Anda di halaman 1dari 15

DIFFERENCES IN CULTURE

1. What is culture?
Kebudayaan (culture) adalah keseluruhan kompleks dari pengetahuan,
keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan
kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat (M.
Munandar, 1998: 10). Dengan kata lain budaya juga dapat diartikan segala
sesuatu yang dapat dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Budaya dalam bisnis internasional diartikan hal yang merujuk pada etnis,
adat istiadat, dan juga kepercayaan dalam berperilaku bisnis dalam suatu
negara. Budaya ini sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari termasuk
juga dalam kegiatan berbisnis. Jika dalam bisnis internasional, budaya ini
sangat berpengaruh dikarenakan hal baru yang tidak sesuai dengan budaya
lokal dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan sukar diterima. Oleh
karena itu, disetiap kegiatan bisnis budaya dijadikan ukuran untuk dipahami
terlebih dahulu dan disesuaikan agar tidak menghambat suatu kegiatan bisnis.
Kebudayaan memiliki beberapa karakteristik yaitu:
 Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dapat dipelajari (learned
behavior) yang ditularkan dari satu anggota ke anggota lain.
 Unsur-unsur kebudayan saling berkaitan (interrelated).
 Kebudayan sanggup menyesuaikan diri (adaptive).
 Kebudayaan dimiliki bersama (shared) oleh anggota masyarakat
tersebut.
Selain itu budaya juga memiliki beberapa unsur. Unsur-unsur
kebudayaan yaitu:
 Struktur sosial
Seluruh kerangka yang menentukan peran individu dalam
masyarakat, stratifikasi masyarakat, dan mobilitas individu dalam
masyarakat.
a. Stratifikasi sosial
Stratifikasi sosial adalah suatu pengelompokan suatu
masyarakat berdasarkan kelahiran, pekerjaan, tingkat
pendidikan, atau ciri-ciri lainnya.

1
b. Mobilitas sosial
Mobilitas sosial adalah kemampuan individu berpindah
dari suatu strata ke strata lainnya.
 Bahasa
Bahasa adalah sarana penting yang digunakan dalam sebuah
kelompok untuk berkomunikasi.
 Komunikasi
Komunikasi adalah suatu keahlian yang wajib dimiliki para
manajer internasional guna mengurangi kesalahpahaman jika
melakukan komunikasi dengan orang yang berbeda budaya.
 Agama
Agama merupakan aspek terpenting dalam masyarakat yang
memengaruhi hubungan antar angggota masyarakat.
 Nilai dan Sikap
Nilai yaitu prinsip dan standar yang diterima oleh anggota
masyarakat. Sementara sikap yaitu tindakan, perasaan, dan
pemikiran yang dihasilkan oleh nilai-nilai tersebut.
2. Social culture
Sosiokulturan (Social culture) adalah Komponen budaya yang berfungsi
sebagai pedoman dari seorang manajer internasional:
 Estetika adalah sesuatu yang berkaitan dengan rasa keindahan,
budaya, dan selera yang baik
 Sikap dan kepercayaan yang selalu dimiliki setiap budaya berbeda-
beda yang dimana itu membuat perilaku manusia lebih beradab dan
tertib.
 Sikap terhadap waktu menimbulkan lebih banyak persoalan tentang
adaptasi
 Sikap terhadap pencapaian pekerjaan akan berbeda berbeda.
 Sikap terhadap perubahan ide baru akan lebih diterima apabila
berkaitan dengan hal tradisional
 Agama adalah suatu komponen penting yang bertanggung jawab
atas banyak sikap dan kepercayaan manusia

