Anda di halaman 1dari 18

ESSAI

KONSEP AGAMA
Makalah ini bertujuan untuk pemenuhan tugas mata kuliah Worldview
Islam
(Makna, Muatan dan Kebutuhan Beragama)
Dosen Pengampu:
Al-Ustadzah Erva Dewi Arqomi Puspita. M, Ag.

Disusun Oleh:
Ghifaria Nisa Pabelia
(432022228051)

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR
1443 H / 2022 M
A. PENDAHULUAN
Saat ini, manusia modern hampir kehilangan hakikat dan makna
kehidupan. Bukan hanya meliputi kehampaan spiritual yang menyebabkan
bermacam-macam krisis setelahnya seperti krisis makna dan legitimasi hidup1.
Kehampaan dalam setiap rohani manusia ini disebabkan oleh ketidakmampuan
manusia untuk mengisi sisi rohani secara utuh. Ada sejumlah perbedaan dalam
memandang agama dan kaitannya dengan manusia. Ahli teologi melihat agama
sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam 2. Serta yang melebihi
pikiran manusia melainkan agama adalah berupa perbuatan manusia dalam
disiplin yang mengajarkan pemeluknya untuk menyatukan hati dan pikiran.3

Di sisi yang lain dari pemikiran tersebut, mengonsepkan pemaknaan ‘din’


yang secara umum dimaknai dengan agama dilakukan dalam bentuk yang
berbeda, terutama di Barat. Dimana dalam konsep yang kita mengerti adalah ‘din’
dari seluruh makna dasar berasal dari kata ini difahami dan ditafsirkan yang
bersepadu, seperti tergambar dalam Al-Qur’an dan berasal dari bahasa Arab4.
Kesatuam makna yang takkan terpisahkan dari apa yang digambarkan agama
Islam terkandung segala makna yang berkaitan dan tak dapat terpisahkan dengan
konsep ‘din’. Oleh karena itu, konsep Islam sendiri yang secara erat hidup
bersama-sama pengalaman dan kehidupan manusia menjadi pembuktian nyata
bila kejadian pertentangan pada ‘din’ itu sendiri bukan karena pengaburan konsep,
melainkan disebabkan pertentangan dalam menguraikan dan menafsirkan makna-
makna tersebut.

1
Bambang Irawan, ‘Urgensi Tauhid Dalam Membangun Epistemologi Islam’, 7.2 (2005).
Hlm. 276
2
Feryani Umi Rosidah, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Studi Agama’, Vol. 1, No.1,
Maret 2011, Hlm. 25.
3
Syarifuddin, ‘Agama dan Benturan Peradaban’, Substantia Jurnal, Volume 16, Nomor
2, (Oktober 2014), Hlm. 230.
4
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme. Kuala Lumpur: Institut
Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), 2011, Hlm. 67.

1
B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Agama

Terdapat beberapa pengertian agama menurut para ahli. Agama menurut


Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta yang
berhubungan dengan pergaulan antara sesama manusia serta sesama alam
sekitarnya5. Secara Terminologis dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia arti
agama adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan dan sesamanya.

Kata “agama” berasal dari Bahasa Sanakerta, “agama” yang berarti ‘tradisi’
atau “A” berarti ‘tidak’; dan “GAMA” berarti kacau, tidak kocar-kacir atau tidak
teratur. Maka istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan
kehidupan yang aman dan teratur dan tidak kacau serta mendapatkan
kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.

Sedangkan ada pula kata lain untuk menyatakan konsep ini dengan “religi”
yang berasal dari Bahasa Latin6 ‘religio’ dan berakar pada kata kerja ‘re-ligare’
yang berarti ‘mengikat kembali’. Kata ini terdiri dari kata ‘re’ dan ‘ligare’. Re
berarti “kembali”, dan ligare berarti “mengikat”. Maka kata religio berarti ikatan
atau pengikatan diri7. Dalam Bahasa Indonesia kata Religion dikenal dengan
sebutan “religi” dibaca reliji. Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata ‘ad-
din’, dalam bahasa Latin dari kata ‘religi’, dan dalam bahasa Inggris dari kata
‘religion’ yang memiliki arti sebagai berikut: (a). Organisasi masyarakat yang
menyusun pelaksanaan segolongan manusia yang periodik, pelaksanaan ibadah,
memiliki kepercayaan, yaitu kesempurnaan zat yang mutlak, mempercayai
5
Muhammaddin, 'Kebutuhan Manusia Kepada Agama', JIA, Juni 2013/Th.XIV, Hlm.
101.
6
Ibid,
7
Syarifuddin, ‘Agama Dan Benturan Peradaban’, Substantia jurnal, Volume 16 Nomor 2,
Oktober 2014, Hlm. 230

2
hubungan manusia dengan kekuatan rohani yang lebih mulia dari pada ia sendiri;
(b.) Keadaan tertentu pada seseorang, terdiri dari perasaan halus dan kepercayaan,
termasuk pekerjaan biasa yang digantungkan dengan Allah SWT; (c.)
Penghormatan dengan khusuk terhadap sesuatu perundang- undangan atau adat
istiadat dan perasaan8.

