Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar motorik adalah belajar yang difokuskan pada penguasaan keterampilan


gerak melalui respons-respons masculer sebagai hasil dari latihan .Dalam belajar
motorik, materi yang dipelajari adalah pola-pola gerak keterampilan tubuh, misalnya
gerakan-gerakan dalam olahraga Hal ini menunjukkan bahwa ranah kemampuan yang
paling intensif keterlibatannya dalam belajar motorik adalah ranah psikomotor.
Namun, bukan berarti ranah kognitif dan afektif tidak terlibat di dalam belajar
motorik. Kedua ranah tersebut tetap terlibat meskipun tidak merupakan unsur sasaran
sentral. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam belajar motorik adalah
tahapan belajar motorik. Tahapan belajar motorik terdiri atas tahap kognitif
(cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom (autonomous
stage). Ketiga tahap ini harus mendapat perhatian lebih serius dalam belajar motorik
agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dengan waktu yang lebih efisien.

Salah satu pedoman yang perlu dipahami oleh guru pendidikan jasmani,
khususnya guru pendidikan jasmani, disekolah dasar adalah mengetahui karakteristik
fase-fase atau tahap-tahap perkembangan belajar motorik anak didik. Dengan
mengetahui hal tersebut akan lebih memudahkan dalam menyusun dan
mengembangkan dan memilih metode pembelajaran.

MENIEL, 1977, Seorang pakar terkemuka di Jerman Barat dalam bidang teori
gerak telah berhasil memberikan rincian yang lebih jelas tentang tingkatan belajar
motorik beserta ciri-ciri lainnya yang dilihat dari kualitas pemecahan tugas gerakan
atau dari segi kemampuan seseorang dalam melaksanakan gerakan-gerakan olahraga
yang dianut. Perincian yang dikemukakan oleh MENIEL ini, akan mengarahkan guru
pendidikan jasmani baik dalam menentukan materi yang akan diajarkan maupun
dalam menentukan atau memilih metode mengajar yang digunakan. Sehubungan
dengan permasalahan di atas, maka pada bab ini akan diuraikan tahab-tahab belajar
motorik.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana ciri- ciri fase belajar motorik tingkat asosiatif ?
2. Bagaimana ciri-ciri kemampuan penerimaan dan pengolahan informasi fase
belajar tingkat asosiatif ?
3. Bagaimana ciri-ciri fase belajar motorik tingkat kedua dan implikasinya ke
dalam proses pembelajaran ?
4. Apa saja tanda-tanda tahap asosiatif
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ciri- ciri fase belajar motorik tingkat asosiatif ?
2. Untuk mengetahui ciri-ciri kemampuan penerimaan dan pengolahan informasi
fase belajar tingkat asosiatif ?
3. Untuk mengetahui ciri-ciri fase belajar motorik tingkat kedua dan
implikasinya ke dalam proses pembelajaran ?
4. Untuk mengetahui tanda-tanda tahap asosiatif
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ciri – Ciri Fase Belajar Motorik Tingkat Asosiatif


1. Ciri – ciri umum fase belajar asosiatif
Ciri umum fase belajar motorik asosiatif ini adalah peningkatan penguasaan
kemamuan koordinasi secara halus. Kualitas gerak yang dilaksanakan sudah
meningkat. perkembangan proses belajar fase ini ditandai oleh bebarapa kemajuan
dan diwarnai oleh beberapa permasalahan. Kemajuan kemajuan yang diperoleh antara
lain dapat dilihat dari semakin meningkatnya kualitas gerak.
Sedangkan dari sisi lain kemajuan kemajuan yang diperoleh dapat dilihat dari
semakin berkurangnya kesalahan gerak yang terjadi bahkan bila situasi dan kondisi
tempat pelaksanaan gerak sama dengan situasi dan kondisi pada fase tahap kognitif,
maka tugas gerak yang dituntut dapat dipenuhi dengan mudah tetapi bila situasi dan
kondisi itu dipersulit atau derajat kesulitan gerak yang dituntut ditingkatkan, maka
akan terjadi kembalinya kesalahan kesalahan dalam pelaksanaan gerak.
Kemajuan kemajuan lainnya juga dapat dilihat dari segi semakin meningkatnya
kecepatan individu dalam mengkontruksi gerak gerak yang akan dilakukan.
Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi pada peningkatan kecepatan dalam
mengkontruksi gerak, tetapi jika semakin lengkapnya kontruksi gerak yang dapat
dibangun.
Ciri-ciri umum fase belajar motorik asosiatif :

