Anda di halaman 1dari 35

BAB VI

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

A. PENGERTIAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


1. Pengertian Kerukunan
Kata kerukunan berasal dari kata dasar rukun, kata “rukun” secara
etimologi, berasal dari bahasa Arab yang berarti tiang, dasar, dan sila. Kemudian
perkembangannya dalam bahasa Indonesia, kata “rukun” sebagai kata sifat yang
berarti cocok, selaras, sehati, tidak berselisih. Dalam bahasa Inggris disepadankan
dengan harmonious atau concord. Dengan demikian, kerukunan berarti kondisi
sosial yang ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan, atau ketidak berselisihan
(harmony, concordance). Dalam literature ilmu sosial, kerukunan diartikan
dengan istilah intergrasi (lawan disintegrasi) yang berarti the creation and
maintenance of diversified patterns of interactions among outonomous units.
Menurut Imam syaukani rukun berarti: (1) baik dan damai, tidak
bertentangan: kita hendaknya hidup rukun dengan tetangga: (2) bersatu hati,
bersepakat: penduduk kampng itu rukun sekali. Merukunkan berarti: (1)
mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1) perihal hidup rukun;
(2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama.1
Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Kerukunan (dari
ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopangrumah; penopang
yang memberi kedamaian dan kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas
bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua
orangwalaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.
Ridwan Lubis berpendapat bahwa kerukunan merupakan kondisi dan
proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interraksi yang beragam diantara
unit-unit (unsure / sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan

1
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan
Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang, 2008) hlm. 5.

144
145

timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.2
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai
dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya
dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Bila kata kerukunan ini
dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar
bangsa, pengertian rukun atau damai ditafsirkan menurut tujuan, kepentingan dan
kebutuhan masing- masing, sehingga dapat disebut kerukunan sementara,
kerukunan politis dan kerukunan hakiki. Kerukunan sementara adalah kerukunan
yang dituntut oleh situasi seperti menghadapi musuh bersama. Bila musuh telah
selesai dihadapi, maka keadaan kembali seebagaimana sebelumnya. Kerukunan
politis sama dengan kerukunan sebenarnya karena ada sementara pihak yang
merasa terdesak. Kerukunan politis biasanya terjadi dalam peperangan dengan
mengadakan genjatan senjata untuk mengulur- ulur waktu, sementara mencari
kesempatan atau menyusun kekuatan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah
kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat bersama demi kepentingan
bersama. Jadi kerukunan hakiki adalah kerukunan murni, mempunyai nilai dan
harga yang tinggi dan bebas dari segla pengaruh dan hipokrisi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram
saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda,
kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang
atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang
diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk menerima
perbedaan. Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan
menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina kehidupan
sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati  yang penuh
ke ikhlasan. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh
sikap saling menerima saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai,
serta sikap saling memaknai kebersamaan. Berdasarkan pemaparan di atas maka
pengertian dari kerukunan umat beragama adalah kondisi dimana antar umat

2
Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta, Puslitbang, 2005) hlm : 7-8
146

beragama dapat saling menerima, saling menghormati keyakinan masing-masing,


saling tolong menolong, dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama.
2. Kerukunan Umat Beragama
Pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, sebagaimana dilakukan pada
masa Orde Baru, misalnya, memang dipandang telah berhasil. Tetapi didalamnya
tersimpan bahaya laten berupa terlalu lama menyimpan ketidakpuasan,
keberpihakan, represif, dan lain-lain yang suatu saat bisa meledak. Sebagaimana
kita lihat bersama, sejarah telah membuktikan itu, yang sampai sekarang masih
terasa dampaknya. Yang diperlukan sekarang, bukan hanya kebijakan pemerintah
melalui berbagai peraturan kerukunan hidup antar ummat beragama, tetapi jauh
dari itu adalah bagaimana menanamkan dan memunculkan kesadaran, bahwa
hidup rukun, damai, dan penuh persaudaraan di alam yang penuh perbedaan tanpa
permusuhan merupakan perintah agama.
Istilah kerukunan umat beragama pertama kali dikemukakan oleh Menteri
Agama, K.H. M. Dachlan, dalam pidato pembukaan Musyawarah Antar Agama
tanggal 30 Nopember 1967 antara lain menyatakan: "Adanya kerukunan antara
golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas
politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet AMPERA. Oleh karena itu,
kami mengharapkan sungguh adanya kerjasama antara Pemerintah dan
masyarakat beragama untuk menciptakan “iklim kerukunan beragama ini,
sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu
benar-benar dapat berwujud”. Dari pidato K.H. M. Dachlan tersebutlah istilah
“Kerukunan Hidup Beragama” mulai muncul dan kemudian menjadi istilah baku
dalam berbagai dokumen negara dan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 1 angka (1) peraturan bersama Mentri Agama dan Menteri
Dalam No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala
Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat
dinyatakan bahwa: Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
147

menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam


kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mencermati pengertian kerukunan umat
beragama, tampaknya peraturan bersama di atas mengingatkan kepada bangsa
Indonesia bahwa kondisi ideal kerukunan umat beragama, bukan hanya
tercapainya suasana batin yang penuh toleransi antar umat beragama, tetapi yang
lebih penting adalah bagaimana mereka bisa saling bekerjasama.3
Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar utama dalam
memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia.
Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang
mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati,
harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan
kepribadian pancasila.4
Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep
kerukunan hidup umat beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu: (1) kerukunan
intern umat beragama; (2) kerukunan antar umat beragama; dan (3) kerukunan
antar umat beragama dengan pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut
dengan istilah “Trilogi Kerukunan”.
Suatu kerukunan dapat dilihat dalam Perundang-undangan Kerukunan dan
Toleransi antar Umat Beragama, yaitu:
a. Pancasila
Dasar kerukunan hidup antar umat beragama dapat dilihat dalam Pedoman
Penghayatan danPengalaman Pancasila sebagai tertuang dalam Tap MPR
No.II/MPR/1978 (MUI, 1988 : 33). Selanjutnya dapat dilihat pula dalam
butir-butir pengalaman sila pertama Pancasila.

3
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997)
4
Ibnu Rusydi, Siti Zolehah, MAKNA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM
KONTEKS KEISLAMAN DAN KEINDONESIAN. al-Afkar, Journal for Islamic Studies. Vol. 1,
No.1, January 2018 (19 april 2019)
148

b. Undang-Undang Dasar 1945 Kerukunan dan Toleransi antar umat


beragama terdapat dalam pasal 29 ayat 1 dan 2, UUD 1945.
c. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam GBHN disebutkan
dalam Tap MPR No.II/MPR/1988, Bab IV huruf D, angka 1 ayat b dan
ayat f.
d. Undang-Undang dan Peraturan lain
Perundang-undangan yang berkaitan dengan kerukunan antar umat
beragama adalah:UU No. 1/PNPS/1965 tanggal 15 Januari 1965, tentang
Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama.
1) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.
01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya.
2) Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijakan
mengenai Aliran Kepercayaan.
3) Instruksi Menteri Agama No. 14 Tahun 1978 tentang Tindak Lanjut.
4) Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun Tahun 1978 tentang
Pedoman Penyiar Agama.
5) Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar
Negeri Kepada Lembaga-Lembaga Keagamaan di Indonesia (MUI,
1978 : 10).
6) Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun
1979 Tentang Tata Cara Penyiar Agama dan Bantuan Luar Negeri.
7) Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan,
Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran Dalam
Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam.
8) Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang
Penyelenggaraan Peringatan Hari-Hari Besar Keagamaan.
149