Ahli sosiologi terkenal seperti Emile Durkheim9 memaknai agama dalam


pendekatan Antropologi yang berkategori ke dalam 4 kerangka teoritis:
intelektualistis, strukturalis, fungsionalis, dan simbolis. Kerangka intelektualis
Emile mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan
supranatural. Secara struktural agama adalah model kerangka bertindak
masyarakat yang didapatkan melalui hubungan antara individu dan masyarakat.
Psikologi agama sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat sedangkan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas dari teori fungsionalis. Sedangkan secara
simbiolis penerapa ritual pada agama dikatakan sebagai symbol. Pemikiran Geertz
(1977) menegaskan bahwa10 agama bukan konsep metafisik semata dan tidak pula
bersifat etik. Ia mengemukakan 2 konsep agama yaitu ‘Ought’ ( seharusnya ada)
dan ‘Is’ (nyatanya ada) bersifat actual, komperenshif dan menjadikan agama
mendasari tuntutan manusia dalam konteks eksistensi yang paling umum. Namun
pendekatan agama secara sosiologis tidak dapat dijelaskan memakai pemaknaan
agama secara teologis11. Alasannya, definisi seperti itu hanya menekankan peran
agama sebagai pengatur kehidupan dan kurang menekankan faktor sebagai
penganut agama, yang disebabkan oleh permasalahan yang dihadapi manusia
semakain kompleks.

8
Ibid,
9
Makalah Konsep Agama, ‘ Konsep Agama Menurut Emile Durkheim’, Bab 5, Hlm. 71
10
Kurnia Novianti, ‘Kebudayaan , Perubahan Sosial , Dan Agama Dalam Perspektif
Antropologi’, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 12 No. 2, Mei - Agustus 2013, Hlm. 13-
14.
11
Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, ‘Sosiologi Agama, Memahami Perkembangan Agama
Dalam Interaksi Sosial’, PT. Fajar Interpratama Mandiri Cet. 2, Februari 2017 , Hlm. 86.

3
Agama tidak bertentangan dengan akal dan fitrah kesucian manusia, agama
berperan sebagai pengatur segala hal yang mampu menentukan kehidupan
manusia dengan baik dan menunjukkan arah kesempurnaan lahir-bathin 12 yang
memberi ketenangan hakiki kepada jiwa manusia, mengatasi kerusakan moral,
memberi aturan hidup universal dalam mengatasi problema-problema hidup umat
manusia. Agama semakna juga dengan kata ‘ad-din’ (bahasa Arab) yang berarti
cara, adat kebiasaan, peraturan, undang- undang, taat dan patuh, meng-Esakan
Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat dan nasihat. Maka dari segala sisi
agama memiliki peran penting untuk kehidupan manusia.

Dalam memaknai agama secara luas, agama yang diambil dari kata ‘dîn’
memiliki banyak makna. Kata ‘dîn’, secara leksikal, berasal dari kata kerja (fi‘l/
‫( )فغل‬dânayadînu/ (‫ يدين‬- ‫ دني‬yang bermakna (atâ’a wa dhalla/‫ )الطاغة و ضل‬taat dan
merendahkan diri13 sepenuhnya kepada ketetapan hukum. Dalam Al-Qur’an ada
tiga kata umum yang digunakan untuk istilah religion atau agama, yakni Din,
millah dan ummah. Makna demikian sama yakni agama dapat bermakna tradisi
keagamaan atau peradaban, dan berkonotasi dengan komunitas sosial-politik dan
moral14.

Sementara dalam Literatur Bahasa Arab15, agama diterjemahkan dari kata ‘al-
din’ memiliki banyak arti pokok berlawanan satu sama lain namun secara
konseptual saling berhubungan. Akar kata tersebut adalah “daana”-“yadiinu”16

12
Miskahuddin, ‘Konsep Agama Menurut Al-Qur'ân', Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah,
Vol.14, No.1, (2017), Hlm. 68.
13
M. Kholid, 'Worldview Islam',. Ponorogo: Direktorat Islamisasi Ilmu/AL-
QARADHAWI, al-din fi 'Asr al-'IlmI, (2018), Hlm. 74.

14
Fatimah Abdullah, Skripsi Bab 3, DIN menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
“Konsep Islam Sebagai Dīn: Kajian terhadap Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas,”
Islamia, No. 3 Tahun I, (Jakarta: INSISTS, September-November 2004), hlm. 51.
15
Moh. Zaiful Rosyid. el, at, ‘Agama Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas’,
Institut Agama Islam Negeri Madura, Indonesia, An-Nahdhah, Vol. 14, No. 1, Januari-Juli 2021,
Hlm. 170.

16
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur‟an.(Bandung:Mizan 1989)’ Konsep
Al-Din dalam AL- Qur’an’, Hlm 16-18.

