1
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan
Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang, 2008) hlm. 5.
144
145
timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.2
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai
dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya
dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Bila kata kerukunan ini
dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar
bangsa, pengertian rukun atau damai ditafsirkan menurut tujuan, kepentingan dan
kebutuhan masing- masing, sehingga dapat disebut kerukunan sementara,
kerukunan politis dan kerukunan hakiki. Kerukunan sementara adalah kerukunan
yang dituntut oleh situasi seperti menghadapi musuh bersama. Bila musuh telah
selesai dihadapi, maka keadaan kembali seebagaimana sebelumnya. Kerukunan
politis sama dengan kerukunan sebenarnya karena ada sementara pihak yang
merasa terdesak. Kerukunan politis biasanya terjadi dalam peperangan dengan
mengadakan genjatan senjata untuk mengulur- ulur waktu, sementara mencari
kesempatan atau menyusun kekuatan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah
kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat bersama demi kepentingan
bersama. Jadi kerukunan hakiki adalah kerukunan murni, mempunyai nilai dan
harga yang tinggi dan bebas dari segla pengaruh dan hipokrisi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram
saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda,
kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang
atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang
diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk menerima
perbedaan. Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan
menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina kehidupan
sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati yang penuh
ke ikhlasan. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh
sikap saling menerima saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai,
serta sikap saling memaknai kebersamaan. Berdasarkan pemaparan di atas maka
pengertian dari kerukunan umat beragama adalah kondisi dimana antar umat
2
Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta, Puslitbang, 2005) hlm : 7-8
146
3
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997)
4
Ibnu Rusydi, Siti Zolehah, MAKNA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM
KONTEKS KEISLAMAN DAN KEINDONESIAN. al-Afkar, Journal for Islamic Studies. Vol. 1,
No.1, January 2018 (19 april 2019)
148
Terjemahnya:
152
“Janganlah satu kaum menghina kaum lain, karena mungkin yang dihina
itu lebih baik dari pada yang menghina (QS. Al-Hujarat [49]: 11)
Harusnya kita lebih tahu tentang prinsip Islam yang dibawa Muhammad
Saw. Bahwa pengadilan dan hukuman adalah milik Allah, secara eksplisit
berhubungan dengan prinsip terdahulu, keinginan akan keragaman keyakinan
manusia, dalam Q.S Al-Baqarah ayat 272, disebutkan:
Terjemahnya:
7
Abdurrahman Wahid, Islam Ku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, The Wahid
Institute,2006) hlm. 351.
153
sudah terjadi sejak masa Rasul saw, disamping juga tidak jarang dalam masalah-
masalah keagamaan, Nabi membenarkan pihak-pihakyang berbeda.8
4. Kerukunan Intern Umat Islam
Umat Islam merupakan bagian terbesar dari tubuh Bangsa Indonesia, maka
oleh karenanya memerlukan perhatian yang terbesar pula dalam penanganan
usaha pembinaan kerukunannya, melalui pelembagaan dalam pengalaman ajaran
Islam itu sendiri.
Pengertian "pelembagaan" di sini bukan bentuk lembaga, organisasi/
yayasan/jama’ah atau badan yang menurut kebiasaan perundang-undangan yang
berlaku sering mempunyai kedudukan sebagai "badan hukum", akan tetapi
termasuk kebiasaan atau pelembagaan yang mau tidak mau menimbulkan
kerjasama diantara warga masyarakat beragama Islam dalam melaksanakan
ketentuan ajaran yang lazim disebut dengan "fardu kifayah".
