Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag.)
Oleh
Agus Sulistiantono
NIM: 11140340000257
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
ABSTRAK
Agus Sulistiantono
Perdamaian dalam Perspektif al-Qur’an: Kajian Atas Penafsiran
Nusantara
Rasa damai dan aman adalah nilai esensial dalam kehidupan
manusia. Dengan kedamaian terciptalah hubungan dan interaksi yang
harmonis. Olehnya itu al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
adalah kitab suci yang membawa perdamaian bagi kemanusiaan universal.
Begitu juga dengan misi Rasulullah saw. dalam menebar pesan pesan
perdamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penelitian ini berupaya
mendeskripsikanan pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’ (4): 86 dengan
menjabarkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut. Pertama,
bagaimana hakikat pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’(4): 86. Kedua,
bagaimana wujud pesan perdamaian dalam QS. an-Nisa’/4: 86, dan 3).
Bagaimana implementasi pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’(4): 86.
Skripsi ini termasuk kategori penelitian kualitatif deskriptif berupa
penelitian kepustakaan atau library research. Data yang dikumpulkan
dengan mengutip, menyadur, dan menganalisis dengan mengadopsi
pendekatan ilmu tafsir. Pendekatan tersebut diterapkan dengan empat
teknik interpretasi yaitu : qurani, linguistik, sistemis, dan kultural. Secara
spesifik penulis memakai metode tafsir tahlīlī untuk menginterpretasikan
ayat al-Qur’an yang menjadi sumber data primer, dengan menjadikan QS.
an-Nisā’(4): 86 sebagai objek kajian utama.
Kesimpulannya dari penelitian ini sebagai berikut, perdamaian atas
nama agama merupakan tema yang sangat penting untuk dikaji karena jika
tidak paham dalam konsep perdamaian sering menjadi akar kekerasan
didalam dunia maupun diantar agama. Perdamaian merupakan hak setiap
manusia di muka bumi ini dengan perdamaian maka tidak akan muncul
konflik diantara manusia dalam kehidupan sehari hari. Hidup damai dalam
kehidupan sehari hari merupakan anjuran dari Nabi Muhammad saw.
maka dari itu perdamaian itu sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari
hari.
v
KATA PENGANTAR
A. Definisi Perdamaian
Secara umum perdamaian dipahami sebagai keadaan tanpa perang,
kekerasan atau konflik seperti yang tercantum dalam pikiran manusia,
mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam
dua pengertian, yaitu yang pertama perdamaian negatif dan perdamaian
positif. Perdamaian negatif dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai
bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini sederhana dan mudah dipahami,
namun dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan
akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan
ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi
perdamaian positif. Definisi perdamaian positif adalah tidak adanya
kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga terbentuklah
suasana yang harmoni.1
Perdamaian secara makna kata yang sebenarnya tidaklah hanya
mencakup semata-mata keamanan fisik yang terlihat dengan kasatmata
atau tidak adanya perang dan pertikaian di antara manusia satu sama lain
di bumi ini.2 Kendatipun demikian pengertian di atas mengandung arti
yang sangat luas dan penting, juga merupakan inti dari perdamaian
sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan demikian itu
hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya, apalagi
kalau hendak membandingkannya dengan pengertian perdamaian yang
lebih luas lagi. Perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan yang baik
di mana pihak bersangkutan dapat menyelesaikan masalah atau
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), 467.
2
Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Gramedia, 2015), 23.
19
20
3
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality (Tt. Kolofon Pres, 2008),
16.
4
Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara. 2006), 45.
21
5
Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureke, 2003), 21.
6
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 55.
7
Asnawi dan Safruddin, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik
Pembangunan dan Peradapan (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), 21.
22
Sejak lebih dari satu abad yang lalu agama telah mendapat
tekanan-tekanan dari berbagai jurusan, dalam berbagai aspek kehidupan di
berbagai tempat di seluruh dunia ini. Adapun mereka yang menaruh
perhatian pada agama, kendatipun mereka dalam keadaan mayoritas dari
umat manusia, namun mereka masih dapat merasakan dan menyadari akan
hal ini. Bahwasanya tekanan-tekanan itu telah mengakibatkan agama akan
mengarah menuju keterasingan dari penghayatan parapemeluknya.
Untuk mengembalikan fungsi agama sebagaimana mestinya, dan
agar institusi agama dapat berperan maksimal dalam menyelesaikan
persoalan kemanusiaan termasuk pembentuk nilai-nilai moral perilaku
umatnya, tawaran Fazlur Rahman memiliki signifikan cukup besar untuk
diangkat. Untuk mencapai tujuan itu, ia mengusulkan agar pesan agama
dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh bukan sebagai perintah atau
ajaran yang terpisah-pisah. Keutuhan akan dicapai apabila aspek teologi
(akidah, keimanan) diletakkan sejajar dalam pola hubungan
interdependensi dengan aspek fikih (hukum atau aturan interaksi sosial)
yang dirangkaikan secara sistematis oleh etika atau sistem moral. Dalam
pola pemahaman itu, teologi diformulasikan sebagai suatu pandangan
dunia yang dapat menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan atau
dengan sesamanya sebagai makhluk Tuhan. 8 Kecenderungan ini nampak
jelas sekali pada sebagian besar generasi muda dalam berbagai ragam
masyarakat, selanjutnya merebak luas dengan cepatnya pada berbagai
kalangan lainnya di berbagai belahan dunia. Perdamaian yang menjadi
arahan dan tujuan yang hendak diwujudkan Islam itu adalah merupakan
dorongan hati nurani yang bertitik tolak dari dalam batin manusia. 9
8
Elga Sarapung, dkk, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 278.
9
Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian, 51.
23
10
Eric Hendra. Kajian Konflik dan Perdamaian, 98
24
3. Tidak Semena-Mena
Damai sering kali diartikan sebagai sikap persahabatan dan
sportivitas. Tetapi tidak jarang bahwa damai berpijak di tempat yang
salah demi untuk menggapai beberapa kepentingan tertentu. Berbicara
soal damai dan juga perdamaian sepertinya tidak akan ada habisnya,
tetapi yang jelas manusia tidak boleh melupakan aspek masyarakat,
kepentingan umum dalam tataran norma-norma yang telah disepakati,
sebagai titik acuan dari perdamaian. Itulah beberapa arti sebuah
perdamaian yang sebenarnya. Setiap manusia pasti menginginkan hidup
secara damai tanpa suatu tindakan yang dapat menyakiti satu sama lain.