4
yang memiliki beberapa arti. Pertama, ‘danahu’ bermakna “malakahu”
(memilikinya), dan “hakamahu” (berkuasa atasnya), dan ‘sasahu’ (mengaturnya)
dan “dabbarahu” (mengorganisasi) dan “qaharaku” (memaksanya) dan
“hasabahu” (menghitungnya) dan “qada’ fi sya’nihi” (memustuskan dalam
urusannya) dan “jazahu” (memberi inbalannya) dan “kafa’ahu” (memberi
apresiasi)17 serta dikaitkan pada makna seputar kerajaan seperti pengaturan,
kekuasaan, pemaksaan, pemegang kontrol, pemberi apresiasi dan sanksi. Kedua,
‘dana lahu’ yang bermakna ata’ahu (menaatinya), khada’a lahu (tunduk
kepadanya). Makna konteks ini bahwa agama adalah ketundukan dan ketaatan,
ibadah dan menjauhi hal-hal duniawi. Ketiga. ‘Dana bi al-syai’ bermakna
ittakhadzahu dinan aw madzhaban (menjadikannya sebagai agama atau mazhab)
atau menyakininya, menjadikannya kebiasaan atau menjadikannya karakter, yang
diartikan mazhab praktik sebagai jalan atau tarekat, bimbingan manusia untuk
berjalannya di atasnya. Keempat, kata al-din yang diturunkan dari kata kerja
dana juga mengandung makna al-dayn (hutang) dan makna laninnya yang
terkait18. Menurut Syekh Naquib Al Attas dalam maksud hutang yang disebutkan
bahwa manusia berhutang kepada Allah Sang Pencipta dan Sang Pemelihara,
karena menjadikan manusia wujud (eksistensi) dan menjaganya agar senantiasa
berwujud. Bagi yang berhutang akan berkewajiban membayarnya atau dayn
sebelum Hari Pembalasan tiba. Makna utamanya agama dalam kata ‘din’ pun
dapat disimpulkan menjadi empat: (1) keadaan berhutang; (2) penyerahan diri; (3)
kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami.19

17

18
Fauzan, ‘Konsep ‘Ad-Din’ Menurut Naquib Al-Attas’, Prodi Pendidikan Agama Islam
STAI Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon, Al-Madãris Vol. 2, No. 1, 2021, Hlm. 121.
19
Ibid, Hlm. 64

5
PENGERTIAN AL-DIN SECARA BAHASA

A= TIDAK danahu = dana lahu = dana/dayn =


dana bi al sya' =
MEMILIKNYA,
GAMA=RUSAK
BERKUASA ATASNYA, MENAATI DAN MENJADIKANNYA BERHUTANG ATAU
AGAMA= TIDAK RUSAK PATUH AGAMA DAN MAZHAB HUTANG
MENGATURNYA

2. Kebutuhan Manusia Kepada Agama

Agama memerankan peran penting. Agama mengambil bagian pada saat


paling penting pada pengalaman hidup, juga memberikan jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan seperti permulaan hidup,
mengapa manusia menderita, apa yang terjadi setelah manusia mati serta
memberikan tujuan hidupnya20.

Dalam Buku Worldview Islam milik Kholid Muslih, dituliskan pendapat Dr.
Yusuf al-Qaradhawi, setidaknya ada empat alasan mengapa manusia tidak dapat
terpisahkan dari agama21; pertama adanya kebutuhan akal untuk menjawab
pertanyaan besar yang sangat mendasar yaitu dari mana, ke mana dan
bagaimana, Jawaban yang diberikan akal maupun filsafat 22 saja tidak mampu
memberikan kepuasan kepada manusia karena ilmu hanya memberikan solusi
20
Nurmadiah, ‘Konsep Manusia dan Agama dalam Al-Quran’, Pendais Journal, Volume
I, Nomor 1, (2019), Hlm. 37.

21
Sunardin, Manusia Membutuhkan Agama Di Masyarakat, Misykat Al-Anwar: Jurnal
Kajian Islam Dan Masyarakat, Vol. 4, No. 1, 2021, Hlm. 17.
22
Dari jurnalnya Linus katakan…. “kehidupan bagi manusia merupakan kesempatan
baginya untuk semakin merealisasikan dirinya. Dimana manusia harus mengalami penarikan ke
atas ke arah kesempurnaan, kebijaksanaan, keutamaan, kebaikan terus-menerus. Dengan kata
lain manusia tidak pernah menerima dirinya sebagai sudah sempurna, sudah utuh sampai
kehidupan itu sendiri dialaminya bertemu dengan kematian. Menurutnya pengalaman manusiawi
yang mengajari bahwa tidak ada satu hal di dunia ini yang dapat memberikan kebahagiaan
sempurna. Mengusaha kan kebahagiaan sempurna di dunia ini ibarat menyelami sumur tanpa
dasar, artinya merupakan usaha yang sia-sia”.Linus K. Palindangan, Tinjauan Filosofis Tentang
Hidup, Tujuan Hidup, Kejahatan, Takdir, Dan Perjuangan, Jurnal Widya, Tahun 29, Nomor 319,
April 2012.