Fardu kifayah artinya "kewajiban yang bersifat kolektif" mencakup semua
kegiatan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara, meliputi :
a. Mendirikan shalat Jum’ah, yang menumbuhkan kerjasama membangun
masjid dan administrasi kemesjidan;
b. Memberikan nasehat dan fatwa dalam arti menyebarkan ilmu (al-ifta’ fi
majalisil ‘ilm), yang secara konkrit berbentuk penyiaran agama dan
pendidikannya (adda’wah wattarbiyah);
c. Menyelenggarakan kesejahterana umum, seperti memelihara anak yatim,
mengurusi kematian, menyelenggarakan ketertiban umum dan
kesejahteraannya (maslahah ‘ammah, amar ma’ruf nahi mungkar);
d. Melaksanakan peradilan dalam arti menyelesaikan sengketa (al-qadla’);
e. Mendirikan kepemimpinan umat dalam bentuk negara (imamah) termasuk
di dalamnya pelaksanaan kekuasaan (imarah), penyelenggaraan hukum
(tahkim) serta administrasi dan perundang-undangan (tasyri’).
Pemahaman tentang arti fardhu kifayah dalam kaitannya dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara inilah yang diharapkan dapat mendorong
8
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat), (Jakarta, Mizan, 1992) hlm. 362.
154
terciptanya "kerukunan intern beragama Islam yang lebih mantap" sebagai salah
satu unsur yang penting dalam pemantapan Stabilitas dan Ketahanan Nasional.
Oleh karena dari sudut pandangan ajaran Islam dapat difahami, bahwa "kehidupan
bermasyarakat dan bernegara" itu tidak lain merupakan manifestasi bersama dari
pengabdian Umat dan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.9
Kerukunan intern umat beragama yang masih sering kali menunjukkan
gejala-gejala yang kurang mantap, bahkan pula menimbulkan pertentangan dan
perpecahan intern umat beragama, perlu selalu ditingkatkan pembinaannya.
Segala persoalan yang timbul di lingkungan intern umat beragama, hendaknya
dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa dan dengan
semangat kekeluargaan sesuai dengan ajaran agama dan Pancasila.
Masalah kehidupan beragama di dalam masyarakat kita merupakan
masalah yang sangat peka (sensitif) bahkan merupakan masalah yang paling peka
diantara masalah sosial-budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu masalah sosial
akan menjadi semakin ruwet (complicated) jika masalah tersebut menyangkut
pula masalah agama dan kehidupan beragama.
Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan
patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang
mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan
kesejahteraan kehidupan umat manusia pada khususnya, dan semua makhluk
Allah pada umumnya. Kondisi itu akan terwujud apabila manusia sebagai
penerima amanah Allah dapat menjalankan aturan tersebut secara benar dan
“kaafah”.
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama,
Nabi pertama, yaitu Nabi Adam. Agama Islam itu kemudian Allah turunkan
secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya. Akhir
9
Ibid., hal. 58-59
155
dari proses penurunan agama Islam itu baru terjadi pada masa kerasulan
Muhammad Saw pada awal abad ke-VII Masehi. Islam sebagai nama dari agama
yang Allah turunkan belum dinyatakan secara eksplisit pada masa kerasulan
sebelum Muhammad Saw, tetapi makna dan substansi ajarannya secara implisit
memiliki persamaan yang dapat difahami dari pernyataan sikap para Rasul
sebagaimana Allah swt berfirmankan dalam Q.S a1- Baqarah ayat 132. Yang
berbunyi:
Tejemahnya:
a. Sesuai dengan fitrah hidup manusia, artinya: (1) ajaran agama Islam
mengandung petunjuk yang sesuai dengan sifat dasar manusia, baik dari
aspek keyakinan, perasaan, maupun pemikiran, (2) sesuai dengan
kebutuhan hidup manusia, (3) memberikan manfaat tanpa menimbulkan
komplikasi, dan (4) menempatkan manusia dalam posisi yang benar.