1. Semakin meningkatnya kualitas gerakan.


2. Penerimaan informasi melalui otot semakin meningkat.
3. Peningkatan kecepatan dalam mengkonstruksi gerakan.
4. Semakin lengkap konstruksi gerakan yang dibangun.
5. Adanya simpanan motorik/ingatan yang dimiliki.
6. Motivasi belajarnya mulai stabil dan tidak terganggu dengan kegagalan.
7. Keberanian dan keyakinan dalam melakukan gerakan semakin meningkat.

2. Ciri – ciri khusus fase belajar asosiatif


a. Struktur dasar gerakan
Bila pada fase belajar kognitif peserta didik belum dapat memanfaatkan fase
kognitif dengan baik maka pada fase asosiatif peserta didik telah dapat memanfaatkan
fase kognitif dengan baik demikian juga halnya pemanfaatan fase akhir, peserta didik
pada fase belajar kognitif belum dapat mengembalikan keseimbangan tubuhnya
dengan baik pada fase akhir, sedangkan pada tingkat asosiatifm, peserta didik telah
dapat memanfaatkan fase akhir untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya
dengan baik.
b. Irama gerak
Berkaitan dengan kemampuan irama gerakan. maka pada fase belajar tingkal
kedua ini telah terjadi perbaikan-perbaikan yang cukup berarti. lrama gerakan yang
kaku dan tersendat-sendat seperti yang dilihat pada fase belajar tingkat pertama,
sudah tidak terlihat lagi. Perbaikan irama gerakan ini merupakan salah salu efek dari
semakin meningkamya peran dan fungsi alat penerima informasi kinestetik (otot-otot)
dan perbaikan kemampuan antisipasi gerakan. Perbaikan-perbaikan tersebut sangal
membantu pelaku gerakan dalam mengatur dan mengendalikan pemberian impuls
tenaga atau kekuatan pada otot-otot yang terlibat dalam pelaksanaan gerak.
c. Hubungan Gerakan
Pada fase belajar tingkat kognitif peserta didik harus memiliki hubungan
gerakan yang baik. Penyebabnya antara lain, di samping belum memiliki pengalaman
gerakan juga karena belum berfungsinya alat penerima informasi kinestetik (otot-
otot). Hal ini menyebabkan pemberian dan pengaturan impuls-impuls tenaga dan
kekuatan pada otot-otot sesuai dengan kebutuhan tidak berjalan dengan baik sehingga
pemberian impuls tcnaga tersebut kadang-kadang berlebih atau kurang dari yang
dibutuhkan. oleh karenanya sering kita lihat adanya gerakan-gerakan yang berlebihan
yang sebenarnya tidak diperlukan bahkan dapat mempengaruhi pelaksanaan gerakan
atau bagian gerakan berikutnya secara negatif.
d. Luas Gerakan.
Seseorang yang berada pada fase belajar tingkat kedua ini juga ditandai
dengan semakin meningkatnya efisiensi dan efektivitas penggunaan ruangan dalam
pelaksanaan gerakan. penggunag ruangan yang terlalu luas atau terlalu sempit sudah
dapat di reduksi atau dikurangi. bahkan penggunaan ruangan yang tidak efektif dan
efisien sudah tidak kelihatan lagi. Misalnya dalam dalam bola voli. pada saat akan
melakukan smash gerakan telah dapat memanfaatkan ruangan sccara optimal.
sehingga memungkinkan untuk dapat membangun kekuatan dan kecpatan secara
optimal.
e. Kelancaran Gernkan
Pada belajar tingkat asosiatif ini semakin terlihal pelaksanaan gerakan yang
semakin mulus dan pelaksanaan gerakan yang tertunda-tunda atau tersendal-sendal
dari suatu bagian gerakan kebagian gerakan bcrikutnya sudah tidak kelihatan.
Kelancaran gerakan ini mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan huhungan
gerakan. Hubungan yang erat tersebut dapat dilihat yaitu ; semakin membaiknya