6
kemudahan pada kehidupan manusia dan filsafat hanya memberikan jawaban
spekulatif yang tidak membawa kepastian, serta belum mampu menjawab rahasia-
rahasia yang tersembunyi di balik alam fisik apalagi menembus metafisik.

Yang kedua, adanya kebutuhan fitrah, suara batin yang merindukann


kerinduan, dan terus mendekat kepada puncak kebenaran mutlak, merindu untuk
bersandar kepada kekuatan Yang Maha Segalanya, untuk bersimpuh kepada-Nya.
Manusia dilengkapi kodrat untuk mengenal dan memahami kebenaran serta
kebaikan yang terpancar pada ciptaan lain Tuhan23.

Yang ketiga, adalah kebutuhan manusia kepada Kesehatan jiwa dan kekuatan
spiritualitas. Dalam mencapai tujuan dan cita-cita manusia menghadapi beragam
tantangan seperti bentuk goncangan jiwa yang menjadi penyebab utama timbulnya
berbagai penyakit fisik yang mengancam hidup dan krisis spiritual manusia
modern24. Manusia perlu menghidupkan Kembali tradisi yang bersesuaian dengan
nilai-nilai islam serta kehidupan sosial bermasyarakat yang sesuai nilai-nilai
keislaman. Bagi kaum beragama kesehatan mental bukanlah tujuan dari agama
melainkan suatu realitas bahwa manusia membutuhkan agama sebagai sistem
penyembuh psikis25.

Yang keempat, adalah pemenuhan kebutuhan kode etik. yakni kaidah-kaidah


etik yang dijadikan pijakan bersama dalam menjalani kehidupan yang damai,
tenang dan tenteram. Pada peradaban modern ini dimana terjadi reduksi
eksistensial dimensi kemanusiaan sebagai kekuatan menciptakan peradaban26.
Maka Peran penting agamalah untuk menjadi sumber dari ajaran kebaikan atau
etika untuk menunjukkan tindakan yang betul untuk melawan kekeliruan, yang
23
Hayana Liswi, ‘Kebutuhan Manusia Terhadap Agama’, Jurnal Ilmu Agama UIN Raden
Fatah, Vol. 12, No. 2, Februari 2018, Hlm,205.
24
Fathin Fauhatun, ‘Islam Dan Filsafat Perenial: Respon Seyyed Hossein Nasr Terhadap
Nestapa Manusia Modern’, Fuaduna: Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. 04 No.
01, Januari-Juni 2020, Hlm. 55.
25
Rifqi Rosyad, ‘Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental’, Syifa Al-Qulub, 2016,
Hlm. 20.
26
Nizar, ‘Hubungan Etika Dan Agama Dalam Kehidupan Sosial’, Perguruan Tinggi
Sulawesi Barat, Hlm. 32

7
benar melawan yang salah agar terhindar dari kehinaan. Sehingga pemenuhan
kode etik pada diri manusia sebagai penegasan hubungan jasmani, intelektual dan
rohaniyah27.

Yang kelima adalah karena kelebihan dan kekurangan manusia. Manusia


diberi kelebihan berupa akal. Tapi kelebihan itu jika hanya dikendalikan oleh
hawa nafsu dapat melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Maka keberadaan
agama dibutuhkan oleh manusia agar mampu mengendalikan hawa nafsunya28.
Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan yang
membuat manusia hilang terkendali dan mendorongnya berbuat kerusakan moral
maupun fisik29. Sedangkan tantangan dari luar berupa rekayasa dan upaya- upaya
tersengaja untuk menjauhkan manusia dari Tuhan-nya. Disinilah agama berperan
sebagai gambaran akan tatanan kehidupan yang baik dan terorganisir sebagai jalan
keluar dalam menghadapi masalah kehidupan dan menuju kehidupan yang lebih
baik30.

3. Muatan Agama

Agama membawa fitrah Tuhan yang merupakan bentuk perintah Tuhan


(wahyu) atau ajaran perintisnya. Ajaran ini minimal terdiri dari 3 unsur pokok
yaitu unsur keyakinan atau keimanan, unsur aturan-aturan berupa ritual, yang
terkait erat hubungan dengan manusia, dan unsur etika. Ketiga unsur inilah yang
paling mendasar dalam diri manusia, dalam prespektif worldview islam dari mana
asal usul dan kemana setelah mati adalah objek pembahasan akidah sementara
bagaimana hidup ini adalah objek pembahasan syariat.

A. Unsur Akidah

27
Makhfira Nuryanti; Lukman Hakim, ‘Pemikiran Islam Modern Syed Muhammad
Naquib Al-Attas’, Substantia, Volume 22 Nomor 1, April 2020, Hlm, 80
28
Ibid… 'Kebutuhan Manusia Kepada Agama', Hlm. 108.