2
 Kebudayaan material merujuk pada objek buatan manusia dan
berkaitan dengan teknologi dan ilmu ekonomi
3. Religion and ethical system
Religi adalah suatu kepercayaan dan ritual bersama yang berkaitan
dengan alam suci. Dalam dunia ini, terdapat banyak sekali ragam dari agama.
Sementara sistem etik disini diartikan sebagai seperangkat prinsip dan nilai
moral yang dijadikan pedoman untuk sikap manusia. Sistem etika ini dalam
budaya berkaitan erat dengan agama yang mereka anut.
Dalam bisnis internasional seperti ini, etika bisnis sangat efektif
jika tetep berkaitan dengan agama. Tanpa agama, etika hanya menjadi sebuah
gagasan yang tidak diamalkan. Dikarenakan sebuah agama dapat mengatasi
sebuah pelanggaran etik apabila diintegrasikan dalam sebuah perusahaan.
4. Language
Bahasa adalah kunci dari kebudayaan dan tanpa bahasa orang akan
terisolasi dari lingkungan dan semua hal. Perbedaan bahasa menjadi faktor
penting dalam berkomunikasi baik dalam pergaulan sehari-hari maupun
dalam melakukan negoisasi dengan masyarakat setempat.
Bahasa menggambarkan budaya. Apabila ada dua bahasa dalam suatu
negara, maka ada dua kebudayaan di Negara tersebut. Contoh Negara yang
kaya dengan bahasa adalah Indonesia dimana beragam suku, adat dan bahasa
menggambarkan kekayaan budaya Indonesia.
5. Education
Dalam arti luas pendidikan dapat dianggap sebagai bagian dari proses
belajar yang melengkapi seseorang untuk mengambil peranannya di dalam
masyarakat. Bagi pengusaha yang ingin berinvestasi di suatu negara penting
sekali untuk mengetahui tingkat dan ukuran pendidikan pada negara tuan
rumah, karena hal itu sangat berpengaruh dalam penentuan tenaga kerja yang
dibutuhkan.
Ketika negara berkembang menjadi negara industri, terdapat persaingan
yang lebih tinggi di pasar dan peluang tenaga kerja berpendidikan tinggi
meningkat. Namun terjadinya brain drain (emigrasi dari tenaga professional
berpendidikan tinggi ke negara lain) sangat merugikan negara berkembang.

3
Reserve brain drain (kembalinya tenaga-tenaga profesonal berpendidikan
tinggi ke negara asalnya) memberikan pengaruh yang nyata atas daya saing
negara asalnya dalam kancah internasional.
6. Culture and the workplace
Sangat penting untuk bisnis internasional yang beroperasi di berbagai
negara adalah bagaimana budaya masyarakat memengaruhi nilai-nilai yang
ditemukan di tempat kerja. Proses dan praktik manajemen mungkin perlu
bervariasi sesuai dengan nilai-nilai terkait pekerjaan yang ditentukan secara
budaya. Misalnya, jika budaya Amerika Serikat dan Prancis menghasilkan
pekerjaan yang berbeda, nilai-nilai terkait, bisnis internasional dengan operasi
di kedua negara harus memvariasikan proses dan praktik manajemennya
untuk menjelaskan perbedaan ini. Jarak budaya-kekuatan yang berbeda,
penghindaran ketidakpastian, individualisme versus kolektivisme.
 Dimensi jarak kekuasaan
Difokuskan pada bagaimana masyarakat menghadapi fakta
bahwa orang tidak setara dalam kemampuan fisik dan intelektual.
Budaya jarak kekuasaan tinggi ditemukan di negara-negara yang
membiarkan ketimpangan tumbuh seiring waktu menjadi
ketidaksetaraan kekuasaan dan kekayaan. Budaya jarak kekuasaan
rendah ditemukan dalam masyarakat yang mencoba mengecilkan
ketidaksetaraan tersebut sebanyak mungkin.
 Dimensi individualisme versus kolektivisme
Berfokus pada hubungan antara individu dan sesamanya. Dalam
masyarakat individualistis, ikatan antara individu longgar dan
pencapaian individu serta kebebasan sangat dihargai. Dimasyarakat
di mana kolektivisme ditekankan, ikatan antar individu sangat erat.
Pada masyarakat seperti itu, orang-orang dilahirkan dalam kolektif,
seperti keluarga besar, dan setiap orang harus menjaga kepentingan
kolektifnya.
 Dimensi penghindaran ketidakpastian
Mengukur sejauh mana budaya yang berbeda mensosialisasikan
anggotanya untuk menerima situasi yang ambigu dan menoleransi

