Anda di halaman 1dari 9

PERAN KEBUDAYAAN TERHADAP BISNIS INTERNASIONAL

PERAN KEBUDAYAAN

Perusahaan-perusahaan yang mengandalkan budaya Negara asalnya yang sudah tidak


asing lagi untuk bersaing dalam pasar yang baru dapat membahayakan kesuksesan
internasionalnya. Tentusaja, hamper semua segi bisnis suatu perusahaan internasiona
ltermasuk negoisasi kontrak, operasi produksi, keputusan pemasaran, dan kebijakan
manajemen sumber daya manusia mungkin akan dipengaruhi variasi-variasi budaya. Budaya
bahakan dapat member keunggulan atau kelemahan bersaing bagi perusahaan-perusahaan.

1. Karakteristik Kebudayaan

Kebudayaan adalah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dansikap yang


membedakan suatu masyarakat dari yang lainnya. Beberapa karakteristik kebudayaan perlu
diperhatikan karena mempunyai relevansi dengan bisnis internasional:
      Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari (learned behavior) yang ditularkan
dari satu anggota masyarakat yang lainnya.
         Unsur- unsure kebudayaan saling terkait (interrelated)
    Kebudayaan sanggup menyesuaikandiri (adaptive), artinya kebudayaan berubah sesuai
dengan kekuatan- kekuatan eksternal yang mempengaruhi masyarakat tersebut.
      Kebudayaan dimiliki bersama (shared) oleh anggota- anggota masyarakat tersebut dan tentu
saja menentukan keanggotaan masyarakat itu. Orang-orang yang sama-sama memilikisuatu
kebudayaan adalah anggota suatu masyarakat; orang- orang yang tidak memilikinya berada
diluar batas- batas masyarakat itu

2. Unsur-unsur Kebudayaan

           Kebudayaan suatu masyarakat menentukan bagaimana anggota-anggotanya


berkomunikasi dan beinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur dasar kebudayaan (terlihat pada
gambar 4.1) adalah struktur sosial, bahasa, komunikasi, agama, dan nilai-nilai serta sikap.
Interaksi unsur-unsur ini mempengaruhi lingkungan lokal yang merupakan tempat bisnis
internasional. 
Individu, Keluarga, dan Kelompok. Semua masyarakat manusia melibatkan individu-
individu yang hidup dalam satuan-satuan keluarga dan bekerja sama satu sama lain dalam
kelompok-kelompok.
Stratifikasi Sosial. Berbagai masyarakat berbeda-beda dalam tingkat stratifikasi sosialnya.
Semua masyarakat mengelompokkan orang-orang dalam batas tertentu berdasarkan kelahiran
pekerjaan, tingkat pendidikannya, atau ciri-ciri lainnya.
Mobilitas Sosial. Adalah kemampuan individu berpindah dari suatu strata masyarakat strata
lainnya. Mobilitas sosial cenderung akan lebihtinggi dalam masyarakat yang kurang
terstratifikasi.

 Bahasa

Bahasaa dalah cerminan utama kelompok-kelompok budaya karena bahasa merupakan sarana
penting yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk berkomunikasi satu sama lain. Para
pakar telah mengidentifikasi sekitar 3.000 bahasa yang berbeda dan sebanyak 10.000 dialek
yang berlainan di seluruh dunia.
Sebagai Senjata Bersaing. Ikatan-ikatan bahasa sering menciptakan keunggulan bersaing
yang penting karena kemampuan berkomunikasi sangat berperan penting dalam menjalankan
transaksi bisnis.
Bahasa Perantara. Untuk menjalankan bisnis, para pelaku bisnis internasional harus mampu
berkomunikasi. Bahasa Inggris telah munculmenjadi bahasa umum yang dominan, atau
bahasa perantara (lingua franca) bisnis internasional.
Terjemahan. Beberapa perbedaan bahasa dapat diatasi melalui penerjemahan. Dalam hal ini,
penerjemah harus peka dengan hal-hal kecil dalam konotasi kata-kata dan berfokus pada
penerjemahan gagasan, bukan kata-kata itu sendiri.