Kondisi itu ditegaskan oleh Allah dalam QS. 30 (al-Rum) : 30.
b. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran Islam berisi petunjuk-petunjuk
pada seluruh kehidupan manusia. Petunjuk itu adakalanya disebut secara
eksplisit, dan adakalanya disebut secara implisit. Untuk memahami
petunjuk yang bersifat implisit dilakukan dengan ijtihad. Penegasan
tentang kesempumaan ajaran Islam itu dijelaskan dalam QS. 5 (al-
Maidah): 3.
c. Kebenarannya mutlak. Kebenaran itu dapat dipahami karena ajaran Islam
berasal dari Allah Yang Maha Benar, dan dapat pula dipahami melalui
156
heran, aneh, dan ganjil. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari
tradisi leluhur yang telah mendarah-daging bagi masyarakat Arab, yang mereka
taati secara turun- temurun, dan mereka tidak mau tahu apakah tradisi tersebut
salah atau benar. Hal itu dijelaskan oleh Allah swt dalam Q.S al-Baqarah:170,
yaitu:
Terjemahnya:
Terjemahnya :
158
sendiri. Karena itu terhadap orang kafir selama mereka tidak mengganggu,
menyakiti atau memusuhi orang Islam, mereka juga tidak boleh dimusuhi.
f. Dll.
Terjemahnya:
Adapun akhlak sesama muslim yang diajarkan oleh syariat Islam secara
garis besarnya menurut K.H Abdullah Salim sebagai berikut:
a. Menghubungkan tali persaudaraan.
b. Saling tolong menolong.
c. Membina persatuan.
d. Waspada dan menjga keselamatan bersama.
e. Berlomba mencapai kebaikan.
f. Bersikap adil.
g. Tidak boleh mencela dan menghina.
h. Tidak boleh menuduh dengan tuduhan fasik atau kafir.
i. Tidak boleh bermarahan.
j. Memenuhin janji.
k. Saling memberi salam.
l. Menjwab bersin.
m. Melayat mereka yang sakit.
n. Menyelenggarakan pemakaman jenazah.
o. Membebaskan diri dari suatu sampah.
p. Tidak bersikap iri dan dengki.
q. Melindungi keselamatan jiwa dan harta.
r. Tidak boleh bersikap sombong.
s. Bersifat pemaaf.14
14
Abdullah Salim, Akhlak Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta:
Media Dakwah, 1994), hal. 123-153.
163
Sifat-sifat dan akhlak yang harus dipeliharan dan yang harus disingkirkan
diatas dimaksudkan untuk membina persaudaraan dan perdahabatan juga unutk
memelihara persatuan ukhuwah Islamiah.
2. Makna Ukhuwah Insaniyah
Terjemahnya:
Tejemahnya:
e. Saudara seagama15
Konsep ukhuwah kebangsaan yang digambarkan di atas, sungguh telah
terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang diplopori oleh nabi
Muhammadsaw. Kesuksesan dan teladan bangunan ukhuwah Madinah tersebut
akhirnya mengilhami para pemikir muslim kontemporer untuk mempersamakan
wacana civil society dari Barat dengan wacana masyarakat madani dalam Islam.