Oleh karena itu, beberapa pengertian perdamaian yang telah disebutkan
di atas dapat dilakukan.11
11
Hadi Suryono, Merawat Perdamaian: Metode Sistem Peringatan Dini Konflik
(Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2012), 28.
25
12
C. B. Mulyanto, Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 109.
13
Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian, 73.
26
14
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 23.
15
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 25.
27
16
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 30
28
C. Pentingnya Perdamaian
Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan beragam suku,
agama, etnis, dan keyakinan. Perbedaan tersebut terkadang dapat
menimbulkan suatu masalah yang tidak jarang menyebabkan konflik
sosial. Terkadang, masalah tersebut dapat menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman akar rumput yang
harus tertanam dalam diri masyarakat agar terciptanya perdamaian dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.18
17
Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian Dunia
(Jakarta: Mizan, 2010), 48.
18
M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian: Landasan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 112.
19
Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian (Jakarta: Robbani
Press, 2008), 135.
29
20
Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian, 115.
21
Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian, 139.
30
D. Pesan Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian. Pesan-pesan persaudaraan atas
nama cinta dan kemanusiaan begitu jelas terekam dalam kitab suci al-
Qur’an. Persaudaraan meniscayakan adanya kepedulian, tolong-
menolong (al-Ta’āwun), dan perdamaian. Karena itu, Islam sangat
menganjurkan agar umatnya mempererat tali al-ukhuwwah (saudara)
sekaligus juga menebarkan kebaikan kepada umat lain dengan penuh kasih
sayang. Membangun persaudaraan merupakan suatu kewajiban.
Persaudaraan dengan siapa pun saja. Karena dengan begitu, kita bisa
saling menasihati, tentunya dalam hal kebajikan. Hadis nabi yang
menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai
orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, adalah ajaran yang
mensyaratkan adanya persaudaraan. Sebab, tidak mungkin mencintai
orang lain jika dalam hati tak ada spirit persaudaraan. Dan persaudaraan
dibangun salah satunya melalui cinta dan kasih sayang. Nilai-nilai inilah
yang harus diteguhkan di tengah realitas perpecahan umat yang sampai
saat ini masih terjadi.22
Kebanyakan di antara manusia lebih suka hidup bercerai-berai
daripada rukun dan damai. Antar satu sama lain saling menaruh curiga, iri
dengki, mencela, menghasut, dan sebagainya. Bagaimana mungkin
mereka saling menyayangi dan mencintai jika spirit persaudaraan yang
ada telah luntur. Bagaimana antar satu sama lain dapat membangun
perdamaian jika iri dengki sudah tertanam kuat pada diri masing-masing
manusia. Bagaimana mungkin mereka dapat hidup dengan penuh
22
Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987),
127.
31
23
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam (Jakarta: Karya Unipres,
1985), 9.
24
Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia, 129.
32
25
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, 11.
26
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, 132.
33
27
Sahabuddin, dkk., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera
Hati, 2008), 90.
28
Sahabuddin, Ensiklopedia al-Qur’an, 93.
34
29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), 123.
35
2. Buya Hamka
Pandangan Buya Hamka tentang ayat-ayat perdamaian toleransi.
Allah swt. sumber kasih sayang di dalam al-Qur’an seperti:
30
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 124.
31
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), 65.
36
له
ّ ا ّ
َّلَ ِ عب د.ن ُك م اََّّل ن.ي.نا وب.ن.ي. عاَل وا اِه ٰل كِل ٍم ة س ۤوا ٍٍۢء ب.ُق ل ِ ب ت
ا
´ًٔا.ٰ َ َ ْشي َُ ْ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َْ ََ َ َ ْ ََ ْ ها
ََوَّل ُن ْشِ رَك بِه ََّوَّل
يَْ ه َل اْل ِكهت
ُ ْق ولُوا ا ْش َه ُْد وا َِبَ َّّن.َ ولَّْوا َف.ًٔ ضا ُ دْ وِ ن ا ّٰهلِ ۗ َِفا ْن َت ْع.َ ْع ُضَنا ب.ََّت ِخ َذ ب.َي
َْار
ُم ْسِل ُْم و َن
بً َٔب ِٰم ْن
33
Hamka, Tafsir al-Azhar, 67.
ه قى ََّل اْنِف َصَا م.ا ْسَت ْم َس َك ِ َْبلُعْرَوِة ا ُْل ْوث
33
Hamka, Tafsir al-Azhar, 67.
37
7
Mafri Amir, Literature
Tafsir Indonesia, 39
38
34
Hamka, Tafsir al-Azhar, 68.
35
Hamka, Tafsir al-Azhar, 69.
36
Wasid, “Teologi Perdamaian Dalam Tafsir Jihad,” Teosofi, vol. 1, no. 1,
(Desember, 2011), 270-289.
39
Nabi Soleh as. ingin memfokuskan bahwa tujuan dari jerih payah
dan usahanya selama ini hanya untuk memperbaiki kondisi umat manusia,
37
Wasid, “Teologi Perdamaian,” ,283.
40
semampunya. Dan seluruh nabi pun punya tujuan yang sama. Dan kali ini,
kita akan mendalami makna al-islāh dalam al-Qur’an. Kata al-islāh sering
digunakan dalam al-Qur’an. Kata ini bisa memiliki dua makna. Jika
diambil dari dari kalimat al-sulhu maka artinya adalah mendamaikan dua
orang atau kelompok yang berselisih. Makna al-islāh dengan arti pertama
(mendamaikan perselisihan) digunakan untuk beberapa hal seperti.