9) Khusus di Jawa Barat ada Instruksi Gubernur No. 28 Tahun 1990


tentang Petunjuk Prlaksanaan Percepatan Target Tahun Kedua Pelita V
pada Bab III, Petunjuk Khusus angka 11.
Maftuh Basuni dalam Nazmudin mengatakan kerukunan antar umat
beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis,
karena itu haus dipelihara terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat
beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengmalan ajaran
agmanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.5
Membangun kehidupan umat beragama yang harmonis bukan merupakan
agenda yang ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati- hati menginngat
agama sangat melibatkan aspek emosi umat, sehingga sebagian mereka lebih
cenderung pada “klaim kebenaran” dari pada “mencari kebenaran”. Meskipun
sejumlah pedoman telah digulirkan, pada umumnya masih sering terjadi gesekan-
gesekan ditingkat lapangan, terutama berkaitan dengan penyiaran agama,
pembangunan rumah ibadah, perkawinan berbeda agama, bantuan luar negeri,
perayaan hari-hari besar keagamaan, kegiatan aliran sempalan, penodaan agama,
dan sebagainya.6
Dengan demikian, bahwa kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga
bias diartikan dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransiitu sendiri
pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan
antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu
sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu
dengan lainnya tidak saling mengganggu.

3. Kerukunan Umat Beragama dalam Islam


5
Nazmudin. 2017. “Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”. Journal of Government and Civil
Society,Vol. 1, No. 1, 23-39 (18 april 2019).h.24
6
Muhaimin AG, damai di dunia untuk semua perspektif berbagai agama, (Jakarta,
puslitbang, 2004) hlm ; 19.
150

Islam menjunjung tinggi toleransi. Toleransi mengarah kepada sikap


terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku
bangsa,  warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua
merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Dalam
terminologi Islam, istilah yang dekat dengan kerukunan umat beragama adalah
“tasamuh”. Keduanya menunjukkan pengertian yang hampir sama, yaitu saling
memahami, saling menghormati, dan saling menghargai sebagai sesama manusia.
Tasamuh  memuat tindakan penerimaan dan tuntutan dalam batas-batas tertentu.
Dengan kata lain, perilaku tasamuh dalam beragama memiliki pengertian untuk
tidak saling melanggar batasan, terutama yang berkaitan dengan batasan keimanan
(aqidah).
Islam yang hakiki adalah kepercayaan yang mendalam dan tanpa
sedikitpun keraguan pada tuhan. Islam adalah ketundukan, kepasrahan pada tuhan
dan kedamaian serta keselamatan. Sedangkan realisasi kebenaran adalah bahwa
“tiada tuhan selain Allah” dan tiga aspek kehidupan agama adalah islam yaitu
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah; iman artinya percaya dengan
kebijaksanaan dan kearifan Allah, sedangkan Ihsan adalah berlaku benar dan
berbuat baik, karena tahu bahwa allah senantiasa mengawasi segala perbuatan dan
geerak-gerik pikiran manusia.
Sebagai manusia beragama, umat Islam diajarkan untuk saling mengasihi,
memberi kepada mereka yang membutuhkan, bukan untuk kepentingan mereka,
tetapi untuk kepentingan diri kita sendiri, untuk kepentingan membersihkan hati
dan jiwa, dan kepentingan mengosongkan nurani kita dari perasaan tamak,
sombong, tidak mau berbagi dan kikir
Ajaran Islam yang mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran,
diantaranya beberapa poin di bawah ini : 1). Manusia adalah mahluk sosial yang
diciptakan berbeda-beda. Perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Tuhan
(sunnatullah). Al-Quran dengan gamblang menjelaskan kenyataan adanya
perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah
swt dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
151

        


           
 
Tejemhannya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al
Hujarat [49] : 13)
Ayat tersebut mengungkapkan bahwa “Allah swt menciptakan manusia
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Sebagai ketetapan
Allah swt. pernyataan ini tentu harus diterima. Mereka yang tidak bisa menerima
adanya keragaman berarti mengingkari ketetapan Allah swt. Berdasarkan hal ini
pula maka toleransi menjadi satu ajaran penting yang dibawa dalam setiap risalah
keagamaan, tidak terkecuali pada sistem teologi Islam. Sudah barang tentu,
adanya ragam perbedaan merupakan kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan
tidak dapat dipungkiri.
Bila agama yang dipahami selama ini adalah agama yang menghina,
menyalahkan orang lain, dan menganggap diri kita yang paling benar, maka itu
bukanlah agama yang sesungguhnya. Kemungkinan besar adalah hanya ego pada
diri manusia yang kemudian agama sebagai pe-legalis-an atas ego manusia itu
sendiri. Keangkuhan dan sikap memandang rendah orang lain, tidak pernah
diajarkan oleh agama apapun. Di dalam Al-Quran secarra tegas menyatakan
sebagaimana yang dijelaskan pada Q.S Al-Hujurat ayat 11 yang bebunyi:
           
            
          
      

Terjemahnya:
152

“Janganlah satu kaum menghina kaum lain, karena mungkin yang dihina
itu lebih baik dari pada yang menghina (QS. Al-Hujarat [49]: 11)

Harusnya kita lebih tahu tentang prinsip Islam yang dibawa Muhammad
Saw. Bahwa pengadilan dan hukuman adalah milik Allah, secara eksplisit
berhubungan dengan prinsip terdahulu, keinginan akan keragaman keyakinan
manusia, dalam Q.S Al-Baqarah ayat 272, disebutkan:
             
            
     

Terjemahnya:

“ Bukan tugasmu (hai rasul) memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi


Tuhanlah yang memberi yang memberi petunjuk kepada siapapun yang
dikehendakiNya” (QS. Al-baqarah [2]:272).

Al-Quran yang merupakan pedoman umat Islam sedangkan nabi


Muhammad SAW merupakan nabi yang diutus untuk mendakwahkan tentang
akhlaq al karimah. Sehingga tidak heran ketika Nabi Muhammad
mengembangkan agama Islam di Madinah (setelah Hijrah), Islam sudah berada
dalam kondisi yang pluralits atau majemuk. Kemajemukan ini tidak hanyaada
pada perbedaan namun juga budaya, suku, dan bahasa. Kenyataan ini sangat jelas
dalam al-quran surtat al-hujarat ayat 13, bahwa perbedaan pandangan dan
pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya pengetahuan dalam
kehidupan umat manusia, sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang
mengiringi adanya perbedaan cultural (dan juga politik) antara berbagai kelompok
muslimin yang ada di kawasan-kawasan dunia.7 Perbedaan pendapat dalam segala
aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan
berkelanjutan sepanjang sejarah manusia. Tidak terkecuali umat Islam. Perbedaan