 Komunikasi

Komunikasi di luar batas budaya, secara verbal maupun nonverbal adalah suatu keahlian
yang sangat penting bagi para manajer internasional.
Komunikasi Nonverbal. Komunikasi nonverbal ini meliputi ekspresi wajah, gerakan tangan,
intonasi, kontak mata, posisi tubuh, dan postur tubuh.
Pemberian Hadiah dan Keramah tamahan. Pemberian hadiah dan keramah tamahan
adalahalat komunikasi yang penting dalam banyak budaya bisnis. Misalnya, etiket bisnis
Jepang mengaharuskan keramah tamahan yang sangat murah. Makanan yang sangat lengkap
dan hiburan setelah jam kerja berguna untuk membangun ikatan-ikatan pribadi dan
keharmonisan kelompok di antara peserta.

   Agama

Agama adalah aspek penting kebanyakan masyarakat. Agama mempengaruhi bagaimana cara
anggota-anggota masyarakat berhubungan satu dengan yang lain dan dengan pihak luar.
Agama membetuk sikap yang dimiliki pemeluknya terhadap pekerjaan, konsumsi, tanggung
jawab individu, dan perencanaan untuk masa depan. Dampak agama terhadap bisnis
internasional berbeda-beda dari Negara kenegara yang bergantung pada sistem hukum negara
tersebut, homogenitas keyakinan agamanya, dan toleransinya terhadap pandangan-pandangan
agama lain.

   Nilai dan Sikap

Nilai adalah prinsip dan standar yang diterima anggota-anggota tersebut, sedangkan sikap
terdiri atas tindakan, perasaan, dan pemikiran yang dihasilkan nilai-nilai tersebut. Sikap
budaya terhadap faktor-faktor seperti waktu, umur, pendidikan, dan status mencerminkan
nilai-nilaiini dan pada gilirannya membentuk perilaku dan kesempatan yang tersedia bagi
bisnis-bisnis internasional dalam suatu negara tertentu.

3. PendekatanKonteks-Rendah-Konteks-Tinggi Hall
Dalam budaya konteks-rendah (low context culture), kata-kata yang dipakai
pembicara secara eksplisit menyampaikan pesan pembicara tersebut kepada pendengarnya.
Dalam buday akonteks-tinggi (high-context culture), kontek sterjadinya pembicaraan
tersebutakan sama pentingnya dalam memahami apa yang sedang dikomunikasikan.
Perilaku bisnis dalam budaya konteks-tinggi sering berbeda dari perilaku bisnis dalam
budaya konteks-rendah. Budaya konteks-tinggi memberikan nilai yang lebih tinggi pada
hubungan antar-priba didalam menentukan apakah akan menyetujui suatu kesepakatan bisnis.
Sedangkan budaya konteks-rendah lebih mementingkan ketentuan-ketentuan khusus suatu
transaksi.

4. PendekatanKelompokBudaya
Pendekatan kelompok budaya adalah teknik lain dalam mengklasifikasi dan
memahami budaya-budaya nasional. Antropolog, sosiolog, dan para sarjana bisnis
internasional telah menganalisa faktor-faktor seperti kepuasan kerja, perankerja, dan
hubungan antar-pribadi di tempat kerja dalam upaya untuk mengenal kelompok-kelompok
negara yang memiliki nilai-nilai budaya serupa yang dapat mempengaruhi praktik bisnis
internasional. Banyak pebisnis internasional secarana luriah menggunakan pendekatan
kelompok budaya di dalam merumuskan strategi-strategi internasionalisasi mereka.

5. Lima Dimensi Hofstede


Individualisme ORIENTASI SOSIAL Kolektivisme
Kepentingan-kepentingan Relatif pentingnya Kepentingan-kepentingan
individu didahulukan kepentingan-kepentingan kelompok didahulukan
individu vs. kepentingan
kelompok
Hormat terhadap ORIENTASI Toleransi Kekuasaan
Kekuasaan KEKUASAAN Individu menilai kekuasaan
Kekuasaan melekat dalam Kepatutan dari segi persepsi tentang
posisi seseorang dalam suatu kekuasaan/wewenang dalam keadilannya atau
hierarki organisasi kepentingan-kepentingan
pribadinya sendiri
Penerimaan Ketidak ORIENTASI Penghindaran Ketidak
pastian KETIDAKPASTIAN pastian
Tanggapan positif terhadap Tanggapan emosional Lebih menyukai struktur dan
perubahan dan kesempatan- terhadap ketidak pastian dan rutinitas yang konsisten
kesempatan baru perubahan
Perilaku Agresif ORIENTASI SASARAN Perilaku Sasaran Pasif
Menghargai pemilikan Apa yang memotivasi orang Menghargai relevansisosial,
materi, uang, dan ketegasan untuk mencapai tujuan yang kualitas hidup, dan
berbeda kesejahteraan orang lain
PandanganJangkaPanjang ORIENTASI WAKTU PandanganJangkaPendek
Menjunjung tinggi dedikasi, Sejauh mana anggota- Menjunjung tinggi tradisi,
kerja keras, dan sikap hemat anggota suatu budaya kewajiban-kewajiban sosial
mempunyai pandangan
jangka panjang atau jangka
pendek terhadap pekerjaan
dan kehidupan