َ عُثوْا َح َكمًٔا ِٰم ْن َْأ هلِ ه َو َح َكمًٔا ِٰم ْن َْأ هلَِ ها ِإن ُيِري َدا ِإ.ْينِ ه َما َفْا ب.ََ وِإ ْن ِْخ فُتْ م َِش قا َق ب
ْصاَلحًٔا
ُه َما.َن.ْي.ََ وفِٰ ق ا ّٰلُ ب.ُي
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah Memberi taufik
kepada suami istri itu.” (QS. an-Nisā` [4]:35)
ُه َما.َن.ْي.ََ َّي ْ صِل ُحوا ب َ وِإن َطا َِئفَتا ِن ِم َن اْل ُْم ِؤمِن
َُلوا َفأ.َت.َت.اْق
“Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya.” (QS. al-Hujurāt [49]: 9)
c. Mendamaikan Secara Umum
38
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz al-Qursyi, Samahah al-Islām, terj. Abdul fikri
(Riyādh: Maktabah al-Adib, 2006), 89.
41
إ
ُ قوا ا َّّلَ َلَ عَّل ُك ْم.َّْ ََّي َأ ََخ وْي ُك ْم َوات.نَا اْل ُْم ِؤمُنو َن ِإ َْخ وٌة َفأَ ْصِل ُحوا َب
ْرَ ُْحو َن.ُت
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-
Hujurāt [49]: 10).39
Namun inilah manusia. Semakin hari rasa kepedulian ini semakin
pudar. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan acuh
dengan kondisi sekitarnya. Walaupun ada yang memang tidak
mampu untuk mendamaikan, ada pula yang tidak mau. Bahkan akhir-
akhir ini semakin banyak orang yang tidak mendamaikan perselisihan
tapi malah membakar api provokasi dan memecah belah saudaranya
sendiri. Padahal menurut al-Qur’an tidak ada kebaikan dalam perkataan
rahasia (bisik-bisik) yang dilakukan manusia kecuali dalam 3
pembicaraan saja seperti Firman Allah swt.
ْ ََّي.ال ٍح َب
َ ْص
َر ِِف َكِث ٍري َّ َّْ َن وا ُه ْم َِإّلَّ َم ْن َ ص َدَقٍة َْأو َم ُْع رو.َّ ل َ ْخي
الَّنا ِس
ٍف َْأو ِإ ََأمَر ِب ِٰمن
39
Umar bin Abdul Aziz Qursyi. Samahah al-Islam, 90
42
40
Umar bin Abdul Aziz Qursyi. Samahah al-Islam, 91
41
Umar bin Abdul Aziz Qursyi, Samahah al-Islȃm, 92.
BAB III
TINJAUAN UMUM TAFSIR NUSANTARA
1
Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe, cet. I (Jakarta:
Ushul Press, 2009), h 57
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga
Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013), 32.
3
Nurdinah Muhammad, “Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut
Pemikiran Azyumardi Azra.” Jurnal Subastantia, vol.14 no.1 (tb, 2012), 74.
43
44
4
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat,
2013), 5
5
Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi,
Hierarki Hingga Kepentingan Pembaca,” Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Surakarta, vol. 6, no.1 (tb, 2010), 4
6
Mustaffa bin Abdullah dan Abdul Mamam Syafi‟i, Khazanah Tafsir Di
Nusantara Penelitian Terhadap Tokoh dan Karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura dan Thailand” Jurnal Kontekstualita, vol. 25, no. 1 (tb, 2009), 31.
45
3. Tamsyiyatul Muslimin
Kitab tafsir karya KH. Ahmad Sanusi ini memiliki nama lengkap
Tamsyiyatul Muslimin fi Tafsiri Kalami Rabbil ‘Alamin. Tafsir ini terbit
secara berkala, yakni satu bulan sekali, pada 1 Oktober 1934 dan dicetak
di percetakan al-Ijtihad Sukabumi. Cetakan ini kemudian beredar di
Jakarta, Bengkulu, Bandung, dan Singapura. Tafsir ini telah dicetak
8
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 40
46
ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majelis
taklim di wilayah Jawa Barat. Karya lainnya adalah serial Tamsyiyatul
Muslimin dalam bahasa Melayu. Setiap ayat-ayat al-Qur’an ditulis
dengan huruf Arab sekaligus ditulis (transliterasi) dalam huruf latin.8
4. al-Quranul ‘Adzim
Tafsir Al-Quranul ‘Adzim berbeda dengan tafsir pada umumnya.
Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan nama Tafsir Tiga Serangkai karena
H. Abdul Halim Hasan menyusunnya bersama dua ulama lain, H. Zainal
Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. Kitab tafsir ini disusun dan
diterbitkan pada tahun 1937.
5. al-Ibrīz
Dari sekian kitab hasil karya KH. Bisri Mustofa, yang paling
terkenal adalah kitab tafsirnya yang bernama al-Ibriz. Tafsir al-Ibriz ini
bersumber dari ijtihad Kiai Bisri yang menggunakan Bahasa Jawa dan
ditulis dengan huruf Arab pegon. Alasan ayah KH. A. Musthofa Bisri ini
menulisnya menggunakan pegon adalah supaya kaum muslimin yang
berada di Jawa dan waktu itu belum banyak yang bias membaca huruf
latin dapat memahami makna al-Quran dengan mudah dan dapat
memberi manfaat di dunia atau pun akhirat. Penulisan kitab al-Ibriz ini
membutuhkan waktu enam tahun mulai 1954 sampai 1960. Corak
kombinasi antara fikih dan tasawuf pun bias terlihat di kitab itu. Kitab
yang mencakup tafsir al-Quran secara keseluruhan, tafsir ini dibagi
menjadi tiga jilid.
6. al-Mahmudy
Tafsir al-mahmudy ditulis oleh KH. Ahmad Hamid Wijaya pada
tahun 1989. Tafsir al-Mahmudy diterbitkan oleh PBNU pada saat
Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Penerbitan itu lengkap beserta
dengan kata pengantar dari PBNU dan juga dari beberapa pengurus
PBNU yang menjabat pada periode tersebut. Sebab, penulis tafsir al-
Mahmudy adalah Katib Am PBNU yang menjabat selama dua periode.9
7. Tafsir al-Misbah
Nama Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab dengan pada penghujung
abad ke-20 sebagai cendekiawan muslim Indonesia. Salah satu karya
terbaiknya adalah Tafsir al-Mishbah. Dalam kitab ini Prof. Quraish lebih
menggunakan pendekatan eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Ini merupakan metode penelitian yang berupaya menggali
sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama tafsir.