7
Abdurrahman Wahid, Islam Ku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, The Wahid
Institute,2006) hlm. 351.
153

sudah terjadi sejak masa Rasul saw, disamping juga tidak jarang dalam masalah-
masalah keagamaan, Nabi membenarkan pihak-pihakyang berbeda.8
4. Kerukunan Intern Umat Islam
Umat Islam merupakan bagian terbesar dari tubuh Bangsa Indonesia, maka
oleh karenanya memerlukan perhatian yang terbesar pula dalam penanganan
usaha pembinaan kerukunannya, melalui pelembagaan dalam pengalaman ajaran
Islam itu sendiri.
Pengertian "pelembagaan" di sini bukan bentuk lembaga, organisasi/
yayasan/jama’ah atau badan yang menurut kebiasaan perundang-undangan yang
berlaku sering mempunyai kedudukan sebagai "badan hukum", akan tetapi
termasuk kebiasaan atau pelembagaan yang mau tidak mau menimbulkan
kerjasama diantara warga masyarakat beragama Islam dalam melaksanakan
ketentuan ajaran yang lazim disebut dengan "fardu kifayah".
Fardu kifayah artinya "kewajiban yang bersifat kolektif" mencakup semua
kegiatan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara, meliputi :
a. Mendirikan shalat Jum’ah, yang menumbuhkan kerjasama membangun
masjid dan administrasi kemesjidan;
b. Memberikan nasehat dan fatwa dalam arti menyebarkan ilmu (al-ifta’ fi
majalisil ‘ilm), yang secara konkrit berbentuk penyiaran agama dan
pendidikannya (adda’wah wattarbiyah);
c. Menyelenggarakan kesejahterana umum, seperti memelihara anak yatim,
mengurusi kematian, menyelenggarakan ketertiban umum dan
kesejahteraannya (maslahah ‘ammah, amar ma’ruf nahi mungkar);
d. Melaksanakan peradilan dalam arti menyelesaikan sengketa (al-qadla’);
e. Mendirikan kepemimpinan umat dalam bentuk negara (imamah) termasuk
di dalamnya pelaksanaan kekuasaan (imarah), penyelenggaraan hukum
(tahkim) serta administrasi dan perundang-undangan (tasyri’).
Pemahaman tentang arti fardhu kifayah dalam kaitannya dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara inilah yang diharapkan dapat mendorong

8
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat), (Jakarta, Mizan, 1992) hlm. 362.
154

terciptanya "kerukunan intern beragama Islam yang lebih mantap" sebagai salah
satu unsur yang penting dalam pemantapan Stabilitas dan Ketahanan Nasional.
Oleh karena dari sudut pandangan ajaran Islam dapat difahami, bahwa "kehidupan
bermasyarakat dan bernegara" itu tidak lain merupakan manifestasi bersama dari
pengabdian Umat dan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.9
Kerukunan intern umat beragama yang masih sering kali menunjukkan
gejala-gejala yang kurang mantap, bahkan pula menimbulkan pertentangan dan
perpecahan intern umat beragama, perlu selalu ditingkatkan pembinaannya.
Segala persoalan yang timbul di lingkungan intern umat beragama, hendaknya
dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa dan dengan
semangat kekeluargaan sesuai dengan ajaran agama dan Pancasila.
Masalah kehidupan beragama di dalam masyarakat kita merupakan
masalah yang sangat peka (sensitif) bahkan merupakan masalah yang paling peka
diantara masalah sosial-budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu masalah sosial
akan menjadi semakin ruwet (complicated) jika masalah tersebut menyangkut
pula masalah agama dan kehidupan beragama.

B. AGAMA ISLAM MERUPAKAN RAHMATAN LIL ALAMIN


1. Makna Agama Islam

Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan
patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang
mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan
kesejahteraan kehidupan umat manusia pada khususnya, dan semua makhluk
Allah pada umumnya. Kondisi itu akan terwujud apabila manusia sebagai
penerima amanah Allah dapat menjalankan aturan tersebut secara benar dan
“kaafah”.
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama,
Nabi pertama, yaitu Nabi Adam. Agama Islam itu kemudian Allah turunkan
secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya. Akhir

9
Ibid., hal. 58-59
155

dari proses penurunan agama Islam itu baru terjadi pada masa kerasulan
Muhammad Saw pada awal abad ke-VII Masehi. Islam sebagai nama dari agama
yang Allah turunkan belum dinyatakan secara eksplisit pada masa kerasulan
sebelum Muhammad Saw, tetapi makna dan substansi ajarannya secara implisit
memiliki persamaan yang dapat difahami dari pernyataan sikap para Rasul
sebagaimana Allah swt berfirmankan dalam Q.S a1- Baqarah ayat 132. Yang
berbunyi:
         
      
Tejemahnya:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,


demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): Hai anak anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”(QS. Al-Baqarah
[2]:132)

Ajaran agama Islam memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Sesuai dengan fitrah hidup manusia, artinya: (1) ajaran agama Islam
mengandung petunjuk yang sesuai dengan sifat dasar manusia, baik dari
aspek keyakinan, perasaan, maupun pemikiran, (2) sesuai dengan
kebutuhan hidup manusia, (3) memberikan manfaat tanpa menimbulkan
komplikasi, dan (4) menempatkan manusia dalam posisi yang benar.
Kondisi itu ditegaskan oleh Allah dalam QS. 30 (al-Rum) : 30.
b. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran Islam berisi petunjuk-petunjuk
pada seluruh kehidupan manusia. Petunjuk itu adakalanya disebut secara
eksplisit, dan adakalanya disebut secara implisit. Untuk memahami
petunjuk yang bersifat implisit dilakukan dengan ijtihad. Penegasan
tentang kesempumaan ajaran Islam itu dijelaskan dalam QS. 5 (al-
Maidah): 3.
c. Kebenarannya mutlak. Kebenaran itu dapat dipahami karena ajaran Islam
berasal dari Allah Yang Maha Benar, dan dapat pula dipahami melalui
156

bukti-bukti materiil, serta bukti riilnya. Karena itu Allah mengingatkan


agar manusia tidak meragukan kebenarannya sebagaimana difirmankan
dalam QS. 2 (al- Baqarah): 147.
d. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Sekalipun
menurut ajaran Islam manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada
Allah, tetapi nilai ibadah manusia terdapat pada seluruh aspek kehidupan,
dan manusia harus memperhatikan berbagai aspek-aspek kepentingan
dalam hidupnya tersebut sebagaimana Allah sebutkan dalam QS. 28 (al-
Qashash): 77.
e. Fleksibel dan ringan, artinya ajaran Islam memperhatihan dan menghargai
kondisi masing-masing individu dalam menjalankan aturannya, dan tidak
memaksakan orang Islam untuk melakukan suatu perbuatan di luar batas
kemampuannya. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam QS. 2 (al Baqarah):
286.
f. Berlaku secara universal, artinya ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat
manusia di dunia sampai akhir masa. Penegasan itu dinyatakan oleh Allah
dalam QS. 33 (al-Ahzab): 40.
g. Sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan
akal pikirannya sebagaimana dijelaskan dalam QS. 58 (al- Mujadilah): 11.
h. Inti ajarannya “Tauhid” dan seluruh ajarannya mencerminkan ketauhidan
Allah tersebut.
i. Menciptakan rahmat, kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya, seperti
ketenangan hidup bagi orang yang meyakini dan menaatinya. Hal itu
dinyatakan oleh Allah dalam QS. 48 (al-Fath): 4. Kerahmatan yang
diwujudkan oleh Islam itu juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan
missi kerasulan Muhammad saw sebagaimana terdapat dalam QS. 21 (al-
Anbiya): 107.
2. Kerahmatan Islam Bagi Seluruh Alam
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada masyarakat
Arab dan beliau mengajak masyarakat untuk menerima dan menaati ajaran
tersebut, tanggapan yang mereka sampaikan kepada Rasulullah adalah sikap
157

heran, aneh, dan ganjil. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari
tradisi leluhur yang telah mendarah-daging bagi masyarakat Arab, yang mereka
taati secara turun- temurun, dan mereka tidak mau tahu apakah tradisi tersebut
salah atau benar. Hal itu dijelaskan oleh Allah swt dalam Q.S al-Baqarah:170,
yaitu:
           