hubungan gerakan yang dimiliki seseorang. mengakibatkan semakin meningkatnya
kualitas kelancaran gerakan. Ini juga berarti bahwa kelancaran gerakan mempunyai
keterkaitan yang sangat erat sekali dengan perbaikan-perbaikan kemampuan
antisipasi gerakan serta peningkatan peran dan fungsi dari alat analisator kinestetik.
f. Kecepatan Gerakan
Pada fase belajar tingkat kognitif peserta didik telah memiliki kecepatan
gerakan, apa lagi anak-anak usia sekolah dasar yang sedang dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini juga disebabkan karena mereka selalu aktif
berkonfrontasi dengan lingkungannya. Mereka selalu melompat, berlari dan berkejar-
kejaran. Akibatnya, mereka memiliki kecepatan gerakan yang cukup baik. Tetapi
sebagaimana yang telah dikemukakan pada Bab III dan Bab IV, bahwa bila kecepatan
gerakan mereka diarahkan untuk menguasai keterampilan motorik tertentu yang
belum atau masih sedikit mereka kenal. maka kecepatan gerakan mereka belum dapat
dimanfaatkan secara optimal. Oleh karenanya salah satu ciri dari fase belajar tingkat
kognitif adalah bahwa peserta didik telah mcmiliki kecepatan gerakan tetapi belum
dapat memanfaatkan kecepatan gerakan tersebut untuk pcnguasaan keterampilan
motorik tertentu. apa lagi bila ketrampilan yang akan dipelajari belum mereka kenal.
Berbeda dengan fase belajar kognitif, maka pada fase belajar tingkat asosiatif,
peserta didik telah dapat memanfaatkan kecepatan gerakan yang mereka miliki, untuk
penguasaan atau mempelajari keterampilan motorik tertentu. Hal ini adalah
merupakan efek dari terjadinya perbaikan-perbaikan ciri-ciri koordinasi gerakan yang
lain, terutama akibat terjadinya perbaikan hubungan gerakan, irama gerakan dan
kelancaran gerakan. Perbaikan kecepatan gerakan ini juga merupakan efek dan
semakin membaiknya kemampuan mengantisipasi gerakan. Sehingga peserta didik
memiliki kepercayaan dan kepastian di dalam melaksanakan gerakan-gerakan yang
dituntut. Hal ini juga dapat kita lihat bahwa peserta didik yang berada pada fase
belajar tingkat kognitif ini lambat dalam melaksanakan gerakan. karena adanya faktor
ketakutan. yaitu takut akan gagal atau takut cidera. Keadaan yang demikian tidak
dialami, lagi pada fase belajar tingkat asosiatif.
g. Ketepatan dan konstan gerakan
Belajar tingkat asosiatif ini juga ditandai oleh semakin membaiknya
ketepatan gerakan. Pada fase belajar tingkat kognitif, si pelaku gerakan belum mampu
memperlihatkan ketepatan gerakan yang baik. Demikian juga kekonstanan gerakan
prestasinya belum dapat diukur sama sekali. Bila pelaksanaan gerakan dilakukan di
atas situasi dan kondisi yang membantu seperti pada fase belajar tingkat kognitif,
maka si pelaku gerakan pada fase belajar tingkat kedua telah mampu memperlihatkan
ketepatan dan kekonstanan gerakan yang baik. Tetapi bila situasi dan kondisi tempat
pelaksanaan gerakan dipersulit, maka kemampuan ketepatan dan kekonstanan
gerakan kem bali tidak stabil lagi. Namun demikian, bilalatihan dilaksanakan secara
kontinyu, maka keadaan seperti itu tidak akan berlangsung lama.
h. Bayangan
Bila pada fase belajar tingkat kognitif bayangan dan program gerakan masih
berlangsung lambat dan dalam bentuk yang kasar atau tidak lengkap. maka pada fase
belajar tingkat asosiatif bayangan dan program gerakan telah dapat berlangsung
dengan cepat, terutama terhadap gerakan-gerakan yang memiliki bentuk dan struktur
yang hampir sama.