Tafsir al-Mishbah yang terdiri dari lima belas jilid ini sangat berpengaruh
di Indonesia. Bukan hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran,
tafsir ini juga menggunakan metode penulisan dengan mengombinasikan
antara metode tahlili dengan metode maudhū’i. Sebelum menafsirkan
dengan metode tahlili terlebih dahulu ia menafsirkan dengan
menggunakan metode maudhū’i.
8. al-Iklīl
Kitab ini dikarang oleh Ulama dari Bangilan, Tuban. Beliau
merupakan adik kandung KH. Bisri Mustofa, Rembang. Metode
penulisan Tafsir al-Iklil terdiri dari tiga bentuk sistematika penulisan. Di
10
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 42
48
9. al-Munir
Penulis kitab ini adalah KH. Daud Islam Soppeng. Karena itulah,
kitab yang ditulis dalam bahasa Bugis ini juga dikenal dengan sebutan
Tafsir Daud Ismail. Tafsir ini memiliki komposisi yang sederhana. Hal
ini bias kita lihat dengan dimulainya suatu pembahasan dengan
mengelompokkan ayat-ayat yang ingin diterjemahkan dan ditafsirkan.
Satu kelompok biasanya terdiri antara 3-10 ayat atau lebih dan kadang-
kadang diberi judul pada setiap kelompok ayat. Penerjemahan ayat-ayat
dalam tafsir Daud Ismail ini mengacu pada terjemahan Departemen
Agama yang sudah ada sebelumnya.
12
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 45
49
11
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 43
91
al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī, 11.
50
13
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi
hingga Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), 61
51
Jawi dan pegon.14 Hampir semua pengkajian sejarah al-Qur’an dan tafsir
di Indonesia sepakat menjadikan Abd Al-Ra‟uf Singkili sebagai perintis
pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia Melayu.15 Penafsiran
lengkap pertama di Indonesia ditulis oleh Abdur Ra’uf al-Singkili
berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Abdur Ra‟uf lahir sekitar 1615 M dan
namanya mengindikasikan keluarganya hidup di Sinkil kepulauan
Sumatera yang saat ini dikenal sebagai bagian dari wilayah Aceh. Beliau
menghabiskan sekitar 19 tahun belajar tafsir, fiqh, dan ilmu-ilmu
keislaman di Arabia antara tahun 1640-an dan kembali ke Aceh sekitar
tahun 1661 M. Kemudian 32 tahun sisa hidupnya dihabiskan untuk
menulis berbagai karya ke Islaman seperti fiqh, tafsir dan tasawuf.
Diantara karya kesusastraannya selama periode ini adalah Tarjuman
alMustafid.16
Karakteristik yang dimiliki tafsir Tarjuman al-Mustafid ini dilihat
dari segi metode dan tehnik penafsiran, Abdur Ra’uf tampaknya hanya
menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Kenyataannya tetap
bahwa terjemahannya dari bahasa Arab, sebagaimana tampak dalam
kitab Tarjuman, sangatlah literal. Dia sering kali menggunakan sebuah
teknik-apa yang Riddell sebut kesesuaian kata per kata antara bahasa
Arab dan Melayu (word for word correspondence between the Arabic
and malay) dan kurang memperhatikan bentuk-bentuk sintaks
kesusastraan Melayu. Akibatnya, kata Riddell, hasil produksinya secara
virtual adalah teks bahasa Arab, namun dengan kata-kata Melayu.
Mengamati berbagai katalog manuskrip berbahasa Arab terungkap
14
Anthony Johns, “The Qur’an In The Malay World: Reflection On `Abd Al-
Rauf Of Sinkel (1615-1693)”, Al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies. Vol. 9, no. 2 (tb,
1998), 121
15
Faried F. Senong, “al-Qur’an, Modernism Dan Tradisionalisme: Ideologisasi
Sejarah Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Ciputat, vol. I, no. 3,
(tb, 2006), 511.
16
Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur’ān Nusantara Tempo Doeloe, 27-28.
52
17
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 21.
18
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideology. (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013), 45
53
19
Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 50
20
Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 52
21
Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’ān Di Indonesia Abad Keduapuluh,
Jurnal LSAF, vol. III, no.4 (tb, 1992), 71.
54
25
7Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 92
56
ditulis sufi besar asal Maroko yang hidup di abad ke-18, Syaikh Abdul
Aziz al-Dabbagh.26
Metode dalam Tafsir al-Ibriz ini adalah metode tahlili, hal ini
dapat kita lihat ketika Bisri Musthafa mengungkapkan keseluruhan ayat
al-Qur’an sesuai dengan mushaf Utsmani. Penafsiran ini menggunakan
kalimat yang praktis dan mudah dipahami tanpa berbelit-belit. Kemudian
sistematika yang ia pakai dalam memetakan sistematika penulisan tafsir
al-Ibriz yakni: Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna
gundul.27 Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir dengan memakai
nomor, nomor ayat berada di akhir di sebuah kalimat sedangkan nomor
terjemah berada di awal.28Kemudian keterangan-keterangan lain yang
terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam subbab kategori
tanbih, faidah, muhimmah, dan lainlain. Kemudian muncul lagi ulama
pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas
Islam modern atau Kaum Gedongan yaitu H. Abdul Karim Malik
Amarullah (Hamka) nama ini adalah nama sesudah ia menunaikan
ibadah haji pada 1927 dan mendapatkan tambahan haji, lahir di Sungai
Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari
1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat
beragama, gelar buya diberikan kepadanya, sebuah panggilan buat orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya yang dalam bahasa
Arab berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.29
26
Mafri Amir, Literatur Tafsir di Indonesia (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013),
147-149.
27
Makna gundul adalah metode pemberian makna dengan memakai huruf pegon
dan ditulis secara miring di bawah sebuah lafal atau kata yang diberi makna, yang dalam
hal ini adalah ayat al-Qur’an.
28
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 147-149
29
Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara. (Tangerang: Sintesis, 2012), 121
57
30
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz ke-1, cet ke-1 (Jakarta:Penerbit Pustaka
Panjimas, 1982), 42.
58
31
Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 124.
32
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 169.
33
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 273.