6. Manajemen Internasional dan Perbedaan Budaya


    Memahami Budaya-budayaBaru.
Ketika berhadapan dengan budaya baru, banyak pebisnis internasiona lmelakukan
kesalahan dengan mengandalkan criteria acuan pribadi (self-reference criterion), yaitu
penggunaan tanpa sadar budaya sendiri seseorang untuk membantu menilai lingkungan-
lingkungan baru.Pelaku bisnis internasional yang berhasil yang bepergian keluar negeri harus
ingat bahwa mereka adalah orang asing dan harus mencoba bersikap sesuai dengan aturan-
aturan budaya yang berlaku. Ada sejumlah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang
budaya-budaya lain guna mencapai kecakapan lintas budaya (cross cultural literacy).
Kecakapan lintas budaya adalah langkah pertama dalam akulturasi, yaitu proses di
mana orang-orang bukanhanya memahami budaya asing, namun juga mengubah dan
menyesuaikan perilaku mereka guna menjadikannya lebih sesuai dengan budayatersebut.
Akulturasi sangat berperan penting bagi manajer Negara pendatang yang sering berinteraksi
dengan penduduk negara tujuan. Misalnya, manajer pabrik dari negaraasa lataudirektur
pemasaran yang bekerja di Negara asing pada anak perusahaan di luar negeri.