4
ketidakpastian. Anggota budaya penghindaran ketidakpastian tinggi
menempatkan premium pada pekerjaan keamanan, pola karir,
tunjangan pensiun, dan sebagainya. Mereka juga memiliki kebutuhan
yang kuat untuk aturan dan regulasi; manajer diharapkan untuk
mengeluarkan instruksi yang jelas, dan inisiatif bawahan dikontrol
dengan ketat. Budaya penghindaran ketidakpastian yang lebih
rendah ditandai dengan kesiapan yang lebih besar untuk mengambil
risiko dan lebih sedikit penolakan emosional untuk berubah
 Dimensi konfusianisme
Menangkap sikap terhadap waktu, ketekunan, keteraturan
berdasarkan status, perlindungan wajah, penghormatan terhadap
tradisi, dan timbal balik hadiah dan bantuan. Label tersebut mengacu
pada "nilai-nilai" yang diturunkan dari ajaran Konfusianisme
7. Culture change
Menurut Charles W. L. Hill, Perubahan kebudayaan (culture change)
terjadi secara terus menerus. Perubahan dalam sistem dan nilai dari suatu
masyarakat terkadang tidak berjalan dengan baik. Sebagai contoh pada tahun
1960-an di Negara Amerika terjadi perubahan kebudayaan terhadap nilai
orang-orang terhadap perempuan. Pada awal tahun 1960-an, kedudukan
wanita dalam perusahaan besar tidak terlalu penting, dan tidak banyak yang
dapat menerimanya. Namun saat itu terjadi kekacauan sosial dan terdapat
kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan pandangan seperti itu.
Hasilnya adalah seperti yang bisa dilihat hari ini, bahwa wanitapun bisa
menduduki jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan besar di Amerika.
Contoh lain ada di Negara Jepang yang sedang berubah ke arah
individualism. Pada awalnya, model pekerja kantoran di Jepang
dikarakteristikan sebagai seorang yang loyal kepada bos dan juga
perusahaannya sampai-sampai orang tersebut rela mengorbankan waktu sore
(untuk lembur), akhir pekan, dan juga waktu liburannya ketika dipanggil oleh
perusahaannya tersebut. Namun, generasi baru pekerja kantoran di Jepang
saat ini lebih lugas daripada orang-orang terdahulunya. Mereka tidak akan
segan meninggalkan sebuah perusahaan ketika mendapatkan tawaran yang

5
lebih menjanjikan dari perusahaan lain. Mereka tidak suka kerja lembur, dan
juga mereka tidak akan mau menemani bos mereka untuk sekedar minum-
minum dan bermain golf. Orang-orang dari generasi baru di Negara Jepang
ini lebih mirip orang-orang barat atau biasa disebut gaijin.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi dan
globalisasi merupakan faktor penting dalam perubahan sosial. Sebagai contoh
adanya bukti bahwa kemajuan ekonomi seringkali dibarengi dengan
perubahan budaya dari kolektivism menuju individualism (contohnya pada
Negara Jepang tadi). Salah satu alasannya yaitu karena masyarakat yang
makmur atau kaya butuh lebih sedikit bersosialisasi. Orang lebih mampu
mengurus kebutuhan mereka sendiri. Akibatnya, pentingnya kolektivisme
menurun, sementara kebebasan berekspresi mendorong ke arah ekonomi yang
lebih baik.
Selain itu, kebudayaan sosial juga akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi.
Sebagai contoh sebuah penelitian selama 25 tahun yang meneliti tentang
perubahan nilai dalam 78 negara (Word Values Surveys). Penelitian ini
menghubungkan antara nilai-nilai dalam suatu negara terhadap kondisi
ekonomi negara tersebut. Hasil yang didapatkan adalah semakin kaya suatu
negara, nilai-nilai tradisionalnya akan hilang dan menuju kepada nilai
rasional sekular. Orang-orang tradisional berkata bahwa nilai relijius itu
penting dalam kehidupan, mereka mempunyai jiwa kebangsaan yang kuat,
dan mengajarkan kepada anak-cucu mereka bahwa harus taat tidak ada yang
boleh melawan orang tua, serta tugas utama dari seorang anak adalah
membuat orang tua mereka bangga. Untuk sisi sekulernya adalah kebalikan
dari orang-orang tradisional diatas.
Kategori lain dalam penelitian tersebut adalah nilai bertahan hidup dan
nilai kesejahteraan. Nilai bertahan hidup adalah sebuah nilai yang
menekankan bahwa ekonomi dan keamanan lebih penting daripada kebebasan
berekspresi. Orang yang tidak mendapatkan makanan dan keamanan
centerung Xenophobic, waspada terhadap aktivitas politik, memiliki
kecenderungan otoriter, dan percaya bahwa laki-laki merupakan pemimpin
politik yang lebih baik daripada perempuan. Sedangkan pada nilai