          


Terjemahnya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka :"Ikutilah apa yang telah


diturunkan Allah", mereka menjawab : "(Tidak). tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami . "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.
(QS.Al-Baqarah [2]:170)

Dalam sebuah Hadist juga digambarkan, bahwa pada mulanya Islam


dianggap sebagai ajaran yang asing, dan akan kembali dianggap asing, namun
berbahagialah orang yang dianggap asing tersebut. Fungsi Islam sebagai rahmat
Allah tidak bergantung pada penerimaan atau penilaian manusia. Substansi rahmat
terletak pada fungsi ajaran tersebut, dan fungsi itu baru akan dirasakan, baik oleh
manusia sendiri maupun oleh makhluk-makhluk yang lain apabila manusia
sebagai pengemban amanah Allah telah menaati ajaran tersebut. Fungsi Islam
sebagai rahmat Allah bagi semua alam itu dijelaskan oleh Allah swt dalam Q.S
Al-Anbiya:107, yang berbunyi:

     

Terjemahnya :
158

“Dan tidaklah Kami mengutus kamui melainkan untuk (menjadi) rahmat


bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya [21]:107)

Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu adalah:


a. Islam menunjuki manusia jalan hidup yang benar. Ajaran Islam
sebagiannya bersifat supra rasional atau “ta’abbudi", artinya di atas
kemampuan akal manusia untuk mengetahuinya. Ajaran itu diperlukan
manusia, baik sebagai substansi pengetahuan maupun sebagai sarana
pengabdian, seperti Kemahaesaan Allah, ajaran sholat, dan lain-lain.
Sebagian ajaran Islam yang lain bersifat rasional atau “ta'aqquli”, artinya
mampu difahami rasionalitasnya, tetapi tanpa bimbingan Islam tidak ada
jaminan kalau manusia sendiri dengan akalnya mampu menemukan ajaran
tersebut, dan apabila akal manusia mampu menemukannya, ajaran Islam
memberikan kemudahan sehingga kerja akal lehih efisien, seperti bersikap
adil terhadap sesama manusia, memanfaatkan alam secara proporsional,
dan lain-lain.
b. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan
potensi yang diberikan oleh Allah secara bertanggung jawab. Sekalipun
Allah memberikan petunjuk kebenaran bagi manusia, tetapi Allah tidak
memaksakan kehendak-Nya bagi manusia untuk menerima petunjuk-Nya
itu. Allah hanya mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang harus
diterima manusia dengan pilihan hidupnya itu. Manusia bebas untuk
menerima atau menolaknya. Penilaian dan balasan Allah terhadap pilihan
hidup manusia secara mutlak akan diberikan di hari akhirat nanti. Dalam
Q.S Yunus: 99 Allah swt berfirman yang artinya: “Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?. Dalam Q.S al-
Baqarah:256, Allah swt juga menyatakan: “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah”. Karunia akal bagi manusia telah cukup untuk
159

membuat pertimbangan, apakah ia akan menerima dan menaati petunjuk


Allah swt itu atau akan menolaknya.
c. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah
swt, baik mereka muslim maupun non muslim. Di hadapan Allah swt
manusia itu sama, karena itu semua manusia mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama. Yang membedakan manusia yang satu dengan
lainnya hanyalah ketakwaannya. Asas persamaan itu mengharuskan
perlakuan adil kepada setiap manusia dan tidak boleh menyakiti,
menzalimi satu sama lain. Apabila terjadi konsekuensi- konsekuensi dalam
kehidupan, seperti harus dikenakan sanksi hukum, diberikan “jizyah”,
harus membayar zakat, dan yang lain, hal itu timbul karena kondisi
masing-masing secara spesifik berdasarkan perbuatan yang dilakukannya.
d. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional. Sekalipun
dalam Q.S a1-Baqarah: 29, Allah swt telah memberikan hak kepada
manusia untuk memanfaatkan alam beserta isinya ini, tetapi dalam Q.S al-
Rum: 41, Allah swt mengingatkan bahwa kerusakan yang terjadi di alam
ini diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak terkontrol dan
akibatnya akan menyengsarakan hidup manusia juga. Begitu juga dalam
pemanfaatan hewan, Allah menghalalkan memakan daging dari sebagian
binatang yang ada di bumi, tetapi dalam hal menyembelih binatang,
Rasulullah mengingatkan apabila menyembelih binatang hendaknya
disembelih dengan cara yang baik dan menggunakan pisau yang tajam
agar tidak menyiksa binatang tersebut.
e. Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia darn memberikan
perlakuan yang spesifik pula. Orang yang bepergian jauh di bulan
Ramadhan diberikan dispensasi untuk berbuka, orang yang lupa atau
tertidur sehingga waktu salat habis ia boleh salat ketika ingat atau bangun
dari tidurnya sekalipun telah lewat waktunya, orang yang lapar dan tidak
ada makanan kecuali barang haram ia boleh memakannya sekedar untuk
bertahan hidup, dan lain sebagainya. Dalam masalah keyakinan, Islam
juga menghormati pilihan bebas manusia untuk menentukan keyakinannya
160

sendiri. Karena itu terhadap orang kafir selama mereka tidak mengganggu,
menyakiti atau memusuhi orang Islam, mereka juga tidak boleh dimusuhi.
f. Dll.

C. UKHUWAH ISLAMIYAH, UKHUWAH INSANIYAH DAN UKHUWA


WATHANIAH
1. Makna Ukhuwah Islamiayah
Dari segi bahasa, kata ukhuwah berasal dari kata dasar akhun (‫)اَ ُخ‬. Kata
akhun (‫ ) اَ ُخ‬ini dapat berarti saudara kandung/seketurunan atau dapat juga berarti
kawan. Bentuk jamaknya ada dua, yaitu ikhwat untuk yang berarti saudara
kandung dan ikhwan untuk yang berarti kawan. 10 Jadi ukhuwah bisa diartikan
“persaudaraan”.
Salah satu ajaran Islam mengenai konsep persaudaraan disebut ukhuwah.
Kata ukhuwah berasal dari bahasa Arab dengan bentuk masdar (kata dasar) akhu
yang berarti saudara, termasuk didalamnya sekandung, seayah, seibu atau
sesusuan. Dalam penggunaannya, kata ukhuwah selalu digabungakan dengan kata
islamiah sehingga menjadi ukhuwah islamiah. Maksudnya untuk memperjelas
pengertiannya bahwa persaudaraan yang dibangun adalah berdasarkan prinsip
Islam.11
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah adalah ikatan
kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan kelembutan, cinta
dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama diikat dengan akidah
Islamiah, iman dan takwa.12
Ukhuwah Islamiah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan
hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa
dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di umat Islam senantiasa
terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh.13
10
Louis Ma‟luf al Yasui, Kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut: Dar al
Masyriq, Cet. XXVIII, 1986), hal. 5.
11
Ensiklopedi Islam , (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hal. 152
12
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1990), hal. 5.
13
Musthafa Al Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, terj. Fathur Suhardi, Prinsip
Ukhuwah dalam Islam, (Solo: Hazanah Ilmu, 1994), hal. 14.
161

Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesama umat Islam, yang disebut


ukhuwah Islamiyah, dan berlaku pula pada semua umat manusia secara universal
tanpa membedakan agama, suku, dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang
disebut ukhuwah insaniyah. Persaudaraan sesama muslim, berarti saling
menghormati dan saling menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar
kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang
untuk saling membantu atau menolong karena di antara mereka terikat oleh satu
keyakinan dan jalan hidup, yaitu Islam. Agama Islam memberikan petunjuk yang
jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim, itu dapat terjalin dengan
kokoh sebagaimana disebutkan dalam Q.S al- Hujurat ayat 10 - 12 :
        
          
            
          
          
         
            
            

Terjemahnya:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu


damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat, (11) Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang dioIok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)
dan jangan pula wanita- wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri
dan jangan pula kamu panggiI-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
beriman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dhalim, (12) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
162

dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan


janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang
". (QS.al- Hujurat [49]: 10-12).