59
34
Tafsir bil ra‟yi adalah metodologi bayan al-Qur’ān berdasarkan rasionalitas
pikiran (alra‟yu), dan pengetahuan empiric (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan
kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-
riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu, kemampuan tete bahasa, retorika, etimologi,
konsep yurispru densi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan
35
Fauzi Saleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh.” Jurnal al-Ulum, vol. 12,
no. 2 (tb, 2012), 381.
60
dan tetap mencantumkan teks al-Qur’an yang asli. Ketiga, penafsiran dan
jenis tafsir yang dihasilkan mengalami proses lokalisasi secara
signifikan.36
36
Ervan Nutawab, Tafsir Al-Qur’ān NusantaraTempo Doeloe, 203-204
37
Ervan Nurtawab, “Melacak Tradisi Awal Penafsiran Al-Qur’ān di Nusantara”,
Jurnal Lektur Kegamaan vol. 4, no, 2 (tb, 2006), 13.
38
7 Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qurān Nusantara Tempo Doeloe. 179
62
39
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman (Ciputat: Sulthan Thaha Press, 2007), 81.
40
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman, 81.
41
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman, 81.
63
42
Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Epirisma Vol. 24 No.1 (Januari 2015), 10.
43
Istilah kontemporer berasal dari kata bahasa Inggris kontemporer yang berarti
“sekarang; modern” (Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir al-Qur’ān di Indonesia.
Epirisma Vol. 24 No. 1 (Januari 2015), 10. Sementara itu tidak ada kesepakatan yang
jelas tentang cakupan istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah ini meliputi abad ke-
19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau ke-21?. Namun demikian sebagian pakar
berpendapat bahwa kontemporer identik dengan modern dan keduanya digunakan secara
bergantian (interchangeably). Dalam konteks peradaban Islam, kedua istilah itu dipakai
saat terjadi kontak intelektual pertama dunia muslim dengan barat, sebagaimana tampak
pada pemikiran al-thantawi (1817-1898) di India. Lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi
Tafsir Al-Qur’ān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), 42.
64
manusia begitu komplek dan tidak terbatas. Ini meniscayakan para mufasir
untuk berusaha mengaktualkan dan mengkontekstualisasikan pesan-pesan
universal al-Qur’an ke dalam konteks partikular era kontemporer. Hal ini
hanya dapat dilakukan jika al-Qur’an ditafsirkan sesuai dengan semangat
zamannya, berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar universal al-
Qur’an.44
44
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang, 2011). h 55.
65
llmī, al-adāb al-ijtima’ī45 Adapun tafsir yang merujuk ulama salaf pertama
tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut tafsir bi al-ma`tsur, kedua,
tafsir yang berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan tafsir bi al ra`y atau
bi al ajtihadi, dan ketiga, tafsir yang berdasarkan isyarat yang populer
dengan nama Tafsir al-Isyri.46
45
auzi Saleh, Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh. (Banda Aceh: Jurnal Al-
Ulum, 2012). Vol 12, No.2, 381. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), 10.
46
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, 44-45.
47
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’ān Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman. (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 47.
66
bersifat terjemahan daripada tafsir yang luas dan rinci, metode yang
digunakan dalam karya itu ialah metode global (ijmali). Namun pada ayat
tertentu yang dianggap penting, ada yang memberikan penafsiran agak
rinci, seperti penafsiran Mahmud Yunus beliau menerapkan pada sebagian
besar ayat al-Qur’an, dan itu tentu saja akan masuk katagori tahlili dengan
uraian yang cukup memadai dan rinci. Yang dibahas tidak hanya masalah-
masalah tarbiyah, akidah, akhlak dan kandungan ayat lainnya, tetapi lebih
dari itu ia menggunakan sejumlah perbedaan pendapat, baik menyangkut
redaksi (qira’āt) ayat maupun kandungan maknanya. Semua itu dijelaskan
dengan argumen yang kuat, baik dari al-Qur’an sendiri, hadis-hadis nabi,
maupun pendapat ulama48. Kemudian tafsir al-Azhar karya Hamka,
Hamka memakai metode analitis sehingga peluang untuk mengemukakan
tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih besar. Kiranya perlu
dikemukakan bahwa urutan nominansi metode global, analitis,
perbandingan, tematik dan kontekstual, di sini tidak berarti bahwa metode
global lebih awal munculnya atau unggul dibanding metode analisis atau
perbandingan, tetapi lebih didasarkan pada realitas perkembangan terakhir
penerapan metode-metode tersebut.49
48
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, 46
49
ashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟ān di Indonesia (Solo: Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri), 92.
BAB IV
PANDANGAN PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA
TERHADAP PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN
1
Said Agil Husain Munawar, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), 3.
67
68
dan Tafsir al-Ahkam karya Syaikh Abdul Halim, serta pendapat Jumhūr
Ulama.
2
Muhammad ’Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Qurān al-Karīm
(Bairūt, Dar al-Fikr, 1994)
3
Pusat Studi al-Quran, Enskikolopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007)
4
HM. Sonhaji, Ensiklopedia al-Quran Dunia Islam Modern (Yogyakarta, PT.
Dana Bhakti Primayasa, 2003)
5
A. Hamid Hasan Qolay, Kunci dan Klasifikasi Ayat-Ayat al-Quran (Bandung,
Penerbit Pustaka, 1989)
6
Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Quran
Berdasarkan Kata dasarnya (Jakarta, Penerbit Mizan, 1996)
7
A. Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Quranul-Karim (Jakarta, PT.
Inline Raya Jakarta, 1997)
8
Ali Auda, Konkordasi Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Quran
(Jakarta, PT. Pustaka Literasi Antar Nusa, 1997)
69
3 13
˚ص˚ل ´حا an-Nisā’: 128 Perdamaian14
4 1
ال ˚ص˚ل ˚ح an-Nisā’: 128 Perdamaian16
5 17
´م´ َوّد˝ ة ar-Rūm: 21 Kasih18
6 19 ar-Rūm: 21 Sayang20
˝ ة´ح˚ ر´و
´
7 ¸ف´ا صل al-Ḥujurāt: 9 Damaikanlah22
˚
21
˚ح˚ وا
8 ¸ف´ا صل al-Ḥujurāt: 9 Damaikanlah24
˚
23
˚ح˚ وا
9 ¸ف´ا صل al-Ḥujarāt:10 Damaikanlah26
˚
25
˚ح˚ وا
9
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, cet.