6
kesejahteraan lebih mengedepankan pentingnya keragaman, rasa memiliki,
dan partisipasi dalam proses politik.
Hipotesis konvergensi adalah sebuah hipotesis yang menerangkan bahwa
negara-negara di dunia ini sedang terjadi perubahan kebudayaan yang
sebelumnya beraneka ragam, sekarang lebih menuju kepada kebudayaan yang
universal dan dapat diterima oleh semua orang. Perubahan kebudayaan ini
dipengaruhi oleh globalisasi dan juga kemajuan dalam teknologi dan
transportasi. Perusahaan-perusahaan seperti Hitachi, Disney, Microsoft, dan
Levi Strauss, yang dimana operasi dan produknya dapat ditemukan diseluruh
dunia membantu dalam membuat kondisi yang konvergen. Mereka
berpendapat bahwa ekonomi dapat berprogres lebih baik ketika variasi
kebudayaannya lebih sedikit. Oleh karena itu mereka sering bermerjer dengan
perusahaan lain untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat di dunia.
Namun ada pula pihak-pihak yang tidak setuju terhadap konvergensi
tersebut. Walaupun belum terstruktur, gerakan-gerakan seperti
fundamentalsime dalam islam, gerakan separatis di Quebec, gerakan separatis
di Russia, merupakan sebagian contoh reaksi ketika dihadapkan kepada
konvergensi kebudayaan. Sebagian masyarakat berupaya mengembalikan
akar kebudayaan dan juga keunikan masing-masing.
Perubahan kebudayaan tidak selalu bertolak belakang dengan dengan
kebudayaan nasional. Karena ketika seseorang memakai celana jeans, makan
di McDonald’s, menggunakan mobil Ford, bukan berarti orang tersebut sudah
mengadopsi nilai-nilai kebaratan. Contoh lain adalah sekarang semakin
banyak orang barat yang memakan makanan China, menonton film bela diri
China, belajar kung-fu, namun nilai-nilai mereka masih seperti orang barat
lainnya. Jadi harus dibedakan antara aspek material kebudayaan (yang
terlihat), dan struktur dalam, terutama nilai dan inti norma sosial. Karena
perubahan yang dalam itu terjadi sangat lama, namun untuk berubah kembali
juga dibutuhkan waktu yang lama pula.
 Cross-Cultural Literacy
Salah satu bahaya terbesar bagi perusahaan yang go
international adalah kurangnya informasi. Seperti yang sudah

7
dibahas diatas bahwa perbedaan kebudayaan dapat mempengaruhi
suatu bisnis / usaha, maka diperlukan adaptasi bagi perusahaan
internasional untuk menjalankan bisnisnya. Untuk beradaptasi,
diperlukan informasi-informasi mendasar tentang negara yang akan
dituju. Untuk mengatasi kekurangan informasi ini, perusahaan dapat
melakukan beberapa upaya seperti melakukan transfer eksekutif ke
luar negeri secara berkala. Hal ini dapat memastikan bahwa kader
atau orang tersebut akan terbiasa ketika nanti dipekerjakan pada
negara tersebut. Selain itu, perusahaan juga dapat mempekerjakan
orang-orang lokal untuk bekerja sekaligus membantu karyawan
dalam perusahaan tersebut beradaptasi terhadap budaya baru.
Selain kurangnya informasi, salah satu bahaya dalam
menjalankan bisnis internasional adalah paham Etnosentris.
Etnosentris adalah sebuah kepercayaan yang berlebihan terhadap
keunggulan kelompok atau budaya sendiri. Masyarakat ataupun
orang-orang yang masih percaya akan paham ini seakan menutup
mata dengan kelompok lain ataupun kelompok dari luar. Bisnis
internasional juga harus bisa mengatasi masalah seperti ini untuk
menjalankan bisnisnya dengan baik.
Pentingnya literasi lintas budaya ini bisa diilustrasikan dengan
contoh kasus seperti ketika orang Amerika dan Jerman bekerja sama
dalam perusahaan. Orang Amerika tidak senang ketika dikoreksi
secara terang-terangan dalam publik, sedangkan budaya di Jerman
hal tersebut biasa saja. Budaya lain yang berbeda yaitu ketika orang-
orang Amerika sudah terbiasa memanggil langsung dengan nama
depan, sedangkan bagi orang-orang Jerman hal tersebut tidak sopan
apalagi ketika memanggil atasan dengan nama depannya. Hal ini
dapat menyebabkan masalah internal dalam perusahaan yang
berujung pada ketidakharominsan dan perpecahan dalam perusahaan
tersebut.
Contoh lain adalah perbedaan budaya perusahaan di Amerika
dengan perusahaan di timur tengah seperti di Arab. Perusahaan