i. Program gerakan
Kemajuan-kemajuan yang diperoleh pada fase belajar tingkat asosiatif dalam
hal membangun dan menyusun bayangan dan program gerakan ini, disebabkan
karena peserta didik telah memiliki simpanan-simpanan motorik yang cukup banyak
dan bervariasi. Simpanan atau ingatan motorik yang banyak dan bervariasi ini
tersimpan pada pusat ingatan motorik dan suatu saat bila dibutuhkan akan dapat
dipanggil kembali. Mekanisme kerja yang demikianlah yang membantu si pelaku
gerakan dapat dengan cepat mem bangun dan menyusun bayangan dan program
gerakan. Mekanisme kerja yangdemikian tidak akan terjadi bila si pelaku gerakan
tidak memiliki simpanan motorik yang relevan dengan bentuk-bentuk gerakan yang
dipelajari.

B. Ciri-Ciri Kemampuan ”Penerimaan Dan Pengolahan Lnformasi Fase


Belajar Tingkat Asosiatif
Sebagaimana yang pernah diungkapkan pada bahagian terdahulu, bahwa
kemmampuan penerimaan dan pengolahan informasi merupakan faktor yang sangat
menentukan sekali dalam belajar motorik. terutama dalam menerima dan
menganalisis umpan balik tentang jalannya pelaksanaan gerakan yang baru
dilakukan. Untuk dapat dipahami. bahwa di dalam belajar motorik ada lima indera
penerima informasi, yaitu: mata (Visueller Analisator), kulit (Taktiler Analisator),
otot-otot (Kinesthetiseher Analisator), telinga (Akustischer Analisator) dan alat
keseimbangan yang terletak pada bagian dalam telinga (Staticodynamisator). Kelima
indera penerima informasi tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
Pertama alat penerima informasi luar yang meliputi: mata. telinga dan kulit dan kedua
alat penerima informasi bagaian dalam yaitu: otot-otot dan Staticodynamisator.
Pengertian tentang informasi dari luar adalah informasi yang datang dari luar atau
dari lingkungan si pelaku gerakan itu sendiri. Sedangkan infomasi dari dalam ialah:
informasi-informasi yang berasal dari dalam diri si pelaku gerakan itu sendiri tentang
jalannya gerakan baik yang sedang berlangsung. maupun yang telah dilaksanakan.
Alat penerima informasi dari dalam seperti otot-otot akan menerima informasi antara
lain tentang kekuatan atau tenaga yang diberikan untuk pelaksanaan suatu gerakan
tertentu. Otot-otot akan menerima informasi apakah kekuatan yang telah diberikan
sesuai atau masih ,kurang untuk keperluan pelaksanaan suatu gerakan. Sedangkan
alat penerimaan informasi dari dalam yaitu Staticodynamisator akan menerima
informasi tentang keseimbangan tubuh.
Kemampuan di dalam penerimaan dan pengolahan informasi tentang jalannya
suatu gerakan pada fase belajar tingkat asosiatif ini, ditandai dengan semakin
meningkatnya peranan indera penerima informasi, terutama melalui otot (alat
penerima in formasi dari dalam). Dengan semakin meningkamya peranan indera
penerima infomasi, maka akan memungkinkan semakin banyaknya informasi umpan
balik tentang jalannya suatu gerakan yang dapat diterima dan selanjutnya
disampaikan dan diolah pada pusat susunan syaraf. Semakin meningkat peran dan
fungsi alat-alat penerima informasi, semakin banyak dan rinci informasi yang dapat
diserap. Mekanisasi kerja yang demikian memungkinkan terjadinya pengontrolan dan
pengendalian serta pengaturan Jalannya suatu gerakan yang sedang berlangsung