Adapun akhlak sesama muslim yang diajarkan oleh syariat Islam secara
garis besarnya menurut K.H Abdullah Salim sebagai berikut:
a. Menghubungkan tali persaudaraan.
b. Saling tolong menolong.
c. Membina persatuan.
d. Waspada dan menjga keselamatan bersama.
e. Berlomba mencapai kebaikan.
f. Bersikap adil.
g. Tidak boleh mencela dan menghina.
h. Tidak boleh menuduh dengan tuduhan fasik atau kafir.
i. Tidak boleh bermarahan.
j. Memenuhin janji.
k. Saling memberi salam.
l. Menjwab bersin.
m. Melayat mereka yang sakit.
n. Menyelenggarakan pemakaman jenazah.
o. Membebaskan diri dari suatu sampah.
p. Tidak bersikap iri dan dengki.
q. Melindungi keselamatan jiwa dan harta.
r. Tidak boleh bersikap sombong.
s. Bersifat pemaaf.14

14
Abdullah Salim, Akhlak Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta:
Media Dakwah, 1994), hal. 123-153.
163

Sifat-sifat dan akhlak yang harus dipeliharan dan yang harus disingkirkan
diatas dimaksudkan untuk membina persaudaraan dan perdahabatan juga unutk
memelihara persatuan ukhuwah Islamiah.
2. Makna Ukhuwah Insaniyah

Ukhuwah Insaniyah atau saudara sekemanusiaan adalah dalam arti seluruh


manusia adalah bersaudara. Karena mereka semua bersumber dari ayah ibu yang
satu yaitu Adam dan Hawa. Hal ini berarti bahwa manusia itu diciptakan dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, Q.S Al Hujurat ayat 13, yang berbunyi:

        


           
 

Terjemahnya:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS.Al Hujurat [49]:13)

Konsep persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah dilandasi oleh


ajaran bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah
memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga
memberikank kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup
berdasarkan pertimbangan rasionya. Karena itu sejak awal penciptaan, Allah tidak
tetapkan manusia sebagai satu umat, padahal Allah bisa bila mau.
Prinsip kebebasan itu menghalangi pemaksaan suatu agama oleh otoritas
manusia manapun, bahkan Rasulpun dilarang melakukannya, sebagaimana firman
Allah dalam Q.S Yunus ayat 99, yang berbunyi:
            
  
164

Tejemahnya:

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang


dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
(QS.Yunus [10] : 99)

Demikian al-Quran memandang semua manusia mengisyaratkan adanya


Ukhuwah Insaniyah sebab dalam persaudaraan ini juga tidak memandang
perbedaan agama, bahkan persaudaraan ini merupakan persaudaraan dalam arti
yang umum sehingga tidak dibenarkan adanya saling menyakiti, mencela atau
perbuatan buruk lainnya.

3. Makna Ukhuwah Wathaniah Wa Nasab


Islam sebagai agama yang universal juga memiliki konsep ukhuwah
kebangsaan yang disebut ukhuwah wathaniyyah, yakni saudara dalam arti
sebangsa walaupun tidak seagama.Ayat yang terkait dengan ini adalah Q.S Hud :
65. Di sini Allah swt berfirman, (Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad
saudara mereka, Hud). Seperti yang dikemukakan oleh ayat lain bahwa kaum 'Aad
membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh nabi Hud as. Sehingga Allah
memusnahkan mereka, sebagaimana dalam Q.S al-Haqqah:6-7. Jenis ukhuwwah
yang demikian disebut juga dalam Q.S Shad: 23 yang telah disebutkan
sebelumnya di mana dalam ayat ini ditegaskan bahwa adanya persaudaraan
semasyarakat, walaupun berselisih paham karena adanya perdebatan mengenai
jumlah ekor kambing yang mereka miliki.
Sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab tentang macam-macam
makna akh (saudara) dalam al-Quran yaitu dapat berarti :
a. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti ayat yang berbicara
tentang warisan atau keharaman menikahi orang-orang tertentu.
b. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga.
c. Saudara dalam arti sebangsa walaupun tidak seagama.
d. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham.
165

e. Saudara seagama15
Konsep ukhuwah kebangsaan yang digambarkan di atas, sungguh telah
terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang diplopori oleh nabi
Muhammadsaw. Kesuksesan dan teladan bangunan ukhuwah Madinah tersebut
akhirnya mengilhami para pemikir muslim kontemporer untuk mempersamakan
wacana civil society dari Barat dengan wacana masyarakat madani dalam Islam.
Upaya pencocokan ini sekalipun dipaksakan, memang sedikit banyak memiliki
titik temu yang cukup signifikan. Pertautan ini nampak jelas terutama pada proses
transformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masayarakat
madinah dengan proses bangsa Eropa (Barat) menuju masyarakat modern yang
kemudian sering disebut dengan civil society.20 Selanjutnya Nurcholish Madjid
mengungkapkan bahwa beberapa ciri mendasar dari ukhuwah masyarakat madani
yang dibangun oleh nabi Muhammad saw, antara lain (1) egalitarianisme; (2)
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan kesukuan, keturunan, ras,
dan sebagainya; (3) keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat yang
aktif; (4) penegakan hukum dan keadilan; (5) Sebenarnya jika dilihat lebih jauh
saudara seketurunan dan saudara sebangsa ini merupakan pengkhususan dari
persaudaraan kemanusiaan. Lingkup persaudaraan ini dibatasi oleh suatu wilayah
tertentu. Baik itu berupa keturunan, masyarakat ataupun oleh suatu bangsa atau
negara. toleransi dan pluralisme; (6) musyawarah.16
Dalam mewujudkan masyarakat tersebut, tentu saja membutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat
ukhuwah kebangsaan, dan nabi Muhammad telah memberikan keteladanan dalam
mewujudkan ciri-ciri ukhuwah seperti yang telah disinggung di atas.Untuk sampai
ke ukhuwah tersebut dapat dirujuk Q.S Ali Imran ayat 159, yakni ;
            
           
         
Terjemahnya :

15
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h.487-488
16
Nurcholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Adi Suryani Culla, (ed),
Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan Relevansinya dengan Era Reformasi (Cet.III; Jakarta:
PT. RajaGRafindo Persada, 2002) 192-193
166

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah- lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.Karena itu
ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakkal
kepada-Nya”. (QS.Ali Imran [3]:159)17

Secara umum, paradigma ayat diatas memiliki empat kunci utama dalam
membangun ukhuwah kebangsaan.Pertama, bahwa membentuk pranata sosial
masyarakat itu haruslah elektif dan fleksibel, artinya faktor kultur, demografi dan
geografi suatu masyarakat sangat mempengaruhi strategi pembentukan
masyarakat. Kedua, sikap pemaaf terhadap pelaku kejahatan sosial guna
membangun masyarakat baru haruslah dijunjung tinggi, dengan
mengeyampingkan perubahan revolusioner yang justru akan memakan korban
harta dan nyawa yang tak terhitung. Ketiga, semua perilaku dan perubahan sosial
politik dalam pembentukan masyarakat harus dilandasi upaya kompromi dan
rekonsiliasi melalui musyawarah mufakat, sehingga tercipta
demokratisasi.Keempat, para pelaku yang terlibat dalam proses pembentukan
masyarakat haruslah memiliki landasan moralitas.