8
Amerika selalu memberikan tenggat waktu sebagai upaya menambah
urgensi dan kepentingan pada sebuah tugas. Namun, perusahaan
Arab menganggap tenggat waktu itu dengan persepsi lain. Ketika
perusahaan Amerika memberikan tenggat waktu kepada perusahaan
Arab, mereka menganggap bahwa hal tersebut terlalu menuntut dan
mengakibatkan tekanan yang tidak semestinya. Hal ini juga dapat
menghambat terjadinya kerjasama antar perusahaan yang ingin go
international tersebut.
 Culture and Competitive Advantage
Terdapat hubungan antara kebudayaan dan juga keuntungan
kompetitif suatu negara. Sederhananya, sistem nilai-nilai dan norma
dalam suatu negara mempengaruhi bagaimana suatu bisnis bekerja
dan juga biaya yang dikeluarkan dalam negara tersebut. Biaya untuk
menjalankan bisnis dalam suatu negara mempengaruhi kemampuan
suatu perusahaan untuk mempertahankan keuntungan kompetitif
dalam pasar global. Sebagai contoh yaitu apa yang terjadi di Jepang.
Banyak peneliti ataupun akademisi berargumen bahwa perusahaan
jepang memanfaatkan afiliasi grup, loyalitas, kewajiban timbal balik,
kejujuran, dan pendidikan semuanya meningkatkan daya saing
perusahaan Jepang. Hal ini akan berdampak pada terjadinya
perjanjian jangka panjang antara perusahaan dan supplier. Dengan
adanya perjanjian jangka panjang ini maka dapat menekan dalam sisi
biaya, kualitas kontrol, design, dan sebagainya yang akhirnya akan
berimbas pada keuntungan kompetitif dari perusahaan tersebut. Hal
ini berbeda pada perusahaan barat yang cenderung perjanjian jangka
pendek yang tentunya akan menambah biaya untuk mencari supplier
lain.
Untuk bisnis internasional, pentingnya hubungan antara budaya
dan keuntungan kompetitif memiliki 2 alasan. Pertama, hubungan
tersebut akan menghasilkan pesaing yang layak. Sebagai contoh
adalah pernyataan tentang perusahaan Amerika Serikat adalah
perusahaan yang akan bersaing dengan kompetitor yang sedang

9
tumbuh dengan agresif, serta hemat biaya seperti dari lingkar pasifik
yang menggunakan ekonomi pasar bebas.
Kedua, hubungan budaya dan keuntungan kompetitif memiliki
implikasi penting untuk pilihan negara sebagai pusat penyedia
fasilitas produksi dan juga menjalankan bisnis. Sebagai contoh untuk
menghemat biaya perusahaan-perusahaan handphone milik china
akan bekerja sama dengan perusahaan yang ada di Indonesia untuk
memproduksi handphonenya langsung dari dalam Indonesia. Dengan
begitu, akan menekan biaya produksi karena akan terhindar dari bea
cukai ketika mengirim barang jadi.
8. Case: Disney in France
Until 1992, the Walt Disney Company had experienced nothing but
success in the theme park business. Its first park, Disneyland, opened in
Anaheim, California, in 1955. Its theme song, It’s a Small World After All,
promoted an idealized vision of America spiced with reassuring glimpses of
exotic cultures all calculated to promote heartwarming feelings about living
together as one happy family. There were dark tunnels and bumpy rides to
scare the children a little but none of the terrors of the real world. The Disney
characters that everyone knew from the cartoons and comic books were on
hand to shepherd the guests and to direct them to the Mickey Mouse watches
and Little Mermaid records. The Anaheim park was an instant success.
In the 1970s, the triumph was repeated in Florida, and in 1983, Disney
proved the Japanese also have an affinity for Mickey Mouse with the
successful opening of Tokyo Disneyland. Having wooed the Japanese, Disney
executives in 1986 turned their attention to France and, more specifically, to
Paris, the self-proclaimed capital of European high culture and style. “Why
did they pick France?” many asked. When word first got out that Disney
wanted to build another international theme park, officials from more than
200 locations all over the world descended on Disney with pleas and cash
inducements to work the Disney magic in their hometowns. But Paris was
chosen because of demographics and subsidies. About 17 million Europeans
live less than a two-hour drive from Paris. Another 310 million can fly there

