar konsep serta definisi CSR

10
yang seragam di dunia, telah menyebabkan tiap perusahaan melakukan CSR menurut
kemampuan dan definisinya masing-masing. Namun, semuanya merujuk pada ide tentang
pertanggungjawaban sosial perusahaan, dimana perusahaan tidak hanya bertanggung jawab
terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga terhadap kemajuan masyarakat sekitarnya.

Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan


keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost
centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan
komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Di sisi lain masyarakat mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi
pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral
untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena seiring
waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang
diperlukan, namun juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial.

Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong
royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung
jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi,
menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan
sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara
keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif,
maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat
ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi
perusahaan untuk memupuk modal sosial.

Panji Satri Pratama dalam penelitiannya yang berjudul "Pemberdayaan Masyarakat


Kabupaten Boyolali dalam Program Corporate Sosial Responsibility PT. Sido Muncul
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dimana ingin meneliti citra yang dihasilkan dari
program kegiatan CSR. Penelitian ini berfokus pada kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
11
dijalankan PT. Sido Muncul yaitu program CSR yang yang ditujukan untuk memberikan
kontribusi kepada masyarakat dan lingkungan, meningkatkan perekonomian masyarakat,
memperkuat destinasi kawasan wisata dan progam pemberdayaan masyarakat di Boyolali dan
sekitarnya, tujuan program tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa program pemberdayaan sudah terencana dari pihak PT. Sido
Muncul. Ketertarikan minat masyarakat terhadap program desa rempah cukup tinggi
dikarenakan masih tersedianya lahan untuk dikelola dan mayoritas mata pencaharian
masyarakat desa sasaran sebagai petani. Metode pemberdayaan yang digunakan adalah
sosialisasi dan pelatihan. Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan ditunjukkan dengan
inisiatif dari Gapoktan dalam program desa rempah. Pada tahun 2016 kedua desa sasaran
masih melaksanakan kegiatan pemberdayaan. Program desa rempah di Kabupaten Boyolali
merupakan 2 pelaksanaan program: pertama,yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Boyolali melalui Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dan kedua
pelaksanaan corporate social responsibility dari PT. Sido Muncul yang bersifat branding.
Penelitian ini mendukung pengaruh positif sosial budaya dengan negosiasi perusahan melalui
CSR.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Masmira, et al., yang dilakukan dengan tujuan
berfokus pada anteseden dan konsekuensi strategi CSR dan pengaruhnya pada hasil
pemasaran menggunakan metode kualitatif menemukan bahwa terdapat 9 proposisi sebagai
hasil penelitian ini, yaitu: 1) persepsi konsumen tentang tujuan aktivitas CSR mempengaruhi
evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut; 2) evaluasi konsumen atas aktifitas CSR
yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan pembelian; 3) aktivitas CSR berdampak
pada nilai yang diterima konsumen baik nilai ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional,
maupun nilai sosial; 4) aktivitas CSR membuat konsumen menjadi skeptis pada perusahaan; 5)
aktivitas CSR terkait produk yang langsung dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap
positif konsumen terhadap produk; 6) aktivitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas
citra perusahaan dan produk serta meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek; 7) penilaian
konsumen atas aktivitas CSR mempengaruhi loyalitas konsumen; 8) karakteristik konsumen
(umur, pendidikan, pendapatan dan kepedulian pada lingkungan memperkuat pengaruh CSR
terhadap keputusan pembelian konsumen; 9) budaya konsumen yang kolektivism (lebih
mengutamakan kebersamaan) mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan
pembelian produk ramah lingkungan. Ditemukan variabel moderasi pada hubungan aktivitas
CSR dan respon konsumen pada CSR yaitu karakteristik konsumen berupa demografi dan
12
kepedulian pada lingkungan yang pada awalnya dianggap sebagai variabel anteseden. Hasil
penelitian kualitatif yang berupa proposisi-proposisi penelitian ini perlu dijabarkan dalam bentuk
hipotesis yang nantinya perlu diuji secara kuantitif. Agar hasil penelitian lebih terfokus, maka
penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan objek penelitian yang spesifik.

Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata terdapat pula masalah


terkait pengelolaan CSR sehingga membuat masyarakat bersikap skeptis dan dimana budaya
kolektivism juga mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR. Hal ini mungkin bisa saja terjadi
akibat cara pandang perusahaan dalam melaksanakan CSR yang menganggap hanya semata
sebagai upaya memenuhi kewajiban. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi CSR
kebanyakan masih berdasarkan tuntutan masyarakat. Dan itu tidak terlepas dari negosiasi yang
telah dilakukan antara perusahaan dengan masyarakat setempat ataupun pemerintah setempat.

13
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

1. Budaya atau kultur menurut Hofstede adalah suatu sistem nilai-nilai kolektif yang
membedakan anggota satu kelompok dengan kelompok yang lainnya dimana terdapat
enam dimensi yaitu Jarak Kekuasaan (power distance), Individualisme – Kolektivisme,
Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance),
Pragmatism, dan Indulgence.

2. Negosiasi merupakan suatu kegiatan yang terencana tentang apa yang harus dicapai,
bagaimana, dan dengan apa yang harus dikorbankan untuk mencapai suatu kata
sepakat. Dengan adanya proses negosiasi bisnis, masing-masing pihak dapat
berinteraksi untuk menyelaraskan keinginannya.

3. Terdapat pengaruh antara sosial budaya terhadap negosiasi. Salah satu


implementasinya adalah melalui CSR.

3.2. Saran

Perlunya komitmen yang baik dari pemerintah maupun pelaku usaha agar CSR sebagai
implementasi dari negosiasi terkait tanggung jawab sosial perusahaan dengan faktor sosial
budaya masyarakat atau wilayah setempat dapat terlaksana dengan baik, tepat sasaran dan
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adi Neka Fatyandri, et al.,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Negosiasi dan Manajemen Konflik
pada Industri Kecantikan di Kota Batam: KONAD dan QBEE Nail, Universitas Internasional
Batam Volume 5 Issue 3 (2022) Pages 1 - 10 YUME : Journal of Management.

Elly. M Setiadi, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Jakarta: Kencana 2012), 28.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), 144.

Hayes, S. C., Masuda, A., & De Mey, H. 2003. Acceptance and Commitment Therapy and the
third wave of behavior therapy. Dutch Journal Of Psychotherapy: (In Press).

Hofstede, G. (2001). Culture's Consequences: Comparing, Values, Behaviors, Institutions, an


Organizations Across Nations. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Liu, Chuanqi., et al. 2021. Proceedings of the 2021 6th International Conference on Modern
Management and Education Technology. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, volume 582.

Maddux, Robert B. 2001. Team Building: Terampil Membangun Tim Handal (Edisi Kedua).
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Masmira Kurniawati, et al., 2014. Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb.

Pratama, Indra., et al., 2015. Perlunya Pemahaman Lintas Budaya dalam Proses Negosiasi
(Studi pada PT. Pratama Jaya Perkasa). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 24 No. 1 Juli.

Purnomolastu, N.et al., 2012. Negosiasi Berkarakter Lintas Budaya. Penerbit Karya Putri
Darwati Bandung.

Sukmawati, Ni Made Rai., I. Made Budiasa. 2013. Negosiasi dan Kontrak Dagang dalam
Perdagangan Internasional “Export” di Fa. Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol. 3 No. 1.

Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 30-31.

15
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), 130-131.

Utami, F.I.D. 2017. Efektivitas komunikasi negosiasi dalam bisnis. Jurnal Komunike, 9(2), 105-
122.

Zainol, F.A. dan Ayadurai, S. 2010. Cultural background and firm performances of indigenous
(Bumiputera) Malay family firms in Malaysia: The role of entrepreneurial orientation as a
mediating variable. Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability. 6(1),p.3.

16

Anda mungkin juga menyukai