D. KEBERSAMAAN UMAT BERAGAMA DALAMKEHIDUPAN SOSIAL


1. Pandangan Agama Islam Terhadap Umat Non Islam

Umat Islam kini sedang melewati masa-masa sulit. Akhir-akhir ini terjadi
berbagai aksi yang berkontribusi menguatkan dugaan bahwa Islam adalah agama
yang mengajarkan kekerasan dan umat Islam merupakan komunitas yang tidak
toleran.18 Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditengah-tengah kaum muslim tersebut
telah membentuk stereotype yang menyudutkan umat islam sebagai bagian

17
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur'anTerjemah, 70
18
Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni al-Azhar dan Pusat Studi
al-Qur’an, 2013), 249.
167

masyarakat dunia yang intoleran dan tidak dapat hidup berdampingan dengan
komunitas lain.
Anggapan tersebut tidaklah tepat. Sebab faktanya, ketika umat Islam
menjadi mayoritas pada suatu wilayah tertentu, keberadaan kelompok minoritas
non-Muslim dapat dengan leluasa melakukan aktivitasnya. Namun berbanding
terbalik jika umat islam berada di tengah-tengah mayoritas non-Muslim,
penganiayaan dan penindasan selalu menjadi potret buram yang seolah-olah
dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional. Sejarah menyaksikan,
bahwa kaum Muslim dapat hidup berdampingan dengan komunitas non-Muslim
dalam kondisi yang aman. Bahkan dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad saw
telah menyusun aturan dalam menjalin toleransi antara Islam dan agama-agama
lain di Madinah,19 yang dikenal dengan “Mitsaq al Madinah”.20 Di antara butir
perjanjian itu berbunyi, “Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan
orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi adalah agama mereka dan bagi
orang-orang Mukmin agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri mereka
sendiri. Hal ini berlaku bagi orang-orang Yahudi selain Bani Auf.”21
Dalam pandangan Islam, warga negara yang mendiami wilayah yang di
dalamnya diterapkan syariat Islam dibagi menjadi dua golongan; yaitu Muslim
dan non-Muslim. Warga negara non-Muslim disebut sebagai ahl al-dzimmah,
yang berarti orang yang berada dalam perlindungan.22 Islam menempatkan semua
orang yang tinggal di negara islam sebagai warga negara dan mereka semua
berhak memperoleh perlakuan yang sama.23 Negara berkewajiban menjaga dan

19
Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Mustafa al-Saqa’, Jilid 1, (Mesir:
Mustafa al-Babi al-Hilyi, Cet. 2, 1375 H/ 1955 M), 501
20
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996), 1028-1032
21
Teks “Piagam Madinah” ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Ibn Hisyam, Al-Sirah al
Nabawiyyah, 501. Lihat juga dalam: Saifurrah}man al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, Cet. 19, 2005), 255
22
Yusuf al-Qard}awi, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islamiy, (Kairo: Maktabah
Wahbah, Cet. ke-3, 1413 H/ 1992 M), 7
23
Abu al-A’la Maududi, Human Right In Islam, (Islamabad: Da’wah Academy, IIUI,
1998), 10.
168

melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah, kehormatan, kehidupan, dan


harta benda non-Muslim yang menjadi ahl al-dzimmah sejauh mereka tidak
melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan kaum Muslim.24
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima Islam sebagai
agamanya disebut kafir atau non muslim. Kata kafir berarti orang yang menolak,
yang tidak mau menerima atau menaati aturan Allah yang diwujudkan kepada
manusia melalui ajaran Islam. Sikap kufur, penolakan terhadap perintah Allah
pertama kali ditunjukkan oleh Iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada
Adam as sebagaimana dikisahkan dalam Q.S Al Baqarah: 34, yang berbunyi:
        
    
Terjemahnya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah
kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir". (QS.
Al Baqarah [2]:34)
Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan ajaran Islam kepada
masyarakat Arab, sebagian dari mereka ada yang mau menerima ajaran tersebut
dan sebagiannya lagi menolak. Orang yang menolak ajakan Rasulullah tersebut
juga disebut kafir. Mereka terdiri dari orang-orang musyrik yang menyembah
berhala yang disebut orang Watsani, dan orang-orang ahli kitab, baik orang
Yahudi maupun Nashrani. Di antara orang-orang kalir tersebut ada yang
mengganggu, menyakiti, dan memusuhi orang Islam dan di antaranya hidup
dengan rukun bemama orang Islam. Orang kafir yang mengganggu, yang
menyakiti, dan memusuhi orang Islam disebut kafir harbi, dan orang kafir yang
hidup rukun dengan orang Islam disebut kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang
kafir yang memerangi orang Islam dan boleh diperangi oleh orang Islam. Kafir
“dzimmi” adalah orang kafir yang mengikat perjanjian atau menjadi tanggungan

24
Abu al-A’la Maududi, Teori Politik Islam, Terj. Salahudin Abdullah, (Bandung: al-
Ma’arif, 1960), 37.
169

orang Islam untuk menjaga keselamatan atau keamanannya. Bila orang Islam
memiliki kekuasaan politik dalam sebuah negara Islam, maka kafir "dzimmi" ini
menjadi warga negara Islam. Sebagai kompensasi dari dzimmah, perjanjian dan
tanggungan keamanannya tersebut mereka wajib membayar jizyah. pajak kepada
pemerintah muslim. Ketentuan tersebut dijelaskan oleh Allah swt dalam Q.S Al-
Taubah ayat 29, yang berbunyi:
          
          
       
Terjemahnya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang orang) yang diberikan al
kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS.Al-Taubah [9]: 29)
Kebersamaan hidup antara orang Islam dengan non muslim telah
dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup
di Madinah setelah hijrah. Rasulullah mengikat perjanjian penduduk Madinah
yang terdiri dari orang-orang kafir dan muslim untuk saling membantu dan
menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga pernah
menggadaikan baju besinya dengan gandum kepada orang Yahudi ketika umat
Islam kekurangan pangan.
2. Batas-batas Toleransi
Toleransi beragama dipahami sebagai sikap seseorang untuk menerima
perbedaan  pandangan, keyakinan, dan praktek atau prilaku sambil pada saat yang
sama menangguhkan  penilaian, serta pemahaman mengapa orang lain memiliki
keyakinan dan melakukan praktek keagamaan atau berperilaku tertentu yang
berbeda dengan yang dilakukannya.
Menurut Yong Ohoitimur, “toleransi mendorong usaha menahan diri
untuk tidak mengancam atau merusak hubungan dengan orang beragama lain.
Agama lain tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai pandangan atau
170