10
in the same time or less. Also, the French government was so eager to attract
Disney that it offered the company more than $1 billion in various incentives,
all in the expectation that the project would create 30,000 French jobs.
From the beginning, cultural gaffes by Disney set the tone for the project.
By late 1986, Disney was deep in negotiations with the French government.
To the exasperation of the Disney team, headed by Joe Shapiro, the talks were
taking far longer than expected. Jean-Rene Bernard, the chief French
negotiator, said he was astonished when Mr. Shapiro, his patience depleted,
ran to the door of the room and, in a very un-Gallic gesture, began kicking it
repeatedly, shouting, “Get me something to break!”
There was also snipping from Parisian intellectuals who attacked the
transplantation of Disney’s dream world as an assault on French culture; “a
cultural Chernobyl,” one prominent intellectual called it. The minister of
culture announced he would boycott the opening, proclaiming it to be an
unwelcome symbol of American clichés and a consumer society.
Unperturbed, Disney pushed ahead with the planned summer 1992 opening of
the $5 billion park. Shortly after Euro-Disneyland opened, French farmers
drove their tractors to the entrance and blocked it. This globally televised act
of protest was aimed not at Disney but at the US government, which had been
demanding that French agricultural subsidies be cut. Still, it focused world
attention upon the loveless marriage of Disney and Paris.
Then there were the operational errors. Disney’s policy of serving no
alcohol in the park, since reversed caused astonishment in a country where a
glass of wine for lunch is a given. Disney thought that Monday would be a
light day for visitors and Friday a heavy one and allocated staff accordingly,
but the reality was the reverse. Another unpleasant surprise was the hotel
breakfast debacle. “We were told that Europeans ‘don’t take breakfast,’ so we
downsized the restaurants,” recalled one Disney executive. “And guess what?
Everybody showed up for breakfast. We were trying to serve 2,500 breakfasts
in a 350-seat restaurant at some of the hotels. The lines were horrendous.
Moreover, they didn’t want the typical French breakfast of croissants and
coffee, which was our assumption. They wanted bacon and eggs.” Lunch

11
turned out to be another problem. “Everybody wanted lunch at 12:30. The
crowds were huge. Our smiling cast members had to calm down surly patrons
and engage in some ‘behavior modification’ to teach them that they could eat
lunch at 11:00 AM or 2:00 PM.”
There were major staffing problems too. Disney tried to use the same
teamwork model with its staff that had worked so well in America and Japan,
but it ran into trouble in France. In the first nine weeks of Euro-Disneyland’s
operation, roughly 1,000 employees, 10 percent of the total, left. One former
employee was a 22-year-old medical student from a nearby town who signed
up for a weekend job. After two days of “brainwashing,” as he called
Disney’s training, he left following a dispute with his supervisor over the
timing of his lunch hour. Another former employee noted, “I don’t think that
they realize what Europeans are like… that we ask questions and don’t think
all the same way.”
One of the biggest problems, however, was that Europeans didn’t stay at
the park as long as Disney expected. While Disney succeeded in getting close
to 9 million visitors a year through the park gates, in line with its plans, most
stayed only a day or two. Few stayed the four to five days that Disney had
hoped for. It seems that most Europeans regard theme parks as places for day
excursions. A theme park is just not seen as a destination for an extended
vacation. This was a big shock for Disney. The company had invested billions
in building luxury hotels next to the park-hotels that the day-trippers didn’t
need and that stood half empty most of the time. To make matters worse, the
French didn’t show up in the expected numbers. In 1994, only 40 percent of
the park’s visitors were French. One puzzled executive noted that many
visitors were Americans living in Europe or, stranger still, Japanese on a
European vacation! As a result, by the end of 1994 Euro-Disneyland had
cumulative losses of $2 billion.
At this point, Euro-Disney changed its strategy. First, the company
changed the name to Disneyland Paris in an attempt to strengthen the park’s
identity. Second, food and fashion offerings changed. To quote one manager,
“We opened with restaurants providing Frenchstyle food service, but we