C. CIRI – CIRI FASE BELAJAR MOTORIK TINGKAT ASOSIATIF DAN


IMPLIKASINYA KE DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Sebagaimana diketahui bahwa fase belajar motorik tingkat kedua ini adalah fase
penguasaan kcterampilan motorik dalam bentuk koordinasi halus. Oleh karena itu fase
belajar tingkal kedua ini dapat dikatakan sebagai fase pendalaman terhadap materi yang
diajarkan. lni berarti bahwa pada fase ini dituntut aktivitas belajar yang tinggi.
Konsekwensinya tentulah dituntun pula aktivitas dan perhatian yang penuh dari guru
pendidikan jasmani, baik terhadap peserta didik maupun terhadap proses pembelajaran itu
sendiri. Perhatian terhadap peserta didik antara lain meliputi pemceiharaan dan
peningkatan motivasi belajar.

pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar peserta didik ini perlu mendapat
perhatian dari guru pcndidikan jasmani. karena pada fase belajar tingkat kedua ini terjadi
suatu fase yang disebut dengan keadaan stagnasi yang merupakan suatu fase di mana
peserta didik mengalami kemajuan yang lambat bahkan kadang-kadang tidak
mcmperlihatkan kemajuan belajar sama sekali. Fase stagnasi ini tidak diketahui akan
berlangsung berapa lama. Tapi yang jelas. fase ini pasti akan ditemui dan akan berlangsung
beberapa waktu. Dalam keadaan dan situasi yang demikian lah dituntut suatu ketekunan
dan ketabahan dari seseorang guru pendidikan jasmani, untuk tetap terus berusaha
menjaga keseimbangan emosional peserta didik, sehingga motivasi berjalan tidak menurun.
Kalau guru tidak dot meningkatkan motivasibelajar peserta didik, minimal guru harus
mampu menjaga agar motivasi belajar peserta didik tidak berkurang

Dapat dipahami betapa besarnya bahaya yang akan terjadi bila guru pendidikan
jasmani tidak mengetahui dan tidak memahami tentang adanya fase stagnasi seperti
yang diuraikan di atas. Fase stagnasi ini akan lebih merupakan suatu problema yang
besar dan rumit lagi bila guru pendidikan jasmani menghadapi peserta didik usia
sekolah dasar. Anak-anak usia sekolah dasar. pada umumnya belum memiliki daya
juang yang tinggi. apa lagi bila mereka tidak atau belum melihat tujuan yang ingin
dicapai secara konkrit. Selain itu anak-anak usia sekolah dasar, walaupun telah
belajarpada fase tingkat kedua. tetapi guru pendidikan jasmani tidak boleh lupa
bahwa perkembangan psikisnya masih belum matang.

Telah dikemukakan pada bagian terdahulu. bahwa fase belajar tingkat kedua
menuntut aktivitas belajar yang tinggi. Untuk dapat melaksanakan aktivitas belajar
yang tinggi, dibutuhkan persiapan -persiapan yang tinggi dan peserta didik. Kesiapan-
kesiapan yang dimaksud antara lain meliputi:

 Kesiapan dalam melakukan pengulangan-pengulangan latihan.


 Kesiapan dalam menerima beban kerja Fisik.
 Kesiapan untuk berskosentrasi penuh.
 Kesiapan untuk turut aktifdalam proses berfikir.