High Context and Low Context communication


(Komunikasi Pada Fungsi Reserse dan Pada Fungsi Intelijen)
 Oleh; Eko SUDARTO
Pendahuluan
Pada tulisan berikut ini ditujukkan perbedaan komunikasi yang bersifat high context
dan low context pada 2 (dua) fungsi di lingkungan operasional Polri, yaitu Fungsi Reserse
dan Fungsi Intelijen. Ketika berlangsung suatu proses komunikasi, maka pada saat itu baik
“komunikator” (orang yang berbicara) maupun “komunikan” (orang yang diajak bicara),
sangat diperngaruhi pula oleh kebiasaan (habitual) yang dimiliki sebagai latar belakang.
Secara umum bahwa mereka tidak memiliki kebiasaan yang sama karena dipengaruhi oleh
perbedaan lingkungan pekerjaannya. Ketika itulah manusia berkomunikasi melintasi
kebiasaan yang berbeda, sehingga komunikasi antara personil kedua fungsi tersebut bisa
dikatakan sebagai bagian dari proses terbentuknya kebiasaan atau budaya kepolisian.
Pentingnya memahami latar belakang (profesi kebiasaan) seseorang, disamping akan
mempermudah kita dalam berinteraksi dan menemukan kesesuaian dalam berkomunikasi
secara efektif, juga menuntun kita kepada pemahaman akan kebiasaan yang membentuk suatu
budaya.
Pengertian teori High Context dan Low Context
Edward T. Hall mengemukakan sebuah teori Low Context Culture & High Context
Culture yang didasari pada teori individual dan collectivism. Low context culture terdapat
pada masyarakat yang menganut budaya individual, sedangkan High context culture terdapat
pada masyarakat yang menganut budaya kolektif. Edward T. Hall (1973) menjelaskan
perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks budaya rendah. 
Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan
pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya
tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur
badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan,
benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan
pesan nonverbal. Sebagaimana Edward T. Hall (1976) menyatakan bahwa,”A high context
(HC) communication or message is one in which most of the information is already in the
person, while very little is in the coded, explicit, transmitted part of the message”.
Konteks budaya rendah (A low context / LC) ditandai dengan pesan verbal dan
eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus terang. Pada budaya konteks rendah mereka
mengatatakan maksud (They say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka
katakan (they mean what they way). Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui
banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin
banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High Context Culture.
Jelasnya ditegaskan bahwa,”A low context (LC) communication is just the opposite of high
context (HC), the mass of the information is vested in the explicit code”.
Namun dalam kenyataannya, sebuah kebiasaan tidak secara utuh dikategorikan High
Context Culture karena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context
Culture. Demikian pula sebaliknya dalam sebuah kebiasaan yang didominasi Low Context
Culturedidalamnya terdapat bagian High Context Culture. High Context adalah perkataan
atau pernyataan yang sekedar basa basi atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi
arti yang serius, maksudnya adalah type high contect ini merupakan type yang suka berputar-
putar dalam memberikan pernyataan sebelum menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya.
Sedangkan Low Context adalah perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung
candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. Low context memang
kebalikan dari High Context.
Sebagai contoh di lapangan adalah masalah pengungkapan kasus-kasus kriminalitas
oleh reserse dan pengungkapan kasus-kasus kriminalitas oleh Intelijen. Secara konseptual,
kedua fungsi tersebut dipercayakan untuk saling mendukung dalam proses pengungkapan
suatu kasus criminal, baik pada level terkecil di satuan setingkat Polsek, Polres hingga ke
level Polda bahkan Mabes Polri. Namun realitanya, sangat jarang suatu keberhasilan
pengungkapan kasus kriminalitas berhasil melalui proses kerjasama kedua fungsi tersebut.
Nampaknya metode dan dinamika operasional menjadi alasan terjadinya perbedaan tersebut.
Ada 2 (dua) tipe komunikasi yang dapat diinterpretasikan dalam dinamika operasional
kedua fungsi tersebut, yaitu High Contextdan Low Context. Pada type pertama Fungsi
Intelijen, bahwa dalam hal ini dapat dipandang sebagai High Context membutuhkan
informasi-informasi tambahan untuk memahami arti dari isi atau pesan komunikasinya. Pada
High Context sifatnya terkadang tidak to the point alias tersirat. Hal ini menjadi wajar karena
sifat investigasi Intelijen yang beranjak dari luar (arena TKP). Sementara type kedua, yaitu
Fungsi Reserse dipandang sebagai Low Context relatif mudah diinterpretasikan atau dicerna
kata-katanya, karena disitu menampilkan makna tersurat, tidak bermakna ganda sehingga
tidak perlu banyak usaha untuk mengartikannya.
Pada asumsi kasus diatas dapat premis bahwa ketika sebuah tugas operasi itu tidak
ditujukan dengan jelas untuk siapa dan apa yang diharapkan darinya, bisa dikatakan bahwa si
pemberi perintah sedang melakukan High Context Communication. Apabila mengharapkan
perubahan pada mekanisme operasional, maka seharusnya yang digunakan adalah Low
Context Communication, dimana tipe tersebut merupakan type yang to the point pada