12
found that customers wanted self-service like in the US parks. Similarly,
products in the boutiques were initially toned down for the French market,
but since then the range has changed to give it a more definite Disney image.”
Third, the prices for day tickets and hotel rooms were cut by one-third. The
result was an attendance of 11.7 million in 1996, up from a low of 8.8 million
in 1994. (Kasus ini diadaptasi dari “Disney in France” dalam bukunya
Charles Hill, International Business, Competing in the Global Marketplace,
McGraww Hill, tahun 2000 halaman 106-107)
 Analisis:
Ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan Walt
Disney pada saat membuka cabang taman hiburan mereka di daerah
Eropa, khususnya yang pertama kali yaitu di Paris, Perancis. Kesalahan
Walt Disney pertama yaitu menganggap bahwa apa yang sukses di
Amerika dan Jepang akan sukses juga diterapkan di Perancis. Tentu saja,
bahkan dengan menganggap bahwa membuat taman hiburan yang sama
persis antara Amerika dan Jepang sama saja sudah merupakan sebuah
kesalahan, walaupun kedua taman hiburan tersbut memenuhi ekspektasi.
Kedua, tetap memaksa membuka Disneyland walaupun tidak
mendapatkan persetujuan dari pemerintah setempat. Pembukaan
Disneyland di Paris pada awalnya diterima dengan baik oleh pemerintah
setempat, namun pada saat negosiasi lanjutan terlihat bahwa para
petinggi dan negosiator dari Paris sangat tidak setuju dengan dibukanya
taman hiburan ini. Bahkan Menteri Kebudayaan Perancis mengancam
akan memboikot pembukaan tersebut serta menganggap Disneyland
tersebut sebagai simbol klise Amerika dan masyarakat konsumtif yang
tidak diinginkan.
Ketiga, tidak siap akan perubahan yang ada. Hal ini terlihat dari
salahnya penempatan staff yang harusnya ditempatkan pada saat hari
yang ramai tapi malah ditempatkan pada hari yang sepi. Tentu saja hal ini
menyebabkan tidak efisiennya tenaga kerja yang digunakan dan dapat
menurunkan pendapatannya.

13
Ketiga kesalahan diatas sebenarnya berpusat pada pembahasan kita
saat ini yaitu adanya perbedaan kebudayaan. Perlu diingat bahwa setiap
negara, setiap daerah, bahkan setiap kelompok masyarakat yang kecil
sekalipun memiliki perbedaan budaya. Perbedaan budaya ini yang
mengakibatkan perbedaan tingkah laku setiap orang. Sesuatu yang sukses
disuatu negara, tidak dapat diimplementasikan 100% sama ketika berada
dinegara lain untuk keuntungan yang sama juga.
Studi kasus ini memberikan pelajaran bahwa untuk membuat bisnis
yang lingkupnya internasional perlu adanya edukasi kepada sumber daya
manusia dalam perusahaan tersebut, mulai dari yang paling tinggi seperti
direktur, CEO, hingga ke pekerja lapangan bahwa setiap negara dan
setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh Walt Disney diatas dapat diatasi dengan langkah
seperti survey lapangan, meningkatkan literasi lintas budaya, dan juga
memahami budaya dari negara yang akan dituju.

14
DAFTAR PUSTAKA

Charles W. L. Hill. (2012). INTERNATIONAL BUSINESS: COMPETING IN


THE GLOBAL MARKET. Edisi ke-9. McGraw-Hill/Irwin: New York
John B. Cullen, K. Praveen Parboteeah. (1993). INTERNATIONAL BUSINESS:
STRATEGY AND THE MULTINATIONAL COMPANY. Routledge: New
York

15

Anda mungkin juga menyukai