12 (Jakarta, PT. APP Sinarmas, Jakarta), 35.
10
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 35.
11
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
12
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
13
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
14
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
15
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
16
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
17
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
18
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
19
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
20
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
21
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
22
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
23
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
24
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
25
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
26
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
70
Karim
ian)31 manusia)
27
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t)
28
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, cet.
12 (Jakarta, PT. APP Sinarmas, Jakarta), 35.
29
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 49.
30
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
48.
31
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) 381.
71
ي˚ ˚صل¸حا
2 3 Perundin Perdam Perdamai Agawe Perdamaia
rukun)37
3 3
˚ص˚ل ´حا Perdamai Perdam Perdamai Kalawen Perdamaia
8 an aian39 rukun n
an40
temenena
n (Dengan
rukun
yang
benar-
benar)41
32
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 241.
33
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
34
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 136.
35
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 133.
36
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
37
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
38
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
39
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 134.
40
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
41
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
72
perdamai (kebaikan)
46
an43
42
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
43
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 136.
44
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 134.
45
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
46
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
47
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
48
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 589.
49
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 596.
50
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3168.
51
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
52
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 589.
53
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 596.
54
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3168
73
55
59
h65
63
ۤ
ا¸ ˚ح ندى ˚ه´ ما ´عل ˚ه´ م.ن.´ي.´˚´وا¸ ˚ن ط´ ا ِٕى´ فن ¸ٰت ¸م ال˚ ˚م˚ ؤ¸من´ ˚ ¸ْي ´فا´ ˚صل¸ ˚ح˚ وا ب
´ى ا˚ْل˚ ˚خن رى ْۢ ۚ ´ل˚ ˚وا.´ت.˚ت.اق
´غ´ ˚ت.ا ف¸´ا ˚ن ب ´ن
ۤ ۤ
بغ¸ ˚ي ´ح ٰنّت ت¸´ف ˚يء´ ا¸ن ىٰل ا˚´م¸ ر ا ٰنّل¸ ۖف¸´ا ˚ن ف´ اء´ ˚ت ´فا´ ˚صل¸ ˚ح˚ وا ˚ب.˚قات¸ل˚وا اَّل˚ ¸ِت ´ت. ´´ف
˚ه´ ما.ن.´ي.´
¸
بل´ ˚ع ˚د¸ ل ´وا´ق˚ ¸ُِ˚˚وا اا ¸ َّن
¸ ¸ ¸ ¸ ¸¸ ¸
˚ْي ا´ ´خ´ وي.´ ˚ ´˚و´ ن ا ˚خ´ وٌة ف´ا´ ˚صل ˚ح˚ وا ب. ˚ا ٰنّل´ ˚ُي ُّب ال˚ ˚م˚ ق ِ ُ´ ˚ ْي ا َّّن´ا ال˚ ˚م˚ ؤ من
ر´ ح˚˚و´ ن.˚˚˚ قوا ا ٰنّل´ ل´ ´عَّل ˚ك ˚م ت.َّ˚ك ˚م ´وات
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari
keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan
itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-
orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Hujurāt [49]: 9-10).
Ayat al-Qur’an di atas menegaskan pentingnya mewujudkan
perdamaian di antara sesama muslim, sekaligus merupakan bentuk pesan
perdamaian dalam al-Qur’an berupa langkah-langkah mewujudkan
perdamaian tersebut. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, perdamaian merupakan nilai fundamental, sehingga
bagaimana pun keadaannya, perdamaian harus tetap diwujudkan dalam
dinamika kehidupan sosial.66 Bahkan dalam keadaan perang atau konflik
di antara golongan kaum beriman sekalipun, usaha untuk mendamaikan
antara keduanya adalah suatu hal yang mesti dilakukan dengan segera.
Kedua, jika berbagai cara dan strategi telah dilakukan untuk
mendamaikan konflik, ketegangan, dan perang di antara dua golongan
kaum beriman, namun belum berhasil menciptakan perdamaian, maka al-
Qur’an mengizinkan kepada pemerintah yang sah untuk memerangi
bughat (makar/pemberontak), yakni pihak yang keras kepala,
66
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123.
75
67
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123-124.
68
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
124-125.
69
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama, 125
76
70
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul:Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an cet. X, edisi. II (Bandung : CV. Diponegoro, 2009), 510.
77
71
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XII, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 595.
72
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 759.
73
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XII, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 599.
74
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3918.
75
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
759.
78
76
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
77
Kīai Bisyrī Muṣtofha, Tafsir al-Ibrīz (Kudus: Menara Kudus, t.t), 247.
79
berumah tangga, misal akan ada indikasi ke arah nusyūz. Maka dianjurkan
bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian meskipun mengorbankan
sebagian haknya kepada pasangannya, dengan syarat tidak melanggar
pada tuntutan ilahi, karena hal itu lebih baik.78
78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid II, cet. I (Tangerang, Lentera Hati,
2003), 579.
79
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 965.
80
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012), 117.
80
tetap terjaga. Syariat Islam telah mengatur kecenderungan naluri itu agar
tidak brutal, liar, dan bermartabat dengan pernikahan yang diharapkan
menciptakan keluarga yang harmonis. al-Qur’an sangat menekankan
agar kaum muslim mewujudkan perdamaian dalam menyelesaikan
masalah keluarga guna menjaga kelestarian ikatan keluarga dan
pengasuhan anak. Menurut al-Qur’an, menjaga keutuhan dan
menciptakan kedamaian pada level keluarga sama pentingnya dengan
menciptakan perdamaian di antara sesama kaum muslim, demikian juga
menciptakan perdamaian dalam lingkup manusia secara universal tidak
kalah pentingnya dengan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
keluarga.81
Keluarga harmonis umumnya diartikan sebagai keluarga yang
anggotaanggotanya saling memahami dan menjalankan hak dan
kewajiban sesuai dengan fungsi dan kedudukan masing-masing, serta
berupaya saling memberi kedamaian, kasih sayang dan berbagi
kebahagiaan. Dua individu yang berbeda dari jenis kelamin dan
perbedaan-perbedaan lainnya bersatu dalam membina rumah tangga,
harus dilandasi tekad kuat untuk bersama-sama dalam suka dan
malapetaka. Ciri utama dari keluarga harmonis adalah relasi yang sehat
antar anggotanya sehingga dapat menjadi sumber inspirasi, dorongan
berkreasi untuk kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat, dan umat
manusia secara universal. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan
yang besar dalam upaya penyejahteraan masyarakat, karena keluarga
merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang jika tiap-tiap keluarga
terjalin hubungan harmonis dalam keluarganya, maka akan dengan
mudah membentuk masyarakat yang berperadaban dan harmonis.82
81
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2.