Upaya pencocokan ini sekalipun dipaksakan, memang sedikit banyak memiliki
titik temu yang cukup signifikan. Pertautan ini nampak jelas terutama pada proses
transformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masayarakat
madinah dengan proses bangsa Eropa (Barat) menuju masyarakat modern yang
kemudian sering disebut dengan civil society.20 Selanjutnya Nurcholish Madjid
mengungkapkan bahwa beberapa ciri mendasar dari ukhuwah masyarakat madani
yang dibangun oleh nabi Muhammad saw, antara lain (1) egalitarianisme; (2)
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan kesukuan, keturunan, ras,
dan sebagainya; (3) keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat yang
aktif; (4) penegakan hukum dan keadilan; (5) Sebenarnya jika dilihat lebih jauh
saudara seketurunan dan saudara sebangsa ini merupakan pengkhususan dari
persaudaraan kemanusiaan. Lingkup persaudaraan ini dibatasi oleh suatu wilayah
tertentu. Baik itu berupa keturunan, masyarakat ataupun oleh suatu bangsa atau
negara. toleransi dan pluralisme; (6) musyawarah.16
Dalam mewujudkan masyarakat tersebut, tentu saja membutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat
ukhuwah kebangsaan, dan nabi Muhammad telah memberikan keteladanan dalam
mewujudkan ciri-ciri ukhuwah seperti yang telah disinggung di atas.Untuk sampai
ke ukhuwah tersebut dapat dirujuk Q.S Ali Imran ayat 159, yakni ;
Terjemahnya :
15
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h.487-488
16
Nurcholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Adi Suryani Culla, (ed),
Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan Relevansinya dengan Era Reformasi (Cet.III; Jakarta:
PT. RajaGRafindo Persada, 2002) 192-193
166
Secara umum, paradigma ayat diatas memiliki empat kunci utama dalam
membangun ukhuwah kebangsaan.Pertama, bahwa membentuk pranata sosial
masyarakat itu haruslah elektif dan fleksibel, artinya faktor kultur, demografi dan
geografi suatu masyarakat sangat mempengaruhi strategi pembentukan
masyarakat. Kedua, sikap pemaaf terhadap pelaku kejahatan sosial guna
membangun masyarakat baru haruslah dijunjung tinggi, dengan
mengeyampingkan perubahan revolusioner yang justru akan memakan korban
harta dan nyawa yang tak terhitung. Ketiga, semua perilaku dan perubahan sosial
politik dalam pembentukan masyarakat harus dilandasi upaya kompromi dan
rekonsiliasi melalui musyawarah mufakat, sehingga tercipta
demokratisasi.Keempat, para pelaku yang terlibat dalam proses pembentukan
masyarakat haruslah memiliki landasan moralitas.
Umat Islam kini sedang melewati masa-masa sulit. Akhir-akhir ini terjadi
berbagai aksi yang berkontribusi menguatkan dugaan bahwa Islam adalah agama
yang mengajarkan kekerasan dan umat Islam merupakan komunitas yang tidak
toleran.18 Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditengah-tengah kaum muslim tersebut
telah membentuk stereotype yang menyudutkan umat islam sebagai bagian
17
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur'anTerjemah, 70
18
Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni al-Azhar dan Pusat Studi
al-Qur’an, 2013), 249.
167
masyarakat dunia yang intoleran dan tidak dapat hidup berdampingan dengan
komunitas lain.
Anggapan tersebut tidaklah tepat. Sebab faktanya, ketika umat Islam
menjadi mayoritas pada suatu wilayah tertentu, keberadaan kelompok minoritas
non-Muslim dapat dengan leluasa melakukan aktivitasnya. Namun berbanding
terbalik jika umat islam berada di tengah-tengah mayoritas non-Muslim,
penganiayaan dan penindasan selalu menjadi potret buram yang seolah-olah
dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional. Sejarah menyaksikan,
bahwa kaum Muslim dapat hidup berdampingan dengan komunitas non-Muslim
dalam kondisi yang aman. Bahkan dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad saw
telah menyusun aturan dalam menjalin toleransi antara Islam dan agama-agama
lain di Madinah,19 yang dikenal dengan “Mitsaq al Madinah”.20 Di antara butir
perjanjian itu berbunyi, “Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan
orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi adalah agama mereka dan bagi
orang-orang Mukmin agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri mereka
sendiri. Hal ini berlaku bagi orang-orang Yahudi selain Bani Auf.”21
Dalam pandangan Islam, warga negara yang mendiami wilayah yang di
dalamnya diterapkan syariat Islam dibagi menjadi dua golongan; yaitu Muslim
dan non-Muslim. Warga negara non-Muslim disebut sebagai ahl al-dzimmah,
yang berarti orang yang berada dalam perlindungan.22 Islam menempatkan semua
orang yang tinggal di negara islam sebagai warga negara dan mereka semua
berhak memperoleh perlakuan yang sama.23 Negara berkewajiban menjaga dan
19
Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Mustafa al-Saqa’, Jilid 1, (Mesir:
Mustafa al-Babi al-Hilyi, Cet. 2, 1375 H/ 1955 M), 501
20
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996), 1028-1032
21
Teks “Piagam Madinah” ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Ibn Hisyam, Al-Sirah al
Nabawiyyah, 501. Lihat juga dalam: Saifurrah}man al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, Cet. 19, 2005), 255
22
Yusuf al-Qard}awi, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islamiy, (Kairo: Maktabah
Wahbah, Cet. ke-3, 1413 H/ 1992 M), 7
23
Abu al-A’la Maududi, Human Right In Islam, (Islamabad: Da’wah Academy, IIUI,
1998), 10.