29
Ibid… Miskahuddin. ‘Konsep Agama Menurut Al-Qur’an’, , Hlm. 67.
30
Ibid…‘Agama Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas’, Hlm. 169

8
Dalam Termonologi yang umum, Aqidah adalah iman yang teguh, kukuh dan
tanpa keraguan bagi orang yang meyakininya31. Perkara yang wajib dalam aqidah
adalah dibenarkan oleh hati dan jiwa sehingga menjadi kenyataan yang teguh dan
kokoh tanpa tercampuri keraguan dan kebimbangan oleh apapun. Akidah
Islamiyah adalah keyakinan terhadap Tuhan Allah SWT yang telah menciptakan,
mengatur dan mengendalikan seluruh alam semesta, beriman kepada malaikat-
Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan takdir baik dan buruk. Akidah
mengajarkan keteguhan dalam meyakini ssuatu kekuatan dahsyat yang sesuai
pada kenyataan dunia nyata32.Objek yang menjadi kajian aqidah meliputi tauhid,
iman, islam, ghaibiyat (hal-hal ghaib). Keyakinan aqidah dalam islam meliputi
keyakinan hati tentang Allah SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan
dengan lisan dan bentuk dua syahadat. aqidah harus berpegang ke dalam segala
aktivitas bernilai ibadah33. Aqibah kuat dilandaskan dalam iman yang teguh dan
keimanan kuat seseorang kepada Tuhan.

Kitab Aqidah yang berjudul Syarah Aqidah Al-Wasitiyah oleh Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawaz memaparkan nilai Pendidikan Tauhid dalam hubungannya
kepada Allah SWT dan hubungannya kepada Diri Sendiri34. Dalam hubungan
dengan Allah SWT nilai Rububiyah yang meng-Esakan Allah dalam segala
perbuatan-Nya sebagai pencipta segenap makhluk. Serta nilai Uluhiyyah meng-
Esakan Allah SWT dengan perbuatan hamba berdasarkan nilai taqarrub yang
disyariatkan, seperti do’a, nazar, tawakkal, rahbah, dan inabah. Hingga dapat
ditarik benang merah korelasi anatar sifat rububiyyah dan uluhiyyah bahwa Allah
SWT memiliki nama suci dan sifat-sifat kesempurnaan sehingga layak menjadi

31
Yazid Abdul Qadir Jawas. ‘Syarah Aqidah Alhussunnah Wal Jama’ah’: cet. XVI
(Jakarta.Pustaka Imam Syafi’i, 2017) ), Hlm 27.
32
W. Widyianto ‘Landasan Teori Aqidah’ repost UM. Surabaya, (2018), Hlm. 17
33
Ahmad Nawawi, Pengantar Studi Islam, penerbit Azzagrafika, (Yogyakarta, Maret
2015), Hlm. 85
34
Muhammad Lutfi, ‘Nilai Pendidikan Tauhid Dalam Kitabnya Karya Shalih Bin Fauzan
Bin Abdullah Al-Fauzan’ Perguruan Tinggi Malang, Juni 2016, Hlm.85.

9
Tuhan yang disembah dan diibadahi35. dan tauhid Asma’ wa shifat yang meyakini
bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah SWT dan hanya Allah SWT
yang memiliki sifat kesempurnaan, keperkasaan, dan kemuliaan yang dipahamkan
dengan menampikan segala sifat yang berlawanan Asma’ wa Shifat-Nya36.
Sementara bagi yang menafikkan hal tersebut, ia telah melakukan kesalahan dan
berpaling dari jalan yang lurus37. Ketiga pondasi utama tersebut sebagai penilai
iman seseorang dalam tauhid.

Aqidah merupakan keyakinan dari seorang muslim, yakni perkara yang


diyakini dengan hati sehingga jiwanya menjadi tenang serta yakin mantap akan
keyakinannya. Agama tidak bisa terlepas dari tauhid yang mengimani adanya
Tuhan yang menciptakan makhluk dan dunia serta segala isinya38. Dampak dari
keyakinan bahwa adanya aturan pasti yang mengikat alam semesta ini adalah agar
terjaganya perilaku selama hidup di dunia dan menjalani hidup dengan penuh
makna39.

B. Unsur Syariah

Bahwa hukum yang baik adalah pemegang peranan kunci dalam menciptakan
keseimbangan tatanan yang baik. Bagi umat islam unsur Syari’ah dan ritual atau
hukum, adalah ajaran adanya keterkaitan dengan ritual agama dan aturan-aturan
yang terkait dengan hubungan atau interaksi masyarakat40 antarmanusia. Ibadah
ini adalah simbol ketundukan mutlak seorang hamba kepada Sang Pencipta dan
mencakup segala aspek hukum politik publik dan perorangan 41. Dapat pula
35
Lalu Heri Afrizal, ‘Rububiyah dan Uluhiyyah sebagai Konsep Tauhid (Tinjauan Tafsir,
Hadits dan Bahasa)’ TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1, Februari 2018, Hlm. 48.
36
Aswar, ‘Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid Dalam Asma’ Wa Al-Shifat Menurut Shalih Bin
Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan’, UIN Sutan Syarif, 2011, Hlm. 68
37
Abdullah bin Abdul-Aziz, ‘Cara Mudah Memahami Aqidah Sesuai Al-Qur’an dan As-
Sunnah serta Pemahaman Salafus Shalih’ (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), Hlm. 53
38
Nur Akhda Sabila, ‘Integrasi Aqidah dan Akhlak (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali)’,
Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2019, Hlm. 78
39
Kerangka Dasar Ajaran Islam……Hlm. 8.
40
Muhammad Kholidul Adib, ‘Rekonstruksi Syariat: Pemikiran Muhammad Said Al-
Asymawi’, jurnal At-Taqaddum, Vol. 3, No. 2, November 2011, Hlm. 145
41
Nurhayati, ‘Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih’, Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2018, Hlm. 125 & 128.