jalan hidup yang mengandung kebaikan dan kebenaran walaupun belum


sempurna. Karena kandungan kebenaran dan kebaikan itu, agama lain dibiarkan
hidup.25
Tanpa bermaksud menyangkal pandangan para pluralis, kelompok yang
menolak  pluralisme agama menegaskan bahwa memang ada toleransi dalam
Islam; akan tetapi, toleransi dalam Islam mengenal batas-batas yang jelas yang
diatur dan dikehendaki oleh syari’at Islam. Batas-batas itupun tentu tidak sama
antar satu pendapat dengan pendapat yang lain. Hal ini amat  bergantung kepada
interpretasi mereka terhadap ajaran Islam yang mengatur masalah toleransi dan
batas-batasnya. Batas-batas tersebut misalnya sebagaimana yang dikemukakan
dalam al-Qur’ān surat al-Mumtahamah ayat 8. Pada beberapa pernyataan lainnya
dalam kitab suci al-Qur’ān ada pula ditegaskan batasan-batasan yang berkaitan
dengan interaksi antar kelompok  berbeda agama, perkawinan antar pemeluk
berbeda agama, mengangkat pemimpin bagi umat Islam, sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalam sejarah Nabi saw, beliau  berhenti
berjalan dan diam berdiri tatkala ada jenazah orang Yahudi diusung melewati
beliau, tetapi beliau tidak berdo’a, shalat jenazah, atau mengantar  ke kuburan.
Sebuah hadits juga menegaskan tentang hak-hak pertentanggaan yang di sana
terdapat perbedaan hak antar tetangga muslim dan tetangga non-Muslim.26Di
suatu tempat di lingkungan Pecinan, saya juga pernah ditegur dan dilarang masuk
ke suatu kompleks tempat ritual untuk beribadat karena saya tidak seagama
dengan mereka.
Meski demikian, tentu saja, seorang pemeluk agama tidak harus hidup
dalam isolasi dan keterasingan. Dia harus berinteraksi dengan orang lain. Namun,

25
Yong Ohoitimur, “Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati”, dalam Th.
Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei,
2001), hlm. 142

26
Sebuah hadits Riwayat Thabarani mengklasifikasi tetangga ke dalam tiga macam:
“Tetangga ada tiga macam, (1) tetangga yang memiliki tiga macam hak, yakni hak pertetanggaan,
hak kekerabatan, dan hak keIslaman, (2) tetangga yang memiliki dua macam hak, yakni hak
pertetanggaan dan hak keIslaman, dan (3) Tetangga yang hanya memiliki satu hak ketetanggaan.
Ia adalah orang musyrik ahli kitab.” Fathur Rahman, Haditsun Nabawi (Yogyakarta: IAIN, 1966),
hlm. 180
171

dia juga harus mengenali batas- batas toleransi dalam interaksi dan mampu
mempertahankan dan menegakkan imannya dalam interaksi dengan penganut
agama yang berbeda . Fathi Osman menyatakan:
Al-Qur’ān mengisyaratkan bahwa Tuhan dan ajaran-Nya haruslah
diletakkan di atas setiap kepatuhan kepada kelompok atau wilayah tertentu.
Namun demikian, sejauh prinsip ini diamati, kepatuhan kepada keluarga
seseorang dan himpunan manusia lainnya dan kepada tanah air seseorang
diperkenankan, karena kaum muslim hidup dalam kelompok-kelompok yang
lebih luas dan dalam wilayah-wilayah di mana mereka dapat tumbuh
berkembang mereka harus hidup dengan agama-agama dan sekte-sekte
lain.27
Pembatasan juga diperlukan terhadap hak kebebasan beragama, meskipun
hak kebebasan tersebut dilindungi oleh UUD 1945 maupun UDHR. Pembatasan
diperlukan untuk untuk membangun keseimbangan antara hak untuk mengajarkan
agama dan hak orang lain untuk tidak dilanggar forum internum-nya. Terdapat
beberapa dasar untuk pembatasan dengan merujuk kepada beberapa yurisprudensi
tertentu, yaitu:
a. Pembatasan demi perlindungan keamanan publik;
b. Pembatasan untuk melindungi tatanan/ketertiban publik;
c. Pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik;
d. Pembatasan dalam rangka perlindungan moral;
e. Pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang
lain.28
3. Tanggung Jawab Sosial Umat Islam
Umat Islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam
kehidupan dunia ini. Demikian firman Allah dalam QS. 3 (Ali Imran): 110.

27
Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-
Qur’ān, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), hlm. 5-6

28
Lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, “Permissible Restrictions on Freedom of
Religion or Belief” hlm. 147-160.
172

Kebaikan umat Islam itu bukan sekedar simbolik, karena telah mengikrarkan
keyakinan Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad saw sebagai Rasulullah,
tetapi karena identifikasi diri sebagai muslim memberikan konsekuensi untuk
menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah dan berlaku sosial.
Dalam a1-Qur an kedua komitmen itu disebut hablun minallah dan hablun
minannas . Allah mengingatkan akan resiko kehinaan bagi manusia yang tidak
mau menunjukkan komitmen kehidupannya pada kedua aspek tersebut.
Bentuk tanggung jawab sosial umat Islam meliputi berbagai aspek
kehidupan, di antaranya adalah:
a. Menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dalam sebuah Hadist
Rasulullah menjadikan kebaikan seseorang kepada tetangganya
menjadi salah satu indikator keimanan. Pada masyarakat pedesaan
yang relatif homogen dan penduduknya menetap, komunikasi mereka
pada umumnya lebih intensif dan akrab, tetapi bagi masyarakat
perkotaan yang relatif heterogen dan penduduknya terdiri para
perantau dengan tingkat kesibukannya tinggi, komunikasi sosial
mereka relatif lebih renggang.
b. Memberikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib
dalam bentuk zakat maupun yang sunnah dalam bentuk sedekah. Harta
adalah rezeki yang Allah karuniakan kepada para hamba-Nya yang
harus disyukuri baik secara lisan maupun melalui pemanfaatan secara
benar. Dalam QS. 14 (Ibrahim): 7 Allah berfirman: "Dan (ingatlah)
tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
c. Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan ta’ziah bila ada
anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantarkan jenazahnya
sampai di kubur.
d. Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat
yang memerlukan bantuannya. Rasulullah melarang orang Islam
menolak permintaan bantuan orang lain yang meminta kepadanya
173

seandainya ia mampu membantunya. Hubungan sosial akan terjalin


dengan baik apabila masing-masing anggotanya mau saling membantu,
saling peduli akan nasib pihak lain. Dalam konteks masyarakat
modern, formulasi dari pemberian bantuan lebih kompleks dan luas,
seperti bantuan beasiswa pendidikan, bantuan bila tetjadi musibah
bencana alam, dan yang Iain.
e. Penyusunan sistem sosial yang efektif dan eflsien untuk membangun
masyarakat, baik mental spiritual maupun fisik materialnya.
Pembangunan mental, khususnya untuk generasi muda, perlu
memperoleh perhatian yang serius. Bahaya narkoba, tindak kriminal,
dan pergaulan bebas menjadi ancaman serius bagi generasi muda yang
secara cepat berkembang dan merusak mental mereka. Peran sekolah
dalam masalah ini sangat kecil, sehingga diperlukan kepedulian sosial
untuk menanggulanginya.
4. AmalMa’ruf nahi Mungkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar artinya memerintahkan orang lain untuk
berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar
akan efektif apabila orang yang melakukannya juga memberi contoh. Karena itu
diperlukan kesiapan secara sistemik dan melibatkan kelompok orang dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara terorganisasi. Perintah amar
ma’ruf dan nahi munkar itu diperintahkan oleh Allah dalam Q.S Ali Imran: 104,
yang berbunyi:

       


       

Terjemahnya:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru


kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.Ali Imran [3]:
104)
174

Di samping sistem dan sarana pendukung, amar ma’ruf dan nahi munkar
juga memerlukan kebijakan dalam bertindak. Karena itu Rasulullah memberikan
tiga tingakatan, yaitu: (1) menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu;
(2) menggunakan lisan; dan (3) dalam hati apabila langkah pertama dan kedua
tidak memungkinkan. Bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem di
antaranya adalah:
a. Mendirikan masjid
b. Menyelenggarakan pengajian
c. Mendirikan lembaga wakaf
d. Mendirikan lembaga pendidikan Islam
e. Mendirikan lembaga keuangan atau perbankan syari’ah
f. Mendirikan media masa Islam: Koran, radio, televisi, dan yang lain
g. Mendirikan panti rehabilitasi anak-anak nakal
h. Mendirikan pesantren
i. Menyelenggarakan kajian-kajian Islam 10.
j. Membuat Jaringan informasi sosial.
k. Dll.