82
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 8.
81
83
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XI, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 35.
84
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, 36.
85
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3170.
82
Kata sakinah berasal dari kata sakana yang pada mulanya berarti
sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak. Kata ini merupakan
antonim dari kegoncangan, dan tidak digunakan kecuali untuk
menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya
terjadi gejolak, apapun latar belakangnya. Rumah dikatakan maskan
karena ia merupakan tempat untuk beristirahat setalah beraktivitas.
Begitu juga waktu malam dinyatakan oleh al-Qur’an dengan sakan,
karena ia digunakan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk di siang
harinya. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menunjukkan arti
ketenangan jasmaniah, namun dalam perkembangannya ia berarti
ketenangan yang bersifat rohaniah yang juga disebut dengan majaz
isti‘ȃrah. Dengan kata lain, sakinah yang dipahami sebagai ketenangan
jiwa bukan merupakan makna yang sebenarnya. Meskipun begitu,
karakter dasar dari kata sakȋnah adalah ketenangan setelah bergerak atau
bergejolak, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah.87
Asbabunnuzul surah ar-Rum ayat 21. Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa'id dan Gundar. Mereka
berdua mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Qasamah
ibn Zuhair, dari Abu Musa yang telah menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari
segenggam tanah yang Dia ambil dari semua penjuru bumi, maka jadilah
anak-anak Adam sesuai dengan kadar dari tanah itu; di antara mereka
86
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
589.
87
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 58-59.
83
ada yang berkulit putih, ada yang berkulit merah, dan ada yang berkulit
hitam serta ada yang campuran di antara warna-warna tersebut; ada pula
yang buruk, yang baik, yang mudah, dan yang susah serta yang
campuran di antara perangai-perangai tersebut.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui
berbagai jalur dari Auf Al-A'rabi dengan sanad yang sama. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sa’ad bin Fawwāz al-Sumail berpendapat maksud dari QS. al-
Nisȃ` [4]: 128, apabila ada seorang wanita akan kedurhakaan suaminya,
yaitu bersikap congkak padanya, yaitu tidak suka kepadanya, dan tidak
acuh padanya, maka dalam kondisi seperti ini sebaik baiknya diadakan
perbaikan diantara mereka berdua, dengan cara menggugurkan beberapa
haknya yang wajib atas suaminya agar ia tetap bersama suaminya
tersebut, yaitu rela dengan yang lebih sedikit dari yang seharusnya
berupa nafkah atau pakaian atau tempat tinggal atau memberikan jatah
hari atau malamnya kepada suaminya atau kepada madunya, lalu bila
meraka berdua telah sepakat dengan kondisi seperti itu, maka tidaklah
berdosa dan tidak salah mereka berdua melakukan itu, tidak mengapa
bagi suami dan tidak mengapa pula bagi istri, karena itu suaminya boleh
tetap bersama istrinya tersebut dalam kondisi seperti itu dan hal lain itu
lebih baik daripada bercerai dan karena itu Allah berfirman: “Dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”88
Dapat diambil dari keumuman lafazh dan makna ayat ini bahwa
perdamaian antara atara dua orang yang masing-masing mempunyai hak
atau perselisihan dalam perkara apapun adalah lebih baik daripada
masing-masing dari mereka berdua itu saling ngotot dalam
88
‘Abd al-Rahman bin Nasīr al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī (Jakarta: al-Huda, 2009),
221-222.
84
357.
85
90
al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī, 223.
357.
86
a. Sayyid Qutb
Menurut Sayyid Qutb di dalam kitab tafsir fi zilāl al-Qur’an, yang
dimaksud dengan nusyūz adalah seorang wanita yang menonjolkan dan
meninggikan (menyombongkan) diri dengan melakukan pelanggaran dan
kedurhakaan terhadap suaminya. selanjutnya ia menjelaskan juga bahwa
Manhaj Islam tidak menunggu hingga terjadinya nusyūz secara nyata,
dikibarkan bendera pelanggaan, gugurnya karisma kepemimpinan, dan
terpecahnya organisasi rumah tangga menjadi dua lascar, yang mana hal
tersebut dapat menimbulkan sebuah kejadian terhadap suatu hal yang tidak
pernah diinginkan. Oleh karenanya, perlu segera dipecahkan ketika nusyûz
tersebut baru terjadi pada awal permulaan timbul.93
92
Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, cet. 2 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), 135.
93
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid, II (Jakarta : Gema Insani, 2001),
Med
ia
88
c. Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar sering kali memandang antara kaum Hawa dan
Kaum Adam terdapat diantaranya sebuah kesetaraan gender, sehingga
dalam menetapkan nusyūz banyak pertimbangan yang dilakukan
olehnya. Menurut Nasaruddin Umar, konsep nusyūz yang berkeadilan
gender bisa diwujudkan jika konsep tersebut tidak hanya dipahami dari
sisi ketidak taatan seorang isteri terhadap suaminya, sebab seorang
suami juga merupakan manusia biasa yang tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang menyeleweng (nusyūz).
Kemudian menurut pandangannya, untuk memahami konsep nusyūz
dalam kompilasi hukum Islam yang berkeadilan gender, sewajarnyalah
untuk mengetahui bagaimana kondisi sosial pada masa sekarang ini,
yaitu bagaimana relasi suami isteri dalam keluarga tersebut.95
d. Jumhūr Ulama.
Menurut Jumhûr (kalangan) Ulama bahwa perilaku nusyūz yang
ditimbulkan oleh seorang istri terhadap suaminya adalah dengan
94
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa,
2011), 98.
95
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
134.
89
96
Bisri Mustofa, al-Ibriz li Mar’ifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz (Kudus: Menara
Kudus), 247.
90
97
Diterjemahkan dari bahasa Jawa, artinya berbuat terlanjur bohong, berbuat tidak
baik.