10
berupa tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural
tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya. Syariat
merupakan norma hukum dasar yang dilihat dari segi ilmu hukum yang ditetapkan
Allah SWT dan diwajibkan diikuti oleh orang Islam.

Syariah artinya membuat undang-undang, menerangkan perjalanan, dan adat


kebiasaan. Syariah adalah jalan ke sumber mata air, juga berarti jalan lurus, jalan
yang lempang, tidak berkelok-kelok, jalan raya. Penggunaan kata syari‟ah
bermakna yang ditetapkan Allah SWT untuk umat islam melalui para Nabi dan
Rasul agar manusia hidup selamat di dunia maupun di akhirat. Namun
pemahaman syariat pada akhir-akhir ini berubah menjadi system islam dan
kesepakatan para ulama/qiyas untuk memutuskan suatu hukum atau kaidah. Hal
ini sangat berbahaya karena mencampuradukkan antar agama dengan pemikiran
keagamaan.42 Para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian “Syariah”
yang lebih tegas untuk membedakannya dengan “Ilmu Fiqh”. Yang paling mudah
untuk dipahami perbedaan antara syari’ah dan fiqh dapat dihimpun ke dalam
poin-poin berikut; Syari’ah tidak pernah salah karena telah satu paket diturunkan
Bersama Al-Qur’an, Syari’ah lebih umum dan luas yakni mencakup segala bidang
sedangkan fiqh hanya sisi amaliyah saja, Syari’ah mengikat semua manusia dan
bersifat tetap sedangkan fiqh berubah sesuai perubahan zaman, tempat, kondisi,
dll43.

Ruang lingkup Syari’ah meliputi ibadah dan muamalat44. Ibadah yang


merupakan bentuk hubungan kepada Allah SWT seperti thaharah, shalat, zakat,
dan haji. Terdapat manfaat dan kebaikan yang terkandung di setiap syari’ah yang
dilakukan manusia sebagaimana kedudukannya sebagai ajaran yang baik dan
tercantum jelas didalam Al-Qur’an45. Kedudukan syari’ah sebagai bukti aqidah
karena setiap perbuatan manusia dilandasi oleh keyakinan hati yang tunduk dan
42
Ibid…‘Rekonstruksi Syariat: Pemikiran Muhammad Said Al-Asymawi’, Hlm. 151.
43
Sutomo Abu Nashr, ‘Antara Fiqh dan Syariah’, penerbit Rumah Fiqh, (Jakarta
Selatan:2018), Hlm. 18.
44
Ibid….’Kerangka Dasar Ajaran Islam’, Hlm. 9.
45
Bab VI Buku PAI , edukasi, Hlm. 61.

11
patuh terhadap kehendak Allah SWT (aqidah) serta refleksi panggilan hati
manusia yang berakidah karena kewajibannya sebagai umat islam. Tujuan ibadah
ini bukan hanya mencakup aspek ritualitas ataupun formalitas46, namun semua itu
diarahkan dalam membentuk integritas dan kesejatiaan diri sebagai manusia. Jadi
kepentingan bersyari’ah ini bukanlah kehendak sepihak melainkan telah menjadi
fitrah yang Allah SWT turunkan dalam hakikat manusia. Dikatakan pula syari’ah
didefinisikaan sebagai aturan yang bersifat global (ijmah) serta sebagai
seperangkat aturan47. Sekedar beribadah tanpa berakidah atau keyakinan tidak
dapat dikatakan sebagai muslim begitupula sebaliknya maka kedua unsur tersebut
harus bersinergi satu sama lain.