Sebagai agama yang universal dan komprehensif, Islam mengandung


ajaran yang integral dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Islam tidak
hanya mengajarkan tentang akidah dan ibadah semata, tetapi Islam juga
mengandung ajaran dibidang iptek dan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Keberadaan agama Islam menjadi wujud kasih sayang Allah bagi
makhluk-Nya. Karena itu Islam disebut agama rahmat bagi semesta alam karena
menghormati semua manusia sebagai makhluk Allah dan bahkan semua makhluk-
Nya. Islam melarang menyakiti orang non Islam, dan Islam juga melarang berbuat
yang merusak alam lingkungannya. Ketidakstabilan alam akan berakibat buruk
bagi alam itu sendiri dan juga bagi manusia.

E. PENYEBAB PERPECAHAN ANTAR UMAT BERAGAMA


175

Dalam perjalanannya menuju kerukunan umat beragama selalu diiringi


dengan beberapa sebab, ada yang beberapa diantaranya bersinggungan secara
langsung di masyarakat, ada pula terjadi akibat akulturasi budaya yang terkadang
berbenturan dengan aturan yang berlaku di dalam agama itu sendiri.
Penyebab penghambat Kerukunan Umat Beragama antara lain:
1. Pendirian rumah ibadah: apabila dalam mendirikan rumah ibadah tidak
melihat situasi dan kondisi umat beragama dalam kacamata stabilitas
sosial dan budaya masyarakat setempat maka akan tidak menutup
kemungkinan menjadi biang dari pertengkaran atau munculnya
permasalahan umat beragama.
2. Penyiaran agama: apabila penyiaran agama bersifat agitasi dan
memaksakan kehendak bahwa agama sendirilah yang paling benar dan
tidak mau memahami keberagamaan agama lain, maka dapat
memunculkan permasalahan agama yang kemudian akan menghambat
kerukunan antar umat beragama, karena disadari atau tidak kebutuhan
akan penyiaran agama terkadang berbenturan dengan aturan
kemasyarakatan.
3. Perkawinan beda agama: perkawinan beda agama disinyalir akan
mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, terlebih pada anggota
keluarga masing-masing pasangan berkaitan dengan hukum perkawinan,
warisan, dan harta benda, dan yang paling penting adalah keharmonisan
yang tidak mampu bertahan lama di masing-masing keluarga.
4. Penodaan agama: yaitu melecehkan atau menodai doktrin suatu agama
tertentu. Tindakan ini sering dilakukan baik perorangan atau kelompok.
Meski dalam skala kecil, baru-baru ini penodaan agama banyak terjadi
baik dilakukan oleh umat agama sendiri maupun dilakukan oleh umat
agama lain yang menjadi provokatornya.
5. Kegiatan aliran sempalan: adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari
suatu ajaran yang sudah diyakini kebenarannya oleh agama tertentu. Hal
ini terkadang sulit di antisipasi oleh masyarakat beragama sendiri,
176

pasalnya akan menjadikan rancu diantara menindak dan menghormati


perbedaan keyakinan yang terjadi didalam agama ataupun antar agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan (et.al), 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve)

Abdullah Nashih Ulwan,1990. Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung:


Remaja Rosdakarya)
Abdullah Salim, 1994. Akhlak Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat,
(Jakarta: Media Dakwah)
Abdurrahman Wahid, 2006. Islam Ku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, The Wahid
Institute)
Abu al-A’la Maududi.1998. Human Right In Islam, (Islamabad: Da’wah
Academy, IIUI)

Abu al-A’la Maududi, 1960.Teori Politik Islam, Terj. Salahudin Abdullah,


(Bandung: al-Ma’arif)

Depag RI,1997. Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia,


(Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia)
177

Departemen Agama RI.Mushaf Al-Qur'anTerjemah.


Ensiklopedi Islam.2005. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve)
Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Mustafa al-Saqa’, Jilid 1, (Mesir:
Mustafa al-Babi al-Hilyi, Cet. 2, 1375 H/ 1955 M)

Ibnu Rusydi, Siti Zolehah, MAKNA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


DALAM KONTEKS KEISLAMAN DAN KEINDONESIAN. al-Afkar, Journal
for Islamic Studies. Vol. 1, No.1, January 2018 (19 april 2019)

Imam Syaukani, 2008. Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-


Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang)
Lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, “Permissible Restrictions on
Freedom of Religion or Belief”

Louis Ma‟luf al Yasui, 1986. Kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut:


Dar al Masyriq, Cet. XXVIII)
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an,
Mohammed Fathi Osman, Islam,2006. Pluralisme dan Toleransi Keagamaan:
Pandangan al-Qur’ān, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban (Jakarta:
Yayasan Paramadina)
Muchlis M. Hanafi, 2013. Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni al-Azhar dan
Pusat Studi al-Qur’an)

Muhaimin AG, 2004.damai di dunia untuk semua perspektif berbagai agama,


(Jakarta, puslitbang)
Musthafa Al Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, terj. Fathur Suhardi, 1994.
Prinsip Ukhuwah dalam Islam, (Solo: Hazanah Ilmu)
Nazmudin. 2017. “Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam
Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.
Journal of Government and Civil Society,Vol. 1, No. 1, 23-39 (18 april
2019)
178

Nurcholis Madjid,2002. Menuju Masyarakat Madani dalam Adi Suryani Culla,


(ed), Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan Relevansinya dengan Era
Reformasi (Cet.III; Jakarta: PT. RajaGRafindo Persada)
Quraish Shihab, 1992. Membumikan Al-Quran (Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat), (Jakarta, Mizan)
Ridwan Lubis.2005. Biru Peran Agama, (Jakarta, Puslitbang)
Sebuah hadits Riwayat Thabarani mengklasifikasi tetangga ke dalam tiga macam:
“Tetangga ada tiga macam, (1) tetangga yang memiliki tiga macam hak,
yakni hak pertetanggaan, hak kekerabatan, dan hak keIslaman, (2)
tetangga yang memiliki dua macam hak, yakni hak pertetanggaan dan hak
keIslaman, dan (3) Tetangga yang hanya memiliki satu hak ketetanggaan.
Ia adalah orang musyrik ahli kitab.” Fathur Rahman, Haditsun Nabawi
(Yogyakarta: IAIN, 1966)

Teks “Piagam Madinah” ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Ibn Hisyam, Al-
Sirah al Nabawiyyah, 501. Lihat juga dalam: Saifurrah}man al-
Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, Cet. 19,
2005)

Yong Ohoitimur,2001.“Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati”,


dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia (Yogyakarta: Interfidei,)

Yusuf al-Qard}awi, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islamiy, (Kairo:


Maktabah Wahbah, Cet. ke-3, 1413 H/ 1992 M)

Anda mungkin juga menyukai