168
24
Abu al-A’la Maududi, Teori Politik Islam, Terj. Salahudin Abdullah, (Bandung: al-
Ma’arif, 1960), 37.
169
orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Bila orang Islam
memiliki kekuasaan politik dalam sebuah negara Islam, maka kafir "dzimmi" ini
menjadi warga negara Islam. Sebagai kompensasi dari dzimmah, perjanjian dan
tanggungan keamanannya tersebut mereka wajib membayar jizyah. pajak kepada
pemerintah muslim. Ketentuan tersebut dijelaskan oleh Allah swt dalam Q.S Al-
Taubah ayat 29, yang berbunyi:
Terjemahnya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang orang) yang diberikan al
kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS.Al-Taubah [9]: 29)
Kebersamaan hidup antara orang Islam dengan non muslim telah
dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup
di Madinah setelah hijrah. Rasulullah mengikat perjanjian penduduk Madinah
yang terdiri dari orang-orang kafir dan muslim untuk saling membantu dan
menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga pernah
menggadaikan baju besinya dengan gandum kepada orang Yahudi ketika umat
Islam kekurangan pangan.
2. Batas-batas Toleransi
Toleransi beragama dipahami sebagai sikap seseorang untuk menerima
perbedaan pandangan, keyakinan, dan praktek atau prilaku sambil pada saat yang
sama menangguhkan penilaian, serta pemahaman mengapa orang lain memiliki
keyakinan dan melakukan praktek keagamaan atau berperilaku tertentu yang
berbeda dengan yang dilakukannya.
Menurut Yong Ohoitimur, “toleransi mendorong usaha menahan diri
untuk tidak mengancam atau merusak hubungan dengan orang beragama lain.
Agama lain tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai pandangan atau
170
25
Yong Ohoitimur, “Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati”, dalam Th.
Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei,
2001), hlm. 142
26
Sebuah hadits Riwayat Thabarani mengklasifikasi tetangga ke dalam tiga macam:
“Tetangga ada tiga macam, (1) tetangga yang memiliki tiga macam hak, yakni hak pertetanggaan,
hak kekerabatan, dan hak keIslaman, (2) tetangga yang memiliki dua macam hak, yakni hak
pertetanggaan dan hak keIslaman, dan (3) Tetangga yang hanya memiliki satu hak ketetanggaan.
Ia adalah orang musyrik ahli kitab.” Fathur Rahman, Haditsun Nabawi (Yogyakarta: IAIN, 1966),
hlm. 180
171
dia juga harus mengenali batas- batas toleransi dalam interaksi dan mampu
mempertahankan dan menegakkan imannya dalam interaksi dengan penganut
agama yang berbeda . Fathi Osman menyatakan:
Al-Qur’ān mengisyaratkan bahwa Tuhan dan ajaran-Nya haruslah
diletakkan di atas setiap kepatuhan kepada kelompok atau wilayah tertentu.