C. Unsur Akhlak

Unsur akhlak atau etika, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan. Dari Bahasa Arab,
merupakan bentuk jama’ dari (khuluq) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, atau tabiat dan dapat pula diartikan sebauh gambaran batin manusia yang
sebenarnya48. Akhlak adalah cara kita menyikapi, berperilaku, dan
memperlakukan diri kita sendiri dan pihak lain karena ada akhlak atau etika
kepada Allah, diri sendiri, bianatang, tumbuhan, keluarga, berpolitik, berbisnis,
bahkan berdagang. Dalam hubungan dan sebagainya. Definisi akhlak secara
linguistik memiliki dua sisi, yakni; bathiniha/psikis dan perilaku lahiriah 49. Akhlak
yang diungkapkan oleh Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
daripadanya terlahir perbuatan-perbuatan mudah tanpa memerlukan pertimbangan
dan pemikiran50.
46
M. Sabarudin Nasir, ‘Islam, Akidah Dan Syariah (Studi Pemikiran Keagamaan Syeikh
Mahmud Syaltut)’, Perguruan Tinggi UNSADA, 2020, Hlm. 12.
47
Syafaul Mudawam, ‘Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang Konstruksi Pemikiran
Kontemporer)’, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. II, Juli-Desember
2012, Hlm. 208
48
Alnida Azty, ‘Hubungan antara Aqidah dan Akhlak dalam Islam’, Journal of
Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), Vol. 1, No. 2, Desember 2018, Hlm. 124.
49
Nur Akhda Sabila, ‘Integrasi Aqidah dan Akhlak (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali)’,
Nalar: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam Vol. 3, No. 2, Desember 2019, Hlm. 79.
50
ibid

12
“Sesunggunya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” H.R. Ahmad.

Apabila perbuatan-perbuatan manusia (syari‟ah) dikelompokkan menjadi


ibadah dan mu’amalah, maka akhlak pun dapat dikelompokkan menjadi tiga51,
yaitu: Akhlak Pada Allah, Akhlak Pada Manusia dan Akhlak terhadap alam
sekitar. Akhlak kepada Allah adalah tanda terimakasih kita pada-Nya. Contoh
akhlak kepada Allah: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Akhlak kepada manusia adalah cara kita untuk menemukan kemanfaatan bagi
hidup bersama. Contoh akhlak kepada manusia: menghormati orangtua, menolong
orang lain, menghormati hak orang lain, dsb. Akhlak menghormati orangtua
terdapat pada firman Allah SWT dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15. Allah SWT
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini untuk mengelola dan
membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam semesta dan wajiblah manusia
untuk melestarikan dan memelihara alam dengan baik52.

Kedudukan akhlak dalam ajaran Islam adalah hasil, dampak, atau buah dari
perbuatan-perbuatan (syari‟ah) yang dilandasi keyakinan hati tunduk dan patuh
secara sukarela pada kehendak Allah (aqidah)53 sebab jika seorang beraqidah
benar niscaya akhlaknya benar dan begitu pula sebaliknya bila salah. Sebuah
ketetapan dijalankan dan diakui kebenarannya tanpa keraguan akan menghasilkan
akhlak yang berupa etika seperti moral baik kepada norma dan aturan dalam
kehidupan manusia54. Seperti halnya adalah jujur pada diri sendiri yang
merupakan bagian dari akhlak adalah dampak perbuatan puasa (syari‟ah) yang
dilandasi keyakinan hati (aqidah) bahwa dengan puasa kita dapat berempati
terhadap penderitaan orang lain yang menjalani hidupnya serba kekurangan55.

51
Nurhayati, ‘Akhlak Dan Hubungannya Dengan Aqidah Dalam Islam’, STAI PTIQ
Banda Aceh, Jurnal Mudarrisuna, Volume 4, Nomor 2 (Juli – Desember 2014), Hlm. 300.
52
M. Quraish Shihab, ‘Wawasan Al-Qur‟an’, Bandung, Mizan 2006, hal. 270.
53
Ibid….‘Hubungan antara Aqidah dan Akhlak dalam Islam’ Hlm. 126
54
Zuriah Nurdin, ‘Hubungan Aqidah, Syariat Dan Akhlak’, jurnal Syi’ar, Vol. 8, No. 2
Agustus 2008, Hlm. 108.
55
Ibid….Hlm. 109.

13
Semakin serius bagian-bagian iman itu diwujudkan dalam diri seseorang,
semakin sempurna imannya. Sehingga dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad
saw. bersabda: “Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah orang yang
akhlaknya paling baik terhadap istrinya.”56 (Tirmidzi: 1162) Target dari akhlak
adalah berakhlak kepada Allah dan Makhluk-Nya, bukan hanya masalah manusia
saja. Atas dasar itu, maka benar akar akhlak adalah akidah dan pohonnya adalah
syariah. Akhlak itu sudah menjadi buahnya. Buah itu akan rusak jika pohonnya
rusak, dan pohonnya akan rusak jika akarnya rusak. Oleh karena itu akar, pohon,
dan buah harus dipelihara dengan baik 57. Sifat seseorang sangat dipengaruhi dari
ketaatan seseorang pada suatu keyakinan hingga ia menjalankan ketentuan yang
ditetapkan kepadanya.