Fase belajar tingkat kedua ini adalah tahap penguasaan koordinasi halus. Untuk
itu dalam proses pembelajaran untuk menguasai keterampilan motorik tertentu secara
lebih mendasar dan akurat, maka perhatian harus lebih diarahkan pada setiap
komponen teknik gerakan. Agar pengamatan terhadap komponen-komponen teknik
dapat dilakukan dengan baik maka perhatian lebih diarahkan pada latihan bagian-
bagian gerakan. Terutama pada bagian gerakan yang merupakan kunci tugas gerakan.
Bagian-bagian tersebut haruslah dikuasai dan dipahami sepenuhnya, karena setiap
gerakan akan mempengamhi ujuk kerja atau penampilan gerakan yang dituntut secara
keseluruhan.

Perlu dipahami dan diingat oleh guru pendidikan jasmani terutama seklah dasar,
bahwa penyelenggarab pendidikan jasmani di sekolah dasar bulan semata-mata
diarahkan pada penggunaan keterampilan motorik saja. Secara sederhana dapat
diartikan bahwa penyelenggaraan pendidikan jasmani di sekolah dasar bertujuan
untuk mempengaruhi secara positif pertumbuhan dan perkembangan peserta didik
baik jasmani maupun rohani. Fase belajar motorik tingkat kedua adalah fase
pengusaan koordinasi halus. Fase belajar ini menuntut aktivitas belajar yang cukup
tinggi. Untuk menghadapi peserta didik usia sekolah dasar, perlu sekali diperhatikan
agar latihan-latihan dalam proses pembelajran pendidikan jasmani tidak sampai
membosankan peserta didik. Dengan kata lain :
 Memilih materi dan susun strategi pembelajaran yang memungkinkan
pertumbuhan dan perkembangan jasmani peserta didik dapat dipengaruhi
secara positif.
 Memilih dan menyusun strategi pembelajran yangn memberikan kesempatan
pada anak didik untuk dapat berlatihan dalam meningkatkan kualitas
keterampilan motorik peserta didik.
 Memilih materi dan menyusun strategi pembelajran yang mengarah pada
pembentukan suasana, yang memungkinkan peserta didik dapat dan mau
berinteraksisesama mereka.
 Memilih materi dan menyusun strategi pembelajran yang memungkinkan
peserta didik tidak mengalami kebosanan dalam proses pembelajran.
 Memilih materi dan menyusun strategi pembelajran yang tidak bertentangan
denga keberadaan anak-anak usia sekolah dasar dengan dunianya sendiri.

D. TANDA-TANDA TAHAP ASOSIATIF (TAHAP PENYESUAIAN)

a) Mulai mengenal gerakan sudah ada pusat syaraf akan dikeluarkan gerakan
sesuai yang diinginkan.
b) Tenaga yang digunakan mulai berkurang, sudah banyak keberhasilan dalam
melakukan geakan.
c) Perhatian yang digunakan mulai berkurang pada waktu melakukan gerakan.
d) Keragu-raguan melakukan gerakan mulai hilang.
e) Pada saat melakukan gerakan mulai tumbuh percaya diri
f) Mulai memahami gerakan.
g) Mulai dapat merasakan gerakan yang salah dan benar.

Contoh Gerakan :
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada fase belajar tingkat asosiatif merupakan fase penguasaan keterampilan motorik
koordinasi halus. Hal ini, setiap komponen teknik gerakan dapat dikuasi secara mendasar.
Dalam fase belajar tingkat asosiatif, tugas guru pendidikan jasmani dalam pembelajaran
mampu memberikan atau meningkatkan peran dan fungsi alat penerima informasi
kinestetik. Pada fase ini, kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi bayangan dan
program gerakan semakin meningkat, baik segi kesecaptannya ataupun kelengkapan
konstruksi gerakan itu sendiri. Sebagai guru penjas dalam penyelenggaraan penjas bukan
hanya menguasi suatu keterampilan oalahraga motorik saja, akan tetapi lebih diarahkan
pada peningkatan fungsi-fungsi organ tubuh, kesehatan, keterampilan motorik secara
umum, interaksi social dan pembentukan sikap dan kepribadian yang baik. Oleh karena itu
materi dan strategi pembelajaran yang dipilih harus mengacu pada tujuan penjas.

Anda mungkin juga menyukai