Namun demikian, sejauh prinsip ini diamati, kepatuhan kepada keluarga
seseorang dan himpunan manusia lainnya dan kepada tanah air seseorang
diperkenankan, karena kaum muslim hidup dalam kelompok-kelompok yang
lebih luas dan dalam wilayah-wilayah di mana mereka dapat tumbuh
berkembang mereka harus hidup dengan agama-agama dan sekte-sekte
lain.27
Pembatasan juga diperlukan terhadap hak kebebasan beragama, meskipun
hak kebebasan tersebut dilindungi oleh UUD 1945 maupun UDHR. Pembatasan
diperlukan untuk untuk membangun keseimbangan antara hak untuk mengajarkan
agama dan hak orang lain untuk tidak dilanggar forum internum-nya. Terdapat
beberapa dasar untuk pembatasan dengan merujuk kepada beberapa yurisprudensi
tertentu, yaitu:
a. Pembatasan demi perlindungan keamanan publik;
b. Pembatasan untuk melindungi tatanan/ketertiban publik;
c. Pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik;
d. Pembatasan dalam rangka perlindungan moral;
e. Pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang
lain.28
3. Tanggung Jawab Sosial Umat Islam
Umat Islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam
kehidupan dunia ini. Demikian firman Allah dalam QS. 3 (Ali Imran): 110.
27
Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-
Qur’ān, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), hlm. 5-6
28
Lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, “Permissible Restrictions on Freedom of
Religion or Belief” hlm. 147-160.
172
Kebaikan umat Islam itu bukan sekedar simbolik, karena telah mengikrarkan
keyakinan Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad saw sebagai Rasulullah,
tetapi karena identifikasi diri sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk
menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah dan berlaku sosial.
Dalam a1-Qur an kedua komitmen itu disebut hablun minallah dan hablun
minannas . Allah mengingatkan akan resiko kehinaan bagi manusia yang tidak
mau menunjukkan komitmen kehidupannya pada kedua aspek tersebut.
Bentuk tanggung jawab sosial umat Islam meliputi berbagai aspek
kehidupan, di antaranya adalah:
a. Menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dalam sebuah Hadist
Rasulullah menjadikan kebaikan seseorang kepada tetangganya
menjadi salah satu indikator keimanan. Pada masyarakat pedesaan
yang relatif homogen dan penduduknya menetap, komunikasi mereka
pada umumnya lebih intensif dan akrab, tetapi bagi masyarakat
perkotaan yang relatif heterogen dan penduduknya terdiri para
perantau dengan tingkat kesibukannya tinggi, komunikasi sosial
mereka relatif lebih renggang.
b. Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib
dalam bentuk zakat maupun yang sunnah dalam bentuk sedekah. Harta
adalah rezeki yang Allah karuniakan kepada para hamba-Nya yang
harus disyukuri baik secara lisan maupun melalui pemanfaatan secara
benar. Dalam QS. 14 (Ibrahim): 7 Allah berfirman: "Dan (ingatlah)
tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
c. Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah bila ada
anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantarkan jenazahnya
sampai di kubur.
d. Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat
yang memerlukan bantuannya. Rasulullah melarang orang Islam
menolak permintaan bantuan orang lain yang meminta kepadanya
173
Terjemahnya:
Di samping sistem dan sarana pendukung, amar ma’ruf dan nahi munkar
juga memerlukan kebijakan dalam bertindak. Karena itu Rasulullah memberikan
tiga tingakatan, yaitu: (1) menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu;
(2) menggunakan lisan; dan (3) dalam hati apabila langkah pertama dan kedua
tidak memungkinkan. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem di
antaranya adalah:
a. Mendirikan masjid
b. Menyelenggarakan pengajian
c. Mendirikan lembaga wakaf
d. Mendirikan lembaga pendidikan Islam
e. Mendirikan lembaga keuangan atau perbankan syari’ah
f. Mendirikan media masa Islam: Koran, radio, televisi, dan yang lain
g. Mendirikan panti rehabilitasi anak-anak nakal
h. Mendirikan pesantren
i. Menyelenggarakan kajian-kajian Islam 10.
j. Membuat Jaringan informasi sosial.
k. Dll.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan (et.al), 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve)
Teks “Piagam Madinah” ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Ibn Hisyam, Al-
Sirah al Nabawiyyah, 501. Lihat juga dalam: Saifurrah}man al-
Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, Cet. 19,
2005)