KESIMPULAN

Dari banyak presfektif sarjana hebat seperti Syed Naquib Al-Attas hingga
Sayyied Hoessan Nasr, agama dalam konteks ‘Din’ diartikan sebagai hutang
manusia kepada Tuhan karena telah menjadikannya selama hidup sebagai wujud
nyata. Pada masa manusia modern saat ini, agama tidak hanya berwajah iman dan
ibadah, melainkan juga tumbuh menjadi gejala ekonomi, sosial budaya, politik,
dan fenomena sosio-historis lainnya dalam kehidupan umat manusia. Tuntutan
beragama tidak terlepas sebagai fitrah alamiyah setiap manusia dan menjadi
pelengkap untuk setiap kelebihan serta kekurangannya. Agama sendiri tidak
semata sekedar iman dan yakin tanpa amalan apapun. Tapi landasan utamanya
semua peribadatan kepada Tuhan tidak akan dapat dipisahkan dari hubungan dan
ikatan simpul tetap antara akidah, syari’ah dan akhlak.

56
Ibid…. ‘Integrasi Aqidah dan Akhlak (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali)’ Hlm.81.
57
Syarifah Habibah, ‘Akhlak Dan Etika Dalam Islam’, JURNAL PESONA DASAR
Universitas Syiah Kuala Vol. 1 No. 4, Oktober 2015, Hlm. 75.

14
Sangat disarankan bagi semua generasi islam di masa modern ini untuk
mengembalikan hakikat sesungguhnya daripada iman dalam tauhid agama.
Sebagaimana menjalankan syari’at adalah tidak dapat terlepas dari akidah yang
kuat dan kokoh agar menjadikan pribadi setiap individu berakhlak karimah dan
demi kebaikan dalam kehidupan.

Daftar Pustaka

Adib, Muhammad Kholidul, ‘Rekonstruksi Syariat’, (2011), pp. 145–64

15
Afrizal, Lalu Heri, ‘Rububiyah Dan Uluhiyyah Sebagai Konsep Tauhid’,
TASFIYAH, 2.01 (2018), 41–74

Al-Attas, Syed Naquib, ‘Risalah Untuk Kaum Muslimin (Syed Muhammad


Naquib Al-Attas)’ Kuala Lumpur: KPG. Recources, (2001), pp. 1–222

Azty, Alnida, Lufita Sari Sitorus, Muhammad Sidik, Muhammad Arizki, Najmi
Adlani Siregar, Nur Aisyah Siregar, and others, ‘Hubungan Antara Aqidah
Dan Akhlak Dalam Islam’, 1.2 (2018), 122–26

Fauhatun, Fathin, ‘Islam Dan Filsafat Perenial’, Fauduna; Jurnal Keagamaan


Dan Kemasyarakatan, 04.01 (2020)

Habibah, Syarifah, ‘Pengertian Akhlak Dan Etika’, 1.4 (2015), 73–87

Irawan, Bambang, ‘Urgensi Tauhid Dalam Membangun Epistemologi Islam’, 7.2


(2005)

Liswi, Hayana, ‘Kebutuhan Manusia Terhadap Agama’, Jurnal Ilmu Agama UIN
Raden Fatah, 12.2 (2018), 201–23

Miskahuddin, Miskahuddin, ‘Konsep Agama Menurut Al-Qur’ân’, Jurnal Ilmiah


Al-Mu’ashirah, 14.1 (2017), 64 <https://doi.org/10.22373/jim.v14i1.2240>

Mulyadi, ‘Agama Dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan’, Jurnal Tarbiyah Al-


Awlad, 7.2 (2016), 556–64

Nawawi, Ahmad, Pengantar Studi Islam, ed. by Hakim Syah, 1st edn
(Yogyakarta: Azzagrafika, 2015)

Nizar, ‘Hubungan Etika Dan Agama Dalam Kehidupan’, 27–35

Novianti, Kurnia, ‘Kebudayaan , Perubahan Sosial , Dan Agama Dalam’, Jurnal


Harmoni, 12.2 (2013), 8–20

Nuryanti, Makhfira, Lukman Hakim, Universitas Islam, and Negeri Ar-raniry


Banda, ‘Pemikiran Islam Modern Syed Muhammad Naquib Al-Attas’,
22.April (2020), 73–84

Rosidah, Feryani Umi, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Studi Agama’,


Religio:Jurnal Studi Agama-agama, Vol. 1, No.1, Maret (2011), 24-32

16
Rosyad, Rifqi, ‘Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental’, Syifa Al-Qulub,
(2016), 17–26

S.Pd.I, Izzah Fauziah, ‘Pemikiran Syed Naquib Al-Attas Tentang Pendidikan


Islam’, (2014), 1–99

Sabila, Nur Akhda, ‘Integrasi Aqidah Dan Akhlak ( Telaah Atas Pemikiran Al-
Ghazali )’, 3.2 (2020), 74–83 <https://doi.org/10.23971/njppi.v3i2.1211>

Selayang, Simpang, ‘Islam Agama Dan Peradaban’, 11.1 (2015), 151–68

Syariffudin, ‘Agama Dan Benturan Peradaban’, Jurnal Substantia, 16 (2014),


229–42

Waston, ‘Hubungan Sains Dan Agama: Refleksi Filosofis Atas Pemikiran Ian G.
Barbour’, Jurnal Profetika, 15.1 (2014), 76–89

17

Anda mungkin juga menyukai