98
Misbah Musthofa, Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil (Surabaya: Maktabah al-
Ihsan, t.t.), 813-814.
91
nusyûz baik nusyûz tersebut dari pihak suami tauapun pihak istri maka
dilakukan perundingan bersama dengan kesepakatan kedua belah pihak
tanpa ada yang dirugikan satu sama lain dalam arti nusyûz boleh
dilakukan daripada terjadinya perceraian.
Asbabunnuzul surah an-Nisa’ ayat 128. Diriwayatkan oleh Al-
Hakim yang bersumber dari Aisyah: bahwa turunnya ayat ini berkenaan
dengan seorang laki-laki yang mempunyai seorang istri dan telah
beranak banyak, ingin menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan
yang lain. Akan tetapi istrinya merelakan dirinya untuk tidak mendapat
giliran asal tidak diceraikannya. Ayat ini (An-Nisa ayat 128)
membenarkan perdamaian dalam hubungan suami istri.
Diriwayatkan oleh ibn Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair:
bahwa ketika turun awal ayat ini (An-Nisa ayat 128) ada seorang
wanita berkata kepada suaminya: “Saya ridha mendapat nafkah saja
darimu, walaupun tidak mendapat giliran, asal tidak dicerai”. Maka
turunlah kelanjutan ayat itu sampai akhir yang membolehkan perbuatan
seperti itu.99
99
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an), 345.
92
¸ ´عل˚¸ي ٌم ´و´ْل ˚´َت´ عل˚وا ا ٰنّل´ ع˚˚ر ´ضة˝ ¸ْٰل˚ْ́ي´ان¸ ˚ك ˚م ا´ ˚صل¸ ˚ح˚ وا ب ¸س
˚´ س ˚ْي الَّنا ´وا ٰنّل.´ ˚ ´ ˚ق˚ وا ´وت. ˚´َّت.´ُّر˚وا ´وت.´ب.˚ن ت
ي ٌع
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan
menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 224).
100
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123-124.
101
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
112.
93
102
Misbah Musthofa. Tafsir al-Iklil, 241.
94
103
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an), 433
104
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 241.
95
105
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid I, cet. I (Tangerang, Lentera Hati,
2003), 450.
106
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 382.
107
Alim Roswantoro, dkk., Antologi Isu-isu Global dalam Kajian Agama dan
Filsafat (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2010), 16-17.
96
108
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, cet. 2
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 416.
109
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
139.
97
110
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
111
98
´و´ماى ا˚´ر´ س˚لنن ´ك ا¸َّْل ´ر˚ ح´ة˝ ٰل˚¸ل نعل´ ¸م´ ˚ ْي
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.”
Perdamaian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia,
karena dengan kedamaian akan tercipta kehidupan yang sehat, nyaman
dan harmonis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman
dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan
kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai
perdamaian. Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap
individu.111
Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk
merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan
keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini,
Islam diturunkan oleh Allah swt. ke muka bumi dengan perantaraan
seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat
bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad semata.
Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi
seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-islām. Islam
bukan nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama
yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut
mereka. Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia.
Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau
menyebarkan dendam di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta
sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasȃmuh (toleran) dan kasih
sayang kaum muslim terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong
ke dalam ahlu al-kitāb maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh
112
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 49.
113
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 50.
114
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 51.
100
˚´سب ´و´ْل ´َي˚ت¸ ´ل ا˚ول˚˚وض ا¸ل´ ˚فل ¸م˚ن ˚ك ˚م ´وال َِّ´ ع¸ ة ا´ ˚ن ال˚ ˚ق˚ رنٰب ´وال´ ˚م ´وال˚ ˚م نه
¸ي ا
¸ ِن ¸ك´ ˚ ْي ¸ج¸ ري˚ ن ٰل ¸ىوا ا˚و.˚ ˚ ؤت.ُّي
˚
¸ل ´
˚ِف
¸˚ ´غ˚ ف˚ ٌور َّر¸ح˚ي ٌم ´ ˚ع˚ ف˚ وا ˚ص´ ف.ا ٰنّل¸ ۖ´ ول˚ي
˚غ¸ ف´ر ا ٰنّل˚ ل.َّو´ ن ا´ ˚ن ي. ˚´ول˚ي´ ˚ح˚ وا ا تُّب
´´ْل
˚´ ˚ك ˚م ا´ وا ٰنّل
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (Nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah. Dan hendaklah mereka memberi maaf dan lapang dada.
Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22).
Terkait ayat tersebut pakar tafsir M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa orang yang saleh dan memiliki kekayaan dalam suatu komunitas
hendaknya tidak bersumpah untuk tidak memberikan derma kepada
kerabat, orang miskin, orang yang berada di jalan Allah dan orang yang
berhak menerima infak lainnya, hanya karena alasan-alasan yang bersifat
pribadi seperti dengan sengaja menyakiti. Sebaliknya, mereka hendaknya
memaafkan dan tidak membalas keburukan yang ditimpakan. Apabila
seseorang ingin agar Allah memaafkan kesalahan-kesalahannya, maka
hendaknya tetap berbuat baik kepada orang yang mungkin pernah
117
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 421.
melakukan kesalahan. Ayat ini diturunkan ketika sahabat Abû Bakar al-
Siddȋq bersumpah untuk tidak lagi memberikan bantuan ekonomi kepada
kerabatnya yang bernama Mistah bin `Utsȃtsah lantaran terlibat kasus
tuduhan bohong (hadis al-`Ifk) terhadap istri Rasulullah saw. Aisyah ra.115
117
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 421.
101
116
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 420.
118
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial
Indonesia, 55.
102
´ْي ا´ ´خ´ وي˚ ˚ك ˚م. ˚ ´˚و´ ن ا¸ ˚خ´ وٌة ف´ا´ ˚صل¸ ˚ح˚ وا ب. ˚ا¸َّّن´ا ال˚ ˚م˚ ؤ¸من
ر´ ح˚˚و´ ن.˚˚˚ قوا ا ٰنّل´ ل´ ´عَّل ˚ك ˚م ت.َّ´وات
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih)
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. al-
Hujurat [49]: 10).
118
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial
Indonesia, 55.
118
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial
Indonesia, 55.