permasalahan dan spesifik dari sisi target khalayak maupun perilaku yang diharapkan.
Sebagai detail perbedaan komunikasi Low Context Culture & High Context Culture pada
kedua fungsi tersebut, dapat dijelaskan sebagaimana diagram berikut:
Factor High-context culture Low-context culture
Pola Banyak menggunakan metafora Pesan yang disampaikan “to the
Komunikasi pesan-pesan yang implisit. Tidak point” tidak berputar-putar.
“to the point” Anggota berlatar Anggota dengan latar belakang reserse
belakang intelijen sangat kental berbicara dengan logat lugas dan “to
dengan pola komunikasi yang tidak the point”.  Hal ini cerminan dari
“to the point” dengan kata-kata kebiasaan untuk memperoleh
halus (sandi) dan cenderung informasi secara langsung, sehingga
mengarah ke basa-basi dalam orang harus berbicara apa adanya.
rangka menjaga kerahasiaan dan
perasaan lawan bicara agar tidak
mengetahui latar belakang anggota
tersebut.
Sikap diri Menerima/menyikapi kesalahan Menilai kesalahan terjadi karena
apabila yang terjadi sebagai kesalahan faktor eksternal/orang lain.
terjadi pribadi, cenderung untuk Kebiasaan anggota reserse dikenal
kesalahan menginternalisasi banyak hal. dengan kebiasaan tidak mau mengalah
Kebiasaan anggota intelijen indentik dan cenderung berargumentasi. Hal ini
dengan hal-hal yang lembut, dingin dikarenakan kebiasaannya melakukan
dan halus, kesannya cenderung investigasi dan mencari alibi.
mengalah agar tidak terbuka
kamuflasenya (penyamarannya)
Penggunaan Menggunakan komunikasi non- cenderung untuk menggunakan
komunikasi verbal dengan ekstensif. komunikasi verbal daripada non-
non-verbal Kebiasaan anggota intelijen  relatif verbal. Kebiasaan anggota reserse
lebih menggunakan komunikasi cenderung berbicara secara tegas dan
nonverbal (isyarat atau sandi). langsung pada pokok masalah
Seperti gerakan tangan,anggukan menjelaskan pentingnya penggunaan
kepala dan diam. komunikasi verbal.
ekspresi Reserved, mendem jero, ilmu padi ekspresif, kalau tidak suka/tidak
(semakin berisi semakin setujuterhadap sesuatu akan
merunduk-rendah hati). disampaikan,tidak dipendam
Kebiasaan anggota intelijen  Kebiasaan anggota reserse tidak lepas
umumnya lebih senang memendam dari lingkungan pekerjaannya yaitu
perasaan dan secara emosional terbuka dalam segala hal. Diam
terlalu perasa dan terkesan agak diartikan menolak atau tidak setuju
penurut kepada orang lain. Anggota dalam kebiasaan anggota reserse
Intelijen lebih banyak diam mencerminkan pentingnya ekpresi
dibandingkan mengungkapkan mengenai persetujuan. Lebih ekspresif
secara verbal. Lebih kalem dan dan argumentative serta investigative.
tidak banyak berbicara. Diam dalam
kebiasaan Intelijen diartikan sebagai
berfikir dan menganalisa.
Orientasi Pemisahan yang jelas Terbuka tidak terikat dalam satu
kepada antaraKelompok saya VS bukan kelompok, bisa berpindah-pindah
kelompok kelompok saya. Kebiasaan anggota sesuai kebutuhan. Kebiasaan anggota
reserse lebih memiliki orientasi intelijen  cenderung luwes dalam
pada kelompok lebih tinggi. melihat perbedaan dalam
Tercermin dengan adanya unit kelompoknya dan luar kelompoknya
(satgas-satgas khusus) dalam dengan menjadikan kelompok lain
kelompok kekerabatan yang sangat sebagai referensi untuk menilai
dipegang teguh. Karena kekerabatan kelompoknya. Selain itu pola
ini dianggap penting menyangkut hubungan tetap terbangun diantara
keselamatan dan saling melindungi. kelompoknya dan kelompok lain.
Ikatan Memiliki ikatan kelompok yang Cenderung untuk tidak memiliki
kelompok sangat kuat, baik itu keluarga ikatan kelompok yang kuat- lebih
maupun kelompok masyarakat. individual. Kebiasaan anggota
Kebiasaan anggota reserse intelijen memiliki sifat pertalian yang
mencerminkan kuatnya ikatan kuat dalam masyarakat. Jalinan
kelompok dalam lingkungan kekerabatan dan silaturahmi yang
pekerjaannya. selalu terjaga menjadi modal anggota
intelijen dalam kehidupan
bermasyarakat.
Komitmen Komitmen yang tinggi terhadap Komitmen yang rendah terhadap
terhadap hubungan jangka panjang- hubungan antar sesama- hubungan
hubungan hubungan baik lebih penting tugas/pekerjaan lebih penting dari
dengan daripada hubungan hubungan baik. Kebiasaan personil
sesama tugas/pekerjaan. Kebiasaan reserse lebih mengutamakan
anggota intelijen  dikenal dengan tugas/pekerjaan. Dalam dunia reserse
sistem kekerabatannya yang kental. esprit de corp penyidik, sehingga
Sikap saling mengenal, saling bahu- anggota reserse memiliki sifat
membahu (gotong-royong) menjadi kompetitif dan daya saing yang tinggi.
ciri dari anggota intelijen. Dalam Dengan demikian anggota resersepun
memandang persepsi tugas dan dinilai lebih profesional
relasi, anggota intelijen cenderung
mengutamakan relasi sosial dan
menjadikannya sebagai media untuk
melaksanakan tugas secara
bersama-sama (gotong-royong)
Fleksibilitas Waktu bukanlah sebuah titik, Waktu adalah sebuah titik, jika
terhadap melainkan sebuah garis-proses tidak dimanfaatkan dengan baik
waktu lebih penting daripada hasil akan terbuang percuma-hasil akhir
akhir. Kebiasaan anggota reserse lebih penting daripada proses.
lebih disiplin mengenai waktu, Kebiasaan anggota intelijen dalam
dikarenakan dikejar tengat waktu Konsep waktu cenderung fleksible dan
dalam proses penyidikan maupun bersifat luwes, karena perlu kesabaran
pengungkapan suatu perkara dalam proses penyelidikan.
(kasus).

Anda mungkin juga menyukai